bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Asertivitas
2.1.1
Definisi Asertivitas
Menurut Jakubowski (1976) asertivitas adalah perilaku yang melibatkan
membela hak-hak pribadi dan mengekspresikan pikiran, perasaan, dan
keyakinan secara langsung, jujur, dan dalam cara yang layak tanpa melanggar
hak-hak pribadi orang lain. Jakubowski (1976) juga mengatakan bahwa Perilaku
asertif melibatkan respect bukan deference. Deference adalah bertindak dengan
cara tunduk seolah-olah seseorang dianggap tepat atau lebih baik hanya karena
orang tua lebih tua, lebih kuat, berpengalaman, dan berpengetahuan atau dari
seks yang berbeda atau wajah.
Asertivitas juga diartikan sebagai kemampuan mengkomunikasikan
opini-opini, kebutuhan, keinginan, minat, perasaan dan lain-lainnya secara jelas
kepada orang lain dalam cara yang tidak defensif dan tidak mengancam
(Condliffe, 1995). Condliffe (1995) mengatakan orang-orang asertif cenderung
respect terhadap diri mereka dan hak pribadi mereka, mereka memiliki
keseimbangan hubungan yang baik dengan perasaan buruk lebih sedikit.
Menurut Rathus dan Nevid (1983) aspek-aspek dari perilaku asertif terdiri dari
berusaha mencapai tujuan, kemampuan mengungkapkan perasaan, menyapa atau
memberi salam kepada orang lain, menampilkan cara yang efektif dan jujur,
menanyakan alasan, bicara mengenai diri sendiri, menghargai pujian dari orang
lain, penolakan, menatap lawan bicara, dan respon melawan rasa takut.
Galassi & Galassi (dalam Aliyati, 2013) menyatakan bahwa asertivitas
adalah pengungkapan secara langsung kebutuhan, keinginan dan pendapat
seseorang tanpa menghukum, mangancam atau menjatuhkan orang lain.
Menurut Albert dan Emmons (dalam Marini 2005) secara detail menyebutkan
bahwa asertivitas merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang bertindak
sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas,
7
8
mengekspresikan
perasaan
secara
jujur
dan
nyaman,
ataupun
untuk
menggunakan hak-hak pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Menurut
William (2000) asertivitas melibatkan empat komponen yaitu perasaan (mampu
untuk mengekspresikan secara langsung, jujur, dan dalam cara yang layak),
kebutuhan, hak-hak (respect terhadap hak pribadi maupun hak orang lain), dan
opini (pendapat untuk membela diri).
Jadi asertivitas adalah perilaku membela hak-hak pribadi, mengutarakan
keinginan,
kebutuhan,
dan
pendapat
seseorang
tanpa
maksud
untuk
mengesampingkan hak-hak orang lain
2.1.2
Aspek Perilaku Asertif
Menurut Palmer & Froehner (2002) asertivitas dapat diuraikan kedalam
beberapa aspek berikut:
1. Permintaan
Asertivitas dalam aspek permintaan adalah kemampuan individu dalam
mengajukan permintaan seperti;
mampu untuk meminta bantuan atau
pertolongan kepada yang dikehendakinya secara wajar baik itu kepada teman
ataupun kepada orang lain. Mampu untuk meminta tanggung jawab kepada
temannya (meminta pertanggungjawaban teman ketika buku yang dipinjamnya
hilang atau rusak). Selain itu individu yang asertif juga menyadari bahwa setiap
orang memiliki hak yang sama, baik itu hak untuk memenuhi keinginan,
kebutuhan dan lain sebagainya maka individu yang asertif mampu untuk
mengajukan haknya kepada orang lain. Mampu meminta penjelasan, serta
mampu mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga berani untuk
meminta maaf.
2. Penolakan
Asertivitas dalam aspek penolakan adalah, mampu menampilkan cara
yang efektif dan jujur dalam menyatakan ‘tidak’, pada ketidaksetujuannya
terhadap saran ataupun pendapat orang lain. Misalnya tidak ragu untuk berkata
‘tidak’ atas saran atau pendapat dari orang lain hanya karena untuk solidaritas.
9
Selain itu, individu yang asertif tidak ragu dan takut untuk berkata ‘tidak’ pada
ajakan atau permintaan orang lain yang menurutnya tidak layak untuk disetujui,
misalnya mampu menolak ajakan tawuran, ajakan memakai obat terlarang yang
dapat merugikan dirinya sendiri.
