Beberapa Indikator Nilai Tambah Ekonomi Indonesia: Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral oleh Dr. Ukar W. Soelistijo, APU - Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung. - Dosen Pasca Sarjana Program Khusus Ekonomi Mineral/PSDB, Perekayasaan Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung. -Ahli Peneliti Utama (Pensiun), Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung email:[email protected] Abstrak Makna nilai tambah dalam pengembangan sumberdaya mineral meliputi nilai tambah sektoral dan nilai tambah kewilayahan. Nilai tambah sektoral merupakan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengayaan vertical yang memberikan kontribusi kepada pendapatan nasional atau Produk Domestik Bruto. Nilai tambah makroekonomi ini menciptakan efek ganda yang dapat diukur dengan multiplier dan keterkaitan ekonomi. Nilai tambah yang lain adalah nilai tambah kewilayahan merupakan manfaat bagi masyarakat daerah atau lokal yang diperoleh melalui antara lain corporate social responsibility (CSR).Perusahaan pertambangan yang juga sebagai pelayan masyarakat perlu melaksanakan pengembangan masyarakat sebagai wujud CSR mereka dalam pembangunan kemanusiaan. Ke dua macam nilai tambah merupakan manfaat kegiatan pertambangan di bidang ekonomi pada tingkat nasional dan wilayah. Kata kunci: pengembangan sumberdaya mineral, indikator nilai tambah, pembangunan sekltoral dan wilayah, CSR, CD. Abstract The meaning of added value in the mineral resource development is that may include sector as well as regional added value. Sector added value means the value gained by the process of vertical enrichment and it can contribute to the national income or gross domestic product (GDP). This macroeconomic added value could create multiplying effects that could be measured by using economic multiplier and linkages. The another added value is regional one meant as the beneficial for the local people coming from such as corporate social responsibility (CSR). The mining company as the servant of the community should implement community development as translation of their CSR for the development of human kind as well. Those two types of added value could measure the beneficial of the mining activity in the economic field at the level of national as well as regional. Keywords: mineral resource development, added value indicators, sector, regional development, CSR, community development. I. Pendahuluan 1.1 Latar belakang Pengertian suatu aspek pembangunan ekonomi dapat mempunyai tiga dimensi pokok yaitu: dimensi sektoral, dimensi kewilayahan dan dimensi waktu. Waktu merupakan 1 dimensi dinamis dalam kegiatan atau proses pembangunan (Gambar 1.1).(Miernyk, W.H., 1987, 1965). Pembangunan ekonomi berarti untuk memperoleh capaian yang disebut nilai tambah atau added value. Dari dimensi pembangunan tersebut maka dalam suatu kurun waktu tertentu akan dicapai dua nilai tambah pokok yaitu nilai tambah sektoral atau vertikal yang memberi dampak pertumbuhan bagi pendapatan nasional atau PDB, di samping nilai tambah kewilayahan yang mampu memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat setempat. Tujuan dari tulisan ini adalah penyampaian hasil pemikiran untuk mengadakan klarifikasi tentang arti nilai tambah dalam pembangunan ekonomi khususnya di bidang energi dan sumber daya mineral (ESDM), agar diperoleh kesamaan persepsi di dalam menilai suatu keberhasilan di sektor ini secara holistik. Regional Analysis and Planning: Sectors, Space, and Time Sectors 1st sector S Inter-reg Secondary sector Tertiary sector Regional P City A C Rural Towns Districts E Villages 0 2 yrs 4 yrs Time Gambar 1.1 Dimensi Nilai Tambah Dalam Pembangunan Ekonomi (Sektor, Ruang (Kewilayahan), dan Waktu) II. Pembahasan 2.1 Model indikator nilai tambah sektoral 2.1.1 Teori dan metodologi indikator nilai tambah sektoral. 2 6 yrs Nilai tambah sektoral merupakan bagian nilai output semua sektor yang diakumulasikan dalam PDB atau Faktor primer. PDB meliput faktor-faktor konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor (Gambar 2.1). Hal ini kalau dibaca dari sisi masukan faktor primer dapat berupa upah gajih, depresiasi, pajak tak langsung, surplus dan subsidi (Gambar 2.2). Indikator yang lain yang digunakan untuk mengukur nuilai tambah sektoral adalah efek ganda (multiplying effects) atau multiplier ekonomi, misalnya employment, income, investment, surplus (Tabel 2.1). (Miernyk, W.H., et al., 1965, 1985; Mangiri, K., et al., 2000; Richardson, H.W., et al., 1979; Isard, W., 1975; Soelistijo, U.W., et al., 2002, 2004). Gambar 2.1 Konfigurasi PDB Dalam Ekonomi Nasiona 3 Tabel 2.1 Skema Tabel Input–Output Indonesia Sektor Pembeli 1.Padi 2.Tanaman pertanian lain 3.Peternakan 4.Kehutanan 5.Perikanan 6.Pertambangan 7.Tanaman makanan lain 8.Makanan dan minuman 9.Industri barang 10.Listrik/air gas 11.Konstruksi 12.Perdagangan 13.Restoran/ hotel 14.Transportasi/konsumsi 15.Pelayanan : keuangan dll. 16.Pemerintah 17.Pelayanan 18.Sektor lain Konsumsi Pemerintah Investasi Ekspor Gross output Sektor Penjualan 1.Padi 2.Tanaman makanan lain 3.Tanaman pertanian lain 4.Peternakan 5.Kehutanan 6.Perikanan 