ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL BETAWI "KETURUNAN" Tjandra Kania1 Abstract Recently Batavian traditional houses have been very hard to find. In Parung and surrounding areas, however, there are traditional houses with Batavian culture appearance. The peculiarity of this is that the houses are occupied by Indonesian-Chinese, or commonly named as "keturunan" community. This research unveils that these Batavian Traditional houses were structured (or built) as a result of acculturation between Batavian Traditional House Architecture and Chinese Traditional House Architecture. Keywords: Traditional Architecture, Architecture Acculturation Abstrak Rumah Tradisional Betawi saat ini sudah sulit diketemukan, namun di daerah sekitar Parung dapat diketemukan rumah-rumah Tradisional dengan tampilan Rumah Tradisional Betawi, yang tersebar di beberapa desa. Istimewanya, rumah-rumah tradisonal tersebut dihuni oleh orang keturunan Tionghoa, atau biasa disebut "kaum keturunan." Melalui penelitian, diketemukan bahwa rumah Tradisional Betawi yang dihuni oleh orang "keturunan" ini ternyata rumah yang terbentuk akibat adanya akulturasi antara Arsitektur Rumah Tradisional Betawi dan Arsitektur Rumah Tradisional China. Kata kunci: Arsitektur Tradisional, Akulturasi Arsitektur PENDAHULUAN Rumah Tradisional Betawi sangat sulit diketemukan, bukan hanya di seluruh kawasan Betawi tetapi juga didaerah yang dikatakan sebagai cagar budaya Betawi sendiri seperti Condet. Dewasa ini orang mulai menengok kembali Rumah Tradisional Betawi karena menghawatirkan akan keberadaan rumah ini sehingga pemerintah juga membuat cagar budaya Betawi di tempat lain (di kawasan Bale Kambang), dan beberapa orang yang mencintai kebudayaan Betawi malah dengan, sengaja membuat rumah "Tradisional Betawi", yaitu rumah yang dibangun dengan menggunakan "pakem" Rumah Tradisional Betawi tetapi dengan memasukkan unsur modern ke dalamnya, seperti penggunaan material lantai modern (keramik) ataupun material dinding bata. Di daerah sekitar Parung diketemukan banyak Rumah dengan bentuk yang sangat mirip dengan Arsitektur Rumah Tradisional Betawi (baik dari tampilan, maupun dari material yang digunakan). Dengan melihat kondisi fisiknya, dapat diperkirakan bahwa rumah-rumah tadi dibangun tidak kurang dari lima puluh tahun yang lalu, bahkan masih menggunakan material bangunan yang sama dengan rumah Tradisional Betawi, namun dengan penghuni yang berbeda. Rumah-rumah ini dihuni oleh orang keturunan yang mewarisi rumahnya dari kakek buyutnya. ' Dosen Tetap Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Indonesia Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 21 PERMASALAHAN Hal yang menarik untuk diteliti dari kasus ini adalah apakah rumah-rumah ini benarbenar merupakan rumah Tradisional Betawi yang dibangun dengan menggunakan pakempakem Arsitektur Rumah Tradisional Betawi, ataukah hanyalah rumah yang berpenampilan Rumah Tradisional Betawi saja, mengingat penghuni rumah-rumah ini bukanlah orang Betawi asli, lalu mengapa mereka membangun rumahnya seperti Rumah Tradisional Betawi? SEJARAH LAHIRNYA RUMAH BETAWI KETURUNAN Ribuan tahun yang lalu sungai-sungai yang mengalir ke teluk Jakarta membentuk endapan yang makin lama makin mantap sehingga akhirnya dihuni orang, maka terbentuklah beberapa kelompok pemukiman yang akhirnya berkembang menjadi pelabuhan besar. Pada abad ke 14 Sunda Kalapa (yang dapat juga diartikan sebagai Kelapa