I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia kedokteran gigi erat sekali kaitannya dengan penyakit yang dapat berujung pada kerusakan atau defek pada tulang alveolar, salah satunya adalah periodontitis. Dalam kondisi kronis, periodontitis memiliki gambaran klinis berupa meradangnya jaringan pendukung gigi yang dapat berujung pada kerusakan ligamen periodontal dan resorpsi tulang alveolar yang progresif (Morris dkk., 2001). Resorpsi tulang alveolar memiliki kaitan dengan patogenesis pada kasuskasus kelainan jaringan periodontal (Sarajlic dkk., 2009). Proses resorpsi tulang merupakan proses kompleks dalam tubuh (Sarajlic dkk., 2009). Terapi penyembuhan resorpsi tulang yang sering digunakan adalah teknik bone graft. Materi bone graft berfungsi sebagai rangka struktural dan matriks untuk pembentukan jendalan darah (clot), maturasi sel, dan remodeling tulang yang defek. Material-material bone graft memiliki kemampuan yang bervariasi dalam mendukung pembentukan tulang, sementum, dan ligament periodontal saat diterapkan pada defek periodontal (Reynold dkk., 2010). Material bone graft dapat diklasifikasikan berdasarkan asal donornya, antara lain autograft, allograft, xenograft, dan alloplast. Autograft adalah material yang berasal dari diri pasien sendiri. Material tulang autograft ini diambil dari area rongga mulut pasien. Autograft merupakan gold standard dalam prosedur bone grafting. Tipe material yang kedua adalah allograft yang merupakan alternatif dari autograft. Allograft didapatkan dari donor satu spesies. Klasifikasi material bone graft yang ketiga adalah tipe xenograft. Tipe material bone graft ini didapatkan dari spesies yang berbeda. Dalam dunia kedokteran, tulang sapi dan koral adalah sumber xenograft yang banyak diperdagangkan.Salah satu jenis xenograft adalah karbonat apatit (CHA). Beberapa genus koral, seperti Porites, dapat diubah menjadi CHA dengan reaksi hidrotermal. Tipe material keempat adalah material bone graft sintesis anorganik yang memiliki biokompatibilitas yang baik (Reynold dkk., 2010). Pada material bone graft tipe allograft dan xenograft memiliki kelemahan yaitu kecenderungan adanya reaksi imun, penolakan oleh jaringan tubuh, serta kemungkinan penularan penyakit (Vagaska dkk., 2010). Metode perawatan defek tulang yang lain adalah dengan menggunakan barrier membrane. Konsep ini melibatkan proses angiogenesis dan migrasi sel osteogenik dari perifer menuju sentral untuk membentuk jaringan granulasi yang tervaskularisasi dengan baik. Metode terapi ini, kemudian mengalami modifikasi untuk mencegah adanya invasi sel-sel yang tidak diinginkan yang dapat menghambat regenerasi jaringan keras. Konsep tersebut kemudian dikenal dengan istilah Guided Bone Regeneration (Simion dkk., 1996; Dimitrou dkk., 2012). Burdick dan Anseth (2002), mengemukakan adanya alternatif terapi rekonstruktif tulang lainnya yaitu teknik rekayasa jaringan (tissue engineering). Teknik rekayasa jaringan ini dapat mengatasi kelemahan teknik autograft yang membutuhkan area operasi sekunder dan jumlah yang terbatas. Teknik rekayasa jaringan terdiri atas perancah (scaffold) tiga dimensi yang dapat diserap oleh tubuh, seperti polimer. Perancah ini ditanamkan pada sel atau sel punca pasien (contoh: sel pada sumsum tulang yang diambil dari iliac crest secara biopsi), yang kemudian diperbanyak dengan cara dikultur. Saat diimplankan material hibrid ini dapat secara bertahap menggantikan tulang yang hilang, sedangkan perancahnya akan secara bertahap juga terserap oleh tubuh hingga hilang sepenuhnya dan digantikan oleh tulang yang baru (Vagaska dkk., 2010). Teknik ini dapat merangsang respon spesifik sel-sel tertentu pada tingkatan molekuler sehingga dapat mengaktivasi reaksi proses self healing (Hench dan Polak, 