7.Pertambangan 8.Makanan dan minuman 9.Industri barang 10.Listrik/air gas 11.Konstruksi 12.Perdagangan 13.Restoran/ hotel 14.Transportasi/konsumsi 15.Pelayanan : keuangan dll. 16.Pemerintah 17.Pelayanan 18.Sektor lain Gaji dan Upah Surplus Depresiasi/kapital Pajak tak langsung Gross output II I Proses Antarindustri (Intermediate goods Processing) Kebutuhan Akhir (Final Demand) III Nilai Tambah (Value Added) IV Nilai Tambah (Value Added) Gambar 2.2 Skema Tabel Input-Output (I-O) Indonesia Tabel 2.1 Beberapa Formula Pengganda Ekonomi (Economic Multiplier) Multiplier (Angka Pengganda) Multiplier Tipe I (Open) 1. Outpur multiplier OM I I j j= Tipe II (Closed) = ∑ bij i OMIIj = ∑ b*ij i ∑ bij lTj l Tj IM IIj = b*ij lj 2. Income multiplier IM 3. Employment multiplier LMIj = ∑ lj bij lj LMIIj = b* T ij lj 4. Value-added multiplier VM Ij = vj bij vj VM IIj = vj b*ij vj 5. Investment multiplier KM Ij = kjbij kj KM IIj = kj b*ij kj 6. Tax multiplier TM Ij = -∑tj bij tj 7. Exchange earnings multiplier FEM Ij = ∑ rj bij = bij r Tj 8. Surplus multiplier ∏ M Ij = ∑vj bij / vj kj bij Keterangan bij = open inversed b*ij=closed inversed TM IIj = -∑tj b*ij tj FE IIj = ∑rj b*ij = b*ij r Tj ∏ M IIj = ∑vj b*ij / vj kj b*ij 4 b*ij ~ inversed cj T = transposed Makro: ∆ Y = 1 ∆ I 1-b Makro: ∆ Y = -b ∆ T 1-b T=tax rj = E ∆ M (net M) Catatan: Notasi Model Input-Output (I-O): bij = matrik kebalikan Leontief (terbuka); b*ij= matrik kebalikan Leontief (tertutup); lj= koefisien upah gajih sektor j; l Tj= T adalah transposed; kj = koefisien kapital sektor j; vj= koefisien niali tambah sektor j; tj=koefisien pajak sektor j. 2.1.2 Klarifikasi Perkembangan nilai tambah sektor ESDM dalam PDB Indonesia sejak tahun 1970-an sampai sekarang memang ada dampak perkembangan positip. Sektor ESDM dalam tahun 1970-an yang masih pada produk hulu mempunyai kontribusi dalam PDB sekitar 1-5%, yang saat ini mencapai sekitar 15-16% (Tabel 2.2). Kontribusi sektor ESDM dalam nilai ekspor dapat dilihat pada Tabel 2.3. Nilai ekspor mineral keras (pertambangan umum) tahun 90-an meningkat. Dalam ekspor nasional 2,5% (1990) dan mencapai puncaknya patahun 1996 sebesar 6,1% namun kemudian nampak mulai melorot menjadi 6,0% pada tahun 1997 dan dapat bertahan 5,5% pada tahun 1998 walaupun pada kurun waktu krisis ekonomi. Nilai nominal pada tahun 1996 dan 1997 mencapai sekitar US$ 3 miliar setahun, walaupun sebelum 1992 berada di bawah US$ 1 miliar. Pada kurun 2000-2008 terdapat surplus perdagangan Indonesia sebesar antara US$ 28.6 milyar sampai US$ 7,82 milyar. atau terdapat gejala penurunan. Dalam neraca perdagangan nonmigas Indonesia dalam tahun pra kirisis 1985 — 1997 umumnya defisit antara US$ 1,5 milyar sampai US$ 5,4 milyar kecuali tahun 1993 dan Tabel 2.2 Peranan Konstribusi Sektor Mineral (Migas dan Nonmigas) Dalam PDB Indonesia, Harga Yang Belaku Tahun PDB Rp triliyun 1970-an 1980-an 58,80 1983 1985 1989 1990 1995 1997 1999 2000 2005 2006 2008 2009 73,70 94,49 167,18 196,92 454,51 627,69 1.109,98 1.290,68 955,75 3.339,22 4.954,03 2.667,25 * Migas + Mineral Keras (Nonmigas) Rp trilyun Migas % Rp trilyun Mineral Keras (Mineral Nonmigas % Rp trilyun % <1%-an 1-2%-an 15,97 19,50 27,27 33,86 51,60 59,99 144,51 216,49 153,50 538,61 785,43 339,60 * 21,67 20,64 16,31 17,19 11,35 9,55 13,02 16,77 16,06 16,13 15,86 12,73* 15,35 18,84 24,73 29,92 44,53 49,66 106,39 173,34 108,05 372,17 527,64 196,28 Catatan: * Angka tengah semester. 5 20,83 19,94 14,79 15,19 9,80 7,91 9,58 13,43 11,31 11,15 10.65 7,36 0,62 0,66 2,54 3,94 7,07 10,33 38,13 43,15 45,44 166,44 257,78 143,32 0,84 0,70 1,52 2,00 1,55 1,64 3,43 3,34 4,75 4,98 5,20 5,37 Sumber: Badan Pusat Statistik, 1998, 2009, setelah diolah. Tabel 2.3 Perkembangan Neraca Perdagangan Barang Indonesia 1984 –2009 (Juta US$) Tahun Total Ekspor Total Impor Sisa Total Sisa Migas Sisa Nonmigas Pertumb Ekspor (%) Pertumb Impor (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 1984 21.887,8 13.882,1 8.005,1 13.321,3 (5.315,6) 3,51 (15,10) 1985 18.580,7 10.259,1 8.321,6 11.436,2 (3.114,6) (15,11) (26,10) 1986 14.805,0 10.718,4 4.086,6 7.190,2 (3.103,6) (20,11) 4,48 1987 17.135,6 12.370,3 4.765,3 7.488,1 (2.722,8) 15.74 15,41 1988 19.218,5 13.248,5 5.970,0 6.772,5 (802,5) 12,16 7,10 1989 22.158,9 16.359,6 5.799,3 7.483,6 (1.684,3) 15,30 23,48 1990 25.675,3 21.837,1 3.838,2 9.150,6 (5.312,4) 15,87 33,48 1991 29.142,4 25.868,9 3.237,5 8.584,6 (5.311,1) 13,50 18,46 1992 33.966,9 27.279,7 6.687,2 8.555,8 (1.868,6) 16,55 5,45 1993 36.823,0 28.327,8 8.495,2 7.575,3 919,9 8,41 3,84 1994 40.053,4 31.983,5 8.069,9 7.326,2 743,7 8,77 12,90 1995 45.481,0 40.628,7 4.789,3 7.553,6 (2.764,3) 13,39 27,03 1996 49.814,8 42.928,5 6.886,3 8.126,3 (2.239,9) 9,68 5,66 1997 53.443,6 41.679,8 11.763,8 7.968,4 4.065,4 7,28 (2,91) 1998 48.847,6 27.336,9 21.510,7 5.218,4 16.292,3 (8,60) (34,41) 1999 48.665,4 24.003,3 24.662,1 6.111,1 18.551,0 (0,37) (12,19) 2000 62.124,0 33.514,8 28.609,2 8.347,1 20.262,1 27,66 35,30 2005 85.660,0 27.959,1 1.773,8 26.185,3 19,85 15,67 2008 137.020,4 57.700,9 129.197,3 7.823,1 1.426,7 6.396,4 17,26 87,75 Sumber: Badan/Biro Pusat Statistik, setelah diolah. Ket: Ekspor dan Impor