新聞稿 二零零九年四月五日

advertisement
PERNYATAAN PERS
19 Desember 2010
HASIL PENELITIAN AWAL MENUNJUKKAN HAK-HAK PEKERJA RUMAH TANGGA
ASING (PRTA) DILANGGAR
Dalam rangka Hari Buruh Internasional, Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral dan CARAM Asia Bhd
meluncurkan sebuah laporan penelitian tentang Persepsi dan Sikap Majikan di Malaysia dan
Hongkong terhadap pekerja rumah tangga asing.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 menganalisis pendapat lebih dari 260 majikan yang
mempekerjakan pekerja rumah tangga asing (PRTA) masing-masing di Hongkong dan Malaysia mengenai
pemahaman mereka tentang peraturan, persepsi dan sikap terhadap PRTA, peraturan baru untuk PRTA dan
sikap majikan terhadap langkah-langkah hukuman terhadap praktek-praktek eksploitatif.
TEMUAN PENTING:
1. Ada perbedaan mencolok tentang cara majikan di Malaysia dan Hongkong melihat pekerja rumah
tangga asing (PRTA).
Malaysia cenderung melihat mereka sebagai 'pelayan' dengan sedikit
hak-hak dasar sementara di Hongkong melihat mereka sebagian besar sebagai ‘pekerja biasa’
dengan hak-haknya.
2. PRTA di Malaysia dan Hongkong umumnya bekerja terisolasi dan tetap rentan terhadap
perlakuan yang kejam tetapi perbedaan dalam kerangka peraturan dan prosedur di Hongkong
memberikan mereka perlindungan yang lebih baik dan cara-cara untuk mencari bantuan, hukum
ganti rugi, atau sarana-sarana untuk melarikan diri dari perlakuan yang kejam, jika diperlukan. Dua
kondisi penting utama adalah fakta bahwa di Hongkong, PRTA mendapatkan hari istirahat mingguan
dan memegang dokumen perjalanan mereka seperti paspor. Namun peraturan dan prosedur masa
kini di Malaysia menyediakan perlindungan minimal bagi PRTA dan praktek kerja saat ini
membatasi gerakan-gerakan mereka, artinya banyak dari mereka mungkin akan dipaksa untuk
menerima kondisi hidup di bawah standar dan beberapa dari mereka mungkin dirampas sama sekali
hak-hak asasinya.
3. Hasil survei menunjukkan bahwa PRTA umumnya bekerja demi kepuasan majikan mereka
dan memenuhi kebutuhan majikan untuk menyeimbangkan kebutuhan antara pekerjaan dan
kehidupan. Untuk sebagian besar, majikan di Malaysia dan Hongkong merasa puas dengan peran
yang dimainkan oleh PRTA tapi terdapat perbedaan dalam cara mengungkapkan kepuasan ini.
Meskipun penekanan lebih banyak pada hasil kerja yang sesungguhnya dari PRTA, sejumlah besar
majikan Malaysia sebenarnya menempatkan kepuasan mereka pada kemampuan PRTA untuk
mengatasi pembatasan kebebasan bergerak dan berinteraksi sosial. Sementara rekan-rekan mereka di
Hongkong lebih berorientasi pada hasil kerja.
4.
Karena kewajiban yang lebih tinggi dan mungkin untuk memenuhi pendidikan publik yang lebih
baik tentang hal ini, majikan di Hongkong lebih sadar akan hukum dan peraturan yang mencakup
hak-hak dari PRTA. Sebaliknya, hanya sedikit (6%) dari majikan Malaysia menunjukkan kesadaran
akan hukum yang berpengaruh dalam mempekerjakan PRTA. Para majikan Malaysia umumnya
tidak tahu tentang hukum dan perlindungan hak-hak PRTA dan tidak diminta bertanggung
jawab atas pelanggaran-pelanggaran mereka. Hal ini sebagian dibantu karena tidak adanya
sistem pemantauan sedangkan di Hongkong memiliki sistem lebih ketat.
