Perlindungan Hukum Bagi Anak Dan Perempuan Korban

advertisement
Perlindungan Hukum Bagi Anak Dan Perempuan Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Di Kabupaten Probolinggo
Kata Kunci : Perlindungan hukum, anak dan perempuan,
Kekerasan Dalam Rumahn Tangga
Oleh :
AGUS SUGIANTO, SH.
Penulis adalah Panitera Pengadilan Negeri Kabupaten Probolinggo
ABSTRAK
Semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang terjadi di Indonesia
mendorong pemerintah untuk menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak khususnya kekerasan dalam rumah tangga yaitu dengan
diterbitkannya Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang Undang ini selain mengatur segala hal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi di dalam rumah
tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur di
dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Disamping itu mengatur pula tentang kewajiban
pemerintah/pemerintah daerah untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga agar mereka lebih
sensitive dan responsive terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan
kerukunan rumah tangga. Akan tetapi dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya dapat melindungi kedudukan
dan kepentingan perempuan dan anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan fenomena ini
maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap anak-anak dan perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga? Sejauh manakah peran
pemerintah dalam perlindungan anak-anak dan perempuan korban kekerasan di Kabupaten Probolinggo?
Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak dan perempuan sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga ?
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis Normatif dengan pendekatan
undang – undang (statute approach ) dimaksudkan sebagai penerapan dan pengkajian aspek hukum dengan
aspek non dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak korban
kekerasan dalam rumah tangga belum dapat dialakukan secara maksimal karena Undang Undang No.23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga lebih menitik beratkan pada segi pemidanaan
terhadap perbuatan pelaku, sedangkan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak korban kekerasan
dalam rumah tangga hanya diatur sebatas selama proses perkara tersebut sampai dengan adanya suatu
putusan atas perkara itu.Dalam upaya melakukan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak
korban kekerasan dalam rumah tangga pemerintah daerah Kabupaten Probolinggo telah membentuk adanya
suatu Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Anak dan Perempuan (P2T P2A).
Pendahuluan
Hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib, dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.1
1
http://husnyarifuddin.blogspot.com/2012/04/penertian-dan-definisi-hak-asasi.html
1
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia yang
harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan secara serta keadilan.
Hak asasi perempuan dan hak asasi anak adalah bagian dari hak asasi manusia, karena
perempuan dan anak adalah bagian dari manusia sebagai manusia perempuan dan anak mempunyai
hak yang sama, mereka merupakan komposisi penting dalam sebuah bangsa yang dapat melakukan
peran sertanya dalam pembangunan nasional.
Hak anak dan perempuan yang diakui oleh dunia internasional salah satunya adalah hak untuk
tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain atau perilaku penyiksaan secara tidak manusiawi
atau sewenang-wenang. Sehingga diperlukan adanya suatu kepastian perlindungan hukum bagi anak
dan perempuan dari perbuatan kekerasan baik yang dilakukan dalam keluarga maupun di luar
keluarga.
Dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang telah diamandemen memberikan
perlindungan kepada setiap orang termasuk anak-anak dan perempuan atas hak-haknya yang asasi.
Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga, akan tetapi
pada kenyataannya, justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena
terjadi penyiksaan dan tindakan kekerasan. Kekerasa Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebenarnya
adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, finansial, dan
psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. 2
Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UUP)
menetapkan bahwa :
Dasar perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang berbahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para anggotanya,
karena keluarga dibangun oleh suami istri atas dasar ikatan lahir bathin diantara keduanya. Selain itu
juga menurut Pasal 33 No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara suami-istri mempunyai kewajiban
untuk saling cinta mencinta, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang
satu kepada yang lain. Bahkan suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat serta berhak untuk melakukan
perbuatan hukum (Pasal 31 No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Selain kasusu-kasus besar diatas, terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti
dilingkungan keluarga, dilingkungan sekolah atau pun dilingkungan masyarakat.
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:
Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah, memilih
pekerjaan, dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).
1. Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.
2. Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang tuanya sendiri.
2
Lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk keadilan (LBH, APIK) th, 1999, h 13.
2
3. Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya sewenang-wenang dirumah.
Permasalahan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap wanita bukan hanya merupakan isu
nasional akan tetapi merupakan isu internasional. Untuk melindungi wanita dari kekerasan dan dalam
untuk kesetaraan gender, Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar tahun 1945 bab XA mengatur
mengenai hak asasi manusia, selanjutnya Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 165,
Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 mengatur tentang hak perempuan. Selain itu Indonesia juga telah
meratifikasi Convention on the Elimination of all from Discrimination Against Women (CEDAW) dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, dengan merativikasi
konvensi ini maka Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya.
Guna melindungi kepentingan anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan, maka
pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
sehingga segala bentuk kekerasan baik terhadap anak maupun perempuan telah diatur tersendiri yang
dijadikan pedoman para penegak hukum dalam menangani perkara yang berhubungan dengan
kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang tersebut penanganan perkara didasarkan pada
ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam KUH Pidana yang tidak secara jelas mengakomodir
kepentingan dan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak.
Alasan pemerintah menerbitkan kedua Undang-Undang tersebut diatas karena Indonesia sebagai
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah terurut menandatangani konvensi Hak Anak PBB
tahun 1948, prinsip-prinsip dasarnya tidak ada diskriminasi, melindungi kepentingan yang terbaik bagi
anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, penghargaan terhadap hak anak, dan
meratifikasi Convention on the Elimination of all from Discrimination Against Women (CEDAW)
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, makna penghapusan adalah
meniadakan setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin
yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi untuk meniadakan pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak asasi manusia sebagai perempuan.3
Kekerasan terhadap anak dalam arti Child abuse and neglect adalah bentuk perlakuan
menyakitkan secara fisik maupun emosional, penyalahgunaan seksual, eksploitasi komersial atau
eksploitasi lain yang mengakibatkan cedera, kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan
anak, kelangsungan hidup anak.
Kekerasan terhadap anak dan perempuan telah terjadi sepanjang sejarah peradaban dunia dan
dianggap wajar karena dilegitimasi oleh budaya, tradisi, adat istiadat dan bahkan tafsiran ajaran agama
dan berakibat melanggengkan konsep patriarhi. Sehingga timbul instrumen HAM international pertama
yang membahas persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah “Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan”.
Resolusi perserikatan bangsa-bangsa nomor 48/104 tanggal 20 Desember 1993 kekerasan
berdasarkan gender didefinisikan :
“Setiap perbuatan kekerasan berdasarkan gender yang mengakibatkan atau besar kemungkinannya
akan mengakibatkan kesengsaraan atau besar kemungkinannya akan mengakibatkan kesengsaraan
3
Bulletin Media Perempuan, 2005, h 1
3
atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi.”
Sedangkan dalam Pasal 2 disebutkan kekerasan terhadap perempuan terdapat 3 (tiga) bentuk
yaitu kekerasan secara fisik, seksual maupun psikologis yang terjadi dalam rumah tangga termasuk di
dalamnya penganiayaan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, perkosaan dalam
perkawinan, kekerasaan yang terjadi di luar perkawinan dan kekerasan yang menyangkut eksploitasi
perempuan.
Kekerasan baik terhadap anak maupun perempuan akan menimbulkan akibat yang
berkepanjangan baik secara fisik maupun psikologis, sehingga diperlukan penyembuhan baik medis
maupun psikologis dan penyembuhan berupa pemulihan fisik dan psikis ini harus dilakukan secara
terpadu sebuah pelayanan terpadu.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah perbuatan terhadap seorang perempuan dan
pihak-pihak yang tersubordinasi lainnya, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, ekonomi dan atau psikologis termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang bahkan sampai mengakibatkan kematian,
dalam lingkup rumah tangga, dari pengertian ini dapat dikemukakan bentuk kekerasan adalah sebagai
berikut :
1) Kekerasan fisik, yaitu setiap perilaku yang mengakibatkan rasa sakit atau luka fisik yaitu rasa sakit
atau luka fisik, cacat pada tubuh seseorang dan matinya korban.
2) Kekerasan psikologis, yaitu setiap perilaku yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya dan penderita psikis hingga
kemampuan jiwa pada seseorang.
3) Kekerasan seksual, yaitu setiap perubahan yang mencakup pelecehan seksual, memaksa korban
untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuannya atau di saar korban tidak menghendaki.
