sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 25–32 Iklim Suhu Angin Es mencair + Nutrient DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERIKANAN Aliran sungai - Stabilitas Kolom Air P recipitation + + Oleh + - Upwelling + + Formasi “Front” Augy Syahailatua1) ABSTRACT (lapisan efotik) - Volume Pelajik Produk ice-algal + + - IMPACT OF CLIMATE CHANGE ON FISHERY. Global climate change (GCC) is an important issue attracted all people over the world to pay attention for its impacts on earth systems and human life. The impact on fishery is only an example of numerous natural resources related to human food consumption and activities. The fishery sustainability depends on several natural and anthropogenic aspects, however the GCC may become an essential driving force to other key factors. This article reviews broadly on how the GCC could affect fish life and fishing industries in the future. Produksi Phytoplankton + Produksi Zooplankton + + Kualitas habitat + Kelimpahan jenis Gambar 2. Kehidupan biota akuatik sangat terkait dengan proses perubahan ekologi yang diakibatkan oleh perubahan iklim (ROESSIG et al., 2004). Dampak perubahan iklim terhadap perikanan merupakan salah satu dari sekian banyak dampak yang berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan manusia. Perubahan iklim dengan kenaikan suhu yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan naiknya paras laut yang secara langsung akan mengurangi luas kawasan pesisir. Tulisan ini akan membahas bagaimana dampak perubahan iklim global pada kehidupan ikan dan industri perikanan. Bahasan tersebut mencakup perubahan iklim dengan kenaikan suhu air laut, kondisi global perikanan tangkap yang pada daerah tertentu ada yang meningkat, tetapi ada yang menurun, dan fenomena perubahan iklim terhadap perikanan yang masih dikaitkan dengan kondisi tangkap lebih. PENDAHULUAN KONDISI GLOBAL PERIKANAN TANGKAP Hindia bagian timur dan Samudera Pasifik bagian tengah, juga di daerah barat laut dari Atlantik dan Pasifik mengalami peningkatan produksi perikanan tangkap dalam beberapa tahun terakhir (FAO FISHERIES AND AQUACULTURE, 2007). Sebaliknya, pada lokasi penangkapan ikan di Samudera Atlantik bagian timur laut, hasil tangkapan menurun, bahkan kurang dari 10 juta ton. Kejadian ini terjadi pertama kali sejak tahun 1991. Demikian juga, di bagian tenggara Samudera Atlantik, produksi Illex argentinus (Argentine shortfin squid) mengalami penurunan menyolok lebih rendah dari 200.000 ton pada tahun 2004, namun meningkat kembali menjadi 300.000 ton pada tahun 2005. Di Laut Mediterania dan Laut Hitam, produksi perikanan relatif stabil. Perikanan tangkap di perairan umum, terutama 90% aktifitasnya dilakukan di Afrika dan Asia, produksinya cenderung meningkat Kecenderungan global dari perikanan memberikan harapan yang kurang menggembirakan. Sampai tahun 2004, total hasil tangkapan perikanan mencapai 95 juta ton dengan perkiraan nilai jual sebesar US$ 84,9 milyar (FAO FISHERIES AND AQUACULTURE, 2007). Cina, Peru dan Amerika Serikat merupakan negara utama produsen perikanan. Selama 1 dekade terakhir, produksi perikanan relatif stabil, kecuali ada sedikit fluktuasi pada perikanan teri di Peru akibat dari El-Nino. Variasi dalam produksi perikanan menurut jenis ikan juga menunjukkan kondisi relatif tidak bervariasi selama 10 tahun terakhir. Untuk periode yang panjang, kecenderungan meningkatnya produksi perikanan tangkap terdeteksi di Samudera ISSN 0216–1877 Akhir-akhir ini, perubahan iklim global (Global Climate Change) merupakan issue yang cukup menita perhatian masyarakat dunia. Hal ini terutama dampak yang ditimbulkannya pada kehidupan manusia. Dampak terhadap perikanan merupakan salah satu contoh dari sumberdaya hayati yang berkaitan dengan konsumsi makanan dan aktivitas manusia. El Nino/Southern Oscillation (ENSO) yang dikenal dengan istilah El Nino adalah salah satu fenomena interaksi global laut dengan atmosfir yang berakibat adanya fluktuasi suhu permukaan air laut Kondisi akibat El Nino dengan kenaikan paras laut mengakibatkan menurunnya produksi primer di laut. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap usaha perikanan. 1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. 28 25 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PERUBAHAN IKLIM Naiknya suhu udara akan berdampak pada meningkatnya suhu air, dan secara tidak langsung menambah volume air di samudera, yang berimplikasi pada semakin tinggi paras laut (sea level). Dalam 10 tahun terakhir, paras laut meningkat setinggi 0,1-0,3 m, sedangkan lewat model prediksi diperkirakan ada perubahan paras laut antara 0,3-0,5 m, dan kemungkinan menutupi area seluas 1 juta km2 (ROESSIG et al., 2004). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka hutan mangrove, estuari dan daerah rawa yang terdapat di kawasan pesisir akan semakin berkurang luasnya, sehingga tingkat produktifitas perairan juga semakin menurun. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi kehidupan biota laut yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir. Perubahan iklim dan naiknya paras laut akan juga mempengaruhi formasi tekanan udara di atmosfer dan juga pola sirkulasi global air laut. Seperti di belahan bumi utara dikenal dengan North Atlantic Deep Water Dampak perubahan iklim yang diakibatkan meningkatnya suhu udara di bumi tentu cukup menguatirkan bagi kehidupan manusia. Selama 50 tahun terakhir, suhu atmosfir bumi dan konsentrasi CO2 terus meningkat, yang secara langsung kondisi ini juga menaikkan suhu bumi termasuk komponen akuatik, yaitu sungai, danau dan laut (Gambar 1). Dampak naiknya suhu air laut memberikan pengaruh yang sangat kompleks terhadap berbagai aspek kelautan termasuk perikanan. Dampak tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, yang efeknya muncul dalam variasi waktu yang berbeda. Kadang-kadang dampaknya tidak terdeteksi pada awal perubahan, dan baru disadari setelah ada pihakpihak yang merasa dirugikan. Terkait permasalahan perikanan, riset menjadi ujung tombak untuk mengungkap semua gejala perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkan. Gambar 1. Fluktuasi dan kecenderungan meningkatnya suhu atmosfer bumi selama 173 tahun, dan tendensi kenaikkan konsentrasi CO2 (garis putus berasal dari “ice core”, sedangkan data 1957-1995 adalah pengukuran di Mauna Loa, Hawai) (TRENBERTH, 1997.) 26 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 (NADW). Sedangkan di Samudera Pasifik, meningkatnya stratifikasi air laut akan meningkatkan frekuensi kejadian El Niño / Southern Oscillation (ENSO) dan variasi iklim menjadi lebih ekstrim (ROESSIG et al., 2004). ENSO atau lebih dikenal dengan istilah El Niño, didefinisikan sebagai fenomena interaksi global laut – atmosfir. Akibat dari fenomena ini yaitu adanya fluktuasi suhu permukaan air laut di daerah tropis Samudera Pasifik bagian timur, sehingga fenomena ini juga memberikan dampak yang nyata pada iklim di belahan selatan bumi. Dampak dari El Nino pertama kali diungkapkan pada tahun 1923 oleh Sir Gilbert Thomas Walker, sehingga fenomena terpenting dari ENSO di Samudera Pasifik dinamakan sirkulasi Walker. Kejadian ENSO sebagai pemicu variasi cuaca dan iklim di bumi muncul dengan interval 3-8 tahun. Walaupun ENSO tidak mempengaruhi keseluruhan area di bumi, namun ENSO dapat berpengaruh di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia dengan perubahan distribusi curah hujan, sehingga di beberapa tempat akan terjadi kekeringan (ANONIMOS, 2008a) ENSO mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat dan lapisan termoklin menipis. Kondisi ini jika disertai dengan kenaikan paras laut, akan mengakibatkan menurunnya produksi primer di laut. Sirkulasi termoklin berhubungan dengan siklus karbon dan ventilasi laut dalam, sehingga perubahan lapisan termoklin dapat mengganggu siklus karbon dan proses biogeokimia dari sistem ini. Terganggunya siklus karbon berdampak pada menurunnya fungsi laut sebagai salah satu komponen penyerap karbon. Banyak studi memperkirakan CO2 yang diserap oleh lautan akan berkurang 4-28% selama abad 21, sedangkan pada abad ke 20, tingkat penyerapan berkurang 8-10% akibat dari naiknya suhu permukaan. Keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain sangat jelas dipengaruhi oleh perubahan iklim. North Atlantic Deep Water (NADW) merupakan masa air yang dibentuk di Samudera Atlantik bagian utara, tepatnya di Laut Labrador dan Laut Greendland, yaitu dengan tenggelamnya masa air dengan salinitas tinggi. Masa air ini kemudian mengalir dari Laut Greenland dan terdeteksi di bagian ujung selatan Greenland, kemudian pada kedalaman 2000-4000 m sepanjang pantai Kanada dan Amerika Serikat dimana masa air ini berbelok agak ke timur. Selanjutnya, NADW mengarah ke tenggara, melewati ujung timur dari Amerika Selatan, dan melintasi Samudera Atlantik bagian selatan. NADW terdeteksi berada di Samudera Selatan (The Southern Ocean) dan di bagian ujung selatan Afrika, dimana masa airnya bercampur dengan masa air jeluk dari Kutub (ANONIMOUS, 2008b). Industri perikanan merupakan salah satu komponen penting yang terkait dengan perubahan iklim global. Secara umum, perikanan dapat dikategorikan dalam perikanan rakyat, perikanan komersil dan perikanan rekreasi. Ketiga jenis kategori ini dapat berdampak negatif atau positif ditinjau dari aspek stok perikanan akibat perubahan iklim. Pada akhirnya kondisi ini akan sangat merubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Apabila perubahan terjadi pada stok perikanan (ikan, udang, dll.), maka dikuatirkan sumber protein dari laut akan semakin berkurang, dan ini akan sangat berpengaruhi pada situasi ketahanan pangan nasional, terutama untuk pemenuhan gizi masyarakat. Begitu kompleksnya keterkaitan antara perubahan iklim dan kehidupan biota akuatik, termasuk fauna ikan dan perikanan, maka secara konseptual, dampak bagi biota akuatik dapat diilustrasikan pada diagram alur di bawah ini (Gambar 2). 