Perkawinan Beda Agama ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SURAKARTA NO.156/Pdt.P/2010/PN.Ska TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA SERTA AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN Ike Nur Andini Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Abstrak Perkawinan beda agama tidak diatur secara jelasdalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sementara dikehidupan masyarakat perkawinan atas dasar cinta tanpa didasari satu agama sering kali dijumpai. Fenomena perkawinan beda agama yang terjadi di kalangan masyarakat dapat menimbulkan permasalahan dari segi hukum misalnya mengenai keabsahan perkawinan tersebut menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tidak diaturnya secara jelas perkawinan beda agama dalam Undang-Undang tersebut berdampak pada kebimbangan masyarakat akan keabsahan perkawinan beda agama yang akan berakibat pula dengan kesulitan dalam prosedur pelaksanaanya. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah dasar pertimbangan hakim yang digunakan dalam memberikan putusan atas permohonan ijin perkawinan beda agama dalam perkara Nomor : 156/Pdt.P/2010/PN.Ska sesuai dengan hukum perkawinan di Indonesia. Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terlaksananya perkawinan beda agama juga akan dijadikan permasalahan oleh penulis yaitu meliputi status anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama, hak waris dalam perkawinan beda agama serta putusnya perkawinan beda agama karena perceraian. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif yaitu dengan mengkaji peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan berhubungan dengan kasus pada penelitian ini. Pendekatan yang digunakan dalam kasus ini adalah pendekatan perundang-undangan untuk memperoleh gambaran tentang pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan ijin perkawinan beda agama. Hasil penelitian menunjukan bahwa Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas perihal perkawinan beda agama, putusan hakim atas permohonan ijin perkawinan beda agama Pengadilan Negeri Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska tetap didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Berdasarkan pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa berlakunya kembali peraturan perkawinan terdahulu dengan alasan bahwa Undang-Undang perkawinan tidak mengatur aspek perkawinan yang dibutuhkan masyarakat sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat hukum yang ditimbulkan bagi pasangan yang melangsungkan perkawinan bed agama akan disamakan dengan pasangan yang melangsungkan perkawinan pada umumnya, jika perkawinan tersebut sudah disahkan oleh negara dengan dicatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Kata Kunci : Pertimbangan hakim, perkawinan beda agama Abstract Interfaith marriage is not set explicitly in the Law No. 1 Year 1974 About the Wedding. While the life of society marriage based on love without a religion are often found. Interfaith marriage phenomenon that occurs in the community can cause problems in terms of the law such as the validity of the marriage in accordance with Law No. 1 Year 1974 About the Wedding. Not explicitly set by him interfaith marriage in the law will have an impact on the validity of the fears of interfaith marriage that will result of difficulties in the implementation procedures Now that is the crux of the problem in this research is the basis of considerations that are used in the judge gives the verdict on interfaith marriage license application in the numbers: 156/Pdt.P/2010/PN.Ska accordance with the laws of marriage in Indonesia. Posed by law upon completion of interfaith marriage will also be inspired by the author that is covering the status of the child produced from interfaith marriage, inheritance rights in interfaith marriage and interfaith marriage break for divorce. This research is akind of normative researchis to examine the rules of law relating to marital problems and dealing with the case in this study. The approach use din this case is too btain a description of the consideration of the judge to grant permission in interfaith marriage. The results showed that Law No.1 of 1974 On Marriage is not set explicitly about interfaith marriage, the decision of the judge at the request of interfaith marriage licenses Court 156/Pdt.P/2010/PN. Ska fixed number based on the Act No.1Year 1974 About Marriage. Under article 66 of Law No.1Year 1974 About Marriage. Explained that there-enactment of previous marriage legislation on the grounds that the marriage law does not regulatea spects of marriage that’s ociety need sall these rules do not conflict with Law Number 1Year 1974 About Marriage. Legal consequences arising for couples who hold religious marriage bed 1 Perkawinan Beda Agama beequated with couples who hold marriagein general, if the marriage has been legalized by the state with a registered marriage in the Civil Registry Office. Keywords: Judge Considerations, Different religion marriage penolakan Kantor Catatan Sipil Surakarta dalam mencatatatkan perkawinan beda agama dengan alasan bahwa pasangan tersebut mempunyai keyakinan berbeda dan masih tetap berpegang teguh pada masing-masing agamanya. Kantor Catatan Sipil memiliki kewenangan untuk menolak pencatatan perkawinan apabila perkawinan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, hal tersebut sesuai dengan pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, Kantor Catatan Sipil beranggapan bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan yang memiliki agama berbeda tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, demikian juga agama masingmasing pemohon yang tidak membenarkan perkawinan tersebut.Kantor Catatan Sipil hanya dapat mencatatkan perkawinan tersebut setelah mendapatkan putusan hakim atas permohonan izin perkawinan beda agama. Atas dasar penolakan Kantor Catatan Sipil perihal pencatatan perkawinan beda agama, pasangan tersebut mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri Surakarta. Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska, hakim menimbang fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan sehingga dapat membuktikan dalil-dalil para pemohon dengan menitik beratkan demi kepastian hukum dan rasa adil yang hidup serta berkembang dalam masyarakat. Undang– Undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama sedangkan pertimbangan hakim dalam mengabulkan ijin perkawinan beda agama tidak saja memfokuskan pada Undang-Undang Perkawinan, namun juga mempertimbangan dengan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan tersebut yang menjadikan dasar kuat yang dapat dipertanggungjawabkan hakim dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. PENDAHULUAN Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan), semua hal yang berkaitan dengan perkawinan akan terikat langsung dengan hukum dan ketentuan dalam undang-undang ini. Pengaturan dalam undang-undang ini melingkupi banyak hal mengenai perkawinan, mulai dari persyaratan perkawinan, hak kewajiban suami istri, hal yang dilarang dalam perkawinan sampai dengan proses perceraian semua ada di dalam isi perundang – undangan ini. Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Perkawinan yang menjelaskan bahwa suatu perkawinan akan dinilai sah jika perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya dari pasangan tersebut. Pasal ini menjelaskan bahwa warga negara Indonesia yang ingin melaksanakan perkawinan harus tunduk pada aturan perkawinan agamanya dan tidak ada perkawinan di luar masing-masing agama dan keyakinan. Jika sebuah perkawinan dilakukan tidak sesuai dengan aturan hukum agama yang dianut pasangan tersebut, maka perkawinan dianggap tidak sah. Setiap agama memiliki perbedaan mengenai aturan perkawinan yaitu pada prosesi upacara dan persyaratan perkawinan, contoh dalam agama Islam dengan melaksanakan rukun nikah atau ijab qobul sedangkan dalam agama Kristen melaksanakan pemberkatan pernikahan yang dilakukan oleh pendeta atau pastur. Sahnya perkawinan dari sudut pandang agama perlu disahkan pula oleh negara. Pengesahan negara ditujukan dengan pencatatan perkawinan yang bertujuan agar peristiwa perkawinan dapat menjadi jelas, baik bagi orang yang bersangkutan maupun bagi orang lain atau masyarakat. Pencatatan perkawinan dicatatkan dalam surat yang bersifat resmi berupa akta dan dapat dipergunakan bila diperlukan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik. Agar terikat dengan akibat hukum dalam perkawinan yang diakui negara yaitu dengan dicatatkan oleh lembaga pencatatan perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama bagi masyarakat yang memeluk agama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang memeluk agama lain di luar agama Islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Polemik akan muncul dalam proses pencatatan perkawinan jika terjadi suatu permasalahan yang tidak diatur atau bahkan dilarang dalam Undang– Undang Perkawinan. Peristiwa ini terjadi pada permasalahan perkawinan beda agama yang terjadi di Surakarta. Pasangan Listyani Astuti yang beragama Kristen dan Achmad Julianto yang beragama Islam berniat untuk melangsungkan perkawinan dengan tetap memegang teguh agama masing–masing. Permasalahan timbul atas METODE DESKRIPSI HASIL PENELITIAN Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan jenis penelitian normatif. Penelitian normatif itu sendiri adalah yaitu penelitian yang menjelaskan serta menjabarkan suatu hal yang bersumber dari ketentuanketentuan hukum yang telah ada. Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan Statue Approach (perundang-undangan) dan Analytical Approach (analitis) Statue Approach merupakan pendekatan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Dalam hal ini mengkaji ketentuan-ketentuan yuridis tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2 Perkawinan Beda Agama Analytical Approach digunakan penulis untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin atas perkawinan beda agama apakah sesuai dengan hukum perkawinan di Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta. c. Pengadilan memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama para pemohon tersebut ke dalam register pencatatan perkawinan yang digunakan untuk itu. d. Biaya permohonan ditanggungkan pengadilan kepada pemohon. Adapun pertimbangan hakim yang dijadikan fakta persidangan dengan dijadikan surat pemohonan para pemohon dihubungkan bukti surat dan keterangan saksi – saksi dipersidangan yaitu meliputi keterangan sebagai berikut : a. Para pemohon adalah Warga Negara Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia. Pemohon I bertempat tinggal di Purbowardayan RT.004 RW.002, Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta sedangkan pemohon II bertempat tinggal di Ngadisono, RT 002 RW 014, Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. b. Pemohon I berumur 27 beragama Kristen tahun dan pemohon II berumur 33 tahun beragama Islam. Menurut keterangan yang diperoleh dari para saksi, para pemohon belum pernah menikah baik secara resmi dan secara agama. c. Para pemohon telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan cinta kasih sayang dan bersikukuh untuk mempertahankan keyakinan agamanya, pemohon I tidak berkeinginan melakukan prosesi perkawinan berdasarkan agama Kristen dan pemohon II tidak berkeinginan melakukan prosesi perkawinan berdasarkan agama Islam. d. Orang tua pemohon I maupun orang tua pemohon II telah menyetujui serta telah memberi izin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan cara beda agama. Para pemohon tersebut, telah diajukan kepada Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, akan tetapi ditolak dengan alasan bahwa untuk melakukan perkawinan beda agama harus mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta. Adapun pertimbangan hakim yang digunakan dalam memutuskan persidangan atas permohonan izin perkawinan beda agama adalah : a. Fakta – fakta sebagaimana terungkap dipersidangan dihubungkan dengan ketentuan tentang syarat syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 6 ayat (1 ) tentang persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan Pasal 7 tentang usia perkawinan, maka para pemohon telah memenuhi syarat materil untuk melangsungkanperkawinan; b. Para pemohon berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya termasuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 29 Undang- Undang Dasar 1945 Uraian Perkara Pengadilan Negeri Surakarta yang mengadili perkara perdata dalam permasalahan atas permohonan izin perkawinan beda agama dan memberikan penetapannya dalam permohonan atas nama : a. Listyani Astuti, bertempat tinggal di Purbowardayan, RT 004 RW 002, Kelurahan Tegalharjo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta; Selanjutnya disebut Pemohon I b. Achmad Julianto, bertempat tinggal di Ngadisono, RT 002 RW 014, Kelurahan Kadipuro, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta; Selanjutnya disebut Pemohon II Para pemohon mengajukan surat permohonan izin perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 13 Oktober 2010. Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut : a. Para Pemohon sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawinan yang ingin dilakukan oleh para pemohon dihadapan pegawai Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surakarta. b. Perkawinan yang ingin dilangsungkan oleh para pemohon adalah perkawinan beda agama, dimana Pemohon I beragama Kristen dan Pemohon II beragama Islam. c. Pada tanggal 8 Oktober 2010 Para Pemohon telah memberitahukan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tentang akan dilaksanakannya perkawinan, akan tetapi permohonan perkawinan tersebut ditolak oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta dengan alasan perbedaan agama Para Pemohon. Alasan penolakan atas permohonan tersebut adalah didasarkan pada pasal 21 UndangUndang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. d. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta bersedia mencatatkan perkawinan para pemohon apabila mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri atas ijin perkawinan beda agama. e. Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-masing, dengan cara mengajukan permohonan ijin kepada Pengadilan Negeri Surakarta pada tanggal 11 Oktober 2010. Permohonan para pemohon dalam mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surakarta meliputi beberap hal yaitu : a. Pengadilan Negeri Surakarta agar mengabulkan Permohonan pemohon. b. Putusan Pengadilan yang memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan 3 Perkawinan Beda Agama c. d. e. f. tentang kebebasan memeluk Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; Undang – Undang Perkawinan dalam pasal 8 huruf ( f ) yang mengatur larangan untuk melaksanakan perkawinan oleh dua calon mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan calon mempelai yang beda agama; Undang-Undang Perkawinan dalam Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66 menyatakan : Untuk Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan diatur dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl.1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158) dan Peraturan– peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pengadilan berpendapat bahwa Undang–Undang Perkawinan tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang berlainan agama dimana para pemohon bersikukuh tetap mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing, maka ketentuan–ketentuan dalam Stbl : 1898 No.158 tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam permohonan para pemohon Ketentuan pasal 6 Stbl 1898 No.158 Tentang Perkawinan Campuran, ditentukan pelaksanaan perkawinan beda agama, maka pelaksanaan perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi suaminya dengan tidak mengurangi persetujuan yang selalu dipersyaratkan, bahwa apabila hukum suami incasu agama Islam tidak menentukan cara-cara pelaksanaan perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan dilaksanakan dan ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur perkawinan beda agama, dengan merujuk ketentuan pasal 6 ayat (2) Stbl : 1898 No.158 Tentang Perkawinan Campuran tersebut, maka Pengadilan Negeri Surakarta memerintahkan Pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan para pemohon dan segera mencatatkannya pada Tentang Perkawinan Campuran tersebut. Pengadilan Negeri Surakarta memerintahkan Pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan para pemohon dan segera mencatatkannya pada register yang sedang berjalan untuk itu serta segera pula menerbitkan Akta Perkawinan tersebut. beda agama dalam undang-undang ini maka tidak jelas pula mengenai diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama. Penulis akan membahas pertimbangan hakim yang digunakan sebagai pegangan dalam mengabulkan putusan perkara permohonan izin Pengandilan Negeri Surakarta No.156/Pdt.P/2010 /PN.Ska tentang perkawinan beda agama. Putusan hakim tersebut harus memiliki dasar hukum yang kuat agar keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin pelaksanaan perkawinan beda agama: a. Pertimbangan hakim mengenai pasal 6 ayat (1) dan pasal 7 Undang–Undang Perkawinan Berdasarkan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang berisikan “Perkawinan harus didasarkan pada perjanjian kedua mempelai” Pada kasus ini perkawinan beda agama yang ingin dilakasanakan oleh para pemohon merupakan persetujan bersama tanpa ada paksaan dari pihak mananpun. Perkawinan tersebut merupakan kehendak pribadi kedua belah pihak untuk membina rumah tangga yang bahagia. Dilihat dari syarat materiil yang mengatur usia kawin calon mempelai sesuai dengan aturan pada pasal 7 ayat (1) UndangUndang Perkawinan, para pemohon sudah memenuhi syarat usia perkawinan yaitu Pemohon I berusia 27 tahun dan Pemohon II berusia 33 tahun. Sesuai dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan oleh para pemohon juga tidak memerlukan izin orang tua dalam pelaksanaannya, karena usia para pemohon sudah melebihi dari batas usia 21 tahun dan sudah dianggap dewasa secara hukum. Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) dan pasal 7 Undang-Undang Perkawinan, pemohon telah memenuhi persyaratan perkawinan baik mengenai usia kawin para pemohon maupun persetujuan atas kesepakatan bersama para pemohon untuk melaksanakan perkawinan beda agama. Syarat materiil yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang – Undang Perkawinan hanya mempersoalkan perihal: a. Persetujuan dari kedua mempelai yang hendak menikah b. Adanya izin dari kedua orangtua bagi calon mempelai yang belummencapai usia 21 tahun dan c. Kedua mempelai harus mencapai usia minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Undang-Undang Perkawinan tidak mensyaratkan perihal agama dan keyakinan yang dipeluk oleh pasangan mempelai. Persamaan agama atau keyakinan calon mempelai tidak disinggung dalam syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Disimpulkan bahwa adanya permasalahan agama yang dianut calon mempelai, baik persamaan Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska Perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan tidak diaturnya masalah perkawinan 4 Perkawinan Beda Agama b. agama ataupun perbedaan agama tidak dapat dijadikan syarat materiil yang harus dipenuhi bagi sahnya perkawinan. Apabila menyinggung mengenai syarat perkawinan berdasarkan UndangUndang Perkawinan, jika calon mempelai memiliki perbedaan agama yang dianut maka tidak akan dijadikan persoalan apabila calon mempelai memiliki perbedaan agama untuk membentuk rumah tangga. Pertimbangan hakim mengenai pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan “Mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”. Ketentuan pasal di atas menjelaskan bahwa disamping terdapat larangan–larangan tegas yang disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan, juga terdapat larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agama. Hukum yang berlaku pada tiap-tiap agama tidak dapat disamakan antara satu agama dengan agama lainnya. Hal ini juga berlaku bagi permasalahan perkawinan beda agama. Tiap-tiap agama memiliki pandangan serta aturan yang berbeda apabila umatnya melakukan perkawinan tersebut. Pasal ini menyebutkan bahwa perkawinan dilarang jika dalam hubungan agamanya tidak diperbolehkan kawin. Akan tetapi larangan perkawinan beda agama tidak disebutkan dalam isi pasal ini, sehingga beranggapan bahwa perkawinan beda agama bukan termasuk larangan perkawinan. Menelaah perihal larangan kawin yang dilihat dari sudut pandang hukum agama, maka akan erat hubungannya perihal perkawinan sah menurut hukum agama yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal ini menjelaskan bahwa perkawinan akan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing. Undang-Undang menyerahkan kepada masingmasing agama untuk menentukan syarat-syarat dan prosesi pelaksanaan perkawinan, dengan catatan bahwa aturan perkawinan yang diatur dalam tiaptiap agama tidak bertentangan dengan aturan dalam Undang-Undang Perkawinan. Larangan perkawinan dalam pasal 8 Undang-Undang Perkawinan memiliki kesamaan dengan larangan kawin dalam ajaran tiap-tiap agama yang diakui di Indonesia. Larangan kawin tersebut meliputi bagi dua orang yang berhubungan darah baik garis keturunan lurus keatas, kebawah maupun menyamping, berhubungan semenda, semenda, kemenakan. Sehingga larangan perkawinan yang selaras dalam aturan undang-undang dengan ajaran agama adalah jika terdapat hubungan darah dan kekerabatan antara kedua calon mempelai. Hal ini tidak akan sama dengan pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan yang menitik beratkan larangan perkawinan dari sudut pandang agama. Setiap agama memiliki aturan dan ajaran masing-masing yang tidak dapat dipersamakan dengan agama lain, baik dari prosedur ibadah maupun hal-hal yang berkaitan dengan larangan perkawinan khususnya perkawinan beda agama. Apabila persoalan perkawinan beda agama dihubungkan dengan pasal 8 huruf (f) dan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan akan menimbulkan pemahaman yang berbeda dengan ajaran setiap agama. Ketentuan dalam kedua pasal tersebut disamping berisikan larangan kawin yang secara tegas disebutkan dalam pelaksanaan perkawinan, juga terdapat larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya dalam pelaksanaan perkawinan yang sah menurut agamanya. Pada kasus ini, pemohon I beragama Kristen dan pemohon II beragama Islam. Pada dasarnya masing-masing agama para pemohon samasama memberikan aturan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Ajaran dalam agama Islam memandang bahwa perkawinan beda agama diharamkan, tetapi disisi lain pendapat para ulama juga ada yang memperbolehkan. Dasar pemikiran tersebut berpijak pada QS.Al-Baqarah ayat 221 dan QS. Al-Maidah ayat 5 yang intinya perkawinan antara pria muslim dengan wanita nonmuslim akan tetapi ahlul kitab (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, dengan alasan ahlul kitab juga belajar tentang kitab Injil dan kitab Taurat sama halnya dengan yang diajarkan Islam yang diturunkan oleh Allah SWT. Selain itu pria Muslim bisa dengan mudah membimbing wanita Ahlul Kitab untuk menganut agama Islam. Sedangkan alasan larangan kawinan antara wanita Muslim dengan pria nonmuslim karena dikhawatirkan pria adalah kepala rumah tangga, sehingga besar kemungkinan pria nonmuslim akan mengajak istrinya wanita mulim untuk mengikuti agamanya. Agama Kristen pada prinsipnya menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama namun ajaran Kristen juga tidak menghalangi apabila terjadi perkawinan beda agama antara penganut agama Kristen dengan penganut agama lain. Walaupun menikah dengan pasangan beda agama tidak dihalangi, mereka harus memiliki dasar kepercayaan dan iman agar tidak menyimpang dari ajaran agama, yang terjadi akibat dari perkawinan beda agama. Agama yang dianut para pemohon memang berbeda akan tetapi memiliki dispensasi yang sama yaitu memberikan ijin pada penganutnya jika melakukan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama bukan termasuk dalam larangan perkawinan yang dimaksud dalam pasal 8 huruf (f). Pemahaman tersebut diperkuat dengan fakta yuridis 5 Perkawinan Beda Agama c. d. persidangan yang berisi pemohon I tidak berkeinginan untuk melakukan