Gereja Lintas Agama : Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

advertisement
BAB IV
Gereja dari Salib dan Bulan Sabit
Nabeel T. Jabbour
Biodata dan Konteks Berteologi
Nabeel T. Jabbour adalah seorang teolog
Kristen asal Siria dan dibesarkan di Lebanon. Lebih
dari 15 tahun ia tinggal di Kairo untuk menyelesaikan
studi doktor di bidang Islam. Sejak 1997 ia dan
keluarganya tingga di Amerika dan menjadi guru besar
di Universitas kota Colorado Springs Amerika Serikat.
Ia memberi kuliah tentang Islam and Current Events
di tiga seminari Amerika Serikat dan satu di Kanada.
Dia menulis tiga buku dalam bahasa Arab dan empat
dalam bahasa Inggris: Unshackled and Growing,
Muslims and Christians on The Journey to Freedom,
The Rumbling Volcano on Islamic Fundamentalism
and The Unseen Reality on Spiritual Warfare.
Bukunya yang terakhir dan yang akan kita dalami
adalah The Crescent Through the Eyes of The Cross on
the Muslims' worldview. Buku ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit
Pionir Jakarta (2010).
Nabeel Jabbour akan menjadi pemandu wisata
bagi kita untuk menjelajah masuk ke dunia Muslim
dan mengenal orang-orang Muslim dan tanggapantanggapan mereka terhadap Injil. Tanggapantanggapan itu berguna untuk kita memahami model
Gereja Lintas Agama
175
eklesiolgi yang ditawarkan Nabeel Jabbour sebagai
kontribusinya
bagi
pembaharuan
kehidupan
mengereja dalam konteks masyarakat multi agama.
Ada tiga alasan pilihan jatuh kepada Nabeel
Jabbour dalam menjajaki jawaban terhadap pertanyaan
utama dalam buku ini. Pertama, sebagai yang lahir
dalam keluarga Kristen dan menjalani hampir separuh
usia hidupnya di lingkungan Islam (Syiria, Libanon
dan Mesir) lewat mana ia bersekolah, bermain dan
berolah raga bersama dengan banyak sahabat muslim
semasa kecil sampai menyelesaikan program
doktornya, Nabeel Jabbour, seperti pengakuannya
sendiri, dia memahami Islam dari dalam, yakni
melihat Islam dari mata orang Islam.1 Jelasnya, teologi
yang dikerjakan Jabbour berakar pada otobiografinya.
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit Melalui Mata Salib.
Pengalaman-Pengalaman Mendalam dari Seorang Kristen
Arab. Jakarta: Pioner Jawa. 2010. hlm. 29. Untuk
menghindari munculnya banyak footnote dari buku yang
1
176
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Orang-orang Islam, kata Nabeel Jabbour,
sangat loyal dan bangga akan agama, keluarga dan
peradaban mereka. Keluarga dan agama bagi mereka
adalah lingkungan yang memberi mereka akar,
identitas dan otensitas. Kalau mereka tertarik pada
pengajaran Yesus dan nilai-nilai dalam Injil itu adalah
untuk memperluas sekaligus memperkuat akar
keberadaan, identitas dan otensitas mereka untuk
memiliki karakter global. Karena itu kepada temanteman Kristen mereka berkali-kali mengingatkan agar
dalam persahabatan tidak boleh ada upaya saling
mentobatkan, dalam arti pemaksaan pindah agama.
Jika ada niat ke arah itu biasanya orang muslim akan
segera mengakhiri persahabatan.2
Mengenal orang Islam dari dalam kami anggap
penting dalam upaya menjajaki jawaban atas
pertanyaan yang kita geluti, sebab pengenalan itu
menolong kita untuk memberitakan Yesus Kristus dan
memperlihatkan Injil dalam cara yang dapat diterima
oleh saudara kita dari agama yang lain, sekaligus
menjadikan Yesus Kristus dan Injil sebagai
penggenapan atau jawaban dari pertanyaanpertanyaan atau kebutuhan-kebutuhan esensial dalam
penghayatan religius mereka.
tadi, kami membatasi hanya dua footnote dari buku yang
sama pada satu halaman. Rujukan lainnya kami taruh dalam
tanda kurung di isi tulisan bertuliskan Sabit-Salib dan
nomer halaman buku.
2
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 37.
Gereja Lintas Agama
177
Perkenankan kami menjelaskan hal ini dengan
contoh berikut. Supaya dokter bisa memberikan obat
yang tepat dan berkhasiat menyembukan penyakit
pasiennya, dokter harus lebih dulu menggali informasi
dari pasien tentang penyakitnya dan memeriksa
keadaan pasien dengan peralatan-peralatan medis yang
dibutuhkan. Tanpa melakukan itu, bisa saja dokter
memberikan balsam penyembuh eksim untuk pasien
yang mengeluh sakit gigi.
Buah pikiran Nabeel Jabbour sebagaimana
yang
dituangkan
dalam
tulisan-tulisannya
menunjukkan dengan jelas bahwa selama ini gereja
memberitakan Kristus dan memperlihatkan Injil
kepada saudara-saudara Muslim dan menuntut mereka
untuk beralih dari agamanya, tetapi tidak menurut
cara yang patut dilakukan dokter terhadap pasiennya.
Akibatnya, banyak orang muslim mengaku bingung
dan sama sekali tidak memahami pesan Kristen itu.
Kita akan melihat hal itu dalam uraian di bagianbagian selanjutnya.
Alasan kedua pentingnya Nabeel Jabbour bagi
pokok yang kita gumuli ialah model hermeneutiknya
terhadap kitab suci Kristen. Pengenalannya akan
pertanyaan-pertanyaan esensial dan kebutuhankebutuhan hakiki dari saudara-saudari Muslim yang
berhubungan dengan agama sebagai pemberi makna
kehidupan, membuat dia mendekati dan menjelaskan
teks-teks Alkitab secara baru dengan hasil yang benarbenar menjungkir-balikkan dogma dan doktrin Kristen
178
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
yang selama ini dijadikan standar bagi kehidupan
orang Kristen.
Jelasnya
Nabeel Jabbour
pendengar dan
Hermenutik ini
model hermeneutik yang dipakai
adalah hermenutik dari perspektif
bukan dari perspektif pemberita.
dinamakan oleh Bert Altena model
empiris –induktif sebagai lawan dari model normatifdeduktif.3 Hermeneutik model empiris-induktif
mengandaikan pekerjaan refeksi terhadap iman
sebagai sebuah ziarah ke dalam tiga dunia: dunia
realita yang penuh dengan pertanyaan dan masalahmasalah, selanjutnya masuk ke dalam dunia kitab suci
atau teks untuk belajar dari pengalaman orang-orang
percaya pada masa lalu dalam nenggumuli masalah
hidupnya dalam iman kepada Tuhan, dan akhirnya
kembali lagi ke dunia realita dengan membawa
pencerahan dari hasil belajar itu untuk menyikapi
masalah atau pertanyaan secara baru.4
Dengan cara ini Alkitab dijadikan sebagai kitab
yang terbuka di tengah-tengah kehidupan orang
percaya yang sarat dengan berbagai masalah dan
pertanyaan (konteks) sehingga terjadi dialog yang
dialektis antara kedua belah pihak: teks dan konteks.
Bert Altena. Wolken gaan voorbij. Een homiletisch
onderzoek naar mogelijkheden voor de preek in een
postmodern klimaat. Zoetemeer: Boekencentrum. 2003.
3
hlm. 59-62.
4
Ebenhaizer Nuban Timo. Apa dan Bagaimana Berteologi.
Orasi Ilmiah di HUT ke-5 Sekolah Tinggi Agama Kristen
Negeri Kupang. 2011. hlm. 17.
Gereja Lintas Agama
179
Model hermeneutik ini berbeda dengan model
normatif-deduktif di mana Alkitab dianggap sebagai
kitab yang tertutup, berisi kebenaran-kebenaran yang
final dan absolut dan tinggal diterapkan begitu saja
dalam konteks. Terjadi semacam pemaksaan teks
kepada konteks. Ini hermeneutik satu arah,
hermeneutik garis lurus dari dunia kudus ke dunia
berdosa.
Nabeel
Jabbour
memperlihatkan
kepiawaiannya mengeksplorasi makna teks-teks
Alkitab secara baru dan penuh daya eksplosif yang
mengejutkan karena hermeneutik.
Urgensi ketiga Nabeel Jabbour berhubungan
dengan masalah relasi dunia Barat dan dunia Timur
yang diasosiasikan dengan Kristen versus Islam.
Peristiwa 11 September 2001, yakni penyerangan
terhadap menara kembar di Amerika oleh sekelompok
orang berlatar belakang muslim telah merobek dunia
dalam dua kelompok: kita yang beradab dengan nota
bene orang Kristen dan mereka yang Muslim adalah
orang-orang asing, kelompok yang melahirkan para
teroris, jadi sasaran kebencian dan permusuhan.5 Kita
ingat misalnya pidato presiden Amerika Serikat Bush
Junior mengajak dunia untuk berdiri dipihaknya
untuk melawan terorisme. Dalam pidato itu ia
menggunakan ungkapan crusade (perang salib) sebagai
perang melawan terror.6
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 27.
Lihat Richard M. Daulay. Amerika VS Irak. Bahaya
Politisasi Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009.
5
6
180
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Robeknya dunia dalam dua belahan ini makin
memperburuk hubungan dua umat beragama: Islam
dan Kristen yang memang sudah sarat dengan beban
masa lalu yang masih belum selesai dicerna. Orang
Kristen mudah sekali mencap dedikasi orang muslim
sebagai ekstrimis, penyerahan hidup orang muslim
kepada Allah sebagai terorisme, pandangan hidup
mereka sebagai fanatisme dan banyak lagi stereo type
negatif. Orang muslim bukan hanya dicap negatif,
tetapi juga ditakuti.