disajikan dalam bentuk total Sisa Migas = ekspor migas - impor migas Sisa Non Migas = ekspor non migas - impor non migas 1994, dan 1997 terjadi surplus sekitar US$ 920 juta dan sekitar US$ 744 juta serta sekitar US$ 4 milyar. Justru pada masa krisis 1997-1999 terjadi surplus perdagangan nonmigas sebesar US$ 4,06 milyar sampai US$ 16,3 milyar. Secara keseluruhan neraca perdagangan migas dan komoditi mineral/pertambangan umum yang menolong neraca perdagangan Indonesia karena telah surplus sekitar US$ 5 milyar sampai US$ 10 milyar tiap tahun walaupun ada gejala menurun. Pada tahun 2000 jelas kontribusi ekspor migas meningkat karena kenaikan harga migas di pasar intemasional sehingga diperoleh wind fall profit yang cukup besar di atas US$1 milyar. Pada kurun 2001-2008 terdapat surplus perdagangan migas sebesar US$ 7,16 milyar sampai US$ 1,42 milyar lebih atau terdapat gejala penurunan. Tetapi dengan adanya kenaikan harga komoditi migas dan mineral dunia sampai 2 -3 kali lebih tinggi, dapat dipastikan bahwa pasca 2008 akan ada kenaikan neraca perdagangan tersebut. 6 Kontribusi mineral keras pada PDB meningkat: dari sejak tahun 70-an sekitar 1%, menjadi 1 – 2 % (80-an), di atas 3% sejak tahun 1999, seolah-olah tidak terpengaruh kondisi krisis. Dan terlihat meningkat pada pasca tahun 2000 mencapai di atas 5% sejak tahun 2008. Selanjutnya dapat dipastikan akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya harga internasional komoditi mineral migas dan nonmigas menjadi 2-3 kali lipat pada tahun-tahun belakangan ini. Dari angka kontribusi tersebut sekitar 50%-65% dari kontraktor PMA. Momentum meningkatnya harga komoditi tersebut, amat disayangkan makin lesunya investasi yang enggan masuk ke Indonesia. Hal ini perlu ditanggulangi dengan pembaharuan kebijakan pertambangan yang lebih menarik. (Anonim, 1998,1999,2009). Sebagai catatan bahwa meningkatnya kontribusi sektor mineral keras dalam PDB dipengaruhi oleh meningkatnya nilai tambah secara vertikal melalui proses pengolahan, misalnya smelting timah bahkan sampai dengan pembuatan tin plate, pengolahan fero nikel dan nickel matte, pengolahan emas dan tembaga bahkan sampai dengan smelter tembaga yang menaghasilhan logam tembaga di dalam negeri, pemurnian emas yang menghasilkan logam emas murni 24 karat, dan besi baja. Di bidang mineral nonlogam atau mineral industri berbagai produk akhir telah dihasilkan antara lain barang-barang dari gelas, keramik, bahan bangunan, kaolin sebagai filler. Hal ini ke depan perlu dilanjutklan dengan proses pengolahan hingga menghasilkan end use commodity yang padat mineral atau logam. Sektor-sektor yang mempunyai surplus multiplier tinggi umumnya terdapat pada sektor sekunder (industri manufaktur) dan sektor tersier (industri jasa), namun pada kenyatannya pendapatan daerah masih tergantung banyak pada sektor primer yang mempunyai nilai tambah lebih rendah daripada sektor sekunder dan sektor tersier Tabel 2.4). Kalau pada dasa warsa 1960-an di Indonesia merupakan era komoditi mineral huluhulu (ekspor bijih nikel, bauksit, pasir besi, minyak mentah), 1970-an era hulu-hilir (ekspor konsentrat tembaga), 1980-an hilir-hulu (ekspor logam timah, nickel-matte, LNG), 1990-an hilir-hilir (ekspor tin-plate, steel bar), maka ke depan diharapkan merupakan era komoditi guna akhir dengan nilai tambah yang sangat tinggi.. Pada dasa warsa 1980-an dan 1990-an laju pertumbuhan tahunan rata-rata volume ekspor, impor, produksi dan konsumsi mineral logam masing-masing adalah 12%, 281%, 7 31,8%, 254,8%, sedangkan untuk mineral nir logam (industri) adalah 13,4%, 5%, 14,8%, Tabel 2.4. Penganda surplus (surplus multiplier) sektor-sektor ekonomi di Indonesia (Berdasarkan Tabel I-O 2005) Prioritas Sektor Pengganda Surplus I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI XVII Industri Lainnya Industri Makanan, Minuman Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Restoran dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Peternakan Jasa-jasa Pemrthn Umum, Pertahanan Tanaman Pertanian Perdagangan Perikanan Pertambangan/Penggalian Lembg Keu, Real Est & Js Perush Kehutanan Padi Tanaman Bhn Makanan Lainnya 4,32 3,35 3,02 2,77 2,60 1,91 1,78 1,75 1,74 1,58 1,56 1,47 1,45 1,43 1,42 1,40 1,37 Catatan : Pengganda Surplus 4,32 berarti suatu investasi pada Sektor Industri Lainnya sebesar Rp.1 juta dapat menghasilkan surplus sebesar Rp.4,32 jt. 7,6%. Hal ini menandakan bahwa laju pertumbuhan konsumsi mineral nirlogam masih rendah dan perlu ditingkatkan untuk memasok industri hilirnya, oleh adanya potensi yang cukup besar di dalam negeri. Masalah mata rantai hulu-hilir dalam industri mineral kita masih perlu ditingkatkan di dalam negeri melalui penguasaan dan penerapan teknologi hilir (value-added processing technology), misalnya teknologi-teknologi di bidang petrokimia, pengubahan Ca-bentonite menjadi Na-bentonite, pengaktivan zeolit, pemanfaatan unsur jarang, pembuatan ceramic block, pembuatan alloy kualitas tinggi. 