BAB 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang Pengertian agama menurut masyarakat Jepang berbeda dengan di Indonesis. Agama menurut masyarakat Indonesia lebih cenderung diartikan agama samawi. Sedangkan bagi masyarakat Jepang, Shinto lebih merupakan kepercayaan terhadap pemujaan nenek moyang dan tidak mempunyai nabi dan kitab suci (Rosidi, 1981:80). Hitoshi membagi agama menjadi tiga kategori yaitu, mikaishukyo, minzokushukyo dan sekaishukyo. Agama Shinto disebut sebagai agama tradisional atau dentotekishukyo dan agama Budha disebut sebagai agama yang datang dari luar Jepang atau gairaisyukyo. Kebanyakan masyarakat Jepang memeluk agama Budha atau Shinto. Tetapi orang-orang muda lebih cenderung untuk mengatakan, bahwa sebenarnya mereka tidak memeluk suatu agama pun. Bagi mereka agama hanya sebagai ikatan-ikatan yang hanya menjadi beban belaka, karena banyak hal dalam agama yang mereka peluk baik Budha maupun Shinto tidak memuaskan logika mereka yang kritis. 2.2 Konsep Shinto Dalam Tanaka (1990:294-295) ada pengertian Shinto seperti berikut ini: 一般に「神道」と言った場合、日本民族などの固有の神、神霊に基づい て発生し、展開してきた宗教の総称」であるとされているが、神や神霊 についての信念や伝統的な祭祀ばかりでなく、広く生活習俗や伝承され ている考え方などもその中に含まれる。 6 Secara umumnya Shinto adalah sebuah kata yang dipakai untuk mewakili kepercayaan tradisional orang Jepang yang berbasis kepercayaan terhadap dewa dan roh. Dan bukan hanya itu saja, secara luas ajaran Shinto juga menjadi pedoman bagi orang Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Shinto adalah agama resmi Jepang dari masa Restorasi Meji hingga akhir Perang Dunia II. Agama Shinto melibatkan penyembahan kami, yang bisa diterjemahkan sebagai dewa, roh alam, atau sekedar kehadiran spiritual. Sebagian kami berasal dari daerah setempat dan bisa dianggap sebagai roh yang mewakili daerah tersebut, namun kami lainnya mewakili benda-benda dan proses alami utama, misalnya Amaterasu, sang Dewi Matahari. Shinto terdiri dari dua huruf kanji yaitu 神(shin) yang artinya dewa (bisa juga dibaca kami) dan 道(tou) yang artinya jalan. Jadi Shinto diartikan jalan dewa. (http://en.wikipedia.org/wiki/Shinto) Shinto merupakan suatu kepercayaan yang sudah ada di Jepang sejak dahulu. Dahulu Kepercayaan ini tidak mempunyai nama, setelah agama Buddha masuk sekitar 500 dan 600 tahun yang lalu kepercayaan ini disebut Shinto oleh pemeluk agama Buddha. Dalam tulisan Cina Shinto terdiri dari dua huruf kanji yaitu 神(shen) yang berarti dewa dan 道 (tao) yang berarti jalan, jadi Shinto diartikan jalan dewa. (http://environment.harvard.edu/religion/religion/shinto/ ). Agama Shinto adalah agama asli Jepang yang berakar pada kepercayaan aninisme orang Jepang kuno. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa-dewa rumah tangga dan dewa-dewa pelindung 7 setempat. Pahlawan dan pemimpin-pemimpin masyarakat terkemuka yang telah wafat didewakan dari generasi ke generasi dan arwah nenek moyang keluarga juga disembah. Menurut Robinson (2002) masyarakat Jepang kebanyakan menganut dua kepercayaan yaitu Shinto dan Buddha. Agama Buddha pertama kali diperkenalkan di Jepang oleh orang Korea dan Cina sekitar abad ke-7 masehi. Kedua kepercayaan tersebut mempunyai dasar kepercayaan yang sama tentang makhluk hidup dan dunia. Shinto mempunyai tuhan yang berbeda yang disebut Kami. Sedangkan keberadaan agama Buddha di Jepang itu sendiri selalu memiliki anggapan bahwa Buddha selalu dimanifestasikan oleh bermacam-macam dewa Shinto dan Bodhisatvas. ( http://allaboutsikh.com/religion/shinto.html ). Pada zaman Heian (794 – 1185) terjadi percampuran Buddha dan Shinto, ada yang mengatakan bahwa dewa Shinto merupakan reinkanasi dari dewa Buddha ( Fenollosa,2000). Menurut