BAB I PENDAHULUAN Seiring berkembangnya zaman, dunia perdagangan internasional telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Negara sebagai salah satu aktor utama dalam perdagangan internasional telah berusaha menyepakati sebuah mekanisme atau aturan agar kegiatan perdagangan ini dapat lancar dan efektif berjalan. Kegiatan perdagangan ini dilakukan oleh setiap negara secara global, maka tercetus sebuah ide untuk membentuk sebuah aturan dalam mengatur bidang perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah satu aturan yang diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas yang berbasis liberalisme ini berpendapat bahwa perdagangan internasional akan bekerja lebih efektif dan menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu dan dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).1 Kemajuan dunia perdagangan dan teknologi yang terjadi tidak selalu memberikan dampak yang positif atau menguntungkan. Salah satu bidang yang terpengaruh oleh kemajuan ini adalah bidang lingkungan. Lingkungan seringkali dikorbankan jika harus beradu melawan keuntungan dari sebuah perdagangan. Masalah lingkungan dan perdagangan ini dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu: (1) ketika perdagangan internasional mempengaruhi keadaan lingkungan domestik dari sebuah negara, (2) ketika perdagangan internasional mempengaruhi masalah ekologi lintas batas negara, dan (3) hubungan perdagangan internasional dengan “kepentingan bersama” (seperti lapisan ozon, jumlah pasokan ikan dan masalah Antartika).2 Timbulnya masalah antara bidang perdagangan dan lingkungan membuat negara-negara dunia untuk menyepakati sebuah aturan dalam menyelesaikan masalah ini. Berbagai upaya yang bersifat ramah lingkungan atau hemat energi diterapkan di berbagai sektor, khususnya pada sector perdagangan dan perindustrian. Negara-negara tidak hanya berhenti dalam tahap praktik-praktik dan dorongan-dorongan saja, Elli Louka. International Environmental Law – Fairness, Effectiveness and World Order, (New York: Cambridge University Press, 2006), pg. 383. 2 Jane Holder and Maria Lee. Environmental Protection, Law and Policy. (New York: Cambridge University Press, 2007), pg. 270. 1 namun mereka juga menetapkan hal ini sebagai sebuah masalah yang harus ditanggapi secara serius, sehingga harus ada sebuah perangkat hukum yang mengatur mengenai hal ini. Dalam perkembangannya, terdapat banyak kesepakatan-kesepakatan dalam bentuk perjanjian mengenai pengaturan hukum lingkungan internasional. Kita dapat mengambil contoh dalam The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan Convention on Biological Diversity (CBD). Makalah ini akan berusaha memberikan pemahaman dan pemaparan hubungan antara perdagangan internasional dengan kelestarian lingkungan, baik dalam tingkat perjanjian multilateral, maupun dalam kerangka GATT/WTO, serta menampilkan salah satu contoh kasus sengketa yang melibatkan aspek perdagangan dan lingkungan, yaitu The Tuna-Dolphin Case. BAB II HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION Sekilas Mengenai WTO WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tariff dan perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut dengan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT memberikan dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:3 1. Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif, dan 2. Membuat kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers). Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran negosiasi (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibuat sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO.4 Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.5 Ketentuan dalam Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan Dalam WTO terdapat berbagai jenis perjanjian-perjanjian yang mengatur mengenai perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tersebut tersebar berbagai ketentuan yang menyangkut mengenai masalah lingkungan. 1. The General Agreement on Tariffs and Trade 3 The United Nations Environment Programme, Division of Technology, Industry and Economics, Economics and Trade Unit and The International Institute for Sustainable Development. Environment and Trade – A Handbook, (Canada: UNEP and IISD, 2000), pg. 21. Philippe Sands and Pierre Klein. Bowett’s Law of International Institutions, 5th ed., (London: Sweet and Maxwell, 2001), pg. 116. 4 5 Article IV 1994 Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) a. Pasal I dan III: Non-diskriminasi (Non-discrimination) Dalam GATT, terdapat dua prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip pertama adalah most-favoured nation (MFN) yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO lainnya.6 Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga kepada (i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan dan formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya, dan peraturan domestik dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah produk.7 Prinsip kedua adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara. b. Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan (Quantitative restrictions and licenses) Pasal XI GATT memberikan berbagai pembatasan-pembatasan bagi negara peserta dalam hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat menggunakan berbagai pembatasan selain quota impor/ekspor perizinan dan berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor/impor barang.8 c. Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan Pasal XX GATT ini berbunyi: Article XX General exceptions “Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement Article I GATT, “…any advantage, favour, privilege, or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.” 