prosesi perkawinan secara Kristen dan pemohon II juga tidak berkeinginan melakukan prosesi perkawinan secara Islam. Para pemohon dianggap sudah tidak menghiraukan status agamanya dan tidak lagi mengindahkan prosesi agamanya, sehingga pasal 8 huruf (f) dan Pasal 2 ayat (1) bukan lagi halangan untuk melangsungkan perkawinan yang mereka kehendaki dan perkawinan tersebut adalah sah menurut hukum agama masing-masing pihak pemohon. Pertimbangan hakim mengenai pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Kependudukan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi: a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Negara Asing Penjelasan dari pasal diatas adalah yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Pasal tersebut beserta penjelasannya memberikan peluang bagi perkawinan beda agama dan bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Pasal tersebut yang digunakan pertimbangan dasar hakim dalam mengabulkan permohonan. Perkawinan beda agama dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dengan berpedoman pada pasal ini. Peluang pencatatan perkawinan beda agama hanya pada Kantor Catatan Sipil bukan di Kantor Urusan Agama(KUA), karena para pemohon semuanya dianggap tidak beragama Islam dan tidak bisa dicatatkan pada KUA. Perkawinan tersebut hanya dapat dicatatkan Kantor Catatan Sipil dengan alasan pasangan tersebut beragama diluar Islam. Pertimbangan hakim mengenai pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945) “Setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya dan negara menjamin serta melindungi kebebasan beragama.” Pada permasalahan ini para pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang hak untuk teguh pada keyakinannya dilindugi oleh negara. Pada kondisi apapun negara akan melindungi warga negara perihal kebebasan memeluk agama atau keyakinan, dengan alasan itu seseorang tidak bisa memaksakan agamanya kepada orang lain (calon istrinya atau suaminya). Jika dihubungkan permasalahan perkawinan beda agama dengan pasal 29 UUD 1945, maka perkawinan tersebut tidak dapat dijadikan suatu larangan perkawinan. Sejalan dengan itu pasal 29 UUD 1945 “Semua warga e. 6 negara bersamaan kedudukannya dalam hukum”. Mengartikan bahwa sekalipun warganegara memiliki keyakinan yang berbeda tetapi kedudukan dalam hukumnya tetap sama. Apabila menghubungkan pasal 27 UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945 dengan permasalahan perkawinan beda agama akan diperoleh penjelasan bahwa perkawinan yang dilaksanakan oleh pasangan suami istri seagama dengan pasangan suami istri beda agama akan disamakan kedudukannya dalam hukum. Berdasarkan pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menerangkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan penuh perihal memeluk agama dan melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan memeluk agama juga dilindungi dan dijamin kemerdekaanya oleh negara. Pada dasarnya perkawinan beda agama merupakan hak asasi seseorang dalam mempertahankan agamanya dan kewenangan pribadi untuk menentukan pilihan dalam kehidupannya. Di luar dari ajaran agama yang melarang adanya perkawinan beda agama, semata-mata merupakan hubungan privasi seseorang dengan Tuhan yang sehingga pertanggung jawabannya dinilai dari kekuatan iman yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Pertimbangan hakim mengenai pasal 66 Undang-Undang Perkawinan. Ketentuan dalam pasal ini mengartikan bahwa yang tidak berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan lama sejauh ketentuan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Berlakunya pasal ini tidak secara menyeluruh menghapus aturan perkawinan yang ada sebelum Undang-Undang Perkawinan diberlakukan. Peraturan Perkawinan terdahulu dapat diberlakukan kembali dengan alasan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur aspek perkawinan yang dibutuhkan masyarakat dan berlaku secara efektif, sehingga peraturan lama masih dapat diberlakukan kembali sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan secara relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan Perundangundangan yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di Indonesia, namun Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur semua aspek yang terkait dalam perkawinan. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai perkawinan beda agama. Tidak diaturnya permasalahan perkawinan beda agama menimbulkan kebingungan pada masyarakat mengenai diperbolehkan atau tidaknya ata pelaksanaan perkawinan beda agama. Melihat permasalahan di atas, Wantjik Saleh mengatakan bahwa yang tidak berlaku Perkawinan Beda Agama adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa peraturan yang telah ada sejauh hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang baru ini. Jadi bukanlah peraturan perundangan itu secara keseluruhan. Hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan, peraturan yang mengatur perkawinan beda agama adalah Peraturan Perkawinan Campuran Stbl.1898 No.158. Peraturan ini menggolongkan perkawinan beda agama sebagai perkawinan campuran. Pengertian perkawinan campuran dalam pasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran adalah :“Perkawinan campuran ialah perkawinan orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan” Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan, aturan perkawinan campuran memiliki pengertian beda yaitu pada pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah : “Yang dimaksud perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Perkawinan Campuran Stbl 1898 No.158 sama-sama mengatur tentang perkawinan campuran, namun ruang lingkup berlakunya berbeda. Undang-Undang Perkawinan memiliki arti sempit dalam pengertian perkawinan campuran. Penafsiran bahwa hukum berlainan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perbedaan kewarganegaraan antara kedua orang yang melakukan perkawinan di Indonesia yang salah satu diantara pasangan tersebut berkewarganegaraan Indonesia. Berbeda dengan Peraturan Perkawinan Campuran Stbl.1898 No.158 memiliki arti luas dalam pengertian perkawinan