Matsubara, et al. dalam Hamzah (5:2002)dengan masuknya Buddha ke Jepang terjadilah asimilasi kebudayaan Buddha pada saat reformasi Taika (645) yang dikenal dengan periode Asuka. Jepang menerima pengaruh teknik pahatan Korea yang dipelajari dari Cina serta meneliti sutra-sutra Buddha terjemahan dari bahasa Cina. Selain kebudayaaan Cina dan Korea yang mempengaruhi Jepang mengandung unsur – unsur India juga mengandung unsur – unsur budaya yang datang dari negara – Negara bagian barat. Dengan demikian kebudayaan Asuka dapat dikatakan sebagai warisan budaya orient timur. Littleton (2002), mengungkapkan bahwa Shinto adalah kepercayaan asli orang Jepang. Inti ajarannya adalah untuk memuja kami, yang bisa juga diterjemahkan sebagai 8 dewa atau roh alam. Shinto terdiri dari dua buah huruf Cina (神道, “shen tao”) yang berarti dewa dan jalan. Bila digabung, Shinto mempunyai arti, “ Jalan Dewa”. Shinto bisa dilihat sebagai bentuk kepercayan animisme yang menjadi kepercayaan utama orang Jepang. Tetapi di lain pihak, kepercayaan dan cara berpikir Shinto juga telah tertanam di dalam struktur masyarakat Jepang modern. Shinto tidak memiliki ajaran yang mengikat, tidak memiliki tempat yang paling suci untuk para pemuja, tidak ada orang atau dewa yang dianggap paling suci, dan bahkan tidak mempunyai ketetapan doa. Shinto adalah sekumpulan ritual dan metode yang bermaksud untuk membatasi hubungan antara manusia dan dewa. Dalam agama Shinto tidak terdapat alkitab namun mempunyai Kojiki dan Nihon shoki. Kojiki adalah catatan kuno tentang Shinto dan Nihon shoki merupakan cerita tentang sejarah Jepang. Dalam kojiki diceritakan tentang Izanagi dan Izanami yang menciptakan pulau Jepang dan para dewa Shinto. Dewa-dewa Shinto diciptakan pada saat Izanagi mensucikan dirinya di dataran Ahagi di Tachibana. Pada saat Izanagi membersihkan mata kirinya maka lahirlah dewi Amaterasu Omi Kami, pada saat membersihkan mata kanannya maka lahirlah Tsukiyomi No Mikoto dan pada saat membersihkan hidungnya maka lahirlah Susano O Mikoto (Jorgenson dan Opsteen, 2003). Sokichi dalam Toshio (1993:10) membagi pengertian kata Shinto menjadi enam bagian: 1. Kepercayaan yang terbentuk dari adat-istiadat asli orang Jepang, termasuk juga di dalamnya kepercayaan terhadap takhyul. 2. Wewenang, kekuatan, kegiatan atau perbuatan dewa, status dewa, menjadi dewa atau dewa itu sendiri. 3. Konsep dan ajaran mengenai dewa. 9 4. Ajaran yang disebarkan oleh kuil-kuil tertentu 5. Jalan Dewa sebagai norma politik dan moral 6. Sekte Shinto seperti yang ditemukan di agama baru. Dalam Shinto ada upacara untuk membersihkan diri dari roh-roh yang jahat. Upacara tersebut terdiri dari harai (pengusiran roh jahat), misogi (pembersihan diri) dan imi (pantangan). Harai biasanya dilakukan oleh pendeta, misogi dilakukan dengan air atau garam, sedangkan imi biasa dilakukan oleh para pendeta sebagai usaha untuk menghindarkan kekotoran diantaranya dengan cara berpantang. (Rosidi, 1981:83) Berikut ini adalah pengertian harai, misogi, dan imi menurut buku Andrew,A,at al. (1996:149, 151 & 223): 1. harai atau disebut juga harae adalah istilah umum yang dipakai oleh upacara pembersihan Shinto. Fungsi dasar harai adalah upacara pembersihan untuk mempersiapkan peserta upacara sebelum bertemu dengan Dewa. Dalam harai juga terdapat ritual penebusan dan hukuman bagi pelanggaran terhadap sesuatu yang suci atau keramat. 2. misogi adalah ritual pembersihan Shinto. Arti dari kata misogi sendiri adalah ritual pembersihan tubuh dengan menggunakan air untuk menghilangkan segala kekotoran baik secara fisik maupun spiritual. 