milik orang Sunda), merupakan pelabuhan kerajaan Pakuan Pajajaran yang banyak disinggahi kapal-kapal asing karena perdagangannya sudah berkembang pesat. Pedagang dari berbagai bangsa yang saat itu meramaikan perdagangan di Pelabuhan Sunda Kalapa, diantaranya adalah pedagang dari Arab, India, Tiongkok, Portugis, Inggris dan Belanda. Pada tahun 1527, Fatahillah (menantu Sultan Demak) meyerang Sunda Kalapa dan memperoleh kemengangan pada tanggal 22 Juni, sehingga nama Sunda Kalapa diubah menjadi Jayakarta. Sejak itu pengaruh Pajajaran dan Portugis semakin menyusut, sebaliknya kapal-kapal Belanda makin banyak berdatangan. Setelah kemenangannya Fatahillah kemudian mengembangkan Jayakarta ke sebelah Barat Sungai Ciliwung, sementara di sebelah timur sungai Ciliwung berkembang pemukinan masyarakat Tionghoa yang melakukan aktivitas perdagangan. Pada tahun 1617 Belanda mendapat ijin membangun sebuah kantor dagang di atas tanah di daerah pemukiman Tionghoa, namun kemudian disalah gunakan oleh Belanda untuk membuat benteng. Hal ini tidak disukai Fatahillah sehingga terjadilah pertempuran yang dimenangkan oleh Belanda dibawah pimpinan JP Coen. Kekuasaan Belanda yang semakin besar menimbulkan ketidak sukaan bangsa lain sehingga sering terjadi keributan. Pada tahun 1740 terjadi kebakaran di pemukiman orang Tionghoa. Kejadian ini oleh Belanda dianggap suatu tanda untuk melakukan permberontakkan, sehingga Belanda melakukan gerak sapu bersih terhadap orang Tionghoa yang diketemukannya. Sebagian orang Tionghoa lari ke Semarang, sebagian lagi dibunuh atau dijebloskan ke penjara (bagi yang tertangkap), namun sebagian lagi lari ke arah selatan, dan untuk menghindari pengejaran Belanda mereka menyamarkan rumahnya dengan bentuk rumah masyarakat setempat, dengan menggunakan material setempat, namun dengan organisasi ruang seperti rumah tradisional yang mereka kenal. RUMAH TRADISIONAL BETAWI a. Organisasi Ruang dan Bentuknya Berdasarkan organisasi ruang, rumah Betawi dapat dikelompokkan atas : bagian luar / teras (beranda, digunakan untuk menerima tamu, tidur siang, bersosialisasi dengan tetangga, dsb), bagian dalam (ruang dalam, digunakan untuk ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur), dan bagian belakang (dapur yang 22 Jurnal II mi ah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21 - 33 kadang juga berfungsi sebagai ruang makan), tanpa KM / WC (KM / WC ' umumnya berada di luar bangunan rumah), dengan tipologi organisasi ruang sbb: DAPUR QAPUR K 1IDUR w.,-* RO DALAM K TIOVH I n® OALAM DAUM KTIO^ TSRAS K f IDUR K TKXift FEfiAS RO OALA^ I < TlDUR TERAS Gambar 1 Contoh Organisasi Ruang dalam rumah Tradisional Betawi (Sumber : Rumah Tradisional Betawi, Harun, Ismet B dkk, 1991) Berdasarkan bentuknya, rumah Betawi dapat dikelompokkan atas : a. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang, dapur hanya merupakan tambahan, beratap pelana memanjang dari depan kebelakang, sedangkan atap bagian dapur sering hanya berupa atap tambahan (atap meja), dengan bagian tertinggi menempel ke dinding ruang dalam, dan miring ke arah belakang b. Rumah Joglo, denah berbentuk bujur sangkar, bentuk atap dipengaruhi oleh bentuk atap rumah Jawa, namun tidak seperti Joglo murni, karena pada rumah Betawi ditambah dengan tekukan (dalam bahasa Sunda dinamakan "sorondoy") c. Rumah Bapang / Kebaya, denah berbentuk empat persegi panjang, atap rumah berbentuk pelana yang dilipat (memiliki dua sudut kemiringan) / Gambar 