Nabeel Jabbour menganggap cap-cap negatif
ini dan rasa takut itu terburu-buru. Kalau itu tidak
dihentikan akan mempersulit relasi kedua agama ini.
Nabeel Jabbour percaya, seperti juga yang ditegaskan
Rahner bahwa dunia yang damai akan sulit dibangun
selama masih ada sikap saling curiga bahkan
permusuhan antara para pemeluk agama.7 Nabeel
Jabbour berjuang untuk mempertemukan umat dari
kedua agama ini. Ia bercita-cita membangun jembatan
penghubungan bukan tembok pemisah antara kedua
komunitas agama tadi. Mereka tidak boleh terus
tinggal dalam sangkar agama masing-masing. Sikap
terbuka untuk saling belajar dan memahami adalah
penting.
7
Dikutip dari Rikard Kristian Sarang. “Dialog antar Agama
Sebagai Model Penerimaan, Pengakuan Terhadap
Keberagaman dalam Terang Pemikiran Paul F. Knitter.”
Dalam: BERBAGI: Jurnal Asosiasi Perguruan Tinggi Agama
Kristen (APTAK). Volume 2 No. 1. Januari 2013. hlm. 78.
Gereja Lintas Agama
181
Ada dua keuntungan yang diperoleh jika
mereka saling terbuka dan menerima. Pertama, orang
Kristen dapat menyampaikan pesan-pesan injil secara
efektif atau dapat dipahami orang Muslim. Kedua,
orang Kristen memperoleh kesempatan memurnikan
pemahaman tentang Injil dan membaharui cara hidup
sesuai dengan Injil. Dengan kata lain orang Kristen
harus bertobat dan membaharui diri supaya bisa hadir
secara baru (Sabit-Salib: 106). Buku Nabeel Jabbour
yang akan kitab bahas ini ditulis dengan maksud tadi.8
Orang Muslim dan Dunianya
Sama seperti manusia pada umumnya, orang
muslim adalah makhluk yang menginginkan
penerimaan, penghargaan dan persaudaraan. Mereka
juga adalah orang-orang yang bangga terhadap
agamanya dan warisan-warisan islami. Agama dan
warisan itu merupakan sumber pembentukan jatidiri
sekaligus teropong melalui mana mereka melihat dan
memahami dunia dan agama lain. Orang Kristen harus
belajar mengenal orang Muslim dan dunianya secara
benar, yakni dari dalam, jika dia mau memberitakan
Injil kepada mereka.
Pengalaman bertumbuh dan bergaul dalam
dunia islam selama lebih dari 40 tahun sehingga
mengenal Islam dari dalam, Nabeel Jabbour mencatat
beberapa profil orang Muslim. Pertama, orang Muslim
8
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 16.
182
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
adalah manusia, sesama kita. Mereka bukan orangorang kasar, jahat, kafir dan tak bertuhan. Mereka
hidup dalam hubungan-hubungan sosial yang kuat dan
memperkembangkan simbol-simbol dan bahasa khusus
untuk memaknai hidup dan dunianya. Mereka bangga
akan keluarganya, negaranya dan agamanya (Sabitsalib: 37). Mereka bukan makhluk dari planet yang
berbeda sehingga patut dicurigai, ditakuti dan
kemudian dikucilkan.
Orang Muslim adalah orang-orang yang peka
terhadap berbagai perlakuan dan siap juga memberi
tanggapan terhadap perlakuan-perlakuan itu. Mereka
sangat menghargai perlakuan-perlakuan manusiawi,
akrab dan bersahabat dari orang yang berbeda
keyakinannya, terutama Kristen dan siap untuk
memberi respons yang sama. Mereka akan menerima
orang lain yang menerima mereka berdasarkan kasih.
Sebaliknya, orang-orang yang menolak mereka dan
agamanya juga akan mereka tolak. Bahkan mereka
tidak segan-segan melakukan perlawanan bahkan siap
membela diri dan membalas serangan yang ditujukan
kepada diri, agama dan iman mereka (Sabit-Salib: 222230).
Kedua, ada tiga kategori orang Muslim:
Muslim kultural, Muslim Qur’anis dan Muslim Militan
(Sabit-Salib: 93). Muslim kultural adalah mereka yang
mematuhi norma-norma sosial daripada teologi.
Muslim Qur’anis adalah mereka yang memeluk iman,
mematuhi pengajaran Qur’an yang eksplisit. Mereka
menjalankan ajaran Qur’an secara ketat. Muslim
Gereja Lintas Agama
183
militan.
Mereka aktif membela Islam melalui
tindakan-tindakan heroik, konflik bersenjata dan
upaya-upaya lain dengan tujuan menaklukan yang
non-Muslim. Kalau jujur, orang Kristen pun dapat kita
masukan dalam ketiga kategori ini.
Nabeel Jabbour menggambarkan komposisi
tiga kategori orang Muslim tadi dalam bagan berikut
(Sabit-Salib: 94):
Komposisi ini menunjukkan bahwa persentasi
terbesar adalah Muslim kultural. Muslim Qur’anis dan
Muslim Militan tersaring ke bawah, ke Muslim
Kultural, seperti yang ditunjukkan oleh arah anak
panah. Keadaan ini terjadi di awal abad ke-20. Tetapi
komposisi ini telah berubah. Pada saat ini bagan itu
telah menjadi seperti ini.
184
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Muslim Kultural masih dalam prosentasi besar.
Tetapi terancam akan makin tersaring ke bawah
menjadi Muslim Qur’anis dan Muslim Militan. Dunia
Barat (Amerika Serikat, Eropa) dan juga sikap orang
Kristen berperan besar dalam perubahan bagan ini.
Singkatnya, ketertarikan orang Muslim ke arah
tindakan-tindakan militan disebabkan oleh sikap
dunia dan orang Kristen terhadap mereka (Sabit-Salib:
93).
Mayoritas orang Muslim pada masa kini
sedang ditarik menuju salah satu dari dua arah:
Muslim Kultural atau Muslim Militan. Nabeel Jabbour
mengemukakan dua contoh. Pertama, Sayyid Qutb,
seorang Muslim Mesir. Dia datang ke Amerika sebagai
orang Moderat. Tetapi kembali ke Mesir sebagai
pemimpin kaum fundamentalis.9 Kedua, kakak Nabeel
9
Sayyid Qutb bukan satu-satunya orang moderat yang
menjadi militant. Disebutkan bahwa Osama bin Laden di
masa mudanya adalah anak yang cakap dan periang. Hanya
satu hal yang menyedihkannya yakni nasib orang Palestina.
Kebijakan terror Israel terhadap orang Palestina
mengembangkan keyakinan dalam hatinya bahwa adalah
Gereja Lintas Agama
185
Jabbour sendiri. Dia datang ke Amerika sebagai
seorang Muslim untuk belajar. Tahun 1950 dia pulang
ke Mesir sebagai seorang murid Kristus, bahkan karena
kesaksian hidupnya dia membuat seluruh keluarganya
menjadi pengikut Kristus (Sabit-Salib: 96-8).
Dengan
contoh
ini
Nabeel
Jabbour
menegaskan bahwa kita sebagai orang Kristen dan juga
dunia Barat memiliki peran dalam membantu mereka
ke arah keterbukaan pikiran, yakni kepada Kristus
atau ke arah ketertutupan, yakni militant (Sabit-Salib:
95).
Ketiga, orang Muslim bukanlah orang-orang
yang tersandung oleh Kristus. Umumnya mereka
seperti Mahatma Gandhi mereka adalah orang-orang
yang sangat tertarik kepada Yesus. Banyak dari rekanrekannya yang mengaku bahwa Kristus sama sekali
tidak melukai mereka. Ketertarikan mereka kepada
Yesus lebih banyak ditunjukkan dalam sikap dan
kesalehan hidup, bukan dalam pengakuan verbal. Ia
menunjukkan itu dengan mengutip doa seorang
perempuan muslim Irak, Rabi’a al-Adawiyya berikut
ini:10
hal yang adil dan benar untuk mengembalikan kepada AS
apa yang mereka lakukan kepada bangsa Palestina melalui
bonekanya Israel. Olaf Schumann. Agama-Agama
Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2011. hlm. 606.
10
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 31.
186
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Tuhan, mengapa aku mengasihi Engkau? Apakah
aku mengasihi engkau karena aku takut masuk
neraka? Kalau itu alasanku, maka masukanlah
aku ke neraka. Atau, apakah aku mengasihi
Engkau karena aku ingin masuk sorga? Kalau itu
alasanku, usirlah aku dari sorga. Ya Allah,
kumohon murnikanlah alasan-alasanku. Tolong
agar aku mengasihi Engkau karena Engkau
sendiri; karena Engkau layak menerima seluruh
kasih dan penyembahanku.
Ini satu contoh bahwa semua yang benar,
semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci,
semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua
yang disebut kebajikan dan patut dipuji, yang oleh
Alkitab diwajibkan untuk dipikirkan oleh orang para
pengikut Kristus (Fil. 4:8) juga dipikirkan oleh orang
Muslim. Dalam arti ini orang Muslim adalah juga
warga gereja. Yang menjadi batu sandungan bagi
mereka atau hal yang melukai mereka adalah
kekristenan atau yang oleh Nabeel Jabbour disebut
bungkusan-bungkusan Kristus dan itu tidak lain
adalah agama Kristen (Sabit-Salib: 104). Bungkusanbungkusan itu kotor. Itu yang membuat orang Muslim
tersandung bahkan memilih lebih baik tidak
menyeberang ke dalam agama Kristen tetap tinggal
dalam agamanya, Islam.