4) Memaksa korban melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak
disukai korban dan memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain.
5) Kekerasan ekonomi, yaitu setiap tindakan yang mengakibatkan ketergantungan korban pada pelaku
secara ekonomi dengan membatasi atau melarang korban untuk bekerja di dalam atau di luar
rumah dan menelantarkan anggota keluarga.4
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan
penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaharuan hukum yang berpihak pada
kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaharuan hukum
tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat, oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara
umum di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (KUHP).
4
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, pedoman KKG dan tata laksana penanganan korban kekerasan
terhadap perempuan dan anak, Jakarta, th. 200 3 h12
4
Di dalam KUHP kasus-kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dapat
dijaring dengan pasal-pasal kejahatan, namun terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau
perempuan) seperti penganiayaan dan pembunuhan, tanpa menyebut secara khusus menyebut
korbannya adalah perempuan. Ketentuan pidana yang secara khusus menyebut perempuan sebagai
korban hanyalah berkenaan dengan perkosaan, pengguguran kandungan tanpa seijin perempuan yang
bersangkutan (Pasal 347 KUHP), perdagangan perempuan (Pasal 297 KUHP) dan melarikan
perempuan (Pasal 332 KUHP). Perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai kekerasan domestik
secara khusus juga belum diatur dalam KUHP, sehingga kejahatan tersebut juga belum banyak
terungkap. Meskipun perbuatan ini terjadi dibanyak tempat, kejahatan ini masih tersembunyi dalam
kehidupan masyarakat dan terlindungi dari intervensi dunia luar.
Ditinjau dari kebijakan sanksi pidananya pada pasal-pasal tersebut kurang memberi perlindungan
hukum pada perempuan, baik dari segi berat ringannya pidana yang diancamkan maupun dari segi
perumusan jenis pidananya. Selain itu, ada sejumlah tindak kekerasan fisik lainnya ternyata tidak diberi
sanksi pidana, dan akibatnya walaupun terjadi viktimasi terhadap perempuan, tidak dilakukan tindakan
hukum apapun terhadap pelakunya, misalnya incest, marital Rape dan sexual harassement.
Tindak kekerasan terhadap perempuan sudah diangkat sebagai isu global, karena kejahatan
tersebut merupakan ancaman terhadap perempuan sehubungan dengan itu beberapa instrumen
hukum international telah ditetapkan antara lain.5
1) Convention on the Elimination of all forms of discriminations Against women-1979.
2) Declararation on the elimination of violence against women-1993.
3) Beijing Declaration and platform for action-1995.
Indonesia sebagai anggota masyarakat PBB telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, namun pada
kenyataannya tindak kekerasan terhadap perempuan kurang mendapat perhatian dari pemerintah
maupun masyarakat disebabkan adanya konsep sosial yang lahir dari struktur dan kultur masyarakat
itu sendiri yang memberi ruang serta peluang terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan.
Dengan diterbitkannya undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
pada tanggal 22 September 2004 yakni Undang-undang No. 23 tahun 2004, telah terakomodir tindak
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam area
domestik, selain itu ada peran serta pemerintah, masyarakat, aparat penegak hukum yang tidak boleh
lagi melihat kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga sebagai masalah pribadi rumah tangga.
Undang-Undang kekerasan dalam rumah tangga ini erat hubungannya dengan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain Undang-Undang
No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta perubahannya, Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No.7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menegaskan kualifikasi bentuk kekerasan dalam rumah
tangga/KDRT terhadap seseorang terutama terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan merupakan kejahatan martabat kemanusiaan, dengan adanya instrumen hukum ini
5
The Justice, For the Poor World bank, Menciptakan Peluang Keadilan, th. 2005, h. 230
5
merupakan jaminan dari negara untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga,
menindak tegas si pelaku, serta memberi perlindungan kepada korban.
Kekerasan baik terhadap anak maupun perempuan akan menimbulkan akibat yang
berkepanjangan baik secara fisik maupun psikologis, sehingga diperlukan penyembuhan baik medis
maupun psikologi dan penyembuhan berupa pemulihan fisik dan psikis ini harus dilakukan secara
terpadu dalam sebuah pelayanan terpadu.
Ruang lingkup kekerasan terhadap anak perempuan sangat luas, namun sebagian besar pikiran
masyarakat kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah identik dengan penganiayaan,
pembunuhan, perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Realitas dalam masyarakat menunjukkan
bahwa penanganan masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai korban kekerasan
serta pemulihannya masih belum memadai.
KEDUDUKAN ANAK DAN PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN KEKERASAN
1. Pengertian Korban.
Dalam kepustakaan Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta (1983)
pengertian korban adalah :
1. pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan hati dsb) ;
2. orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb) sendiri atau orang lain
misalnya banyak orang yang menjadi korban roulette ;
3. orang yang mati;
4. orang yang mati karena mrenderita kecelakaan, karena
tertimpa bencana alam serta banjir,
gempa bumi dan sebagainya.
Dalam suatu tindak pidana selain adanya perbuatan ( kejahatan atau pelanggaran ) yang terjadi di
satu sisi sedangkan sisi yang lain adanya pelaku dan korban.
Korban dalam arti viktimologi menururt Iswanto merupakan akibat perbuatan disengaja maupun
kelalaian, kemauan sukarela atau dipaksa atau ditipu, bencana alam atau sengaja benar-benar bersifat
penderitaan jiwa, raga, harta dan moril serta sifat ketidakadilan.6
Menurut J.E.Sahetapi yang disunting oleh Sismanto mengemukakan batasan korban adalah “ a
victim could be an actual person, a legal person, who has suffered harm, damage, injury or any kind or
form of loss, either physically or mentally not only form a legal view point, but also form sociological,
economical, political or cultural perspective “ ( korban adalah seseorang yang menderita kerusakan,
kesakitan, atau bentuk-bentuk kerugian yang lain fisik maupun mental, hal ini tidak hanya dilihat dari
sudut pandang hukum tetapi juga sudut pandang ekonomi, sosiologi, politik dan budaya ) 7
Pada masa sekarang istilah korban dipergunakan dalam konteks yang sangat luas, kita mengenal
adanya “ victimless crime “ yaitu korban sebagai akibat dari tindakannya sendiri contohnya
homosexuality, lesbianisme, prostitution and drug users. Dalam hal ini pelaku dan korbannya ada
dalam diri satu orang.
6
Iswanto, 1995, Restitusi Sebagai Syarat Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Lalu Lintas
Jalan, Disertasi, UGM, h. 212.
7
Sismanto, 2004, Memoar Perempuan dalam Penghapusan KDRT, hal.4.
6
Dalam ketentuan Pasal 1 Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang dimaksud dengan korban adalah orang – orang yang mengalami
dan / atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Ketentuan dalam Pasal 2 Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga menyatakan:
1. Lingkup rumah tangga dalam Undang Undang ini meliputi :
a. suami, isteri, dan anak ;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada
huruf a karena hubugan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga ; dan / atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) butir a yang dimaksud anak dalam ketentuan ini adalah
termasuk anak angkat dan anak tiri.
Dari pengertian tersebut kebanyakan yang mempunyai resiko menjadi korban dalam kekerasan
dalam rumah tangga adalah anak-anak dan perempuan.
Korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan atau anak-anak
harus mendapat perlindungan dari negara dan / atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
2. Pengertian Anak dan Perempuan.
a. Pengertian Anak.
Dalam berbagai literatur maupun pendapat para sarjana memang ada menyebutkan istilah anak
dimaksudkan untuk membatasi umur minimal dan maksimal seseorang dikategorikan sebagai anakanak, akan tetapi tidak ada keseragaman pengertian tentang anak-anak. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan sudut pandang tergantung dari disiplin ilmu yang mereka tekuni.
Pengertian anak secara umum dikemukakan oleh Shanty Delliyana yang mengatakan : “ Yang
dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena
pengaturan tertentu ( mental, fisik, belum dewasa ) “8
Adapun pengertian anak lainnya menururt Bismar Siregar yang disunting oleh Mulyana W
Kusumah mengemukakan tentang batas umur seseorang dapat dikategorikan sebagai anak yaitu :
“Batas si anak masih tergolong anak terdapat perbedaan penentuan. Menurut agama Islam batasan itu
tidak berdasarkan hitungan usia tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badaniyah baik pria maupun
wanita. Sedangkan dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis ditetapkan batas umur
sekian sebutlah 16 (enam belas) tahun atau 18 (delapan belas) tahun ataupun usia tertentu menurut
perhitungan pada usia itulah seseorang bukan lagi tergolong anak akan tetapi sudah dewasa.”9
Dalam tesis yang akan ditulis nanti, penulis akan memberikan definisi anak menurut lima perspektif :
1. Pengertian anak menurut perspektif Hukum Adat.
8
9
Shanty Delliyana, 1998, Psikologi Anak, h. 50.
