KEJURUBAHASAAN - Official Site of NI LUH PUTU SETIARINI

advertisement
KEJURUBAHASAAN
DEFINISI PENERJEMAHAN LISAN
 Interpreting is a term used to refer to the oral translation of a spoken
message or text
 The interpreter has first to listen to speaker, understand and analyze what is
being said and then resynthesize the speech with the appropriate form in a
different language
 Brislin (1976:1)
Interpretation … refers to oral communication situations in which one
person speaks in the source language, an interpreter processes this input
and produces output in a second language, and a third person listens to
the source language version.”
 pengalihbahasaan terjadi dalam setting komunikasi lisan antara komunikator
dan komunikan yang menggunakan bahasa berbeda, sehingga
alihbahasawan bertugas memproses input (Bsu) dari pembicara pertama dan
menghasilkan output dalam versi bahasa (Bsa) yang dipahami oleh orang ke
tiga. Input di sini berbentuk lisan.
 Phelan (2001:6)
pengalihbahasaan :penerjemahan secara lisan apa yang didengar ke dalam
bahasa lain. Ia menambahkan bahwa alihbahasawan terfokus pada gagasan
bukan pada kesepadanan pada tataran kata secara terpisah (ibid: 7).
Seleskovitch (1976:92-93) : pengalihbahasaan yang dituturkan secara langsung,
lebih ditekankan pada kesepadanan ide atau gagasan, daripada kesepadanan
linguistiknya (frasa atau kata). Jadi alihbahasawan berkonsentrasi pada pemilihan
redaksi kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan sesuai waktu dan konteks
pada saat itu, bukan menyampaikan sesuai dengan kata-kata seperti pada
bahasa sumber (Shuttleworth & Cowie, 1997; Arjona, 1978).
 Weber (1984) : “interpretation is the oral transposition of an orally delivered
message at a conference or a meeting from a source language into a
target language, performed in the presence of the participants”.
Pendapat ini lebih menekankan fungsi pengalihbahasaan dalam
menjembatani hambatan komunikasi lisan karena perbedaan bahasa.
Namun pada konteks sekarang kehadiran di sini tidak selalu berada di
tempat dan ruang yang sama.
 Edwards (dalam Kelly, 2005): “Interpetation means the unrehearsed
transmitting of a spoken or signed message from one language to
another.” Edwards lebih menekankan proses pengalihbahasaan ini terjadi
secara langsung atau spontan dan ia tidak terbatas pada bentuk lisan
semata, namun juga dari dan ke bahasa isyarat. Definisi ini mengakomodir
pengalihbahasaan dari bentuk lisan ke bentuk bahasa isyarat karena
beberapa kesamaan, seperti aspek tekanan kognitif dan kecepatan.
 Sementara, Gile (2000:40) menyebutkan, “interpreting is the oral translation
of oral discourse, as opposed to the oral translation or written texts. The
latter is known as sight translation or translation-at-sight.” Gile membatasi
pengalihbahasaan merupakan penerjemahan secara lisan dari wacana
lisan, dan hal ini berbeda dengan penerjemahan lisan dari teks tertulis.
Sehingga sight translation menurut Gile (2000) tidak termasuk
pengalihbahasaan. Hal ini berdasarkan beberapa perbedaannya dengan
pengalihbahasaan - misalnya cognitive stress yang hampir tidak ditemui
pada sight-translation (lihat Gile, 1995: xiii & 183). Namun, ia tetap
memasukkan sight translation sebagai jenis pengalihbahasaan (lihat Gile,
1995:183). Kemungkinan disebabkan kesamaannya disamping
perbedaannya diantara penerjemahan dan pengalihbahasaan (ibid: xiii).
 Pengalih-bahasaan merupakan penggantian bahasa ujaran lisan dan
diproduksi kembali dalam bentuk lisan atau bahasa isyarat. Selain itu,
pengalihbahasaan selalu terjadi dalam setting komunikasi yang
melibatkan paling sedikit dua orang pembicara dan adanya
pendengar/peserta yang memiliki bahasa berbeda dan tidak menutup
kemungkinan bisa lebih dari dua orang. Pengalihbahasaan dapat
melibatkan lebih dari dua bahasa jika yang terlibat dalam komunikasi lintas
bahasa tersebut juga lebih dari dua orang dengan latar bahasa dan
budaya yang jelas berbeda.
