REPUBLIKA khazanah SENIN, 14 FEBRUARI 2011 8 ADHUD AL-DAULAH Pelindung Ilmu dan Seni CYBERMQ.COM Di Syiraz pula, Adhud al-Daulah membangun fasilitas observatorium. Al Biruni, sejarawan Muslim klasik, melaporkan, Adhud al-Daulah mendukung dilakukannya observasi deklanasi (rash al-mal atau pengamatan kemiringan) yang dilakukan Abd al- Rahman al-Shufi. Menurut penjelasan Joel Kraemer, berbagai kegiatan keilmuan ini secara langsung mengangkat reputasi Syiraz sebagai salah satu pusat ilmu dan budaya di dunia Islam. Para cendekiawan dan seniman dari seluruh penjuru wilayah berdatangan ke kota tersebut. Penjelajah ulung Abu Dulaf alKhazraji diketahui pernah singgah ke Syiraz semasa Adhud al-Daulah berkuasa. Ia lantas terlibat diskusi intelektual dengan Abu Ali al-Ha’im al-Mada’ini, yang juga anggota istana. Penyair legendaris al-Mutanabbi juga sempat mengunjungi al-Daulah serta mempersembahkan sebuah pujian padanya. ● Al-Miskawaih bersama para muridnya. Sejarawan Muslim ini menjadi saksi bangkitnya aktivitas keilmuan di Baghdad. ENSIKLOPEDIA ISLAM UNTUK PELAJAR Oleh Yusuf Assidiq Saat ia berkuasa, peradaban Islam mencapai puncaknya. D inasti Buwaihi memang tidak sekondang dinasti-dinasti besar yang pernah berkuasa di dunia Islam, misal Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, atau Mamluk. Namun, era pemerintahan Buwaihi patut dicatat dengan tinta emas sejarah Islam karena turut mengangkat kegemilangan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan dan budaya. Kekuasaan dinasti ini berlangsung selama 80 tahun, yaitu sejak 928 hingga 1008. Di antara tokohnya yang terkenal adalah Adhud al-Daulah. Semasa memegang tampuk kepemimpinan, seperti disebut Joel L Kraemer dalam buku Renaisans Islam, peradaban Islam mencapai puncaknya. Nama aslinya Abu Syuja Fanna Khusrau dan merupakan amir Dinasti Buwaihi paling berkuasa. Ia terlahir di Isfahan tahun 936 dan wafat pada 983. Adhud al-Daulah sejatinya adalah gelar yang diberikan oleh Khalifah alMuthi, yang berarti Penyangga Negara. Karier politiknya dimulai pada 949. Dia menggantikan pamannya, Imad alDaulah, yang tidak memiliki putra, sebagai penguasa Fars dan beribu kota di Syiraz (949-978). Saat itu usianya masih sangat belia, tepatnya 13 tahun. Menurut Joel Kraemer, sejak dini Adhud telah tertarik pada bidang ilmu pengetahuan, agama, dan budaya. Ter- OBSERVATORIUM Sejumlah ilmuwan Muslim berada di depan observatorium. Untuk mendalami ilmu astronomi, Adhud al-Daulah membangun observatorium di Syiraz. catat, guru pertamanya adalah kepala ustaz Abu al-Fadhl ibn al-Amid. Di bidang astronomi, pembimbingnya adalah Abd al-Rahman alShufi, seorang astronom Muslim terkenal. Adhud al-Daulah juga memanggil ahli tata bahasa bernama Abu Ali alFarisi untuk menjadi guru pribadinya. Ia pun menimba ilmu dari sejumlah guru terkemuka lainnya. Karena itulah Adhud al-Daulah sangat mendukung kemajuan ilmu serta seni budaya. Selama memerintah di Syiraz, ia menjadikan istananya sebagai pusat diskusi intelektual, yang melibatkan para teolog, ahli-ahli tata bahasa, dan penyair. Sebuah perpustakaan besar juga dibangun. Buku-buku koleksi mencakup aneka bidang ilmu dicatat rapi di dalam katalog, dan