6 7 Patricia Birnie and Alan Boyle. International Law & The Environment, (New York: Oxford University Press, 2002), pg.699. 8 The United Nations Environment Programme, op. cit., pg. 29. shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures: ... (b) necessary to protect human, animal or plant life or health; ... (g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; ... ” Pasal XX GATT merupakan pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan dengan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua pengecualian dalam perdagangan dengan dasar perlindungan lingkungan, yaitu: 1. Keperluan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan atau tanaman...(butir b); 2. Berhubungan dengan konservasi sumber daya alam yang terbatas, jika upaya tersebut dibuat secara efektif dalam hubungan dengan pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir g). Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara diharuskan:9 1. Membuktikan adanya sebuah kebutuhan untuk melindungi lingkungannya sendiri; 2. Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan dalam rangka melakukan perlindungan tersebut; dan 3. Jika sebuah upaya yang berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka harus dipastikan upaya tersebut merupakan pembatasan perdagangan pada tingkat paling rendah dalam mencapai tujuan perlindungan lingkungan. Syarat kedua dan ketiga merupakan sebuah tes atau ujian untuk menentukan apakah memang dibutuhkan sebuah pengendalian perdagangan dalam rangka melindungi lingkungan. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi dampak besar yang diakibatkan dari upaya-upaya perlindungan lingkungan serta mengindari penggunaan isu lingkungan sebagai kedok dalam penggunaan 9 Ibid. pembatasan atau penghambat dalam perdagangan. Meskipun demikian, alasanalasan terhadap isu lingkungan sangat sulit untuk dijelaskan, karena keterbatasan fakta ilmiah yang dapat diberikan. Namun salah satu bentuk upaya yang berhasil dalam ranah WTO adalah dalam Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan pada tahun 1998 dihadapan WTO Appelate Body. Dalam putusannya, kasus ini diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah dampak yang mempengaruhi udara dan air atau dampak terhadap spesies yang terancam bahaya dan spesies yang berpindah tempat (migratory). Dalam butir g, dibutuhkan adanya suatu hukum dalam rangka konservasi sumber daya alam yang terbatas. Hukum ini juga harus memberikan definisi mengenai jenis-jenis dari sumber daya alam yang digolongkan terbatas. Hukum yang ada secara bersama diimplementasikan dengan pembatasan-pembatasan pada tingkat domestik, baik pada segi manajemen, produksi, atau konsumsi yang bertujuan untuk konservasi sumber daya alam yang terbatas tersebut. Keseluruhan pengaturan dalam Pasal XX ini harus memenuhi unsur dalam klausul pembukaan yang umumnya diistilahkan sebagai The Chapeau. The Chapeau ini menyatakan bahwa, meskipun sebuah tindakan atau upaya dapat dikategorikan dalam pengecualian Pasal XX, akan tetap bersifat melawan hukum menurut The Chapeau, apabila terdapat (i) diskriminasi yang sewenang-wenang dan tidak dibenarkan antara negara-negara lain yang berada dalam kondisi yang sama dan (ii) sebuah kedok pembatasan dalam perdagangan internasional. 2. The Agreement on Technical Barriers to Trade Perjanjian ini mengatur mengenai batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat diberlakukan dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk memberlakukan standar teknis suatu barang maupun jasa sesuai dengan ukuran nasionalnya masing-masing, dan mengatur agar standar tersebut tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.10 Dalam The Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai lingkungan sebagai salah satu technical barriers dalam perdagangan internasional adalah Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Syamsul Ma’arif, “WTO sebagai Organisasi Perdagangan” dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed.). Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 149. 10 “Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.” 3. The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) Perjanjian ini memberikan standar-standar yang dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan dan tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat perpindahan tanaman, hewan dan bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yang ingin dicapai oleh mayoritas negara-negara adalah dari:11 1. Resiko yang berasal dari hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yang masuk ke dalam wilayah negaranya bersama produk-produk yang diperdagangkan; dan 2. Resiko dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan herbisida, racun, obat untuk hewan dalam bahan makanan, minuman atau pakan hewan. Kesepakatan ini juga mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tersebut dapat dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar yang sudah berlaku secara internasional.12 Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok mengenai pengaplikasian SPS ini terdapat pada Annex A Definitions “Sanitary or phytosanitary measure — Any measure applied: 11 The United Nations Environment Programme, op. cit., pg 31. 