BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dalam kurun waktu lebih dari setengah abad, dari tiga daerah di Indonesia yang menjadi sorotan dunia karena memiliki sejarah hubungan antara masing-masing daerah terburuk adalah Papua1 yang memiliki sejarah terpanjang hubungan buruk dengan Jakarta. Bila dihitung waktu, maka Papua sampai dengan tahun 2014 sudah genap 51 tahun (sejak 1 Mei 1963)2. Artinya sudah 51 tahun persoalan Papua menjadi persoalan negara dan bangsa Indonesia yang belum terselesaikan bahkan cenderung semakin diperpanjang. Salah satu persoalan yang membuat ecararelasi a substansial buruk adalah soal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Yang dimaksud dengan soal HAM di Papua memiliki banyak aspek dan banyak turunannya. Intinya adalah, bagaimana agar hak-hak hidup yang layak bagi orang Papua, sama dengan hak-hak hidup yang layak bagi warga negara Indonesia di wilayah lain di Indonesia. Antara lain : hak mendapatkan penghargaan atas martabat kepapuaan orang asli Papua; hak untuk mendapatkan pelayanan publik, pelayanan kesehatan, serta pendidikan yang layak, hak untuk menyampaikan 1 Disampaikan dalam Konferensi Nasional HAM II. HAM dan Tata Kelola Pemerintahan Baru Indonesia. Kerjasama PUSHAM UNIMED dengan PANRANHAM Propinsi Sumatera Utara dan SEPAHAM Indonesia, kampus UNIMED, Medan, Sumatera Utara, Sabtu-Minggu/11-12 Oktober 2014 2 Neles Tebay, Dialog Jakarta-Papua. Sebuah Perspektif Papua, Sekretariat Keadilan dan Pedamaian Keuskupan Jayapura, Jayapura 2011 (cetakan kedua), hal. 1. Baca juga, Muridan S. Wijoyo, dkk. Papua Road Map. Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, hal. 3-6., LIPI, Yayasan TIFA, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, tahun 2009. 1 2 suara kritis mereka secara bebas dan pantas, belum lagi hak atas tanah ulayat dan kekayaan sumber daya alam yang ada di seluruh wilayah, di atas tanah, di laut di wilayah Papua3. Banyak sekali pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga sipil di papua, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Itu pun yang diketahui, tak terhitung juga pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah secara diam-diam yang belum diketahui hingga saat ini. Semua pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warganya itu tak pernah diselesaikan satu kasus pun hingga saat ini. Bahkan KOMNASHAM juga belum bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua ini dan cenderung acuh tak acuh. Di papua pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia sudah cukup memprihatinkan, dan kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di Papua dan umumnya di lakukan oleh aparat militer terhadap rakyat pribumi di papua. Sampai dengan saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM di papua belum diselesaikan secara maksimal, dan dengan adanya hal inilah yang menyebabkan timbulnya akar konflik antara rakyat pribumi dengan pemerintah Indonesia. Betapa ironisnya, Papua yang sangat kaya dengan berbagai sumber daya alam dan tanah yang mengandung sumber-sumber mineral, mas, gas, uranium; laut yang mengandung banyak keindahan dan jenis-jenis ikan yang luar biasa, hutan yang sangat kaya dengan berbagai jenis pohon yang mahal 3 DIREKTUR Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei) di Yogyakarta (website: http://www.interfidei.or.id) diakses tanggal 2 Oktober 2015. 3 harganya dan juga khasiat herbal luar biasa serta hewan-hewan dan jenis burung yang beberapa di antaranya tidak terdapat di daerah bahkan di negara lain, belum lagi adat-istiadat dari berbagai etnis Papua yang jumlahnya kurang lebih 253 etnis. Tetapi, berbagai jenis pelanggaran HAM terjadi, bahkan sampai sekarang konflik masih berkepanjangan. Nyaris setiap hari masyarakat hidup dengan tidak rasa aman, terutama yang berada di daerah-daerah pegunungan, antara lain karena setiap saat melihat ada banyak warga negara Indonesia yang berpakaian militer (TNI dan POLRI) lalu-lalang juga di jalanjalan di pusat kota, di kampung-kampung –tidak hanya di daerah perbatasan. Sementara