2 a. Rumah Gudang b. Rumah Joglo c. Rumah Bapang (Sumber : Rumah Tradisional Betawi, Harun, Ismet B, 1991) Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 23 Material yang digunakan 1) Material Atap : Material penutup atap digunakan genteng atau atep (daun kiraiyang dianyam), konstruksi kuda-kuda dan gording menggunakan kayu gowok (Syzygium Polycephalum) atau kayu kecapi (Sandoricum Koetjape), balok tepi, terutama diatas dinding luar menggunakan kayu nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk) yang sudah tua, sedangkan kaso dan reng menggunakan bambu tali (Giganto Chloa Apus). Bambu yang digunakan sebagai kaso adalah bambu utuh dengan diameter ± 4 cm, sedangkan yang digunakan untuk reng adalah bambu yang dibelah. 2) Material Dinding Material yang digunakan untuk dinding depan adalah kayu gowok / kayu nangka yang terkadang dicat dengan dominasi warna kuning dan hijau. Dinding rumah lainnya menggunakan bahan anyaman bambu (gedhek) dengan atau tanpa pasangan bata di bagian bawahnya. Daun pintu / jendela biasanya terdiri dari rangka kayu dengan jalusi horisontal pada bagian atasnya atau pada keseluruhan daun pintu / jendela.Bentuk daun pintu / jendela adalah seperti terlihat pada gambar 2, pada halaman berikut ini. 3) Material Struktur Bahan yang digunakan untuk pondasi rumah adalah batu kali dengan sistem pondasi umpak yang diletakkan di bawah setiap kolom, sementara untuk landasan dinding digunakan pasangan batu bata (rollag) dengan kolon dari kayu nangka yang sudah tua. Gambar 3 Bentuk Daun Jendela dan Daun Pintu Rumah Trdisional Betawi (Sumber : Tjandra Kania, data survey, 1991) Ragam Hias Rumah Betawi umumnya memiliki ragam hias yang sangat spesifik. Ragam hias ini biasa di buat untuk dinding batas teras, untuk hiasan dinding, tapi terutama digunakan untuk menutup lubang ventilasi pada dinding depan. Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21 - 33 Gambar 4 Ragam Hias yang terdapat pada Rumah Tradisional Betawi (Sumber : Rumah Tradisional Betawi, Harun, Ismet B, 1991) RUMAH TRADISIONAL ETNIS TIONGHOA DARATAN a. Organisasi Ruang dan Bentuknya Etnis Tionghoa yang saat ini ada di Indonesia merupakan keturunan dari etnis Tionghoa yang berasal dari negeri Tiongkok, yang berarti negeri tengah. Negeri ini terletak di daerah sub tropis yang memiliki empat musim. Negara yang terletak di belahan bumi utara ini, memiliki angin musim dingin yang sangat dingin, yang datang dari arah utara. Matahari selalu berada di sbelah selatan, sehingga orientasi bangunan selalu di arahkan ke sebelah selatan, yaitu ke arah yang lebih hangat (Too, 1994), dan dalam menggambarkannya mereka selalu meletakkan arah selatan menghadap keatas. Negara ini merupakan suatu negara yang sangat luas, sebagaimana Indonesia, mereka juga memiliki beraneka ragam kebudayaan dan beraneka ragam rumah tradisional, namun secara umum dapat diceritakan disimpulkan seperti cerita berikut. Rumah-rumah khas Tiongkok umumnya berlantai satu atau dua, dengan dinding batu bata atau batu kali yang dibangun mengelilingi pekarangan (Skinner, 1995). Pekarangan ini kemudian berfungsi sebagai lubang pergantian udara atau biasa disebut sebagai sumur udara atau "skywells". Luas sumur udara kadangkadang mencapai 40% dari luas lantai (Knapp, 1989). Walaupun demikian , namun ruang yang terdapat di lantai dasar di sekitar sumur udara tersebut selalu terasa agak gelap, karena adanya koridor-koridor lebar yang menjorok ke