3. Pengekspresian diri
Asertivitas
dalam
aspek
pengekspresian
diri
adalah,
mampu
mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dengan jujur dan langsung
mengenai ketidaknyamanannya terhadap orang tersebut, seperti menyatakan
kekesalannya secara efektif ketika diusili oleh teman-temannya agar mereka
tidak semakin menjadi-jadi. Individu yang asertif dapat mengekspresikan
pikirannya dengan menyatakan pendapat atau ide kepada orang lain seperti
berani menyatakan pendapatnya ketika sedang dalam diskusi kelompok.
Individu yang asertif dapat memberikan kritik kepada orang lain namun juga
tetap mempertimbangkan perasaannya serta mampu menerima kritik secara
bijaksana.
4. Pujian
Asertivitas dalam aspek ini adalah, kemampuan dalam menerima dan
memberi pujian kepada orang lain dengan cara yang sesuai, yaitu dengan
mengucapkan terima kasih apabila menerima pujian, dan tidak segan ataupun
malu untuk memberi pujian kepada orang lain.
5. Berperan dalam pembicaraan
Asertivitas dalam aspek ini ialah, memulai atau berinisiatif didalam
pembicaraan seperti memulai pembicaraan dalam suatu diskusi kelas ataupun
memulai pembicaraan dengan orang lain yang belum dikenalnya. Mampu
mengakhiri pembicaraan serta mampu untuk ikut serta didalam pembicaraan
10
secara efektif, yaitu tidak menampilkan tingkah laku diam, dan tidak
mensabotase pembicaraan yang sedang berlangsung.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Menurut Rakos (1991, dalam Samsi 2012) faktor–faktor yang
mempengaruhi perilaku asertif, di antaranya yaitu:
a. Kebudayaan. Rakos (1991), kebudayaan mempunyai peran yang
besar dalam mendidik perilaku asertif. Biasanya kebudayaan
berkaitan atau berhubungan dengan norma-norma, di mana setiap
kebudaayaan mempunyai aturan atau norma yang berbeda dan
perbedaan ini mempengaruhi perbedaan pribadi individu.
b. Gender. Rakos (1991), jenis kelamin lebih dipengaruhi oleh stereotip
masyarakat di mana anak perempuan memiliki sifat yang femininim,
pasif, manis dan pasrah. Sedangkan laki-laki lebih bersifat maskulin,
aktif, dominan dan rasional. Oleh karena itu, laki-laki dianggap lebih
asertif dari pada perempuan.
c. Tipe Kepribadian. Rathus & Nevid (dalam Annisa, 2010), seseorang
akan bertingkahlaku berbeda dengan individu yang lainnya.
d. Kemampuan komunikasi. Rakos (1991), komunikasi akan membuat
kita dapat memahami apa yang dimaksud orang lain melalui katakata, dengan begitu kita dapat mengekspresikan perilaku asertif
dengan bebas dan langsung.
e. Lingkungan sekitar. Rathus & Nevid (dalam Anniza), dalam
berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam artian
luas. Lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku asertif seperti
keluarga, sekolah, dan tempat kerja (Alberti & Emmons, 2002: 22)
2.2
Asertivitas Seksual
Menurut Morokoff (1997, dalam Leclerc, Bergeron, Brassard, Belanger,
Steben, Lambert 2013) Asertivitas Seksual didefinisikan sebagai kemampuan
yang utama dalam perkembangan kesehatan seksualitas, melindungi individu
dari perilaku seksual beresiko. Asertivitas Seksual juga didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan seksual dan menginisiasi
11
perilaku seksual dengan partner seks (Shafer, 1997; Menard & Offman, 2009).
Morokoff (1997) menkonsepkan tiga dimensi yang terdapat pada asertivitas
seksual, dimana dimensi-dimensi ini merupakan bagian dari dimensi
Asertivitas secara umum, yaitu sebagai berikut :
1.
Initiation, salah satu dimensi asertivitas seksual dimana individu
berkemauan atau berkeinginan terlebih dahulu untuk melakukan
aktivitas atau pengalaman seksual baik yang diinginkannya
2.
Refusal, kemampuan individu untuk berani melakukan penolakan
terkait dengan aktivitas seksual yang tidak diinginkannya.
3.
