Beberapa Indikator Nilai Tambah Ekonomi Indonesia: Sektor Energi

advertisement
Beberapa Indikator Nilai Tambah Ekonomi Indonesia:
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
oleh
Dr. Ukar W. Soelistijo, APU
- Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung.
- Dosen Pasca Sarjana Program Khusus Ekonomi Mineral/PSDB, Perekayasaan Pertambangan,
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung.
-Ahli Peneliti Utama (Pensiun), Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung
email:[email protected]
Abstrak
Makna nilai tambah dalam pengembangan sumberdaya mineral meliputi nilai tambah
sektoral dan nilai tambah kewilayahan. Nilai tambah sektoral merupakan nilai tambah
yang diperoleh dari proses pengayaan vertical yang memberikan kontribusi kepada
pendapatan nasional atau Produk Domestik Bruto. Nilai tambah makroekonomi ini
menciptakan efek ganda yang dapat diukur dengan multiplier dan keterkaitan ekonomi.
Nilai tambah yang lain adalah nilai tambah kewilayahan merupakan manfaat bagi
masyarakat daerah atau lokal yang diperoleh melalui antara lain corporate social
responsibility (CSR).Perusahaan pertambangan yang juga sebagai pelayan masyarakat
perlu melaksanakan pengembangan masyarakat sebagai wujud CSR mereka dalam
pembangunan kemanusiaan. Ke dua macam nilai tambah merupakan manfaat kegiatan
pertambangan di bidang ekonomi pada tingkat nasional dan wilayah.
Kata kunci: pengembangan sumberdaya mineral, indikator nilai tambah, pembangunan
sekltoral dan wilayah, CSR, CD.
Abstract
The meaning of added value in the mineral resource development is that may include
sector as well as regional added value. Sector added value means the value gained by the
process of vertical enrichment and it can contribute to the national income or gross
domestic product (GDP). This macroeconomic added value could create multiplying
effects that could be measured by using economic multiplier and linkages. The another
added value is regional one meant as the beneficial for the local people coming from
such as corporate social responsibility (CSR). The mining company as the servant of the
community should implement community development as translation of their CSR for the
development of human kind as well. Those two types of added value could measure the
beneficial of the mining activity in the economic field at the level of national as well as
regional.
Keywords: mineral resource development, added value indicators, sector, regional
development, CSR, community development.
I. Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Pengertian suatu aspek pembangunan ekonomi dapat mempunyai tiga dimensi pokok
yaitu: dimensi sektoral, dimensi kewilayahan dan dimensi waktu. Waktu merupakan
1
dimensi dinamis dalam kegiatan atau proses pembangunan (Gambar 1.1).(Miernyk, W.H.,
1987, 1965).
Pembangunan ekonomi berarti untuk memperoleh capaian yang disebut nilai tambah atau
added value. Dari dimensi pembangunan tersebut maka dalam suatu kurun waktu tertentu
akan dicapai dua nilai tambah pokok yaitu nilai tambah sektoral atau vertikal yang
memberi dampak pertumbuhan bagi pendapatan nasional atau PDB, di samping nilai
tambah kewilayahan yang mampu memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat
setempat.
Tujuan dari tulisan ini adalah penyampaian hasil pemikiran untuk mengadakan klarifikasi
tentang arti nilai tambah dalam pembangunan ekonomi khususnya di bidang energi dan
sumber daya mineral (ESDM), agar diperoleh kesamaan persepsi di dalam menilai suatu
keberhasilan di sektor ini secara holistik.
Regional Analysis and Planning: Sectors, Space, and Time
Sectors
1st
sector
S
Inter-reg
Secondary
sector
Tertiary
sector
Regional
P
City
A
C
Rural
Towns
Districts
E
Villages
0
2
yrs
4
yrs
Time
Gambar 1.1
Dimensi Nilai Tambah Dalam Pembangunan Ekonomi
(Sektor, Ruang (Kewilayahan), dan Waktu)
II. Pembahasan
2.1 Model indikator nilai tambah sektoral
2.1.1 Teori dan metodologi indikator nilai tambah sektoral.
2
6
yrs
Nilai tambah sektoral merupakan bagian nilai output semua sektor yang diakumulasikan
dalam PDB atau Faktor primer. PDB meliput faktor-faktor konsumsi, investasi,
pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor (Gambar 2.1). Hal ini kalau dibaca dari sisi
masukan faktor primer dapat berupa upah gajih, depresiasi, pajak tak langsung, surplus
dan subsidi (Gambar 2.2). Indikator yang lain yang digunakan untuk mengukur nuilai
tambah sektoral adalah efek ganda (multiplying effects) atau multiplier ekonomi,
misalnya employment, income, investment, surplus (Tabel 2.1). (Miernyk, W.H., et al.,
1965, 1985; Mangiri, K., et al., 2000; Richardson, H.W., et al., 1979; Isard, W., 1975;
Soelistijo, U.W., et al., 2002, 2004).
Gambar 2.1
Konfigurasi PDB Dalam Ekonomi Nasiona
3
Tabel 2.1 Skema Tabel Input–Output Indonesia
Sektor Pembeli
1.Padi
2.Tanaman pertanian lain
3.Peternakan
4.Kehutanan
5.Perikanan
6.Pertambangan
7.Tanaman makanan lain
8.Makanan dan minuman
9.Industri barang
10.Listrik/air gas
11.Konstruksi
12.Perdagangan
13.Restoran/ hotel
14.Transportasi/konsumsi
15.Pelayanan : keuangan dll.
16.Pemerintah
17.Pelayanan
18.Sektor lain
Konsumsi Pemerintah Investasi Ekspor Gross output
Sektor Penjualan
1.Padi
2.Tanaman makanan lain
3.Tanaman pertanian lain
4.Peternakan
5.Kehutanan
6.Perikanan
7.Pertambangan
8.Makanan dan minuman
9.Industri barang
10.Listrik/air gas
11.Konstruksi
12.Perdagangan
13.Restoran/ hotel
14.Transportasi/konsumsi
15.Pelayanan : keuangan dll.