2.2 Model Indikator Nilai Tambah Kewilayahan 2.2.1 Teori dan metodologi indikator nilai tambah kewilayahan Pada dasarnya konsep dimensi pengembangan wilayah berorientasi pada pemeraaan pembangunan di daerah dan antardaerah serta merupakan suatu proses pengalihan berbagai masukan sumberdaya menjadi keluaran berupa hasil pembangunan fisik dan nonfisik. Masukan tersebut meliput sumberdaya alam, sumberdaya manusia sekaligus sebagai subjek pembangunan dan sumberdaya buatan antara lain kapital, informasi, 8 teknologi. Hasil pembangunan fisik dan nonfisik tersebut perlu seimbang dan terpadu. Hasil pembangunan fisik mencakup parasarana/sarana, tata ruang dan lingkungan fisik. Hasil pembangunan nonfisik meliput keterkaitan dan keseimbangan ekonomi antardaerah, penciptaan job dan income, modernisasi, kemandirian sosial ekonomi di tiap daerah, pengembangan masyarakat (community development), kesesuaian dengan tugas-tugas pemerintahan yang lain. (Gambar 2.3) Sumberdaya alam -Terbarukan -Tak terbarukan Tata ruang Fisik (Ecosystem) Sumberdaya manusia daya buatan/penunjang a.l.: modal, teknologi,prasarana,informasi,kebijakan, kelembagaan dll. Pengembangan Wilayah Terpadu Non fisik (Social System) -Sumber Misi pemerataan Prasarana/Sarana Limgk. Hidup Fisik Mendukung keterkaitan ekonomi antarsektor/antardaerah Mendukung pembangunan daerah : penciptaam job dan income, konvergensi ekonomi antardaerah, swadayausaha (modernisasi, kemandirian,mobilitas) Lingkungan sosial/ekonomi / pengembangan msyarakat Memenuhi misi pemerintah pusat/daerah Gambar 2.3 Proses Pengembangan Wilayah (Regional Development) Seperti telah diutarakan bahwa nilai tambah kewilayahan merupakan nilai manfaat bagi masyarakat setempat terutama dimana sumber daya alam terdapat, walaupun dapat diartikan secara lebih luas termasuk amsyarakat daerah lainnya. Dalam pengertrian ini tercakup pengertian corporate social renponsibility (CSR). (PT INCO,2005, 2006; PTBA, 2005; Hill A., 1997). Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya adalah: a. Social Cost Benefit Analysis (SCBA). (Gambar 2.4) Analisis manfaat biaya merupakan suatu penilaian sistematis dari semua ongkos dan semua biaya terhadap suatu kebijakan (Soelistijo, U.W., et al., 2003): (a) Ongkos dan manfaat yang meliputi : 9 - “explicit costs and benefits” antara lain upah gaji, bahan. - “implicit costs and benefits” antara lain nilai (ongkos) kesempatan (opportunity cost), penyusutan, dana intern, tata hitung ongkos. - “extended cost and benefit” antara lain ongkos lingkungan . ongkos dan manfaat murni seperti halnya dalam “consumer surplus” (Gambar 2.3). (b) Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian ongkos dan biaya adalah bahwa : - untuk ongkos lingkungan (externalities) maka harga pasar tidak berperanan dalam menghitung nilai; - adanya masalah dalam “public goods” yang berbeda dalam penilaian apabila dibandingkan dengan “private goods”. Dalam menilai suatu proyek pengembangan sumber daya mineral perlu kejelasan tentang : - ukuran dalam perhitungan ongkos ekonomi mikro; - keharusan dalam mempertimbangkan ongkos lingkungan agar dapat melaksanakan operasinya; - tidak merupakan proyek yang berdiri sendiri sebagai public goods; - perlunya mempertimbangkan efek qanda sekunder. (c). Evaluasi proyek adalah tentang : - fungsi objektif untuk optimalisasi manfaat neto (net benefit) ( Z=NB =TB (total benefit) - TC (total cost)) (Gambar 2.4) - manfaat neto (net benefit) adalah penjumlahan kumulatif dari, surplus (“producer surplus”), surplus konsumen (“consumer surplus”); PVNB = PVZ = Z1 (1+p) + Z2 (1 + p)2 + ….. Zn(1+p)n (1 + i) (1 + i)2 (1 + i)n dalam hal ini: ∆ p = perubahan harga; i = bunga bank. - Dengan real rate of return on investment. r (real rate of return on investment) = (1+i) / (1+f) – 1 PVNB = PVZ = ∑ ∑ Zm (1+r) n m n dalam hal ini : i = bunga bank; f= tingkat inflasi. 10 produsen Contoh Format SCBA Tahun Benefit Cost 1 B1 C1 2 B2 C2 …. n …….. …….. Bn Cn Net Benefit NB1=(B1-C1) NB2 ………. NBn PVNB NB1 x PVF1 x PF1 NB2 x PVF2 x PF2 ……. NBn x PVFn x PF3 _______________________________________________________________ ∑ Total NB>0 Gambar 2.4 Contoh Foirmat SCBA Gambar 2.3 Surplus Produsen (Ps) dan Surplus Konsumen (Cs) Merupakan Bagian Dari Manfaat Neto (NB) Gambar 2.5 Surplus Produsen (PS) dan Surplus Konsumen (CS) Merupakan Bagian Dari Manfaat Neto (NB) 11 Gambar 2.4 Optimalisasi Terhadap NB (Manfaat Neto) Gambar 2.6 Optimasi Terhadap NB (Manfaat Neto) b. Manfaat sosial neto atau Net Social Gain (NSG) Pada dasarnya, NSG merupakan selisih antara perolehan dan biaya perusahaan dan ditambah atau dikurangi dampak eksternal neto atau net external effects (NEE). - NEE positip merupaka dampak keberadaan usaha pertambangan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. - Dan NEE negatif merupakan kegiatan usaha pertambangan yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat atau mengakibatkan kesenjangan sosial. - NEE terdiri dari keterkaitan hulu dan hilir, teknologis, kebutuhan akhir dan pajak (backward and forward linkages, technological linkages, final demand linkages , fiscal linkages). 