KATEGORISASI PENERJEMAHAN LISAN
 Kreser dan Weber (dalam Nababan, 2003: 115) mengklasifikasikan
penerjemahan lisan berdasarkan cara pengalihbahasaan, yaitu: pengalihbahasaan secara simultan, konsekutif, berbisik, dan sight translation.
Namun, sebenarnya, ada yang tumpang tindih pada klasifikasi ini,
misalnya, dalam pengalihbahasaan secara simultan atau konsekutif dapat
juga dilakukan secara berbisik. Selain itu juga terdapat keinkonsistenan,
misalnya konsekutif dan simultan jika dibandingkan sama-sama
berdasarkan waktu pengalihan (time atau moment of speaking) langsung
atau menunggu, sementara, sight-translation karena bahasa sumbernya
dalam bentuk wacana tulis yang dapat dibaca.
 Sementara, Gentile, et al (1996:22) mengkategorikan penerjemahan lisan menjadi dua
genre utama, yaitu liaison interpreting dan conference interpreting, sebagai prototipe
pengalihbahasaan.
 liaison bermakna agen komunikasi atau penghubung yang merujuk pada fungsi,
sementara konferensi merujuk pada tempat. Jadi penamaan ini belum konsisten satu
sama lain.
 Berikutnya, klasifikasi pengalihbahasaan yang ditawarkan Phelan (2001:6) ada tiga jenis
pengalihbahasaan, yaitu: bilateral/liaison, konsekutif, dan simultan. Pengalihbahasaan
bilateral (liaison) adalah pengalihbahasaan dua arah oleh alihbahasawan yang sama.
Tipe ini biasanya dilakukan dalam setting masyarakat. Sementara simultaneous
interpreting dan consecutive interpreting dibedakan berdasarkan cara atau saat
alihbahasawan berbicara. Jika kita bandingkan, klasifikasi yang ditawarkan ini juga belum
konsisten. Pengalihbahasaan bilateral dibedakan karena sifatnya yang dilakukan dalam
bentuk dialog, alihbahasawan yang sama harus mengalihbahasakan ke dalam dua arah.
Sementara, pengalihbahasaan konsekutif dan simultan berbeda berdasarkan saat bicara
 Selain berdasarkan genre, Gentile, et al (1996:22) juga mengklasifikasi
penerjemahan lisan berdasarkan mode (metode atau cara
pengalihbahasaan), yaitu: pengalihbahasaan secara simultan dan
konsekutif sebagai dua cara dasar dalam pelaksanaan
pengalihbahasaan. Baik liaison maupun conference interpreting dapat
menggunakan kedua mode tersebut (ibid: 22). Klasifikasi kedua yang
ditawarkan Gentile ini terlihat lebih konsisten karena sama-sama
dibedakan berdasarkan mode. Namun, penggunaan istilah mode juga
tumpang tindih, misalnya Clifford, berdasarkan mode pengalihbahasaan,
ia membagi menjadi conference interpreting (antar dua bahasa lisan) dan
sign language interpreting (antara bahasa lisan dan bahasa isyarat)
(2001:366). Mode di sini sebenarnya merujuk pada alat atau channel
komunikasi yang digunakan..
kategorisasi pengalihbahasaan : situasi dan
interaksi (mode of interaction & setting)
 a. Pengalihbahasaan dalam setting konferensi (Conference interpreting)
Pengalihbahasaan ini dilakukan dalam setting konferensi, alihbahasawan
duduk di tempat terpisah (booth) yang dapat melihat klien/atau peserta
konferensi. Masing-masing booth biasanya terdiri dari dua alihbahasawan
yang hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa saja (Gentile et al, 1996).
Mereka dapat dibedakan menjadi alihbahasawan aktif dan
alihbahasawan pasif (Gile, 1995). Alihbahasawan aktif bertugas
mendengarkan dan mengalihbahasakan wacana lisan yang didengarnya
ke dalam bahasa sasaran, sementara alihbahasawan pasif menjadi asisten
yang sewaktu-waktu harus siap memberi informasi jika ada bagian yang
tertinggal (ibid). Sementara di booth lain alihbahasawan berbeda
mengalihbahasakan ke bahasa yang berbeda. Peserta konferensi tinggal
memilih saluran bahasa yang tersedia.