Dengan menggunakan alat peraga, yakni
sebuah jeruk yang dibungkus dengan berbagai kertas
bertuliskan macam-macam hal Nabeel Jabbour
Gereja Lintas Agama
187
menunjukkan kepada kita hal-hal kotor dalam
kekristenan yang melukai orang Muslim (Sabit-Salib:
102-105): mengubah nama dari Ali ke Steve. Dibaptis
dan memberitahukan kepada orang-orang terutama
keluarga bahwa ia sudah menjadi Kristen supaya tidak
dicurigai sebagai pura-pura. Mulai menyerang Islam,
Muhamad dan Qur’an. Kalau wanita harus memakai
kalung salib, rok pendek, baju terbuka dan berhenti
memakai jiblab. Mengkonsumsi miras dan semua
makanan yang mengandung babi dan bebas
melakukan apa saja karena dosa sudah diampuni.
Berhenti mengucapkan istilah-istilah Muslim yang
penuh makna dan diganti dengan istilah-istilah
Kristen yang asing. Berdoa sambil duduk di kursi
bahkan berpangku kaki sambil membesarkan nama
Tuhan.11 Mempercayai bahwa Allah punya anak
sebagai hasil hubungan seks dengan Maria. 12
11
Di kampus saya ditugasi mengajar matakuliah Agama
kepada mahasiswa dari fakultas non teologi. Kami sepakat di
awal kuliah bahwa kegiatan belajar mengajar diawali dan
diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh mahasiswa secara
bergilir. Ada cukup banyak mahasiswa saya yang Muslim.
Setiap kali saya menunjuk mereka untuk menaikan doa,
mereka mengajak semua berdoa, tetapi hanya dimulai
dengan ajakan: “Doa mulai” dan diakhiri dengan: “Doa
selesai.” Beberapa kalai saya meminta mereka untuk
mengucapkan rumusan doa agar biasa didengar bersama.
Tetapi tidak satu pun yang melakukannya. Mulanynya saya
merasa kurang hati dengan sikap itu. Setelah membaca buku
Nabeel Jabbour, terutama tentang doa bagi seorang Muslim
harus dilakukan dengan berlutut, bukan dengan duduk
188
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Keempat, orang Muslim hidup dalam dunia
yang dibingkai dalam paradigma berpikir yang sama
sekali berbeda dengan paradigma berpikir orang
Kristen. Nabeel Jabbour mencatat ada tiga paradigma:
aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa takut/kuasa.
Sementara orang Kristen lebih banyak berpikir dalam
paradigma salah/benar. Tiga paradigma pertama dianut
juga oleh sebagian besar masyarakat di Timur. Mereka
biasanya membingkai makna hidup dalam tiga
paradigma lainnya.13 Sementara paradigma benar/salah
adalah umum di kalangan Kristen secara khusus di
Barat.
Perenungan
orang
Muslim
terhadap
keselamatan juga dibingkai dalam ketiga paradigma
tadi. Mereka kata Nabeel Jabbour sangat terbeban
dengan tiga paradigma itu. Untuk jelasnya, mari kita
simak kasus yang diangkat Nabeel Jabbour berikut ini.
Hampir semua wanita muslim yang tidak pernah
mengalami sukacita kemenangan Idul Fitri di akhir
bulan puasa Ramadhan, karena siklus menstruasi
merusak ibadah puasa mereka. Selama menstruasi
santai di kursi, saya mulai memahami hal itu dan tidak lagi
merasa terganggu.
12
Tentu saja ada beberapa hal yang dianggap kotor oleh
orang Muslim seperti tertera di atas yang perlu ditanggapi.
Tetapi hal-hal di atas seperti berpakaian dan sikap berdoa
yang memang berguna untuk kita sebagai orang Kristen
membenahi diri.
13
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 165.
Gereja Lintas Agama
189
mereka menjadi najis dan aib bagi sesama dan bagi
Allah.
Menstruasi pada perempuan bukan masalah
benar/salah. Menstruasi juga adalah faktor bawaan
hidup seorang perempuan. Itu adalah masalah
najis/bersih. Salah apakah seorang perempuan jika dia
mengalami menstruasi sehingga harus dibenarkan oleh
Allah? Bukankah ia dikodratkan sebagai perempuan?
Pengalaman yang sama juga berlaku bagi lakilaki. Kaum muslim dan Yahudi selalu melakukan
upacara pembersihan atau pembasuhan sebelum
mereka sembahyang. Mereka mencuci tangan, wajah,
kaki dan bagian-bagian tubuh lainya. Setelah
melakukan pembasuhan, seorang laki-laki tidak boleh
berjabat tangan lagi dengan orang lain yang tidak
bersih, karena jika demikian maka kemurnian yang
telah diupayakan menjadi tidak berarti.
Rasa takut juga selalu melingkupi hidup
banyak orang di dunia Timur. Mereka takut
berhadapan dengan kuasa-kuasa atau roh-roh yang
melingkupi mereka, roh-roh yang menetap di pohon,
batu, gunung, mata-mata air, dst. Mereka
membutuhkan adanya kuasa yang mendampingi
mereka mengatasi rasa takut itu. Ini sepenggal
pengalaman yang menunjukkan betapa upaya manusia
untuk memperoleh keselamatan juga terbingkai dalam
paradigma pemaknaan aib/kehormatan, najis/bersih
dan rasa takut/kuasa.
190
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Tetapi seringkali orang Kristen mengecilkan
makna injil keselamatan dalam satu paradigma saja,
yakni benar/salah. Bahkan paradigma benar/salah ini
dijadikan satu-satunya bingkai pemberi makna bagi
keselamatan. Percaya kepada Allah di dalam Kristus
artinya kita yang berdosa (bersalah) di hadapan Allah
karena
dosa
memperoleh
pembenaran
dan
pengudusan.
Mayoritas orang Muslim tidak menemukan
keselamatan dalam pewartaan Injil yang dikemas
dalam paradigma benar/salah. Tentu saja pemaknaan
keselamatan dalam paradigma benar/salah syah dan
valid. Tetapi jika keselamatan dalam Injil hanya
dipahami dalam batasan salah/benar, tidak banyak
menolong saudara-saudara yang bukan Kristen
mengalami kuasa pembebasan. Benar/salah adalah
pemaknaan yuridis terhadap injil. Saudara-saudara
non-kristen umumnya membingkai makna kehidup
yang mereka cari di dalam agama mereka dalam
paradigma aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa
takut/kuasa, yang merupakan pemaknaan kultus,
bukan yuridis.
Kalau begitu, apakah dalam Injil ada ruang
bagi penghayatan keselamatan yang dipahami dalam
paradigma aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa
takut/kuasa? Nabeel Jabbour sendiri merumuskan
pertanyaan itu dalam kalimat berikut: Apakah Injil
juga adalah kabar sukacita Kepada Orang Muslim?
Gereja Lintas Agama
191
Apakah Injil Juga Adalah Kabar Sukacita Kepada
Orang Muslim?
Kita sudah melihat tanggapan orang Muslim.
Mereka tidak terganggu dengan Yesus dan Injil.
Mereka juga siap memberi respons kasih dan
penerimaan jika mereka diperlakukan dengan kasih
dan diterima. Injil, menurut Nabeel Jabbour
mengajarkan kita hal itu. “Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri.” Nabeel Jabbour
mengaku bahwa ini perintah yang sulit. Saya tidak
pernah bisa mencintai orang lain seperti dia mencintai
dirinya, kecuali kalau saya mencintai Allah. Jadi kalau
orang Kristen benar-benar mencintai Allah, mereka
harus bisa mencintai orang Muslim seperti dirinya
sendiri.
Injil mengajarkan para pengikut kristus untuk
mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang Muslim
adalah adalah sesama. Cinta kasih kepada sesama yang
diajarkan Injil juga berlaku pada orang Muslim,
termasuk saat orang Kristen mewartakan Injil kepada
mereka. Ini jelas menunjukkan bahwa bagi Nabeel
Jabbour injil juga merupakan kabar baik kepada orang
Muslim. Kabar baik itu ditunjukkan dengan tidak
meminta orang-orang Muslim yang percaya kepada
Injil untuk memutuskan hubungan dengan keluarga
mereka dan meninggalkan agama mereka. Hal ini
ditegaskan Nabeel Jabbour dengan kisah tentang
Mustafa yang akan kami kisahkan di sub-judul
penginjilan relasional.
192
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Bahwa Injil adalah juga kabar baik bagi orang
Muslim ditegaskan Nabeel Jabbour dalam uraian
berikut. Alkitab sendiri bersaksi bahwa Injil adalah
kekuatan Allah yang menyelamatkan baik orang
Yahudi maupun Yunani (Rm. 1:16), demikian kata
Nabeel Jabbour. Kalau begitu, kita harus berani keluar
dari pendekatan tradisional. Injil tidak boleh terus
dipahami hanya sebagai pesan yuridis yakni dalam
paradigma berpikir salah/benar. Tiga paradigma lain
juga harus diintegrasikan, atau injil dibingkai dalam
pemaknaan kultus yang menjadi domain untuk
paradigma aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa
takut/kuasa.
Injil keselamatan Allah di dalam Kristus adalah
kekuatan penyelamatan yang mencakup ketiga
paradigma pemaknaan tadi. Nabeel Jabbour
memperlihatkan contoh-contoh yang secara melimpah
ditunjukan dalam kitab Injil, yakni dalam Markus 5:120, 5:21-34.14 Dalam teks-teks kitab Injil ini
ditunjukkan dengan jelas tentang kehadiran Yesus dan
karya penyelamatannya sebagai pemenuhan sekaligus
pembebasan kepada manusia dari terbelenggu
paradigma berpikir kultus yang digumuli orang-orang
Muslim.
14
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 175-186.
Gereja Lintas Agama
193
Misionaris Yang Perlu Bertobat
Anjangsana kita ke dunia Muslim dengan
Nabeel Jabbour sebagai pemandu wisata menunjukkan
kepada kita beberapa hal tentang orang Muslim.
