BAB I PENDAHULUAN Seiring berkembangnya zaman, dunia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya zaman, dunia perdagangan internasional telah mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Negara sebagai salah satu aktor utama dalam perdagangan
internasional telah berusaha menyepakati sebuah mekanisme atau aturan agar kegiatan
perdagangan ini dapat lancar dan efektif berjalan. Kegiatan perdagangan ini dilakukan oleh
setiap negara secara global, maka tercetus sebuah ide untuk membentuk sebuah aturan dalam
mengatur bidang perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah satu aturan
yang diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas yang
berbasis liberalisme ini berpendapat bahwa perdagangan internasional akan bekerja lebih
efektif dan menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan
berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu dan
dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT
merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur
perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam
perdagangan internasional. Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi
nyata dalam perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).1
Kemajuan dunia perdagangan dan teknologi yang terjadi tidak selalu memberikan
dampak yang positif atau menguntungkan. Salah satu bidang yang terpengaruh oleh
kemajuan ini adalah bidang lingkungan. Lingkungan seringkali dikorbankan jika harus
beradu melawan keuntungan dari sebuah perdagangan. Masalah lingkungan dan perdagangan
ini dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu: (1) ketika perdagangan internasional
mempengaruhi keadaan lingkungan domestik dari sebuah negara, (2) ketika perdagangan
internasional mempengaruhi masalah ekologi lintas batas negara, dan (3) hubungan
perdagangan internasional dengan “kepentingan bersama” (seperti lapisan ozon, jumlah
pasokan ikan dan masalah Antartika).2 Timbulnya masalah antara bidang perdagangan dan
lingkungan membuat negara-negara dunia untuk menyepakati sebuah aturan dalam
menyelesaikan masalah ini. Berbagai upaya yang bersifat ramah lingkungan atau hemat
energi diterapkan di berbagai sektor, khususnya pada sector perdagangan dan perindustrian.
Negara-negara tidak hanya berhenti dalam tahap praktik-praktik dan dorongan-dorongan saja,
Elli Louka. International Environmental Law – Fairness, Effectiveness and World Order, (New York:
Cambridge University Press, 2006), pg. 383.
2
Jane Holder and Maria Lee. Environmental Protection, Law and Policy. (New York: Cambridge
University Press, 2007), pg. 270.
1
namun mereka juga menetapkan hal ini sebagai sebuah masalah yang harus ditanggapi secara
serius, sehingga harus ada sebuah perangkat hukum yang mengatur mengenai hal ini. Dalam
perkembangannya, terdapat banyak kesepakatan-kesepakatan dalam bentuk perjanjian
mengenai pengaturan hukum lingkungan internasional. Kita dapat mengambil contoh dalam
The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan Convention on
Biological Diversity (CBD).
Makalah ini akan berusaha memberikan pemahaman dan pemaparan hubungan antara
perdagangan internasional dengan kelestarian lingkungan, baik dalam tingkat perjanjian
multilateral, maupun dalam kerangka GATT/WTO, serta menampilkan salah satu contoh
kasus sengketa yang melibatkan aspek perdagangan dan lingkungan, yaitu The Tuna-Dolphin
Case.
BAB II
HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL DALAM
WORLD TRADE ORGANIZATION
Sekilas Mengenai WTO
WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan
internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk mengatur sistem
perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tariff dan
perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut dengan GATT (General
Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada
dasarnya GATT memberikan dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional,
yaitu:3
1. Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif, dan
2. Membuat kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan
rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran
negosiasi (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang
berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibuat sebuah lembaga yang
mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO.4
Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade
Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and
Trade in Services dan The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property
Rights.5
Ketentuan dalam Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan
Dalam WTO terdapat berbagai jenis perjanjian-perjanjian yang mengatur mengenai
perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tersebut tersebar berbagai ketentuan yang
menyangkut mengenai masalah lingkungan.
1. The General Agreement on Tariffs and Trade
3
The United Nations Environment Programme, Division of Technology, Industry and Economics,
Economics and Trade Unit and The International Institute for Sustainable Development. Environment and Trade
– A Handbook, (Canada: UNEP and IISD, 2000), pg. 21.
Philippe Sands and Pierre Klein. Bowett’s Law of International Institutions, 5th ed., (London: Sweet
and Maxwell, 2001), pg. 116.
4
5
Article IV 1994 Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement)
a. Pasal I dan III: Non-diskriminasi (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat dua prinsip utama mengenai non-diskriminasi
dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip pertama adalah most-favoured
nation (MFN) yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan
bahwa segala bentuk perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara
lain, maka perlakuan khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara
peserta GATT/WTO lainnya.6 Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan
mencakup juga kepada (i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan dan
formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya, dan
peraturan domestik dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah produk.7
Prinsip kedua adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini
menyatakan bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan
diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.
b. Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan (Quantitative restrictions and
licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai pembatasan-pembatasan bagi negara
peserta dalam hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat
menggunakan berbagai pembatasan selain quota impor/ekspor perizinan dan
berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor/impor barang.8
c. Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT ini berbunyi:
Article XX
General exceptions
“Subject to the requirement that such measures are not applied in a
manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable
discrimination between countries where the same conditions prevail, or a
disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement
Article I GATT, “…any advantage, favour, privilege, or immunity granted by any contracting party to
any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally
to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.”
6
7
Patricia Birnie and Alan Boyle. International Law & The Environment, (New York: Oxford
University Press, 2002), pg.699.
8
The United Nations Environment Programme, op. cit., pg. 29.
shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any
contracting party of measures:
...
(b)
necessary to protect human, animal or plant life or health;
...