12 Formula NSG, NGC dan NEE dapat dilihat pada Gambar 2.7. (Bulmer-Thomas, V, et al., 1982; Pearson, S.R. et al, 1974). Fig ur e 1 . Net So cia l Ga ins (NS G) NSG = (uj – mj – rj) v j – f sj v j + Ej. DRC (do mestic reso ur ce co st) = f sj vj + Ej / (uj – mj – rj) vj NGC ( Net Ga in Co ef ficien t) = NS G/ To ta l Ou tput. uj = ex po rt reve nue o f secto r j. mj = interme dia te g o o ds impo rted. rj v = repa tria tio n. = sha do w price. f E = co mmo dity price. = ex terna l effec ts. Net Gain Coefficient (NGC) = NSG / R Gambar 2.7 Formula NSG dan NGC NSG didefinisikan sebagai besaran manfaat sosial bersih (pendapatan lokasi) yang dihasilkan oleh adanya aktivitas ekonomi termasuk ekspor, NSG adalah nilai total dari komoditi yang dihasilkan minus nilai dari komoditi intermedier dan faktor input yang digunakan ditambah dengan Net External Effects (NEE). Hal ini bersandar dari landasan teori bahwa “untuk suatu pengkajian khusus (case study) dari produksi ekspor, NSG lebih baik didefinisikan sebagai nilai bersih dari “nilai tukar asing” yang diperoleh minus nilai dari sumber-sumber dalam negeri yang digunakan untuk memproduksi ekspor komoditas plus NEE, (Pearson and Cownie,1974) dengan formulasi perhitungan (17) sebagai berikut: n m NSGj = ∑ aij Pi i=1 ─ ∑ fsj s=1 vs ± Ej (II.16) dalam hal ini: NSGj = Net Social Gain dari perusahaan pertambangan; n = jenis komoditi yang diproduksi perusahaan pertambangan sebagai output 13 yang dikonsumsi sebgai input perusahaan lain; aij = jumlah komoditi ke-i yang diproduksi oleh atau digunakan dalam proses produksi perusahaan ke-j; Pi = harga bayangan dari komoditi ke-i; fsj = jumlah input faktor ke-s yang digunakan dalam proses produksi; Vs = harga bayangan dari faktor ke-s; Ej = manfaat biaya eksternal yang diberikan atau disebabkan oleh perusahaan pertambangan ke dalam ekonomi regional atau domestik. Untuk mengetahui nilai total dari pendapatan domestik maka komponen-komponen asing harus dikeluarkan dahulu dari model, sehingga; n ∑aij Pi (II.17) i=1 Adalah nilai komoditi yang dihasilkan perusahaan, nilai ini di dalamnya masih termasuk input intermedier komoditi impor. Nilai ini harus dikeluarkan dari model yang dinyatakan dengan mj; m ∑fsj vs (II.18) s=1 adalah jumlah dari faktor ke-s yang digunakan dalam faktor produksi dan merupakan input proses produksi. Nilai input ini di dalamnya masih tercakup input produksi yang di impor (fij ) dan harus di keluarkan dari model, dinyatakan dengan rj. Secara keseluruhan model dapat dinyatakan sebagai berikut: m NSG j = (uj ─ mj ─ rj) v1 ─ ∑ fsj vs ± Ej (II.19) s=1 nilai uj adalah nilai pendapatan dari perusahaan ke-j dalam valuta asing. Nilai net foreign exchange (uj ─ mj ─ rj) yang diperoleh perlu dikonversikan dengan shadow price valuta 14 asing (v1). Pada dasarnya NSG merupakan akumulasi dari tiga pengaruh ekonomi, yakni economic rent, penyesuaian nilai-nilai input-output terhadap harga pasar dan pengaruh eksternal, untuk mengetahui pengaruh kontribusi ketiga komponen tersebut, dinyatakan dengan model. NSG j = Rj + Pj ± Ej (II.20) Kontribusi imbalan ekonomi (economic rent) dinyatakan dengan: m Rj = (uj ─ mj ─ rj) w1 ─ ∑ fsj w2 (II.21) s=2 dalam hal ini: W1 = Nilai tukar resmi; W2 = harga pasar. Kontribusi karena penyesuaian harga dinyatakan dengan: m Pi = (uj ─ mj ─ rj)(v1 ─ w1) + ∑ fsj (ws ─ vs) (II.22) s=2 Akan terdapat kontribusi terhadap NSG jika harga pasar lebih tinggi dari shadow price (Ws >Vs) dan shadow price valuta asing lebih tinggi dari nilai tukar resminya (Vs > Ws), manfaat dan biaya eksternal dinyatakan dengan: q q Ej = ∑ Ljk + ∑ Tjk bk k=1 (II.23) k=1 Terdapat dua kategori pengaruh eksternal yaitu: Ejk merupakan aliran investasi antar industri yang dinyatakan dengan: R’jk + P’jk + E’jk (II.24) Tjk: Pengaruh eksternal yang lain dari perusahaan kepada konsumen produsen ke- k; bk: shadow price dari pengaruh eksternal yang lain pada konsumen produsen ke-k. 15 Selanjutnya untuk melengkapi analisa manfaat sosial perlu membandingkan NSG dari beberapa kegiatan / waktu ekspor yang berbeda dengan output total yang dinilai pada shadow price dari valuta asing dengan menggunakan model Net Gain Coefficient (NGC) sebagai berikut: NSGj NGCj = (II.25) uj v1 mj + rj NGCj = 1 ─ DRC x1─ uj (II.26) v1 NSG pada dasarnya merupakan hasil dari dua hal yakni: 1) Perbandingan valuta asing yang tetap tinggal di dalam negeri dan; 2) Perbandingan tingkat efisiensi penggunaan sumber-sumber domestik. 2.2.2 Klarifikasi Penerapan model SCBA belum diperoleh hasilnya, namun telah ada beberapa hasil studi tentang NSG dan NGC dari beberapa usaha pertambangan di Indonesia. - Secara kuantitatif manfaat sosial-ekonomi dari CSR untuk pembangunan lokal dapat diidentifikasi antara lain dengan model net social gain (NSG) dalam hal ini dengan net gain coefficient (NGC) yang telah dilakukan pada beberapa industri pertambangan (Tabel 2.4 dan 2.5). (Bulmer-Thomas, V, et al., 1982; Isard, W., et al., 1975). - Berdasarkan data tersebut di atas dapat dismpulkan bahwa kisaran harga NGC antara 1% dan 61%. Hal ini berarti bahwa kontribusi perusahaan pertambangan di Indonesia dalam CD sebagai inti dari CSR dapat ditingkatkan sehingga bermanfaat bagi pembangunan wilayah berkelanjutan. (Soelistijo, U.W., et al., 2004) - Hal itu tergantung pada pendekatan atau kebijakan pemerintah dan semangat dari para perusahaan. Tabel 2.4 16 Linkage effect dari beberapa usaha