12 Ma’arif, op. cit., hal 151. (a) to protect animal or plant life or health within the territory of the Member from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases, disease-carrying organisms or disease-causing organisms; (b) to protect human or animal life or health within the territory of the Member from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing organisms in foods, beverages or feedstuffs; (c) to protect human life or health within the territory of the Member from risks arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from the entry, establishment or spread of pests; or (d) to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the entry, establishment or spread of pests.” Ketiga perjanjian di atas merupakan perjanjian inti atau yang terpenting dalam pengaturan mengenai lingkungan dan perdagangan. Meskipun demikian, terdapat pula perjanjianperjanjian lainnya dalam WTO yang juga menyinggung mengenai masalah lingkungan dan perdangangan, yaitu Agreement on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement on TradeRelated Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) dan General Agreement on Trade in Services (GATS). Committee on Trade and The Environment Pada bulan April 1994, sebuah pertemuan diadakan di Marrakesh yang dihadiri menteri-menteri anggota negara GATT. Pertemuan ini berhasil mengadopsi sebuah Keputusan mengenai Perdagangan dan Lingkungan (Decisions on Trade and the Environment) untuk mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan dan lingkungan melalui sistem perdagangan multilateral.13 Keputusan ini kemudian menghasilkan pembentukan Committee on Trade and The Environment (CTE). CTE ini didirikan sekaligus untuk menggantikan peran GATT Group on Environmental Measures and International Trade. Pada dasarnya CTE bertujuan untuk mengkaji hubungan timbal-balik antara perdagangan internasional dengan isu lingkungan hidup 14 dan merekomendasi apakah diperlukan sebuah modifikasi terhadap sistem perdagangan multilateral untuk (a) mendorong Communication from the Chairman of the GATT Trade Negotiations Committee, “Decision on Trade and Environment “, GATT Doc. MTN.TNC/W/141, 29 March 1994 seperti yang dikutip dalam sands 13 14 Ma’arif, op cit., hal. 159. interaksi positif antara perdagangan dan lingkungan, (b) menghindari upaya perdagangan protektionis dengan memastikan ketanggapan terhadap tujuan-tujuan lingkungan dari Agenda 21 dan Deklarasi Rio, dan (c) memantau perdagangan dalam tujuan untuk kebaikan lingkungan, memantau aspek-aspek perdagangan dalam upaya-upaya melestarikan lingkungan dan meningkatkan efektifitas implementasi dari “kedisiplinan multilateral” dalam mengatur upaya-upaya tersebut.15 Secara garis besar, terdapat 10 tugas yang diberikan kepada CTE dalam menanggapi isu lingkungan dan perdagangan ini, yaitu:16 1. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan upaya perdagangan dalam tujuan kelestarian lingkungan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian lingkungan multilateral; 2. Hubungan antara kebijakan lingkungan mengenai perdagangan dan pengupayaan kelestarian lingkungan dengan dampak penting dalam perdagangan dan ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral; 3. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan: a. Pembiayaan dan pajak yang bertujuan untuk lingkungan, b. Persyaratan-persyaratan yang ditujukan untuk lingkungan dalam produkproduk, termasuk standarisasi dan aturan teknis, pegemasan, pelabelan dan daur ulang; 4. Ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral sehubungan dengan transparansi perdagangan dalam tujuan kelestarian lingkungan; 5. Hubungan antara mekanisme penyelesaian sengketa dalam sistem perdagangan multilateral dan dalam ketentuan perjanjian multilateral mengenai lingkungan; 6. Dampak pengupayaan kelestarian lingkungan dalam akses pasar, khususnya dalam hubungan negara-negara berkembang, khususnya pada negara-negara yang paling terbelakang dalam pembangunan; 7. Masalah eskpor dalam barang-barang yang dilarang secara domestik; 8. Ketentuan yang berhubungan dengan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights; 15 Philippe Sands Principles of International Environmental Law, 2nd ed., (New York: Cambridge University Press, 2003) pg. 951. 16 GATT Ministerial Decision, 1994 1267-9. 9. Program kerja yang diberikan oleh Decision on Trade in Services and the Environment; 10. Menyertakan badan-badan yang relevan dalam hubungan dengan organisasi antarpemerintah dan non-pemerintah. Penyelesaian Sengketa dalam WTO Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT 1947, yaitu pada Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan berbagai perjanjian dan keputusan yang dibuat, yaitu: 1. The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII; 2. The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979; 3. The Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial Declaration of 29 November 1982; 4. The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984. Perubahan yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa adalah ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak berhasil. Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.17 WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa dalam WTo harus melalui beberapa tahap, yaitu:18 1. Konsultasi (Consultation) 17 Lihat Bagian G Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. 18 The United Nations Environment Programme, op. cit., pg. 33. Para peserta diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih dahulu. Jika dalam 60 hari tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta DSB untuk mendirikan sebuah Panel. 2. Panel (The Panel) Panel terdiri dari 3 orang dalam memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau adanya upaya banding. 3. Banding (Appeal) Banding diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih secara acak). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari. 4. Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation) Anggota yang terbukti melanggar, harus melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota tersebut gagal menjalankan kewajibannya (dalam jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat bernegoisasi untuk menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap tidak berhasil, maka pihak yang menang dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya. BAB 3 Konvensi dalam Hukum Lingkungan Internasional yang Berkaitan dengan perdagangan Selain WTO ternyata perjanjian tentang perdagangan duga di atur dalam beberapa konvensi yang behubungan dengan lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk lebih mengatur perdagangan agar sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hal ini diatur dalam pasal 12 Deklarasi Rio. 3.1. Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES) 3.1.1 Latar Belakang CITES CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington D.C. yang ketika itu penandatangan konvensi ini berjumlah 21 negara. Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah. Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang. Konvensi yang sudah telah diratifikasi oleh 173 negara19, sejak Oman meratifikasinya pada tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife. Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk mencegah dan membatasi perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yang terancam punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tersebut tidak hanya melindungi flora, namun juga fauna yang terancam kepunahan.Spesies-spesies 19 Parties of the Convention , <http://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.shtml>, ang memiliki kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga appendiks yang terdapat di dalam CITES20,dan spesies tersebut menjadi subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor.21 Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan dari peserta konvensi yang menyadari bahwa berbagai variasi satwa dan tumbuhan liar yang ada merupakan bagian dari sistem ekosistem bumi yang tidak terpisahkan. Hal tersebutlah yang membuat mereka harus dilindungi untuk generasi sekarang dan yang akan dating.22 Spesies-spesies tersebut memiliki nilai penting dalam estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, dan ekonomi.23 Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional.24dan sejak berlaku pada tahun 1975, tak ada lagi seekor spesies pun yang mengalami kepunahan.25 3.1.2. Pengklasifikasian Spesies Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah suatu spesies terancam punah (ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara umum menurut CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :26 1. Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat perdagangan yang dilakukan (Annex I) 2. 20 Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran akan William C. Burns, “CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species of Flora: A Critical Appraisal”, 8 Dick. J. Int'l L. 203, 208-10 (1990). 21 Laura H. Kosloff and Mark C. Trexler, “The Convention on International Trade in Endangered Species: Enforcement Theory and Practice in the United States”, 5 B.U. Int'l L.J. 327 (1987). 22 Butir 1 Konsiderans CITES 23 Butir 2 Konsiderans CITES 24 Butir 4 konsiderans CITES “A Symbol needs saving” <http://www.un.org,> 25 26 Pasal 2 CITES mengalami kepunahan (Annex II) 3. Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah kepunahan akibat perdagangan (Annex III) 3.1.3. Pengaturan dan Klasifikasi perdagangan Secara keseluruhan, CITES merupakan konvensi yang berlaku sebagai panduan umum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan segala jenis tumbuhan dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan oleh negara anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota, konferensi negara peserta, hubungan antara hukum internasional dan peraturan domestik, dan amandemen terhadap konvensi itu sendiri. Konvensi ini membagi perlindungan ke dalam tiga bagian yang termasuk di dalam appendiks I, II, dan III yang setiap appendiks menunjukan status spesies tersebut. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies yang terancam yang mungkin diakibatkan oleh perdagangan internasional. Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks IIIadalah kategori spesies yang diatur dalam regulasi atau peraturan nasional negara anggota untuk menghindari ancaman terhadap kepunahan. 3.1.3 Sistem Perizinan Internasional 3.1.4.1. Pemberian izin ekspor dan impor CITES memiliki sebuah mekanisme perizinan yang harus dipenuhi oleh negara anggotanya dalam melakukan ekspor dan impor terhadap suatu spesies tertentu yang termasuk di dalam daftar perlindungan CITES.27 Izin yang diberikanpun berbeda-beda pada setiap spesies tergantung pada kategorisasi terhadap spesies tersebut dalam apendiks CITES. Dalam konvensi ini terdapat tiga kelas kategorisasi terhadap spesies-spesies tersebut; A. Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks I Patricia Birne and Alan Boyle,International Law and the Environment (Oxford University Press :2002), hal 459 27 Segala spesies yang tercantum di dalam apendiks ini pada prinsipnya tidak boleh diperdagangkan . Spesies-spesies yang tercantum di dalam apendiks pertama ini terancam oleh kepunahan akibat atau yang dapat diakibatkan oleh perdagangan.28 Untuk spesies yang tercantum di dalam apendiks I tidak dapat diperdagangkan kecuali untuk keadaan luar biasa, dan izin untuk melakukan ekspor harus dibuktikan melalui export permits yang dikeluarkan oleh management authority negara pengekspor. Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor harus memenuhi syarat (hal ini berlaku juga pada negara yang hendak melakukan ekspor ulang / re-export) : (1) Pihak otoritas negara pengekspor telah memberikan nasehat bahwa ekspor spesies tersebut tidak akan melukai spesimen yang akan diekspor. (2) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yang diperoleh bukanlah hasil dari penangkapan yang melanggar hukum perlindungan spesies liar. (3) Pada proses pengapalan, harus dibuktikan bahwa kepada pihak otoritas manajemen bahwa tidak akan ada resiko terjadinya luka pada spesimen tersebut. (4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga harus meyakini bahwa izin impor atas spesimen tersebut telah diberikan oleh otoritas negara pengimpor. Dalam kasus ekspor ulang, nasihat dari otoritas ilmiah tidak diperlukan. Import permit dapat dikeluarkan oleh management authority CITES apabila persyaratan yang diatur dalam pasal III ayat 3, yaitu: (1) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah menasehati bahwa impor dilakukan bukan untuk tujuan melukai spesimen tersebut; (2) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah yakin bahwa negara penerima sudah siap memberikan tempat perlindungan dan 28 CITES, pasal II (1) perawatan; (3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor tersebut bukan untuk tujuan komersial. B. Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks II Apendiks II meliputi spesies yang saat ini belum terancam oleh kepunahan, namun sangat rentan terhadap kepunahan apabila perdagangan atas spesies ini tidak direlgulasi dan dilakukan pencegahan. Dalam hal perizinan untuk melakukan ekspor dan impor ketentuan yang belaku untuk spesies dalam apendiks II ini lebih ringan, yaitu hanya dengan memenuhi segala persyaratan pengekspor saja, namun tidak membutuhkan import permit. C. Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks III Apendiks III merupakan kategori spesies yang dimasukan dalam daftardaftar negara anggota CITES, di mana para anggota merasa bahwa spesies tersebut perlu dilindungi dan dibutuhkan kerjasama internasional untuk melindunginya. Dalam persyaratan spesies dalam apendiks III hanya membutuhkan export permit saja, dan tidak membutuhkan import permit. 3.1.4.2 Pengecualian persyaratan Selain pengaturan di atas, terdapat pengecualian terhadap ketentuanketentuan terhadap perdagangan terhadap hewan yang termasuk di dalam apendiks I, II, dan III. Persyaratan yang harus dipenuhi menurut pasal VIII adalah : 1) Spesimen terdapat di dalam teritori negara peserta dan dalam keadaan transit, dan spesimen berada di bawah pengawasan dinas pabean; 2) Ketentuan dalam pasal III, IV, dan V tidak berlaku terhadap spesimen yang memiliki akibat–akibat terhadap personal atau persoalan rumah tangga. Atas pengecualian ini, juga terdapat pengecualian, yaitu bahwa pengecualian tidak berlaku jika : a. Dalam kasus spesimen dalam apendiks I, spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar negara tempat kediamannya, dan diimpor ke dalam negara tersebut. b. Dalam kasus spesimen dikategorikan di dalam apendiks II, : i. Spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar negara tempat kediamannya dan dalam suatu negara di mana pemindahan dari alam bebas dilakukan; ii. Spesimen tersebut diimpor ke dalam negara kediaman pemiliknya; iii. Negara di mana terjadi pemindahan dari alam bebas menuntut pengabulan export permit terlebih dahulu sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan. 3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tersebut dimasukkan ke dalam salah satu apendiks CITES; 4) Spesimen yang merupakan hasil dari penangkaran juga dikecualikan, spesimen yang didapatkan dari hasil penangkaran hendaknya dianggap sebagai spesimen dari spesies yang berada apendiks II; 5) Pengecualian juga berlaku jika otoritas manajemen negara pengekspor meyakini bahwa setiap spesimen dari spesies tumbuhan dan satwa merupakan hasil penangkaran atau pengembangbiakan secara sengaja; 6) Spesimen sebagai bagian dari museum, ekspor untuk eksebisi, sirkus, sepanjang didaftarkan pada otoritas manajemen negara yang bersangkutan. 3.2. Covention on Biological Diversity (CBD) Konvensi ini pertama kali berlaku pada tanggal 29 Desember 2003. Berbeda dengan konvensi-konvensi lainnya yang pada umunya mengatur mengenai perlindungan dan konservasi pada spesies dan habitat tertentu atau hanya berlaku pada suatu wilayah regional tertentu, CBD mengatur perlindungan alam secara internasional dan lebih menyeluruh. Pengertian “Biological Diversity” sangatlah luas. Dalam pasal 8 CBD mengatur mengenai konservasi in-situ (Konservasi di dalam habitat aslinya) dan pasal 9 mengatur mengenai konservasi ex-situ (konservasi di luar habitat asli dari spesies tersebut), misalnya kebun binatang. Pasal 8 CBD menyatakan bahwa : (a) “Establish a system of protected area or areas where social measures need to be taken to consever biological diversity (b) Develop,…, guidelines for the selection, establishment and management of protected area or areas…” Melalui konvensi ini negara peserta didorong untuk membentuk kawasan konservasi dan mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pembentukan, dan pengelolaan. Kawasan konservasi dilihat sebagai cara yang tepat untuk menjaga keanekaragaman hayati. Konvensi ini memiliki tiga tujuan utama yaitu:29 i) Konservasi terhadap keanekaragaman hayati, ii) Pemanfaatan berkelanjutan dari komponen keanekaragaman hayati tersebut melalui akses ke sumber genetik tersebut, iii) Alih teknologi yang tepat guna, dengan pembiayaan yang memadai. iv) Pembagian yang adil terhadap keuntungan yang didapat dari pemanfaatan komponen sumber daya 3.2.1. Pasal yang terkait dengan perdangangan Walaupun tidak mengatur secara langsung,namun ada beberapa pasal dalam CBD yang berakitan dengan perdagangan, terutama yang mengatur tentang, sumber daya genetik (Genetic Resources). Pasal yang terkait dengan perdagangan adalah pasal 15 tentang akses terhadap sumber daya genetik :30 1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the authority to determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to national legislation. 