STD-Pregnancy Prevention, Dimensi ketiga dari asertivitas seksual
dimana pada dimensi ini ingin mengetahui baik insiatif dan
penolakan dalam aktivitas seksual yang dikaitkan dengan topik
khusus dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana inidividu dapat
menghindari diri dan mencegah dampak negatif dari perilaku seks
tidak sehat seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit
menular seksual (PMS)
2.3
Risk Taking Behavior
Risk taking didefinisikan sebagai suatu situasi dimana individu membuat
keputusan yang melibatkan pilihan berbagai alternatif keinginan yang berbeda;
outcome dari pilihan yang tidak pasti dimana terdapat kemungkinan dari
adanya suatu kesalahan (Beebe, 1983 dalam Burgucu dkk, 2010)
Menurut DiClemente, Hansen, & Ponton (1996) Risk di definisikan
kemungkinan kerugian sesuatu yang berharga dan di butuhkan. Risk-taking
melibatkan perilaku yang beresiko. Risk taking di definisikan sebagai gagasan
bahwa perilaku di lakukan secara sengaja, dengan kesadaran. DiClemente,
Hansen, & Ponton (1996) mengatakan istilah risk taking behaviour telah
digunakan untuk menghubungkan, mengkonseptualisasikan sejumlah perilaku
yang dapat merusak kesehatan diantaranya penggunaan obat-obatan, perilaku
seksual beresiko, penggunaan kendaraan yang berbahaya, perilaku kejahatan,
dan gangguan makanan.
12
Selain itu risk taking juga di definisikan sebagai segala perilaku yang di
lakukan secara sadar maupun tidak sadar dengan ketidakpastian akan hasil
yang akan di rasakan ataupun manfaat dan kerugian yang akan di alami baik
secara fisik, kesejahteraan psiko sosial bagi diri sendiri dan orang lain
(Trimpop, 1994). Yates (1992) menyatakan bahwa risk bersifat subyektif
karena setiap individu memiliki persepsi yang berbeda mengenai hal-hal yang
mereka anggap beresiko. Risk juga dianggap sebagai perilaku yang mengancam
yang dapat membahayakan nyawa atau kesehatan seseorang.
Dalam The psychology of risk (www.tmsconsulting.com) Risk taking
mengacu pada proses memutuskan apakah akan terlibat dalam perilaku atau
aktivitas yang individu anggap memiliki potensi kehilangan dalam rangka
mendapatkan sesuatu yang individu inginkan atau individu nilai.
Byrnes
(1999) mengatakan bahwa risk taking melibatkan implementasi dari berbagai
pilihan yang dapat mengarahkan individu pada konsekuensi yang negative.
Pilihan pilihan tersebut mencakup perilaku yang dipertanyakan dimana
perilaku tersebut dapat mengahsilkan lebih dari satu outcome dan beberapa
outcome tersebut adalah sesuatu yang tidak dinginkan atau bahkan berbahaya.
Berdasarkan definisi diatas, risk taking behaviour adalah keterlibatan
seseorang terhadap perilaku beresiko dengan menimbang berbagai pilihan yang
dapat mengarahkan individu pada konsekuensi yang negatif atau tidak pasti.
2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risk-Taking Behavior
Faktor-faktor yang mempengaruhi risk-taking behavior, menurut
Gullone dkk (dalam Christia, 2001, dalam Hamzah 2010) antara lain
1. Belief tentang resiko
Belief tentang resiko pada seseorang dapat menentukan apakah
orang tersebut akan melakukan risk-taking behavior atau tidak. Semakin
seseorang
mempersepsikan
tindakan
beresiko,
semakin
besar
kecenderungan untuk tidak melakukan tindakan tersebut.
2. Jenis Kelamin
Keterlibatan dalam risk-taking behavior secara besar di pengaruhi
oleh jenis kelamin. Para wanita cenderung memiliki persepsi bahwa
13
suatu tindakan dapat beresiko lebih tinggi, dibandingkan dengan pria
yang diri mereka sebagai individu yang istimewa, unik, dan kebal
terhadap hal-hal yang beresiko
3. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang cukup mempengaruhi
seseorang melakukan risk-taking behavior. Seseorang yang cenderung
berusia lebih mudah mempersepsikan bahwa resiko dari risk-taking
behavior mereka tidaklah besar sehingga kemungkinan mereka terlibat
lebih tinggi daripada yang berusia lebih tua atau dewasa.
4. Kepribadian
Tipe kepribadian yang seringkali berkaitan erat dengan risktaking behavior adalah ekstrovert. Sebagian besar orang dengan tipe
kepribadian ekstrovert diketahui memiliki sensation seeking yang tinggi,
dan risk taking behavior biasanya dilakukan oleh seseorang yang
memiliki sensation seeking yang tinggi. (Little dan Zuckerman, dalam
Schwatrz dan Fouts, 2003).
2.4
Sexual risk taking behavior
Sexual risk taking behavior adalah perilaku yang mengindikasikan
perilaku seksual beresiko dan dapat meningkatkan kecenderungan individu untuk
terlibat dalam resiko berbahaya seperti resiko sexually transmitted infections dan
unplanned pregnancy (Turchik & Garske, 2008). Sexual risk taking behavior
merupakan bagian dari perilaku seksual pranikah yang dilakukan secara tidak
aman karena dapat menimbulkan resiko terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan dan penyakit menular seksual (Pratiwi & Basuki, 2011).
