PERNYATAAN PERS 19 Desember 2010 HASIL PENELITIAN AWAL MENUNJUKKAN HAK-HAK PEKERJA RUMAH TANGGA ASING (PRTA) DILANGGAR Dalam rangka Hari Buruh Internasional, Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral dan CARAM Asia Bhd meluncurkan sebuah laporan penelitian tentang Persepsi dan Sikap Majikan di Malaysia dan Hongkong terhadap pekerja rumah tangga asing. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 menganalisis pendapat lebih dari 260 majikan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga asing (PRTA) masing-masing di Hongkong dan Malaysia mengenai pemahaman mereka tentang peraturan, persepsi dan sikap terhadap PRTA, peraturan baru untuk PRTA dan sikap majikan terhadap langkah-langkah hukuman terhadap praktek-praktek eksploitatif. TEMUAN PENTING: 1. Ada perbedaan mencolok tentang cara majikan di Malaysia dan Hongkong melihat pekerja rumah tangga asing (PRTA). Malaysia cenderung melihat mereka sebagai 'pelayan' dengan sedikit hak-hak dasar sementara di Hongkong melihat mereka sebagian besar sebagai ‘pekerja biasa’ dengan hak-haknya. 2. PRTA di Malaysia dan Hongkong umumnya bekerja terisolasi dan tetap rentan terhadap perlakuan yang kejam tetapi perbedaan dalam kerangka peraturan dan prosedur di Hongkong memberikan mereka perlindungan yang lebih baik dan cara-cara untuk mencari bantuan, hukum ganti rugi, atau sarana-sarana untuk melarikan diri dari perlakuan yang kejam, jika diperlukan. Dua kondisi penting utama adalah fakta bahwa di Hongkong, PRTA mendapatkan hari istirahat mingguan dan memegang dokumen perjalanan mereka seperti paspor. Namun peraturan dan prosedur masa kini di Malaysia menyediakan perlindungan minimal bagi PRTA dan praktek kerja saat ini membatasi gerakan-gerakan mereka, artinya banyak dari mereka mungkin akan dipaksa untuk menerima kondisi hidup di bawah standar dan beberapa dari mereka mungkin dirampas sama sekali hak-hak asasinya. 3. Hasil survei menunjukkan bahwa PRTA umumnya bekerja demi kepuasan majikan mereka dan memenuhi kebutuhan majikan untuk menyeimbangkan kebutuhan antara pekerjaan dan kehidupan. Untuk sebagian besar, majikan di Malaysia dan Hongkong merasa puas dengan peran yang dimainkan oleh PRTA tapi terdapat perbedaan dalam cara mengungkapkan kepuasan ini. Meskipun penekanan lebih banyak pada hasil kerja yang sesungguhnya dari PRTA, sejumlah besar majikan Malaysia sebenarnya menempatkan kepuasan mereka pada kemampuan PRTA untuk mengatasi pembatasan kebebasan bergerak dan berinteraksi sosial. Sementara rekan-rekan mereka di Hongkong lebih berorientasi pada hasil kerja. 4. Karena kewajiban yang lebih tinggi dan mungkin untuk memenuhi pendidikan publik yang lebih baik tentang hal ini, majikan di Hongkong lebih sadar akan hukum dan peraturan yang mencakup hak-hak dari PRTA. Sebaliknya, hanya sedikit (6%) dari majikan Malaysia menunjukkan kesadaran akan hukum yang berpengaruh dalam mempekerjakan PRTA. Para majikan Malaysia umumnya tidak tahu tentang hukum dan perlindungan hak-hak PRTA dan tidak diminta bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran mereka. Hal ini sebagian dibantu karena tidak adanya sistem pemantauan sedangkan di Hongkong memiliki sistem lebih ketat. 5. Majikan di Malaysia dan Hongkong merasa bahwa PRTA dilindungi berdasarkan hukum tempat mereka masing-masing. Namun pandangan seperti itu dari majikan Malaysia sebagian dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan hukum dan sikap umum dalam memandang PRTA sebagai pelayan. Temuan ini sejalan dengan definisi seperti peraturan pekerja di Malaysia, menyampaikan pesan umum hubungan "majikan-pelayan". Meskipun demikian, survei mengungkapkan bahwm satu dari setiap lima majikan Malaysia mengakui bahwa peraturan saat ini di Malaysia tidak cukup untuk melindungi PRTA. 6. Ada juga beberapa perbedaan ditandai dengan pendekatan untuk mendisiplinkan PRTA, majikan Malaysia cenderung untuk lebih menegur secara lisan atau memarahi sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan kepada PRTA mereka untuk hal pelanggaran ringan sementara majikan Hongkong mungkin kurang melakukannya untuk hal pelanggaran ringan. Majikan Malaysia cenderung menggunakan jalur hukum atau langsung menghentikan PRTA mereka dalam kasus pelanggaran yang lebih serius, misalnya, ketika PRTA menampar seorang anak, mereka malah akan mengarahkan PRTA ke agen kerja untuk hukuman. Sedangkan lebih dari separuh majikan Hongkong siap untuk menghentikan jasa PRTA. Secara relatif, majikan Malaysia cenderung lebih menggunakan cacimaki untuk kinerja buruk PRTA sedangkan di Hongkong, pelanggaran tersebut ditanggapi dengan peringatan untuk meningkatkan tanggung jawab mereka. 