Kuliah Interaktif HIPEREMESIS GRAVIDARUM Disusun oleh: Kevin, S. Ked King Hans, S. Ked M Hafiizh A, S. Ked Paul Samuel Kris M, S. Ked Narasumber Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K) PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2010 1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI1,2 Mual dan muntah dikeluhkan oleh sekitar tiga perempat ibu hamil, umumnya terjadi selama trimester pertama. Biasanya mual dan muntah disertai dengan keluhan banyak meludah (hipersalivasi), pening, perut kembung, dan badan terasa lemah. Keluhan ini secara umum dikenal sebagai “morning sickness” karena terasa lebih berat pada pagi hari. Namun, mual dan muntah dapat berlangsung sepanjang hari. Rasa dan intensitasnya seringkali dideskripsikan menyerupai mual muntah karena kemoterapi untuk kanker. Keluhan mual dan muntah pada ibu hamil jarang yang dapat dihilangkan seluruhnya. Untungnya gejala dapat diringankan, misalnya dengan membatasi makan tidak sampai kenyang, makan sedikit tapi sering, menghindari makanan tertentu, atau pemberian antiemetik. Namun, pada sejumlah kasus mual muntah cukup berat sehingga langkah-langkah di atas tidak berhasil dan terjadi masalah-masalah seperti penurunan berat badan, dehidrasi, kelainan keseimbangan asam-basa, dan ketosis. Kondisi ini disebut hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum dapat diklasifikasikan secara klinis menjadi tiga tingkat, yaitu1: Tingkat I Hiperemesis gravidarum tingkat I ditandai oleh muntah yang terus menerus disertai dengan intoleransi terhadap makan dan minum. Terdapat penurunan berat badan dan nyeri epigastrium. Pertama-tama isi muntahan adalah makanan, kemudian lendir beserta sedikit cairan empedu, dan kalau sudah lama bisa keluar darah. Frekuensi nadi meningkat sampai 100 kali/menit dan tekanan darah sistolik menurun. Pada pemeriksaan fisis ditemukan mata cekung, lidah kering, turgor kulit menurun, dan urin sedikit berkurang. Tingkat II Pada hiperemesis gravidarum tingkat II, pasien memuntahkan segala yang dimakan dan diminum, berat badan cepat menurun, dan ada rasa haus yang hebat. Frekuensi nadi 100-140 kali/menit dan tekanan darah sistolik kurang dari 80 mmHg. Pasien terlihat apatis, pucat, lidah kotor, kadang ikterus, dan ditemukan aseton serta bilirubin dalam urin. Tingkat III Kondisi tingkat III ini sangat jarang, ditandai dengan berkurangnya muntah atau bahkan berhenti, tapi kesadaran menurun (delirium sampai koma). Pasien mengalami ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, dan dalam urin ditemukan bilirubin dan protein. 2. EPIDEMIOLOGI3 Mual dan muntah terjadi dalam 50-90% kehamilan. Gejalanya biasanya dimulai pada gestasi minggu 9-10, memuncak pada minggu 11-13, dan berakhir pada minggu 12-14. Pada 1-10% kehamilan, gejala dapat berlanjut melewati 20-22 minggu. Hiperemesis berat yang harus dirawat inap terjadi dalam 0,3-2% kehamilan. Di masa kini, hiperemesis gravidarum jarang sekali menyebabkan kematian, tapi masih berhubungan dengan morbiditas yang signifikan. Mual dan muntah mengganggu pekerjaan hampir 50% wanita hamil yang bekerja. Hiperemesis yang berat dapat menyebabkan depresi. Sekitar seperempat pasien hiperemesis gravidarum membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari sekali. Wanita dengan hiperemesis gravidarum dengan kenaikan berat badan dalam kehamilan yang rendah (7 kg) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan neonatus dengan berat badan lahir rendah, kecil untuk masa kehamilan, prematur, dan nilai Apgar 5 menit kurang dari 7. 