MODUL 4 Arkeologi di era budaya siber "visual dalam dunia siber" Modul 4 ini, adalal modul pertama yang membahas tentang arkeologi visual di dunia siber. Keseluruhan bahan pada modul ini bersumber dari beragam situs di internet, yang ditujukan untuk mengantarkan peserta mata kuliah pada pemahaman tentang visual dan dunia siber. Dalam situs di internet, yaitu www.My PersonalLibaryOnline.com “Internet” (inter-network) didenefisikan sebagai jaringan komputer yang menghubungkan situs akademik, pemerintahan, komersil, oerganisasi, maupun perorangan. Sementara The US Supreme Court mendefisikan internet sebagai internasional network off interconnected computers, (Reno V ACLU, dalam Ari Juliano Gema) artinya jaringan internasional dari komputerkomputer yang saling berhubungan. Internet telah mengahadirkan realitas kehidupan baru kepada umat manusia. Internet telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas, yang berjarak berkilo-kilo meter dari tempat kita berada. Di dalam sebuah internet kita dapat melakukan transaksi bisnis, ngobrol, belanja, belajar dan berbagai aktivitas lain layaknya dalam kehidupan nyata. Seiring dengan semakin populernya inter-Net sebagai “the network of the network”, masyarkat penggunanya (internet global community) seakan-akan mendapati suatu duia baru yang dinamakan Cyber Space. Sebagaimana William Gibson mempopulerkan dalam novel sci-fi-nya “Neuromancer” yang merupakan khayalan tentang adanya alam lain pada saat teknologi telekomunikasi dan informatika bertemu. Howard Rheingold menyatakan, Cyber Space atau dunia siber adalah Sebuah “Ruang Imajiner” atau “Maya” yang bersifat artivisial, dimana setia orang melakukan apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru. Berkaiatan dengan cyber space ini Agus Raharjo mengatakan, cyber spacesesungguhnya merupakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer(computer mediated comunication). Dunia ini menawarkan realita baru dalam kehidupan manusia yang disebut dengan realitas virtual (maya). Internet telah membuat manusia-manusia (sebagai pengguna) mampu menjelajah ruang maya ke mana-mana, berkomunikasi dengan beragam informasi global, memasuki jagad perbedaan dan linta etnis, agama, politik, budaya, dan lain sebagainya. Manusia diajak bercengkerama, berdialog, dan mengasah ketajaman nalar dan psikologisnya dengan alam yang hanya tampak pada layar, namun sebenarnya mendeskripsikan realitas kehidupan manusia. Dalam Wikipedia disebutkan Dunia maya atau dunia siber (bahasa Inggris: cyberspace) adalah media elektronik dalam jaringan komputer yang banyak dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal-balik secara online (terhubung langsung). Dunia maya ini merupakan integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan komputer (sensor, tranduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, kontroler) yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi (komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh penjuru dunia secara interaktif. Kata "cyberspace" (dari cybernetics dan space) berasal dan pertama kali diperkenalkan oleh penulis novel fiksi ilmiah, William Gibson dalam buku ceritanya, "Burning Chrome", 1982 dan menjadi populer pada novel berikutnya, Neuromancer, 1984 yang menyebutkan bahwa: Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts... A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding. Kemudian Irwansyah salah seorang Dosen Komunikasi UI dalam blognya secara ringkas menggambarkan tentang cyber space dan cyber culture yaitu, Yang dimaksud dengan cyber space adalah dunia internet, dunia maya, dunia virtual. Dunia tersebut diciptakan manusia sebagai media komunikasi untuk mengatasi kendala ruang dan waktu. Pada awalnya dikembangkan oleh Departmen Pertahanan Amerika pada masa perang dunia II untuk media komunikasi antar laboratorium Pertahanan mereka yang mengembangkan senjata nuklir (Straubhaar, 2010: 247). Saat