Pertama, orang Muslim adalah orang-orang yang
sangat bangga dengan agamanya karena memberikan
kepada mereka akar dan identitas. Adalah sebuah
penghianatan yang terlalu berat jika mereka harus
meninggalkan agama itu. Kedua, orang Muslim
bukanlah orang-orang yang tersandung oleh Kristus.
Umumnya mereka adalah orang-orang yang sangat
tertarik kepada Yesus. Yang menjadi masalah bagi
mereka ialah agama Kristen. Ketiga, ketertarikan orang
Muslim kepada fundamentalisme bahkan militansi
adalah karena sikap orang Barat yang nota bene adalah
Kristen.
Pada sisi lain, juga di bawah pimpinan Nabeel
jabbour sebagai pemandu wisata kita juga telah dibuat
mengerti bahwa Injil adalah juga kabar baik kepada
orang Muslim, karena Injil adalah kekuatan Allah
yang menyelamatkan baik orang Yahudi maupun yang
non-Yahudi. Kekuatan Injil adalah pada daya
keselamatan terhadap manusia yang meliputi empat
paradigma benar/salah, aib/kehormatan, najis/bersih
dan rasa takut/kuasa.
Dua sudut pandang ini disadari penuh oleh
Nabeel Jabbour bukan dengan maksud menafikan
pekabaran Injil kepada orang Muslim. Dia mencatat
hal ini bagi kita untuk menegaskan bahwa gereja tetap
194
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
harus melakukan pekabaran Injil kepada orang
Muslim. Untuk itu ada hal mendesak yang patut gereja
lakukan, yakni gereja sebagai pelaku pekabaran Injil
harus bertobat. Atau dengan kata-kata Nabeel Jabbour:
“Misionaris yang perlu bertobat” (Sabit-Salib: 106).
Ada tiga pertobatan yang perlu dijalani gereja
dalam rangka pekabaran Injil kepada orang Muslim.
Pertama, pekabaran Injil kepada orang Muslim tidak
boleh disertai dengan tuntutan untuk membawa orang
Muslim menyeberang ke agama Kristen. Hanya orang
Muslim yang bodoh sajalah yang akan menyeberang
ke agama Kristen.
Orang Muslim memiliki Al-quran yang sama
keilahiannya dan juga kualitasnya dengan Yesusnya
orang Kristen. Mereka percaya bahwa Al-quran adalah
firman Allah yang kekal, sama seperti orang Kristen
percaya bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah
yang kekal. Hanya orang Muslim bodoh sajalah yang
menerima pendapat orang Kristen bahwa Muhammad
setara dengan Yesus, Al quran dengan Alkitab.
Pembandingan-pembandingan itu semuanya tidak
tepat. Yang benar ialah Kristus harus dibandingkan
dengan Al-quran, bukan dengan Muhammad.
Orang Islam tidak percaya kepada Muhammad.
Mereka percaya kepada Firman Allah, yakni Al-quran.
Bandingan yang tepat dari pihak Kristen bagi
Muhammad adalah Maria. Keperawanan Maria adalah
setara dengan ketidakcakapan membaca dan menulis
dari Muhammad. Itu menjamin kemurnian firman
Gereja Lintas Agama
195
(Yesus dan Al-quran) yang mereka teruskan (SabitSalib: 193). Selain itu Quran lebih baik dari Alkitab
karena Quran didiktekan oleh Allah kata demi kata
melalui malaikat. Ini sama seperti orang Kristen
mempercayai Sepuluh Hukum. Quran tidak ditulis
oleh manusia. Bagi orang muslim Alkitab itu sama
dengan hadits.
Hadits berisi cerita tentang kehidupan dan
pengajaran Muhammad. Itu ditulis oleh orang-orang
muslim yang mengasihi Allah. Karena para penulisnya
adalah manusia, maka tulisan-tulisan mereka bisa jadi
ada salahnya. Jadi Hadits adalah sejajar dengan Alkitab
(Sabit-Salib: 194). Karena itu bagaimana mungkin
orang
muslim
meninggalkan
Quran
dan
menggantikannya dengan Alkitab yang pesan yang
lebih rendah, yakni yang ditulis oleh manusia (SabitSalib: 43). Mereka juga berpendapat sama seperti orang
Yahudi dan Kristen bahwa pindah agama adalah
sebuah penghianatan yang sangat besar terhadap
keluarga dan terhadap Allah (Sabit-Salib: 234).
Kedua, gereja harus bertobat dari penyajian
kuasa pembebasan Injil hanya dalam paradigma
benar/salah. Kuasa pembebasan itu harus ditambahkan
juga dengan aib/kehormatan, najis/bersih dan rasa
takut/kuasa. Mengabaikan tiga paradigma tadi sama
artinya, demikian kata Nabeel Jabbour, dengan
menyajikan Injil yang terpenggal-penggal (Sabit-Salib:
166).
196
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Ketiga, orang Kristen harus bertobat dari
sikap-sikap yang mendorong orang Muslim beralih
dari Muslim Kultur ke Muslim Qur’an apalagi ke
Muslim Militan. Orang Muslim, sebagaimana
diajarkan Qur’an bukanlah manusia yang suka
menutup diri dan hidup dalam isolasi. Mereka rindu
pengalaman lintas budaya dan agama, mencintai nilainilai kemanusiaan dan perdamaian. Kalau kenyataan
yang terjadi sekarang di mana orang muslim
cenderung menutup diri, melakukan tindakantindakan kekerasan, itu disebabkan oleh orang Kristen
juga. Dua hal disebutkan oleh Nabeel Jabbour.15
1. Orang muslim merasa sulit memahami
pesan-pesan religius dari sesamanya yang Kristen
karena diungkapkan dengan perbendaharaan kata dan
simbol-simbol yang asing. Isi pesannya pun asing bagi
mereka. Kita sudah tunjukkan itu dengan paradigma
benar/salah. 2. Sikap merendahkan, mencurigai,
mengkafirkan dan menjauhi yang diperlihatkan orang
dari agama lain (Kristen) terhadap mereka. Kalau
akhirnya orang muslim masuk dalam sangkar muslim
dan menutup diri terhadap pergaulan dengan agama
lain, bahkan memilih masuk menjadi anggota gerakan
fundamentalis itu karena dua hal di atas.
Keempat, orang Kristen harus bertobat dari
pemberian label ekstrimisme, memprtaktekkan
terorisme, menjalani kehidupan yang fanatisme dan
lebih banyak kesombongan dan omong kosongnya
15
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 41, 34.
Gereja Lintas Agama
197
kepada orang Muslim. Sebab menurut pengenalan
Nabeel Jabbour semua label itu bukan wajah Islam
yang sebenarnya. Sikap ekstrim kaum muslim
sebenarnya adalah sebuah produk peradaban. Artinya
ada hal-hal yang memicu sikap ekstrim yang muncul
di kalangan Islam terhadap dunia Barat dan
kekristenan. Jelasnya, ekstrimitas orang Muslim
sebenarnya adalah reaksi terhadap ekstrimitas orang
Kristen.
Nabeel Jabbour mencatat tiga alasan:16 1).
Perang salib pada abad ke-11 dan 12. 2). Eksploitasi
kekayaan alam negara-negara di wilayah muslim
(Timur Tengah) oleh dunia Barat yang beragama
Kristen disertai pemaksaan demokrasi gaya Amerika di
Timur Tengah. 3). Dukungan terang-terangan
Amerika dan sekutunya terhadap berdirinya negara
Israel di Palestina sekaligus sikap membela tindakan
penindasan Israel terhadap warga Palestina adalah
penyebab reaksi-reaksi ekstrim dari orang Islam
terhadap Barat dan kekristenan.
Tentang perang salib, betapapun terjadi enam
abad yang lalu tetapi lukanya masih membekas dan
menjadi ingatan kolektif orang Islam di Timur Tengah.
Luka itu makin meradang mengingat alasan kedua dan
ketiga yang baru saja kami tunjukan. Teman-teman
Nabeel Jabbour mengungkapkan pendapat mereka
16
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 43-49.
198
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
tentang Perang Salib dan dua alasan lain dalam kalimat
berikut:17
Fanatisme orang Kristen yang haus darah ….
yang menciptakan fanatisme Islam. Dalam
kebijakan negara anda mengenai Timur Tengah,
bukankah anda telah mengisi tangki dan
memperkuat fanatisme dalam diri Islam? Dalam
diri prajurit perang salib modern anda, bukankah
anda melampiaskan amarah terhadap fanatisme
Islam dan meningkatkan kekerasan? Dalam
keinginan
anda
untuk
memberlakukan
demokrasi gaya Amerika pada Timur Tengah,
bukankah anda telah membuka sekaleng cacing
Islam fundamentalis? …. Sejak penciptaan Israel
tahun 1948, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi
sesudahnya, Israel telah menjadi duri dalam
daging bagi kami. Umma kami, solidaritas umat
Allah dalam Islam, menyatukan kami dalam rasa
sakit dan sukacita kami.
Kami ingin meminta perhatian khusus
pembaca mengenai dukungan orang Kristen Eropa dan
Amerika terhadap pendirian negara Israel di Palestina
tahun 1948.18 Saudara-saudara muslim mencatat itu
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 44-45.
Ada dua buku lain dalam bahasa Indonesia yang
menolong kita untuk memahami duduk persoalan
sebenarnya dari konflik Israel-Palestina. Kedua buku itu
adalah: Olaf Schumann. Agama-Agama Kekerasan dan
17
18
Gereja Lintas Agama
199
sebagai pemicu terkini aksi-aksi terror dan radikalisme
yang dipraktekan kelompok-kelompok tertentu dalam
Islam.19 Seorang teman Nabeel Jabbour menulis begini
kepadanya:20
Tak seorang pun dalam keluarga besar saya
adalah kaum fundamentalis, atau bahkan
simpatisan kaum fundamentalis. Tetapi sejak saya
datang ke negara anda (Amerika) dan melihat
dengan mata kepala sendiri standar ganda anda…
saya jadi tertarik kepada fundamentalisme.