(g)
relating to the conservation of exhaustible natural resources if such
measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic
production or consumption; ... ”
Pasal XX GATT merupakan pasal terpenting dalam hal hubungan antara
perdagangan dengan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua pengecualian dalam
perdagangan dengan dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1. Keperluan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan atau tanaman...(butir
b);
2. Berhubungan dengan konservasi sumber daya alam yang terbatas, jika upaya
tersebut dibuat secara efektif dalam hubungan dengan pembatasan produksi
domestic atau konsumsi (butir g).
Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary)
dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara
diharuskan:9
1. Membuktikan adanya sebuah kebutuhan untuk melindungi lingkungannya
sendiri;
2. Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan
dalam rangka melakukan perlindungan tersebut; dan
3. Jika sebuah upaya yang berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka
harus dipastikan upaya tersebut merupakan pembatasan perdagangan pada
tingkat paling rendah dalam mencapai tujuan perlindungan lingkungan.
Syarat kedua dan ketiga merupakan sebuah tes atau ujian untuk
menentukan apakah memang dibutuhkan sebuah pengendalian perdagangan dalam
rangka melindungi lingkungan. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi dampak
besar yang diakibatkan dari upaya-upaya perlindungan lingkungan serta
mengindari penggunaan isu lingkungan sebagai kedok dalam penggunaan
9
Ibid.
pembatasan atau penghambat dalam perdagangan. Meskipun demikian, alasanalasan terhadap isu lingkungan sangat sulit untuk dijelaskan, karena keterbatasan
fakta ilmiah yang dapat diberikan. Namun salah satu bentuk upaya yang berhasil
dalam ranah WTO adalah dalam Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan pada
tahun 1998 dihadapan WTO Appelate Body. Dalam putusannya, kasus ini
diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah dampak yang mempengaruhi udara
dan air atau dampak terhadap spesies yang terancam bahaya dan spesies yang
berpindah tempat (migratory).
Dalam butir g, dibutuhkan adanya suatu hukum dalam rangka konservasi
sumber daya alam yang terbatas. Hukum ini juga harus memberikan definisi
mengenai jenis-jenis dari sumber daya alam yang digolongkan terbatas. Hukum
yang ada secara bersama diimplementasikan dengan pembatasan-pembatasan pada
tingkat domestik, baik pada segi manajemen, produksi, atau konsumsi yang
bertujuan untuk konservasi sumber daya alam yang terbatas tersebut. Keseluruhan
pengaturan dalam Pasal XX ini harus memenuhi unsur dalam klausul pembukaan
yang umumnya diistilahkan sebagai The Chapeau. The Chapeau ini menyatakan
bahwa, meskipun sebuah tindakan atau upaya dapat dikategorikan dalam
pengecualian Pasal XX, akan tetap bersifat melawan hukum menurut The
Chapeau, apabila terdapat (i) diskriminasi yang sewenang-wenang dan tidak
dibenarkan antara negara-negara lain yang berada dalam kondisi yang sama dan
(ii) sebuah kedok pembatasan dalam perdagangan internasional.
2. The Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur mengenai batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat
diberlakukan dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur
dua hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk
memberlakukan standar teknis suatu barang maupun jasa sesuai dengan ukuran
nasionalnya masing-masing, dan mengatur agar standar tersebut tidak menimbulkan
hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.10
Dalam The Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai
lingkungan sebagai salah satu technical barriers dalam perdagangan internasional
adalah Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
Syamsul Ma’arif, “WTO sebagai Organisasi Perdagangan” dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan
Khairandy (ed.). Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2001), hal. 149.
10
“Members shall ensure that technical regulations are not prepared,
adopted or applied with a view to or with the effect of creating
unnecessary obstacles to international trade. For this purpose,
technical regulations shall not be more trade-restrictive than
necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks
non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia:
national security requirements; the prevention of deceptive practices;
protection of human health or safety, animal or plant life or health, or
the environment. In assessing such risks, relevant elements of
consideration are, inter alia: available scientific and technical
information, related processing technology or intended end-uses of
products.”
3. The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini memberikan standar-standar yang dibutuhkan untuk melindungi
manusia, hewan dan tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat
perpindahan tanaman, hewan dan bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan
yang ingin dicapai oleh mayoritas negara-negara adalah dari:11
1. Resiko yang berasal dari hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yang
masuk
ke
dalam
wilayah
negaranya
bersama
produk-produk
yang
diperdagangkan; dan
2. Resiko dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan herbisida, racun, obat untuk hewan
dalam bahan makanan, minuman atau pakan hewan.
Kesepakatan ini juga mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar
tersebut dapat dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar
yang sudah berlaku secara internasional.12 Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok
mengenai pengaplikasian SPS ini terdapat pada
Annex A
Definitions
“Sanitary or phytosanitary measure — Any measure applied:
11
The United Nations Environment Programme, op. cit., pg 31.
12
Ma’arif, op. cit., hal 151.
(a)
to protect animal or plant life or health within the territory of the
Member from risks arising from the entry, establishment or spread of
pests, diseases, disease-carrying organisms or disease-causing
organisms;
(b)
to protect human or animal life or health within the territory of
the Member from risks arising from additives, contaminants, toxins or
disease-causing organisms in foods, beverages or feedstuffs;
(c)
to protect human life or health within the territory of the Member
from risks arising from diseases carried by animals, plants or products
thereof, or from the entry, establishment or spread of pests; or
(d)
to prevent or limit other damage within the territory of the
Member from the entry, establishment or spread of pests.”
Ketiga perjanjian di atas merupakan perjanjian inti atau yang terpenting dalam pengaturan
mengenai lingkungan dan perdagangan. Meskipun demikian, terdapat pula perjanjianperjanjian lainnya dalam WTO yang juga menyinggung mengenai masalah lingkungan dan
perdangangan, yaitu Agreement on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement on TradeRelated Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) dan General Agreement on Trade
in Services (GATS).