16.Pemerintah
17.Pelayanan
18.Sektor lain
Gaji dan Upah
Surplus
Depresiasi/kapital
Pajak tak langsung
Gross output
II
I
Proses Antarindustri
(Intermediate goods
Processing)
Kebutuhan
Akhir
(Final Demand)
III
Nilai Tambah
(Value Added)
IV
Nilai Tambah
(Value Added)
Gambar 2.2
Skema Tabel Input-Output (I-O) Indonesia
Tabel 2.1
Beberapa Formula Pengganda Ekonomi (Economic Multiplier)
Multiplier (Angka Pengganda)
Multiplier
Tipe I (Open)
1. Outpur multiplier
OM
I
I
j
j=
Tipe II (Closed)
= ∑ bij
i
OMIIj = ∑ b*ij
i
∑ bij lTj
l Tj
IM IIj = b*ij
lj
2. Income multiplier
IM
3. Employment multiplier
LMIj = ∑ lj bij
lj
LMIIj = b* T ij
lj
4. Value-added multiplier
VM Ij = vj bij
vj
VM IIj = vj b*ij
vj
5. Investment multiplier
KM Ij = kjbij
kj
KM IIj = kj b*ij
kj
6. Tax multiplier
TM Ij = -∑tj bij
tj
7. Exchange earnings
multiplier
FEM Ij = ∑ rj bij
= bij r Tj
8. Surplus multiplier
∏ M Ij = ∑vj bij / vj
kj bij
Keterangan
bij = open inversed
b*ij=closed inversed
TM
IIj
= -∑tj b*ij
tj
FE IIj = ∑rj b*ij
= b*ij r Tj
∏ M IIj = ∑vj b*ij / vj
kj b*ij
4
b*ij ~ inversed cj
T = transposed
Makro: ∆ Y = 1
∆ I
1-b
Makro: ∆ Y = -b
∆ T 1-b
T=tax
rj = E
∆ M (net M)
Catatan: Notasi Model Input-Output (I-O): bij = matrik kebalikan Leontief (terbuka); b*ij= matrik
kebalikan Leontief (tertutup); lj= koefisien upah gajih sektor j; l Tj= T adalah transposed; kj = koefisien
kapital sektor j; vj= koefisien niali tambah sektor j; tj=koefisien pajak sektor j.
2.1.2 Klarifikasi
Perkembangan nilai tambah sektor ESDM dalam PDB Indonesia sejak tahun 1970-an
sampai sekarang memang ada dampak perkembangan positip. Sektor ESDM dalam tahun
1970-an yang masih pada produk hulu mempunyai kontribusi dalam PDB sekitar 1-5%,
yang saat ini mencapai sekitar 15-16% (Tabel 2.2).
Kontribusi sektor ESDM dalam nilai ekspor dapat dilihat pada Tabel 2.3. Nilai ekspor
mineral keras (pertambangan umum) tahun 90-an meningkat. Dalam ekspor nasional
2,5% (1990) dan mencapai puncaknya patahun 1996 sebesar 6,1% namun kemudian
nampak mulai melorot menjadi 6,0% pada tahun 1997 dan dapat bertahan 5,5% pada
tahun 1998 walaupun pada kurun waktu krisis ekonomi. Nilai nominal pada tahun 1996
dan 1997 mencapai sekitar US$ 3 miliar setahun, walaupun sebelum 1992 berada di
bawah US$ 1 miliar. Pada kurun 2000-2008 terdapat surplus perdagangan Indonesia
sebesar antara US$ 28.6 milyar sampai US$ 7,82 milyar. atau terdapat gejala penurunan.
Dalam neraca perdagangan nonmigas Indonesia dalam tahun pra kirisis 1985 — 1997
umumnya defisit antara US$ 1,5 milyar sampai US$ 5,4 milyar kecuali tahun 1993 dan
Tabel 2.2
Peranan Konstribusi Sektor Mineral (Migas dan Nonmigas) Dalam PDB Indonesia,
Harga Yang Belaku
Tahun
PDB
Rp
triliyun
1970-an
1980-an
58,80
1983
1985
1989
1990
1995
1997
1999
2000
2005
2006
2008
2009
73,70
94,49
167,18
196,92
454,51
627,69
1.109,98
1.290,68
955,75
3.339,22
4.954,03
2.667,25 *
Migas + Mineral Keras
(Nonmigas)
Rp
trilyun
Migas
%
Rp
trilyun
Mineral Keras (Mineral
Nonmigas
%
Rp
trilyun
%
<1%-an
1-2%-an
15,97
19,50
27,27
33,86
51,60
59,99
144,51
216,49
153,50
538,61
785,43
339,60 *
21,67
20,64
16,31
17,19
11,35
9,55
13,02
16,77
16,06
16,13
15,86
12,73*
15,35
18,84
24,73
29,92
44,53
49,66
106,39
173,34
108,05
372,17
527,64
196,28
Catatan: * Angka tengah semester.
5
20,83
19,94
14,79
15,19
9,80
7,91
9,58
13,43
11,31
11,15
10.65
7,36
0,62
0,66
2,54
3,94
7,07
10,33
38,13
43,15
45,44
166,44
257,78
143,32
0,84
0,70
1,52
2,00
1,55
1,64
3,43
3,34
4,75
4,98
5,20
5,37
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1998, 2009, setelah diolah.
Tabel 2.3
Perkembangan Neraca Perdagangan Barang Indonesia
1984 –2009 (Juta US$)
Tahun
Total
Ekspor
Total
Impor
Sisa
Total
Sisa
Migas
Sisa
Nonmigas
Pertumb
Ekspor (%)
Pertumb
Impor (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
1984
21.887,8
13.882,1
8.005,1
13.321,3
(5.315,6)
3,51
(15,10)
1985
18.580,7
10.259,1
8.321,6
11.436,2
(3.114,6)
(15,11)
(26,10)
1986
14.805,0
10.718,4
4.086,6
7.190,2
(3.103,6)
(20,11)
4,48
1987
17.135,6
12.370,3
4.765,3
7.488,1
(2.722,8)
15.74
15,41
1988
19.218,5
13.248,5
5.970,0
6.772,5
(802,5)
12,16
7,10
1989
22.158,9
16.359,6
5.799,3
7.483,6
(1.684,3)
15,30
23,48
1990
25.675,3
21.837,1
3.838,2
9.150,6
(5.312,4)
15,87
33,48
1991
29.142,4
25.868,9
3.237,5
8.584,6
(5.311,1)
13,50
18,46
1992
33.966,9
27.279,7
6.687,2
8.555,8
(1.868,6)
16,55
5,45
1993
36.823,0
28.327,8
8.495,2
7.575,3
919,9
8,41
3,84
1994
40.053,4
31.983,5
8.069,9
7.326,2
743,7
8,77
12,90
1995
45.481,0
40.628,7
4.789,3
7.553,6
(2.764,3)
13,39
27,03
1996
49.814,8
42.928,5
6.886,3
8.126,3
(2.239,9)
9,68
5,66
1997
53.443,6
41.679,8
11.763,8
7.968,4
4.065,4
7,28
(2,91)
1998
48.847,6
27.336,9
21.510,7
5.218,4
16.292,3
(8,60)
(34,41)
1999
48.665,4
24.003,3
24.662,1
6.111,1
18.551,0
(0,37)
(12,19)
2000
62.124,0
33.514,8
28.609,2
8.347,1
20.262,1
27,66
35,30
2005
85.660,0
27.959,1
1.773,8
26.185,3
19,85
15,67
2008
137.020,4
57.700,9
129.197,3
7.823,1
1.426,7
6.396,4
17,26
87,75
Sumber: Badan/Biro Pusat Statistik, setelah diolah.