2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention. 3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by a Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19, are only those that are 29 Konvensi Keanekaragaman Hayati,1992, pasal 1 30 CBD Pasal 15 provided by Contracting Parties that are countries of origin of such resources or by the Parties that have acquired the genetic resources in accordance with this Convention. 4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the provisions of this Article. 5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined by that Party. 6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific research based on genetic resources provided by other Contracting Parties with the full participation of, and where possible in, such Contracting Parties. 7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy measures, as appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and, where necessary, through the financial mechanism established by Articles 20 and 21 with the aim of sharing in a fair and equitable way the results of research and development and the benefits arising from the commercial and other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms. Disini memang disebutkan bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk membatasi akses dalam sumberdaya genetik, namun dalam prekateknya bisa saja Negara tersebut memberikan akses asalkan pihak yang membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya sebagai ganti di berikan akses tersebut. 3.3 Convention on Protection of World Cultural and Natural Heritage31 Konvensi ini dibentuk ketika perang yang terus-menerus berkecamuk di dunia (Perang Dunia I dan II) mengakibatkan ancaman dan menyebabkan kerusakan terhadap banyak tempat peninggalan sejarah. Benda benda bersejarah tersebut tidak hanya rusak namun juga hilang.32 Karena hal tersebutlah maka muncul ide untuk memberikan perlindungan terhadap situs-situs bersejarah, baik yang tergolong di dalam Warisan Budaya 31 David Hunter, et.al.,International Eviromental Law and Policy (1998), hal 794 32 UNESCO, World Heritage in Young Hands, An Educational Resource Kit for Teachers, (Paris : UNESCO) halaman 62. maupun Warisan Alamiah (Cultural and Natural Heritage). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan pembentukan sebuah konvensi internasional yang dapat memberikan perlindungan terhadap situs-situs tersebut. Pada tahun 1972 dalam konvensi Unites Nations Conference on Human Environment (UNCHE), sebuah tugas diberikan kepada UNESCO untuk memperluas rancangan konvensi tersebut, yang kemudian menciptakan The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1975. Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan budaya dunia. Selain itu konvensi bertujuan untuk memastikan keselamatan dan perlindungan terhadap warisan budaya dunia tersebut.33 Konvensi ini juga merupakan konvensi yang menggabungkan pengaturan antara warisan alamiah dan warisan budaya yang dianggap sebagai satu kesatuan warisan bersama dunia (common heritage of mankind). 3.4. Kyoto Protocol Dalam Kyoto protocol hal yang bersinggungan dengan perdagangan adalah mengenai Clean Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara harus mengurangi efek rumah kaca untuk mencegah Global Warming, namun Negara (maju) yang bisa mengurangi efek rumah kacanya kurang dari yang targetkan bisa memperjualbelikan “jatah”-nya kepada Negara yang membutuhkan. 3.5. Basel Convention Konvensi ini mengatur tentang perdagangan limbah lebih spesifik lagi mengenai ekspor-impor dan tata cara,pertanggung jawaban apabila terjadi pencemaran, jadi bisa dikatakan bahwa konvensi ini mengatur tentang perdagangan dan lingkungan sekaligus. 33 <http://www.unesco.org/whc/kit-ratification.htm>. BAB IV Analisis Kasus (Tuna Dholpihin Case) Tuna Dolphin (1991-1992) A. Isu Kasus Pada tahun 1991 Amerika Serikat melakukan pelarangan impor terhadap ikan tuna yang berasal dari Meksiko. Hal ini di sebabkan oleh sikap dari pemerintah Meksiko yang tidak melakukan upaya atau langkah-langkah untuk mengurangi jumlah lumba-lumba yang terbunuh di Perairan Tropis Pasisfic Bagian Timur dalam setiap tahunnya sebagai akibat dari penangkapan ikan tuna. Meksiko kemudian mengajukan kasus tersebut ke General Agreement on Tariffs and Trade (GATT saat ini WTO) yang pada akhirnya diselesaikan menggunakan mekanissme panel yang berdiri dibawah GATT mana panel memenangkan Meksiko dan membuat embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat atas impor ikan tuna menjadi tidak sah atau illegal. Pengaturan yang dilakukan atas tindakan diskriminasi ini disebabkan oleh tindakan amerika yang memberlakukan metode pengukuran atas ketahanan atas spesies dholphin pada proses produksi ikan tuna adalah sebuah alasan yang tidak berdasar dan tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam ketentuan GATT yang mengantarkan kasus ini dalam sebuah penyelesaian yang bersifat bilateral antara Amerika dan Meksiko. B. Deskripsi Kasus Adalah sebuah sejarah panjang akan matinya lumba-lumba yang tewas di wilayah kawasan perairan tropis pacific kawasan timur dan hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam eksplotasi yang memiliki karateristik yang bersifat unik akan hubungan antara Dolphin (lumba-lumba) dengan ikan tuna. In this zone, the tuna schools swam below the surface swimming Dalam wilayah ini, sekelompok ikan tuna kolam berenang di bawah permukaan lumba-lumba. Para nelayan mengambil keuntungan atas hal ini dengan mengembangkan metode penangkapan ikan dengan menggunakan purse-seine net. Dalam teknik penangkapan tersebut para nelayan juga menggunakan lumba-lumba untuk melacak, mengejar, dan mengelilingi tuna. Setelah