Vol.14.No.1.Th.2007 Pengaruh Pemberian Dosis Hormon Metiltestoteron Pengaruh Pemberian Dosis Hormon Metiltestosteron yang Berbeda Terhadap Tingkat Keberhasilan Pembentukan Monosex Jantan Ikan Niasa (Psedotropheus auratus) Riza Rahman Hakim* Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan – Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang, Telp. (0341) 464318 Email: [email protected] ABSTRAK Latar belakang: Salah satu cara untuk memproduksi benih tunggal kelamin adalah dengan cara teknologi sex reversal. Suatu penelitian telah dilaksanakan di Laborator ium Perikanan, fakultas Peternakan – Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang, pada bulan Juli – September 2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis hormon metiltestoteron y ang berbeda terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan ikan niasa (Psedotropheus). Metode: Materi yang digunakan adalah benih ikan niasa yang berumur 7 hari. Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan menggunakan 4 perlakuan dosis hormon metiltestosteron yang berbeda, meliputi : A (0 mg/l), B (2,5 mg/l), C (5 mg/l), dan D (7,5 mg/l). Masing masing perlakuan diulang 3 kali. Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis hormon metiltestosteron yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap keberhasilan pembent ukan kelamin jantan maupun kelulushidupan ikan niasa. Persentase keberhasilan pembentukan kelamin jantan dan kelulushidupan yang lebih tinggi diperoleh pada perlakuan C (5 mg/l), yaitu dengan nilai masing -masing 84,81% dan 73,33%. Faktor yang menyebabkan tidak berpengaruhnya perlakuan terhadap pembentukan monosex jantan ikan niasa diduga karena faktor dosis dan lama perendaman yang tergolong masih rendah, serta faktor suhu air yang rendah saat perendaman. Untuk mendapatkan hasil monosex jantan yang optimal sebaiknya digunakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan dan kelulushidupan ikan uji. Selain itu juga dapat menggunakan dosis yang rendah tetapi perendamannya lebih lama. Kata kunci: ikan niasa, sex reversal, hormon metiltestosteron, monosex jantan, kelulu shidupan. The Effect of Metiltestoteron Hormones into Male Sex Forming of Niasa ((Psedotropheus auratus) ABSTRACT Background: Niasa (Psedotropheus auratus) male has better color than female. The sex reversal technique can be used for produce only the male. Methods: This research was done on July – September 2006, in Fisheries Indoor Laboratory at the Animal Husbandry and Fisheries Faculty, Muhammadiyah University of Malang. The purpose of this reseach is to find how different doses of metiltestoteron hormone influences the male sex forming of niasa (Psedotropheus auratus). The method was experiment with Completely Randomized Design (CRD) using four treatments dossage of different metiltestosteron hormone including, A (0 ppm), B (2,5 ppm), C (5 ppm), and D (7,5 ppm). Every treatment was repeated three times. Data analysed with “ANAVA” is continued by “Least Significant Different” (LSD). Result: The result shows that the different dose of metiltestosterone hormone do not give effect to the success of male sex forming and survival rate niasa. The highest percentage of male sex forming and survival rate is the C treatment (5 ppm) which value 84,81% and 73,33%. The predicted factor of this unoptimilized forming of male mono sex of niasa are the minimum dose of the hormone, short time soaking duration factor, and minimum water temperature. To obtain optimum result of male mono sex forming, it is suggested to use optimum temperature for growth and survival rate of niasa. The other predicted factor which can