Ket: Ekspor dan Impor disajikan dalam bentuk total
Sisa Migas
= ekspor migas - impor migas
Sisa Non Migas = ekspor non migas - impor non migas
1994, dan 1997 terjadi surplus sekitar US$ 920 juta dan sekitar US$ 744 juta serta sekitar
US$ 4 milyar. Justru pada masa krisis 1997-1999 terjadi surplus perdagangan nonmigas
sebesar US$ 4,06 milyar
sampai US$ 16,3 milyar. Secara keseluruhan neraca
perdagangan migas dan komoditi mineral/pertambangan umum yang menolong neraca
perdagangan Indonesia karena telah surplus sekitar US$ 5 milyar sampai US$ 10 milyar
tiap tahun walaupun ada gejala menurun. Pada tahun 2000 jelas kontribusi ekspor migas
meningkat karena kenaikan harga migas di pasar intemasional sehingga diperoleh wind
fall profit yang cukup besar di atas US$1 milyar. Pada kurun 2001-2008 terdapat surplus
perdagangan migas sebesar US$ 7,16 milyar sampai US$ 1,42 milyar lebih atau terdapat
gejala penurunan. Tetapi dengan adanya kenaikan harga komoditi migas dan mineral
dunia sampai 2 -3 kali
lebih tinggi, dapat dipastikan bahwa pasca 2008 akan ada
kenaikan neraca perdagangan tersebut.
6
Kontribusi mineral keras pada PDB meningkat: dari sejak tahun 70-an sekitar 1%,
menjadi 1 – 2 %
(80-an), di atas 3% sejak tahun 1999, seolah-olah tidak terpengaruh
kondisi krisis. Dan terlihat meningkat pada pasca tahun 2000 mencapai di atas 5% sejak
tahun 2008. Selanjutnya dapat dipastikan akan meningkat sehubungan dengan
meningkatnya harga internasional komoditi mineral migas dan nonmigas menjadi 2-3 kali
lipat pada tahun-tahun belakangan ini. Dari angka kontribusi tersebut sekitar 50%-65%
dari kontraktor PMA. Momentum meningkatnya harga komoditi tersebut, amat
disayangkan makin lesunya investasi yang enggan masuk ke Indonesia. Hal ini perlu
ditanggulangi dengan pembaharuan kebijakan pertambangan yang lebih menarik.
(Anonim, 1998,1999,2009).
Sebagai catatan bahwa meningkatnya kontribusi sektor mineral keras dalam PDB
dipengaruhi oleh meningkatnya nilai tambah secara vertikal melalui proses pengolahan,
misalnya smelting timah bahkan sampai dengan pembuatan tin plate, pengolahan fero
nikel dan nickel matte, pengolahan emas dan tembaga bahkan sampai dengan smelter
tembaga yang menaghasilhan logam tembaga di dalam negeri, pemurnian emas yang
menghasilkan logam emas murni 24 karat, dan besi baja. Di bidang mineral nonlogam
atau mineral industri berbagai produk akhir telah dihasilkan antara lain barang-barang
dari gelas, keramik, bahan bangunan, kaolin
sebagai filler. Hal ini ke depan perlu
dilanjutklan dengan proses pengolahan hingga menghasilkan end use commodity yang
padat mineral atau logam. Sektor-sektor yang mempunyai surplus multiplier tinggi
umumnya terdapat pada sektor sekunder (industri manufaktur) dan sektor tersier (industri
jasa), namun pada kenyatannya pendapatan daerah masih tergantung banyak pada sektor
primer yang mempunyai nilai tambah lebih rendah daripada sektor sekunder dan sektor
tersier Tabel 2.4).
Kalau pada dasa warsa 1960-an di Indonesia merupakan era komoditi mineral huluhulu (ekspor bijih nikel, bauksit, pasir besi, minyak mentah), 1970-an era hulu-hilir
(ekspor konsentrat tembaga), 1980-an hilir-hulu (ekspor logam timah, nickel-matte,
LNG), 1990-an hilir-hilir (ekspor tin-plate, steel bar), maka ke depan diharapkan
merupakan era komoditi guna akhir dengan nilai tambah yang sangat tinggi..
Pada dasa warsa 1980-an dan 1990-an
laju pertumbuhan tahunan rata-rata volume
ekspor, impor, produksi dan konsumsi mineral logam masing-masing adalah 12%, 281%,
7
31,8%, 254,8%, sedangkan untuk mineral nir logam (industri) adalah 13,4%, 5%, 14,8%,
Tabel 2.4. Penganda surplus (surplus multiplier) sektor-sektor ekonomi di
Indonesia (Berdasarkan Tabel I-O 2005)
Prioritas
Sektor
Pengganda Surplus
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
Industri Lainnya
Industri Makanan, Minuman
Listrik, Gas dan Air Bersih
Bangunan
Restoran dan Hotel
Angkutan dan Komunikasi
Peternakan
Jasa-jasa
Pemrthn Umum, Pertahanan
Tanaman Pertanian
Perdagangan
Perikanan
Pertambangan/Penggalian
Lembg Keu, Real Est & Js Perush
Kehutanan
Padi
Tanaman Bhn Makanan Lainnya
4,32
3,35
3,02
2,77
2,60
1,91
1,78
1,75
1,74
1,58
1,56
1,47
1,45
1,43
1,42
1,40
1,37
Catatan : Pengganda Surplus 4,32 berarti suatu investasi pada Sektor Industri Lainnya
sebesar Rp.1 juta dapat menghasilkan surplus sebesar Rp.4,32 jt.