5.
Majikan di Malaysia dan Hongkong merasa bahwa PRTA dilindungi berdasarkan hukum tempat
mereka masing-masing. Namun pandangan seperti itu dari majikan Malaysia sebagian dipengaruhi
oleh kurangnya pengetahuan hukum dan sikap umum dalam memandang PRTA sebagai pelayan.
Temuan ini sejalan dengan definisi seperti peraturan pekerja di Malaysia, menyampaikan pesan
umum hubungan "majikan-pelayan". Meskipun demikian, survei mengungkapkan bahwm satu
dari setiap lima majikan Malaysia mengakui bahwa peraturan saat ini di Malaysia tidak
cukup untuk melindungi PRTA.
6.
Ada juga beberapa perbedaan ditandai dengan pendekatan untuk mendisiplinkan PRTA,
majikan Malaysia cenderung untuk lebih menegur secara lisan atau memarahi sebagai bentuk
ungkapan ketidakpuasan kepada PRTA mereka untuk hal pelanggaran ringan sementara
majikan Hongkong mungkin kurang melakukannya untuk hal pelanggaran ringan. Majikan
Malaysia cenderung menggunakan jalur hukum atau langsung menghentikan PRTA mereka dalam
kasus pelanggaran yang lebih serius, misalnya, ketika PRTA menampar seorang anak, mereka
malah akan mengarahkan PRTA ke agen kerja untuk hukuman. Sedangkan lebih dari separuh
majikan Hongkong siap untuk menghentikan jasa PRTA. Secara relatif, majikan Malaysia
cenderung lebih menggunakan cacimaki untuk kinerja buruk PRTA sedangkan di Hongkong,
pelanggaran tersebut ditanggapi dengan peringatan untuk meningkatkan tanggung jawab mereka.
7.
Sikap umum yang ditunjukkan oleh majikan terhadap persyaratan dan usulan peraturan di
Hongkong dan Malaysia menunjukkan bahwa diberlakukannya penegakan hukum umumnya
mengarah pada kepatuhan yang lebih baik. Sebagian besar majikan di Hongkong umumnya
menerima peraturan yang menyediakan kebutuhan dasar dan sekunder bagi PRTA seperti
pembayaran upah tepat waktu dan tempat tinggal, serta kebebasan bergerak dan berinteraksi sosial.
Namun, majikan Malaysia hanya setuju dengan persyaratan kerja lainnya, seperti pembayaran upah
dan menyediakan kondisi hidup yang layak dan tidak terbuka dalam hal mengijinkan kebebasan
PRTA untuk bergerak atau bahkan untuk menikmati hari libur mingguan.
Survei di Hongkong menemukan bahwa perdebatan dominan terletak pada persoalan
mengijinkan FDHs menikmati hak-hak upah minimum yang sama dengan yang diterima oleh
warga negara Hongkong. Hal ini mungkin merefleksikan ketegangan dengan tenaga kerja lokal.
Di sisi lain, majikan Malaysia menunjukkan sikap lebih tidak bertanggung jawab atas hak-hak dasar
PRTA seperti mendapatkan pembayaran upah tepat waktu, izin mendapatkan hari libur mingguan
atau hanya memegang paspor mereka.
REKOMENDASI
1. Pemerintah di negara pengirim dan negera tuan rumah/penerima PRTA dapat memfasilitasi proses
kerja pekerja rumah tangga asing dengan menyediakan orientasi yang lebih baik untuk para
majikan yang potensial dan juga PRTA sehingga kedua belah pihak dapat memiliki pemahaman
yang jelas tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka. Pelatihan untuk para PRTA seharusnya
tidak diserahkan kepada agen-agen swasta yang telah mengenakan biaya berlebihan. Sebaliknya,
pemerintah bekerjasama dengan serikat buruh atau LSM untuk melakukan pelatihan-pelatihan yang
tidak hanya berfokus pada pelatihan keterampilan tetapi juga pada hak dan kewajiban dari seluruh
pihak yang berkepentingan.