diletakkan di rak-rak sesuai tema. Perpustakaan dikelola oleh seorang kepala, pengawas, dan bendahara. Bangun kembali Baghdad Kecenderungan ini terus berlangsung sewaktu dia memegang posisi puncak di Baghdad (978-983). Langkah pertama yang dilakukan, yakni membangun kembali ibu kota kekhalifahan Islam itu. Sebelumnya, kota 1001 malam ini baru melewati periode anarki akibat perebutan pengaruh dan kekuasaan. Ia merenovasi masjid-masjid yang rusak, memperbaiki jalan, bangunan pemerintah, perumahan, dan memperindah taman-taman. Ia juga membangun lagi saluran air, jembatan, ataupun tanggul. Kontribusi terpenting adalah mengembalikan ketenteraman dan keamanan di dalam kota. “Masyarakat pun memulai kembali tata kehidupan seperti sedia kala, mereka mendatangi tempat ibadah, berniaga, dan berdiskusi ilmiah satu sama lain,” kata Joel Kraemer kemudian. Sejarawan Muslim al-Miskawaih juga menggambarkan pulihnya kembali ranah keilmuan di Baghdad. Adhud alDaulah memberikan hadiah kepada para hakim, asketis, ahli tafsir, ahli hadis, ahli genealogi, ahli tata bahasa, penyair, astronom, dokter, ahli matematika, astronom, dan banyak lagi. Di istananya, Adhud al-Daulah membuat sebuah ruangan khusus bagi para filsuf dan ahli ilmu. Mereka secara rutin berkumpul di sana untuk berdiskusi, berdebat, dan membangun kegiatan intelektual. “Ilmu-ilmu akhirnya bisa dihidupkan kembali setelah mengalami kematian sebelumnya,” papar al-Miskawaih. Berkat dukungan sang penguasa, sambung dia, para pegiat ilmu dan seni yang sebelumnya terpisah-pisah, bisa berkumpul bersama lagi. Bidang astronomi, matematika, dan kedokteran, mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini, seperti disebutkan Suprayitno pada artikel berjudul RUMAH SAKIT PEACEONSCREEN.WORDPRESS.COM Salah satu bangunan rumah sakit di abad pertengahan Di bawah pemerintahannya, Adhud al-Daulah juga membangun rumah sakit besar, al-Adhudi. Dinamika Keagamaan, Sosial, Politik, dan Intelektual Dinasti Buwaihi, astronom Syarif ibn al-Alam menciptakan tabel bintang yang digunakan hingga 300 tahun. Adhud al-Daula pun kerap berkonsultasi dengannya untuk melaksanakan program-programnya. Abu al-Qasim Ubaid Allah menulis beberapa naskah astronomi dan astrologi. Di bidang matematika terdapat nama Abu Nasr al-Kalwadzani yang menulis metode hitung sistem India. Pun di bidang medis hadir risalah kompilasi ensiklopedia kedokteran bertajuk Kitab al-Maliki karya Ali ibn al-Abbas al-Majusi. Pembangunan rumah sakit besar alAdudi menjadi prestasinya yang lain. Di sini, dokter Muslim terkemuka, alRazi, pernah menjalankan praktik medisnya. Aktivitas pendidikan tak kalah maju. “Pemuda dibangkitkan supaya belajar dan yang lebih tua supaya mengajar,” ungkap al-Miskawaih. Untuk ini, Adhud al-Daulah memberikan beasiswa hingga 50 ribu dirham bagi mereka yang mampu menguasai tata bahasa yang disusun Abu Ali. Ilmuwan Muslim terkemuka, Abu Sulaiman al-Sijistani, mengagumi dedikasi al-Daulah dalam memajukan ilmu dan seni. Pada risalahnya berjudul Shiwan al-Hikmah wa Tsalats Rasa’il, ia melukiskan al-Daulah sebagai sosok yang patut mendapat pujian dan doa. “Karena ia menghidupi mereka, meningkatkan usaha mereka, dan