bagian tengah sumur udara (Skinner, 1995). Rumah tradisional Tiongkok sangat umum dihuni oleh lebih dari satu keluarga yang memiliki pertalian darah yang erat. Di sini ada ruang yang disebut kuil leluhur, yaitu ruang yang berfungsi untuk meletakkan meja abu leluhur, yang setiap waktu tertentu disembayangi. Kuil leluhur umumnya diletakkan di lantai dua pada ruang tengah di sisi sebelah barat atau di daerah yang dinilai sebagai tempat yang paling terhormat. Ruang ini harus selalu terpelihara dengan baik dan bebas dari gangguan, agar roh leluhur merasa tenang dan bahagia, jiwanya dapat keluar masuk dengan tenang, sehingga roh leluhur akan berkenan untuk selalu berada di Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 25 sekitar anak cucunya dan dengan senang hati melimpahkan berkatnya yang disampaikannya dari dunia baka (Skinner, 1995) En "1 T f. I.StXiPUK PKKAKAJ«JAN 7 H rtmts. 3. » M PRKARAWAN "5 * 4 KT?1XA-YAN i R MliJA ABi. ft S?T~NXIN 1 ' 7 5 XXXxSABJ Gambar 5 Denah Rumah di Tiongkok (beserta sumur udaranya yang berfungsi sebagai pekarangan tengah) (Sumber : Skinner, Stephen, Feng Shui, llmii Tata Letak Tanah dan Kehidupan Cina Kuno) Gambar 6 Sketsa dari salah satu rumah tradisonal Tiongkokdi Siheyuan Di sini terlihat bah wa sumur udara menempati daerah yang lebih luas dari ruang lain (Sumber : Knapp, Ronald G, China's Vernacular Architecture, 1989) Material yang digunakan (Knapp, 1989) 1) Material Atap Material yang digunakan sebagai penutup atap sangat tergantung dari kondisi ekonomi keluarga. Bagi keluarga mampu, genting merupakan pilihan, sementara bagi penduduk yang miskin (terutama penduduk pedesaan), menggunakan penutup atap batang padi yang dilengkapi dengan lembaran plastik pada bagian bawahnya. Material yang digunakan untuk konstruksi atap adalah kayu, namun dengan sistem konstruksi yang sangat spesifik. Konstruksi dapat dibuat dengan bermacam- Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21••- 33 macam kemungkinan, tergantung lebar bentang yang dibutuhkan. Setiap satu rangkaian konstruksi bersifat sebagai satu kesatuan rangka (frame), satu rangkaian ini merupakan rangkaian rangka atap yang jadi satu dengan dindingnya 2 tiang 3 gording 1 balok f f j T *£ 3 atau 4 tiang 6 gording 3 atau 4 tinag 5 tiang 7 gording 3 balok ^ . ^fTt^ -^Sfc^ ^ ^ v £*• 2 atau 3 tiang 5 gording 2 balok 2 tiang 7 gording 3 balok 2 atau 4 tiang 9 gording 4 balok Gambar 7 Sistem Rangka Struktur yang umum digunakan di Zhejiang (Sumber : Knapp, Ronald G, China's Vernacular Architecture, 1989) 1 * '•'.,' .. ' 1 . . . ...'• ; L . . •%Aii&£; Gambar 8 Pembangunan Rumah di daerah Shuidong dan Zhuge (Sumber : Knapp, Ronald G, China's Vernacular Architecture, 1989) 2) Material Dinding Material yang digunakan untuk konstruksi dinding juga bervariasi, ada sebagain yang menggunakan dinding kayu, dinding batu bata, dinding batu kali dan ada pula dinding pengisi yang materialnya berasal dari daerah setempat, yaitu Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 27 campuran antara 60% pasir, 30% kapur, dan 10% tanah yang dinamakan "sanhetu" yang berarti tiga lapisan. Dinding yang menghadap sumur udara umumnya penuh dengan ragam hias yang berlubang-lubang yang berfungsi untuk mengalirkan udara dari dan keluar ruangan. Dinding ini umumnya terbuat dari kayu dan hanya sebagai dinding pengisi. Bila dinding menggunakan bahan batu bata atau batu kali, maka konstruksinya menjadi: Gambar 9 Penggabungan antara rangka