kehidupan rakyat Papua bila dilihat dari standart kelayakan sama sekali masih belum memenuhi standar4. Papua merupakan daerah di ujung timur Indonesia yang selama ini masih menjadi perhatian publik nasional dan internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum PEPERA atau sesudah Papua secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia, pemerintah memilih dan menggunakan pendekatan keamanan (militer) dengan dalih menegakan kedaulatan negara, mengikis habis gerakan separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua. Bahkan, pendekatan ini juga dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah gerakan masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah maupun perlawanan dari kelompok di Papua 4 “jelas bahwa orang asli Papua mengalami marjinalisas secara Padabudaya”kutubyangekstrim. orang asli Papua merasakan akan mengalami kepunahan sebagai suatu etnisitas. Singkatnya orang asli Papua tidak berdaya akibat kegagalan kebijakan sosial politik dan ekonomi dalam mendorong terjadinya proses emansipasi bagi orang asli Papua. Ini penting sebagai bentuk rekognisi terhadap orang asli Papua. Dengan rekognisi, diharapkan orang asli Papua dapat membangun martabatnya dan memiliki kebanggaan diri sebagai orang asli Papua dan warga negara Indonesia. (Muridan S. Wijoyo, ibid. Hal. 94) 4 yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan jalan damai. Dalam kenyataannya, penanganan konflik Papua tidak berubah walaupun rezim telah beberapa kali berganti. Hal itu bisa dilihat dengan belum adanya perubahan secara jelas terhadap kebijakan pusat setelah 50 tahun lebih integrasi Papua ke Indonesia. Faktanya pendekatan keamanan dan militer masih dipertahankan dan digunakan dengan alasan ancaman keamanan dan kedaulatan negara. Kemudian diperparah ketika terjadi perubahan politik nasional seiring tumbangnya rezim orde baru tahun 1998, penanganan konflik Papua tidak beranjak dari pola pendekatan politik militer. Meskipun tahun 2001 pemerintah pusat yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Megawati Sokarnoputri memberikan Otonomi Khusus (OTSUS) sebagai suatu alat politik terhadap Papua melalui pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, namun hal tersebut tidak menandakan adanya gejala perubahan pola penanganan di Papua, karena kenyataannya pendekatan yang bertumpu pada penggunaan aparat TNI masih diberlakukan. Tetap berlanjutnya pendekatan ini terhadap Papua mencerminkan sikap setengah hati dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik antara Jakarta5. Selanjutnya pemerintah SBY ingin menuntaskan masalah HAM di Papua, yang teknis pelaksanaannya ada di bawah Menko Polhukam beruapa tindakan pencegahan dan investigasi menyeluruh dan setuntas mungkin. Dalam proses ini kantor Menopolhukam tidak hanya menyerahkan masalah kepada TNI, Polri, dan penegak hukum milik Pemerintah saja, tetapi juga 5 Studi Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua, diakses dari http://www.academia.edu/9997852/Studi_Kasus_Pelanggaran_Hak_Asasi_Manusia_di_Papua, tanggal 5 Oktober 2015. 5 melibatkan lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM serta organisasi masyarakat sipil yang terkait dengan masalah penegakan hukum dan perlindungan HAM. Tentunya, pihak Menko Polhukam memiliki hak untuk menjadi koordinator yang akan mengatur proses investigasi dan penuntasan masalah. Karena bagaimanapun juga Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjalankan kebijaksanaan publik yang telah dibuatnya dan menyelidiki penyimpangan HAM yang terjadi di Papua6. Dalam proses pembahasan masalah ini, penulis mencoba mengambil beberapa teori dan konsep yang mempunyai relevansi dengan core subject pada Ilmu Hubungan Internasional terutama Hukum Internasional dan Politik Internasional, sekalipun tidak menutup kemungkinan memiliki kolerasi dengan core subject lainnya, yaitu Politik Luar Negeri dan Hak Asasi Manusia pada pembahasan selanjutnya. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai pelanggaran HAM di Papua yang diwujudkan dalam bentuk skripsi, dengan berjudul : “MASALAH MORAL PENEGAKAN HAM DI PAPUA (Pengkajian Peranan Internasional 6 Statemen Menko Polhukam Djoko Suyanto bahwa pelaku penganiayaan terhadap para tersangka anggota OPM adalah dari kesatuan milter (TNI) merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati. Secara positif, pengumuman itu dapat diartikan sebagai kemauan politik yang tinggi dari Pemerintah SBY untuk melaksanakan komitmen keterbukaan dan perlindungan hukum terhadap mereka yang menjadi korban, serta tindakan tanpa pandang bulu terhadap para pelanggar hukum. Statemen itu, secara positif, juga merupakan petunjuk bahwa kebijakan Pemerintah dalam menghadapi para pemberontak separatis OPM telah berubah dari pendekatan operasi militer (yang dulu dijadikan strategi utama oleh Orba) menuju pendekatan yang memberikan prioritas kepada kesejahteraan dan komitmen terhadap HAM. Namun demikian, statemen Menko Polhukam juga bisa "dibaca" dari sisi negartif. Pertama, ia menjadi bukti bahwa pelanggaran terhadap HAM di Papua ternyata masih belum sepenuhnya dapat dihentikan. Kedua, pelaku pelanggaran HAM yang selama ini dituding, yaitu aparat keamanan, khususnya militer, ternyata bukanlah suatu isapan jempol. Bukti otentik berupa rekaman gambar yang tersebar di YouTube itu sulit untuk dibantah sebagai sekedar rekayasa, bilamana ia telah diakui sebagai sebuah fakta. Kedua, dari fakta itu terbuka berbagai kemungkinan yang lebih buruk yaitu, antara lain, bahwa bukan hanya itu saja pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang dilakukan oleh aparat keamanan. Bisa saja berbagai pelanggaran sejenis atau yang lebih berat tidak terjamah oleh hukum karena kurangnya bukti empiris. Demikian juga, bisa jadi pelakunya bukan hanya dari kalangan militer (TNI), tetapi juga Polri dan aparat lain. Diakses dari http://www.detiknews.com/read/2010/10/22/132253/1472229/10/pemerintah-akui-penganiaya-warga-papua-adalah-militer, tanggal 6 Oktober 2015. 6 dalam Masalah-masalah Pelanggaran HAM di Papua Tahun 20102014)”. B. Identifikasi Masalah. Penuntasan masalah HAM di Papua perlu diiringi dengan sebuah penyikapan yang tegas terhadap semua upaya gangguan dan ancaman tehadap keamanan dan kedaulatan negara. Kalaupun para pelaku pelanggaran HAM dikenakan hukuman, maka tidak berarti kemudian ketegasan terhadap para separatis OPM dikendurkan. Justru sebaliknya, apabila upaya penegakan hukum dan perlindungan HAM ini benar-benar tuntas, maka upaya-upaya pemebrantasan kelompok separatis pun harus ditingkatkan. Dalam hal ini, bukan saja operasi militer dan kamtibmas, tetapi juga upaya-upaya kesejahteraan harus direalisasikan secara konsekuen dan konsisten . Salah satu kendala dalam pelaksanaan pendekatan kesejahteraan adalah maraknya korupsi di kalangan pejabat daerah di Papua, sehingga anggaran pembangunan dan dana otonomi khusus yang selama ini telah triliunan digelontorkan ke Tanah Cenderawasih itu ternyata tidak membawa hasil yang nyata. Papua tetap saja menjadi daerah yang paling terpuruk dalam soal infrastruktur utama, dan juga memiliki kualitas hidup (khususnya penduduk pribumi) yang rendah. Rendahnya mutu pendidikan dan kesehatan, langkanya pekerjaan yang layak, dan pengangguran yang tinggi adalah persoalan dasar masyarakat lokal Papua yang semua orang tahu namun tampaknya tidak ada upaya memecahkannya secara sistemik. Yang sampai 7 sekarang tampak adalah upaya-upaya ad-hoc yang tampak indah di media massa tetapi hanya di permukaan belaka7. Berdasarkan uraian diatas, penulis menarik identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana latarbelakang terjadinya pelanggaran HAM di Papua? 2. Bagaimana peranan Pemerintah Indonesia dan LSM HAM dalam penanganan dan penuntasan pelanggaran HAM di Papua ? 3. Hambatan apa saja yang dialami pemerintah dan LSM HAM dalam penangangan kasus HAM di Papua ? 4. Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan LSM HAM dalam penuntasan pelanggaran HAM di Papua ? 