 Berdasarkan saat bicara, pengalihbahasaan dalam setting konferensi
seringkali dilakukan secara simultan, alihbahasawan langsung
mengalihbahasakan gagasan yang disampaikan pembicara dalam
bahasa sumber ke bahasa sasaran yang ditugaskan padanya pada saat
yang sama (Phelan, 2001; Pöchhacker, 2001; Gentile et al, 1996). Namun
tak jarang juga dilakukan secara konsekutif/bergantian yaitu
alihbahasawan diberi waktu untuk mengalihbahasakan, hal ini apabila
acara tersebut banyak melibatkan tanya jawab (Gentile et al, 1996).
 Dalam conference interpreting, prose pengalihbahasaan hanya dalam
bentuk interaksi satu arah, biasanya dari L2 ke L1. Lebih lanjut, berdasarkan:
jarak fisik relatif berjauhan, informasi yang dimiliki antar klien dan status
antar klien relatif sama, bekerja dalam tim (Gentile, et al, 1996:18).
 b. Pengalihbahasaan dalam setting masyarakat (Community interpreting)
Pengalihbahasaan ini terjadi dalam sektor layanan publik untuk memfasilitasi
komunikasi antara petugas dan masyarakat awam, seperti di kantor polisi,
imigrasi, pusat kesejahteraan sosial, medis dan kesehatan mental, sekolah, dan
istitusi sejenis lainnya (Wadensjö, 2000:33; Pöchhacker, 2001; Gile, 2000).
Pengalihbahasaaan ini memiliki banyak nama, namun konsepnya merujuk
pada konsep yang sama. Misalnya, Gentile menggunakan istilah liaison
interpreting yang disebutnya sebagai genre pengalihbahasaan yang menuntut
alihbahasawan yang sama untuk melakukan pengalihbahasaan dalam dua
arah (bi-directional) yang terjadi dalam setting masyarakat (Gentile et al,
1996:17) yang dilakukan secara konsekutif maupun simultan. Sementara, Phelan
(2001) menggunakan istilah pengalihabahasaan bilateral atau liaison, dan
pengalihbahasaan dialog (dialogue interpreting) atau liaison interpreting
(Gentile, 1996).
 Alihbahasawan liaison bertugas mengalihkan bahasa ke dalam bentuk
interaksi dua arah dalam setting lingkungan masyarakat umum (Gentile, et
al, 1996:17). Di beberapa negara istilah pengalihbahasaan ini juga
berbeda, seperti di UK pengalihbahasaan jenis ini disebut ad hoc atau
public service interpreting, di Skandinavia disebut contact interpreting, dan
di Australia disebut three-concerned interpreting atau pengalihbahasaan
dialog (dialogue interpreting) (Gentile et al, 1996). Namun prinsip kerjanya
sama, alihbahasawan yang sama harus menerjemahkan secara lisan untuk
menjembatani dialog antara dua orang (atau lebih) ke dalam bahasa
mereka masing-masing.
 Lebih lanjut Pöchhacker, (2001:415) menjelaskan bahwa dalam community
interpreting, dialog antar dua klien lebih dominan dilakukan secara
konsekutif bilateral pendek-pendek. Sementara dari segi kliennya, pihak
pertama lebih menguasai percakapan biasanya merupakan wakil dari
institusi atau layanan publik (service provider atau jasa profesi) yang
menyediakan layanan umum. Sementara klien kedua adalah pengguna
layanan tersebut yang biasanya tidak menguasai bahasa yang umum
dipakai di tempat tersebut.
 Persamaan dan perbedaan antara conference dan community
interpreting masih sangat sedikit dipelajari (Angelelli, 2000). Roberts (dalam
Angelelli, 2000), misalnya, membandingan lima elemen berikut: 1) cara
pengalihbahasaan (modes of interpreting) yaitu, simultan, konsekutif,
konsekutif pendek; 2) bentuk discourse (modes of discourse) yaitu:
monolog & dialog; 3) jenis wacana (discourse types) misal: naratif,
prosedur; 4) kriteria evaluasi, misal: gaya penyampaian (style of
presentation), akurasi isi; dan 5) prinsip etika, (kerahasian, ketentuan syarat
keahlian). Sehingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa kedua jenis
penerjemahan ini sama berdasarkan jenis keterampilan yang diperlukan.
Roberts menambahkan bahwa perbedaan sesungguhnya diantara kedua
pengalihbahasaan tersebut hanya lebih banyaknya dialog dalam
community interpreting, sementara dalam konferensi waktu untuk tanyajawab biasanya terbatas (Roberts, dalam Angelelli, 2000: 581-2).