Mulyana W Kususmah, 1986, Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak, h. 3.
7
2.
3.
4.
5.
b.
Pengertian anak menurut hukum Adat adalah seseorang yang belum mencapai umur lima belas
tahun sebagaimana hal ini didasarkan pada Yurisprodensi Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni
1955 nomer 53/SIP/1955.
Pengertian anak menurut perspektif hukum Perdata.
Pengertian anak menururt hukum perdata adalah orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh
satu) tahun atau bercerai sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 330 KUHPerdata.
Pengertian anak menurut perspektif hukum Pidana.
Pengertian anak menurut hukum pidana adalah orang yang belummencapai usia 15 (lima belas)
tahun, sebagaimana tertulis pada Pasal 287 ayat 1 tentang kejahatan kesusilaan.
Pengertian anak menurut Undang Undang Nomer 1 tahun 1974. Pengertian anak dalam
peraturan perundang-undangan ini adalah orang yang mampu secara phisik maupun psikis
untuk melakukan perkawinan. Usia kawin pada pasal 6 ayat 1 disebutkan 21 tahun dan
dijelaskan pada Pasal 7 ayat 1 usia kawin adalah 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki, dan
16 (enam belas) tahun bagi perempuan.
Pengertian anak menurut perspektif Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Pengertian anak menurut peraturan perundang undangan ini adalah orang yang belum
mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.
Pengertian perempuan.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) W.J.S Purwadarminta perempuan dapat
diartikan sebagai lawan dari laki-laki dan dapat dijelaskan dengan tiga makna :
1. perempuan adalah (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan
dan menyusui.
2. perempuan diartikan sebagai isteri, bini.
3. perempuan dimaknai sebagai betina, dengan keterangan tambahan khusus untuk hewan.
Kata perempuan berasal dari kata dasar empu, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
kata empu mendapat tanda (kl) yang berarti klasik maksudnya menandai penggunaannya
dalam kesusasteraan Melayu klasik kata empu berarti gelar kehormatan yang berarti “ tuan “
ataupun orang yang sangat ahli.
Bahwa kata perempuan sebenarnya lebih halus dibandingkan dengan kata wanita, akan tetapi
dalam masyarakat kita kata wanita justru dianggap lebih tinggi derajat maknanya dibandingkan
kata perempuan.
3. Kejahatan Kekerasan.
Secara global dikaji dari perspektif doktrina maka ketentuan Hukum Pidana dapat
diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum ( ius commune ) dan Hukum Pidana Khusus ( ius
singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht ).
Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub
dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan hukum
pidana khusus diartikan sebagaimana ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai
kekhususan subyeknya dan perbuatan yang khusus dengan demikian diatur tersendiri di luar
ketentuan KUHP.
8
Pada dasarnya kekerasan merupakan salah satu sifat alamiah yang ada dalam diri setiap
manusia tak ubahnya dengan sifat-sifat manusia yang lain seperti kelembutan, pemarah,
keramahan, sabar dan sebagainya. Bentuk atau perwujudan dari kekerasan secara kualitas sangat
tergantung pada kondisi yang melingkupi masing-masing individu.
Kekerasan ( violence ) sarat memuat berbagai makna, karena interprestasinya bergantung
bagaimana masyarakat memandang.
Guna dapat dikatakan adanya kejahatan kekerasan, maka titik berat penilaiannya berpangkal
pada antara lain :
a. Alat yang digunakan dalam melakukan tindakan kekerasan misalnya pisau, golok, tombak
dan alat tajam lainnya termasuk senjata api dan bahan peledak.
b. Cara melakukan tindakan kekerasan yang tidk manusiawi atau kejam seperti dibacok,
disilet dan sebagainya sehingga menggambarkan penderitaan yang sangat menyakitkan.
c. Akibat tindakan kekerasan tersebut mengakibatkan luka, sakit bahkan kematian.
a. Kejahatan kekerasan dalam KUHP.
Di dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) kasus-kasus yang
tergolong kejahatan kekerasan memang sudah diatur, akan tetapi kekerasan yang dimaksud di
sini adalah bersifat tindak pidana umum yang hanya ditujukan terhadap kekerasan fisik
semata-mata, tanpa menyebutkan secara khusus korbannya maupun perbuatannya dan
lingkungan kejadian yang termasuk ke dalam kekerasan domestik.
Dalam ketentuan Pasal 89 KUHP dikatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak
berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Demikian pula dalam ketentuan Pasal 90 KUHP diatur pengertian luka berat berarti :
- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
- Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian ;
- Kehilangan salah satu panca indera ;
- Mendapat cacat berat (verminking) ;
- Menderita sakit lumpuh ;
- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih ;
- Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan ;
Kejahatan terhadap nyawa seseorang dalam KUHP sendiri diatur secara umum mulai Pasal
338 KUHP sampai dengan Pasal 350 KUHP, antara lain :
- Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP dikatakan barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
- Dalam ketentuan Pasal 339 KUHP dikatakan pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului
suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya
dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang
diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun ;
- Dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dikatakan barangsiapa dengan sengaja dan dengan
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
9
rencana (moord) dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun ;
Demikian pula dengan tindak pidana berupa penganiayaan yang diatur dalam ketentuan
Pasal 351 KUHP sampai dengan Pasal 358 KUHP hanya menyebutkan secara umum tindak
pidana tersebut, antara lain :
Pasal 351 KUHP menyatakan :
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah ;
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun;
3. Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun ;
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan ;
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana ;
Pasal 353 KUHP menyatakan :
1. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun ;
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun ;
3. Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Pasal 354 KUHP menyatakan :
1. Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun ;
2. Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
Dari pasal-pasal tersebut di atas tersirat bahwa terhadap kejahatan-kejahatan kekerasan,
KUHP telah mengaturnya akan tetapi hanya bersifat umum dalam arti tidak membedakan baik
korban, pelaku maupun lingkungan kejadian (hubungan antara pelaku kejahatan dengan
korbannya).
b. Kejahatan kekerasan dalam undang – undang PKDRT.
Tindak kekerasan di Indonesia memang sering sekali terjadi baik perampokan,
pembunuhan, penganiayaan dan masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
maupun yang dikenal dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga.
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Khofifah Indar Parawangsa
mengatakan bahwa tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi yakni
sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 persen dari total penduduk Indonesia pernah mengalami
tindak kekerasan baik tindak kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik lainnya
misalnya penganiayaan, perkosaan dan pelecehan.10
10
www.mw.nl / ranesal / html.
10
Tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan maupun anak-anak terutama kekerasan
dalam rumah tangga seringkali merupakan tindakan yang terjadinya tidak begitu saja secara
kebetulan. Ada berbagai macam faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan tersebut antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Karena faktor budaya . Secara umum dalam masyarakat terdapat hegemoni patriarkhi di
mana pusat kekuasaan ada pada laki-laki. Dalam hal ini laki-laki ingin menunjukkan
kekuasaannya dengan cara apapun termasuk tindak kekerasan terhadap perempuan
maupun anak-anak. Disamping itu dalam masyarakat terdapat hubungan yang secara
natural asimetri antara anak dan orang dewasa, di mana orang dewasa dalam posisi yang
kuat dalam konidisi yang demikian ini seringkali memberi peluang terjadinya tindak
kekerasan.
2. Karena secara umum kondisi sosial ekonomi perempuan seringkali dianggap lemah dan
tidak berdaya. Bagi seorang perempuan / isteri yang tidak bekerja dan menggantungkan
ekonomi keluarga pada suaminya maka tindak kekerasan yang dialami merupakan suatu
tindakan yang harus “dipeti-eskan” agar ia dapat melangsungkan kehidupan keluarganya.