27 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PERUBAHAN IKLIM Naiknya suhu udara akan berdampak pada meningkatnya suhu air, dan secara tidak langsung menambah volume air di samudera, yang berimplikasi pada semakin tinggi paras laut (sea level). Dalam 10 tahun terakhir, paras laut meningkat setinggi 0,1-0,3 m, sedangkan lewat model prediksi diperkirakan ada perubahan paras laut antara 0,3-0,5 m, dan kemungkinan menutupi area seluas 1 juta km2 (ROESSIG et al., 2004). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka hutan mangrove, estuari dan daerah rawa yang terdapat di kawasan pesisir akan semakin berkurang luasnya, sehingga tingkat produktifitas perairan juga semakin menurun. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi kehidupan biota laut yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir. Perubahan iklim dan naiknya paras laut akan juga mempengaruhi formasi tekanan udara di atmosfer dan juga pola sirkulasi global air laut. Seperti di belahan bumi utara dikenal dengan North Atlantic Deep Water Dampak perubahan iklim yang diakibatkan meningkatnya suhu udara di bumi tentu cukup menguatirkan bagi kehidupan manusia. Selama 50 tahun terakhir, suhu atmosfir bumi dan konsentrasi CO2 terus meningkat, yang secara langsung kondisi ini juga menaikkan suhu bumi termasuk komponen akuatik, yaitu sungai, danau dan laut (Gambar 1). Dampak naiknya suhu air laut memberikan pengaruh yang sangat kompleks terhadap berbagai aspek kelautan termasuk perikanan. Dampak tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, yang efeknya muncul dalam variasi waktu yang berbeda. Kadang-kadang dampaknya tidak terdeteksi pada awal perubahan, dan baru disadari setelah ada pihakpihak yang merasa dirugikan. Terkait permasalahan perikanan, riset menjadi ujung tombak untuk mengungkap semua gejala perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkan. Gambar 1. Fluktuasi dan kecenderungan meningkatnya suhu atmosfer bumi selama 173 tahun, dan tendensi kenaikkan konsentrasi CO2 (garis putus berasal dari “ice core”, sedangkan data 1957-1995 adalah pengukuran di Mauna Loa, Hawai) (TRENBERTH, 1997.) (NADW). Sedangkan di Samudera Pasifik, meningkatnya stratifikasi air laut akan meningkatkan frekuensi kejadian El Niño / Southern Oscillation (ENSO) dan variasi iklim menjadi lebih ekstrim (ROESSIG et al., 2004). ENSO atau lebih dikenal dengan istilah El Niño, didefinisikan sebagai fenomena interaksi global laut – atmosfir. Akibat dari fenomena ini yaitu adanya fluktuasi suhu permukaan air laut di daerah tropis Samudera Pasifik bagian timur, sehingga fenomena ini juga memberikan dampak yang nyata pada iklim di belahan selatan bumi. Dampak dari El Nino pertama kali diungkapkan pada tahun 1923 oleh Sir Gilbert Thomas Walker, sehingga fenomena terpenting dari ENSO di Samudera Pasifik dinamakan sirkulasi Walker. Kejadian ENSO sebagai pemicu variasi cuaca dan iklim di bumi muncul dengan interval 3-8 tahun. Walaupun ENSO tidak mempengaruhi keseluruhan area di bumi, namun ENSO dapat berpengaruh di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia dengan perubahan distribusi curah hujan, sehingga di beberapa tempat akan terjadi kekeringan (ANONIMOS, 2008a) ENSO mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat dan lapisan termoklin menipis. Kondisi ini jika disertai dengan kenaikan paras laut, akan mengakibatkan menurunnya produksi primer di laut. Sirkulasi termoklin berhubungan dengan siklus karbon dan ventilasi laut dalam, sehingga perubahan lapisan termoklin dapat mengganggu siklus karbon dan proses biogeokimia dari sistem ini. Terganggunya siklus karbon berdampak pada menurunnya fungsi laut sebagai salah satu komponen penyerap karbon. Banyak studi memperkirakan CO2 yang diserap oleh lautan akan berkurang 4-28% selama abad 21, sedangkan pada abad ke 20, tingkat penyerapan berkurang 8-10% akibat dari naiknya suhu permukaan. Keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain sangat jelas dipengaruhi oleh perubahan iklim. North Atlantic Deep Water (NADW) merupakan masa air yang dibentuk di Samudera Atlantik bagian utara, tepatnya di Laut Labrador dan Laut Greendland, yaitu dengan tenggelamnya masa air dengan salinitas tinggi. Masa air ini kemudian mengalir dari Laut Greenland dan terdeteksi di bagian ujung selatan Greenland, kemudian pada kedalaman 2000-4000 m sepanjang pantai Kanada dan Amerika Serikat dimana masa air ini berbelok agak ke timur. Selanjutnya, NADW mengarah ke tenggara, melewati ujung timur dari Amerika Selatan, dan melintasi Samudera Atlantik bagian selatan. NADW terdeteksi berada di Samudera Selatan (The Southern Ocean) dan di bagian ujung selatan Afrika, dimana masa airnya bercampur dengan masa air jeluk dari Kutub (ANONIMOUS, 2008b). Industri