Berdasarkan cara pengalihbahasaan
(mode of interpreting)
 a. Pengalihbahasaan simultan (Simultaneous interpretation)
Pengalihbahasaan simultan disampaikan pada saat alihbahasawan
mendengarkan bahasa sumber. Pengalihbahasaan secara simultan sering
dilakukan dengan cara alihbahasawan duduk dalam booth kedap suara
mendengarkan pembicara melalui headset dan mengalihbahasakanya ke
dalam bahasa target dengan menggunakan mikropon sembari tetap
mendengarkan. Pembicara dan penerjemah berbicara hampir dalam
waktu bersamaan dalam bahasa yang berbeda. Delegasi dalam ruang
konferensi mendengarkan alihbahasaanya dalam bahasa target melalui
headset (Gile, 2000: 41).
 Sebagai mode dasar dalam pengalihbahasaan, simultan dapat dilakukan
dalam setting konferensi atau masyarakat Gentile et al (1996). Namun
demikian, pengalihbahasaan ini lebih sering dilakukan dalam konferensi.
Pengalihbahasaan ini biasanya melibatkan banyak bahasa,
alihbahasawan hanya mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa
pertamanaya atau jenis bahasa A/B. Dalam masyarakat,
pengalihbahasaan simultan ini biasanya dilakukan dengan cara
alihbahasawan duduk dekat partisipan yang memerlukan bantuannya
yang disampaikan dengan cara berbisik (chuchotage) (Gentile et al,
1996:26). Ahli lain menyebutnya whispered interpretation karena
alihbahasawan memang berbisik agar tidak mengganggu peserta lain.
Namun perlu diingat bahwa hal ini dilakukan bila partisipan yang
membutuhkan alihbahasaan dalam bahasa tersebut jumlahnya sedikit
sehingga tidak perlu diberikan melalui perangkat sound sistem.
 b. Pengalihbahasaan Konsekutif (Consecutive interpretation)
Pengalihbahasaan konsekutif dilakukan secara bergantian (successive) dengan
pembicara. Sehingga ada yang menyebut pengalihbahasaan konsekutif dengan
successive interpretation. Menurut Gile dalam consecutive interpreting, alihbahasawan
mendengarkan segmen-segmen gagasan yang disampaikan pembicara selama
beberapa menit dan membuat catatan (bila perlu), kemudian alihbahasawan
menyampaikan ulang gagasan tersebut dalam bahasa target, sementara pembicara
diam. Selanjutnya pembicara kembali meneruskan segmen berikutnya dan akan
dialihbahasakan setelah ia memberi jeda (Gile, 2000:41). Durasi segmen tuturan
pembicara bervariasi mulai dari 6-7 menit (Gentile et al, 1996). Terlihat bahwa waktu
berbicara alihabahasawan dan pembicara dilakukan secara bergantian.
Pelaksanaannya alihbahasawan dapat duduk bersama dengan peserta/partisipan
komunikasi dalam satu ruangan atau diruang terpisah (booth), mencatat apa yang
dikatakan pembicara. Bila pengalihbahasaan ini dilakukan dalam masyarakat, terkadang
pengalihbahasaan dilakukan kalimat per kalimat..
 Pengalihbahasaan konsekutif dapat dilakukan dengan alat atau tanpa
alat. Bila partisipan yang memerlukan alihbahasa tersebut banyak maka
diperlukan peralatan untuk memudahkan tugasnya. Terkait setting, mode
konsekutif bisa dilakukan dalam masyarakat maupun konferensi
tergantung kondisinya (Gentile et al, 1996:22). Hal yang menjadi pembeda
adalah saat alihbahasawan berbicara dan arahnya. Terkait bahasa yang
digunakan, pengalihbahasaan konsekutif dalam setting masyarakat
biasanya terjadi pada even komunikasi yang hanya melibatkan dua
bahasa dan peserta yang terbatas. Mode pengalihbahasaan konsekutif
dalam konferensi dilakukan jika kegiatan konferensi memiliki porsi tanya
jawab yang banyak dengan peserta multibahasa dan namun tetap setiap
alihbahasawan hanya mengalihbahasakan ke satu bahasa.
 c. Pengalihbahasaan secara ikhtisar (Summary Interpreting)
Summary interpreting merupakan cara pengalihbahasaan dengan
memparafrase dan memadatkan informasi atau pernyataan dari
pembicara. Hal ini berbeda dengan pengalihbahasaan simultan dan
konsekutif yang berusaha mengungkapkan pesan tersebut sesuai bahasa
aslinya. Biasanya mode pengalihbahasaan ini dilarang dalam legal setting
(Kelly, et al, 2005).