1. Pembatasan Masalah. Mengingat luasnya permasalahan yang dihadapi, penulis membatasi fokus pembahasan pada masalah-masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Papua kurun waktu dari tahun 2010-2014 baik dilakukan oleh aparat pemerintah maupun pihak lain yang berkepentingan atas sumber daya alam Papua. 7 Menko Polhukam telah mencoba membuka diri dan tindaklanjutnya sangat ditunggu. Jangan sampai karena berlama-lama, maka tayangan pelanggaran HAM di Tanah Papua ini menjadi senjata ampuh bagi kemompok separatis, yang sejatinya tidak cukup kuat itu, dapat bangkit kembali karena ia lantas mampu menarik perhatian dan opini publik nasional dan internasional. Janganlah hanya karena nila setitik lantas bisa merusak susu sebelanga. Kedaulatan NKRI dan kesatuan serta persatuan nasional kita tak boleh dirusak oleh perbuatan para pelanggar HAM yang, pada giliranny, dapat dieksploitasi oleh separatis OPM, sumber dari https://web.facebook.com/notes/muhammad-a-s-hikam/menuntaskanmasalah-pelanggaran-ham-oleh-militer-di-papua/446552491261, diakses tanggal 1 Oktober 2015. 8 2. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis merumuskan masalah, sebagai berikut : “Bagaimana upaya pemerintah bersama LSM HAM dalam penanganan dan penuntasan pelanggaran HAM di Papua”. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. 1. Tujuan Penelitian. a. Mengetahui secara jelas latar belakang terjadinya pelanggaran HAM di Papua. b. Mengetahui peranan pemerintah dan LSM HAM dalam penanganan dan penuntasan pelanggaran HAM di Papua. c. Mengetahui hambatan-hambatan yang dialami pemerintah dan LSM HAM dalam penangangan kasus HAM di Papua. d. Mengetahui usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dan LSM HAM dalam penuntasan pelanggaran HAM di Papua. 2. Kegunaan Penelitian. a. Menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan peneliti secara teoritis dan praktis mengenai hukum hak asasi manusia. b. Dapat memberikan gambaran kepada masyarakat luas mengenai pelaksanaan HAM di Indonesia umumnya dan Papua khususnya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihakpihak yang menaruh perhatian kepada penegakan HAM di Papua. 9 d. Memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan. D. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis. 1. Kerangka Pemikiran. Untuk mempermudah proses penelitian, penulis menggunakan suatu kerangka pemikiran dan beberapa teori yang dipergunakan oleh para ahli dan konsep-konsep yang relevan dengan objek penelitian yang relevan dengan objek penelitian yang dibahas. Dalam hal ini K.J. Holsti8, memberi gambaran mengenai Hubungan Internasional sebagai berikut : “Hubungan internasional adalah semua interaksi diantara masyarakat yang berlainan, baik yang disponsori pemerintah maupun tidak. Hubungan Internasional akan meliputi analisa kebijakan luar negeri atau proses-proses politik antar bangsa, tetapi dengan memperhatikan seluruh segi hubungan itu.” Pengertian di atas, memberikan pemahaman bahwa hubungan internasional dapat saja diakibatkan oleh adanya pola interaksi masyarakat, baik secara individu maupun kepompok, dalam pembahasan penelitian ini masyarakat yang dikamsudkan adalah masyarakat pengusaha. Pola interaksi tersebut melahirkan tata hokum yang mengaturnya, sehingga pola interaksi dapat terkendali. Sependapat dengan pemikiran tersebut, J.G. Starke9, mengemukakan definisi hukum internasional sebagai berikut : “Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar 8 9 K.J. Holsti, Politik Internasional : Suatu Kerangka Analisis (1987 : 29) J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (1995 : 3). 