ini internet telah menjadi bagian dari kehidupan sehari - hari manusia. Manusia berkirim surat dengan email, menelpon dengan Skype atau Facetime, mencari teman dengan Facebook, mencari informasi dengan browsing di situs internet, dan lain sebagainya. Itulah perwujudan dari globalisasi komunikasi. Globalisasi komunikasi terjadi karena adanya perkembangan teknologi, yang menghasilkan media komunikasi yang bersifat global. Era globalisasi teknologi media komunikasi ini ditandai dengan adanya era web 1.0, di mana teknologi komputer dan internet mampu menyajikan informasi berbasis web yang bersifat statis, satu arah (read-only web), cepat, tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Era ini secara lugas disebut Dotcom era. Kemudian pada tahun 1999an, era web 2.0 dimulai dan dikenal dengan era “read-write-publish”. Fitur baru dari era ini adalah memberikan ruang interaksi pada para pengguna internet. Hal ini ditandai dengan banyaknya program interaktif sosial media, seperti Facebook, Blogger, Twitter, You-tube dan sebagainya. Era web 3.0 telah dimulai pada tahun 2013an, di mana era ini sering dikenal dengan “read-write-execute”. Contoh fitur baru yang telah ada misalnya dengan konsep virtual reality (Maria Ayu, 2014). Wow! Yang menggelitik untuk dibahas kali ini adalah di mana ada dunia, pasti ada masyarakat dan di mana ada masyarakat atau kelompok sosial, pasti ada budaya. Masyarakat dunia internet sering kita sebut sebagai Netizen atau internet citizen. Mereka lah pengguna internet, media sosial, jejaring sosial, pembaca berita on-line, dan sebagainya. Pada intinya, netizen adalah semua masyarakat dunia yang melek internet. Kemudian, apakah budaya di dunia internet itu? Secara tipologi, budaya internet disebut cyber culture. Istilah cyber culture ternyata telah banyak dikenal di masyarakat sejak tahun 90an. Saya masih ingat, kita sangat mengenal berbagai istilah dengan embel – embel cyber. Cybercafe, cybercrime, cyborg, cyber-attack dan lain – lain. Hal ini menunjukkan betapa internet/ cyber berada di berbagai lini kehidupan masyarakat. Menurut beberapa kajian, cyber culture merupakan sebuah konsep untuk memahami dampak internet pada masyarakat, di mana kajian tersebut fokus pada analisis budaya dari teknologi komunikasi dan informasi. Bak menjelajah di dunia cyber, tulisan ini mencoba menjelajah logika berpikir dan mencoba menelaah internet dari sudut pandang budaya. Elisenda Ardevol mendefinisikan (1) cyberculture sebagai sebuah model budaya baru yang disebabkan oleh teknologi internet, (2) internet sebagai budaya yang baru muncul, (3) internet sebagai produk budaya yang dikembangkan, (4) internet sebagai media. Ke empat pemahaman akan cyber culture ini terbentuk berdasarkan empat falsafah kultur yaitu, (1) kultur sebagai strategi beradaptasi, (2) kultur sebagai sistem keseluruhan, (3) kultur sebagai suatu simbol, (4) kultur sebagai suatu kebiasaan. Oleh sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa contoh internet sebagai model budaya baru adalah (1) adanya internet sebagai teknologi, (2) munculnya masyarakat dunia baru, (3) adanya perubahan perilaku sosial dan budaya pada tataran masyarakat pengguna internet. Selanjutnya contoh bahwa internet sebagai budaya yang baru muncul, kita dapat lihat (1) adanya dunia maya, (2) adanya masyarakat virtual. Sedangkan internet sebagai produk budaya, dapat kita lihat dari (1) internet merupakan buatan manusia yang berbudaya, (2) produk-produknya bersifat kreatif dan kolaboratif, (3) adanya budaya baru, bernama budaya digital. Yang terakhir internet sebagai bentuk media, dapat dilihat dari fakta bahwa (1) internet sebagai media komunikasi, (2) adanya kebiasaan menggunakannya, (3) suatu media yang menyaingi media massa (Cyberculture: Anthropological perspective of the Internet, 2005). Dari tataran pengguna internet, cyberculture dapat secara sederhana diterjemahkan sebagai budaya di dunia