enhanc e the success of this experiment is the use of lower dose of hormone with longer time of soaking. Key words: niasa fish, sex reversal, metiltestosteron hormone, male mono sex, survival rate * Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan – Perikanan, Universitas Muhammadiyah Malang 57 Hakim Jurnal Protein PENDAHULUAN Ikan niasa (Psedotropheus auratus) digolongkan dalam jenis ikan siklid, sama seperti ikan discus maupun ikan lauhan. Di Indonesia ikan niasa ini memiliki prospek yang baik dalam pemasaran karena harganya yang tidak terlalu mahal dan mudah untuk dibudidayakan. Beberapa kelebihan dari ikan niasa ini adalah pertumbuhannya relatif cepat, cara pemeliharaan dan pemijahannya tidak rumit, serta tingkat kelangsungan hidupnya tinggi. Kelebihan dari jenis ikan hias dapat dilihat dari warnanya yang indah, dan kebanyakan jenis ikan hias yang memiliki warna indah adalah dari jenis kelamin jantan, termasuk ikan niasa jantan yang memiliki warna lebih menarik dibanding yang betina. Salah satu cara untuk memproduksi benih tunggal kelamin (monosex) adalah dengan teknologi sex reversal, yaitu pembalikan kelamin yang dilakukan dengan cara pemberian hormon metiltestosteron melalui pakan atau perendaman. Dengan cara ini maka bisa didapatkan monosex jantan saja, sehingga bisa menambah nilai ekonomis ikan niasa dengan menjadikan tampilannya lebih menarik sebagai ikan hias air tawar. Pada ikan hias, metode kultur monosex telah berhasil diterapkan pada ikan rainbow, cupang, guppy dan kongo tetra. Teknik sex reversal juga telah diterapkan pada jenis ikan siklid lain yang masih satu famili dengan ikan niasa, yaitu pada ikan Lau han yang telah dihasilkan monosex jantan hingga 93,3%. Sebagai upaya untuk memberikan terobosan baru pada aplikasi bioteknologi perikanan, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji seberapa besar pengaruh pemberian hormon metiltestosteron dengan dosis yang berbeda pada benih ikan niasa, sehingga akan terlihat pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan pada ikan niasa tersebut. MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 60 hari di Laboratorium Indoor Perikanan, Fakultas Peternakan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang. 58 Materi dan Metode Penelitian Materi yang digunakan antara lain benih ikan niasa yang berumur 7 hari dengan padat tebar masing-masing perlakuan 100 ekor, hormon metiltestosteron untuk pemberian perlakuan selama perendaman 6 jam, alkohol 96%, dan cacing Tubifex untuk memberi pakan benih selama masa pemeliharaan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan 4 perlakuan. Adapun perlakuan yang digunakan adalah hormon metiltestosteron dengan dosis yang berbeda, yaitu: perlakuan A: dosis 0 mg/l, B: dosis 2,5 mg/l, C: dosis 5 mg/l, D: dosis 7,5 mg/l. Setiap perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Rancangan Penelitian dan Analisa Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan ini digunakan karena medium yang digunakan bersifat homogen sehingga yang mempengaruhi hasil penelitian hanyalah perlakuan dan faktor kebetulan saja. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Anava). Jika dari data sidik ragam diketahui bahwa perlakuan menunjukkan pengaruh beda nyata (significant) atau berbeda sangat nyata (highly significant), maka untuk membandingkan nilai antar perlakuan dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). (Gasper’s, 1991). Parameter Uji Pengukuran parameter uji dalam penelitian meliputi: Kelulushidupan (Survival Rate/SR) SR = jumlah ikan niasa pada akhir peneltian (individu) x 100% jumlah ikan niasa pada awal penelitian (individu) Jumlah ikan jantan J (%) jumlah ikan jantan x 100% jumlah sampel Jumlah ikan betina Vol.14.No.1.Th.2007 B (%) Pengaruh Pemberian Dosis Hormon Metiltestoteron kelulushidupan sebesar 100 persen. Sehingga dari analisa sidik ragam diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan dosis dan lama peredaman hormon metiltestosteron tidak berpengaruh terhadap kelulushidupan selama perendaman. jumlah ikan betina x 100% jumlah sampel Pengukuran parameter kualitas air media meliputi: suhu, pH dan oksigen terlarut. 