3. Karena perempuan dan anak-anak dinilai lebih mudah untuk ditakut-takuti atau diancam.
Dalam kasus perkosaan biasanya korban mengalami trauma dan menjadikan mereka sangat
tertutup sehingga peristiwa yang telah dialami tidak banyak diketahui oleh orang lain. Dalam
kasus-kasus perkosaan yang pelakunya adalah orang-orang dekat korban (ayah kandung
/ayah tiri / kakak laki-laki) seringkali kasusnya terpendam hingga bertahun-tahun lamanya.
4. Karena tidakan kekerasan kepada anak-anak lebih tidak beresiko dan tidak mudah untuk
dibongkar. Dalam kasus-kasus penganiayaan atau perkosaan kepada anak-anak seringkali
korban tidak memahami peristiwa yang telah menimpa dirinya, dan mereka baru akan
memahami dan merasakan setelah mereka dewasa.
5. Karena pemahaman kelauarga dan masyarakat tentang tanggung jawabnya dalam
pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dan anak masih sangat lemah. Dalam
hal ini keluarga dan masyarakat belum paham bahwa perempuan dan anak juga merupakan
mahluk yang memiliki hak asasi manusia sebagaimana manusia lainnya, tidak adanya
pemenuhan hak asasi bagi mereka berarti pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan yang
seharusnya dijunjung tinggi.
6. Karena lemahnya penegakan hukum bagi tindak kekerasan.
Tindak pidana yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga (domestik) merupakan perbuatan
pidana yang memiliki karakter khusus, oleh karena itu walaupun merupakan bentuk perbuatan
yang terdapat dalam tindak pidana umum akan tetapi apabila ditinjau dari pelaku tindak pidana
maupun korban serta saksi dalam peristiwa pidana tersebut memiliki hubungan karena
perkawinan maupun pertalian karena berada dalam satu lingkup rumah tangga.
Pasal 1 Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa dasar
perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang wanita dan seorang laki-laki sebagai
suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga( rumah tangga ) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu juga azas perkawinan menurut Pasal 33 Undang Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan antara suami isteri mempunyai kewajiban untuk saling cinta mencinta,
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain.
11
Dalam Pasal 31 Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan antara suami dan
isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan
pergaulan hidup di dalam masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai adalah
dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa dijamin oleh Pasal 29 Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Dengan demikian setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri
tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga
timbul ketidakamanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah
tangga tersebut.
Akibat tradisi bias gender yang menempatkan peran dan fungsi antara laki-laki dan
perempuan secara berbeda ditambah kuatnya nilai-nilai patriarkhi yang dianut luas dengan
mengunggulkan laki-laki dibandingkan perempuan di segala bidang, menimbulkan adanya suatu
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Ketimpangan ini praktis menjadi sumber lahirnya kasus kekerasan terhadap perempuan
dalam semua jenis hubungan sosial, termasuk dalam rumah tangga.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomer 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksud dengan kekerasan dalam
rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan / atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menegaskan kualifikasi bentuk kekerasan dalam rumah tangga / KDRT terhadap seorang
perempuan , merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan. Dengan adanya instrument hukum ini merupakan jaminan dari negara untuk
mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, menindak tegas pelakunya serta
memberikan perlindungan kepada korban. Di dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya, dengan cara :
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikis
3. Kekerasan seksual, atau
4. Penelantaran rumah tangga.
Dari pengertian Pasal 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut dapat dikemukakan bentuk kekerasan adalah
sebagai berikut (PSW-UGM, 2004 : 2)
1) Kekerasan fisik, yaitu setiap perilaku yang mengakibatkan :
a) Rasa sakit atau luka fisik
12
b) Cacat pada tubuh seseorang
c) Matinya korban
2) Kekerasan psikologi, yaitu setiap perilaku yang mengakibatkan :
a) Ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak
berdaya
b) Penderitaan psikis hingga gangguan jiwa pada seseorang
3) Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup :
a)
Pelecehan seksual
b)
Memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuannya atau di
saat korban tidak menghendaki
c)
Memaksa korban melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar
atau tidak disukai korban
d)Memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual
dengan orang lain.
4) Kekerasan ekonomi, yaitu setiap tindakan yang mengakibatkan :
a) Ketergantungan korban kepada pelaku secara ekonomi dengan membatasi atau
melarang korban untuk bekerja di dalam atau di luar rumah
b) Menelantarkan anggota keluarga
Ketentuan pidana terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal
44 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yaitu :
a. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima
belas juta rupiah)
b. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah)
c. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau
denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah)
d. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan-pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur yaitu :
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkungan rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah).
13
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencahariaan atau kegiatan sehari-hari dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta
rupiah).
Dalam ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikatakan :
Penghapusan
“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp. 36.000.000,- (tigapuluh enam juta rupiah)”.
Menurut ketentuan Pasal 47 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga :
“setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling
sedikit Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)”
Menurut ketentuan Pasal 48 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikatakan :
“bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu
terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp.
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikatakan dapat dipidana :
“dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak
(lima belas juta rupiah) setiap orang yang” :
Rp.
15.000.000,-
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA DI KABUPATEN PROBOLINGGO
I. Anak dan Perempuan sebagai korban kekerasan di Kab. Probolinggo
14
Anak dan Perempuan merupakan bagian yang sangat penting dalam konteks keberlanjutan
suatu bangsa, bukan saja hanya dipandang dalam kaidah agama tetapi dalam implementasinya
merupakan sumber daya manusia penerus generasi.
Kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak merupakan suatu fenomena yang sering
terjadi dimanapun baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan.
Kekerasan pada perempuan tidak hanya bermakna kasar namun sudah masuk kepada sendi
filosofis yakni kekerasan yang nyata ada perbuatan baik fisik, psikologis dan lainnya sampai pada
kekerasan dalam bentuk pembodohan. Kondisi faktual memang harus diakui bahwa sampai
dengan saat ini kekerasan baik dalam bentuk tindakan terhadap perempuan maupun kelompok
yang tersubordinasi serta mengakibatkan kerugian kompleks terus berlangsung di dunia demikian
pula di Indonesia khususnya mulai penderitaan fisik, seksual, ekonomi dan psikologis sampai
pembedaan sosial kelompok maskulin dan feminim.
Masalah kekerasan terhadap perempuan semakin mengemuka dengan semakin menguatnya
upaya yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender, kekerasan terhadap perempuan
seringkali disebut sebagai kekerasan berbasis gender karena hal ini berawal dari subordinasi
perempuan di masyarakat dan superior laki-laki.
Situasi dan kondisi perempuan dengan laki-laki yang berlatar belakang tersebut membentuk
sikap dan perilaku di mana laki-laki harus didahulukan, diprioritaskan serta diistimewakan
terbentuklah budaya patriarkhi dan laki-laki tidak pernah merasa bermasalah.
Relasi-relasi gender yang sudah berlangsung lama di masyarakat tanpa disadari telah
menempatkan posisi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan ini praktis
menjadi sumber lahirnya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam semua jenis hubungan
sosial termasuk dalam rumah tangga.
Peningkatan di bidang teknologi serta perubahan kondisi sosial dan ekonomi saat ini telah
membangkitkan kesadaran terhadap kesamaan antara laki-laki dan perempuan.
Selama ini dalam KUHP khususnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perempuan,
kaum perempuan hanya dilihat secara parsial yakni hanya melindungi bagian-bagian tertentu dari
tubuhnya. Bahkan dalam beberapa pasal berangkat dari asumsi bahwa perempuan itu lemah dan
berada dalam satu tarikan nafas dengan anak-anak dan laki-laki. Suami adalah pelindung dan
perempuan harus selalu patuh kepada keinginan suaminya.
Dengan perkembangan dewasa ini yang menunjukkan meningkatnya tindak kekerasan secara
fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga dan dirasakan undang-undang yang ada seperti KUHP
maupun undang-undang lainnya belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum
masyarakat, maka sangat diperlukan pengaturan tersendiri tentang tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga yang mempunyai kekhasan, walaupun secara umum telah diatur di dalam KUHP
tentang penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan
kehidupan.
Akhirnya bangsa Indonesia telah memiliki Undang Undang tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang telah disahkan pada tanggal 22 September 2004 yakni Undang
Undang No. 23 tahun 2004.
Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah berlaku
sebelumnya yakni UU No 1 tahun 1946 tentang kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
15
Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang Undang No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All of Dicrimination Against Women ) pada tanggal 24 Juli 1984,
dan Undang Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hadirnya Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga di tengah-tengah masyarakat Indonesia patut kita syukuri bersama, mengingat selama ini
sangat ditunggu lahirnya landasan hukum bagi upaya-upaya pencegahan dan penindakan tindak
kekerasan dalam Rumah Tangga yang sebagian korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Undang Undang ini selain mengatur mengenai pencegahan dan perlindungan serta upaya
pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda
dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Perbedaan lainnya dengan pengaturan dalam KUHP adalah adanya pengaturan mengenai
kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
atau pembimbing rohani untuk melindumgi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif
terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah tangga.
Mempelajari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut telah diakomodir hak-hak perempuan /
korban untuk mendapat perlindungan terhitung sejak tahap laporan, proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan serta proses pengajuan dalam peradilan pidana. Akan tetapi bilamana
pelaku tindak kekerasan tersebut adalah suami korban maka proses pengajuan ke peradilan
pidana berdasarkan pada pengaduan korban dan ancaman pidana terhadap pelaku masih tetap
ancaman maksimal, kecuali tindak kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga.
Lahirnya Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga seolah menyadarkan para korban untuk mulai “ berani “ . Hal ini ditunjukkan dengan
meningkatnya jumlah angka kekerasan dalam rumah tangga yang terungkap dalam kehidupan
sehari-hari.
Hal ini diakui oleh Briptu RETNO, seorang penyidik pada RPK Polres Probolinggo yang
menyatakan :
“ Sejak mulai diberlakukannya Undang Undang No. 23 tahun 2004
laporan atas terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga di Polres Kabupaten Probolinggo mengalami peningkatan dari
segi kuantitas
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya “11
Melaporkan kejahatan tersebut memang perlu keberanian dari korban sendiri untuk
memberitahukan penderitaan yang dialaminya kepada women crisis centre, keluarga, teman,
tetangga, organisasi untuk selanjutnya memberi kesadaran kepada korban akan hak-hak
pribadinya jangan lagi beranggapan bahwa Hal ini diakui oleh Briptu Retno, seorang penyidik pada
tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan masalah intern rumah tangga /
keluarga tersebut.
11
Wawancara tertanggal 13 Septem,ber 2007.
16
Selama ini nilai-nilai kultur dan struktur masyarakat yang memberi peluang dan ruang untuk
terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, perlu disadarkan tentang adanya peran
kesetaraan dalam rumah tangga dengan mensosialisikan kesadaran tersebut sampai tingkat
masyarakat paling bawah.
Kekerasan fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran atas kewajiban pelaku terhadap korban
yang pelakunya adalah suami korban, yang semuanya terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Walaupun korban telah mengalami penderitaan sebagai akibat tindak kekerasan tersebut akan
tetapi perlawanan korban terhadap pelaku seringkali hanya melalui proses peradilan perdata yaitu
menuntut perceraian.
Fakta-fakta kekerasan yang berbasis gender sering dialami perempuan dan anak-anak baik di
ranah domestik maupun publik.
Korban kekerasan dalam rumah tangga yang umumnya adalah perempuan (istri) dan anakanak kurang dapat melakukan tindakan pembelaan atau perlindungan apalagi harus melakukan
tuntutan hukum atas pelaku yang umumnya adalah suami / ayah mereka. Ketergantungan ekonomi
karena istri ditempatkan sebagai ibu rumah tangga dan berada di wilayah domestik takut
dipersalahkan, takut menginginkan suaminya menjalani hukuman penjara, dan lain-lain merupakan
alasan-alasan yang sering disebut oleh perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk
pasrah akan kekerasan yang mereka alami.
Biasanya bagi sebagian korban yang memiliki keberanian untuk berbicara tentang kekerasan
dalam rumah tangga yang mereka alami, mereka mengadu kepada orang tua mereka, kepada
tetangga, kepada RT, kepada ulama (ustadz atau pendeta atau pastor). Tujuan mereka pada
umumnya adalah agar suami atau pelaku menghentikan kebiasaannya untuk melakukan
kekerasan terhadap mereka. Apabila solusi atau jalan keluar seperti yang mereka harapkan tidak
berhasil, maka sebagian dari korban kekerasan dalam rumah tangga memilih jalan perceraian
sebagai solusi terakhir untuk mengakhiri kekerasan yang mereka alami.
Berdasarkan pengalaman penulis menangani persidangan perkara terhadap anak-anak dan
perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender ternyata sistem hukum yang ada
belum memberikan perlindungan hukum bagi korban dan individu lain terutama perempuan,
dengan kata lain sistem hukum yang ada belum berspektif perempuan. Banyaknya kasus
kekerasan yang berbasis gender yang gagal diproses sampai ke pengadilan karena kesulitan
pembuktian, putusan yang belum memenuhi rasa keadilan ataupun kebanyakan korban kekerasan
dalam rumah tangga lebih memilih mendiamkan kekerasan yang dialaminya karena takut ancaman
fisik, psikis maupun ketakutan akan kehilangan sumber penghasilan pelaku. 31
Dalam proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai
dengan pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran korban sebagai saksi sangatlah
diharapkan bahkan menjadi factor utama keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana
dimaksud. Pengungkapan suatu kasus atau kejahatan oleh para korban sebagai pelapor tidak
selamanya dapat berjalan mulus bahkan kadang-kadang dalam prkatek di lapangan mereka
terkadang harus “membayar resiko” terhadap apa yang telah mereka laporkan itu.
Bagaimana seorang korban berani melaporkan atas perbuatan yang telah menimpa dirinya
atau dialaminya, serta memberikan informasi yang akurat kalau mereka telah dihinggapi rasa takut
yang sangat (fear of crime), trauma akan kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan yang
dilakukan pelaku kejahatan terhadap dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh seorang responden
yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandungnya :
17
“ Bahwa saya sangat ketakutan dan terbayang bagaimana perbuatan yang telah dilakukan oleh
pelaku terhadap diri
saya setiap kali saya harus memberikan keterangan kepada penyidik dalam pemeriksaan
laporan “ 12
Sehingga dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak
pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan
keamanan kepada setiap orang yang telah mengalami suatu tindak pidana yang telah menimpa
dirinya utuk melaporkan hal tersebut kepada aparat penegak hukum.
Pelapor yang demikian ini harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai
atas laporannya tersebut sehingga ia tidak merasa takut dan khawatir terancam atau terintimidasi
baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut
diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan korban kejahatan tidak merasa takut untuk
melaporkan suatu kejahatan yang telah dialaminya.
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan /
atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu peristiwa tindak
pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana. Akan tetapi tidak jarang aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam
mengungkap kasus tersebut akibat korban tidak berani memberikan kesaksian dengan sebenarnya
disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis, terutama dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga.
Untuk membuktikan pelaku kekerasan dalam rumah tangga bersalah dalam ketentuan Pasal
55 Undang Undang No. 23 tahun 2004 ditetapkan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah
keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah,
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Di dalam penjelasan Pasal 55 Undang
Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut
dikatakan pula bahwa alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain
dari suami isteri adalah pengakuan terdakwa.
Di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga sudah diatur pula mengenai perlindungan hukum yang cukup bagi korban, diantaranya
dalam ketentuan - ketentuan :
- Pasal 16 Undang Undang No.23 tahun 2004 menyatakan :
1. Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitungsejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib memberikan
perlindungan sementara pada korban.
2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari
sejak korban diterima atau ditangani.
3. Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat jam) terhitung sejak pemberian perlindungan
sebagaiamana ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan.
- Pasal 17 Undang Undang No.23 tahun 2004 menyatakan :
12
Wawancara tertanggal 13 September 2007.
18
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan / atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban.
- Pasal 19 Undang Undang No. 23 tahun 2004 menyatakan :
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima
laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini belum sempurna dan belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Di dalam
pelaksanaannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum serta
pemerintah dan pemerintah daerah mengingat Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur tentang kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan oleh masing-masing para pihak tersebut.
Selain itu Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga membutuhkan peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang
penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama antar pihak yang melakukan pemulihan.
Untuk memenuhi hal tersebut, maka pada tanggal 13 Pebruari 2006 pemerintah Republik
Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Di dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksud dengan :
1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah
tangga agar lebih berdaya baik secara fisik maupun psikis.
2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan
pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi dan
bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
4. Kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dalam
memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.
5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan / atau pembimbing rohani.
Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban
yang meliputi:
a. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian ;
b. tenaga yang ahli dan profesional ;
c. pusat pelayanan dan rumah aman ;
d. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
Di dalam produk hukum yang telah ada ternyata tidak terdapat akses bagi korban kekerasan
dalam menyikapi akibat atau dampak negatif dari kekerasan yang menimpa korban. Biasanya
19
korban kekerasan sebelum maupun setelah proses peradilan selesai tidak mendapat perhatian
atau pemikiran atas trauma-trauma yang diderita.
Korban sendiri tidak tahu harus bagaimana menyikapi masalah yang dihadapi, karena masalah
yang dihadapi oleh korban tidak selesai begitu saja dengan jatuhnya hukuman bagi pelaku
kekerasan. Trauma atau akibat kekerasan tersebut kalau dibiarkan tanpa adanya penguatan
maupun pemulihan akan terus melekat pada diri korban sepanjang hidupnya.
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
telah mengatur perlindungan terhadap perempuan korban tindak kekerasan yang implementasinya
menuntut kesiapan pemerintah baik di pusat maupun daerah dalam menyediakan sarana dan
prasarana bagi korban antara lain ruang pelayanan khusus, aparat tenaga kesehatan, pekerja
sosial, pembimbing rohani, terutama peran aparat penegak hukum, Polisi, Jaksa Penuntut Umum,
Hakim, Advokat pada tiap tahap proses pengajuan peradilan pidana
Di dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Pasal 39 telah diakomodir kebutuhan korban berupa pemulihan yang dilayani baik oleh
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan, pendamping maupun pembimbing rohani.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan mempunyai tugas
:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
b. memeriksa laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum
yang sama sebagai alat bukti.
Demikian pula dengan tenaga pekerja sosial di dalam memberikan pelayanan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga, harus mengambil tindakan yang diperlukan antara lain :
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban ;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari
kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak
kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Dalam memberikan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, relawan
pendamping dapat:
a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa
orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan
dengan membimbing korban untuk secara obyektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam
rumah tangga yang telah dialaminya ;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban
sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping;
d. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
Dalam memberikan pelayanan pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai
hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
20
Tugas dan kewajiban seorang advokat dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi
seorang korban kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan
proses peradilan ;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya ;
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja
sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
2. Upaya pemerintah dalam menangani masalah perlindungan hukum.
Untuk mengurangi dampak kekerasan dan karena perlindungan terhadap korban kekerasan
belum maksimal serta masih terpisah-pisah, maka korban memerlukan pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhannya dengan mudah dan lebih cepat.
Pelayanan yang dibutuhkan tersebut untuk memulihkan korban dengan dilakukan pelayanan
terpadu dengan tujuan :
1. Kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan korban
2. Efektifitas dan efisiensi proses pelayanan korban
3. Keadilan dan kepastian hukum
Pelayanan dan pemulihan dimulai sejak korban mengalami kekerasan kemudian melaporkan
ke polisi dan selanjutnya dibawa ke rumah sakit untuk perawatan secara fisik, setelah masalah
ditangani perawatan dilanjutkan dengan pendampingan baik dalam proses penyelidikan maupun
dalam putusan selama proses hukum. Korban juga dapat ditempatkan dalam suatu rumah
perlindungan (shelter ) atau trauma center untuk rehabilitasi sosial dan mental (Surat Kesepakatan
Bersama, 2002).
Di dalam ketentuan Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga sudah diatur mengenai perlindungan hukum yang cukup bagi korban.
Namun menurut kepala bagian Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Probolinggo dalam
prakteknya masih belum maksimal dapat dilakukan sebagaimana dalam pernyataannya :
“ Undang Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini
belum sempurna dan belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Di dalam pelaksanaannya
Undan-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini
perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan aparat penegak hukum serta pemerintah dan
pemerintah daerah mengingat Undang Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur pula tentang kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan oleh masing-masing para pihak tersebut. Selain itu Undang Undang ini membutuhkasn
pula peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang penyelenggaraan upaya pemulihan dan
kerja sama antar para pihak yang melakukan pemulihan.”13
Sebagai wujud pelaksanaan atas amanat Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tersebut oleh
pemerintah daerah kabupaten Probolinggo dibentuklah Pusat Pelayanan Terpadu dan telah
13
Wawancara tertanggal 14 September 2007.
21
mempunyai struktur organisasi secara teratur dan beberapa program kerja secara terarah dan
sistematis yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Divisi Pelayanan.
Merupakan ujung tombak, yang bertugas melakukan pendampingan kasus mulai dari investigasi
sampai kepada pemulihan kondisi korban kekerasan dalam rumah tangga dengan ruang lingkup
tugasnya :
a). Konseling.
Konseling adalah cara yang digunakan oleh para konselor Pemda kabupaten Probolinggo
untuk melihat kasus dari korban, memberikan penguatan dan informasi kepada korban.
Konseling dapat diberikan berupa konseling hukum dan konseling psikologis dengan
melalui jalur tatap muka maupun lewat telepon.
b). Investigasi.
Investigasi dilakukan pada setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan
didahului menggali dan mencari fakta dan bukti materiil hukum suatu kasus. Investigasi ini
dilakukan terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan kasus tersebut yang meliputi
keluarga, lingkungan korban, aparat desa dan tokoh masyarakat dapat juga dilakukan
terhadap aparat hukum terkait seperti pihak kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Melalui
investigasi ini juga diperoleh beberapa keuntungan yang didapat selain bisa ditemukannya
terobosan-terobosan dalam penyelesaian kasus secara hukum juga merupakan suatu
strategi untuk mempererat hubungan jaringhan kerja dengan institusi formal maupun
informal seperti pendekatan ke komunitas yang dapat memberikan dukungan bagi korban
kekerasan terhadap perempuan.
c). Outreach.
Di sini dapat diartikan sebagai kegiatan jemput bola ke lokasi di mana korban tinggal dan
berada yang dimaknai sebagai kedatangan pertamakali ke lokasi dan bertemu langsung
dengan korban. Hal ini dilakukan karena masih rendahnya dan juga banyaknya kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang terhenti
di masyarakat.
d). Monitoring.
Merupakan rangkaian kegiatan setelah outreach dengan tujuan mengetahui perkembangan
kondisi korban dan keluarganya berhubungan dengan tekanan psikologi masyarakat
setelah kasus terjadi, juga bertujuan untuk menjaga serta mengantisipasi intervensi dan
intimidasi-intimidasi pelaku maupun pihak-pihak lain terhadap keputusan litigatif korban.
Kegiatan monitoring ini dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap korban dan
keluarganya ketika memutuskan suatu kasus untuk segera diproses secara litigasi.
e). Home visit.
Merupakan kegiatan yang dilakukan pasca kasus dengan tujuan melakukan penguatan
psikologis korban untuk bisa hidup kembali dalam lingkungannya juga untuk melakukan
evaluasi perkembangan psikologi korban setelah kasus.
f). Hearing Trauma anak korban kekerasan.
Adalah upaya pemulihan kondisi psikologis anak-anak yang menjadi korban kekerasan
(dalam rumah tangga) dalam upaya menjawab kebutuhan (perempuan) korban kekerasan
yang masih dalam usia anak-anak. Hal ini dilakukan mengingat terdapat beberapa
22
kesulitan dalam proses penyidikan dan persidangan ketika korban adalah anak-anak
karena sementara membutuhkan waktu dan perlakuan khusus dalam pemberdayaannya.
g). Shelter.
Pelayanan shelter yang ada dan tersedia di Pemda kabupaten Probolinggo merupakan
pelayanan yang diperuntukkan bagi perempuan maupun anak korban kekerasan (dalam
rumah tangga) yang terancam baik dari pelaku maupun pihak lainnya. Hal ini bertujuan
untuk menjaga dan menghindarkan korban dari segala bentuk intervensi terkait dengan
status korban sebagai pelapor yang dapat mempengaruhi keputusan korban.
h). Data base.
Kebutuhan untuk mendokumentasikan kasus yang pernah ada dan ditangani serta
kebutuhan advokasi Pemda kabupaten Probolinggo, maka data base menjadi kegiatan
yang mendapat perhatian penting. Beberapa lembaga lain yang telah mengakses data
base tersebut antara lain adalah Komnas Perempuan, PEKKA (Perempuan Kepala
Keluarga) Jakarta, Derap Wapsari Jakarta dan lain-lain.