3. Berdasarkan Spesialisasi Jenis pekerjaan
(work speacialty)
 a. Pengalihbahasaan medis (medical interpreting/Health Care Interpreting)
Pengalihabahasaan medis terkait dengan kekhususan bidang medis atau
kedokteran. Alihbahasawan perawatan kesehatan merupakan alihbahasawan yang dilatih mengenai etika profesional dan protokol,
memahami istilah medis, dan mampu menjembatani komunikasi dari satu
bahasa ke bahasa lain (Dower, 2003). Pengalihbahasaan ini terdapat di
negara yang mempunyai penduduk yang tidak menguasai bahasa yang
umum dipakai, seperti California dengan 20% penduduk tidak mampu
berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu, UU dan peraturan
pemerintah mensyaratkan adanya alihbahasawan untuk membantu
kesulitan komunikasi pada layanan publik.
 b. Pengalihbahasaan dalam bidang kesehatan mental (Mental health setting)
Alihbahasawan kesehatan mental sebenarnya masih termasuk dalam
pengalihbahasaan dalam pelayanan kesehatan (health care interpreting)
(Kelly, 2007). Namun kesulitan komunikasi pada pasien yang memiliki masalah
kesehatan mental berbeda dengan setting layanan kesehatan lainnya
sehingga Gentile et al, (1996) menempatnya secara tersendiri. Pasien di rumah
sakit kesehatan mental terkadang menunjukkan sikap kurang bekerjasama,
aneh dan juga perilaku yang dapat mengancam keselamatan orang lain
sehingga menyebabkan komunikasi yang sangat berbeda dengan pasien
medis biasa (Gentile, 1996). Dalam setting layanan kesehatan mental
alihbahasawan harus memahami maksud wawancara yang dilakukan oleh
psikiater dan sesi-sesi terapi, serta peran komunikasi tersebut diantara mereka.
Interview ini biasanya mengalami distorsi atau penyimpangan dari pola
percakapan biasa, tetapi hal merupakan informasi vital bagi diagnosis dan
pemberian tindakan perawatan yang didasarkan pada perilaku verbal, vokal,
dan paralinguistik.
 c. Pengalihbahasaan untuk bidang gangguan bicara (speech pathology)
Pengalihbahasaan dalam pelayanan gangguan bicara sebanarnya juga
termasuk pada pengalihbahasaan dalam seting pelayanan kesehatan,
perbedaannya dengan alihbahasawan kesehatan mental,
pengalihbahasaan dalam bidang gangguan bicara atau speech therapy
ditujukan untuk penyembuhan pada pasien dengan gangguan organ
bicara atau mengalami kelainan organ bicara pada anak-anak atau
pasca stroke. Jadi kendala komunikasi tidak hanya disebabkan perbedaan
bahasa tetapi juga kesulitan menggunakan organ bicara bukan
gangguan mental. Seperti terapi kesehatan mental dalam alihbahasawan
juga harus memahami bahwa informasi vital bagi diagnosis dan
pemberian tindakan perawatan karena didasarkan pada perilaku verbal,
vokal, dan para linguistik yang akan dilakukan therapist.
 d. Pengalihbahasaan dalam bidang hukum/pengadilan (Court
Interpreting)
Pengalihbahasaan jenis ini berlangsung di lingkungan legal formal.
Partisipan yang terlibat adalah jaksa, hakim, pengacara, saksi dan
tersangka yang seringkali dilaksanakan secara konsekutif. Orang yang
melakukan tugas pengalihbahasaan ini disebut alihbahasawan
pengadilan yang bekerja di bawah sumpah. Dia harus menjaga
kerahasiaan informasi (confidentiality). Tugas utamanya memperlancar
komunikasi dalam proses pengadilan pada aspek kebahasaan bukan
memberi nasehat hukum, seperti yang dilakukan oleh pengacara atau
pembela. Alihbahasawan tidak boleh memihak siapapun (impartiality).