7. Sikap umum yang ditunjukkan oleh majikan terhadap persyaratan dan usulan peraturan di Hongkong dan Malaysia menunjukkan bahwa diberlakukannya penegakan hukum umumnya mengarah pada kepatuhan yang lebih baik. Sebagian besar majikan di Hongkong umumnya menerima peraturan yang menyediakan kebutuhan dasar dan sekunder bagi PRTA seperti pembayaran upah tepat waktu dan tempat tinggal, serta kebebasan bergerak dan berinteraksi sosial. Namun, majikan Malaysia hanya setuju dengan persyaratan kerja lainnya, seperti pembayaran upah dan menyediakan kondisi hidup yang layak dan tidak terbuka dalam hal mengijinkan kebebasan PRTA untuk bergerak atau bahkan untuk menikmati hari libur mingguan. Survei di Hongkong menemukan bahwa perdebatan dominan terletak pada persoalan mengijinkan FDHs menikmati hak-hak upah minimum yang sama dengan yang diterima oleh warga negara Hongkong. Hal ini mungkin merefleksikan ketegangan dengan tenaga kerja lokal. Di sisi lain, majikan Malaysia menunjukkan sikap lebih tidak bertanggung jawab atas hak-hak dasar PRTA seperti mendapatkan pembayaran upah tepat waktu, izin mendapatkan hari libur mingguan atau hanya memegang paspor mereka. REKOMENDASI 1. Pemerintah di negara pengirim dan negera tuan rumah/penerima PRTA dapat memfasilitasi proses kerja pekerja rumah tangga asing dengan menyediakan orientasi yang lebih baik untuk para majikan yang potensial dan juga PRTA sehingga kedua belah pihak dapat memiliki pemahaman yang jelas tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka. Pelatihan untuk para PRTA seharusnya tidak diserahkan kepada agen-agen swasta yang telah mengenakan biaya berlebihan. Sebaliknya, pemerintah bekerjasama dengan serikat buruh atau LSM untuk melakukan pelatihan-pelatihan yang tidak hanya berfokus pada pelatihan keterampilan tetapi juga pada hak dan kewajiban dari seluruh pihak yang berkepentingan. 2. Negara tuan rumah harus mengembangkan mekanisme yang memungkinkan menuntut majikan dan agen yang memegang paspor para pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan Malaysia dan Hongkong. Paspor atau dokumen-dokumen pribadi lainnya tidak seharusnya disimpan oleh orang lain. 3. Pihak berwenang di negara-negara asal PRTA harus meninjau kembali peran lembaga-lembaga di semua tingkat dan kontrol terhadap biaya-biaya yang dikenakan ke pekerja. Sementara pemerintah Malaysia dan Hongkong harus memantau untuk memastikan biaya yang sudah dibayar oleh majikan tidak dibebankan lagi ke para pekerja. 4. Mekanisme yang lebih efektif dengan langkah-langkah hukuman yang kuat harus dikembangkan untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan publik dari para pelaku dalam proses mempekerjakan PRTA seperti agen-agen perekrutan tenaga kerja, majikan dan makelar untuk setiap pelanggaran terhadap pekerja rumah tangga. 5. Pemerintah Malaysia dan Hongkong harus melakukan lebih banyak upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang hukum di antara para majikan dan alasan-alasan di balik peraturan-peraturan tersebut. Misalnya, informasi tentang undang-undang tenaga kerja harus lebih sering disebarluaskan melalui media massa seperti internet, program TV, radio, surat kabar, untuk mengingatkan pihak yang berkepentingan tentang kewajiban dan hak mereka. 6. Karena Malaysia dan Hongkong (Cina) telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), kedua pemerintah ini harus menjamin hak-hak yang diatur dalam konvensi tersebut ditransfer ke dalam hukum nasional dengan pemantauan dan penegakannya. 7. Pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi majikan di Malaysia dan Hongkong harus mengambil langkah-langkah untuk mendukung dan kemudian meratifikasi peraturan baru Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk Pekerja Rumah Tangga dan rekomendasi tambahannya. 8. Lebih banyak survei dan penelitian lainnya harus dilakukan untuk melacak perubahan opini masyarakat dan sikap majikan terhadap isu-isu yang terkait dengan PRTA dan majikan. UNTUK PERTANYAAN MENGENAI PENELITIAN DI ATAS, SILAKAN HUBUNGI Ms. Elijah FUNG, Manager St. John’s Cathedral HIV Education Centre 4-8 Garden Road, Central, Hongkong Tel: (852) 2523 0531 / 2501 0653 Fax: (852) 2523 1581 Email: [email protected] Website: www.sjhivctr.com CARAM Asia adalah LSM yang memiliki Status Konsultatif Khusus dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa. CARAM Asia merupakan jaringan terbuka LSM dan ormas, terdiri dari 38 anggota yang mencakup 18 negara di Asia dan Timur Tengah. Jaringan CARAM Asia terlibat dalam penelitian, advokasi dan pembangunan kapasitas yang bertujuan untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak kesehatan para buruh migran Asia secara global. Kunjungi www.caramasia.org untuk informasi lebih lanjut tentang CARAM Asia. Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral (Gereja Anglikan) didirikan pada tahun 1995. Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral berfokus pada penyediaan program kesehatan reproduksi wanita, remaja sekolah, pekerja migran Asia dan komunitas. Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral merupakan anggota organisasi CARAM Asia. Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi www.sjhivctr.com.