maya. Segala kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dunia maya baik dalam segala bidang dan kegiatan mereka. Cara para netizen berkomunikasi, melakukan transaksi bisnis, mencari hiburan, mencari teman, mengirim pesan, memperkenalkan identitas diri dan eksistensi diri, dan sebagainya. Tentu saja, semua itu membutuhkan perangkat, dan perangkat itu adalah jaringan internet dan computer. Berarti semua kegiatan tadi dilakukan secara online. Contoh kebiasaan para netizen di dunia maya dalam dilihat di (1) blogs, (2) E-Commerce, (3) Game online, (4) Crowdsourcing, (5) Media sosial, (6) Jejaring sosial. Mengapa para netizen ini membentuk kebiasaan atau budaya cyber? Tentu saja karena netizen, selayaknya manusia di dunia nyata, merupakan makhluk sosial juga. Pada prinsipnya, netizen mempunyai naluri ingin berbagi, ingin membangun identitas dan eksistensi diri, serta kredibilitasnya di depan netizen lainnya. Bagaimana para netizen mewujudkan nalurinya tersebut di media yang tersedia di dunia maya? Pertama, kebiasaan yang mudah dilihat adalah identitas virtual netizen. Kecenderungan yang saya lihat, identitas virtual atau yang biasa disebut avatar, cenderung mencerminkan kesan yang ingin ditampilkan pada suatu waktu kepada netizen lain. Oleh sebab itu, kita sering mendengar dengan istilah update profile. Avatar yang diunggah belum tentu menggambarkan kenyataan yang ada. Kadang nama pun menggunakan nama samara atau alias. Kedua, cara para netizen tersebut berkomunikasi. Kebiasaan yang dilakukan saat berkomunikasi adalah menulis komentar dengan saling bergantian. Tidak seperti di dunia nyata, kadang terjadi distorsi pesan karena ada noise karena overlapping percakapan, dunia maya tidak memberikan privilege itu. Percakapan dilakukan secara bergantian. Responnya pun dapat berupa komentar verbal atau pun non-verbal. Verbal berarti komentar berupa tulisan, sedangkan non-verbal menggunakan gamification, seperti emoticon, kata dalam Facebook terdapat symbol Like atau Dislike.Perkenalan pertama menggunakan tombol Request Friend, setelah diterima, maka komentarnya : “Thanks ya udah disapprove, atau Terimakasih boleh gabung. Pada intinya, respon positif atau negative dilakukan dengan pilihan – pilihan emoticon atau tombola tau kotak yang disediakan. Seperti layaknya di dunia nyata, dunia maya pun terdapat kaidah – kaidah sosialnya. Di mana pemilih media sosial atau situs atau jejaring sosial, memberikan batasan – batasan norma tertentu pada saat netizen tersebut pertama kali mendaftar. Konten – konten rasis, pornografi, atau hal – hal yang menyalahi hak kekayaan intelektual tidak diperbolehkan untuk diunggah. Dan apabila netizen melakukan pelanggaran norma – norma cyber culture, ada konsekwensi sosial virtualnya juga. Seperti misalnya, akun-nya dibekukan, atau di-unfriend oleh netizen lain. Mengapa sampai ada cyberspace dan cyberculture? Jawaban singkat adalah manusia seperti dua sisi mata uang, yin and yang, positif dan negatif, idealis dan realis. Cyberspace diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi dan berbagi mereka yang belum terpenuhi/ belum dapat mempunyai wadah di dunia nyata. Mungkin pertanyaan di atas, dapat menjadi kajian yang menarik ya? Pemaparan Irwansyah di blognya tersebut, ditutup dengan pertanyaan cyberspace atau dunia siber dapat menjadi kajian yang menarik ? tentu jawabannya iya dan bagi arkeologi pun merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Adapun relasinya dengan arkeologi visual yaitu terkait dengan kenyataan bahwa dunia siber tidak dapat dilepaskan dari beragam bentuk visual. Tema pembahasan lebih lanjut akan dibahas di Modul 5. Sumber rujukan: https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_maya http://cybercrimedancyberlow.blogspot.co.id/2012/06/bab-iii-cyber-crime-penegakanhukum.html http://www.komunikasi.us/index.php/course/15-komunikasi-teknologi-dan-masyarakat/2678cyber-space-cyber-culture