2. Divisi Kajian dan Pengembangan.
Adalah bagian divisi yang melakukan tugas pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk
mensosialisasikan kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan secara
preventif terjadinya kasus yang lain dalam masyarakat.
a. Pengorganisasian masyarakat (perempuan).
Program ini dilakukan oleh Pemda kabupaten Probolinggo bekerja sama dengan LSM
PEKKA Jakarta dalam merespon adanya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi di wilayah kabupaten Probolinggo. Pengorganisasian ini bertujuan
membangun perspektif masyarakat untuk peduli terhadap perempuan korban kekerasan
(dalam rumah tangga).
b. Pendidikan masyarakat.
Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak terkait mengadakan seminar yang ada
hubungannya dengan masalah kesetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan.
3. Divisi Advokasi.
Memiliki tugas pengawalan dan advokasi kebijakan pemerintah dan opini publik agar berpihak
kepada perempuan dan anak-anak korban kekerasan.
a. Advokasi Kebijakan.
Kegiatan ini dilakukan dengan dasar pemerintah (negara) bertanggung jawab dalam
pemenuhan hak asasi masyarakat dengan rasa aman dalam mewujudkan keadilan bagi
mereka. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah
(daerah) antara lain adalah :
- Rancangan peraturan daerah pelarangan minuman keras
di Kabupaten Probolinggo.
Dengan latar belakang maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak
(kekerasan dalam rumah tangga) sebagai akibat minuman keras, maka diharapkan
pemerintah
daerah dapat menekan kasus tersebut dengan memberlakukan
pelarangan terhadap peredaran minuman keras dengan memberlakukan suatu
peraturan daerah tentang hal tersebut.
23
- Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan
Kekerasan di kabupaten Probolinggo.
Perempuan dan Anak Korban
Berdirinya Pusat Pelayanan Terpadu (P2T) Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A)
membutuhkan suatu payung hukum yang menjadikan pegangan untuk adanya alokasi
anggaran bagi program dan kegiatan yang dilaksanakan.
b. Advokasi Media.
Selain melakukan advokasi melalui kebijakan, mempengaruhi, mensosialisasikan,
informasi dan wacana tentang perempuan merupakan hal yang mutlak harus dialkukan
upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan (kekerasan dalam rumah tangga).
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemda kabupaten Probolinggo adalah
kampanye melalui siaran radio yang ditekankan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan
dengan menghadirkan mereka dalam acara talk show sebagai nara sumber dan sebagai
informasi bagi masyarakat.
3. Faktor penghambat pelaksanaan perlindungan hukum .
Kabupaten Probolinggo merupakan satu dari 34 kabupaten / kota yang terletak pada posisi
sebelah timur dari Propinsi Jawa Timur secara geografis lokasinya strategis, karena dilalui jalur
lalulintas darat antar propinsi yang merupakan jalur pantura. Kabupaten Probolinggo yang terletak
pada posisi koordinat 70 401 lintang selatan – 1120 501 1130 311 bujur Timur sebelah utara
berbatasan dengan selat madura, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Situbondo.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember dan sebelah
barat berbatasan dengan kabupaten Pasuruan.
Dengan luas wilayah sebesar 1696.16 km2, terdiri dari 24 Kecamatan 325 desa dan 5
kelurahan. Sebagian besar lahan yang ada atau sekitar 86 persen dipergunakan untuk kegiatan
pertanian. Topografisnya terdiri dari wilayah pegunungan, dataran dan pantai / laut yang sangat
cocok untuk usaha pertanian sehingga daerah ini menjadi salah satu penyangga hasil pertanian di
Jawa Timur.
Mayoritas penduduknya adalah petani dengan tingkat pendidikan yang masih belum begitu
maju serta masih kuat pengaruh budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam proses pembangunan nasional di segala bidang, perkembangan dan dinamika
masyarakat membawa konsekuensi terjadinya gesekan-gesekan sosial dan menghasilkan
perubahan-perubahan baik yang positif maupun yang negatif, yang positif menjadi dukungan
terhadap proses pembangunan itu sendiri, sedangkan yang negatif terwujud dalam bentuk
kepincangan-kepincangan sosial. Proses negatif merupakan kerawanan dan berpotensi
menimbulkan ancaman dalam bentuk kriminalitas dan penyimpangan-penyimpangan norma sosial
lainnya.
Berbagai bentuk penyimpangan norma-norma sosial sebagaimana di sebutkan L.M. Sianturi
(1985) diantaranya adalah tindakan, perilaku atau perbuatan yang bertentangan dengan perasaan
susila masyarakat, bertentangan dengan norma-norma agama, menyimpang dari adat kebiasaan
dalam masyarakat, serta tindakan yang menjurus kepada timbulnya bahaya bagi keselamatan
umum, keselamatan diri maupun orang lain.
24
Dengan kondisi serta letak kabupaten Probolinggo yang merupakan daerah pesisir pantai
utara serta merupakan jalur persimpangan antar propinsi telah mengakibatkan pula perkembangan
masyarakat yang berdampak pada perubahan sosial dalam masyarakat termasuk pula terjadinya
peningkatan kriminalitas di wilayah hukum kabupaten Probolinggo antara lain kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak maupun kekerasan dalam rumah tangga.
Berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani Pengadilan Negeri Kabupaten
Probolinggo Tahun 2011 adalah perkosaan, pencabulan, perzinahan, penganiayaan dan
pembunuhan. Data mengenai kekerasan dalam rumah tangga seperti dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1 :
Kekerasan terhadap perempuan dan anak
periode tahun 2011
No.
Jenis kejahatan
1
2
3
4
5
6
7
Perkosaan
Cabul
Zinah
Penganiayaan
Bawa lari anak
Pembunuhan
Pencemaran nama baik
Susila
8
2011
1
1
43
16
11
-
Sumber : Pengadilan
Negeri Kraksaan, 2011.
Dari
data
tersebut
di
atas
Jumlah
72
dapat
dianalisa
bahwa hampir setiap
tahun terjadi peningkatan kejahatan kekerasan terhadap perempuan dan yang paling dominan
adalah kekerasan terhadap isteri, mereka para korban kekerasan dalam rumah tangga
tersebut
kemudian ada yang menyelesaikan masalahnya secara damai dan ada yang
kemudian diteruskan melalui proses pengadilan.
Banyak diantaranya yang tidak meneruskan kasusnya ke pengadilan dengan berbagai alasan
seperti pelakunya adalah suami yang merupakan tulang punggung keluarga sehingga mereka
khawatir apabila pelaku yang nota bene merupakan tulang punggung keluarga ditahan, maka
hancur pula perekonomian keluarga korban. Apalagi bagi mereka para isteri yang hanya
mengandalkan kehidupannya kepada suami selaku pencari nafkah utama keluarga. Ada pula
mereka yang hanya menyelesaikan masalahnya dengan melalui peradilan perdata misalnya
dengan mengajukan gugatan perceraian.
Hal yang demikian ini tidak terlepas pula dari adanya anggapan yang berkembang dalam
masyarakat bahwa orang berperkara itu “ mahal “ biayanya, baik yang mengajukan perkara apalagi
orang yang diajukan dalam perkara sama-sama akan mengeluarkan banyak biaya.
Dengan masih kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat serta adanya ideologi gender, halhal yang berkaitan dengan masalah rumah tangga masih dikategorikan bersifat pribadi termasuk
juga masalah kekerasan dalam rumah tangga. Hal yang demikian ini berpengaruh pula terhadap
pengungkapan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga seperti dikatakan seorang
responden korban kekerasan dalam rumah tangga yang tidak mau melaporkan kasus yang telah
menimpa dirinya kepada pihak kepolisian dengan mengatakan :
25
“ ………. saya tidak mau melaporkan kasus yang telah menimpa saya karena beranggapan bahwa
kasus ini merupakan masalah keluarga yang harus diselesaikan oleh keluarga tanpa harus
melibatkan pihak luar. Karena kalau sampai melibatkan pihak luar maka akan membuka aib
dalam keluarga kami ……….”14
Selain hal tersebut di atas dari penelitian yang penulis lakukan terhadap beberapa responden
masyarakat yang lain ada beberapa alasan yang mereka kemukakan untuk tidak melaporkan
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang telah mereka alami kepada pihak kepolisian, antara
lain :
a). mereka merasa tidak bisa hidup tanpa suami atau keluarganya karena hanya mereka yang
ia miliki.
b). mereka merasa bahwa kekerasan terjadi akibat kesalahannya.
c). mereka merasa bahwa lebih baik bersikap diam karena jika
menceritakan kepada orang lain kekerasan akan bertambah.
d). mereka ingin tetap menjaga keutuhan rumah tangganya.