campuran yaitu bahwa hukum berlainan yang dimaksud adalah tidak terbatas pada perbedaan kewarganegaraan tetapi juga karena perbedaan regior, perbedaan golongan dan perbedaan agama. Menurut Ichtijanto, pengertian perkawinan campuran dalam Peraturan Perkawinan Campuran dan Undang-Undang Perkawinan terjadi pergeseran materi ketentuan hukum antara Peraturan Perkawinan Campuran ke Undang-Undang Perkawinan. Pergeseran materi meliputi pengertian dari “tunduk pada hukum yang berlainan” bergeser pada “tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia” UndangUndang Perkawinan selain melihat adanya dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda, juga perbedaan hukum karena kewarganegaraan. Undang-Undang Perkawinan melihat perkawinan campuran sebagai masalah antar tata hukum ekstern (hatah ekstern) dan intern (hatah intern). Hatah ekstern adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjuk hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara pada satu waktu yang menunjukan titik–titik pertalian dari dua negara atau lebih. Hatah Intern adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan hukum manakah yang berlaku dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda baik lingkungan kuasa, pribadi maupun soal. Perkawinan campuran antar agama termasuk dalam golongan Hatah intern. Menurut penulis bahwa perkawinan beda agama masih termasuk dalam golongan Hatah intern yang asih tetap diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran, sedangkan perkawinan campuran antar warga negara tidak berlaku lagi dalam Peraturan Perkawinan Campuran. Perkawinan Warga Negara Indonesia yang berlainan agama tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, akan tetapi berdasarkan pada pasal 66 bahwa ketentuan dalam Peraturan Perkawinan Campuran masih dapat dipergunakan dalam perkawinan antar agama. Perkawinan campuran yang diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran dan Undang-Undang Perkawinan memiliki perbedaan dalam ruang lingkup perberlakuan aturan. Peraturan Perkawinan Campuran memiliki perbedaan dalam ruang lingkup pada perbedaan tempat, kebangsaan, golongan dan agama. Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang batasan ruangnya dipersempit menjadi perbedaan kewarganegaraan saja, sedangkan perbedaan tempat dan golongan tidak dimasukkan dalam perkawinan campuran. Perbedaan tempat dan golongan masih dimasukkan dalam perkawinan pada umumnya, dengan penafsiran bahwa perbedaan tempat yang dimaksud masih berada di wilayah Indonesia. Perbedaan golongan juga tidak dipermasalahkan jika pasangan tersebut berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan atas dasar perbedaan agama tidak termasuk perkawinan campuran dan tidak termasuk bagian yang diatur baik dalam pasal 57 maupun dalam pasal-pasal lain yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Aturan mengenai perbedaan agama diatur pasal 7 ayat (2) Peraturan Perkawinan Campuran “ Perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan.’’ Pasal ini menjelaskan bahwa perbedaan agama tidak menjadi halangan akan adanya perkawinan campuran. Ketentuan ini membuka kemungkinan seluas- 7 Perkawinan Beda Agama luasnya untuk terjadinya perkawinan beda agama, sehingga pasal ini digunakan hakim dalam putusan permohonan perkawinan beda agama. Sebelumnya persoalan mengenai perkawinan beda agama pernah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan pasal 11 ayat 2 yang berisi “ Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan.” Pasal tersebut mendapat tentangan dari pihak golongan Islam karena dicurigai sebagai usaha “Kristenisasi terselubung”.1 Latar belakang reaksi keras golongan Islam atas rancangan pasal tersebut karena merupakan usaha untuk mempermudah upaya mengkristenisasikan umat muslim di Indonesia. Alasan lain atas penolakan pasal tersebut juga terdapat indikasi bahwa perkawinan hanya dipahami dalam konteks hukum keperdataanya saja yang terlepas dari ketentuan hukum agama. f. Pertimbangan hakim pada pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran Stbl.1898 No.158, bahwa hukum yang berlaku dalam pelaksanaan perkawinan adalah hukum bagi suami. Menurut pendapat Ichtijanto, ketentuan dalam pasal 6 mulai dari ayat 1 sampai dengan ayat 5 Peraturan Perkawinan Campuran belum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaanya. Mengikuti ketentuan dalam pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran masih berlaku. Ketentuan tersebut berlaku untuk aturan perkawinan campuran dilaksanakan menurut hukum suami yang tergolong perkawinan campuran hatah intern yaitu perkawinan campuran antar pemeluk agama yang berlainan. Pada kasus ini, pemohon yang bertindak sebagai suami beragama Islam dan yang bertindak sebagai istri beragama Kristen, sehingga hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Ajaran Islam memperbolehkan pihak laki-laki muslim menikah dengan wanita bukan muslim, sebab pihak suamilah yang memegang akad dalam perkawinan dan memiliki prakarsa mutlak dalam suatu rumah tangga. Pihak wali dari calon istri harus beragama Islam. Jika pihak wali beragama di luar Islam, maka wali nikah dapat dilimpahkan kepada wali hakim nikah. Sesuai dengan pasal 6 Peraturan Peraturan Perkawinan Campuran, hukum suamilah yang dipakai dalam perkawinan beda agama. Pelaksanaan prosesi perkawinan tersebut merupakan pengesahan perkawinan dari sudut pandang agama yang dapat disahkan oleh negara dengan dicatatkan perkawinan 1. tersebut sesuai dengan pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan. Pengesahan perkawinan beda agama tidak dapat dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sebab salah satu diantara kedua belah pihak tidak beragama Islam. KUA hanya akan mencatatkan perkawinan bagi pasangan calon suami istri bergama Islam. Merujuk pada pasal 6 ayat (2) Peraturan Perkawinan Campuran (2) “Jika menurut hukum yang berlaku untuk si lelaki tu tidak ada seorang yang ditentukan untuk mengawasi atau diwajibkan melangsungkan pernikahan itu, maka pernikahan itu dilangsungkan oleh Kepala Golongan si lelaki atau si wakilnya dan jika kepala itu tak ada, maka diawasi oleh Kepala Kampung atau Kepala Desa, dimana perwakilan itu dijalankan.” Pengadilan Negeri Surakarta memerintahkan kepada pejabat pencatatan sipil untuk mencatatkan perkawinan perkawinan beda agama para pemohon di Kantor Catatan Sipil dan mencatat perkawinan tersebut dalam Akta Perkawinan. Atas dasar hukum suami tidak ada aturan yang jelas tentang tata cara mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama dan pihak suami tidak menghiraukan status agamanya dalam persoalan perkawinan. Alasan tersebut yang digunakan bahwa pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang dilakukan para pemohon dianggap pasangan yang memeluk agama di luar Islam. Pada dasanya penulis setuju dengan putusan hakim No.156/Pdt.P/2010/PN.Ska dalam permohonan izin perkawinan beda agama, karena : a. Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengatur masalah perkawinan beda agama atas putusan Mahkamah Agung Nomor 1400/K/Pdt/1986 yang memberikan kewenangan bagi Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Pasal ini menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan di Indonesia yang diatur dalam pasal 34 Undang–Undang Administrasi Kependudukan juga berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Penjelasana dalam pasal ini menjelaskan bahwa yang dimaksud “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antara pasangan yang berbeda agama dan telah memperoleh penetapan dari pengadilan. Adanya peraturan tersebut memberikan peluang dan kepastian hukum terhadap perkawinan beda agama. b. Larangan perkawinan yang diatur pada pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yang berdasarkan poin-poin pada pasl tersebut Ibid, Hlm. 58 8 Perkawinan Beda Agama c. pada dasarnya tidak ditemukan larangan perkawinan antar dua orang yang berbeda agama. Pada pasal 8 huruf (f) UndangUndang Perkawinan yang menyebutkan “hubungan yang oleh agamanyaatau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin” menimbulkan banyak penafsiran dalam memahami pasal ini. Makna kata “hubungan” tidak dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut, sehingga banyak pemahaman yang menafsirkan berbeda bahwa apakah perkawinan beda agama termasuk dalam makna kata tersebut ataukah tidak. Pada kasus ini para pemohon sebagai pihak calon suami beragama Islam dan pihak calon istri beragama Kristen. Berdasarkan fakta persidangan diperoleh keterangan bahwa pihak calon suami tidak berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam, yang dapat ditafsirkan bahwa pemohon tidak mengindahkan status agamanya. Alasan tersebut dijadikan hakim sebagai pertimbangan bahwa pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan bahwa perbedaan agama tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan yang mereka kehendaki. Tugas hakim adalah menciptakan kekosongan Hukum yang ada di dalam pemerintah Indonesia sekarang ini. Kekosongan hukum yang dimaksudkan itu sendiri adalah permasalahanpermasalahan yang terjadi diakibatkan antara produk pemerintah yaitu undangundang seringkali tidak sejalan dengan kehidupan masyarakat sekarang ini. Faktanya perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, sedangkan masyarakat Indonesia merupakan masyarakat heterogen yang terdiri atas beraneka ragam suku dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah dibatasi dalam masalah pergaulan. Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan sosial di Indonesia yang sudah terlalu erat dalam aktivitas sosial tanpa melihat perbedaan agama yang satu dengan yang lainnya. Perkawinan beda agama yang terjadi di masyarakat cenderung terjadi karena rasa cinta tanpa memperdulikan peran agama yang sering tidak dihiraukan. Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung N0.1400K/Pdt/1986, jika perkawinan antar agama dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif. Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Mengenai Keabsahan Perkawinan Ketidakjelasan dan ketidaktegasan UndangUndang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya. Dalam praktek perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986. Dari putusan Mahkamah Agung tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia Mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terdapat ketentuan dalam UndangUndang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam Pasal 35 Undang-Undang No 23 Tahun 2006 beserta penjelasan disebutkan bahwa untuk perkawinan yang dilakukan antar umat beda agama ditetapkan oleh Pengadilan. Pengaturan ini diharapkan dapat mengakhiri ketidakjelasan yang terjadi selama ini terkait dapat atau tidaknya perkawinan beda agama yang dilakukan di Indonesia diakui oleh negara. Selama ini bagi pasangan-pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan, umumnya dilakukan dengan cara menikah di luar negeri atau jika menikah di Indonesia umumnya mereka mengganti agamanya sementara atau secara permanen agar perkawinan mereka dapat dilaksanakan. Adakalanya mereka menikah dua kali, misalnya pertama menikah di gereja, kemudian menikah di Kantor Urusan Agama secara Islam. Seperti telah dikemukakan diatas, sebelum adanya Undang-undang Perkawinan, untuk hal-hal 9 Perkawinan Beda Agama yang terkait dengan perkawinan campuran, pengaturannya dapat ditemui dalam HOCI (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers, S. 1933 No.74).Pasal 75 HOCI membolehkan perkawinan antara seorang wanita beragama Kristen dengan seorang pria beragama bukan Kristen. GHR juga mengatur mengenai Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken, S. 1898 No.158). Namun demikian, HOCI telah dicabut oleh Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan melalui Pasal 106. Sehingga ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pertimbangan hakim juga dikarenakan dalam hukum positif di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan diatur dalam UndangUndang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dimana dalam pasal 2 ayat 1 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditegaskan bila suatu agama sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan antara 2 orang yang sama agamanya. Sehingga terhadap perkawinan antara 2 orang yang berbeda agama tidaklah dapat diterapkan berdasarkan ketentuan tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1986). Adanya perkawinan beda agama yang telah dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atas penetapan pengadilan, maka keabsahan perkawinan secara negara dapat disamakan kedudukan hukumnya dengan perkawinan dengan pasangan seagama. Keabsahan perkawinan dapat juga mencakup hak dan kewajiban suami istri dalam membentuk rumah tangga. perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan, sedangkan Peraturan Perkawinan Campuran Stbl.1898 No.158 menjadikan perbedaan agama bukan merupakan halangan bagi sebuah perkawinan. 