Committee on Trade and The Environment
Pada bulan April 1994, sebuah pertemuan diadakan di Marrakesh yang dihadiri
menteri-menteri anggota negara GATT. Pertemuan ini berhasil mengadopsi sebuah
Keputusan mengenai Perdagangan dan Lingkungan (Decisions on Trade and the
Environment) untuk mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan dan lingkungan
melalui sistem perdagangan multilateral.13 Keputusan ini kemudian menghasilkan
pembentukan Committee on Trade and The Environment (CTE). CTE ini didirikan sekaligus
untuk menggantikan peran GATT Group on Environmental Measures and International
Trade. Pada dasarnya CTE bertujuan untuk mengkaji hubungan timbal-balik antara
perdagangan internasional dengan isu lingkungan hidup 14 dan merekomendasi apakah
diperlukan sebuah modifikasi terhadap sistem perdagangan multilateral untuk (a) mendorong
Communication from the Chairman of the GATT Trade Negotiations Committee, “Decision on
Trade and Environment “, GATT Doc. MTN.TNC/W/141, 29 March 1994 seperti yang dikutip dalam sands
13
14
Ma’arif, op cit., hal. 159.
interaksi positif antara perdagangan dan lingkungan, (b) menghindari upaya perdagangan
protektionis dengan memastikan ketanggapan terhadap tujuan-tujuan lingkungan dari Agenda
21 dan Deklarasi Rio, dan (c) memantau perdagangan dalam tujuan untuk kebaikan
lingkungan,
memantau
aspek-aspek
perdagangan
dalam
upaya-upaya
melestarikan
lingkungan dan meningkatkan efektifitas implementasi dari “kedisiplinan multilateral” dalam
mengatur upaya-upaya tersebut.15
Secara garis besar, terdapat 10 tugas yang diberikan kepada CTE dalam menanggapi
isu lingkungan dan perdagangan ini, yaitu:16
1. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan upaya
perdagangan dalam tujuan kelestarian lingkungan, termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan perjanjian lingkungan multilateral;
2. Hubungan antara kebijakan lingkungan mengenai perdagangan dan pengupayaan
kelestarian lingkungan dengan dampak penting dalam perdagangan dan ketentuan
mengenai sistem perdagangan multilateral;
3. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan:
a. Pembiayaan dan pajak yang bertujuan untuk lingkungan,
b. Persyaratan-persyaratan yang ditujukan untuk lingkungan dalam produkproduk, termasuk standarisasi dan aturan teknis, pegemasan, pelabelan dan
daur ulang;
4. Ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral sehubungan dengan
transparansi perdagangan dalam tujuan kelestarian lingkungan;
5. Hubungan antara mekanisme penyelesaian sengketa dalam sistem perdagangan
multilateral dan dalam ketentuan perjanjian multilateral mengenai lingkungan;
6. Dampak pengupayaan kelestarian lingkungan dalam akses pasar, khususnya
dalam hubungan negara-negara berkembang, khususnya pada negara-negara yang
paling terbelakang dalam pembangunan;
7. Masalah eskpor dalam barang-barang yang dilarang secara domestik;
8. Ketentuan yang berhubungan dengan Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights;
15
Philippe Sands Principles of International Environmental Law, 2nd ed., (New York: Cambridge
University Press, 2003) pg. 951.
16
GATT Ministerial Decision, 1994 1267-9.
9. Program kerja yang diberikan oleh Decision on Trade in Services and the
Environment;
10. Menyertakan badan-badan yang relevan dalam hubungan dengan organisasi antarpemerintah dan non-pemerintah.
Penyelesaian Sengketa dalam WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki
mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT 1947, yaitu pada
Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi dalam rangka
penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu,
penyempurnaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain
dengan berbagai perjanjian dan keputusan yang dibuat, yaitu:
1. The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII;
2. The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and
Surveillance, adopted on 28 November 1979;
3. The Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial Declaration of 29 November
1982;
4. The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa
adalah ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April
1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada
keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana
para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak
berhasil. Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.17
WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute
Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa
dalam WTo harus melalui beberapa tahap, yaitu:18
1. Konsultasi (Consultation)
17
Lihat Bagian G Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute
Settlement Rules and Procedures.
18
The United Nations Environment Programme, op. cit., pg. 33.
Para peserta diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih
dahulu. Jika dalam 60 hari tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta
DSB untuk mendirikan sebuah Panel.
2. Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang dalam memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses
peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan
selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak
secara konsensus atau adanya upaya banding.
3. Banding (Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih
secara acak). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah
fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah
dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4. Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, harus melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari
putusan diadopsi DSB. Jika anggota tersebut gagal menjalankan kewajibannya (dalam
jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat
bernegoisasi untuk menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap tidak
berhasil, maka pihak yang menang dapat memohon izin kepada DSB untuk
menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.
BAB 3
Konvensi dalam Hukum Lingkungan Internasional yang Berkaitan dengan
perdagangan
Selain WTO ternyata perjanjian tentang perdagangan duga di atur dalam beberapa
konvensi yang behubungan dengan lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk lebih mengatur
perdagangan agar sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hal ini diatur dalam pasal 12
Deklarasi Rio.
3.1. Convention on International Trade of Endangered Species of Flora
and Fauna (CITES)
3.1.1 Latar Belakang CITES
CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington D.C.
yang ketika itu penandatangan konvensi ini berjumlah 21 negara. Melalui
konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan ketentuan-ketentuan di
dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan
suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional dan sebagai media
konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah. Hal ini dilakukan untuk
melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan memaksimalkan kegunaannya
bagi manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang. Konvensi yang sudah
telah diratifikasi oleh 173 negara19, sejak Oman meratifikasinya pada tanggal 13
Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife.
Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk mencegah dan membatasi
perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yang terancam
punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tersebut tidak hanya
melindungi flora, namun juga fauna yang terancam kepunahan.Spesies-spesies
19
Parties of the Convention , <http://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.shtml>,
ang memiliki kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam
salah satu dari tiga appendiks yang terdapat di dalam CITES20,dan spesies tersebut
menjadi subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor.21
Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan dari peserta
konvensi yang menyadari bahwa berbagai variasi satwa dan tumbuhan liar yang
ada merupakan bagian dari sistem ekosistem bumi yang tidak terpisahkan. Hal
tersebutlah yang membuat mereka harus dilindungi untuk generasi sekarang dan
yang akan dating.22 Spesies-spesies tersebut memiliki nilai penting dalam
estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, dan ekonomi.23 Untuk mewujudkan
hal ini maka kerjasama internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan
mendasar untuk menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah
tersebut dari eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan
Internasional.24dan sejak berlaku pada tahun 1975, tak ada lagi seekor spesies pun
yang mengalami kepunahan.25
3.1.2. Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah suatu spesies
terancam punah (ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara umum menurut CITES ada 3
klasifikasi, yaitu :26
1.
Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat
perdagangan yang dilakukan (Annex I)
2.
20
Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran akan
William C. Burns, “CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species of
Flora: A Critical Appraisal”, 8 Dick. J. Int'l L. 203, 208-10 (1990).
21
Laura H. Kosloff and Mark C. Trexler, “The Convention on International Trade in Endangered
Species: Enforcement Theory and Practice in the United States”, 5 B.U. Int'l L.J. 327 (1987).
22
Butir 1 Konsiderans CITES
23
Butir 2 Konsiderans CITES
24
Butir 4 konsiderans CITES
“A Symbol needs saving” <http://www.un.org,>
25
26
Pasal 2 CITES
mengalami kepunahan (Annex II)
3.
Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah kepunahan
akibat perdagangan (Annex III)
3.1.3. Pengaturan dan Klasifikasi perdagangan
Secara keseluruhan, CITES merupakan konvensi yang berlaku sebagai
panduan umum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan
segala jenis tumbuhan dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES mengatur
mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan oleh negara
anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota, konferensi negara
peserta, hubungan antara hukum internasional dan peraturan domestik, dan
amandemen terhadap konvensi itu sendiri.
Konvensi ini membagi perlindungan ke dalam tiga bagian yang termasuk
di dalam appendiks I, II, dan III yang setiap appendiks menunjukan status spesies
tersebut. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies
yang terancam yang mungkin diakibatkan oleh perdagangan internasional.
Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh
kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan terhadap
spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks IIIadalah kategori spesies yang
diatur dalam regulasi atau peraturan nasional negara anggota untuk menghindari
ancaman terhadap kepunahan.
3.1.3 Sistem Perizinan Internasional
3.1.4.1. Pemberian izin ekspor dan impor
CITES memiliki sebuah mekanisme perizinan yang harus dipenuhi oleh
negara anggotanya dalam melakukan ekspor dan impor terhadap suatu spesies
tertentu yang termasuk di dalam daftar perlindungan CITES.27 Izin yang
diberikanpun berbeda-beda pada setiap spesies tergantung pada kategorisasi
terhadap spesies tersebut dalam apendiks CITES. Dalam konvensi ini terdapat tiga
kelas kategorisasi terhadap spesies-spesies tersebut;
A. Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks I
Patricia Birne and Alan Boyle,International Law and the Environment (Oxford University
Press :2002), hal 459
27
Segala spesies yang tercantum di dalam apendiks ini pada
prinsipnya tidak boleh diperdagangkan . Spesies-spesies yang tercantum
di dalam apendiks pertama ini terancam oleh kepunahan akibat atau
yang dapat diakibatkan oleh perdagangan.28 Untuk spesies yang
tercantum di dalam apendiks I tidak dapat diperdagangkan kecuali
untuk keadaan luar biasa, dan izin untuk melakukan ekspor harus
dibuktikan melalui export permits yang dikeluarkan oleh management
authority negara pengekspor.
Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor harus memenuhi
syarat (hal ini berlaku juga pada negara yang hendak melakukan ekspor
ulang / re-export) :
(1) Pihak otoritas negara pengekspor telah memberikan nasehat
bahwa ekspor spesies tersebut tidak akan melukai spesimen
yang akan diekspor.
(2) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yang diperoleh
bukanlah hasil dari penangkapan yang melanggar hukum
perlindungan spesies liar.
(3) Pada proses pengapalan, harus dibuktikan bahwa kepada pihak
otoritas manajemen bahwa tidak akan ada resiko terjadinya luka
pada spesimen tersebut.
(4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga harus meyakini
bahwa izin impor atas spesimen tersebut telah diberikan oleh
otoritas negara pengimpor.
Dalam kasus ekspor ulang, nasihat dari otoritas ilmiah tidak
diperlukan. Import permit dapat dikeluarkan oleh management
authority CITES apabila persyaratan yang diatur dalam pasal III ayat
3, yaitu:
(1) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah menasehati bahwa
impor dilakukan bukan untuk tujuan melukai spesimen
tersebut;
(2) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah yakin bahwa negara
penerima sudah siap memberikan tempat perlindungan dan
28
CITES, pasal II (1)
perawatan;
(3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor
tersebut bukan untuk tujuan komersial.
B. Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks II
Apendiks II meliputi spesies yang saat ini belum terancam oleh
kepunahan, namun sangat rentan terhadap kepunahan apabila perdagangan
atas spesies ini tidak direlgulasi dan dilakukan pencegahan. Dalam hal
perizinan untuk melakukan ekspor dan impor ketentuan yang belaku untuk
spesies dalam apendiks II ini lebih ringan, yaitu hanya dengan memenuhi
segala persyaratan pengekspor saja, namun tidak membutuhkan import
permit.
C. Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks III
Apendiks III merupakan kategori spesies yang dimasukan dalam daftardaftar
negara anggota CITES, di mana para anggota merasa bahwa spesies
tersebut perlu dilindungi dan dibutuhkan kerjasama internasional untuk
melindunginya. Dalam persyaratan spesies dalam apendiks III hanya
membutuhkan export permit saja, dan tidak membutuhkan import permit.