Seolah-olah anda sedang mendorong saya ke arah
sana. Apabila seorang pria muda Yahudi
meninggalkan negara ini, pergi ke Israel, secara
sukarela bergabung dengan pasukan Israel, dan
dengan senjata mesinnya menewaskan orangorang Palestina ketika ia menduduki tanah
mereka, anda tidak memandangnya sebagai
seorang teroris. Karena anda memandang Israel
sebagai demokrasi. Saya, di pihak lain,
memandang Israel sebagai sebuah negara yang
mempraktekkan
rasisme
karena
ia
memberlakukan rezim apartheid atas Palestina di
tanah mereka. Sebaliknya, apabila seorang pria
Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011 (terutama
halaman 573-615). Gary M. Bruge. Palestina Milik Siapa.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010.
19
Lihat umpamanya Olaf Schumann. Agama-Agama,
Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
2011. hlm. 573-615
20
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit... hlm. 46.
200
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
muda
Amerika
berkebangsaan
Palestina
meninggalkan negara ini, pergi ke Palestina, dan
menggunakan senjata satu-satunya yang ada,
yaitu tubuhnya, untuk membela wilayahnya
yang diduduki oleh orang lain, anda memandang
dia sebagai teroris. Ketika anda membaca dalam
Alkitab anda bagaimana Simson mati, apakah
anda memandangnya sebagai seorang teroris?
Apakah anda menyalahkan Simson karena ia
menggunakan satu-satunya senjata yang ada,
yakni tubuhnya, untuk membunuh penduduk
sipil yang tidak berdaya?
Contoh-contoh ini didaftarkan Nabeel Jabbour
untuk memperlihatkan betapa pentingnya para
pengikut Kristus membangun keterhubungan yang
otentik dengan saudara-saudara yang beragama lain
(muslim). Para pengiktu Kristus harus siap ambil
bagian dalam kehidupan sehari-hari saudarasaudaranya yang berbeda agama supaya bisa
memahami simpul-simpul pemaknaan hidup yang
membingkai pergumulan iman saudara-saudara dari
agama lain dan atas dasar itu memberitakan Injil
Kristus sebagai pemenuhan dari pertanyaanpertanyaan pemaknaan hidup yang mereka gumuli
dalam agamanya. Para murid Kristus harus keluar dari
kenyamanan kantong Kristen dan bergaul secara alami
dengan saudara-saudara dari agama lain, tanpa niat
mentobatkan mereka. Sebaliknya, dalam perjumpaan
dengan orang Muslin orang kristenlah yang harus
bertobat.
Gereja Lintas Agama
201
Jelasnya, pilihan yang dihadapi orang Muslim
apakah menjadi orang-orang yang pikiran terbuka
(meneladani Yesus) atau menjadi orang-orang yang
berpikiran tertutup (menjadi Muslim Militan)
ditentukan oleh sikap orang Kristen dan dunia Barat
yang Kristen kepada orang Muslim. Karena itu orang
Kristen harus mengembangkan pemahaman tentang
Injil dalam paradigma pemaknaan yang baru. Ada dua
hal yang ditawarkan: 1). Belajar mengenal Islam dari
mata Allah atau mengenal Islam dari dalam. 2). Orang
Kristen juga belajar meninggalkan sangkar Kristen
yang nyaman atau keluar dari etnosentrisme. Poin
pertama sudah kita jabarkan di atas. Sekarang kita
akan beranjak kepada poin kedua.
Etnosentrisitas versus Tinggal di Antara BangsaBangsa
Umat beragama perlu keluar dari sangkar
agama masing-masing untuk mulai belajar saling
mengenal dan menerima perbedaan. Ini sebuah
petualangan yang baru dan membutuhkan keberanian
tetapi perlu dalam rangka membangun masyarakat
baru yang berkedamaian dan berkeadaban. Gerakan
keluar dari kenyamaman sangkar itu menurut Nabeel
T. Jabbour harus dimulai oleh orang Kristen. Warga
gereja tidak perlu menunggu orang dari agama
melakukan itu. Gereja yang harus memprakarsainya
karena hal itu sejalan dengan hakikat gereja sebagai
umat yang dipanggil keluar.
202
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Para pengikut Kristus harus menjadi orangorang di barisan depan yang melakukan gerakan
keluar dari kenyamanan sangkar agama mereka untuk
bertemu dan ambil bagian dalam kehidupan orang
beragama lain. Nabeel Jabbour membahas pokok ini
dengan lebih dahulu mendiskusikan tiga pola hidup
umat Allah baik dalam PL maupun PB sambil
memperlihatkan kekuatan dan kelemahan dari
ketiganya. Ketiga pola itu dia namakan etnosentrisitas,
kehidupan duniawi dan tinggal di antara bangsabangsa. Baiklah kita perhatikan ketiga pola ini satu per
satu.
Pertama, etnosentrisitas sama dengan hidup
eksklusif, mengisolasikan diri dari semua bentuk
kontak dengan sesama yang berbeda agama dan
pandangan hidup. Pola hidup etnosentrisme juga
bermuara pada sikap hidup membenarkan diri dan
kelompok sendiri sambil merendahkan bahkan
mempersalahkan orang-orang dari kelompok yang
lain. Dunia dipecah dalam dua kelompok: kita dan
mereka. Kelompok kita adalah yang beradab,
kelompok mereka adalah biadab. Dalam pola
etnosentrisme umat Allah memilih menjadi komunitas
yang tertutup di tengah masyarakat. Mereka
mengembangkan bahasa, kebiasaan serta nilai-nilai
sendiri bahkan juga cenderung kawin-mawin di antara
kalangan mereka sendiri. Gaya hidup mereka terisolasi
dari masyarakat sekitarnya (Sabit-Salib, 134).
Gereja Lintas Agama
203
Gambar di atas memperlihatkan gaya hidup
etnosentrisme. Para pengikut Kristus (tiga orang yang
kepalanya diberi warna hitam) berkumpul dalam
kelompok khusus, menjadi eksklusif dan tertutup.
Nabeel Jabbour menyebut mereka orang Kristen
bermental
benteng
(Sabit-Salib:
152).
Pola
etnosentrisitas ini saya sejajarkan dengan gambaran
Yesus tentang pelita yang ditaruh di bawah gantang
(Mat. 5:15). Pola ini disebut juga kehidupan yang
memisahkan diri dari dunia. Orang Kristen menjadi
sebuah masyarakat yang hidup di pulau tersendiri dan
menggembangkan kosa-kata bahasa yang hanya
berlaku dan dikenal dalam lingkungan mereka sendiri.
Paul Borthwick mencatat beberapa ciri
kehidupan etnosentrisme yang berbahaya bagi iman
kepada Yesus.21 Pertama, kecenderungan untuk
menilai budaya lain dengan menggunakan standar
budaya kita. Sebagai contoh orang Amerika berkata
bahwa orang-orang di Inggris semuanya salah karena
mereka mengendarai mobil di sisi jalan yang tidak
benar. Kedua, menuntut orang dari budaya lain untuk
menyesuaikan diri dengan budaya dan cara hidup kita,
sementara kita merasa tidak perlu menyesuaikan diri
21
Paul Borthwick. Six Dangerous Questions…. hlm. 23.
204
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
dengan budaya mereka. Ketiga, menciptakan
ungkapan-ungkapan yang bersifat merendahkan atau
menghina orang dari budaya lain atau juga menutupnutupi kelemahan kita sendiri.
Nabeel mencontohkan pola etnosentrisme
dengan sebuah komentar dari Ahmad seorang pemuda
Arab yang tertarik pada kekristenan:22
Pesan Kristen anda merupakan suatu pesan
yang asing bagi saya. Asing dalam
perbendaharaan katanya dan asing juga
dalam isinya. Perbendaharaan kata religious
anda saya diberikan sebuah Alkitab dalam
bahasa Arab. Sekalipun Alkitab itu
berbahasa Arab, dan bahasa ibu saya adalah
bahasa Arab, saya sangat kesulitan
memahaminya. Anda orang-orang Kristen
tampaknya memiliki bahasa religius anda
sendiri. Bahkan figur sentral dalam agama
anda, Yesus, memiliki dua nama dalam
Alkitab Arab. Orang-orang Kristen Arab
menyebut Yesus Yasou’, sementara kami
orang-orang muslim menyebutnya Isa.
Karena anda begitu berhasrat agar kami
memahami agama anda, mengapa tidak
memakai bahasa yang dapat kami mengerti?
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit Melalui Mata Salib.
hlm. 41.
22
Gereja Lintas Agama
205
Pengalaman saya mengajar di UKSW juga
tidak jauh berbeda. Di kelas Magister Sosiologi Agama
yang saya asuh ada beberapa mahasiswa berlatar
belakang Islam. Saya menjelaskan tentang pembenaran
oleh anugerah di dalam iman. Selesai menjelaskan,
seorang mahasiwi berkerudung langsung berkomentar:
“Pak, saya benar-benar merasa asing dengan cara
kalian berpikir tentang iman dan Allah. Ungkapan
pembenaran oleh anugerah dalam iman membuat saya
berkesan bahwa kamu boleh sesuka hati berbuat dosa
dan kejahatan, karena toh nanti Allah siap untuk
mengampuni. Bagi kami di dalam Islam, pembenaran
seperti itu terlalu murah. Kami harus bekerja keras
untuk mendapat perkenanan dari Allah.23
Kedua, lawan dari etnosentrisitas adalah
kehidupan yang menyatu dengan dunia atau menjadi
duniawi. Dalam pola ini, umat Allah membaur dengan
kehidupan masyarakat di mana mereka berada.