itu para nelayan menutup setiap jalan keluar yang menyebabkan tertanggakpnya lumba-lumba dan tuna dalam jaring mereka sedangkan lumba-lumba sendiri banyak yang terbunuh atau terluka dalam proses ini. Sementara beberapa lainnya tercekik oleh sirip mimbar dan belitan yang bersifat kebetulan serta yang lainnya hancur oleh berat ikan tuna atau karena melewati blok kekuasaan selama pengambilan bersih. Tingkat membunuh awalnya rendah, karena nelayan bisa hanya mengelilingi sebagian kecil dari sekelompok lumba-lumba. Namun, dengan perkembangan kekuatan hidrolik Puretic dan jaring kuat lebih ringan, nelayan mulai menggunakan jaring yang lebih besar. Ukuran jaring dapat mencapai 3 / 4 dari satu mil panjang dan lebih dari 300 meter. Hal ini memungkinkan para nelayan untuk meningkatkan efisiensi mereka dengan mengelilingi persentase lebih besar dari tuna dan kawanan lumba-lumba. Dengan ekspansi, memancing di ETP berubah secara dramatis. perahu-perahu yang digunakan sebelumnya umpan diaktifkan dengan metode purse-seine, meningkatkan jumlah kematian lumba-lumba (untuk fokus pada lumba-lumba untuk mencari ikan tuna) dan jumlah tuna yang tertangkap. Pada tahun 1959, diperkirakan bahwa terdapat 590 ekor hasil tangkapan yang dilakukan pada lumba-lumba. Pada tahun berikutnya, jumlah ini meningkat menjadi 5,400 ekor dan merupakan standar hasil tangkapan tertinggi yellowfin tuna dalam seharinya. Ada beberapa perubahan mekanik lain yang juga meningkatkan efisiensi teknik penangkapan dengan menggunakan purse-seine. Pertama, kapal cepat diperkenalkan, mengurangi waktu untuk mengejar. Kemudian, helikopter dan pesawat sayap tetap digunakan untuk mengurangi waktu yang digunakan untuk mengetahui posisi dari lumba-lumba. Inovasi ini meningkatkan kapasitas armada hampir lima kali dalam lima belas tahun. Pada tahun 1965, armada menangkap 48.673 ton ikan tuna yang meningkat menjadi 189.426 ton pada 1980. Dengan peningkatan efisiensi, tingkat kematian lumba-lumba semakin meningkat. US tuna fishermen realized that their para nelayan tuna Amerika Serikat menyadari bahwa teknik penangkapan ikan yang mereka lakukan dapat menyebebakan berkuranganya lumbalumba yang mati dalam penangkapan ikan tuna dan dengan itu mereka dapat mengembangkan teknik yang dapat mengurangi terbunuhnya dan cederanya lumba lumba sebagai akibat dari penangkapan ikan tuna mereka. Pertama, mereka menggunakan pengunduran metode di mana kapal akan terbalik ketika satu-setengah untuk dua-pertiga dari jala itu diambil. Hal ini memungkinkan jaring tenggelam dan lumba-lumba untuk melarikan diri. Akhirnya, nelayan juga dimasukkan berawak rakit ke dalam prosedur ini untuk membantu mereka dalam melarikan diri. Kedua, lebih halus jaring mesh dikembangkan untuk mengurangi kesempatan untuk sirip dan belitan mimbar. Bahkan dengan nelayan menggunakan teknik tingkat membunuh lumba-lumba tetap tinggi. Diperkirakan bahwa 300.000 lumba-lumba dibunuh pertahun. Masyarakat menjadi khawatir dengan harga ini, dan Kongres menanggapi dengan melewati Marine Mammal Protection Act pada tahun 1972 (Lihat HAWKSBIL, UDANG, dan kasus PENYU). Tindakan ini dimaksudkan untuk mengurangi lumba-lumba membunuh "ke tingkat yang mendekati nol "secara hukum mengharuskan nelayan tuna AS untuk memasukkan teknik ini. Selain itu, tindakan mendirikan izin pengaturan langit-langit tetap untuk membunuh lumba-lumba dan membatasi tingkat mengambil untuk spesies yang terancam punah untuk memastikan ketentuan ini dipatuhi, maka MMPA juga diperlukan kapal AS yang membawa pengamat federal (lihat Tabel 72-1). Tabel III-72-1 Asal Kapal di ETP yang Negara Nomor Amerika Serikat 34 Meksiko 43 Venezuela 15 Vanatu 4 Spanyo l2 Cayman 11 Kosta Rika 1 El Salvador 1 Panama 1 Pemberlakukan MMPA sangat mengurangi jumlah lumba-lumba dibunuh oleh Kapal AS. Namun, komposisi kapal juga berubah, dan jumlah lumba-lumba membunuh tidak menurun. Pada tahun 1960-an, kapal AS terdiri 99 persen dari armada ETP, tetapi hanya 34 dari 103 kapal-kapal purse-sein net menggunakan lumba-lumba didaftarkan di Amerika Serikat. Sisanya 69 terdiri dari kapal asing: dengan 43 dari Meksiko, 15 dari Venezuela, 4 dari Vanatu, 2 dari Spanyol dan satu dari Kepulauan Cayman, Kosta Rika, El Salvador, dan Panama. Departemen perdagangan memperkirakan tingkat pembunuhan membunuh untuk kapal ini dua untuk empat kali lebih tinggi (100.000 per tahun) dari US membunuh tarif. Kongres menjadi khawatir dengan ini membunuh asing tinggi dan pada tahun 1984 itu memasukkan "ketentuan komparatif" atau Embargo Penyisihan ($ 101 (a) (2)) Mammal Protection Act. Undang-Undang Perlindungan mamalia Laut. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk penurunan asing membunuh dengan melarang impor yellowfin tuna dari negara-negara yang tidak memiliki peraturan program dan tingkat kematian dibandingkan dengan Amerika Serikat. C. Klaster Hukum Pada tanggal 25 Januari 1991, Meksiko meminta yang GATT panel resolusi menentukan legalitas dari Direct AS dan and Perantara Embargo Impor Tuna, Amandemen Pelly, dan Perlindungan Konsumen Dolphin Information Act. Untuk mengatasi tuduhan ini, panel diperiksa Pasal III: 1 dan 4 mencegah diskriminasi barang asing; Pasal II: 1 memungkinkan untuk peraturan internal, dan Pasal XI: 1 melarang berdasarkan undangundang GATT baik embargo tuna langsung dan tidak langsung dianggap kuantitatif Namun, Amerika Serikat bersikeras bahwa larangan adalah peraturan internal yang diperbolehkan menurut Pasal II: 1. Artikel ini: berlaku untuk produk impor dan sejenisnya domestic dan dikumpulkan atau diberlakukan dalam kasus jika produk yang diimpor pada saat impor, adalah tetap dianggap sebagai pajak internal biaya, atau hukum, peraturan atau persyaratan semacam itu [diizinkan menurut Pasal