Tabel 2 :
Perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang telah diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Negeri Kraksaan
tahun 2011
No.
Nama terdakwa
Dakwaan
Vonis
1.
M. Arifin
Pasal 44 ayat (4) UU No.23 tahun
2004
3 Bulan penjara dengan masa
percobaan 6 bln
2.
Astro Vandi
Pasal 49 huruf a UU No.23 tahun
2004
Bebas dari Tuntutan
3.
IMAM BIN KISNO
Pasal 49 ayat (1) UU No.23 tahun
2004
4 bulan mp.8 bulan
4.
NASIRUDDIN AL
NASIR
Pasal 44 huruf a UU No.23 tahun
2004
4 bulan mp. 8 bulan
5.
GHUZALI BIN SAHUR
Pasal 49 ayat (1) UU No.23 tahun
2004
6
FATHUR ROSID
ROSIDA
Pasal 49 ayat (1) UU No.23 tahun
2004
6 bulan mp. 1 bulan
7
DEDY ARYANTO
BIN SUBAKRI
Pasal 44 huruf a UU No.23 tahun
2004
4 bulan mp. 8 bulan
8
RIJAHAN BIN
FADLI
9
NAWAWI
14
6 bulan mp.
10 bulan
Pasal 9 jo 49 huruf a UU No.23
tahun 2004
3 bulan
Pasal 44 huruf a UU No.23 tahun
3 bulan mp. 4 bulan
Wawancara tertanggal 13 September 2011.
26
2004
10
NASDA BIN BIRYU
Pasal 49 huruf a UU No.23 tahun
2004
3 bulan.
Sumber : Pengadilan Negeri Kraksaan, 2011.
Dari data tersebut diatas terlihat bahwa kesadaran dari kaum perempuan untuk melaporkan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sudah mulai ada kesadaran, serta perubahan pemikiran
tidak hanya terjadi ditingkat elit saja tetapi jumlah masyarakat yang mengalami perubahan pemikiran
tersebut lebih sedikit dari pada jumlah keseluruhan masyarakat, agar perubahan pemikiran meluas
maka penyadaran Gender dengan melakukan pendidikan gender sejak dini harus segera dilakukan
dan hal tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi seluruh anggota masyarakat
yang sudah sadar gender.
Selain itu, kepada kaum perempuan sendiri harus mengubah pola pikir lama ke pola pikir yang
baru, antara lain perempuan yang mengalami kekerasan merasa tidak bisa hidup tanpa suami atau
keluarganya karena hanya mereka yang ia miliki. Hal ini berarti ia harus bertahan dalam lingkungan
yang tidak bersahabat dengannya. Pola pikir yang demikian sebaiknya diubah dengan meyakinkan
dirinya bahwa tanpa suami atau keluarganya ia tetap dapat hidup dan berbuat apa pun sehingga ia
mempunyai kemampuan untuk meninggalkan lingkungan yang tidak mendukungnya. Dalam pola pikir
baru ini diakui hak korban berupa a right to leave the battering environment.
Pola pikir demikian mungkin akan sulit dilaksanakan apabila perempuan yang menjadi korban
memiliki ketergantungan yang sangat besar kepada suaminya, misalnya ketergantungan ekonomi
karena ia tidak bekerja, tidak ada tempat yang dituju, takut akan pembalasan suami, dan kepercayaan
diri yang rendah. Bagi perempuan yang tidak bekerja maka yang bersangkutan memang harus
diberdayakan terlebih dahulu agar ia secara ekonomi mampu sehingga kepercayaan dirinya tumbuh.
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga banyak yang merasa bahwa kekerasan terjadi
karena kesalahannya sehingga apa yang dia kerjakan tidak memuaskan pelaku. Pola pikir lama ini
perlu diubah dengan menekankan bahwa ia tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri karena ia adalah
manusia dan tidak sempurna (a right not to be perfect).
Perempuan di dalam keluarga juga sangat dituntut untuk memperhatikan pasangannya dan
anggota keluarga lainnya sehingga ia tidak sempat memperhatikan, baik dirinya maupun
mengembangkan bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika seseorang yang
mengalami tekanan demikian perlu mengubah pola pikimya bahwa ia punya hak dan kesempatan
untuk mengembangkan bakat dan kemampu-annya sama halnya dengan yang dilakukan oleh
pasangannya (a right to develop your individual talents and abilities).
Kebanyakan perempuan yang mengalami kekerasan juga merasa bahwa lebih baik mengambil
sikap diam karena jika menceritakan kepada orang lain, kekerasan akan bertambah. Pola pikir yang
demikian ini sebaiknya diubah dengan pemikiran yang baru bahwa ia sebenarnya dapat mengatakan
kekerasan yang dialaminya kepada siapa ia ingin mengatakannya (a right to express your own
thoughts and feelings), termasuk polisi atau anggota keluarga yang lain tanpa mendapat amarah dari
apa yang telah dikatakannya (a right to request and expect assistance from police or social agencies, a
right to share your feelings and not be isolated from others dan a right to legally prosecute the abusing
spouse). Jika mereka tidak mendukung, sebaiknya yang bersangkutan mencari orang yang benarbenar mau mendukungnya.
27
Pola pikir lama yang sering dipegang korban kekerasan, misalnya ingin tetap menjaga keutuhan
rumah tangganya sebaiknya perlu diubah dengan mulai menyadari bahwa tinggal dengan anggota
keluarga yang melakukan kekerasan adalah ide yang buruk yang harus ditinggalkan. Yang
bersangkutan harus mulai berpikir bahwa meluangkan waktu dengan anggota keluarga yang
memperlakukan dia dengan baik adalah pilihan yang tepat (a right to choose the change the situation
dan a right to freedom from fear of abuse).
Pola pikir lama lainnya yang merugikan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah
kesediaannya untuk melupakan dan memaafkan pelaku. Dalam banyak kasus korban berusaha
melupakan kekerasan yang dialaminya dan korban berusaha memaafkan pelaku, tetapi kekerasan
tetap saja terjadi. Oleh karena itu, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sebaiknya
membangun pola pikir yang baru bahwa ia membutuhkan penyembuhan dari hal buruk yang baru saja
dialaminya sehingga tidak mungkin baginya untuk melupakan kekerasan yang pernah dialaminya dan
tidak perlu memaafkan siapa pun yang telah melakukan kekerasan tersebut. Pola pikir baru ini
mengandung hak-hak korban berupa the right not to be abused dan juga the right to anger over past
beatings.
DAFTAR BACAAN
BUKU-BUKU DAN ARTIKEL.
Angkasa, 2004. Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana (Pendekatan Viktimologi Terhadap Tindak
Pidana Perkosaan), Disertasi Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang.
Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
_____________, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung.
_____________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penghapusan Kejahatan, PT. Citra Aditya
Bhakti, Bandung.
Ashhofa, Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Gosita, Arif, 1989, Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Alumni, Bandung.
Iswanto dan Angkasa, 2006, Viktimologi, Fak. Hukum UNSOED, Purwokerto
Iswato, 1995, Restitusi Sebagai Syarat Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan,
Disertasi Ilmu Hukum, UGM, Yogyakarta.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2003, Pedoman KKG dan Tata Laksana Penanganan Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Jakarta.
Koentajaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Kusumah, Mulyana W, 1986, Tindakan Pidana yang Dilakukan oleh Anak-Anak, PT. Pustaka Ilmu, Jakarta.
Lamintang, 1988, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.
Prakoso, Djoko, 1988, Tugas dan Jaksa dalam Pembangunan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Rahadjo, Satjipto, 1991, Masalah Penegakan Hukum dalam Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Bandung.
Salman , Otje, 2000, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT. Alumin, Bandung.
Siregar, Bismar, 1986, Kehakiman dan Peradilan (cetakan ke-2), Coullia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta.
______________, Penghantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
The Justice For The Poor Project, 2005, Menciptakan Peluang Keadilan, World Bank.
Peraturan Perundangan-Undangan
Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana (KUHP)
28
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
29
Download