Pembauran itu terjadi begitu rupa sampai mereka
terhanyutkan atau kehilangan identitas sebagai
utusan-utusan Kristus. Meminjam gambaran Yesus,
mereka ini ibarat garam yang telah menjadi tawar
(Mat. 5:13).
23
Titi Fauzi. Dialog dalam kelas kuliah Magister Sosiologi
Agama tahun 2012.
206
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Dalam gambar ini para pengikut Kristus (tiga
orang dengan kepala berwarna hitam) menyebar atau
membaur ke dalam lingkungan orang-orang bukan
Kristen. Tetapi karena tidak adanya kontak intensif
atau rutin di antara mereka maka kemuridan mereka
akan Kristus luntur. Mereka menjadi serupa dengan
dunia.
Pola ketiga adalah kehidupan Kristen yang
tinggal di antara bangsa-bangsa. Orang-orang yang
percaya
kepada
Yesus
membiarkan
Injil
mempengaruhi seluruh hidup mereka. Mereka yang
sudah diubah oleh Injil tidak membentuk kelompok
yang eksklusif (model pertama). Mereka ini tinggal di
tengah-tengah masyarakat, menggunakan bahasa yang
dipakai masyarakat sekeliling, pergi ke pasar, sekolah,
rumah sakit dan restoran yang juga dikunjungi orangorang non-Kristen. Mereka berada di arus utama
kehidupan bukan sebagai orang yang kehilangan
identitas sebagai utusan Kristus seperti yang terjadi
dengan model kedua.
Sebaliknya, di tengah-tengah masyarakat
mereka, seperti yang dikehendaki Allah di dalan
Kristus, bercahaya menerangi kegelapan seperti pelita
atau menjadi seperti ragi atau garam yang
mengkhamiri masyarakat dengan anugerah dan
Gereja Lintas Agama
207
kebenaran (Sabit-Salib, 138). Meminjam pernyataan
Pdt. L.Z. Raprap, kehadiran mereka berdampak bagi
lingkungan di mana mereka berada, yakni mengubah
keadaan sekitarnya menjadi lebih baik.24
Para pengikut Kristus dalam model ketiga,
seperti ditunjukkan Nabeel Jabbour dalam tiga orang
berwarna hitam dalam gambar di atas, menjaga
keseimbangan antara hidup yang terpisah dari dunia
dan yang duniawi. Mereka berjalan di atas palang
keseimbangan antara dua sisi tadi. Para pengikut
Kristus tadi berada dalam dunia tetapi tidak menjadi
serupa dengan dunia. Mereka mengarami dan
menerangi kehidupan di sekitarnya karena secara rutin
mereka yang berserak itu bersekutu dalam ibadah dan
bersama memahami kehendak Tuhan melalui
pendalaman terhadap pesan-pesan Injil.
Pdt. L.Z. Raprap. Ada Waktu Mengelus Ada Waktu
Menampar. Kumpulan Khotbah Jenaka. Jakarta: BPK
24
Gunung Mulia. 2008. hlm. 27.
208
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Plus-Minus Tiga Pola Hidup Umat Allah
Sikap hidup etnosentrisme tentu saja baik,
terutama bagi satu komunitas yang berstatus sebagai
kaum minoritas sebab dengan menutup diri terhadap
masyarakat sekitar dan dunia luas mereka memperkuat
identitas dan jatidiri dan menjadi solid. Nilai-nilai
hidup yang dimiliki oleh masyarakat dalam komunitas
itu tidak mudah hilang, bahkan akan dipelihara turun
temurun. Dalam pola hidup etnosentrisme solidaritas
sosial antar sesama anggota komunitas menjadi sangat
kuat dan tak tergoyahkan.
Meskipun begitu ada juga bahaya jika umat
Allah hanya menjadi kaum yang hidup terisolasi atau
memisahkan diri dari dunia, atau mengembangkan
pola hidup etnosentrisitas. Kalau diringkas dari
pendapat Paul Borthwick bahayanya adalah bukan lagi
interese Allah (Alkitab) yang menjadi patokan bagi
sikap kita terhadap orang dari luar kelompok kita,
melainkan interese kita sendiri, lalu ayat-ayat kitab
suci dipakai untuk membenarkan interese kita itu.25
Bahaya itu ditunjukkan Nabbel Jabbour dengan
menganalisa keberadaan Israel di Mesir sebelum
peristiwa
keluaran
(eksodus).
Kejadian
47
menyaksikan bahwa Yusuf menunjuk tanah di Ramses
sebagai tempat tinggal saudara-saudaranya. Ia
menjamin kehidupan saudara-saudaranya dengan
kemewahan dan keamaman. Mereka tidak perlu
bekerja. Kemewahan itu diterima secara cuma-cuma.
25
Paul Borthwick. Six Dangerous Questions…. hlm. 13-22.
Gereja Lintas Agama
209
Perlakuan Yusuf terhadap orang Mesir justru
sebaliknya. Ia menerapkan sebuah sistim yang
membuat kekayaan Firaun terus menumpuk dan
seluruh penduduk Mesir akhirnya menjadi budak
Firaun. Mereka yang adalah penduduk asli dan
mayoritas dipaksa bekerja keras demi memperoleh
makanan dari Firaun. Yusuf memperkenalkan sebuah
sistim feodal yang membuat Firaun menjadi sangat
berkuasa di seluruh Mesir (Sabit-Salib, 143).
Yusuf membuat keluarga Yakub, umat Israel
menjadi satu komunitas yang tertutup, atau yang oleh
Andreas Yewangoe disebut menghetto. Kehidupan
Israel di Mesir yang menghetto ini terpisah dari
masyarakat berlangsung sekitar selama 400 tahun.
Kebijakan ini membuat orang Israel menjadi
masyarakat yang tertutup selama menetap di Mesir.
Mereka mengembangkan bahasa, kebiasaan serta nilainilai sendiri bahkan juga cenderung kawin-mawin di
antara kalangan mereka sendiri.
Sikap Firaun yang naik tahta setelah kematian
Yusuf, yakni menerapkan perbudakan dan kerja paksa
kepada orang Israel tidak bisa dilepaskan dari latar
belakang tadi. Setelah 400 tahun ternyata orang Israel
tetap sebagai orang asing bagi saudara-saudara di
Mesir. Adalah normal jika kemudian orang Mesir
mencurigai keberadaan orang-orang Israel yang
eksklusif tadi, apalagi jumlah mereka makin hari
makin bertambah. Mereka bisa menjadi kekuatan yang
menakutkan, terutama jika mereka bersekutu dengan
musuh untuk menaklukkan bangsa Mesir.
210
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Nabeel Jabbour tidak eksplisit tetapi dari
uraiannya timbul kesan bahwa perlakuan istimewa
Yusuf terhadap saudara-saudaranya bertentangan
dengan tujuan Allah memilih Israel, yakni menjadi
berkat bagi bangsa-bangsa. Yusuf justru membuat
Israel menjadi ancaman bagi Mesir. Perlakuan Yusuf
terhadap saudara-saudaranya selama di Mesir lebih
didasarkan pada interese pribadi dan bukan interese
Allah (Sabit–Salib, 149).
Penindasan dan penderitaan yang dialami
Israel di bawah pemerintahan Firaun yang
memerintah pasca Yusuf adalah reaksi atas
eksklusivitas (etnosentrisme) Israel. Kalau rakyat
Mesir berdiam diri terhadap kebijakan rejim Firaun
yang baru, itu bukan pertama-tama karena mereka
menyetujui penindasan dan perbudakan. Tetapi karena
minimnya pengenalan personal dan longgarnya rasa
persaudaraan di antara kedua kelompok itu: orang
Mesir dan orang Israel dan tentu saja sikap curiga,
jangan-jangan satu kali kelak Israel akan menjadi
ancaman bagi mereka.
Sikap hidup eksklusivisme atau etnosentrisme
di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk tidak
memungkinkan
terjadinya
pergaulan
serta
persaudaraan yang kuat di antara kelompok-kelompok
tadi. Ini membuat rendahnya semangat solidaritas di
antara
mereka.
Eksklusivisme
hanya
akan
menimbulkan saling curiga dan makin memperkuat
adanya roh permusuhan di antara kelompok-kelompok
itu.
Gereja Lintas Agama
211
Menjalani hidup dengan pola duniawi atau
menyatu dengan masyarakat sehingga kehilangan
identitas dan otensitas diri tentu saja memperlihatkan
kemampuan adaptasi yang tinggi dari komunitas yang
bersangkutan. Tetapi bahayanya ialah pembaruan itu
berakibat hilangnya nilai-nilai dasar yang menjadi
pijakan dan pembentuk karakter dari komunitas
dimaksud. Hilangnya nilai yang menjadi pijakan akibat
terlalu bersifat akomodatif membuat komunitas itu
bukan lagi sekedar bisa beradaptasi, malah menjadi
kompromistis dan oportunistis.
Pemberitaan Nabi-Nabi Adab ke-8 SM
Belajar dari akibat negatif kehidupan Israel
selama diperbudak di Mesir dan mempertimbangkan
kembali tujuan pemilihan Allah atas Israel, para nabi
abad ke-8 tak henti-hentinya melakukan perlawanan
terhadap pola hidup etnosentrisitas. Isi pemberitaan
mereka kepada orang Israel yang hidup sebagai orang
tawanan dan pendatang di Babel diformat ulang.
Mereka menentang dengan keras eksklusivisme, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Yeremia adalah salah satu nabi yang dengan
terang-terangan menentang pola hidup eksklusivisme.
Ia menyampaikan pemberitaan yang bercorak
melawan arus, yakni berkata bahwa Allah
212
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
menghendaki Yerusalem menyerah.26 Kepada saudarasaudari sebangsa yang diangkut ke pembuangan di
Babel Yeremia menyarankan mereka untuk hidup
berbaur. Ia mendorong mereka untuk menjalani
kehidupan di Babel bukan dengan mental pengungsi.