perikanan merupakan salah satu komponen penting yang terkait dengan perubahan iklim global. Secara umum, perikanan dapat dikategorikan dalam perikanan rakyat, perikanan komersil dan perikanan rekreasi. Ketiga jenis kategori ini dapat berdampak negatif atau positif ditinjau dari aspek stok perikanan akibat perubahan iklim. Pada akhirnya kondisi ini akan sangat merubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Apabila perubahan terjadi pada stok perikanan (ikan, udang, dll.), maka dikuatirkan sumber protein dari laut akan semakin berkurang, dan ini akan sangat berpengaruhi pada situasi ketahanan pangan nasional, terutama untuk pemenuhan gizi masyarakat. Begitu kompleksnya keterkaitan antara perubahan iklim dan kehidupan biota akuatik, termasuk fauna ikan dan perikanan, maka secara konseptual, dampak bagi biota akuatik dapat diilustrasikan pada diagram alur di bawah ini (Gambar 2). 27 26 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 25–32 Iklim Suhu Angin Es mencair + Nutrient DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERIKANAN Aliran sungai - Stabilitas Kolom Air P recipitation + + Oleh + - Upwelling + + Formasi “Front” Augy Syahailatua1) ABSTRACT (lapisan efotik) - Volume Pelajik Produk ice-algal + + - IMPACT OF CLIMATE CHANGE ON FISHERY. Global climate change (GCC) is an important issue attracted all people over the world to pay attention for its impacts on earth systems and human life. The impact on fishery is only an example of numerous natural resources related to human food consumption and activities. The fishery sustainability depends on several natural and anthropogenic aspects, however the GCC may become an essential driving force to other key factors. This article reviews broadly on how the GCC could affect fish life and fishing industries in the future. Produksi Phytoplankton + Produksi Zooplankton + + Kualitas habitat + Kelimpahan jenis Gambar 2. Kehidupan biota akuatik sangat terkait dengan proses perubahan ekologi yang diakibatkan oleh perubahan iklim (ROESSIG et al., 2004). Dampak perubahan iklim terhadap perikanan merupakan salah satu dari sekian banyak dampak yang berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan manusia. Perubahan iklim dengan kenaikan suhu yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan naiknya paras laut yang secara langsung akan mengurangi luas kawasan pesisir. Tulisan ini akan membahas bagaimana dampak perubahan iklim global pada kehidupan ikan dan industri perikanan. Bahasan tersebut mencakup perubahan iklim dengan kenaikan suhu air laut, kondisi global perikanan tangkap yang pada daerah tertentu ada yang meningkat, tetapi ada yang menurun, dan fenomena perubahan iklim terhadap perikanan yang masih dikaitkan dengan kondisi tangkap lebih. PENDAHULUAN KONDISI GLOBAL PERIKANAN TANGKAP Hindia bagian timur dan Samudera Pasifik bagian tengah, juga di daerah barat laut dari Atlantik dan Pasifik mengalami peningkatan produksi perikanan tangkap dalam beberapa tahun terakhir (FAO FISHERIES AND AQUACULTURE, 2007). Sebaliknya, pada lokasi penangkapan ikan di Samudera Atlantik bagian timur laut, hasil tangkapan menurun, bahkan kurang dari 10 juta ton. Kejadian ini terjadi pertama kali sejak tahun 1991. Demikian juga, di bagian tenggara Samudera Atlantik, produksi Illex argentinus (Argentine shortfin squid) mengalami penurunan menyolok lebih rendah dari 200.000 ton pada tahun 2004, namun meningkat kembali menjadi 300.000 ton pada tahun 2005. Di Laut Mediterania dan Laut Hitam, produksi perikanan relatif stabil. Perikanan tangkap di perairan umum, terutama 90% aktifitasnya dilakukan di Afrika dan Asia, produksinya cenderung meningkat Kecenderungan global dari perikanan memberikan harapan yang kurang menggembirakan. Sampai tahun 2004, total hasil tangkapan perikanan mencapai 95 juta ton dengan perkiraan nilai jual sebesar US$ 84,9 milyar (FAO FISHERIES AND AQUACULTURE, 2007). Cina, Peru dan Amerika Serikat merupakan negara utama produsen perikanan. Selama 1 dekade terakhir, produksi perikanan relatif stabil, kecuali ada sedikit fluktuasi pada perikanan teri di Peru akibat dari El-Nino. Variasi dalam produksi perikanan menurut jenis ikan juga menunjukkan kondisi relatif tidak bervariasi selama 10 tahun terakhir. Untuk periode yang panjang, kecenderungan meningkatnya produksi perikanan tangkap terdeteksi di Samudera 28 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 ISSN 0216–1877 Akhir-akhir ini, perubahan iklim global (Global Climate Change) merupakan issue yang cukup menita perhatian masyarakat dunia. Hal ini terutama dampak yang ditimbulkannya pada kehidupan manusia. Dampak terhadap perikanan merupakan salah satu contoh dari sumberdaya hayati yang berkaitan dengan konsumsi makanan dan aktivitas manusia. El Nino/Southern Oscillation (ENSO) yang dikenal dengan istilah El Nino adalah salah satu fenomena interaksi global laut dengan atmosfir yang berakibat adanya fluktuasi suhu permukaan air laut Kondisi akibat El Nino dengan kenaikan paras laut mengakibatkan menurunnya produksi primer di laut. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap usaha perikanan. 1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. 25 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id SETYONO, D.E.D. 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang (Panulirus spp.). Oseana 31 (4): 39-48. MOOSA, M.K. dan I. ASWANDY 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Ikan. Lembaga Oceanologi Nasional, LIPI, Jakarta: 23 hal. SUBANI, W. dan H.R. BARUS 2007. Teknologi Penangkapan Udang. Tekno Alat Tangkap. Teknologi-http://www. dkp.go.id/ (Tanggal Akses 28 Feruari 2008). PAULA, D. 1998. National Institute of Oceanography Images. Bioinformatic Centre India. Goa. http:// www.india_ocean.org. Tanggal akses 28 Februari 2008. SUMIONO, B. 1998. Sumberdaya Udang Peneid dan Krustasea Lainnya: Kumpulan Makalah Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta: 14 hal. PUTRI, R.M. 2005. Sistem Informasi Udang (Crustacea, Malacostraca, Decapoda) di Perairan Indonesia. Teknologi Informasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor: 71 hal. SUYANTO, S.R. dan A. MUDJIMAN 1999. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta: 125 hal. TAKEDA, M.K.; D.L. RAHAYU and I. ASWANDY 2000. Prawns and Crabs. In: Field Guide to Lombok Island. ( K. Matsura, O.K. Sumadhiharga and K.Tsukamoto, eds). Ocean Research Institute. University of Tokyo. Tokyo: 54-96. POERNOMO, A. 1968. Studies on the Larva of Commercial Prawns and the Possibility of their Culture in Indonesia. Research Institute for Inland Fisheries Bogor: 13 pp. TORO. V. dan K. SOEGIARTO 1979. Biologi Udang. Dalam: UDANG. Biologi, Potensi, Budidaya, Produksi dan Udang Sebagai Bahan Makanan di Indonesia. Soegiarto, V. Toro dan K.A. Soegiarto, (eds). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi. Lembaga Oseanologi Nasional-LPI, Jakarta: 3-44. ROMIMOHTARTO, K. dan S. JUWANA 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta: 527 hal. mempengaruhi sistem endokrin dan pola ruaya (ROESSIG et al., 2004). Semua perubahan ini secara langsung berpengaruh pada populasi dan struktur komunitas ikan, yang pada akhirnya berpengaruh pada stok perikanan. Beberapa dampak perubahan ikim pada perikanan telah terdeteksi pada perikanan seperti mackerel (Trachurus trachurus), dan ikan teri (Famili Engraulidae). Telah dilaporkan bahwa mackerel meningkat produksinya selama tahun 1946-1987 terkait dengan meningkatnya konsentrasi fitoplankton and zooplankton. Namun sejak tahun 1988 terjadi penyimpangan pada kondisi North Atlantic Oscillation (NAO) yaitu ditandai dengan kenaikan suhu udara di wilayah Eropa barat. Kondisi anomali ini mempengaruhi tingkatan tropik di laut, kondisi hidrografi dan atmosfir pada skala 10 tahunan. Akibatnya mackerel mengalami migrasi, sehingga populasinya berkurang. Kejadian ini juga dialami oleh ikan teri di lepas pantai Peru. Pada tahun 1970-an, perikanan teri sangat produktif, pernah terjadi dalam satu hari di tahun 1972, produksinya mencapai 180.000 ton. Namun beberapa minggu kemudian terjadi El-Nino yang membawa masa air panas, sehingga proses upwelling terhenti dan produksi teri menurun. Peristiwa ini memberikan indikasi bahwa kondisi ekologi sangat berpengaruh (STENSETH et al., 2002; REID et al., 2001). Peristiwa El-Nino juga berpengaruh pada produksi cakalang. Hampir 70% produksi ikan cakalang di dunia berasal hasil tangkapan dari Samudera Pasifik. Cakalang sangat banyak hidup di perairan hangat wilayah ekuator Pasifik bagian barat. Namun akibat dari peristiwa El-Nino, maka terjadi pergeseran masa air yang hangat ini, sehingga penyebaran cakalang juga mengalami perubahan. Dengan demikian prediksi ENSO menjadi penting untuk menentukan wilayah penangkapan cakalang yang potensial bagi usaha tuna komersial (LEHODAY et al., 1997). secara perlahan sejak tahun 1950, dan melalui program pemacuan sumberdaya ikan, maka pada tahun 2004 produksi perikanan perairan umum di dunia telah mencapai 9,2 juta ton (FAO FISHERIES AND AQUACULTURE, 2007). Dengan demikian, perikanan tangkap secara global mengalami kecenderungan peningkatan, namun pada beberapa lokasi terjadi penurunan produksi yang cukup ekstrim. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERIKANAN Belum banyak riset tentang dampak perikanan kaitannya dengan perubahan iklim global, namun lebih banyak terkait dengan kondisi tangkap lebih (overfishing). Padahal kemungkinan kondisi perikanan yang menurun bisa saja terjadi karena migrasi jenis ikan target (bernilai ekonomis) akibat perubahan iklim. Diperkirakan beberapa lokasi di daerah beriklim sedang (sub-tropis) akan menjadi lokasi ruaya tetap dari ikan-ikan yang biasanya hidup di wilayah tropis. Akibat dari kejadian ini, maka stok perikanan akan menurun, namun dilain pihak pola migrasi tetap ini sekaligus juga akan memindahkan tingkat keanekaragaman biota laut dari tropis ke sub-tropis. Keanekaragaman hayati laut Indonesia dapat saja terancam dampak perubahan iklim global, karena posisi Indonesia di wilayah tropis, sehingga dikuatirkan Indonesia dapat kehilangan status sebagai negara maritim dengan mega-biodiversitas laut. Perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku individu, populasi maupun komunitas. Kondisi ekstrim dengan menaiknya suhu air, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan pH air dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Lingkungan dengan kondisi yang tidak optimal dapat menurunkan laju metabolisme, pertumbuhan dan kemampuan bertelur dari ikan, juga merubah metamorphosis, dan 24 29 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id MIKRO-OBSERVASI Estuaria dan kawasan pesisir merupakan wilayah dengan produktifitas yang sangat tinggi, karena menerima pasokan dari beberapa sumber produktiftas primer dan detritus. Bahkan, pada sistem ini hidup biota yang tidak sensitif, turut mempengaruhi fisiologi dan adaptasi tingkah laku organisme lain untuk menyesuaikan dengan kisaran yang luas variasi fisik dan kimia. Akibat dari sirkulasi air dan perubahan volume air laut, estuaria dan wilayah pesisir diperkirakan akan kehilangan habitat intertidal, instrusi yang besar air laut ke air tanah dan meningkatnya utrofikasi, hipoksia dan anoksia (ROESSIG et al., 2004). Sistem pelagis di laut, sangat rentan terhadap perubahan cuaca, sebagai contoh adalah perubahan suhu laut yang diakibatkan variasi the North Atlantic Oscillation (NAO) dikaitkan dengan fluktuasi rekruitmen ikan cod (Gadus morhua) dan pergantian habitat di lepas pantai Labrador dan Newfoundland (STENSETH et al., 2002). Di pantai barat Kanada dan Alaska, terutama di Teluk Alaska memperlihatkan suhu yang meningkat dan salinitas yang menurun. Hasilnya lapisan mixed yang dangkal mengakibatkan menurun pasokan unsur hara, sehingga mempengaruhi tingkat produksi primer dan perubahan jaringan makanan (STENSETH et al., 2002). Australia dalam skenario tentang perubahan iklim global terhadap kelautan, telah memperkirakan bahwa akan ada perluasan wilayah perairan tropis yang dapat memberikan dampak pada distribusi dari karang, ikan dan hutan kelp. Ikan-ikan yang biasanya mendiami wilayah perairan tropis akan bermigrasi ke arah kutub karena perluasan wilayah perairan tropis, naiknya paras laut mengakibatkan menghilangnya beberapa terumbu karang dan luasan hutan kelp menurun, karena suhu air yang meningkat (HOBDAY et al., 2006). Selain observasi secara makro, untuk melihat kecenderungan perubahan iklim terhadap perikanan, beberapa observasi mikro juga dilaksanakan untuk mendeteksi perubahan iklim terhadap fauna ikan. Ada dua penelitian komunitas ikan terumbu karang yang dikerjakan, yaitu di wilayah North Carolina (Amerika) dan Seychelles (Samudera Hindia) dan satu penelitian bagi ikan-ikan laut dalam. Di North Carolina, komunitas ikan karang diamati setelah 15 tahun mengalami penangkapan yang intensif. Perubahan lain yang dialami, yaitu lebih banyak jenis-jenis ikan karang tropis yang ditemukan (2 famili baru dan 29 jenis baru), juga sponge yang umumnya di wilayah tropis, kini dapat ditemukan. Kelimpahan jenis ikan-ikan temperate berkurang, dan jenis tropis bertambah (PARKER & DIXON, 1998). Peristiwa pemutihan karang, tidak berdampak pada penurunan komposisi jenis ikan karang (SPALDING & JARVIS, 2002). Suatu studi yang ditunjukkan pada ikan-ikan laut dalam yang memiliki peluang hidup yang panjang (lebih dari 100 tahun), telah menyimpulkan bahwa biota-biota tersebut memiliki respons yang sangat lambat terhadap perubahan lingkungan (THRESHER et al., 2007). SKENARIO BAGI INDONESIA? Solusi untuk meredam atau mengurangi dampak buruk dari pemanasan global dan perubahan iklim menjadi sesuatu yang segera harus dipikirkan, direncanakan dan dilaksanakan. Mengingat kedua hal ini terkait berbagai pihak, maka kerjasama dalam penanggulangan dampak negatif harus dikerjakan secara bersama-sama. Bagi Indonesia, yang 70% wilayah kedaulatannya adalah lautan, maka perubahan iklim yang berdampak pada perikanan laut sangat perlu diantisipasi dengan melaksanakan riset yang berkesinambungan. 30 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 sekitar habitatnya. Makanan yang digemari adalah moluska (gastropoda, keong dan kerang) dan ekhinodermata (bulu babi, bintang laut, teripang dan lili laut). Sedangkan makanan lainnya adalah ikan (MOOSA & ASWANDY, 1984). mendukung kegiatan tersebut maka beberapa aspek biologi udang seperti: sistematik, reproduksi, siklus hidup, habitat dan makanan serta cara makanannya di alam merupakan informasi yang sangat dibutuhkan. DAFTAR PUSTAKA PENUTUP ANONIM 2004. Sea Cage Culture of Lobster. National Insitute of Ocean Technology (Dept. of Ocean Development, Govt of India) Pallikaranai, Chennai 601 302). h t t p : / / w w w. o d u . e d u / m b u t l e r / newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Maret 2008. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan laut yang besar, terutama komoditi perikanan, salah satunya adalah udang. Oleh sebab itu sudah selayaknya dan menjadi tanggung jawab bersama untuk tetap menjaga lingkungan serta melestarikannya. Sebagai komoditi penting di sektor perikanan udang menduduki tempat kedua setelah ikan, terutama dari jenis udang suku Penaeus, Metapenaeus dan Panulirus. Udang-udang tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik juga diekspor ke negara-negara tetangga yang biasanya dikemas dalam bentuk beku. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya. Masih banyak daerah-daerah perairan Indonesia yang belum dieksploitasi dengan baik dan benar, tetapi sebagian besar produksi udang berasal dari hasil eksploitasi di laut, karenanya peranan dan potensi perairan perlu dijaga guna mendukung produksi udang secara umum. Dalam upaya meningkatkan produksi udang telah dilakukan upaya budidaya dengan pendayagunaan tambak kolam dan danau. Budidaya dengan pembenihan dan restocking adalah cara terbaik untuk mengimbangi penangkapan udang di alam. Selain itu budidaya yang ramah lingkungan merupakan unsur penting yang harus diperhatikan. Untuk BARNES, R.D.1987. Invertebrate Zoology. Sounders College Publishing. New York: 124 pp. DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998. Direktorak Jendral Perikanan Jakarta: 15 hal. HOLTHUIS, L.H. 1992. Marine Lobster of the World. FAO Fisheries Synopsis, vol 13. No. 125. FAO Rome: 139-141. URL: http://www.lobster.org. Tanggal akses 19 Maret 2008. JOESOEF, S. 1974. Beberapa Segi Ekologi dan Penyebaran Udang Penaeus di Perairan Teluk Kotawaringin (Kalimantan Selatan). Skripsi Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta: 45 hal. KING, M. and S. KING 1995. Environmental Education Module. The Oceans and Coastal Areas and their Resources. Unesco-Unep, International Environmental Education Programme (IEEP).http://www.fao.org/docrep/007/ y2859e/y2859e02.htm#1 . Tanggal akses 28 Februari 2008. 23 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Habitat (JOESOEF, 1974), oleh karenanya hutan mangrove yang memiliki dasar perairan berupa lumpur, merupakan habitat yang paling disukai oleh jenis udang, karena jejaring makanan (food web) yang tidak pernah putus menjadikannya sebagai tempat (niche) yang sangat baik untuk berlindung, tempat bertelur dan tempat mencari makan. Udang memiliki habitat yang berbedabeda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Sebagian besar udang hidup di laut, yang keberadaannya di perairan dengan bentuk tubuh yang bersegmen-segmen, sehingga mudah berjalan dan berenang dengan cepat (JOESOEF, 1974). Habitat yang disukai udang pada umumnya adalah dasar laut yang bersubstrat lunak dan biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Pada umumnya udang bersembunyi di siang hari untuk mengindari predator, banyak di antaranya hidup dalam lubang di pasir, di terumbu karang yang hidup dan yang mati atau di bawah batu-batu (TORO & SOEGIARTO, 1979). Udang karang banyak dijumpai di perairan pesisir dengan dasar perairan berupa pasir berbatu. Udang tersebut (lobster) hidup berkelompok serta bersifat “nocturnal” (mencari makan pada malam hari) dan pada siang hari mereka bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan terlindung di dalam lubang-lubang batu karang (SETYONO, 2006). Udang yang masih bersifat bentik, hidup pada permukaan dasar laut yang bersubstrat lunak (soft) (UNAR dalam TORO & SOEGIARTO, 1979). POERNOMO (1968) pada penelitiannya terhadap larva udang bernilai niaga di Indonesia, mendapatkan bahwa benih stadium “post larva” udang windu (Penaeus monodon) umumnya terdapat di sepanjang pantai yang landai dengan pasang surut yang berfluktuasi. Udang ini dapat ditemukan di aliran sungai kecil dan berdasar lumpur pasiran atau pasir lumpuran yang berbatu-batu kecil (cangkang kerang). Penaeus merguiensis dan Penaeus indicus, memiliki daya penyesuaian yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan lumpur liat berpasir. Penaeus latisulcatus dan Penaeus monodon menyukai perairan dengan tekstur dasar lumpur berdebu (lumpur dan pasir) Makanan dan Cara Makan Udang Udang bersifat pemakan segala (omnivora), detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dalam mencari makan udang mempunyai pergerakan yang terbatas, tetapi udang selalu didapatkan di alam oleh manusia, karena udang mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya dan tidak bersifat memilih (PUTRI, 2005). MORIARTY (dalam TORO & SOEGIARTO, 1979) berdasarkan penelitiannya, makanan dari beberapa jenis udang Penaeus seperti: P. esculentus, P. peblejus, P. merguiensis dan Metapenaeus bennettae bersifat omnivora, memakan apa yang tersedia di