7,6%. Hal ini menandakan bahwa laju pertumbuhan konsumsi mineral nirlogam masih
rendah dan perlu ditingkatkan untuk memasok industri hilirnya, oleh adanya potensi yang
cukup besar di dalam negeri. Masalah mata rantai hulu-hilir dalam industri mineral kita
masih perlu ditingkatkan di dalam negeri melalui penguasaan dan penerapan teknologi
hilir (value-added processing technology), misalnya teknologi-teknologi di bidang
petrokimia, pengubahan Ca-bentonite menjadi Na-bentonite, pengaktivan zeolit,
pemanfaatan unsur jarang, pembuatan ceramic block, pembuatan alloy kualitas tinggi.
2.2 Model Indikator Nilai Tambah Kewilayahan
2.2.1 Teori dan metodologi indikator nilai tambah kewilayahan
Pada dasarnya konsep dimensi pengembangan wilayah berorientasi pada pemeraaan
pembangunan di daerah dan antardaerah serta merupakan suatu proses pengalihan
berbagai masukan sumberdaya menjadi keluaran berupa hasil pembangunan fisik dan
nonfisik. Masukan tersebut meliput sumberdaya alam, sumberdaya manusia sekaligus
sebagai subjek pembangunan dan sumberdaya buatan antara lain kapital, informasi,
8
teknologi. Hasil pembangunan fisik dan nonfisik tersebut perlu seimbang dan terpadu.
Hasil pembangunan fisik mencakup parasarana/sarana, tata ruang dan lingkungan fisik.
Hasil pembangunan nonfisik meliput keterkaitan dan keseimbangan ekonomi antardaerah,
penciptaan job dan income, modernisasi, kemandirian sosial ekonomi di tiap daerah,
pengembangan masyarakat (community development), kesesuaian dengan tugas-tugas
pemerintahan yang lain. (Gambar 2.3)
Sumberdaya alam
-Terbarukan
-Tak terbarukan
Tata ruang
Fisik
(Ecosystem)
Sumberdaya
manusia
daya buatan/penunjang
a.l.: modal, teknologi,prasarana,informasi,kebijakan,
kelembagaan
dll.
Pengembangan
Wilayah
Terpadu
Non
fisik
(Social
System)
-Sumber
Misi
pemerataan
Prasarana/Sarana
Limgk. Hidup Fisik
Mendukung keterkaitan ekonomi antarsektor/antardaerah
Mendukung pembangunan daerah :
penciptaam job dan income,
konvergensi ekonomi antardaerah,
swadayausaha (modernisasi,
kemandirian,mobilitas)
Lingkungan sosial/ekonomi /
pengembangan msyarakat
Memenuhi misi pemerintah pusat/daerah
Gambar 2.3
Proses Pengembangan Wilayah (Regional Development)
Seperti telah diutarakan bahwa nilai tambah kewilayahan merupakan nilai manfaat bagi
masyarakat setempat terutama dimana sumber daya alam terdapat, walaupun dapat
diartikan secara lebih luas termasuk amsyarakat daerah lainnya. Dalam pengertrian ini
tercakup pengertian corporate social renponsibility (CSR). (PT INCO,2005, 2006; PTBA,
2005; Hill A., 1997).
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah:
a. Social Cost Benefit Analysis (SCBA). (Gambar 2.4)
Analisis manfaat biaya merupakan suatu penilaian sistematis dari semua ongkos dan
semua biaya terhadap suatu kebijakan (Soelistijo, U.W., et al., 2003):
(a) Ongkos dan manfaat yang meliputi :
9
- “explicit costs and benefits” antara lain upah gaji, bahan.
- “implicit costs and benefits” antara lain nilai (ongkos) kesempatan (opportunity
cost),
penyusutan, dana intern, tata hitung ongkos.
- “extended cost and benefit” antara lain ongkos lingkungan .
ongkos dan manfaat murni seperti halnya dalam “consumer surplus” (Gambar 2.3).
(b) Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian ongkos dan biaya adalah bahwa :
- untuk ongkos lingkungan (externalities) maka harga pasar tidak berperanan dalam
menghitung nilai;
-
adanya masalah dalam “public goods” yang berbeda dalam penilaian apabila
dibandingkan dengan “private goods”.
Dalam menilai suatu proyek pengembangan sumber daya mineral perlu kejelasan
tentang :
- ukuran dalam perhitungan ongkos ekonomi mikro;
- keharusan dalam mempertimbangkan ongkos lingkungan agar dapat melaksanakan
operasinya;
- tidak merupakan proyek yang berdiri sendiri sebagai public goods;
- perlunya mempertimbangkan efek qanda sekunder.
(c). Evaluasi proyek adalah tentang :
- fungsi objektif untuk optimalisasi manfaat neto (net benefit)
( Z=NB =TB (total benefit) - TC (total cost)) (Gambar 2.4)
- manfaat neto (net benefit) adalah penjumlahan kumulatif dari, surplus
(“producer surplus”), surplus konsumen (“consumer surplus”);
PVNB = PVZ = Z1 (1+p) + Z2 (1 + p)2 + ….. Zn(1+p)n
(1 + i)
(1 + i)2
(1 + i)n
dalam hal ini: ∆ p = perubahan harga; i = bunga bank.
- Dengan real rate of return on investment.
r (real rate of return on investment) = (1+i) / (1+f) – 1
PVNB = PVZ = ∑ ∑ Zm (1+r) n
m n
dalam hal ini : i = bunga bank; f= tingkat inflasi.
10
produsen
Contoh Format SCBA
Tahun Benefit Cost
1
B1
C1
2
B2
C2
….
n
……..
……..
Bn
Cn
Net Benefit
NB1=(B1-C1)
NB2
……….
NBn
PVNB
NB1 x PVF1 x PF1
NB2 x PVF2 x PF2
…….
NBn x PVFn x PF3
_______________________________________________________________
∑ Total NB>0
Gambar 2.4
Contoh Foirmat SCBA
Gambar 2.3 Surplus Produsen (Ps) dan Surplus Konsumen (Cs)
Merupakan Bagian Dari Manfaat Neto (NB)
Gambar 2.5
Surplus Produsen (PS) dan Surplus Konsumen (CS)
Merupakan Bagian Dari Manfaat Neto (NB)
11
Gambar 2.4
Optimalisasi Terhadap NB (Manfaat Neto)
Gambar 2.6
Optimasi Terhadap NB (Manfaat Neto)
b. Manfaat sosial neto atau Net Social Gain (NSG)
Pada dasarnya, NSG merupakan selisih antara perolehan dan biaya perusahaan dan
ditambah atau dikurangi dampak eksternal neto atau net external effects (NEE).