3. imi adalah ritual untuk menjauhi segala benda, orang, tempat, waktu, kegiatan, atau kata yang dianggap keramat. Konsep imi bisa dikatakan berhubungan erat dengan suatu gagasan ketidaksucian (kegare) Salah satu contohnya adalah pantangan tradisional yang meliputi kelahiran, menstruasi, dan kematian. Ada juga imikotoba yang merupakan sebuah pantangan dalam 10 kata dan ekspresi. Selain imikotoba ada juga pantangan terhadap angka (imikazu). 2.2.1 Benda-benda yang dianggap Suci Bagi Shinto Dalam ajaran Shinto terdapat benda-benda yang dianggap suci seperti pedang, kaca dan mutiara. Tiga benda ini merupakan benda yang sangat penting bagi umat Shinto. Selain tiga benda tersebut masih ada benda-benda suci lainnya seperti mikoshi, tali, dan lentera. Mikoshi adalah kuil kecil yang dapat diangkat dengan bergotong royong, dalam Shinto mikoshi sering digunakan dalam acara matsuri, untuk memindahkan dewa dari Jinja ke tempat istirahatan sementara. Tali dalam kepercayaan Shinto dapat digunakan untuk mengusir roh jahat sebagaimana menurut Yamada (1995). Sedangkan lentera dalam ritual Shinto biasanya digunakan untuk petunjuk jalan untuk para dewa dan roh. Dipercaya juga lentra sebagai tempat tiggalnya roh. 2.3 Matsuri Matsuri merupakan upacara kepercayaan masyarakat Jepang atau disebut Minkanshinko. Hori dalam Lawanda (2004 ) berpendapat bahwa unsur yang dimiliki Minkanshinko, yaitu pemujaan terhadap leluhur yang berkaitan dengan system Ie. Minkanshinko adalah kepercayaan akan keberlangsungan hubungan antara manusia dan dewa serta pendewaan makhluk hidup, penekanan pada ko (pengabdian), on (hutang budi) dan hoon (pengembalian hutang budi), saling meminjam dan mencampurkan 11 tradisi keagamaan yang berbeda, dan keyakinan terhadap roh orang yang mati berkaitan dengan pemujaan leluhur. Greetz dalam Lawanda (1992:32) dalam Kebudayaan dan Agama mengatakan bahwa yang dimaksud Matsuri adalah sebagai berikut: Matsuri merupakan upacara yang dilakukan berangkat dari kenyataan logis dengan memanfaatkan wahyu-wahyu yang bertentangan dengan yang sekuler dan diilhami oleh kompleks simbol-simbol khusus dari metafisika yang dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan dengan otoritas persuasive. Matsuri mengandung dua makna、makna yang pertama yaitu untuk mendoakan arwah para leluhur yang telah meninggal dunia dengan melakukan berbagai persembahan atau upacara, dan makna kedua mengacu pada suatu perayaan oleh kelompok masyarakat yang bertujuan untuk memperingati atau merayakan rasa syukur pada dewa atas dilimpahkannya kemakmuran dan keselamatan. Tanaka (1990:104), menjelaskan matsuri adalah sebagai berikut もともと日本の祭りは、農耕儀礼に由来する農村の春の豊作祈 願祭や 秋の収穫祭が中心で、その後これに、悪霊、病気を払うための都市の夏 祭りが加わった。いずれも神々をもてなして、祭りの担い手である、そ の土地の居住者の繁栄と約束をお願うものだったが、江戸時代以降、し だいに形骸化し、祭りは日々のくらしに区切りをつけるー種のレクリエ ーションとなった。 Perayaaan di Jepang awalnya dipusatkan pada ritual agraris seperti berdoa pada musim semi untuk hasil panen yang berlimpah dan pada musim gugur merayakan hasil panen, lalu setelah itu perayaan musim panas di kota bertambah untuk mengusir roh jahat dan penyakit. Semua perayaan ini diperuntukan untuk mententramkan dewa dan menjamin masyarakat untuk 12 melanjutkan solidaritas dan kemakmuran, dan ini tidak sampai pada jaman Edo perayaan ini mulai menjadi popular semacam hiburan sehari-hari dalam hidup. Penjelasan lain tentang Matsuri adalah sebagai berikut. 祭りは、マツラフと同じ語源の言葉で、元来、尊い方の前に侍座し奉仕 することを意味した、とされている。 そして、祭りの本質は、神霊を 迎えて鄭重に飲食をすすめ、その同じ食物を末座にあってお相伴するこ とによって、神人合―の境地に達する点にあったであろう Naoe(1980:13). Pada umumnya matsuri bahasa asal katanya sama dengan matsurafu, artinya mengabdikan diri dihadapan leluhur di depan tempat duduk samurai. Lalu, intisari dari matsuri adalah menjemput roh atau tuhan dan dengan sopan menawarkan makan minum, dengan makanan yang sama tersebut berada di tempat duduk paling bawah, dewa dan manusia bersama ikut sertaan. Dalam Nihon no matsuri to nenchugyoji (1980:418-419) menjelaskan matsuri adalah sebagai berikut. 