memberi kebebasan untuk menyatakan gagasan, ide, dan pendapat dalam berbagai hal,” kata al-Sijistani. Pada usia 47 tahun, Adhud al-Daula mengembuskan napas terakhir. Putraputranya meneruskan dukungannya pada aspek ilmu dan budaya. Abu alHusain Ahmad al- Daulah menjadi penyair terkenal dari lingkungan istana. Sedangkan Syaraf al-Daulah mendalami astronomi. ■ ed: wachidah handasah Era Kekuasaan di Baghdad Oleh Yusuf Assidiq ota Baghdad dilanda kerusuhan. Dua kekuatan saling berebut pengaruh. Di satu sisi, ada Adhud al-Daulah yang kala itu sebagai penguasa Fars, dan di sisi lain terdapat nama Bakhtiyar, yang tak lain adalah saudara sepupu sendiri. Bakhtiyar adalah amir di wilayah provinsi Irak. Beberapa lama kemudian, al-Daulah berhasil mengalahkannya. Namun, hal itu mesti dibayar dengan harga mahal berupa rusaknya infrastruktur Baghdad. Al-Daulah menganggap, penguasaan atas Irak sangat penting untuk mengontrol kekhalifahan di bawah bayang-bayang keamiran Buwaihiyah. Pada awalnya, al-Daulah memperlakukan khalifah al-Tha’i dengan hormat. Sejak itu, perlahan tapi pasti, kalangan Buwaihi merangkak naik ke posisi tinggi di pemerintahan. Menurut Joel Kraemer, kemunculan dinasti ini didahului oleh periode perpecahan di lingkup Dinasti Abbasiyah, K SISA KEJAYAAN BAGHDAD MUSLIMHERITAGE.COM Bekas bangunan Madrasah Mustansiriyah di Baghdad. Bangunan ini menjadi bukti bahwa Baghdad pernah menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahuan, termasuk di era pemerintahan Adhud alDaulah. serta meluasnya perpecahan di masyarakat Baghdad. Begitu diangkat sebagai penguasa Baghdad, al-Daulah langsung memimpin pembangunan Baghdad. Ia berambisi mengembalikan kota 1001 malam ini ke kemegahan sebelumnya. Istana khalifah diperbaiki dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Beberapa masjid besar yang hancur direnovasi. Adhud al-Daulah mengeluarkan biaya sangat besar untuk ini. Perbaikan jalan-jalan kota, taman, dan bangunan juga menjadi prioritas. Warga diberi pinjaman dari kas negara untuk memperbaiki rumahrumah mereka. Saluran irigasi dibersihkan dan difungsikan kembali agar sektor pertanian kembali menggeliat. Beberapa jembatan yang terletak di kanal utama, misal Nahr (kanal) Isa, Sharat, dan Khandaq, diperkuat. Fasilitas sawad atau tempat penampungan air, mendapat perbaikan menyeluruh. Kontribusi lainnya adalah pembangunan rumah sakit terbesar, yang setelah ia wafat disebut Bimaristan Adhudi. Rumah sakit ini terletak di sisi barat Baghdad di tepi Sungai Tigris. Proyek raksasa ini membutuhkan sumber daya manusia yang besar. Adhud al-Daulah segera memanggil para insinyur dan teknisi dari berbagai wilayah. Beberapa tahun kemudian pembangunan kembali Baghdad rampung dikerjakan. Seiring itu tugas tak kalah penting terus diupayakan, yaitu mengembalikan ketertiban. “Potensi kerusuhan berhasil diredakan dengan mengendalikan kekuasaan serta administrasi yang efisien,” kata Joel Kraemer lagi. Masa kekuasaan al-Daulah pun ditandai dengan toleransi pada golongan minoritas. Nashr ibn Harun, salah seorang menterinya, adalah penganut Nasrani. Tak hanya Nashr, banyak lagi pejabat pemerintah yang beragama Nasrani. ■ ed: wachidah handasah