3.1.4.2 Pengecualian persyaratan
Selain pengaturan di atas, terdapat pengecualian terhadap ketentuanketentuan
terhadap perdagangan terhadap hewan yang termasuk di dalam
apendiks I, II, dan III. Persyaratan yang harus dipenuhi menurut pasal
VIII adalah :
1) Spesimen terdapat di dalam teritori negara peserta dan dalam
keadaan transit, dan spesimen berada di bawah pengawasan dinas
pabean;
2) Ketentuan dalam pasal III, IV, dan V tidak berlaku terhadap
spesimen yang memiliki akibat–akibat terhadap personal atau
persoalan rumah tangga. Atas pengecualian ini, juga terdapat
pengecualian, yaitu bahwa pengecualian tidak berlaku jika :
a. Dalam kasus spesimen dalam apendiks I, spesimen tersebut
diperoleh oleh pemiliknya di luar negara tempat
kediamannya, dan diimpor ke dalam negara tersebut.
b. Dalam kasus spesimen dikategorikan di dalam apendiks II, :
i. Spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar
negara tempat kediamannya dan dalam suatu negara
di mana pemindahan dari alam bebas dilakukan;
ii. Spesimen tersebut diimpor ke dalam negara
kediaman pemiliknya;
iii. Negara di mana terjadi pemindahan dari alam bebas
menuntut pengabulan export permit terlebih dahulu
sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan.
3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tersebut dimasukkan ke
dalam salah satu apendiks CITES;
4) Spesimen yang merupakan hasil dari penangkaran juga
dikecualikan, spesimen yang didapatkan dari hasil penangkaran
hendaknya dianggap sebagai spesimen dari spesies yang berada
apendiks II;
5) Pengecualian juga berlaku jika otoritas manajemen negara
pengekspor meyakini bahwa setiap spesimen dari spesies tumbuhan
dan satwa merupakan hasil penangkaran atau pengembangbiakan
secara sengaja;
6) Spesimen sebagai bagian dari museum, ekspor untuk eksebisi,
sirkus, sepanjang didaftarkan pada otoritas manajemen negara yang
bersangkutan.
3.2. Covention on Biological Diversity (CBD)
Konvensi ini pertama kali berlaku pada tanggal 29 Desember 2003.
Berbeda dengan konvensi-konvensi lainnya yang pada umunya mengatur
mengenai perlindungan dan konservasi pada spesies dan habitat tertentu atau
hanya berlaku pada suatu wilayah regional tertentu, CBD mengatur perlindungan
alam secara internasional dan lebih menyeluruh. Pengertian “Biological Diversity”
sangatlah luas.
Dalam pasal 8 CBD mengatur mengenai konservasi in-situ (Konservasi
di dalam habitat aslinya) dan pasal 9 mengatur mengenai konservasi ex-situ
(konservasi di luar habitat asli dari spesies tersebut), misalnya kebun binatang.
Pasal 8 CBD menyatakan bahwa :
(a) “Establish a system of protected area or areas where social measures
need to be taken to consever biological diversity
(b) Develop,…, guidelines for the selection, establishment and management of
protected area or areas…”
Melalui konvensi ini negara peserta didorong untuk membentuk
kawasan konservasi dan mengembangkan pedoman untuk penyeleksian,
pembentukan, dan pengelolaan. Kawasan konservasi dilihat sebagai cara yang
tepat untuk menjaga keanekaragaman hayati.
Konvensi ini memiliki tiga tujuan utama yaitu:29
i) Konservasi terhadap keanekaragaman hayati,
ii) Pemanfaatan berkelanjutan dari komponen keanekaragaman hayati
tersebut melalui akses ke sumber genetik tersebut,
iii) Alih teknologi yang tepat guna, dengan pembiayaan yang memadai.
iv) Pembagian yang adil terhadap keuntungan yang didapat dari
pemanfaatan komponen sumber daya
3.2.1. Pasal yang terkait dengan perdangangan
Walaupun tidak mengatur secara langsung,namun ada beberapa pasal dalam CBD
yang berakitan dengan perdagangan, terutama yang mengatur tentang, sumber daya genetik
(Genetic Resources). Pasal yang terkait dengan perdagangan adalah pasal 15 tentang akses
terhadap sumber daya genetik :30
1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the authority to
determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to
national legislation.
2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate access to
genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to
impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention.
3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by a
Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19, are only those that are
29
Konvensi Keanekaragaman Hayati,1992, pasal 1
30
CBD Pasal 15
provided by Contracting Parties that are countries of origin of such resources or by the Parties
that have acquired the genetic resources in accordance with this Convention.
4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the provisions
of this Article.
5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the
Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined by that Party.
6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific research
based on genetic resources provided by other Contracting Parties with the full participation
of, and where possible in, such Contracting Parties.
7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy measures, as
appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and, where necessary, through the
financial mechanism established by Articles 20 and 21 with the aim of sharing in a fair and
equitable way the results of research and development and the benefits arising from the
commercial and other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing
such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms.
Disini memang disebutkan bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk membatasi akses
dalam sumberdaya genetik, namun dalam prekateknya bisa saja Negara tersebut memberikan
akses asalkan pihak yang membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya sebagai ganti di
berikan akses tersebut.
3.3 Convention on Protection of World Cultural and Natural Heritage31
Konvensi ini dibentuk ketika perang yang terus-menerus berkecamuk di
dunia (Perang Dunia I dan II) mengakibatkan ancaman dan menyebabkan
kerusakan terhadap banyak tempat peninggalan sejarah. Benda benda bersejarah
tersebut tidak hanya rusak namun juga hilang.32
Karena hal tersebutlah maka muncul ide untuk memberikan perlindungan
terhadap situs-situs bersejarah, baik yang tergolong di dalam Warisan Budaya
31
David Hunter, et.al.,International Eviromental Law and Policy (1998), hal 794
32
UNESCO, World Heritage in Young Hands, An Educational Resource Kit for Teachers, (Paris :
UNESCO) halaman 62.
maupun Warisan Alamiah (Cultural and Natural Heritage). International Union
for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan pembentukan sebuah konvensi
internasional yang dapat memberikan perlindungan terhadap situs-situs tersebut.