pertambangan terhadap sosial-ekonomi regional dan lokal dengan menggunakan model NSG Table 1. The linkage effects of the mining enterprises on the regional or local social economies using NSG model (in millions Rupiah) PT.INCO (1989) PTBukit Asam Coal Mine (PT BA) (1989) VARIABLE Output Input GEBE Nickel Mine PT Aneka Tambang (1990) KIJANG Bauxite (PT Aneka Tambang ) (1990) POMALAA Nickel mine (PT Aneka Tambang) (1990) 131.310,44 129.636,84 41.500,97 40.955,65 108.179,39 107.987,59 32.027,39 31.829,46 105.914,27 105.595,53 1.673,60 2.148,11 1.296.73 346,96 477,02 27,40 544,32 2.823,89 415,25 577,55 1.460,53 370,66 191,80 4.771,43 522,58 2.939,50 1.006,96 302,39 197,73 3.151,58 1.233,16 890,07 981,81 46,53 318,74 4.143,44 575,52 843,08 2.491,00 233,84 7.150,35 3.821,71 3.369,21 4.963,21 3.349,31 4.462,18 0,0128 1.317.976,06 0,0054 0,0291 1.126.243,00 0,0034 0,0812 109.031,50 0,0309 0459 N.A N.A 0,1046 N.A N.A 0,0421 59.771,23 0,0747 558.228,62 556.802,26 I. Economic Rent II. Net External Effect (NEE) Consisted of: - Forward & backward linkages - Fiscal linkages - Final demand linakges - Technological linkages III. Net Social Gain (NSG) IV. Net Gain Coeficient (NGC) (NSG/Output) Total Asset V. Ratio Rentabilitas Ekonomi (NSG/Total Asset) OMBILIN Coal Mine (PT BA) (1990) 1.426,36 5.723,99 134,90 4.712,55 778,30 98,24 Source: Mineral & Coal Technology R&D Center, Indonesia Ministry of Energy and mineral resources, 1989-1990 Tabel 2.5 NSG dan NGC dari beberapa usaha pertambangan di Indonesia Table 2. Net Social Gains (NSG) and net gani coefficient (NGC) of several mining enterprises in Indonesia NSG (Billion Rupiahs ) Net Gain Coefficie nt Year of study 1. PT. Inco (Nickel) Mining company Soroako, Luwu Regency, South Sulawesi Province Location 7,15 0,0128 (1.28%0 1989 2. PT. Aneka Tambang (Antam) (Nickel) P. Gebe, Halmahera Regency, Maluku Province 4,96 0,0459 (4.59%) 1990 3. PT. Antam (Nickel) Pomalaa, Kolaka Regency, SE Sulawesi Province 4,46 0,0421 (4.21%) 1990 4. PT. Freeport (Copper & Gold) Tembagapura, Papua Province 19,86 0,0083 (0.83%) 1990 5. PT. Cement Padang (Quarry of limestone)) Indarung, Padang, West Sumatra Province 2,99 0,1757 (17.57%) 1991 6. PT. Polowijo Gosari (Dolomite fertilizer)) Gresik, East Java Province 13,29 0,6162 (61.62%) 1996 7. PT. Antam (Gold) Pongkor, Bogor, West Java Province 4,36 - 1999 8. PT. Tambang Batubara Bukit Asam (State-owned Coal Company of Bukit Asam) Tanjung Enim, Souith Suamtra Province 71,23 41,09 39,20 5,00 0,0431 0,0322 0,0322 0,0794 (6.94%) 1999 1998 1991 1989 9 PT. Antam (Iron sand mining) Cilacap, Central Java Province Kutoarjo, Central Java Province 3,53 0,1756 (17.56 %) 0,2245 (22.45 %) 1999 2002 (2005 tutup) 4,91 Source: Mineral and Coal Technology R&D Center, Indonesia Minist ry of Energy and Mineral Reources. Clarification: Financial assistance for the level of provine, by exception for PT BA 1997-1999, financial assistance for the regencies of Muara Enim and Lahat Regencies. Berbagai upaya pembangunan baik dalam dimensi sektoral maupun kewilayahan tersebut menghadapi beberapa kondisi paradox dalam pengusahaan pertambangan di Indonesia yang meliputi antara lain: 17 - Sentralisasi dan desentralisasi. Revenue nasional masih bertumpu pada sektor pertambangan dan energi untuk membiayai beban biaya berskala nasional, di sisi lain daerah juga menuntut alokasi revenue dari sektor ini untuk kepentingan daerah sesuai peraturan perundangan otonomi daerah. - Industri hulu dan industri hilir (upaya peningkatan nilai tambah dan ekspor komoditi primer). Sektor Pertambangan dan Energi sebagai sektor hulu sehingga menghasilkan komoditi primer, namun dituntut pula untuk meningkatkan nilai tambahnya dengan memasok komoditinya ke sektor hilir sebanyak mungkin untuk meningkatkan nilai tambahnya dengan sebanyak munkgin menghasilkan komoditi manufaktur ataupun jasa yang siap ekspor. - Padat teknologi dan padat karya (mass employment). Pada umumnya sektor Pertambangan dan Energi memerlukan teknologi tinggi atau padat teknologi, namun di sisi lain juga dituntut untuk menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja di Indonesia yang menghadapi banyak pengangguran. Pengembangan pertambangan skala kecil dan menengah harus dikembangkan pula untk menjawab masalah penyerapan tenaga kerja tersebut. - Masyarakat enclave (eksklusif) dan pengembangan masyarakat. Unit/sentra kegiatan Pertambangan dan Energi pada umumnya berada di daerah terpencil, sertamerta keberadaannya sebagai industri padat kapital mampu menciptakan masyarakat enclave di tengah-tengah masyarakat tradisisonal. Hal ini perlu diatasi dengan program pengembangan masyarakat agar dapat diciptakan harmonisasi kehidupan kemasyarakatan seutuhnya dari dua sistem masyarakat tersebut. - The sun set industry dan pengembangan investasi baru. Gejala dihadapinya industri pertambangan di Indonesia sebagai the sun set industry, dengan telah ditutupnya beberapa unit produksi pertambangan misalnya Unit Pertambangan Emas Cikotok, pertambangan timah Singkep dan offshore timah di P Bangka Belitung, Pertambangan bauksit di Bintan, Pertambangan pasir besi di Cilacap, serta menjelang berakhirnya