Mereka harus berperilaku sebagai penduduk yang
menetap di Babel (lamanya masa pembuangan 70
tahun, itu sama dengan lamanya masa hidup seorang
manusia). Seruan Yeremia ini kita temukan dalam
Kitab Yeremia 29:4-7.
Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah
Israel, kepada semua orang buangan yang
diangkut ke dalam pembuangan dari Yerusalem
ke Babel: Dirikanlah rumah untuk kamu diami;
buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya;
ambillah isteri untuk memperanakkan anak lakilaki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi
anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi
anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan
anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu
bertambah banyak dan jangan berkurang!
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu
Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada
TUHAN,
sebab
kesejahteraannya
adalah
kesejahteraanmu.
Eka Darmaputera. Tuhan Dari Poci dan Panci. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1979. hlm. 152.
26
Gereja Lintas Agama
213
Yeremia menyerukan kepada bangsa itu untuk
hidup berbaur dengan masyarakat selama berada di
pembuangan. Mereka harus menjauhkan diri dari pola
hidup isolasi sebagaimana yang dikembangkan Yusuf
di Mesir terhadap nenek moyang mereka dahulu.
Mereka perlu memiliki pandangan jauh ke depan.
Karena pemberitaan itu Yeremia dibenci. Ia dianggap
tidak patriotik tetapi inilah pilihan hidup yang berada
pada koridor panggilan mereka, yakni menjadi berkat
bagi sesama (Sabit-Salib, 145).
Dengan sikap membaur, beberapa orang
pilihan, seperti Daniel, Sadrakh, Mesakh dan
Obednego mendapat kedudukan yang penting dalam
istana dan memberi pengaruh pada kerajaan, persis
seperti pengalaman Yusuf sewaktu di Mesir. Dia
membaur, tinggal di rumah Potifar, menjadi sahabat
juru minum dan juru makan Fairau di penjara. Semua
ini menjadi kekayaan yang kemudian membuat dia
diingat waktu ada masalah di Istana karena mimpi
Firaun itu.
Paul Borthwick menyebut pola hidup
membaur ini dengan istilah integrasi sebagai lawan
dari pola hidup evangelism.27 Integrasi artinya ambil
bagian aktif dalam perjuangan dan pergumulan nyata
yang dialami sesama bertolak dari pemahaman iman
yang mendalam akan kasih Allah di dalam Kristus,
sebagaimana dicontohkan oleh Bunda Teresa.
Sedangkan evangelisme menunjuk pada sikap hidup
27
Paul Borthwick. Six Dangerous Questions…. hlm. 88-92.
214
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
yang didorong oleh semangat untuk mentobatkan
sesama ke dalam agama kita.
Patut dicatat bahwa mengembangkan hidup
yang berkarakter integrasi tidak berarti kehilangan
identitas dan jatidiri sebagai pengikut Kristus. Integrasi
tidak harus membuat terhanyutkan. Daniel, Sadrakh,
Mesakh, dan Obednego menyadari hal itu. Mereka
mengintegrasikan hidupnya dalam keseluruhan
dinamika bangsa Babel, tetapi mereka tetap menjaga
identitas kemuridan mereka. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Yusuf selama dia menetap di Mesir.
Inilah juga inti dari seruan Yeremia kepada saudarasudarinya yang di pembuangan.
Penginjilan Evangelisme dan Penginjilan Relasional
Dari tiga pola hidup Kristen di tengah
masyarakat majemuk: etnosentrisitas, kehidupan
duniawi dan tinggal di antara bangsa-bangsa Nabeel T.
Jabbour memilih pola ketiga sebagai yang harus
dijalani para pengikut Kristus. Nama Yesus Kristus dan
pengajaranNya akan lebih mudah diamini dan diimani
oleh sesama dari agama tetangga jika para pengikut
Kristus mengembangkan pola hidup ketiga (tinggal di
antara bangsa-bangsa tetapi tidak terhanyutkan).
Pengikut Kristus yang harus pergi ke ruang hidup
orang-orang yang agamanya berbeda dan menjadi satu
dengan mereka, bukan meminta orang-orang itu
meninggalkan agamanya dan menjadi satu dengan
orang Kristen.
Gereja Lintas Agama
215
Pola hidup tinggal di antara bangsa-bangsa
sama sekali tidak meniadakan penginjilan. Tugas
penginjilan tetap harus dilaksanakan karena itu adalah
perintah sang Juruselamat. Yang berbeda ialah metode
atau model penginjilan. Nabeel T. Jabbour lalu
berbicara tentang penginjilan relasional yang berbeda
dengan penginjilan evangelisme. Seperti apakah dua
model penginjilan itu? Untuk jelasnya Nabeel Jabbour
mengisahkan dua kasus berikut.
Pertama, tentang dua orang Kristen Koptik
(orang Kristen Mesir): Samuel dan Maged (Sabit-Salib,
153-159). Samuel adalah anggota kelompok
pemahaman Alkitab. Ia bekerja sebagai guru di sebuah
sekolah milik pemerintah yang berjarak hanya lima
menit dari apartemennya. Dalam sehari ia bekerja
delapan jam. Gaji yang diperolehnya sangat kecil.
Meskipun begitu, ia menyukai pekerjaan itu, karena
sisa waktunya dia pakai untuk urusan di gereja, yakni
mengikuti rapat-rapat dan berbagai aktivitas internal
jemaat.
Suatu waktu ia mendapat tawaran bekerja di
sebuah pabrik dengan gaji yang lumayan besar. Tapi
untuk itu ia harus bekerja enam hari dalam seminggu
12 jam dalam sehari. Ia juga harus bekerja di antara
sesama pekerja pabrik yang mayoritas beragama Islam.
Sebelum mengambil keputusan menerima atau
menolak tawaran itu, Samuel berkonsultasi dengan
Nabeel Jabbour.
216
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Pendirian awal Samuel adalah menolak
tawaran bekerja di pabrik. Alasannya, ia akan
kehilangan banyak waktu yang selama ini dipakai
untuk melayani dalam gereja. Nabeel, menyarankan
Samuel menerima pekerjaan itu. Memang waktunya
untuk pelayanan di gereja akan banyak tersita, tetapi
justru waktunya untuk memperkenalkan Yesus kepada
rekan-rekan sekerja yang Muslim akan sangat besar
kalau ia hadir di sana dan membangun relasi personal
dengan mereka. Setelah berembuk agak lama dan
mendengarkan
pertimbangan
Nabeel,
Samuel
memutuskan untuk menerima tawaran sebagai pekerja
di pabrik itu.
Satu minggu kemudian, yakni hari pertama
Samuel mulai bekerja di pabrik, dia dijemput oleh bus
pegawai. Ternyata ada juga seorang Kristen lain yang
diterima bekerja di pabrik. Namanya Maged. Dia
adalah anggota satu gereja dengan Samuel. Maged
adalah seorang Kristen yang bergaya etnosentrisme,
orang Kristen yang suka mengisolasikan diri. Mereka
menunggu bus di halte yang sama.
Bus yang menjemput mereka sudah tiga
perempatnya penuh. Maged lebih dulu masuk ke
dalam bus. Maged menyapa semua orang yang sudah
di dalam bus dengan istilah Kristen Arab: “Syalom.”
Tidak seorangpun yang menanggapinya, dan tak
satupun yang menawarkan Maged tempat duduk.
Maged terus melangkah ke bagian paling belakang dan
duduk seorang diri si situ.
Gereja Lintas Agama
217
Samuel menyusul. Dia memberi senyum dan
menyampaikan selamat kepada mereka yang sudah
dalam bus dengan ucapan salam muslim Arab:
“Assalamu’alaikum.” Seperti di komando, semua yang
ada di dalam bus menjawab Samuel: “Wa’alaikum
salam warahmatullahi wabarakatu.” Lalu tiap orang
menggeser duduk sebagai isyarat mengajak Samuel
duduk di samping mereka. Samuel duduk di sisi
seorang teman muslim.
Beberapa bulan berikutnya umat Islam
memasuki
bulan
puasa.
Pemimpin
pabrik
menyediakan tempat khusus bagi pegawai yang
Kristen untuk makan dan minum dalam tiga kali
kesempatan istrahat. Setiap pegawai yang muslim tahu
apa yang dilakukan pegawai Kristen di kamar itu.
Mereka membenci orang Kristen karena hal itu.
Samuel dan Maged bergabung dengan temanteman Kristen di ruang itu pada waktu istrahat di
bulan Ramadhan. Tetapi setelah lewat beberapa hari
Samuel berbuat lain. Dia berdoa kepada Tuhan
melaporkan rencananya untuk ikut berpuasa dengan
orang-orang muslim, meskipun tidak persis sama
dengan mereka. Selama berada di tempat kerja,
bersama saudara-saudara muslim ia tidak makan dan
minum sedikitpun. Samuel hendak menyampaikan
pesan kepada saudara-saudara muslim bahwa karena ia
telah menjadi teman mereka, ia juga berpuasa karena
mengasihi mereka dan mengintegrasikan hidupnya
dengan mereka.
218
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Pegawai-pegawai
yang
muslim
sangat
menghormati Samuel. Mereka tidak segan-segan
meminta nasehat dan bimbingan dari Samuel. Bahkan
seringkali mereka memohon Samuel mendoakan
mereka, bahkan mereka tidak keberatan Samuel
mendoakan mereka dalam nama Yesus Kristus.
Setahun setelah bekerja di pabrik itu, Samuel bertemu
Nabeel. Dia bercerita bahwa sejak bekerja di sana, ia
mendapat banyak kesempatan untuk menceritakan
Kristus kepada saudara-saudara muslim. Kalau saja ia
tetap memilih sebagai guru, kesempatan itu tidak
pernah akan terbuka baginya.