Pada tahun 1972 dalam konvensi Unites Nations Conference on Human
Environment (UNCHE), sebuah tugas diberikan kepada UNESCO untuk
memperluas rancangan konvensi tersebut, yang kemudian menciptakan The
Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural
Heritage. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1975.
Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan
budaya dunia. Selain itu konvensi bertujuan untuk memastikan keselamatan dan
perlindungan terhadap warisan budaya dunia tersebut.33 Konvensi ini juga
merupakan konvensi yang menggabungkan pengaturan antara warisan alamiah
dan warisan budaya yang dianggap sebagai satu kesatuan warisan bersama dunia
(common heritage of mankind).
3.4. Kyoto Protocol
Dalam Kyoto protocol hal yang bersinggungan dengan perdagangan adalah mengenai
Clean Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara harus mengurangi efek rumah
kaca untuk mencegah Global Warming, namun Negara (maju) yang bisa mengurangi efek
rumah kacanya kurang dari yang targetkan bisa memperjualbelikan “jatah”-nya kepada
Negara yang membutuhkan.
3.5. Basel Convention
Konvensi ini mengatur tentang perdagangan limbah lebih spesifik lagi mengenai
ekspor-impor dan tata cara,pertanggung jawaban apabila terjadi pencemaran, jadi bisa
dikatakan bahwa konvensi ini mengatur tentang perdagangan dan lingkungan sekaligus.
33
<http://www.unesco.org/whc/kit-ratification.htm>.
BAB IV
Analisis Kasus (Tuna Dholpihin Case)
Tuna Dolphin (1991-1992)
A. Isu Kasus
Pada tahun 1991 Amerika Serikat melakukan pelarangan impor terhadap ikan tuna
yang berasal dari Meksiko. Hal ini di sebabkan oleh sikap dari pemerintah Meksiko yang
tidak melakukan upaya atau langkah-langkah untuk mengurangi jumlah lumba-lumba
yang terbunuh di Perairan Tropis Pasisfic Bagian Timur dalam setiap tahunnya sebagai
akibat dari penangkapan ikan tuna.
Meksiko kemudian mengajukan kasus tersebut ke General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT saat ini WTO) yang pada akhirnya diselesaikan menggunakan mekanissme
panel yang berdiri dibawah GATT mana panel memenangkan Meksiko dan membuat
embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat atas impor ikan tuna menjadi tidak sah atau
illegal.
Pengaturan yang dilakukan atas tindakan diskriminasi ini disebabkan oleh tindakan
amerika yang memberlakukan metode pengukuran atas ketahanan atas spesies dholphin
pada proses produksi ikan tuna adalah sebuah alasan yang tidak berdasar dan tidak sesuai
dengan apa yang tercantum dalam ketentuan GATT yang mengantarkan kasus ini dalam
sebuah penyelesaian yang bersifat bilateral antara Amerika dan Meksiko.
B. Deskripsi Kasus
Adalah sebuah sejarah panjang akan matinya lumba-lumba yang tewas di wilayah
kawasan perairan tropis pacific kawasan timur dan hal ini merupakan hal yang sangat penting
dalam eksplotasi yang memiliki karateristik yang bersifat unik akan hubungan antara Dolphin
(lumba-lumba) dengan ikan tuna.
In this zone, the tuna schools swam below the surface swimming Dalam wilayah ini,
sekelompok ikan tuna kolam berenang di bawah permukaan lumba-lumba. Para nelayan
mengambil keuntungan atas hal ini dengan mengembangkan metode penangkapan ikan
dengan menggunakan purse-seine net. Dalam teknik penangkapan tersebut para nelayan juga
menggunakan lumba-lumba untuk melacak, mengejar, dan mengelilingi tuna. Setelah itu para
nelayan menutup setiap jalan keluar yang menyebabkan tertanggakpnya lumba-lumba dan
tuna dalam jaring mereka sedangkan lumba-lumba sendiri banyak yang terbunuh atau terluka
dalam proses ini. Sementara beberapa lainnya tercekik oleh sirip mimbar dan belitan yang
bersifat kebetulan serta yang lainnya hancur oleh berat ikan tuna atau karena melewati blok
kekuasaan selama pengambilan bersih.
Tingkat membunuh awalnya rendah, karena nelayan bisa hanya mengelilingi sebagian
kecil dari sekelompok lumba-lumba. Namun, dengan perkembangan kekuatan hidrolik
Puretic dan jaring kuat lebih ringan, nelayan mulai menggunakan jaring yang lebih besar.
Ukuran jaring dapat mencapai 3 / 4 dari satu mil panjang dan lebih dari 300 meter. Hal ini
memungkinkan para nelayan untuk meningkatkan efisiensi mereka dengan mengelilingi
persentase lebih besar dari tuna dan kawanan lumba-lumba. Dengan ekspansi, memancing di
ETP berubah secara dramatis. perahu-perahu yang digunakan sebelumnya umpan diaktifkan
dengan metode purse-seine, meningkatkan jumlah kematian lumba-lumba (untuk fokus pada
lumba-lumba untuk mencari ikan tuna) dan jumlah tuna yang tertangkap. Pada tahun 1959,
diperkirakan bahwa terdapat 590 ekor hasil tangkapan yang dilakukan pada lumba-lumba.
Pada tahun berikutnya, jumlah ini meningkat menjadi 5,400 ekor dan merupakan standar
hasil tangkapan tertinggi yellowfin tuna dalam seharinya.