2. Kelulushidupan Selama Pemeliharaan Kelulushidupan ikan niasa selama pemeliharaan 60 hari telah didapatkan data dalam bentuk persen yang disajikan pada tabel 1. berikut ini: HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kelulushidupan Selama Perendaman Kelulushidupan ikan niasa pada perlakuaan selama perendaman 6 jam diperoleh data tiap perlakuan memiliki Tabel 1. Data Kelulushidupan Ikan Niasa (dalam %) Ulangan Perlakuan Dosis 1 2 3 Total A (0 mg/l) B (2,5 mg/l) C (5 mg/l) D (7,5 mg/l) 96 39 66 64 81 69 84 64 53 92 88 35 230 200 238 163 265 66.25 298 74.5 268 67 831 Rerata Setelah data dianalisis sidik ragam diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan pemberian dosis hormon metiltestosteron yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kelulushidupan ikan niasa selama pemeliharaan. Hal ini berarti bahwa nilai ratarata persentase kelangsungan hidup ikan niasa Rerata 76.67 66.67 79.33 54.33 antar perlakuan tidak berbeda nyata satu sama lain. Histogram dari data kelulushidupan ikan niasa selama masa pemeliharaan setelah % ditransformasikan ke dalam Arc sin dapat dilihat pada gambar 1. berikut ini: Pengaruh Dosis Hormon M etiltestosteron Terhadap Kelulushidupan Ikan Niasa Kelulushidupan (%) 70.00 63.11 63.49 56.13 60.00 47.51 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A (0 mg/l) B (2,5 mg/l) C (5 mg/l) D (7,5 mg/l) Dos is Horm on M eti l testosteron Gambar 1. Data Kelulushidupan Ikan Niasa Selama Pemeliharaan Pada grafik di atas terlihat bahwa perlakuan C dengan perendaman dosis hormon metiltestosteron 5 mg/l memberikan hasil persentase kelulushidupan yang lebih tinggi disbanding perlakuan lainnya. Namun jika dilihat dari tingkat kelangsungan hidup masa perendaman yang mencapai 100%, maka rata-rata kelangsungan hidup masa 59 Hakim Jurnal Protein pemeliharaan ini masih tergolong rendah, yaitu di bawah 90%. Tingkat kelangsungan hidup yang rendah ini diduga banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, penanganan (handling), serta padat tebar. Faktor lingkungan yang berpengaruh diantaranya adalah suhu. Suhu selama masa pemeliharaan ikan niasa rata-rata di bawah 220C. Dengan suhu sebesar itu maka kurang optimum untuk media pemeliharaan ikan niasa. Hal ini didukung oleh Lingga dan Susanto (2003), yang menyatakan bahwa suhu untuk pemeliharaan ikan niasa berkisar antara 240 – 270C. Pada masa awal pemeliharaan terlihat banyak ikan niasa yang terserang jamur, sehingga gerakannya lambat kemudian mati. Pada saat penanganan khususnya ketika pemberian pakan diduga masih kurang memuaskan nafsu makan ikan. Meskipun pemberian pakan dengan cacing tubifex dilakukan sebanyak tiga kali sehari, namun nafsu makan ikan masih tinggi. Hal ini sesuai pernyataan Yamazaki (1983) dalam Santoso (2004), bahwa penambahan hormon dapat meningkatkan nafsu makan ikan. Ikan akan makan dan makan terus selama ada makanan. Apalagi dengan kepadatan 100 ekor per akuarium, akan semakin menimbulkan persaingan dalam mendapatkan makanan. Sehingga ikan yang kurang mendapat makanan akan lemas kemudian menimbulkan kematian. Pada saat pemeliharaan juga terdapat beberapa ikan yang mati dengan kondisi tubuhnya hancur, disebabkan dimakan oleh ikan yang lain. Sifat ikan niasa yang omnivora dan suka mempertahankan lingkungan hidupnya bisa memunculkan kanibalisme bila kepadatannya tinggi dan makanan disekitarnya kurang mencukupi. 