III]. Dengan kata lain, negara dapat pajak atau mengatur impor produk jika itu tidak bertentangan dengan Pasal III. Panel menemukan bahwa agar Pasal III: 1 dan 4 atau II: 1 dapat diterapkan, embargo harus mengajukan permohonan kepada komposisi produk. MMPA tidak berlaku bagi tuna tidak mengubah komposisi tuna atau mengatur penjualan tuna. Ini hanya mendiktekan cara yang di mana produk dipanen. Oleh karena itu embargo tidak termasuk dalam peraturan internal. Panel dilanjutkan dengan menyatakan bahwa meskipun larangan MMPA diterapkan pada produk, mereka masih melanggar Pasal III: 4. Artikel menyatakan bahwa "produkproduk dari satu negara impor untuk negara lain harus diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan. Oleh karena itulah GATT memenangkan Meksiko dan memutuskan bahwa embargo yang dilakukan oleh amerika serikta adalah tidak sah/illegal. TUNA-DOLPHIN II Sengketa Tuna-Dolphin II timbul seputar peraturan U.S. Marine Mammal Protection Act 1972 (MMPA)34. Regulasi MMPA bertujuan untuk melindungi populasi lumba-lumba dari kepunahan. Teknik pemancingan ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) dilakukan dengan metode purse seining, yaitu menebar jala di bawah kawanan tuna kemudian ditarik keatas sehingga membentuk kantung penuh ikan tuna. Cara untuk menemukan ikan tuna sirip kuning yaitu memanfaatkan kebiasaan ikan tersebut untuk berlindung dari ikan hiu dengan berenang di bawah kawanan lumba-lumba yang berenang di permukaan. Metode purse seining yang menarik ikan tuna di bawah kawanan lumba-lumba tentu saja berakibat kawanan lumba-lumba juga ikut terluka atau bahkan mati. MMPA mewajibkan produksi ikan tuna dan produk turunannya harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak membahayakan lumba-lumba, yang dibuktikan dengan adanya label “dolphin safe”. MMPA lebih lanjut melarang impor ke Amerika semua bentuk mamalia laut ataupun produk mamalia laut, serta semua bentuk ikan atau produk ikan yang diambil dengan melukai mamalia laut35. MEE dan Belanda pada tahun 1992 mengajukan permohonan pembentukan Dispute Resolution Panel untuk menyelesaikan sengketa larangan impor produk tuna oleh Amerika36. Panel untuk menyelesaikan sengketa ini dibentuk pada tanggal 25 Agustus 1992, terdiri dari seorang ketua dan dua orang anggota yaitu37: Ketua : Mr. George A. Maciel Anggota : 1. Mr. Winfried Lang 2. Mr. Alan Oxley Philippe Sounds, “Principles of International Environmental Law 2nd Ed.,, New York, Cambridge University Press, 2003, h. 953. 34 35 “General Agreement on Tariffs and Trade: Dispute Settlement Panel Report on United States Restrictions on Imports of Tuna”, International Legal Materials Vol. 33, No. 4 (Juli 1994), American Society of International Law, h. 846, didapat dari www.jstor.org/, akses tanggal 1 Desember 2010. 36 37 http://www1.american.edu/TED/TUNA2.HTM, diakses tanggal 1 Desember 2010. General Agreement on Tariffs and Trade: Dispute Settlement Panel Report on United States Restrictions on Imports of Tuna”, Op. Cit, h. 844. Putusan dari Panel yang dikeluarkan dalam Laporan nomor DS29/R tanggal 16 Juni 1994 menyatakan bahwa larangan impor yang dilakukan oleh Amerika telah melanggar ketentuan GATT. Bagian kesimpulan Laporan Panel tersebut menyatakan sebagai berikut38: In the light of its findings above, the Panel concluded that the United States import prohibitions on tuna and tuna products under Section 101 (a) (2) and Section 30S (a) (1) and (2) of the Marine Mammal Protection Act (the "primary nation embargo") and under Section 101 (a) (2) (C) of the Marine Mammal Protection Act (the "intermediary nation embargo") did not meet the requirements of the Note ad Article III, were contrary to Article XI: 1. and were not covered by the exceptions in Article XX (b), (g) or (d) of the General Agreement. Keputusan akhir dari Panel GATT memang mengecewakan bagi rezim hukum lingkungan internasional karena lebih mementingkan aspek profit dari perdagangan. Namun jika ditelaah lebih lanjut, putusan ini didasarkan pada pandangan bahwa larangan impor yang diterapkan Amerika merupakan bentuk non-tarrif barrier. 38 Ibid, h. 899. BAB V KESIMPULAN Pada pemaparan bab-bab sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hubungan antar perdagangan internasional dan kelestarian lingkungan seringkali menimbulkan masalah-masalah. Hal ini dikarenakan adanya konflik kepentingan yang harus dipertahankan oleh negara-negara. Negara-negara harus menjaga keseimbangan neraca perdagangannya dengan mendapatkan banyak laba dari perdagangan internasional, namun di sisi lain, negara juga harus bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian lingkungan secara global agar tetap terjaga dan terpelihara. Secara khusus, dapat juga disimpulkan bahwa: 1. Konvensi multilateral yang mengatur mengenai masalah lingkungan dan perdagangan seperti The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan Convention on Biological Diversity (CBD), United Nation Frame Work on Climate Change Convention (UNFCCC), Bassel Convention sudah dapat memberikan perlindungan yang cukup maksimal, meskipun tidak secara keseluruhan menyertakan spesies-spesies yang harus dilindungi; 2. World Trade Organization (WTO) pada dasarnya adalah organisasi yang mengatur mengenai perdagangan internasional di dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa WTO bukanlah sebuah organisasi yang bersifat pro-lingkungan secara efektif. 3. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam Badan Penyelesaian Sengketa dalam WTO belum menjadikan masalah lingkungan sebagai pertimbangan yang penting dalam dunia perdagangan. Akan tetapi putusan tersebut dapat disebabkan adanya sifat kehati-hatian dari WTO untuk menghindari alasan yang termasuk dalam non trade barrier