kegiatan pertambangan emas PT Newmont Minahasa Raya, 18 dan KEM dll, di sisi lain diizinkannya usaha pertambangan di wilayah hutan lindung dengan Perpu No 1 tahun 2004 dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi baru. - Pelestarian Lingkungan Hidup (LH) dan penambangan di wilayah hutan lindung. Pelestarian LH merupakan keharusan dan kepedulian nasional dalam pengembangan berbagai pengusahaan SDA, di sisi lain juga dizinkannya usaha pertambangan di wilayah hutan lindung guna meningkatkan investasi baru dalam ekonomi nasional. - Meningkatkan GDP dan meningkatnya Gross National Pollution (internalisasi biaya LH). Jelas bahwa untk kemakmuran bangsa dan memecahkan masalah pengangguran perlu ditingkatkan GDP dengan tingkat pertumbuhan yang signifikan, namun di sisi lain dengan internalisasi biaya pelestarian LH dalam bidang pengusahaan juga akan menaikkan Gross National Pollution, namun sudah tentu jangan sampai mencapai angka Gross Domestic Product. Di AS sebagai negara kaya, biaya untuk Gross National Pollution ini mencapai sekitar 70% dari Gross Domestic Product. Di dalam era global warming sekarang ini makin dikuatkan keterkaitan antara pemanfaatan SDA – ekonomi lingkungan hidup. Sehingga setiap langkah dalam pengusahaan SDA diperlukan alokasi biaya lingkungan hidup yang memadai secara kontinu untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Gambatr 2.8). - Pajak tinggi dan pajak rendah (tax holiday). Perpajakan di Indonesia yang termasuk tinggi di dunia karena kebutuhan untuk menopang APBN terpaksa dilakukan, di sisi lain ada tuntutan usaha untuk menekan pajak dan pungutan semacamnya, kalau perlu dengan tax holiday, agar menarik investasi baru. Output nasional tergantung pada 3 faktor utama yaitu konsumsi, fiskal dan investasi. Output nasional tidak dapat terlalu lama bergantung pada konsumsi yang sementara ini berjalan, tetapi seharusnya pada investasi, sementara investasi masih terlalu lemah yang memerlukan dukungan iklim investasi yang segar antara lain dengan perbaikan pelunakan sistem fiskal. Rangkaian terpadu tersebut perlu ditangani secara kumulatif dan sinkron untuk mencapai tujuan pembangunan nasional baik skala sektoral maupun kewilayahan. 19 Gambar 2.8 Interaksi SDA-Ekonomi-Linkungan hidup dan tujuan pembangunan Untuk menghasilkan nilai tambah dan prestasi nasional optimal yang merupakan akumulasi nilai tambah sektoral dan nilai tambah kewilayahan tersebut diperlukan prerequisite, yaitu sumberdaya manusia yang kompeten dan berkualitas, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta kemahiran manajemen berbagai sumberdaya dan output pembangunan agar diperoleh capaian prestasi nasional dalam penciptaan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Sumberdaya manusia yang kompeten dan berkualitas merupakan objek sekaligus subjek pembangunan. Penguasaan IPTEK guna menciptakan loncatan produktivitas nasional (Gambar 2.9) (Solow, R., 1961). Kemahiran manajemen guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola yang baik (good governance) dalam mencapai sasaran antara dan tujuan akhir pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian pembangunan yang merupakan perubahan dan pertumbuhan yang komprehensip dan tinggi hasilnya dari pembangunan sektoral, untuk kemudian disebarkan atau dikontribusikan dalam pemerataan 20 pembangunan dan hasil-hasilnya dalam dimesni kewilayahan. Pada akhirnya dapat diwujudkan suatu konvergensi sosial ekonomi antardaerah secara seimbang. A. Y/ L t1 (Y/ L) C C to (Y/ L) B (Y/ L) A B A (Y/ L) = f (K / L) t K/ L B. Y/ K t1 (Y/ K) C C to (Y/ K) A A (Y/ K) B B (Y/ K) = f (L / K) t L/ K Gambar 2.9 Kurva produktivitas tenaga kerja dan produktivitas kapital dengan pengaruh adanya perubahan teknologi t0 dan t1 A. Hubungan antara produktivitas pekerja (pendapatan perkapita) dan perubahan dalam angka banding kapital-pekerja B. Hubungan antara produktivitas kapital dengan perubahan dalam angka banding pekerja-kapital (17) 21 III. Penutup. Nilai tambah yang dihasilkan dalam pembangunan ekonomi khususnya untuk sumberdaya alam mineral (migas dan nonmigas) dalam kurun waktu mencakup nilai tambah sektoral dan nilai tambah kewilayahan. - Nilai tambah sektoral atau nilai tambah secara vertikal akan berdampak pada sumbangan terhadap pendapatan nasional atau PDB serta berbagai efek ganda (multiplying effects). - Nilai tambah kewilayahan akan berdampak pada manfaat bagi masyarakat setempat tercakup di dalamnya misi CSR. Peranan perusahaan pertambangan jelas sangat penting untuk pelkasanaan pengembangan masyarakat setempat sebagai bagian dari program pengembangan wilayah. Fenomena ini dapat menerjemahkan pelaksanaan dari arti CSR secara keberlanjutan dari segi kemanusiaan, sosial, ekonomi dan lingkungan di negeri ini. Terutama perusahaan pertambangan beroperasi di daerah terpencil, yang selanjutnya berfungsi sebagai penggerak mula dari pembangunan itu sendiri. - Selain dampak nilai tambah ekonomi, juga ditimbulkan pula keterkaitan lingkungan 23) yang dapat dihitung secara kuantitatif, di samping keterkaitan politik dan pertahanan, termasuk iman taqwa yang tidak mudah dikuantifikasikan. Namun secara keseluruhan semuanya itu sebagai faktor-faktor penyusun nilai tambah ketahanan nasional dan ketahanan wilayah secara masif. Pustaka Bulmer - Thomas, V., (1982). Input-Output Analysis in Developing Countries. Sources, Methods and Applications, John Wiley & Son Ltd, New York. Hill, A., (1997). Regional Development in Indonesia: Past Development, Issues, and Policy Options. International Workshop on regional development Policy, the World Bank, Bappenas, UNCRD, Jakarta. Isard, W., (1975). Introduction to Regional Scince. Prentice- Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. .