3. Keberhasilan Pembentukan Kelamin Jantan Data rata-rata persentase pembentukan kelamin jantan benih ikan niasa dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 2. berikut ini: Tabel 2. Data Keberhasilan Pembentukan Kelamin Jantan Ikan Niasa (%) Ulangan Perlakuan Dosis Rerata 1 2 3 A (0 mg/l) B (2,5 mg/l) C (5 mg/l) D (7,5 mg/l) 62.5 82.05 87.88 76.56 65.43 42.03 89.29 92.19 43.4 78.26 77.27 82.86 171.33 202.34 254.44 251.61 288.94 72.235 281.79 70.4475 879.72 Rerata 308.99 77.2475 Setelah data dianalisis sidik ragam diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan dosis hormon metiltestosteron yang berbeda tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan ikan niasa. Hal ini berarti bahwa nilai rata-rata persentase 60 57.11 67.45 84.81 83.87 pembentukan kelamin jantan ikan niasa antar perlakuan tidak berbeda nyata satu sama lain. Histogram dari data pembentukan kelamin jantan ikan niasa yang dihasilkan selama penelitian setelah ditransformasikan % dapat dilihat pada ke dalam Arc sin gambar 2. berikut ini: Vol.14.No.1.Th.2007 Pengaruh Pemberian Dosis Hormon Metiltestoteron Pengaruh Dosis Hormon M etiltestosteron Terhadap Pebentukan Kelamin Jantan Kelamin Jantan (%) 80.00 60.00 67.35 66.78 C (5 mg/l) D (7,5 mg/l) 55.85 49.15 40.00 20.00 0.00 A (0 mg/l) B (2,5 mg/l) Dos is Hor m on M eti l testoster on Gambar 2. Data Pembentukan Kelamin Jantan Ikan Niasa Pada grafik atas terlihat bahwa perlakuan C dengan perendaman dosis hormon metiltestosteron 5 mg/l memberikan hasil persentase keberhasilan pembentukan kelamin jantan yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. 4. Pembentukan Kelamin Betina Hasil penelitian didapatkan data ratarata persentase pembentukan kelamin betina ikan niasa sebagai berikut: Tabel 3. Data Pembentukan Kelamin Betina Ikan Niasa (%) Ulangan Perlakuan Dosis 1 2 3 A (0 mg/l) B (2,5 mg/l) C (5 mg/l) D (7,5 mg/l) 37.5 17.95 12.12 23.44 34.57 57.97 10.71 7.81 56.6 21.74 22.73 17.14 128.67 97.66 45.56 48.39 111.06 27.765 118.21 29.5525 320.28 Rerata 91.01 22.7525 Hasil analisis sidik ragam diperoleh kesimpulan bahwa pemberian dosis hormon metiltestosteron yang berbeda juga tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan kelamin betina ikan niasa. Rerata 42.89 32.55 15.19 16.13 Histogram dari data pembentukan kelamin betina ikan niasa yang dihasilkan selama penelitian setelah ditransformasikan kedalam Arc sin % dapat dilihat gambar 3. berikut ini: Kelamin Betina (%) Pengaruh Dosis Hormon M etiltestosteron Terhadap pembentukan Kelamin Betina 40.85 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 34.15 A (0 mg/l) B (2,5 mg/l) 22.65 23.22 C (5 mg/l) D (7,5 mg/l) Dos is Horm on M eti l testosteron 61 Hakim Jurnal Protein Gambar 2. Data Pembentukan Kelamin Betina Ikan Niasa Pada grafik 3 di atas terlihat bahwa hasil persentase pembentukan kelamin betina yang tertinggi ditemukan pada perlakuan A (dosis 0 mg/l). 