 Dalam wilayah hukum, komunikasi memiliki fungsi penting dalam mencapai
tujuan dalam sistem hukum, namun tak jarang pola komunikasi yang muncul
menyimpang dari pola komunikasi normal (Gentile et al, 1996:89). Misalnya,
dalam ruang sidang, pola komunikasi akan sangat berbeda dengan wacana
harian karena keperluan untuk memenuhi aturan legalistik yang ketat (Conley
& O’Barr dalam ibid: 89). Beberapa aturan pengalihbahasaan dalam setting
legal formal, misalnya, alihbahasawan hukum harus mampu melakukan
alihbahasa dan sight translation dengan akurat dan lengkap, tanpa
mengubah, menghilangkan, menambah apa yang dituturkan atau tertulis, dan
ia juga tidak boleh memberikan penjelasan jika tidak diminta atau harus
meminta izin terlebih dahulu. Alihbahasawan tidak boleh menunjukkan sikap
lebih menyukai atau simpati pada salah satu pihak. Alihbahasawan tidak boleh
melakukan percakapan dengan pihak-pihak yang terlibat, saksi, juri, penuntut,
atau teman maupun keluarga kedua pihak diluar fungsinya sebagai
alihbahasawan selama persidangan. Ia juga harus menghindari mengganggu
pandangan dari individu yang terlibat, kecuali jika menggunakan bahasa
isyarat atau mode visual lainnya.
 Kemudian Edwards menyatakan “Two modes of interpreting are used in
court by qualified interpreters —“simultaneous” and “consecutive.” A third
common mode is “summary” interpreting, which should not be used in
court settings” (dalam Kelly, 2005). Alihbahasawan dalam setting legal
formal tidak terbatas hanya mengalihbahasakan ujaran lisan namun juga
dilakukan secara sight translation, konsekutif, dan simultan. Alihbahasawan
hukum tidak hanya mengalihbahasakan dalam pengadilan, tetapi mulai
dari interogasi dengan polisi (di sini tertuduh memiliki hak diam untuk tidak
bicara dan tidak boleh dipengaruhi oleh alihbahasawan), dalam
pengadilan saat pembacaan tuduhan, pembicaraan dengan pengacara,
selama persidangan, pemberian keterangan oleh saksi-saksi & penunjukan
bukti-bukti dan cek-silangnya, sehingga tersangka bisa mengikuti proses
tersebut (Gentile et al, 1996: 90-100).
 e. Pengalihbahasaan dalam bidang bisnis (Business setting)
Gentile et al (1996) menggunakan istilah pengalihbahasaan dalam seting bisnis, yang
dalam arti sempit adalah membantu dalam pembicaraan bisnis. Pembicaraan ini tidak
hanya di kantor namun bisa di berbagai tempat seperti, pabrik, dalam pesawat,
perkebunan, hingga restoran. Pada beberapa lokasi alihbahasawan mungkin saja
menggunakan mode yang berbeda seperti chuchotage –simultan tanpa alat dengan
berbisik- untuk partisipan terbatas (seperti di pabrik), sementara dalam presentasi publik
alihbahasawan menggunakan mode konsekutif untuk partisipan yang lebih banyak.
Dalam seting bisnis, biasanya alihbahasawan disediakan oleh tuan rumah, sehingga
biasanya alihbahasawan lebih menjadi agen bagi tuan rumah yang akan lebih banyak
memperoleh informasi daripada pihak tamu. Pada saat negosiasi mendekati deadlock,
biasanya suhu komunikasi akan meningkat dan melibatkan emosi saat pembicaraan,
alihbahasawan harus mampu berdiplomasi dengan penggunaan kata-kata yang lebih
lunak agar proses tetap berjalan baik (ibid:122). Sehingga alihbahasawan tidak harus
mengutamakan akurasi pada saat tersebut, tapi lebih mengusahakan agar kesepakatan
dan proyek bisnis tetap bejalan daripada saling menyakiti.
4. Berdasarkan Jarak dan Alat bantu
(physical proximity & modality)
 a. Jarak dekat (On-site interpreting/face-to-face interpreting)
Pengalihbahasaan jarak dekat adalah proses pengalihbahasaan berada
dalam seting lokasi yang sama sehingga alihbahasawan dapat melihat
partisipan secara langsung. Berdasarkan beberapa literatur on-site
interpreting ada yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa
alat.