信仰の対象たる神、もしくは霊魂と人との交渉の事実を貝体的に 表現する儀礼。 Upacara yang menyatakan secara konkrit peirtiwa pembicaraan antara manusia dengan roh atau dewa yang menjadi objek kepercayaannya. 2.4 Gion Matsuri Gion Matsuri dilaksanakan pada tahun 869 oleh Raja Seiwa. Karena waktu itu Jepang sedang terkena wabah penyakit. Maka Raja Seiwa mengirim pesan khusus ke Yasaka Jinja untuk mendoakan agar wabah penyakit cepat berakhir. Rencananya adalah menenangkan kemarahan Susano O Mikoto saudara dari dewa matahari Amaterasu. Ia 13 memerintahkan membangun 66 tombak untuk mewakili 66 propinsi Jepang yang dipersembahkan untuk raja Gozu nama lain dari Susano O Mikoto atau dewa Shinto (juga disebut Gion). Pembangunan ini harus selesai pada hari ke-17 bulan 60 kalender bulan. (http://www.wilsonsalmanac.blogspot.com/2003_07_13_wilsonsalmanac_archive.html) Festival ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juli sampai 31 Juli. Pada tanggal 16 Juli di halaman Yasaka Jinja diadakan acara tarian tradisional atau dengaku, dan pada sore harinya masih di halaman Yasaka Jinja diadakan sagi mai yaitu tarian bangau putih. Bangau jantan dan betina menari untuk menghormati keagungan dewa dan Jinja. Puncak dari festival ini pada tanggal 17 dengan mengadakan parade di jalan utama kota dengan membawa yama boko yang dibuat oleh masyarakat yang tinggal di Yamaboko cho. dekorasi dari yama boko terdapat pohon cedar, kenboko dan patung. Yama boko ini terbuat dari kayu dan disatukan dengan menggunakan tali tidak menggunakan paku. Ada dua macam yama boko yaitu yama dan boko. Yama ada 23 macam dan boko ada 9 macam, yama mempunyai berat 1,2 ton-1,6 ton biasanya membutuhkan 16-24 orang untuk mendorongnya. Boko mempunyai berat 4,8 sampai 12 ton dan tingginya kira-kira 24 meter dan mempunyai roda yang berdiameter 3 meter biasanya membutuhkan 40 sampai 50 orang untuk mendorongnya. Biasanya yang mendorong dan mengangkat yamaboko laki – laki yang usianya 18 sampai 40 tahun. Yama boko mempunyai perbedaan pada atapnya yaitu pada atap yama pohon cedar, sedangkan pada boko terdapat kenboko, kenboko adalah semacam pedang. Yama boko dibuat sebagai tempat duduk dewa yang di abadikan. 14 Gambar 2.1 Urade yama Gambar 2.2 Kikusui boko Gion matsuri dahulu disebut Gion onryoue, (Takahashi, 1978:33). Dalam buku Eigo De Hanasu Nihon No Kokoro (1996:174) menjelaskan arti onryou atau goryou yaitu 地位や影響力のある人で、不自然な、あるいは非業の死を遂げた人の、 恨みのこもった魂。死者の魂は生者に影響を与えると信じられ、とくに、 尋常ない人生を生きたり、不自然な死を遂げた人は、たたりをおこさぬ よう、畏怖し、鎮められならないと考えられた。仏僧や修道者は、その よな御霊を鎮める宗教儀式行ったが、御霊は、その復讐を防ぐために神 に祀り上げられることさえあった。奈良時代後期に盛んになった御霊信 仰は、平安時代の朝廷内の陰謀で大きな役割を果たした。中世の武士も 15 また、殺した敵の魂を鎮めようとした。御霊祭は夏に行われ (祇園)、 伝統的な氏神は春と秋に行われる。 Roh jahat seseorang yang kotor atau pengaruh akibat kematian yang tidak normal atau dalam keadaan marah atau dendam. Roh orang mati dipercaya bisa memberi pengaruh pada makhluk, khususnya roh yang hidupnya luarbiasa hidup atau mati biasanya kematian yang ditakuti dan mendamaikan karena kekuatan tersebut merugikan biksu dan orang betapa mendesak untuk taat kepada agama di atas seperti roh yang menaruh dendam, yang kadang-kadang mendewakan untuk menghindari kemurkaan. Kebudayaan goryou, menarik perhatian di akhir zaman Nara, memainkan peraturan penting dalam pengadilan dalam periode Heian, ksatria feudal juga mencoba untuk menenangkan roh musuh. Festival Gion ini untuk mendewakan roh biasanya bertepatan pada musim panas ketika tradisi dewa diamati dalam musim semi dan musim gugur. 16