10 terdiri dari prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya benarbenar ditaati secara umum dalam hubunganhubungan mereka satu sama lain”. Hukum internasional menghendaki adanya kerjasama internasional, oleh karena dalam kerjasama internasional mengukuhkan kerangka hukum internasional yang saling percaya dan saling pengertian, dengan demikian arah dari hubungan maupun hokum internasional itu dapat ditentukan pada pola yang saling menguntungkan. Sejalan dengan pemikiran tersebut Koesnadi Kartasasmita10, memberikan definisi kerjasama internasional, sebagai berikut : “Kerjasama internasional : Kerjasama terjadi karena nation understanding dimana mempunyai arah dan tujuan yang sama serta keinginan internasional dan saling membutuhkan. Kerjasama itu sendiri didasari oleh kepentingan bersama, diantara negara-negara namun kepentingan tersebut tidak identik”. Arah dan tujuan kerjasama internasional tersebut tentunya diharapkan bisa saling menguntungkan, dalam hal ini kerjasama internasional senantiasa membawa dampak kehidupan sosial politik masyarakat, untuk lebih jelasnya penulis sampaikan pengertian HAM dari Haar Tilar11, sebagai berikut : “HAM ialah hak-hak yang melekat pada diri setiap insan dan tanpa memiliki hak-hak itu maka setiap insan tidak bisa hidup selayaknya manusia. Hak tersebut didapatkan sejak lahir ke dunia”. 10 11 Oktober 2015. Koesnadi Kartasasmita, Organisasi Internasional (1983 : 1) http://www.seputarpengetahuan.com/2015/03/pengertian-hak-asasi-manusia-menurut.html diakses tanggal 1 11 Setiap manusia sejak lahir telah memiliki hak asasi dimana sebagai manusia pasti memiliki sesuatu yang menjadi pokok atau dasar dari setiap diri masing-masing individu. Hak bisa diartikan sebagai kekuasaan untuk melakukan sesuatu atau kepunyaan (milik), sedangkan asasi merupakan hal yang utama, dasar atau pokok. Sehingga hak asasi manusia bisa diartikan kepunyaan atau milik yang sifatnya pokok dan melekat pada diri setiap insan sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Banyak sekali definisi tentang hak asasi manusia (HAM), untuk lebih jelasnya dapat disimak penjelasan dari pengertian HAM menurut John Locke12 yang menjelaskan bahwa : “HAM ialah hak-hak yang langsung diberikan Tuhan yang esa kepada manusia sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuatan apapun di dunia yang bisa mencabutnya. HAM ini sifatnya fundamental atau mendasar bagi kehidupan manusia dan pada hakikatnya sangat suci”. Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan hak yang sudah melekat dalam diri setiap insan yang dibawa sejak lahir ke dunia dan berlaku sepanjang hidupnya serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena hak itu sifatnya kodrati yang langsung Tuhan berikan pada setiap makhluk ciptaannya tanpa adanya perbedaan baik suku, status, keturunan, gender, golongan dan lain sebagainya. Untuk memperkuat pandangan tersebut, penulis sampaikan definisi HAM menurut Miriam Budiarjo13 yaitu : “HAM merupakan hak yang dimiliki setiap orang yang dibawa sejak lahir ke dunia dan 12 Ibid. 12 menurutnya hak itu sifatnya universal karena dimiliki tanpa adanya perbedaan ras, kelamin, suku, budaya, agama dan lain sebagainya”. Adapun pengertian pelanggaran HAM yang disampaikan oleh Abdurrahman Hafizh14, adalah sebagai berikut : Menurut Pasal 1 Angka 6. No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara, baik sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia sesorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang- undang dan tidak mendapatkan atau dikwatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia sesorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdaasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijaknya Kondisi HAM di Papua digambarkan oleh ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) sebagai berikut : 13 14 Mirian Budiardjo, Demokrasi Kita, Jakarta : Gramedia, 2009 hlm. 75. http://www.scribd.com/doc/221525659/pelanggaran-ham-papua#scribd, diakses tanggal 6 Oktober 2015. 