 1) Tanpa alat: berbisik (Whispered interpreting)
Whispered interpretation adalah suatu kegiatan penerjemahan lisan
secara berbisik. Proses dilakukan dengan cara membisikkan informasi
kepada pendengarnya. Saat bicara antara pembicara dan
alihbahasawan dapat dilakukan secara bergantian (consecutive) atau
hampir bersamaan (simultaneous). Tetapi penerjemah hanya boleh
berbisik-bisik tidak berbicara keras. Ciri khususnya alihbahasawan
membisikkan pesan dari bahasa sumber dalam bahasa sasaran ke telinga
partisipan agar ia dapat memahami maksud dari pembicara.
Pengalihbahasaan ini digunakan jika partisipan yang tidak memahami
bahasa yang umum digunakan hanya sedikit dan hanya untuk 1 atau 2
bahasa saja (Gentile et al 1996). Selain itu juga pada lokasi tertentu.
 2) Menggunakan alat:
Pengalihanbahasaan jarak dekat yang menggunakan alat cukup banyak
yang telah kita kenali seperti menggunakan ruang kaca atau booth kedap
suara sebagai tempat kerja alihbahasawan yang dilengkapi dengan
headset dan mikropon. Pengalihabahasaan dengan alat ini biasa
dilakukan dalam konferensi baik secara simultan maupun konsekutif. Selain
itu juga dalam persidangan yang melibatkan tersangka yang berbeda
bahasa. Perbedaannya terletak pada jumlah partisipan yang memiliki
bahasa berbeda banyak (setting multinasional dan multilingual) sehingga
tidak mungkin tanpa menggunakan peralatan.
 b. Pengalihbahasaan jarak jauh (Remote Intepreting/RI)
Remote interpreting sebenarnya bukan sebuah ide baru, hal ini sudah dimulai sejak tahun
70-an, (Mouzourakis, 2006). Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini telah
memungkinkan komunikasi dapat dilakukan dari jarak jauh baik melalui jaringan telepon,
internet maupun televisi. Sehingga layanan pengalihbahasaan menggunakan media
komunikasi terkini yang dapat menghubungkan komunikator & komunikan yang berbeda
bahasa dengan bantuan alihbahasawan walaupun terpisah jauh. Layanan
pengalihbahasaan dengan jarak jauh ini biasa disebut remote interpreting. Namun, juga
terdapat beragam definisi mengenai remote interpreting Mouzourakis (2006:46) misalnya
menggunakan RI untuk menyatakan keadaan proses pengalihbahasaan yang dilakukan
dari tempat terpisah, alihbahasawan tidak berada di tempat rapat. Ia lebih menganggap
RI sebagai variasi dari conference interpreting yang telah digunakan di PBB dan Uni Eropa.
Namun, di Amerika remote interpreting hanya dilakukan dalam seting konferensi.
 Alasan penggunaan RI sebenarnya untuk mengatasi ketidaktersedian alihbahasawan
dan penghematan biaya perjalanan. Berdasarkan alat yang digunakan kita dapat
membedakan jenis remote interpreting, yaitu:
 1) Pengalihbahasaan telepon (telephone interpreting)
Pengalihbahasaan ini memiliki beragam istilah seperti “telephone
interpreting”, “over-the-phone interpreting (OPI)”, “telephonic interpreting”,
atau “phone interpreting”, namun maksudnya sama, yaitu layanan
pengalihbahasaan dua arah yang dilakukan seorang alihbahasawan yang
berada lokasi yang jauh untuk menjembatani komunikasi dua individu
yang berbeda bahasa melalui telepon (Kelly, 2008; Kelly, 2007). Peralatan
yang digunakan seperti headset dan jaringan telepon. Pengalihbahasaan
ini biasa diberikan dari rumah atau melalui call center yang disediakan
sebuah provider. Institusi yang menyediakan layanan call center ini
biasanya menyediakan booth anti suara seperti dalam konferensi (Kelly,
2008).
 2) Pengalihbahasaan Videokonferens (videoconference interpreting)
Dilakukan bila alihbahasawan tidak berada di ruang pertemuan tetapi
melalui layar dan earphone dan speaker (Mouzourakis, 2006:46). Berbeda
dengan definisi videoconference yang biasanya dilakukan untuk
membantu komunikasi bagi partisipan yang mengalami memiliki
gangguan pendengaran atau bicara sehingga memerlukan bantuan
visual karena tidak dapat dilakukan dengan audio saja (telephoning
interpreting). Pengalihbahasaan ini dilakukan untuk mengatasi
ketidaktersediaan alihbahasawan, mengurangi biaya perjalanan, dan
keterbatasan booth. Dengan videoconference, alihbahasawan dapat
bekerja dari rumah dengan proses yang sama dengan melalui telepon
(Mouzourakis, 46-47).