2. Negara tuan rumah harus mengembangkan mekanisme yang memungkinkan menuntut majikan dan
agen yang memegang paspor para pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan Malaysia dan
Hongkong. Paspor atau dokumen-dokumen pribadi lainnya tidak seharusnya disimpan oleh
orang lain.
3. Pihak
berwenang
di
negara-negara
asal
PRTA
harus
meninjau
kembali
peran
lembaga-lembaga di semua tingkat dan kontrol terhadap biaya-biaya yang dikenakan ke
pekerja. Sementara pemerintah Malaysia dan Hongkong harus memantau untuk memastikan biaya
yang sudah dibayar oleh majikan tidak dibebankan lagi ke para pekerja.
4. Mekanisme yang lebih efektif dengan langkah-langkah hukuman yang kuat harus
dikembangkan untuk memastikan akuntabilitas dan pengawasan publik dari para pelaku dalam
proses mempekerjakan PRTA seperti agen-agen perekrutan tenaga kerja, majikan dan makelar untuk
setiap pelanggaran terhadap pekerja rumah tangga.
5. Pemerintah Malaysia dan Hongkong harus melakukan lebih banyak upaya untuk
meningkatkan kesadaran tentang hukum di antara para majikan dan alasan-alasan di balik
peraturan-peraturan tersebut. Misalnya, informasi tentang undang-undang tenaga kerja harus lebih
sering disebarluaskan melalui media massa seperti internet, program TV, radio, surat kabar, untuk
mengingatkan pihak yang berkepentingan tentang kewajiban dan hak mereka.
6. Karena Malaysia dan Hongkong (Cina) telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), kedua pemerintah ini harus menjamin
hak-hak yang diatur dalam konvensi tersebut ditransfer ke dalam hukum nasional dengan
pemantauan dan penegakannya.
7. Pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi majikan di Malaysia dan Hongkong harus mengambil
langkah-langkah untuk mendukung dan kemudian meratifikasi peraturan baru Organisasi Buruh
Internasional (ILO) untuk Pekerja Rumah Tangga dan rekomendasi tambahannya.
8. Lebih banyak survei dan penelitian lainnya harus dilakukan untuk melacak perubahan opini
masyarakat dan sikap majikan terhadap isu-isu yang terkait dengan PRTA dan majikan.
UNTUK PERTANYAAN MENGENAI PENELITIAN DI ATAS, SILAKAN HUBUNGI
Ms. Elijah FUNG, Manager
St. John’s Cathedral HIV Education Centre
4-8 Garden Road, Central, Hongkong
Tel:
(852) 2523 0531 / 2501 0653
Fax: (852) 2523 1581
Email: [email protected]
Website: www.sjhivctr.com
CARAM Asia adalah LSM yang memiliki Status Konsultatif Khusus dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan
Bangsa-Bangsa. CARAM Asia merupakan jaringan terbuka LSM dan ormas, terdiri dari 38 anggota yang mencakup 18
negara di Asia dan Timur Tengah. Jaringan CARAM Asia terlibat dalam penelitian, advokasi dan pembangunan
kapasitas yang bertujuan untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak kesehatan para buruh migran Asia secara
global. Kunjungi www.caramasia.org untuk informasi lebih lanjut tentang CARAM Asia.
Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral (Gereja Anglikan) didirikan pada tahun 1995. Pusat Pendidikan HIV St.
John’s Cathedral berfokus pada penyediaan program kesehatan reproduksi wanita, remaja sekolah, pekerja migran
Asia dan komunitas. Pusat Pendidikan HIV St. John’s Cathedral merupakan anggota organisasi CARAM Asia. Untuk
Informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi www.sjhivctr.com.
Download