struktur pendukung dengan dinding bata (Number : Knapp, Ronald G, China's Vernacular Architecture, 1989) 3) Material Struktur Material yang digunakan untuk struktur kolom adalah kayu, struktur kolom menjadi satu dengan konstruksi atap, berupa bingkai dengan menggunakan dua hingga lima tiang tergantung ukuran ruang yang hendak dibangun, seperti terlihat pada butir 1) di atas. Pondasi adalah pondasi menerus (pondasi lajur) dengan bahan batu kali yang disusun tanpa/dengan menggunakan adukan, didirikan di atas tanah yamg dipadatkan. Untuk mengikat bagian bawah satu kolom dengan kolom yang lain, diatas pondasi jalur diletakkan kayu (seperti layaknya sloof), namun terletak di atas muka lantai, sehingga "sloof ini akan terlihat menonjol pada ambang bawah pintu. Ragam Hias Rumah tradisional Tiongkok rata-rata memiliki ragam hias, ragam hias biasanya menghiasi dinding penyekat, jendela dan pintu, terutama jendela dan pintu yang menghadap sumur udara, dengan maksud agar terjadi pergantian udara yang terus menerus melalui lubang-lubang tadi, sementara udara di sumur udara tidaklah sedingin di luar (karena pada sumur udara tidak lagi ada hembusan angin) Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21 - 33 Q3331 - ••>.'^-l-_ 1 r^ ? an rSE • 'Mm *3 -*F fit ] Gambar 10 Ragam Hias di jendela Di Kota Shihuang Gambar 11 Ragam Hias pada jendela di kota Bihu i is J-*T$HS | f^^jJB?-*«£?«> SEnta S8 •^^v_- Gambar 12 Ragam Hias pada pintu dan jendela di kota Huangse (Sumber : Knapp, Ronald G, China's Vernacular Architecture, 1989) RUMAH TRADISIONAL BETAWI KETURUNAN a. Organisasi Ruang dan Bentuknya Organisasi ruang rumah tradisional Betawi Keturunan merupakan perpaduan antara rumah tradisional Betawi dan rumah tradisional Tiamgkok. Dalam rumah tradisional Betawi Keturunan dikenal adanya pembagian : bagian luar (beranda, digunakan untuk menerima tamu, bersosialisasi dengan tetangga, dsb), bagian dalam (ruang dalam, digunakan untuk ruang meja abu, ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur), dan bagian belakang (dapur beserta KM / WC dan gudang hasil bumi), dengan tipologi organisasi ruang sbb : L Rg Dapur+ KM/WC I + Gudang Rg Dalam I Rg Dapur + KM/WC I + Gudang Rg Dalam Rg Dapur + KMM/C I I + Gudang Rg Dalam K Tidur Denah a Rg Meja Abu K Tidur Rg Meja Abu Bgn Luar / Beranda I Bgn Luar / Beranda Denah b Bgn Luar / Beranda Denah c Gambar 13 Sketsa denah rumah Tradisional Betawi Keturunan. (Denah a merupakan denah terfavorit) (Sumber : Tjandra Kania, data survey, 2000) Sketsa denah tersebut diatas merupakan denah yang umum pada saat ini, namun denah tersebut bukanlah denah asli. Aslinya pada daerah ruang dalam selalu terdapat sumur udara (data ini diperoleh berdasarkan pengamatan konstruksi atap di lapangan dan juga berdasarkan hasil wawancara). Sumur udara kemudian dirasakan kurang bermanfaat karena daerah tropis, udara tidak dingin, malah ventilasi dapat diperoleh dengan mudah karena penggunaan dinding anyaman Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 29 bambu memungkinkan adanya aliran udara ke dalam ruang secara pasif, sehingga daerah sumur udara tersebut kemudian dipasangi atap. Selain hal tersebut, dengan dipasangnya penutup atap di bagian ruang dalam, maka rumah tersebut memiliki ruang tambahan yang dapat digunakan untuk tempat bermain cucu (telah disebutkan bahwa dalam rumah masyarakat Tionghoa, sangat umum bila rumah tersebut dihuni lebih dari satu keluarga yang memiliki