2002). Teknik rekayasa jaringan membutuhkan elemen yang dapat menyediakan ruang untuk proliferasi dan diferensiasi sel. Elemen tersebut adalah elemen perancah (scaffold). Scaffold dapat memberikan rangka yang tepat untuk pembentukan tulang yang baru (Hutmacher, 2000). Salah satu jenis material perancah yang terbukti efektif adalah gelatin. Terdapat dua teknik dalam pembuatan gelatin, yaitu freeze dried dan non freeze dried. Metode freeze dried menghasilkan perancah gelatin yang berporus. Kelemahan dari teknik freeze dried adalah tingkat kesulitan yang tinggi dalam mengendalikan porusitas sehingga akan sulit untuk mendapatkan ukuran porus yang besar (O’Brien dkk., 2004). Dalam penelitian ini, pembuatan gelatin adalah dengan cara non freeze dried. Membran gelatin pada metode non freeze dried dikeringkan dengan kulkas dalam suhu 4 oC selama 4 hari. Dengan metode tersebut, perancah yang dihasilkan akan memiliki porusitas yang lebih rendah. Hal ini dapat meningkatkan kinerja perancah sebagai barrier membrane yang lebih baik, karena porus yang lebih kecil dapat mencegah infiltrasi jaringan-jaringan yang dapat menghambat rekonstruksi tulang, seperti jaringan ikat (DeCarlo dan Whitelock, 2006). Karbonat apatit (CHA) merupakan derivat dari Hidoksiapatit. Kabonat apatit memiliki rumus kimia Ca10-2x/3[(PO4)6-x(CO3)x][(OH)2-x/3-2y(CO3)y] (Tkalcec, dkk., 2001). CHA merupakan salah satu material jenis biokeramik yang dapat menggantikan tulang yang telah hilang (Zhou, 2008). Dalam penelitian ini, penggabungan material gelatin dengan CHA akan membentuk suatu perancah tiga dimensi yang dapat memacu proliferasi sel fibroblas (Hutmacher, 2000). Sel fibroblas merupakan sel yang menghasilkan matriks ekstraseluler yang berfungsi dalam perbaikan dan perawatan jaringan. Sel fibroblas memiliki peranan pada proses inflamasi dengan cara bersintesis dan bereaksi terhadap berbagai sitokin dan mediator lipid (Chaponnier dkk., 2007). Sel fibroblas sering digunakan dalam penelitian tingkat in vitro. Jenis yang sering digunakan adalah Vero cell line, yaitu merupakan sediaan sel line fibroblas yang diambil dari ginjal kera hijau afrika (Rukachaisirikul dkk., 2010). Gelatin-CHA diharapkan dapat diaplikasikan pada tulang alveolar yang telah hilang di dalam rongga mulut. Aplikasi tersebut akan mengakibatkan membran gelatin-CHA bersinggungan langsung dengan sel-sel lain yang berada pada jaringan rongga mulut, seperti sel fibroblas. Dalam penelitian ini dilakukan uji in vitro untuk melihat sitotoksisitas CHA terhadap sel fibroblas. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan: Apakah terdapat pengaruh aplikasi non freeze dried gelatin-CHA terhadap viabilitas sel fibroblas? C. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Nurwadji (2012) yang berjudul Pengaruh Aplikasi Non Freeze-Dried hidrogel-CHA terhadap Proliferasi Fibroblas, yang meneliti apakah ada pengaruh aplikasi gelatin-CHA terhadap proliferasi sel fibroblas. Penelitian tersebut merujuk pada penelitian Takemoto dkk (2008) dengan judul Preparation of Collagen/Gelatin Sponge Scaffold for Sustained Release of bFGF. Dalam penelitian tersebut, Takemoto dkk (2008) membandingkan collagen/gelatin sponge dengan beberapa kombinasi berat terhadap proliferasi sel fibroblas. Penelitian mengenai pengaruh aplikasi non freeze dried gelatin-CHA terhadap viabilitas sel fibroblas secara in vitro menggunakan metoe dye exclusion belum pernah dilakukan sebelumnya. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh aplikasi non freeze-dried gelatin-CHA terhadap viabilitas proliferasi sel fibroblas dilihat dengan metode dye exclusion. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah terkait pengaruh aplikasi non freeze-dried gelatin-CHA terhadap viabilitas proliferasi sel fibroblas