3. FAKTOR RISIKO3 Faktor risiko untuk hiperemesis gravidarum adalah: o Kehamilan sebelumnya dengan hiperemesis gravidarum o Berat badan tinggi o Kehamilan multipel o Penyakit trofoblastik o Nuliparitas Merokok berhubungan dengan risiko yang lebih rendah untuk hiperemesis gravidarum 4. PATOFISIOLOGI4,5 Etiologi mual dan muntah yang terjadi selama kehamilan masih belum diketahui, namun terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan terjadinya hiperemesis gravidarum. Faktor sosial, psikologis dan organobiologik, yang berupa perubahan kadar hormon-hormon selama kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum. Disfungsi pada traktus gastrointestinal yang disebabkan oleh pengaruh hormon progesteron diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya mual dan muntah pada kehamilan. Peningkatan kadar progesteron memperlambat motilitas lambung dan mengganggu ritme kontraksi otot-otot polos di lambung (disritmia gaster). Selain progesteron, peningkatan kadar hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dan estrogen serta penurunan kadar thyrotropin-stimulating hormone (TSH), terutama pada awal kehamilan, memiliki hubungan terhadap terjadinya hiperemesis gravidarum walaupun mekanismenya belum diketahui. Pada studi lain ditemukan adanya hubungan antara infeksi kronik Helicobacter pylori dengan terjadinya hiperemesis gravidarum. Sebanyak 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum yang diteliti pada studi tersebut menunjukkan hasil tes deteksi genom H. pylori yang positif. 5. GEJALA KLINIS1 Hiperemesis gravidarum dijumpai pada trimester pertama kehamilan, di mana pasien datang dengan keluhan mual dan muntah. Sesuai dengan beratnya penyakit yang dialami, dapat pula dijumpai penurunan berat badan, hipersalivasi, tanda-tanda dehidrasi (hipotensi postural dan takikardi). 6. DIAGNOSIS1 Secara klinis penegakan diagnosis hiperemesis gravidarum dilakukan dengan menegakkan diagnosis kehamilan terlebih dahulu (amenore yang disertai dengan tanda-tanda kehamilan). Lebih lanjut pada anamnesis didapatkan adanya keluhan mual dan muntah hebat yang dapat mengganggu pekerjaan sehari-hari. Pada pemeriksaan fisis diijumpai tanda-tanda vital abnormal, yakni peningkatan frekuensi nadi (>100 kali per menit), penurunan tekanan darah, dan dengan semakin beratnya penyakit dapat dijumpai kondisi subfebris dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisis lengkap dapat dijumpai tanda-tanda dehidrasi, kulit tampak pucat dan sianosis, penurunan berat badan, uterus yang besarnya sesuai dengan usia kehamilan dengan konsistensi lunak, dan serviks yang livide saat dilakukan inspeksi dengan spekulum. Pada pemeriksaan laboratorium dapat diperoleh peningkatan relatif hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia dan hipokalema, benda keton dalam darah, dan proteinuria. 7. KOMPLIKASI1 Hiperemesis gravidarum yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan dehidrasi pada penderita. Dehidrasi muncul pada keadaan ini akibat kekurangan cairan yang dikonsumsi dan kehilangan cairan karena muntah. Keadaan ini menyebabkan cairan ekstraseluler dan plasma berkurang sehingga volume cairan dalam pembuluh darah berkurang dan aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan (nutrisi) dan oksigen yang akan diantarkan ke jaringan mengurang pula. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah menurunnya keadaan umum, munculnya tanda-tanda dehidrasi (dalam berbagai tingkatan tergantung beratnya hiperemesis gravidum), dan berat badan ibu berkurang. Risiko dari keadaan ini terhadap ibu adalah kesehatan yang menurun dan bisa terjadi syok serta terganggunya aktivitas sehari-hari ibu. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen yang diterima janin. Risiko dari keadaan ini adalah tumbuh kembang janin akan terpengaruh. Selain dehidrasi, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan elektrolit muncul akibat cairan ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan klorida darah akan turun. Kalium juga berkurang sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah bertambah buruknya keadaan umum dan akan muncul keadaan alkalosis metabolik hipokloremik (tingkat klorida yang rendah bersama dengan tingginya kadar HCO3 & CO2 dan meningkatnya pH darah). Risiko dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah bisa munculnya gejala-gejala dari hiponatremi, hipokalemi, dan hipokloremik yang akan memperberat keadaan umum ibu. Dampak keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah juga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Hiperemesis gravidum juga dapat mengakibatkan berkurangnya asupan energi (nutrisi) ke dalam tubuh ibu. Hal ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak dalam tubuh ibu habis terpakai untuk keperluan pemenuhan kebutuhan energi jaringan. Perubahan metabolisme mulai terjadi dalam tahap ini. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, maka terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton-asetik, asam hidroksi butirik, dan aseton dalam darah. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan ke jaringan berkurang dan tertimbunnya zat metabolik yang toksik. Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah kekurangan sumber energi, terjadinya metabolisme baru yang memecah sumber energi dalam jaringan, berkurangnya berat badan ibu, dan terciumnya bau aseton pada pernafasan. Risikonya bagi ibu adalah kesehatan dan asupan nutrisi ibu terganggu. Dampak keadaan ini terhadap kesehatan janin adalah berkurangnya asupan nutrisi bagi janin. Risiko bagi janin adalah pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu. Frekuensi muntah yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung. Keadaan ini dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal. Pada umumnya robekan yang terjadi berupa robekan kecil dan ringan. Perdarahan yang muncul akibat robekan ini dapat berhenti sendiri. Keadaan ini jarang menyebabkan tindakan operatif dan tidak diperlukan transfusi. 8. TATA LAKSANA DAN PENCEGAHAN Penatalaksanaan awal mual dan muntah pada kehamilan dapat mencegah hiperemesis gravidarum. Penatalaksanaan utama sering melibatkan istirahat dan penghindaran dari rangsangan yang berperan sebagai pemicu. Di bawah ini adalah penatalaksanaan dalam kondisi kegawatdaruratan: Untuk keluhan hiperemesis yang berat pasien dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit dan membatasi pegunjung. Penghentian pemberian makanan per oral 24 – 48 jam. Penggantian cairan dan pemberian antiemetik jika dibutuhkan. Larutan normal saline atau ringer laktat dapat digunakan dalam kondisi itu. Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium, pyridoxine, dan atau tiamin dapat dipertimbangkan. Untuk pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg dapat diberikan sebelum pemberian cairan dekstrosa. Lanjutkan penatalaksanaan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral dan sampai hasil uji menunjukkan jumlah keton urin hilang atau sedikit. Penatalaksanaan mual dan muntah pada kehamilan dengan vitamin B6 atau vitamin B6 ditambah doxylamine sangat aman dan efektif serta dapat digunakan sebagai terapi farmakologis lini pertama (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2004). Pemberian multivitamin pada saat terjadinya konsepsi juga menurunkan derajat keparahan gejala.6 Penatalaksanaan Konvensional Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan farmakologi yang terbukti. Modalitas terapi dan obat-obatan yang telah diteliti efektivitasnya dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2. Pasien yang mengalami mual dan muntah yang berat pada kehamilan sebelumnya dapat mengkonsumsi antiemetik sebagai profilaksis atau segera setelah mengalami gejala pada kehamilan berikutnya, yang dikenal sebagai pre-emptive therapy.7 Farmakoterapi dengan antiemetik dan piridoksin telah terbukti efektif. Piridoksin dijual dalam bentuk formulasi kombinasi dengan doxylamine. Walaupun dalam bentuk kombinasi, Benedektin dihetikan dari pasaran di USA pada tahun 1980 karena isu ketidakpastian, ACOG 2004 merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah setengah dari 25 mg doxylamine (antihistamin) yang dikonsumsi per oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama. Piridoksin merupakan obat kelas A dan aman diberikan pada kehamilan. Antiemetik konvensional, seperti penyekat reseptor H1, fenotiazin dan benzamin, telah terbukti efektif dan aman. Antiemetik seperti proklorperazin, prometazin, klorpromazin dapat menyembuhkan mual dan muntah dengan menghambat postsynaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek antikolinergik dan penekanan reticular activating system. Terdapat obat-obat keas C dengan keamanan yang belum dipastikan untuk digunakan pada kehamilan. Namun, hanya didapatkan sedikit informasi mengenai efek terapi antiemetik