 3) Pengalihbahasaan televisi (television interpreting)
Merupakan pengalihbahasaan jarak jauh yang dilakukan secara live dan
disiarkan melalui televisi untuk masyarakat banyak sehingga juga disebut
media interpreting. Berbeda dengan subtitling, television interpreting masih
mengalami “kognitive stress” yang sama dengan alihbahasawan biasawa.
Biasanya tamu atau sumber berada dari luar negeri yang harus
dialihbahasakan ke bahasa sasaran hadir di studio atau dari jarak jauh
(remote). Alihbahasawan harus mengalihbahasakan tuturan narasumber
pada saat yang hampir bersamaan dan langsung disiarkan. Pada saat
serangan ke Palestina beberapa saat yang lalu kita dapat menyaksikan
proses pengalihbahasaan dari reporter TV Al Jazeera oleh alihbahasawan
ke bahasa Indonesia yang dilakukan secara simultan.
 4) Pengalihbahasaan radio (radio interpreting)
Merupakan variasi pengalihbahasaan jarak jauh, biasanya alihbahasawan
menerjemahkan secara lisan tuturan lisan dari sumber berita, proses ini juga
berlangsung secara simultan atau telah direkam sebelumnya. Seperti
television interpreting hal ini juga berlangsung secara langsung pada saat
mendengar tuturan nara sumber, alihbahasawan langsung
mengalihbahasakan tuturannya dan disiarkan secara langsung ke
pendengar.
 5. Berdasarkan input & output (mode of discourse)
Masih belum terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai klasifikasi
ini. Penerjemahan teks tertulis ke dalam wacana lisan dalam bahasa lain
menurut Gile masih tergolong sebagai penerjemahan, ia menyebutnya
sebagai sight translation atau translation at sight (bukan sight
interpretation). Jika kita bandingkan, baik sight translation maupun dan
sign laguage interpretation merupakan pengalihbahasaan yang
melibatkan bentuk input dan output wacana yang berbeda (tulis atau
lisan).
 . Sight translation
Sight translation merupakan bentuk penerjemahan dari teks tertulis dan
dialihbahasakan menjadi bentuk lisan. Ada dua cara pelaksanaan sight
translation, yaitu dilakukan secara simultan pada saat pembicara
berbicara, atau hanya pada delegasi tertentu yang memerlukan saja
(Gile, 1995). Selain itu Kelly (2005) menyatakan bahwa alihbahasawan
dalam pengadilan juga harus mampu melakukan penerjemahan ini untuk
menerangkan isi dari bukti-bukti tertulis.
 b. Pengalihbahasaan bahasa isyarat (sign language interpreting)
Merupakan pengalihbahasaan yang melibatkan partisipan memiliki
bahasa berbeda dan juga memiliki gangguan pendengaran atau bicara
(tuna grahita), sehingga penerjemah harus mengalihkan bahasa sumber
ke dalam bahasa isyarat. Di Amerika dan New Zealand, hal ini sudah
dilakukan sebagai bentuk layanan bagi masyarakat. Di Amerika
digunakan ASL sementara di New Zealand menggunakan NZSL.
 terdapat beragam jenis pengalihbahasaan tergantung dari sisi pandang
dalam melihat antara satu pengalihbahasaan dan pengalihbahasaan lain.
Dari perbedaan interaksi, bentuk wacana (mode of discourse), cara
pengalihbahasaan (mode of interpreting), peralatan yang digunakan
(modalities), jarak antara alihbahasawan dan klien (space proximity),
spesialisasi kerja. Dari beragam jenis tersebut memiliki beberapa kesamaan
dan perbedaan dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, sehingga juga
menuntut penguasaan kompetensi yang berbeda satu sama lain.
Pemahaman akan pola kerja dari masing-masing jenis penerjemahan di
atas akan memberi arahan mengenai pola pelatihan dan tantangan
dalam hal tekanan kognitif yang akan dihadapi oleh alihbahasawan.
Download