Ada beberapa perubahan mekanik lain yang juga meningkatkan efisiensi teknik
penangkapan dengan menggunakan purse-seine. Pertama, kapal cepat diperkenalkan,
mengurangi waktu untuk mengejar. Kemudian, helikopter dan pesawat sayap tetap digunakan
untuk mengurangi waktu yang digunakan untuk mengetahui posisi dari lumba-lumba. Inovasi
ini meningkatkan kapasitas armada hampir lima kali dalam lima belas tahun. Pada tahun
1965, armada menangkap 48.673 ton ikan tuna yang meningkat menjadi 189.426 ton pada
1980.
Dengan peningkatan efisiensi, tingkat kematian lumba-lumba semakin meningkat. US
tuna fishermen realized that their para nelayan tuna Amerika Serikat menyadari bahwa
teknik penangkapan ikan yang mereka lakukan dapat menyebebakan berkuranganya lumbalumba yang mati dalam penangkapan ikan tuna dan dengan itu mereka dapat
mengembangkan teknik yang dapat mengurangi terbunuhnya dan cederanya lumba lumba
sebagai akibat dari penangkapan ikan tuna mereka.
Pertama, mereka menggunakan pengunduran metode di mana kapal akan terbalik
ketika satu-setengah untuk dua-pertiga dari jala itu diambil. Hal ini memungkinkan jaring
tenggelam dan lumba-lumba untuk melarikan diri. Akhirnya, nelayan juga dimasukkan
berawak rakit ke dalam prosedur ini untuk membantu mereka dalam melarikan diri. Kedua,
lebih halus jaring mesh dikembangkan untuk mengurangi kesempatan untuk sirip dan belitan
mimbar. Bahkan dengan nelayan menggunakan teknik tingkat membunuh lumba-lumba tetap
tinggi. Diperkirakan bahwa 300.000 lumba-lumba dibunuh pertahun.
Masyarakat menjadi khawatir dengan harga ini, dan Kongres
menanggapi dengan
melewati Marine Mammal Protection Act pada tahun 1972 (Lihat HAWKSBIL, UDANG,
dan kasus PENYU). Tindakan ini dimaksudkan untuk mengurangi lumba-lumba membunuh
"ke tingkat yang mendekati nol "secara hukum mengharuskan nelayan tuna AS untuk
memasukkan teknik ini. Selain itu, tindakan mendirikan izin pengaturan langit-langit tetap
untuk membunuh lumba-lumba dan membatasi tingkat mengambil untuk spesies yang
terancam punah untuk memastikan ketentuan ini dipatuhi, maka MMPA juga diperlukan
kapal AS yang membawa pengamat federal (lihat Tabel 72-1).
Tabel III-72-1
Asal Kapal di ETP yang
Negara
Nomor
Amerika Serikat
34
Meksiko
43
Venezuela
15
Vanatu
4
Spanyo
l2
Cayman
11
Kosta Rika
1
El Salvador
1
Panama
1
Pemberlakukan MMPA sangat mengurangi jumlah lumba-lumba dibunuh oleh Kapal
AS. Namun, komposisi kapal juga berubah, dan jumlah lumba-lumba membunuh tidak
menurun. Pada tahun 1960-an, kapal AS terdiri 99 persen dari armada ETP, tetapi hanya 34
dari 103 kapal-kapal purse-sein net menggunakan lumba-lumba didaftarkan di Amerika
Serikat. Sisanya 69 terdiri dari kapal asing: dengan 43 dari Meksiko, 15 dari Venezuela, 4
dari Vanatu, 2 dari Spanyol dan satu dari Kepulauan Cayman, Kosta Rika, El Salvador, dan
Panama. Departemen perdagangan memperkirakan tingkat pembunuhan membunuh untuk
kapal ini dua untuk empat kali lebih tinggi (100.000 per tahun) dari US membunuh tarif.
Kongres menjadi khawatir dengan ini membunuh asing tinggi dan pada tahun 1984 itu
memasukkan "ketentuan komparatif" atau Embargo Penyisihan ($ 101 (a) (2))
Mammal Protection Act. Undang-Undang Perlindungan mamalia Laut. Tujuan dari ketentuan
ini adalah untuk penurunan asing membunuh dengan melarang impor yellowfin tuna dari
negara-negara yang tidak memiliki peraturan program dan tingkat kematian dibandingkan
dengan Amerika Serikat.
C. Klaster Hukum
Pada tanggal 25 Januari 1991, Meksiko meminta yang GATT panel resolusi
menentukan legalitas dari Direct AS dan and Perantara Embargo Impor Tuna, Amandemen
Pelly, dan Perlindungan Konsumen Dolphin Information Act. Untuk mengatasi tuduhan ini,
panel diperiksa Pasal III: 1 dan 4 mencegah diskriminasi barang asing; Pasal II: 1
memungkinkan untuk peraturan internal, dan Pasal XI: 1 melarang berdasarkan undangundang GATT baik embargo tuna langsung dan tidak langsung dianggap kuantitatif Namun,
Amerika Serikat bersikeras bahwa larangan adalah peraturan internal yang diperbolehkan
menurut Pasal II: 1. Artikel ini: berlaku untuk produk impor dan sejenisnya domestic dan
dikumpulkan atau diberlakukan dalam kasus jika produk yang diimpor pada saat impor,
adalah tetap dianggap sebagai pajak internal biaya, atau hukum, peraturan atau persyaratan
semacam itu [diizinkan menurut Pasal III].
Dengan kata lain, negara dapat pajak atau mengatur impor produk jika itu tidak
bertentangan dengan Pasal
III. Panel menemukan bahwa agar Pasal III: 1 dan 4 atau II: 1 dapat diterapkan, embargo
harus mengajukan permohonan kepada komposisi produk. MMPA tidak berlaku bagi tuna
tidak mengubah komposisi tuna atau mengatur penjualan tuna. Ini hanya mendiktekan cara
yang di mana produk dipanen. Oleh karena itu embargo tidak termasuk dalam peraturan
internal.