terhadap outcome fetus dari randomized controlled trial, walaupun tidak didapatkan hubungan antara metoklopramid dan efek sampingnya, seperti malformasi, berat lahir rendah, dan persalinan preterm.9 Terapi kombinasi dengan pyridoxine dan metoklopramid terbuti lebih baik dibandingkan monoterapi lain.8 Jika terapi itu gagal, cairan kristaloid dapat diberikan untuk memperbaiki dehidrasi, ketonemia, defisit elektrolit, dan gangguan asam basa. Tiamin 100 mg dapat ditambahkan dalam 1 liter pertama dan pemberian cairan dilakukan sampai muntah terkontrol.10 Profilaksis Wernicke’s encephalopathy dengan suplementasi tiamin dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan komplikasi hiperemsis. Komplikasi itu jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai jika terdapat gejala muntah berat disertai dengan gejala okular, seperti perdarahan retina atau hambatan gerakan ekstraokular. Tabel 1. Modalitas tata laksana untuk hiperemesis gravidarum17 Penatalaksanaan Diet Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan yang diberikan berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1 – 2 jam setelah makan. Diet itu kurang mengandung zat gizi, kecuali vitamin C, sehingga diberikan hanya selama beberapa hari. Diet hiperemesis II diberikan jika rasa mual dan muntah berkurang. Pemberian dilakukan secara bertahap untuk makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Diet itu rendah dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D. Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan. Pemberian minuman dapat diberikan bersama makanan. Diet ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali kalsium. Terapi Alternatif Ada berbagai terapi alternatif lain yang sangat efektif. Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah salah satu pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan aktifnya, disebut gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh galur H. pylori, terutama galur Cytotoxin associated gene (Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Ekstrak jahe ini sangat direkomendasikan oleh ACOG.13 Dosisnya adalah 250 mg kapsul akar jahe bubuk per oral, 4 kali sehari. The Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan stimulasi akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis antiemetik. Stimulasi ini dapat mengurangi risiko mual. National Evidence-based Clinical (NICE) Guidelines Oktober 2003 merekomendasikan jahe, akupunktur P6 dan antihistamin untuk tata laksana mual dan muntah dalam kehamilan, dengan evidence level I. Juga telah ditunjukkan bahwa terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar pergelangan tangan dapat menurunkan mual dan muntah serta merangsang kenaikan berat badan.12 Hanya ada sedikit bukti kalau kortikosteroid efektif. 13 Dalam dua RCT kecil, didapatkan bahwa tidak ada kegunaan dari metilprednisolon ataupun placebo, tapi kelompok steroid lebih sedikit yang mengalami readmission. 14 Antagonis serotonin kadang-kadang digunakan oleh beberapa klinisi untuk pasien tidak hamil yang mengalami mual berat. Pada sebuah penelitian, ondansentron ternyata tidak lebih baik daripada prometazin sehingga penggunaannya terbatas.15 Dengan muntah yang persisten, kita harus mencari adanya penyebab lain seperti gastroenteritis, kolesistitis, pankreatits, hepatitis, ulkus peptikum, pielonefritis, dan perlemakan hati dalam kehamilan. Hampir semua wanita hamil akan memberikan respon yang baik dengan penatalaksanaan yang telah disebutkan di atas. Bila masih ada muntah berkepanjangan, maka pemberian nutrisi enteral harus dipikirkan. Vaisman dkk. (2004) telah menunjukkan keberhasilan pemberian makan nasojejunal selama 4-21 hari pada 11 wanita hamil dengan mual dan muntah refrakter.16 Pada sedikit sekali perempuan, nutrisi parenteral mungkin diperlukan. Tabel 2. Tata laksana obat untuk hiperemesis gravidarum yang sudah diteliti17 9. DIAGNOSIS BANDING1 Selain hiperemesis gravidarum, ada beberapa penyakit yang harus dipikirkan jika terjadi mual dan muntah yang berat dan persisten pada ibu hamil, yaitu: Ulkus peptikum Ulkus peptikum pada ibu hamil biasanya adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang mengalami eksaserbasi. Gejalanya adalah nyeri epigastrik yang berkurang dengan makanan atau antasid dan memberat dengan alkohol, kopi, atau OAINS. Nyeri tekan epigastrik, hematemesis, dan melena dapat ditemukan. Kolestasis obstetrik Gejala yang khas untuk kolestasis adalah pruritus pada seluruh tubuh tanpa adanya ruam. Ikterus, warna urin gelap, dan tinja terkadang pucat juga dapat ditemui walaupun jarang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan kadar enzim hati atau peningkatan bilirubin. Acute fatty liver Pada penyakit ini ditemukan perburukan fungsi hati yang terjadi cepat disertai dengan gejala kegagalan hati seperti hipoglikemia, ganguan pembekuan darah, dan perubahan kesadaran sekunder akibat ensefalopati hepatik. Penyebab kegagalan hati akut yang lain harus disingkirkan, misalnya keracunan parasetamol dan hepatitis virus akut. Apendiksitis akut Pasien dengan apendiksitis akut mengalami demam dan nyeri perut kanan bawah. Uniknya, lokasi nyeri dapat berpindah ke atas sesuai usia kehamilan karena uterus yang semakin membesar. Nyeri dapat berupa nyeri tekan dan nyeri lepas. Dapat ditemukan tanda Bryan (timbul nyeri bila uterus digeser ke kanan) dan tanda Alder (pasien berbaring miring ke kiri dan letak nyeri tidak berubah). Diare akut Gejal diare akut adalah mual dan muntah disertai dengan peningkatan frekuensi buang air besar di atas 3 kali per hari dengan konsistensi cair. DAFTAR PUSTAKA 1. Siddik D. Kelainan gastrointestinal. Dalam: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, ed. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo,`ed. 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008: 814-28. 2. Cunningham FG, dkk. Williams Obstetric, ed. 22. McGraw-Hill; 2007. 3. Ogunyemi DA, Fong A. Hyperemesis Gravidarum [halaman di Internet]. Diperbarui 19 Juni 2009. Dikutip 7 November 2010. Medscape; 2010. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview 4. Miller AWF, Hanretty KP. Vomiting in pregnancy. Dalam: Miller AWF, Hanretty KP, eds. Obstetrics Illustrated, 5th ed. London: Churchill Livingstone; 1998: 102-3. 5. Quinlan JD, Hill DA. Nausea and vomiting of pregnancy. Am Fam Physician (serial online) 2003 (dikutip 2010 Nov 6); 68(1): 121-8. Diunduh dar:: http://www.aafp.org/afp/2003/0701/p121.html. 6. ACOG (American College of Obstetrics and Gynecology): Practice Bulletin No. 52: Nausea and Vomiting of Pregnancy. Obstet Gynecol. 2004;103:803-14. 7. Koren G, Maltepe C. Pre-emptive therapy for severe nausea and vomiting of pregnancy and hyperemesis gravidarum. J Obstet Gynaecol. 2004;24:530-3. 8. Bsat FA, Hoffman DE, Seubert DE. Comparison of three out patient regimens in the management of nausea and vomiting in pregnancy. J Perinatol. 2003;23:531-5. 9. Sorenson HT, Nielsen GL,Christensen K et al. Birth outcome following maternal use of metoclopramide. Br J Clin Pharmacol. 2000;49:264-8. 10. Jewell D, Young G. Interventions for nausea and vomiting in early pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews 2003, Issue 4.Art. No.:CD000145. doi:10.1002/14651858.CD000145. 11. Koren G, Maltepe C. Pre-emptive therapy for severe nausea and vomiting of pregnancy and hyperemesis gravidarum. J Obstet Gynaecol. 2004;24:530-3. 12. Heazell AE, Langford N, Judge JK . The use of levomepromazine in Hyperemesis Gravidarum resistant to drug therapy – a case series. Reprod Toxicol. 2005;20:569-72. 13. Magee LA, Mazzotta P, Koren G: Evidence-based view of safety and effectiveness of pharmacologic therapy for nausea and vomiting of pregnancy (NVP). Obstet Gynecol. 2002;186:S256. 14. Duggar CR, Carlan SJ: The efficacy of methylprednisolone in the treatment of hyperemesis gravidarum: A randomized double-blind controlled study [abstract]. Obstet Gynecol. 2001;97:45S. 15. Hansen WF, Yankowitz J: Pharmacologic therapy for medical disorders during pregnancy. Clin Obstet Gynecol. 2002; 45:136. 16. Vaisman N, Kaidar R, Levin I, et al: Nasojejunal feeding in hyperemesis gravidarum—a preliminary study. Clin Nutr 23:53, 2004 17. Sonkusare S. Hyperemesis Gravidarum: A Review. Med J Malaysia. 2008;63:3.