13 Akibat penerapan operasi militer, selama kurun waktu di bawah rejim orde baru, setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh. Sasaran pembunuhan tidak saja pada orang-orang yang dianggap sebagai tokoh OPM, tetapi juga terhadap masyarakat Papua yang dianggap sebagai basis kekuatan OPM. Paparan diatas menunjukan adanya pelanggaran HAM di Papua dengan penerapan operasi militer di Papua yang sudah memakan korban bukan hanya saja anggota OPM akan tetapi masyarakat Papua yang dianggap berafiliansi dengan OPM menjadi sasaran intimidasi militer pada saat itu. Terlebih masyarakat yang sama sekali tidak terlibat dengan OPM menjadi ketakutan dan mengalami trauma yang sangat panjang serta tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan hak dasarnya terutama sekali hak untuk mendapatkan kehidupan sosial yang nyaman dan tentram. Untuk itu, penulis akan membahas lebih jauh bagaimana kaitan antara globalisasi dan HAM melalui studi kasus pelanggaran HAM di Papua dengan mengkaji sejauh mana peran globalisasi (dalam bentuk media dan organisasi non pemerintah) dalam kasus pelanggaran HAM di Papua. Pendapat Arat15 mengenai hubungan globalisasi dengan hak asasi manusia, adalah sebagai berikut : “Globalization and Human Rights, as a whole, is concerned about understanding the “phenomenon” of globalization and its impact on human rights, whether it establishes a threat to human rights or creates opportunities for the advancement of human rights“ 15 Arat, Zehra F. Kabasakal. (2003). The Globalization of Human Rights, edited by Jean-Marc Coicaud, Michael W. Doyle, and Anne-Marie Gardner. Tokyo: United Nations University Press hlm 75. 14 Merujuk pada pernyataan Arat tersebut, globalisasi menjadi pisau bermata dua yang keberadaannya bisa menjadi ancaman bagi isu HAM ataupun sebaliknya, meningkatkan kemajuan HAM meskipun tidak dapat dicapai dengan mudah dalam proses implementasinya. Arat16 menjelaskan sebagai berikut : “Globalisation increase the interaction among people, integration of markets, and development of common norms and values— are essentially neutral and can offer great opportunities to people. The advancement of human rights, for example, has been a part of the globalization process: a set of norms and values has been recognized as universal human rights, even though they may not be fully accepted or implemented”. Clifford Bob17 memaparkan berbagai pandangan dan argumennya mengenai keterkaitan antara globalisasi dan maraknya kampanye hak asasi manusia saat ini. Ia mengemukakan berbagai alasan mengapa isu tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini mencuat ke publik begitu cepat. Media menjadi kunci utama yang sangat diperlukan untuk membantu isu tersebut mendapatkan keadilan dari berbagai lembaga hukum. Dalam hal ini, media sebagai alat dan langkah awal untuk mendapatkan perhatian dunia. Meskipun demikian, isu ini tidak hanya sebatas diketahui secara global melainkan harus ada tindak lanjut, globalizing issues demand discussion. Juwariyah18 mengungkapkan bahwa konsep hak asasi manusia secara 16 signifikan semakin dikuatkan dengan kemunculan non- Ibid Bob, Clifford. (2013). Globalization and the construction of human rights campaign. Diakses dari http://beingir.tumblr.com/post/41840186328/globalization-and-the-social-construction-of-human. 18 Juwariyah, Asih. (2012). Isu-isu global hak asasi manusia. Diakses dari http://kanshaforlife.wordpress.com/2012/10/04/isu-isu-global-hak-asasi-manusia/ 17 15 governmental organisation yang peduli terhadap penegakan hak asasi manusia, seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan institusi internasional yang berbasis pada hak asasi manusia seperti International Criminal Court dan United States Commission on Human Right. Langkah selanjutnya inilah yang kemudian menjadi penting. Berdasarkan konsep dan teori di atas, penulis menarik konklusi bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua telah menimbulkan masalah kemanusiaan yang memprihatinkan. Selanjutnya, berdasarkan konklusi di atas, penulis menarik asumsi sebagai berikut : a) Adanya pelanggaran HAM yang sangat memprihatinkan di Papua dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. b) Pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua sudah berlangsung sejak orde baru. c) Pelanggaran HAM di Papua masih terus berlangsung sampai saat ini dan terkadang masyarakat pedesaan di Papua kurang memahami masalah-masalah HAM. 2. Hipotesis. Berdasarkan kerangka pemikiran, perumusan masalah, serta asumsi yang penulis kemukakan diatas, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : “Jika tidak adanya kesadaran moral dan keinginan kuat