5. Pembahasan Pembentukan Kelamin Jantan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon metiltestosteron tidak memberikan pengaruh nyata terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan. Selain itu juga didapatkan tingkat keberhasilan pembalikan kelamin jantan masih di bawah 90%. Rendahnya hasil penelitian ini diduga disebabkan oleh faktor lingkungan khususnya suhu, dimana suhu air media saat penelitian yang rendah yaitu di bawah 220C, sedangkan suhu optimum untuk kehidupan ikan niasa adalah 240 – 270C. Suhu yang rendah ini jelas mempengaruhi kerja metabolisme tubuh ikan niasa sehingga masa sensitivasi gonad terhadap stimulasi hormon berjalan lambat. Shelton et al., (1981) dalam Rustidja (1998) menjelaskan bahwa differensiasi kelamin terjadi lebih lambat bila diberikan pada suhu 210C dibandingkan dengan pemberian pada suhu 300C. Faktor lain yang bisa menyebabkan tidak berpengaruhnya hormon metiltestosteron terhadap keberhasilan pembentukan kelamin jantan ikan niasa adalah dosis dan lama perendaman hormon. Hal ini sesuai pendapat Yamamoto (1969) dalam Guerrero (1982), yang menyatakan bahwa keberhasilan pembentukan kelamin tergantung pada jenis dan dosis hormon, umur ikan (spesies), metode pemberian, waktu kontak dan lama pemberian. Dosis hormon yang dipakai dalam perlakuan pada saat penelitian masih tergolong rendah yaitu 2,5 – 7,5 ppm. Dengan dosis hormon tersebut diduga masih belum efektif untuk mempengaruhi deferensiasi gonad dari betina ke jantan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Zairin (2004), bahwa kecenderungan pemberian dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses sex reversal berlangsung kurang sempurna. Disisi lain dosis yang terlalu tinggi ada kecenderungan ikan akan menjadi steril. 2 Hasil penelitian Santoso (2004), tentang pemberian dosis hormon metiltestosteron yang berbeda terhadap pembentukan kelamin jantan ikan hias Lau han (Cichlasoma sp.) menunjukkan dosis 9 ppm memberikan hasil yang tertinggi sebesar 93,3%, dibandingkan pemberian dosis 6 ppm yang banyak didapati ikan intersex yang menunjukkan proses sex reversal berjalan kurang sempurna. Sedangkan pada pemberian dosis 3 ppm persentase kelamin jantan hanya 53,3% memberikan hasil yang paling rendah. Lama perendaman pada masing-masing perlakuan saat penelitian adalah sama yaitu 6 jam. Lama perendaman ini ternyata juga kurang efektif untuk menstimulasi pembentukan kelamin jantan ikan niasa. Dalam penelitian Kurniawan (2006), tentang pengaruh lama perendaman hormon metiltestosteron terhadap pembentukan kelamin jantan ikan niasa menunjukkan bahwa semakin lama perlakuan perendaman hormon maka memberikan hasil persentase pembentukan kelamin jantan semakin tinggi. Hal ini terlihat pada perlakuan lama perendaman yang tertinggi, yaitu selama 15 jam telah memberikan hasil pembentukan kelamin jantan tertinggi sebesar 100%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selain faktor suhu, diduga faktor pemberian dosis dan lama perendaman yang tergolong rendah pada saat penelitian ini juga dapat memberikan hasil kurang optimalnya kerja hormon dalam mempengaruhi deferensiasi gonad ikan niasa betina ke jantan. Hal ini sesuai pernyataan Mukti dkk., (2002), bila dosis terlalu rendah maka kemampuan hormon untuk sex reversal menjadi berkurang, sehingga hasilnya kurang optimal. Untuk mengatasi hal ini, bila digunakan dosis rendah maka lama perlakuan perendaman diperpanjang. 6. Kualitas Air Sebagai data penunjang dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap parameter kualitas air yang diukur setiap dua minggu sekali selama penelitian berlangsung. Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian yaitu meliputi suhu, derajat Vol.14.No.1.Th.2007 keasaman (pH) dan oksigen terlarut (Disolved Oxygen/DO). a. Suhu Hasil pengukuran suhu selama penelitian menunjukkan bahwa pada semua perlakuan memiliki rata-rata suhu yang rendah, yaitu berkisar antara 21,730C sampai dengan 21,970C. Kisaran suhu ini kurang optimum bagi pemeliharaan ikan niasa karena masih dibawah 240C, hal ini sesuai pernyataan Lingga dan Susanto (2003) bahwa suhu untuk pemeliharaan ikan niasa berkisar antara 240 – 270C. Meskipun pada suhu 210C masih bisa hidup, tetapi pertumbuhannya lambat. b. pH Hasil pengukuran pH selama penelitian menunjukkan kisaran pH yang normal, yaitu pada kisaran pH antara 7,67 - 8. Dengan kisaran pH tersebut sebenarnya masih baik untuk kolam pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sitanggang dan Sarwono (2004) bahwa suatu kolam budidaya yang produktif, pH terbaik adalah antara 6,5 – 8. c. Oksigen Terlarut (DO) Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada saat penelitian berada pada kisaran 5,07 – 5,37 mg/l. Kandungan oksigen terlarut ini sebenarnya masih tergolong rendah untuk pemeliharaan ikan niasa, hal ini sesuai dengan pendapat Bachtiar (2004) bahwa kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pemeliharaan ikan niasa adalah 6 mg/l. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian dosis hormon metiltestosteron yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelulushidupan dan pembentukan kelamin jantan ikan niasa. Diduga faktor dosis dan lama perendaman yang rendah, serta suhu sangat mempengaruhi proses keberhasilan dalam monosex jantan ikan niasa. Pengaruh Pemberian Dosis Hormon Metiltestoteron Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pemberian dosis hormon metiltestosteron yang rendah dan perendaman yang lebih lama, agar bisa diketahui hasil pembentukan kelamin jantan yang lebih optimum. DAFTAR PUSTAKA 1. Bachtiar, Y., 2004. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Untuk Ekspor. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. 2. Gasper, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan. PT. Armico. Bandung 3. Guerrero, R.D., 1982. Sex Use of Androgens For The Production of All Male Tilapia aurea (Steindachner). Reprinted From Transaction of The American Fisheries Society. Vol. 104. 4. Kuncoro, E.B., 2003. Ikan Siklid Jenis, Perawatan, Pemijahan. Penebar Swadaya. Jakarta. 5. Kurniawan, W., 2006. Pengaruh Lama Perendaman Hormon Metiltestosteron Terhadap Tingkat Keberhasilan Pembentukan Monosex Jantan Ikan Niasa (Psedotropheus auratus). Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan-Perikanan UMM. Malang. 6. Lingga, P., dan Susanto H., 2003. Ikan Hias Air Tawar (Edisi Revisi). Penebar Swadaya. Jakarta. 238 hal. 7. Maizar, A.S., dan Setyono, B., 2003. Pengaruh Umur yang Berbeda Pada Larva Ikan Nila (orheocromis sp.) Terhadap Tingkat Keberhasilan Pembentukan Kelamin Jantan Dengan Menggunakan Hormon Metiltestosteron. Fakultas PeternakanPerikanan UMM. 8. Montgomery, R., Dryer. R. L., Conway, R. W., dan Spector A. A., 1983. Biokimia: Suatu Pendekatan Berorientasi-Kasus Jilid 2 Edisi Keempat. Gajah Mada University. Yogyakarta 9. Mukti, A.T., Priambodo, B., Rustidja, dan Widodo, M.S., 2002. Optimalisasi Dosis 63 Hakim Hormon Sintetis 17 α-Metiltestosteron dan Lama Perendaman Larva Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap Keberhasilan Perubahan Jenis Kelamin. 10. http://digilib.brawijaya.ac.id/virtuallibrary/ mlgserial/Pdf% 20Material/Biosain %20Edisi %20 . diakses pada tanggal 15 April 2005 11. Rustidja, 1998. Sex Reversal Ikan Nila. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 12. Santoso, E., 2004. Pengaruh Hormon Metiltestosteron Pada Perendaman Larva 64 Jurnal Protein Lau han (Cichlasoma sp.) dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Keberhasilan Pembentukan Jenis Kelamin Jantan. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas PeternakanPerikanan UMM. Malang 13. Zairin, M. Jr., 2004. Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hal. 14. Zonneveld, N. E. A., Huisman, J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 hal.