Terdapat beberapa aspek dari sexual risk taking behavior menurut Turchik
& Garske (2008), antara lain sebagai berikut Penggunaan obat-obatan terlarang
atau alkohol sebelum melakukan aktivitas seksual; Casual sex, yaitu seks yang
dilakukan diluar konteks hubungan romantis atau seringkali diasosiasikan sebagai
nonrelationship sex; dan Unprotected sex. Dalam hal ini perilaku yang
diindikasikan sebagai unprotected sex adalah penggunaan alat kontrasepsi untuk
14
mencegah kehamilan dan resiko penyebaran penyakit seksual menular selama
sexual intercourse. Dalam penelitiannya, Turchik (2008) membagi ketiga aspek
tersebut kedalam empat faktor yaitu sebagai berikut :
1.
Sexual Risk with Uncommitted Partner, item pada faktor ini
mendeskripsikan perilaku seksual beresiko dengan orang lain yang tidak
memiliki hubungan atau status resmi, dengan partner yang tidak
diketahui dengan baik sebelumnya, dan dengan partner yang tidak
dipercayai sebelumnya
2.
Risky sex acts, item-item pada faktor ini mendeskripsikan
aktivitas seksual baik sexual intercourse maupun oral seks dengan atau
tanpa menggunakan kondom
3.
Impulsive
sexual
behaviors,
item-item
pada
faktor
ini
mendeskripsikan impulsivitas dan keterlibatan dalam perilaku seksual
yang tidak direncanakan
4.
Intent to engage in risky sexual behaviors, item-item pada faktor
ini mendeskripsikan keinginan atau niatan untuk terlibat dalam perilaku
2.5
Kerangka Berpikir
Remaja merupakan suatu tahap periode perkembangan dimana Individu
berada pada masa transisi dari anak-anak menuju ke tahap dewasa awal
(Sarwono, 2002). Individu yang dikategorikan sebagai remaja adalah mereka
yang berusia 13-24 tahun. Remaja terbagi atas tiga domain, yaitu awal, madya,
dan akhir.
Remaja tidak lepas dari isu-isu sosial dan bahkan isu-isu sosial justru
kerap kali terjadi pada kelompok ini. Remaja rentan untuk terlibat dalam
perilaku yang kerapkali dikaitkan dengan kenakalan dan perilaku beresiko.
Perilaku beresiko ini salah satunya adalah perilaku seksual pranikah (Sarwono,
2011).
Perilaku seksual dikalangan remaja saat ini sangat memprihatinkan,
pasalnya bukan hanya perilaku tersebut mereka lakukan pada usia dini, namun
perilaku tersebut dilakukan secara tidak aman sehingga menempatkan individu
15
nya terkena resiko yang akan membahayakan dirinya (Pratiwi & Basuki, 2011).
Perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja saat ini tergolong dalam
perilaku seksual pranikah yang beresiko karena para individu yang
melakukannya mengalami hal-hal negatif seperti kehamilan yang tidak
diinginkan dan penyebaran menakit menular seksual.
Perilaku seksual pranikah yang diolongkan beresiko ini dinamakan
dengan istilah sexual risk taking behavior. Novtriani (2013) mengatakan bahwa
adanya sexual risk taking behaviour yang terjadi pada remaja tidak akan terjadi
apabila remaja memiliki self skill untuk dengan berprinsip tidak melakukan hal
tersebut. Hasil penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa semua itu
berkaitan dengan kemampuan remaja untuk bersikap asertif.
Dalam konteks seksual, konsep asertivitas seksual telah dikembangkan
sebagai suatu pemahaman dari startegi komunikasi yang digunakan oleh
individu khususnya perempuan untuk melindungi kesehatan seksual dan
kemandirian yang dapat diasumsikan bahwa perempuan memiliki hak atas tubuh
mereka dan hak untuk mengekspresikan seksualitas mereka (Rickert, Sanghvi, &
Wiemann, 2002).
Perempuan biasanya cenderung pasif dan tidak memiliki kesempatan
untuk bersikap asertif mengenai minat seksual dengan melakukan inisiasi
seksual (Morokoff, 1997). Wanita perlu untuk bersikap asertif terhadap pria
mengenai minat seksual karena merujuk pada penelitian sebelumnya wanita
yang memiliki asertivitas seksual yang rendah dapat menjadi korban kekerasan
seksual dan dapat merusak suatu hubungan romantis dengan partnernya
(Reichert et al., 2002; Rosenbaum & O'Leary, 1981; Stoner et al., 2008)
16
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Download