- NEE positip merupaka dampak keberadaan usaha pertambangan yang bermanfaat
bagi masyarakat setempat.
- Dan NEE negatif merupakan kegiatan usaha pertambangan yang menyebabkan
kerugian bagi masyarakat setempat atau mengakibatkan kesenjangan sosial.
- NEE terdiri dari keterkaitan hulu dan hilir, teknologis, kebutuhan akhir dan pajak
(backward and forward linkages, technological linkages, final demand linkages , fiscal
linkages).
12
Formula NSG, NGC dan NEE dapat dilihat pada Gambar 2.7. (Bulmer-Thomas, V, et
al., 1982; Pearson, S.R. et al, 1974).
Fig ur e 1 . Net So cia l Ga ins (NS G)
NSG = (uj – mj – rj) v j – f sj v j + Ej.
DRC (do mestic reso ur ce co st) =
f sj vj + Ej / (uj – mj – rj) vj
NGC ( Net Ga in Co ef ficien t) = NS G/ To ta l Ou tput.
uj = ex po rt reve nue o f secto r j.
mj = interme dia te g o o ds impo rted.
rj
v
= repa tria tio n.
= sha do w price.
f
E
= co mmo dity price.
= ex terna l effec ts.
Net Gain Coefficient (NGC) = NSG / R
Gambar 2.7
Formula NSG dan NGC
NSG didefinisikan sebagai besaran manfaat sosial bersih (pendapatan lokasi) yang
dihasilkan oleh adanya aktivitas ekonomi termasuk ekspor, NSG adalah nilai total dari
komoditi yang dihasilkan minus nilai dari komoditi intermedier dan faktor input yang
digunakan ditambah dengan Net External Effects (NEE). Hal ini bersandar dari landasan
teori bahwa “untuk suatu pengkajian khusus (case study) dari produksi ekspor, NSG lebih
baik didefinisikan sebagai nilai bersih dari “nilai tukar asing” yang diperoleh minus nilai
dari sumber-sumber dalam negeri yang digunakan untuk memproduksi ekspor komoditas
plus NEE, (Pearson and Cownie,1974) dengan formulasi perhitungan (17) sebagai
berikut:
n
m
NSGj = ∑ aij Pi
i=1
─ ∑ fsj
s=1
vs ± Ej
(II.16)
dalam hal ini:
NSGj = Net Social Gain dari perusahaan pertambangan;
n
= jenis komoditi yang diproduksi perusahaan pertambangan sebagai output
13
yang dikonsumsi sebgai input perusahaan lain;
aij
= jumlah komoditi ke-i yang diproduksi oleh atau digunakan dalam proses
produksi perusahaan ke-j;
Pi
= harga bayangan dari komoditi ke-i;
fsj
= jumlah input faktor ke-s yang digunakan dalam proses produksi;
Vs
= harga bayangan dari faktor ke-s;
Ej
= manfaat biaya eksternal yang diberikan atau disebabkan oleh perusahaan
pertambangan ke dalam ekonomi regional atau domestik.
Untuk mengetahui nilai total dari pendapatan domestik maka komponen-komponen asing
harus dikeluarkan dahulu dari model, sehingga;
n
∑aij Pi
(II.17)
i=1
Adalah nilai komoditi yang dihasilkan perusahaan, nilai ini di dalamnya masih termasuk
input intermedier komoditi impor. Nilai ini harus dikeluarkan dari model yang dinyatakan
dengan mj;
m
∑fsj vs
(II.18)
s=1
adalah jumlah dari faktor ke-s yang digunakan dalam faktor produksi dan merupakan
input proses produksi. Nilai input ini di dalamnya masih tercakup input produksi yang di
impor (fij ) dan harus di keluarkan dari model, dinyatakan dengan rj. Secara keseluruhan
model dapat dinyatakan sebagai berikut:
m
NSG j = (uj ─ mj ─ rj) v1 ─ ∑ fsj vs ± Ej
(II.19)
s=1
nilai uj adalah nilai pendapatan dari perusahaan ke-j dalam valuta asing. Nilai net foreign
exchange (uj ─ mj ─ rj) yang diperoleh perlu dikonversikan dengan shadow price valuta
14
asing (v1). Pada dasarnya NSG merupakan akumulasi dari tiga pengaruh ekonomi, yakni
economic rent, penyesuaian nilai-nilai input-output terhadap harga pasar dan pengaruh
eksternal, untuk mengetahui pengaruh kontribusi ketiga komponen tersebut, dinyatakan
dengan model.
NSG j = Rj + Pj ± Ej
(II.20)
Kontribusi imbalan ekonomi (economic rent) dinyatakan dengan:
m
Rj = (uj ─ mj ─ rj) w1 ─ ∑ fsj w2
(II.21)
s=2
dalam hal ini:
W1
= Nilai tukar resmi;
W2
= harga pasar.
Kontribusi karena penyesuaian harga dinyatakan dengan:
m
Pi = (uj ─ mj ─ rj)(v1 ─ w1) + ∑ fsj (ws ─ vs)
(II.22)
s=2
Akan terdapat kontribusi terhadap NSG jika harga pasar lebih tinggi dari shadow price
(Ws >Vs) dan shadow price valuta asing lebih tinggi dari nilai tukar resminya (Vs > Ws),
manfaat dan biaya eksternal dinyatakan dengan:
q
q
Ej = ∑ Ljk + ∑ Tjk bk
k=1
(II.23)
k=1
Terdapat dua kategori pengaruh eksternal yaitu: Ejk merupakan aliran investasi antar
industri yang dinyatakan dengan:
R’jk + P’jk + E’jk
(II.24)
Tjk: Pengaruh eksternal yang lain dari perusahaan kepada konsumen produsen ke- k;
bk: shadow price dari pengaruh eksternal yang lain pada konsumen produsen ke-k.