………….., (2000). Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451 dan Sumber Daya Mineral. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral K/30/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Dari Kewenangan Bidang Geologi dan sumber Daya Mineral. Mangiri, K., (2000). Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom. Badan Pusat statistik, CV. Nasional Indah, Jakarta. 22 Miernyk, W.H., (1982). Regional Analysis and Regional Policy. Cambridge Oelgeschlager, Gunn & Ham Publishers Inc. Miernyk, W.H., (1965). The Elements of Input-Output Analysis”, Wets Virginia University, Random House, New York. Pearson S.R., and Cownie J., 1974. Cmmodity Exports and African Economic Development. Lexington Books. …………., (1990). Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah. Tim Tata Ruang Keppres No. 57 Tahun 1989, Jakarta. …………., (2000). Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2005) Karya dan Komitmen Kami untuk Indonesia, PT Inco Tbk, 1 – 22. PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2005) What Does Success Mean for one of the World’s Largest Nickel Mines, Annual report 2005, Regional Communications PT Inco. Sorowako, 2 – 106. PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2006), (2006), Our Dedication and Commitment to Indonesia, Regional Communications PT Inco. Sorowako, 5 – 20. PT International Nickel Indonesia (PT INCO). (2006), Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Triwulan Keempat 2005, Laporan Teknis. Sorowako, Luwu Timur, 5 – 15. PTBA. (2000), Pengembangan Masyarakat (Community Development) Sekitar PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), Universitas Sriwijaya. Palembang, 20 – 56. Richardson, H.W., (1979). Regional Economics”, University of Illinois Press, Chicago. Soelistijo, U.W., dkk., (2003). Ekonomi Regional dan Model Penerapannya: Pengembangan Sumber Daya Mineral dan Energi Dalam Rangka Otonomi Daerah. Sebagai Salah Satu Instrumen Evaluasi Hasil Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, tekMIRA, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. Soelistijo,U.W., (1984). Evaluation of the potential economic benefit of coal-oil substitution in the Indonesian economy: An interindustry approach. West Virginia University, Ph.D dissertation, University Microfilms International, 300 N.Zeeb Road, Ann Arbor, MI 48106. Soelistijo, U.W., (2004). Pengembangan Sumber Daya Mineral dan Energi Sebaga Sarana Penggerak Mula Dalam Program Pengembangan Wilayah. Pidato pengukuhan Ahli Peneliti Utama, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Balitbang ESDM, DESDM. Soelistijo, U.W., Suseno, T., (2002). Several applications of Input-Output Model:the Indonesian Economy. Mineral and Coal Technology Research and Development. Sutami, (1980). Ilmu Wilayah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta. Solow, R., Arrow K., Chenery, H., and Minhas B., 1961. Capital-Labor Substitution and Economic Efficiency. Review of Economics and Statistics, August. Tips, W.E.J., (1983). Planning Theory: A reader of Critical Contributions. Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand. ……………., (1998). Tabel Input-Output Indonesia (Indonesian Input-Output Table) 1995. Jjilid I (diperbarui 1998), Biro Pusat Statistik, Jakarta. 23 ……………., (1998). Tabel Input-Output Indonesia (Indonesian Input-Output Table) 1995. Jilid II (diperbarui 1998), Biro Pusat Statistik, Jakarta. ……………., (2005). Tabel Input-Output Indonesia (Indonesian Input-Output Table) 2005. Biro Pusat Statistik, Jakarta. ………………, 2009. Buku Statistik Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta/ ……………, (1999). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Sinar Garfika, Undang-Undang Otonomi Daerah 1999. ………………,(1992). Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Penerbit CV.Eko Jaya, Jakarta. ………….., (1997). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. ……………, (1999). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” Penerbit Sinar Grafika, UndangUndang Otonomi Daerah 1999. ……………, (2004). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perubahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Penerbit Sinar Garfika, UndangUndang Otonomi Daerah 1999. ……………., (1999). 13 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia dan 1 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang di Kawasan Barat Indonesi. Departemen Pertambangan dan Energi. “Science is any discipline in which the fool of this generation can go beyond the point reached by the genius of the last generation”, (Max Glukman, Anthropologist). 24