pertalian darah yang sangat erat, hal inipun diterapkan pada Rumah Tradisional Betawi Keturunan). Bentuk asli dari denah tersebut adalah sbb : RgDapur+KM/WC + Gudang Ruang • Sumur • Ruang nalarr^i nrlara , Dalam Rg Dapur + KM/WC + Gudang Ruan ] I S u m u r ! Ruan9 i nriara , Dalam RgDapur+KM/WC + Gudang Ruanq • Sumur i rlalam , nnara , K Tidur K Tidur Bgn Luar / Beranda Denah a Bgn Luar / Beranda Denah b 1 Rg Meja Abu Bgn Luar/Beranda Denah c Gambar 14 Perkiraan Sketsa denah rumah Tradisional Betawi Keturunan. (Denah ini adalah denah rumah saat sebelum hilangnya sumur udara, denah ini dibuat berdasarkan konstruksi atap yang terlihat adanya perubahan) (Sumber : Tjandra Kania, data survey, 2000) Salah satu contoh dari rumah Tradisional Betawi Keturunan yang diteliti adalah rumah milik Bapak Tjiong Wie Tin, rumah ini terletak di desa Cikoleang, yaitu sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor. Rumah ini dihuni oleh suami/istri Bapak Tjiong Wie Tin dan empat orang anaknya yang belum menikah, anak-anaknya yang sudah menikah tinggal di sekitar rumah tersebut, namun cucu dari pasangan ini sering bermain dan tidur di rumah ini. Seperti halnya rumah di Tiongkok daratan, maka rumah inipun memiliki meja abu (abu jenasah leluhur) yang harus diletakkan di tempat terhormat dan disembayangi pada saat-saat tertentu. Guna menyesuaikan aktivitas perletakan meja abu dengan organisasi ruang Rumah Betawi, maka mereka memilih untuk meletakkan ruang Meja Abu di ruang depan (yang umumnya menjadi satu dengan ruang duduk), dengan alasan agar setiap tamu yang masuk ke rumah tersebut dapat memberikan penghormatan kepada leluhur (karena hanya keluarga dekat yang masuk ke dalam rumah, sementara tamu biasa diterima di beranda). Agar kegiatan menyembayangi abu jenasah leluhur dapat berjalan dengan baik, maka meja abu harus bisa dijangkau dari tiga arah, yaitu kiri, kanan, dan depan, oleh karena itu umumnya-ruang meja abu dan ruang dalam dihubungkan dengan dua buah pintu tanpa daun pintu, seperti terlihat pada denah berikut. 30 Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21 - 33 B^-, .... DAERAH YANG SEMUIA ADALAH SUMUR UDARA Xs-- ••'"'Pm 'f'^^^^^^^z?* ; TAMPAK BARAT DAY A ^Y<w<**««iifc^ ......... TAMPAK BAKAT LAUT >—•-#-• :v.'~ • y~A-'-> •••••- *,- . #.:•:••• " S * ^ POTONSANA - A 5m T^w* POTONGsANB B Gambar 15 Denah dan tampilan Rumah Bapak Tjiong Wie Tin (terlihat adanya daerah yang semula suinur udara, naniiin kini sudah berubah menjadi bagian dari ruang dalam) (Sumber : Tjandra Kania, data survey, 2000) Material yang digunakan Bahan yang digunakan untuk menutup atap adalah atep (daun kirai yang dianyam), sebagian lagi menggunakan atap genting. Material untuk konstruksi atap hingga tahap gording, umumnya menggunakan kayu kecapi atau kayu gowok, namun konstruksi penahan penutup atap (kaso dan reng), menggunakan bambu tali (seperti layaknya rumah Tradisional Betawi) Kolom rumah umumnya menggunakan kayu nangka tua, terutama bagian depan rumah (sampai sebatas ruang meja abu), sisanya menggunakan kayu gowok atau kayu kecapi, kecuali untuk orang kaya, maka semua kolom yang berhubungan dengan udara luar akan menggunakan kayu nangka yang sudah tua (kayu nangka mahal harganya karena sangat tahan terhadap rayap). Balok pengikat pada bagian atas kolom menggunakan kayu gowok atau kayu kecapi, sedangkan balok pengikat bawah kolom (dinamakan sunduk) menggunakan kayu nangka, namun balok pengikat bagian bawah