15
Selanjutnya untuk melengkapi analisa manfaat sosial perlu membandingkan NSG dari
beberapa kegiatan / waktu ekspor yang berbeda dengan output total yang dinilai pada
shadow price dari valuta asing dengan menggunakan model Net Gain Coefficient (NGC)
sebagai berikut:
NSGj
NGCj =
(II.25)
uj v1
mj + rj
NGCj = 1 ─
DRC
x1─
uj
(II.26)
v1
NSG pada dasarnya merupakan hasil dari dua hal yakni:
1) Perbandingan valuta asing yang tetap tinggal di dalam negeri dan;
2) Perbandingan tingkat efisiensi penggunaan sumber-sumber domestik.
2.2.2 Klarifikasi
Penerapan model SCBA belum diperoleh hasilnya, namun telah ada beberapa hasil
studi tentang NSG dan NGC dari beberapa usaha pertambangan di Indonesia.
- Secara kuantitatif manfaat sosial-ekonomi dari CSR untuk pembangunan lokal dapat
diidentifikasi antara lain dengan model net social gain (NSG) dalam hal ini dengan net
gain coefficient (NGC) yang telah dilakukan pada beberapa industri pertambangan
(Tabel 2.4 dan 2.5). (Bulmer-Thomas, V, et al., 1982; Isard, W., et al., 1975).
- Berdasarkan data tersebut di atas dapat dismpulkan bahwa kisaran harga NGC antara
1% dan 61%. Hal ini berarti bahwa kontribusi perusahaan pertambangan di Indonesia
dalam CD sebagai inti dari CSR dapat ditingkatkan sehingga bermanfaat bagi
pembangunan wilayah berkelanjutan. (Soelistijo, U.W., et al., 2004)
- Hal itu tergantung pada pendekatan atau kebijakan pemerintah dan semangat dari
para perusahaan.
Tabel 2.4
16
Linkage effect dari beberapa usaha pertambangan terhadap sosial-ekonomi regional
dan lokal dengan menggunakan model NSG
Table 1. The linkage effects of the mining enterprises on the regional or local
social economies using NSG model
(in millions Rupiah)
PT.INCO
(1989)
PTBukit
Asam Coal
Mine (PT BA)
(1989)
VARIABLE
Output
Input
GEBE
Nickel
Mine
PT Aneka
Tambang
(1990)
KIJANG
Bauxite
(PT
Aneka
Tambang
)
(1990)
POMALAA
Nickel mine
(PT Aneka
Tambang)
(1990)
131.310,44
129.636,84
41.500,97
40.955,65
108.179,39
107.987,59
32.027,39
31.829,46
105.914,27
105.595,53
1.673,60
2.148,11
1.296.73
346,96
477,02
27,40
544,32
2.823,89
415,25
577,55
1.460,53
370,66
191,80
4.771,43
522,58
2.939,50
1.006,96
302,39
197,73
3.151,58
1.233,16
890,07
981,81
46,53
318,74
4.143,44
575,52
843,08
2.491,00
233,84
7.150,35
3.821,71
3.369,21
4.963,21
3.349,31
4.462,18
0,0128
1.317.976,06
0,0054
0,0291
1.126.243,00
0,0034
0,0812
109.031,50
0,0309
0459
N.A
N.A
0,1046
N.A
N.A
0,0421
59.771,23
0,0747
558.228,62
556.802,26
I. Economic Rent
II. Net External Effect (NEE)
Consisted of:
- Forward & backward linkages
- Fiscal linkages
- Final demand linakges
- Technological linkages
III. Net Social Gain (NSG)
IV. Net Gain Coeficient (NGC)
(NSG/Output)
Total Asset
V. Ratio Rentabilitas Ekonomi
(NSG/Total Asset)
OMBILIN
Coal Mine
(PT BA)
(1990)
1.426,36
5.723,99
134,90
4.712,55
778,30
98,24
Source: Mineral & Coal Technology R&D Center, Indonesia Ministry of Energy and mineral resources, 1989-1990
Tabel 2.5
NSG dan NGC dari beberapa usaha pertambangan di Indonesia
Table 2. Net Social Gains (NSG) and net gani coefficient (NGC) of several mining enterprises in Indonesia
NSG
(Billion
Rupiahs )
Net Gain
Coefficie
nt
Year of
study
1. PT. Inco (Nickel)
Mining company
Soroako, Luwu Regency,
South Sulawesi Province
Location
7,15
0,0128
(1.28%0
1989
2. PT. Aneka Tambang
(Antam) (Nickel)
P. Gebe, Halmahera
Regency, Maluku Province
4,96
0,0459
(4.59%)
1990
3. PT. Antam (Nickel)
Pomalaa, Kolaka Regency,
SE Sulawesi Province
4,46
0,0421
(4.21%)
1990
4. PT. Freeport (Copper
& Gold)
Tembagapura, Papua
Province
19,86
0,0083
(0.83%)
1990
5. PT. Cement Padang
(Quarry of limestone))
Indarung, Padang, West
Sumatra Province
2,99
0,1757
(17.57%)
1991
6. PT. Polowijo Gosari
(Dolomite fertilizer))
Gresik, East Java Province
13,29
0,6162
(61.62%)
1996
7. PT. Antam (Gold)
Pongkor, Bogor, West Java
Province
4,36
-
1999
8. PT. Tambang Batubara
Bukit Asam (State-owned
Coal Company of Bukit
Asam)
Tanjung Enim, Souith
Suamtra Province
71,23
41,09
39,20
5,00
0,0431
0,0322
0,0322
0,0794
(6.94%)
1999
1998
1991
1989
9 PT. Antam (Iron sand
mining)
Cilacap, Central Java
Province
Kutoarjo, Central Java
Province
3,53
0,1756
(17.56 %)
0,2245
(22.45 %)
1999
2002
(2005
tutup)
4,91
Source: Mineral and Coal Technology R&D Center, Indonesia Minist ry of Energy and Mineral Reources.
Clarification: Financial assistance for the level of provine, by exception for PT BA 1997-1999, financial assistance for the regencies of
Muara Enim and Lahat Regencies.
Berbagai upaya pembangunan baik dalam dimensi sektoral maupun kewilayahan
tersebut menghadapi beberapa kondisi paradox dalam pengusahaan pertambangan di
Indonesia yang meliputi antara lain:
17
- Sentralisasi dan desentralisasi.
Revenue nasional masih bertumpu pada sektor pertambangan dan energi untuk
membiayai beban biaya berskala nasional, di sisi lain daerah juga menuntut alokasi
revenue dari sektor ini untuk kepentingan daerah sesuai peraturan perundangan otonomi
daerah.