Panel dilanjutkan dengan menyatakan bahwa meskipun larangan MMPA diterapkan
pada produk, mereka masih melanggar Pasal III: 4. Artikel menyatakan bahwa "produkproduk dari satu negara impor untuk negara lain harus diberikan perlakuan yang tidak kurang
menguntungkan.
Oleh karena itulah GATT memenangkan Meksiko dan memutuskan bahwa embargo
yang dilakukan oleh amerika serikta adalah tidak sah/illegal.
TUNA-DOLPHIN II
Sengketa Tuna-Dolphin II timbul seputar peraturan U.S. Marine Mammal Protection
Act 1972 (MMPA)34. Regulasi MMPA bertujuan untuk melindungi populasi lumba-lumba
dari kepunahan. Teknik pemancingan ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) dilakukan
dengan metode purse seining, yaitu menebar jala di bawah kawanan tuna kemudian ditarik
keatas sehingga membentuk kantung penuh ikan tuna. Cara untuk menemukan ikan tuna sirip
kuning yaitu memanfaatkan kebiasaan ikan tersebut untuk berlindung dari ikan hiu dengan
berenang di bawah kawanan lumba-lumba yang berenang di permukaan. Metode purse
seining yang menarik ikan tuna di bawah kawanan lumba-lumba tentu saja berakibat
kawanan lumba-lumba juga ikut terluka atau bahkan mati.
MMPA mewajibkan produksi ikan tuna dan produk turunannya harus dilakukan
dengan cara-cara yang tidak membahayakan lumba-lumba, yang dibuktikan dengan adanya
label “dolphin safe”. MMPA lebih lanjut melarang impor ke Amerika semua bentuk mamalia
laut ataupun produk mamalia laut, serta semua bentuk ikan atau produk ikan yang diambil
dengan melukai mamalia laut35.
MEE dan Belanda pada tahun 1992 mengajukan permohonan pembentukan Dispute
Resolution Panel untuk menyelesaikan sengketa larangan impor produk tuna oleh Amerika36.
Panel untuk menyelesaikan sengketa ini dibentuk pada tanggal 25 Agustus 1992, terdiri dari
seorang ketua dan dua orang anggota yaitu37:
Ketua
: Mr. George A. Maciel
Anggota
: 1. Mr. Winfried Lang
2. Mr. Alan Oxley
Philippe Sounds, “Principles of International Environmental Law 2nd Ed.,, New York, Cambridge
University Press, 2003, h. 953.
34
35
“General Agreement on Tariffs and Trade: Dispute Settlement Panel Report on United States
Restrictions on Imports of Tuna”, International Legal Materials
Vol. 33, No. 4 (Juli 1994), American Society of International Law, h. 846, didapat dari www.jstor.org/, akses
tanggal 1 Desember 2010.
36
37
http://www1.american.edu/TED/TUNA2.HTM, diakses tanggal 1 Desember 2010.
General Agreement on Tariffs and Trade: Dispute Settlement Panel Report on United States
Restrictions on Imports of Tuna”, Op. Cit, h. 844.
Putusan dari Panel yang dikeluarkan dalam Laporan nomor DS29/R tanggal 16 Juni
1994 menyatakan bahwa larangan impor yang dilakukan oleh Amerika telah melanggar
ketentuan GATT. Bagian kesimpulan Laporan Panel tersebut menyatakan sebagai berikut38:
In the light of its findings above, the Panel concluded that the United States import
prohibitions on tuna and tuna products under Section 101 (a) (2) and Section 30S (a)
(1) and (2) of the Marine Mammal Protection Act (the "primary nation embargo")
and under Section 101 (a) (2) (C) of the Marine Mammal Protection Act (the
"intermediary nation embargo") did not meet the requirements of the Note ad Article
III, were contrary to Article XI: 1. and were not covered by the exceptions in Article
XX (b), (g) or (d) of the General Agreement.
Keputusan akhir dari Panel GATT memang mengecewakan bagi rezim hukum
lingkungan internasional karena lebih mementingkan aspek profit dari perdagangan. Namun
jika ditelaah lebih lanjut, putusan ini didasarkan pada pandangan bahwa larangan impor yang
diterapkan Amerika merupakan bentuk non-tarrif barrier.
38
Ibid, h. 899.
BAB V
KESIMPULAN
Pada pemaparan bab-bab sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
hubungan
antar
perdagangan
internasional
dan
kelestarian
lingkungan
seringkali
menimbulkan masalah-masalah. Hal ini dikarenakan adanya konflik kepentingan yang harus
dipertahankan oleh negara-negara. Negara-negara harus menjaga keseimbangan neraca
perdagangannya dengan mendapatkan banyak laba dari perdagangan internasional, namun di
sisi lain, negara juga harus bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian lingkungan secara
global agar tetap terjaga dan terpelihara. Secara khusus, dapat juga disimpulkan bahwa:
1. Konvensi multilateral yang mengatur mengenai masalah lingkungan dan perdagangan
seperti The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan
Convention on Biological Diversity (CBD), United Nation Frame Work on Climate
Change Convention (UNFCCC), Bassel Convention
sudah dapat memberikan
perlindungan yang cukup maksimal, meskipun tidak secara keseluruhan menyertakan
spesies-spesies yang harus dilindungi;
2. World Trade Organization (WTO) pada dasarnya adalah organisasi yang mengatur
mengenai perdagangan internasional di dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa WTO
bukanlah sebuah organisasi yang bersifat pro-lingkungan secara efektif.
3. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam Badan Penyelesaian Sengketa dalam
WTO belum menjadikan masalah lingkungan sebagai pertimbangan yang penting
dalam dunia perdagangan. Akan tetapi putusan tersebut dapat disebabkan adanya sifat
kehati-hatian dari WTO untuk menghindari alasan yang termasuk dalam non trade
barrier
Download