alam. Sedangkan P. merguiensis tingkat mysis memakan larva dari balanus, copepoda, polychaeta, dan pada tingkat post larva selain jasad-jasad renik, juga memakan phytoplankton dan algae hijau. Pada tingkat mysis jenis udang P. monodon, cenderung memakan diatom dan zooplankton. Krustasea pada umumnya adalah binatang yang mencari makan pada malam hari, sama halnya dengan lobster. Lobster merupakan pemangsa organisme dasar yang sangat bergantung kepada kondisi fauna dasar. Kerusakan pada dasar perairan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan udang karang (VASSEROT dalam MOOSA & ASWANDY, 1984). Udang lobster akan keluar dari tempat tinggalnya untuk mencari makan. Jenis yang hidup di perairan dangkal akan menuju terumbu karang atau paparan terumbu, sedangkan jenis yang hidup agak dalam akan berkeliaran di Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah laut yang luas, maka Indonesia diperkirakan akan menghadapi dampak perubahan iklim tidak saja di daratan, tetapi juga di laut. Mengingat sumberdaya laut, khususnya perikanan (ikan, udang, rumput laut, teripang, dll) merupakan salah satu sumberdaya penting, maka perlu dilakukan riset untuk dapat memberikan informasi tentang efek perubahan iklim terhadap perikanan. Beberapa tahun yang lalu terjadi peristiwa pemutihan karang (Coral bleaching) yang dikaitkan dengan peristiwa El-Nino/ ENSO. Disamping itu, produksi perikanan kita juga menjadi berkurang karena cuaca buruk, sehingga nelayan tidak melaut. Semua kejadian ini sudah dapat memberikan indikasi bahwa Indonesia menghadapi ancaman perubahan iklim global terhadap ekosistem laut dan perikanannya. Untuk itu skenario pemecahan masalah segera dapat diwujudkan, dengan melakukan riset untuk menjawab beberapa aspek kelautan dan perikanan, seperti: 1. Bagaimana distribusi dan kelimpahan spesies atau komunitas ikan terkait perubahan iklim? 2. Jenis ikan manakah yang dapat dijadikan kandidat bio-indikator dari dampak perubahan iklim? 3. Dalam konsep laut Nusantara, lokasi mana yang dianggap hot-spot atau daerah sensitif perikanan yang harus dipantau terus menerus? 4. Bagaimana dampak tingkat produktifitas perairan terhadap kelimpahan ikan dan perubahan iklim? 5. Bagaimana menurunkan dampak kerusakan dan polusi lingkungan untuk meningkatkan stok perikanan? 6. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap aspek sosial dan ekonomi perikanan di Indonesia? DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS 2008a. El Nino Southern Oscillation [online]. http:// en.wikipedia.org/wiki/El_Niño). Accessed on 20 April 2008. ANONIMOUS 2008b. North Atlantic Deep Water [online]. http://en.wikipedia.org/ wiki/North_Atlantic_Deep_Water). Accessed on 20 April 2008. FAO FISHERIES and AQUACULTURE DEPARTMENT 2007. The state of world fishery and aquaculture. Food and Agriculture Organization, United Nations: 162 pp. HOBDAY, A.J.; T.A. OKEY; E.S. POLOCZANSKA; T.J. KUNZ and A.J. RICHARDSON, A.J (eds) 2006. Impact of Climate Change on Australian Marine Life, Part A: Executive Summary. Report to the Australian Greenhouse Office, Canberra, Australia: 36 pp. LEHODEY, P.; M. BERTIGNAC; J. HAMPTON; A. LEWIS and J. PICAUT 1997. El Nino Southern Oscillation and tuna in the western Pacific. Nature 389: 715–718. PENUTUP Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terdeteksi dampak pemanasan global dan perubahan iklim terhadap perikanan. Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan cuaca dan iklim yang kadang-kadang dapat terjadi secara ekstrim. 22 PARKER, R.O. and R.L. DIXON 1998. Changes in a North Carolina reef fish community after 15 years of intense fishing– global warming implications. Trans. Am. Fish. Soc. 127: 908-920. 31 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id REID, P.H.; M.F. BORGES and E. SVENDSEN 2001. A regime shift in the North Sea circa 1988 linked to changes in the North Sea horse mackerel fishery. Fishery Research 50: 163-171. STENSETH, N.H.; A. MYSTERUD; G. OTTERSEN; J.W. HURRELL; K.S. CHAN and M. LIMA 2002. Ecological Effects of Climate Fluctuations. Science 5585: 1292. ROESSIG, J.M.; C.M. WOODLEY; J.J. CECH JR and L.J. HANSEN 2004. Effects of global climate change on marine and estuarine fishes and fisheries. Reviews in Fish Biology and Fisheries 14: 251-275. THRESHER, R.; J.A. KOSLOW; A.K. MORISON and D.C. SMITH 2007. Depth-mediated reversal of the effects of climate change on long-term growth rates of exploited marine fish. PNAS 104(18): 7461-7465. SPALDING, M.D. and G.E. JARVIS 2002. The impact of the 1998 coral mortality on reef fish communities in the Seychelles. Marine Pollution Bulletin 44: 309-321. TRENBERTH, K.E. 1997. The use and abuse of climate models. Nature 386: 131133. Gambar 4. Siklus hidup udang suku Penaeidae (KING & KING, 1995). Gambar 5. Siklus hidup lobster (Panulirus spp.) (ANONIM, 2004). 32 Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008 21