- Industri hulu dan industri hilir (upaya peningkatan nilai tambah dan ekspor komoditi
primer).
Sektor Pertambangan dan Energi sebagai sektor hulu sehingga menghasilkan komoditi
primer, namun dituntut pula untuk meningkatkan nilai tambahnya dengan memasok
komoditinya ke sektor hilir sebanyak mungkin untuk meningkatkan nilai tambahnya
dengan sebanyak munkgin menghasilkan komoditi manufaktur ataupun jasa yang siap
ekspor.
- Padat teknologi dan padat karya (mass employment).
Pada umumnya sektor Pertambangan dan Energi memerlukan teknologi tinggi atau
padat teknologi, namun di sisi lain juga dituntut untuk menyerap sebanyak mungkin
tenaga kerja di Indonesia yang menghadapi banyak pengangguran. Pengembangan
pertambangan skala kecil dan menengah harus dikembangkan pula untk menjawab
masalah penyerapan tenaga kerja tersebut.
- Masyarakat enclave (eksklusif) dan pengembangan masyarakat.
Unit/sentra kegiatan Pertambangan dan Energi pada umumnya berada di daerah
terpencil, sertamerta keberadaannya sebagai industri padat kapital mampu menciptakan
masyarakat enclave di tengah-tengah masyarakat tradisisonal. Hal ini perlu diatasi
dengan program pengembangan masyarakat agar dapat diciptakan harmonisasi kehidupan
kemasyarakatan seutuhnya dari dua sistem masyarakat tersebut.
- The sun set industry dan pengembangan investasi baru.
Gejala dihadapinya industri pertambangan di Indonesia sebagai the sun set industry,
dengan telah ditutupnya beberapa unit produksi pertambangan misalnya Unit
Pertambangan Emas Cikotok, pertambangan timah Singkep dan offshore timah di P
Bangka Belitung, Pertambangan bauksit di Bintan, Pertambangan pasir besi di Cilacap,
serta menjelang berakhirnya kegiatan pertambangan emas PT Newmont Minahasa Raya,
18
dan KEM dll, di sisi lain diizinkannya usaha pertambangan di wilayah hutan lindung
dengan Perpu No 1 tahun 2004 dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi baru.
- Pelestarian Lingkungan Hidup (LH) dan penambangan di wilayah hutan lindung.
Pelestarian LH merupakan keharusan dan kepedulian nasional dalam pengembangan
berbagai pengusahaan SDA, di sisi lain juga dizinkannya usaha pertambangan di wilayah
hutan lindung guna meningkatkan investasi baru dalam ekonomi nasional.
- Meningkatkan GDP dan meningkatnya Gross National Pollution (internalisasi
biaya LH).
Jelas bahwa untk kemakmuran bangsa dan memecahkan masalah pengangguran perlu
ditingkatkan GDP dengan tingkat pertumbuhan yang signifikan, namun di sisi lain
dengan internalisasi biaya pelestarian LH dalam bidang pengusahaan juga akan
menaikkan Gross National Pollution, namun sudah tentu jangan sampai mencapai angka
Gross Domestic Product. Di AS sebagai negara kaya, biaya untuk Gross National
Pollution ini mencapai sekitar 70% dari Gross Domestic Product. Di dalam era global
warming sekarang ini makin dikuatkan keterkaitan antara pemanfaatan SDA – ekonomi lingkungan hidup. Sehingga setiap langkah dalam pengusahaan SDA diperlukan alokasi
biaya lingkungan hidup yang memadai secara kontinu untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Gambatr 2.8).
- Pajak tinggi dan pajak rendah (tax holiday).
Perpajakan di Indonesia yang termasuk tinggi di dunia karena kebutuhan untuk
menopang APBN terpaksa dilakukan, di sisi lain ada tuntutan usaha untuk menekan pajak
dan pungutan semacamnya, kalau perlu dengan tax holiday, agar menarik investasi baru.
Output nasional tergantung pada 3 faktor utama yaitu konsumsi, fiskal dan investasi.
Output nasional tidak dapat terlalu lama bergantung pada konsumsi yang sementara ini
berjalan, tetapi seharusnya pada investasi, sementara investasi masih terlalu lemah yang
memerlukan dukungan iklim investasi yang segar antara lain dengan perbaikan pelunakan
sistem fiskal. Rangkaian terpadu tersebut perlu ditangani secara kumulatif dan sinkron
untuk mencapai tujuan pembangunan nasional baik skala sektoral maupun kewilayahan.
19
Gambar 2.8
Interaksi SDA-Ekonomi-Linkungan hidup
dan tujuan pembangunan
Untuk menghasilkan nilai tambah dan prestasi nasional optimal yang merupakan
akumulasi nilai tambah sektoral dan nilai tambah kewilayahan tersebut diperlukan
prerequisite, yaitu sumberdaya manusia yang kompeten dan berkualitas, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta kemahiran manajemen berbagai sumberdaya
dan output pembangunan agar diperoleh capaian prestasi nasional dalam penciptaan
kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Sumberdaya manusia yang kompeten dan
berkualitas merupakan objek sekaligus subjek pembangunan. Penguasaan IPTEK guna
menciptakan loncatan produktivitas nasional (Gambar 2.9) (Solow, R., 1961). Kemahiran
manajemen guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean
government) dan tata kelola yang baik (good governance) dalam mencapai sasaran antara
dan tujuan akhir pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian pembangunan yang
merupakan perubahan dan pertumbuhan yang komprehensip dan tinggi hasilnya dari
pembangunan sektoral, untuk kemudian disebarkan atau dikontribusikan dalam
pemerataan
20
pembangunan dan hasil-hasilnya dalam dimesni kewilayahan. Pada akhirnya dapat
diwujudkan suatu konvergensi sosial ekonomi antardaerah secara seimbang.
A.
Y/ L
t1
(Y/ L) C
C
to
(Y/ L) B
(Y/ L) A
B
A
(Y/ L) = f (K / L) t
K/ L
B.
Y/ K
t1
(Y/ K) C
C
to
(Y/ K) A
A
(Y/ K) B
B
(Y/ K) = f (L / K) t
L/ K
Gambar 2.9
Kurva produktivitas tenaga kerja dan produktivitas kapital dengan pengaruh adanya
perubahan teknologi t0 dan t1
A. Hubungan antara produktivitas pekerja (pendapatan perkapita)
dan perubahan dalam angka banding kapital-pekerja
B. Hubungan antara produktivitas kapital dengan perubahan dalam
angka banding pekerja-kapital (17)
21
III. Penutup.
Nilai tambah yang dihasilkan dalam pembangunan ekonomi khususnya untuk
sumberdaya alam mineral (migas dan nonmigas) dalam kurun waktu mencakup nilai
tambah sektoral dan nilai tambah kewilayahan.