kolom yang berada pada ambang bawah pintu (yang dinamakan pelangkah) tidak boleh menggunakan kayu nangka, tapi digunakan kayu gowok atau kecapi (kayu nangka tidak boleh dilangkahi karena kayu tersebut dituakan) Dinding bagian depan selalu menggunakan kayu nangka, tapi dinding lainnya dapat menggunakan anyaman bambu denagn atau tanpa dinding bata pada bagian bawahnya. Dinding kayu nangka umumnya dipasang dengan menggunakan rangka yang diberi sabuk pada bagian tengahnya, kemudian papan kayu akan disambung dengan menggunakan bambu pipih sebagai pengisi/penyambung, konstruksi dinding dapat terlihat seperti sketsa pada gambar 16. sementara daun pintu /jendela bentuknya seperti daun jendela dan pintu rumah Tradisional Betawi, namun tanpa dicat. Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 31 Bahan penutup lantai umumnya menggunakan ubin PC abu-abu atau bahan plesteran, namun banyak pula yang berlantaikan tanah. Pondasi rumah umumnya menggunakan pondasi umpak, namun dibagian atasnya selalu dipasangi rollag bata sebagai tempat untuk meletakkan sunduk dan pelangkah. Bambu pipih digunakan untuk menyambung papan dinding \ u sabuk alok pengikat Sabuk, juga dari kayu nangka Lubang pintu ^ Pelangkah Dinding dari papan katu nangka trifling % Sunduk Gambar 16 Sketsa konstruksi dan detail dinding depan (Sumner : Tjandra Kania, data survey, 2000) c. Ragam Hias Ragam hias tidak dikenal di Rumah Tradisional Betawi Keturunan, hal ini diduga karena sesuai dengan maksudnya senula ketika mendirikan rumah dengan bentuk seperti itu, yaitu untuk menyembunyikan diri dari kejaran Belanda, sehingga dipilih bentuk tampilan rumah yang paling sederhana, yang boiasa digunakan oleh masyarakat Betawi miskin. KESIMPULAN Dengan memperhatikan data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Rumah Tradisional Betawi Keturunan merupakan akulturasi antara Arsitektur Rumah Tradisional Betawi dengan Arsitektur Rumah Tradisional Tiongkok dengan menggunakan bahan bangunan yang mudah di dapat di daerah tersebut, namun tanpa kehilangan budaya yang dibawa oleh pembuatnya. DAFTAR PUSTAKA Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran, Jejak Jakarta Pra 1945, Jakarta: Pemerintah DKI, 1990 Harun, Ismet B, dkk, Rumah Tradisional Betawi, Jakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1991. n Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 2006 : 21 - 33 Knapp, Ronald G., China's Vernacular Architecture. USA: University of Hawaii Press, 1989. Saidi, Ridwan, Profil Orang Betawi. Jakarta: PT Gunara Kata, 1997. Sari, Rika, Rumah Betawi, Sebuah Kasus Arsitektur dan Kepribadian Kolektif. Kilas, vol I / No 1 / Juli, 1999. Shahab, Yasmine zaki, The Creation of Ethnic Tradition, the Betawi of Jakarta. Doctoral Desertation, School of oriental and African studies, 1994. Sjahrial, HE., Perkampungan Budaya Betawi, Peluang dalam Transformasi Budaya. Dalam: Makalah Lokakarya Perkampungan Budaya Betawi, Auditorium Gedung Nyi Ageng Serang Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Jakarta, Agustus 1999. Skinner, Stephen, Feng Shui: Ilmu Tata Letak Tanah dan Kehidupan Cina Kuno (terjemahan). Semarang: Dahara Prize, 1995. Surachmat, H Dirman dkk, Sejarah teluk Jakart. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1996. Too, Lilian, Penerapan Feng Shui Pa-Kua dan Lo-Shu (terjemahan). Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1994. Arsitektur Rumah Tradisional Betawi "Keturunan" (Tjandra Kania) 33 J