3. Ketentuan pada pasal 35 huruf (a) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagai acuan dikabulkannya permohonan izin perkawinan beda agama. Pasal ini memberikan peluang bagi pasangan yang melakukan perkawinan beda agama yang memungkinkan pencatatan perkawinan harus melalui penetapan Pengadilan Negeri. 4. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan perkawinan didukung dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama sehingga terjadi kekosongan hukum dalam penentukan permasalahan mengenai keabsahan perkawinan tersebut.Putusan Mahkamah Agung mengenai perkawinan beda agama memberikan solusi hukum bagi perkawinan tersebut, bahwa perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri yang dianggap tidak beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil wajib menerima permohonan perkawinan beda agama. b. Perkawinan beda agama yang telah dicatatkan dalam akta perkawinan berdasarkan putusan pengadilan merupakan perkawinan sah menurut hukum negara. Perkawinan tersebut akan membawa akibat hukum yang sah pula bagi para pihak baik bagi pasangan itu sendiri dalam kedudukan hukumnya PENUTUP Simpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada babbab sebelumnya maka di dalam penulisan skripsi ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam mengabulkanpermohonan izin perkawinan beda agama adalah: 1. Kebebasan seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai pemeluk suatu agama, termasuk mempertahankan agama atau kepercayaan yang dianutnya sesuai dengan pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 2. Ketentuan pada pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan sebagai dasar berlakunya kembali peraturan mengenaiperkawinan terdahu yaitu Peraturan Perkawinan Campuran Stbl.1898 No.158 yang mengatur mengenai perkawinan beda agama. Alasan pemberlakuankembali peraturan tersebut karena tidak ada aturan yang jelas mengenai Saran Perkawinan beda agama bukanlah fenomena baru yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang pluralistik akan budaya, suku dan agamanya, sehingga sangat memungkinkan untuk terjadinya perkawinan diantara dua pemeluk agama yang berbeda. Namun hingga saat ini aturan mengenai perkawinan beda agama masih belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal tersebut berdampak pada adanya kekosongan hukum yang menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda terhadap peraturan tersebut. Hendaknya bagi penegak hukum khususnya bagi Pembentuk Undang-Undang untuk menambahkan aturan mengenai perkawinan beda agama secara jelas dan tegas, serta merevisi ulang penjelasan pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu “perbedaan agama bukanlan menjadi penghalang suatu perkawinan sepanjang dibenarkan dan tidak bertentangan dengan 10 Perkawinan Beda Agama hukum agama dan keyakinan masing-masing”. Adanya aturan yang jelas mengenai keabsahan perkawinan beda agama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bagi setiap orang yang menghendaki perkawinan tersebut akan memperoleh kejelasan status hukum bagi mereka dan kepastian hukum atas perkawinannya Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press. Subekti,1985, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa. DAFTAR PUSTAKA Sudargo Gautama, 1960, Hukum Antar Golongan, Jakartra , PT. Ichtiar Baru. Sution Usman Adji, ,2002, Kawin Lari Dan Kawin Antar Agama, Yokyakarta, Liberty Yogyakarta. Buku : Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta, Rajawali Pers Jakarta. _______________, 1992, Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Sehari-Hari (Landmark Decisions), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,Jakarta, Kencana. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung,Sumur Bandung. C.S.T. Kansil,1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Wantjik K.Sholeh, 1982, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia Eman Suparman, 2005, Hukum Perselisihan Konflik Kompetensi dan Pluralisme Hukum Orang Pribumi, Jakarta, PT. Refika Aditama. Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian HukumNormatif dan Empiris, Jakarta; Pustaka Pelajar. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974. Muladi, 1997, Masalah-Masalah Hukum (Majalah FH Universitas Diponegoro; Persoalan Hukum Yang Timbul Sebagai Akibat Perpindahan Agama Setelah Perkawinan Dilangsungkan Di Kodati II Semarang),Semarang, Diponegoro Univ Press Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Lembaran Negara Nomor 23 Tahun 2006 M. Karyasuda, 2006, Pernikahan Beda Agama Menenkan Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta, Total Media Yogyakarta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Nomor 23 Tahun 2002 M. Sanusi, 2012, Membagi Harta Waris, Surabaya, Divapress. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ngakan Putu Muderana, 1983, Hukum Perkawinan Campuran Di Indonesia, Surabaya, Perc & Stansil Djumali Peter Mahmud Marzuki, 2011,Penelitian Jakarta; Prenada Media Group Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijken Regeling) Nomor 158 Stbl 1898. Hukum, Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Huwelijks Ordonnantie Christen-IndonesiersJava) Stbl 1933:74. Soetojo Prawirohamidjojo, 2002, Pluralisme Dalam Perundang -Undangan Perkawinan Di 11 Perkawinan Beda Agama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 12