- Nilai tambah sektoral atau nilai tambah secara vertikal akan berdampak pada
sumbangan terhadap pendapatan nasional atau PDB serta berbagai efek ganda
(multiplying effects).
- Nilai tambah kewilayahan akan berdampak pada manfaat bagi masyarakat setempat
tercakup di dalamnya misi CSR. Peranan perusahaan pertambangan jelas sangat penting
untuk pelkasanaan pengembangan masyarakat setempat sebagai bagian dari program
pengembangan wilayah. Fenomena ini dapat menerjemahkan pelaksanaan dari arti CSR
secara keberlanjutan dari segi kemanusiaan, sosial, ekonomi dan lingkungan di negeri ini.
Terutama perusahaan pertambangan beroperasi di daerah terpencil, yang selanjutnya
berfungsi sebagai penggerak mula dari pembangunan itu sendiri.
- Selain dampak nilai tambah ekonomi, juga ditimbulkan pula keterkaitan lingkungan
23)
yang dapat dihitung secara kuantitatif, di samping keterkaitan politik dan pertahanan,
termasuk iman taqwa yang tidak mudah dikuantifikasikan. Namun secara keseluruhan
semuanya itu sebagai faktor-faktor penyusun nilai tambah ketahanan nasional dan
ketahanan wilayah secara masif.
Pustaka
Bulmer - Thomas, V., (1982). Input-Output Analysis in Developing Countries. Sources,
Methods and Applications, John Wiley & Son Ltd, New York.
Hill, A., (1997). Regional Development in Indonesia: Past Development, Issues, and
Policy Options. International Workshop on regional development Policy, the World
Bank, Bappenas, UNCRD, Jakarta.
Isard, W., (1975). Introduction to Regional Scince. Prentice- Hall, Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
.………….., (2000). Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451
dan Sumber Daya Mineral. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
K/30/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Dari Kewenangan
Bidang Geologi dan sumber Daya Mineral.
Mangiri, K., (2000). Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom.
Badan Pusat statistik, CV. Nasional Indah, Jakarta.
22
Miernyk, W.H., (1982). Regional Analysis and Regional Policy. Cambridge
Oelgeschlager, Gunn & Ham Publishers Inc.
Miernyk, W.H., (1965). The Elements of Input-Output Analysis”, Wets Virginia
University, Random House, New York.
Pearson S.R., and Cownie J., 1974. Cmmodity Exports and African Economic
Development. Lexington Books.
…………., (1990). Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah. Tim Tata
Ruang Keppres No. 57 Tahun 1989, Jakarta.
…………., (2000). Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2005) Karya dan Komitmen Kami untuk
Indonesia, PT Inco Tbk, 1 – 22.
PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2005) What Does Success Mean for one
of the World’s Largest Nickel Mines, Annual report 2005, Regional Communications PT
Inco. Sorowako, 2 – 106.
PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2006), (2006), Our Dedication and
Commitment to Indonesia, Regional Communications PT Inco. Sorowako, 5 – 20.
PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2006), Rencana Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Triwulan Keempat 2005, Laporan Teknis. Sorowako, Luwu
Timur, 5 – 15.
PTBA. (2000), Pengembangan Masyarakat (Community Development) Sekitar PT
Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), Universitas Sriwijaya. Palembang, 20 – 56.
Richardson, H.W., (1979). Regional Economics”, University of Illinois Press, Chicago.
Soelistijo, U.W., dkk., (2003). Ekonomi Regional dan Model Penerapannya:
Pengembangan Sumber Daya Mineral dan Energi Dalam Rangka Otonomi Daerah.
Sebagai Salah Satu Instrumen Evaluasi Hasil Penyelenggaraan Otonomi Daerah di
Indonesia, tekMIRA, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan
Batubara.
Soelistijo,U.W., (1984). Evaluation of the potential economic benefit of coal-oil
substitution in the Indonesian economy: An interindustry approach. West Virginia
University, Ph.D dissertation, University Microfilms International, 300 N.Zeeb
Road, Ann Arbor, MI 48106.
Soelistijo, U.W., (2004). Pengembangan Sumber Daya Mineral dan Energi Sebaga
Sarana Penggerak Mula Dalam Program Pengembangan Wilayah. Pidato
pengukuhan Ahli Peneliti Utama, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
Balitbang ESDM, DESDM.
Soelistijo, U.W., Suseno, T., (2002). Several applications of Input-Output Model:the
Indonesian Economy. Mineral and Coal Technology Research and Development.
Sutami, (1980). Ilmu Wilayah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta.
Solow, R., Arrow K., Chenery, H., and Minhas B., 1961. Capital-Labor Substitution and
Economic Efficiency. Review of Economics and Statistics, August.
Tips, W.E.J., (1983). Planning Theory: A reader of Critical Contributions. Asian
Institute of Technology, Bangkok, Thailand.
……………., (1998). Tabel Input-Output Indonesia (Indonesian Input-Output Table)
1995. Jjilid I (diperbarui 1998), Biro Pusat Statistik, Jakarta.
23
……………., (1998). Tabel Input-Output Indonesia (Indonesian Input-Output Table)
1995. Jilid II (diperbarui 1998), Biro Pusat Statistik, Jakarta.
……………., (2005). Tabel Input-Output Indonesia (Indonesian Input-Output Table)
2005. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
………………, 2009. Buku Statistik Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta/
……………, (1999). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Penerbit Sinar Garfika, Undang-Undang Otonomi Daerah 1999.
………………,(1992). Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang. Penerbit CV.Eko Jaya, Jakarta.
………….., (1997). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
……………, (1999). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” Penerbit Sinar Grafika, UndangUndang Otonomi Daerah 1999.
……………, (2004). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perubahan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Sinar Garfika, UndangUndang Otonomi Daerah 1999.
……………., (1999). 13 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur
Indonesia dan 1 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang di Kawasan
Barat Indonesi. Departemen Pertambangan dan Energi.
“Science is any discipline in which the fool of this generation can go
beyond the point reached by the genius of the last generation”,
(Max Glukman, Anthropologist).
24
Download