dari pemerintah Indonesia atas pelanggaran HAM di Papua, maka pelanggaran HAM di Papua akan terus berlangsung, 16 yang ditandai dengan masih belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM di Papua dan masih rendahnya pemahaman masyarakat Papua di pedesaan atas HAM”. Untuk memperjelas hipotesis, peneliti mengajukan definisi oprasional, sebagai berikut : 1) Adanya kesadaran moral dan keinginan kuat dari pemerintah Indonesia adalah motivasi yang kuat dari pemerintah Indonesia baik dari pemegang kekuasaan maupun pelaksana kekuasaan (aparat) untuk secara sadar dan bermoral menerapkan HAM dalam setiap tindakan maupun kebijakan sebagai suatu pendekatan kepada masyarakat Papua. 2) Berlangsungnya pelanggaran HAM di Papua merupakan suatu kondisi kemanusiaan yang memprihatikan dan perlu mendapatkan upaya-upaya sosial, politik dan hukum agar masyarakat Papua sesegera mungkin mendapatkan hak asasinya untuk hidup bermasyarakat, berekonomi dan berpolitik setara dengan masyarakat lainnya di Indonesia. 3) Masih rendahnya masyarakat pedesaan di Papua adalah kondisi sosial masyarakat Papua dimana pendidikan yang layak belum merata di tanah Papua, sehingga masyarakat pedesaan di Papua kurang memahami akan pentingnya penghargaan atas HAM yang melekat dalam dirinya. 17 E. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data. 1. Metode Penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : a) Metode Deskriptif menggambarkan Analisis yaitu kejadian-kejadian metode atau penelitian yang peristiwa-peristiwa berdasarkan data dan fakta yang ada dan sedang berlangsung, untuk menghasilkan analisis mengenai moralitas dan keinginan kuat pemerintah daerah dan pusat untuk menangnai kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. b) Metode Historis Analitis, yaitu metode yang digunakan dalam menelaah terhadap kejadian-kejadian, perkembangan dan pengalaman masa lalu serta merupakan interprestasi dari data yang tersedia, di mana metode historis ini bertujuan mengkonstruksi masa lalu secara sistematis dengan mengumpulkan dan mengklasifikasikan semua bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan sehubungan dengan adanya pelanggaran HAM di Papua. 2. Teknik Pengumpulan Data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari dan mengkaji permasalahanpermasalahan melalui buku-buku, dokumen-dokumen, peraturan-peraturan 18 serta bahan bacaan laninya sebagai pegangan serta berkaitan dengan sasaran penelitian. F. Lokasi dan Lamanya Penelitian. 1. Lokasi Penelitian. Untuk mendapatkan data dan informasi yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan yang diteliti, lembaga yang akan penulis ambil sebagai penunjang laporan skripsi adalah sebagai berikut : 1. Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste Jln. Iskandarsyah 1 No. 14 , Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12160. 2. Centre For Strategic And International Studies (CSIS) Jl. Tanah Abang III/23-27 Jakarta 10160. 3. Perpustakaan Departemen Luar Negeri RI, Jl. Pejambon, No. 6, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110, Indonesia. 4. Sekretarian ASEAN Jalan Sisingamangaraja No.70A, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110, Indonesia. 5. UNHCR - Representative Office For Indonesia, Menara Ravindo14th Floor, Jalan Kebon Sirih Kav.75, Menteng, Menara Ravindo, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10340, Indonesia. 2. Lamanya Penelitian Adapun lamanya penelitian diperkirakan memakan waktu kurang lebih lima bulan yang dimulai pada bulan Nopember 2015 sampai dengan Maret 2016 dan diawali dari persiapan sampai dengan tahap penulisan. 19 TABEL 1.1. JADWAL LAMANYA PENELITIAN No Kegiatan A. Tahap Persiapan : 1. Konsultasi 2. Pengajuan Judul 3. Penyusunan Proposal 4. Seminar Proposal 5. Perencanaan Penelitian 6. Pengurusan Surat Ijin B. Pengumpulan Data C. Pengolahan Data D. Penyusunan Laporan E. Seminar Draft F. Perbaikan Seminar Draft G. Presentasi Tahun 2015 2016 Bulan Nopember Desember Januari Februari Maret Minggu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4