Samuel adalah salah satu model bagaimana
menjadi orang Kristen yang tinggal di antara bangsabangsa. Samuel mempraktekan penginjilan relasional,
bukan penginjilan evangelisme. Penginjilan relasional
tidak mulai dengan menceritakan Kristus kepada
sesama, tetapi dengan mengintegrasikan diri dengan
perjuangan dan pergumulan nyata yang dialami
sesama. Di penghujung dari relasi persaudaraan itu
barulah nama dan karya Kristus disampaikan. Tujuan
penginjilan relasional bukan untuk membuat
seseorang berpindah agama, melainkan mengukuhkan
dia tetap dalam agamanya. Tetapi karena yang
bersangkutan telah mengalami perjumpaan dengan
Yesus dan menjadi muridNya, maka yang
bersangkutan bukan hanya memahami ajaran
agamanya secara baru. Ia juga dengan sendirinya akan
ikut membersihkan hal-hal dalam agamanya yang
nyata-nyata bertentangan dengan Injil Kristus.
Gereja Lintas Agama
219
Kedua, Mustafa adalah contoh lain dari
penginjilan relasional. Dia tertarik kepada Yesus dan
minta diajari Injil dalam pertemuan rutin setiap
minggu. Nabeel Jabbour menyanggupi permintaan itu
dengan syarat apabila Mustafa mendapat ijin dari
kedua orang tuanya. Mustafa terkejut dan menjelaskan
kepada Nabeel bahwa kalau ia harus minta ijin lebih
dahulu dari ayahnya, pastilah ijin itu tidak akan
diperoleh. Nabeel menunjukkan kepadanya perintah
kelima Dasa Titah Musa dan menjelaskan kepadanya
bahwa kesepuluh perintah itu adalah ringkasan dari
syari’at bagi pengikut Kristus. Keterkejutan Mustafa
tidak hilang, tetapi karena Nabeel menegaskan harus
ada ijin terlebih dahulu maka Mustafa berjanji
melakukannya.
Pertemuan yang disepakai minggu berikutnya
ternyata tidak terjadi, karena Mustafa tidak muncul.
Nabeel kehilangan kontak dengan Mustafa. Kira-kira
setahun setelah itu, secara kebetulan Nabeel bertemu
Mustafa di pusat perbelanjaan Kairo. Mustafa bercerita
kepada Nabeel bahwa ia mentaati perintah agar
menghormati orang tuanya sebagai wujud hormat
kepada Allah. Ia tidak datang menjumpai Nabeel
karena orang tuanya tidak memberi ijin. Nabeel
menghormati keputusan Mustafa dan orang tuanya.
Mustafa lalu memberitahu Nabeel
pamannya baru saja dimakamkan. Mereka
berduka. Di Mesir, selama tiga malam
pemakaman kaum kerabat akan datang
memberi ucapan belasungkawa bagi keluarga.
220
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
bahwa
sedang
setelah
untuk
Nabeel
bertanya kepada Mustafa apakah baik kalau dia datang
ke rumah Musfata untuk ikut memberi ucapan
belasungkawa. Mustafa setuju dan memberikan alamat
rumahnya kepada Nabeel.
Malam itu Nabeel pergi ke rumah Mustafa. Dia
tiba saat Syeik sedang melantunkan ayat-ayat Alquran. Nabeel duduk dengan tenang menikmati
lantunan ayat-ayat Al-quran itu. Mustafa yang melihat
Nabeel berbisik kepada ayahnya dan memberitahu
bahwa itulah orang yang mendorong dia untuk
meminta ijin terlebih dahulu dari ayah sebelum
bertemu dia untuk membacakan Injil baginya. Ayah
Mastafa memperhatikan Nabeel yang duduk
menikmati pembacaan Al-quran tanpa memegang
hidup sebagai tanda jijik atau bahasa tubuh yang
meremehkan Islam seperti yang biasa dilakukan orang
Kristen kalau merasa tidak nyaman dengan ibadah
agama lain.
Saat Syeik berhenti mengaji Nabeel mendekati
Mustafa dan meminta diperkenalkan kepada ayahnya.
Ayahnya langsung berdiri, menjabat tangan dan
mempersilahkan Nabeel duduk di sampingnya.
Mereka berbincang-bincang dan bercerita tentang
banyak hal kira-kira selama satu jam. Lalu Nabeel
pamit. Dia kaget karena bukan hanya Mustafa yang
mengantar dia sampai di luar tenda. Ayahnya juga ikut
berjalan sampai kira-kira 25 meter sebagai tanda
hormat. Nabeel karena itu berhenti dan meminta ayah
dan anak untuk masuk karena masih ada banyak tamu,
tetapi mereka terus menemani dia sampai ke tempat
Gereja Lintas Agama
221
parkir. Lalu ayah dan anak itu kembali ke tenda duka.
Pada saat Nabeel menghidupkan mobil dan hendak
menutup pintu untuk pergi, Mustafa berlari-lari
mendekati Nabeel dengan kabar bahwa baru saja
ayahnya memberikan dia ijin untuk bertemu Nabeel
supaya mengajarkan Injil kepada Mustafa (Sabit-Salib:
226-230).
Penginjilan evangelism berbuat sebaliknya.
Nabeel Jabbour menunjukkan itu dengan kisah nyata
lain yang dia sendiri alami, yakni tentang Ali. Di Kairo
ada seorang pemuda Muslim bernama Ali. Ia
menunjukkan ketertarikan kepada Yesus. Ia datang
kepada Nabeel Jabbour dan meminta sebuah Alkitab
sekaligus bimbingan agar bisa memahami isi kitab itu.
Setelah enam bulan pertemuan rutin seminggu sekali
secara sembunyi-sembunyi, Ali mengaku bahwa ia
telah percaya kepada Kristus. Nabeel Jabbour dan
istrinya mensyukuri hal itu bersama Ali dalam doa.
Lalu mereka meminta Ali menceritakan hal itu
kepada kedua orang tuanya. Semula Ali keberatan
karena itu akan berakibat merusak hubungannya
dengan keluarganya karena akan dianggap sebagai
sebuah penghinaan terhadap Islam dan iman orang
tuanya. Tetapi karena Nabeel dan istrinya menegaskan
bahwa seorang pengikut Kristus harus bersaksi kepada
orang lain tentang imannya, apapun resikonya, maka
Ali melakukannya. Hasilnya, justru fatal. Ali diusir
oleh orang tuanya. Hidupnya menjadi terkatungkatung (Sabit-Salib: 222-225).
222
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Penginjilan evangelism menuntut penerima
Injil untuk melakukan pemutusan hubungan yang
radikal dan total dengan semua yang menjadi bagian
dari masa lalu, yakni, keluarganya, agamanya, caranya
berpakai, bahasa dan ungkapan-ungkapan religius
yang telah menjadi bagian dari kepribadian dan
integritas dirinya. Seorang pengikut Kristus harus
menyangkal segala sesuatu yang telah menjadi darah
dagingnya dan memulai sesuatu yang baru, betapapun
itu berat dan asing karena Kristus memang
menghendaki begitu. Penginjilan evangelisme,
menurut istilah Kosuke Koyama, mewajibkan
penerima Injil untuk meludahi semua yang
dimilikinya sebelum mengenal Kristus. 28
Penginjilan
evangelisme
menurut Nabeel
Jabbour bertentangan dengan pesan Injil: Kasihilah
sesamamu seperti dirimu sendiri. Injil adalah kuasa
yang mempersekutukan bukan mencabik-cabik dan
menghancurkan persaudaraan. Mewajibkan seseorang
memutuskan hubungan dengan semua miliknya
sebelum mengenal Injil ditolak oleh Nabeel Jabbour
sebagai sesuatu yang anti Injil.
Alkitab Tentang Penginjilan Reasional
Penginjilan relasional memberitakan Injil
kepada seseorang tanpa mewajibkan dia untuk
Kosuke Koyama. Tidak Ada Gagang Pada Salib. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 123.
28
Gereja Lintas Agama
223
menyeberang ke agama Kristen. Kebebasan perlu
diberikan kepada penerima Injil untuk memilih
apakah tetap tinggal dalam agama semua atau
menyeberang ke agama Kristen (Sabit-Salib: 267).
Pertimbangannya, ada orang dari agama lain yang
merasa terlalu berat untuk memutuskan hubungan
dengan orang tua, keluarga dan teman-temannya.
Mereka lebih suka tinggal dalam latar belakang
mereka sendiri dan berupaya membersihkan saluransaluran dalam relasi mereka. Sadar bahwa gagasannya
ini bakal ditolak karena tidak memiliki pendasaran
Biblis, Nabeel Jabbour menunjukkan dasar-dasar biblis
untuk penginjilan relasional.
Nabeel Jabbour mulai dengan menunjuk pada
kisah Naaman dalam Perjanjian Lama (II Raja. 5).
Pejabat tinggi Aram ini sakit kusta. Ia disembuhkan
oleh Allah lewat perantaraan nabi Elisa. Naaman
mengaku percaya kepada Yahweh dan hanya
menyembah Dia sebagai Allah yang hidup. Tetapi
Naaman adalah orang kepercayaan raja Aram. Raja
selalu meminta Naaman menemani untuk ke kuil,
berdoa di depan patung Rimon dan berlutut di depan
patung itu. Naaman tahu bahwa Rimon hanya berhala
dan ia tidak boleh menyembah Rimon lagi setelah dia
mengenal Yahweh.
Tetapi kalau dia menolak permintaan raja
menemaninya dalam ibadah, doa dan sujud di hadapan
Rimon, pastilah Naaman dipecat. Naaman tidak ingin
kehilangan jabatan itu, pindah ke Israel untuk
menyembah Yahweh. Naaman berada dalam dilemma.
224
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Waktu masalah itu diceritakan kepada Elisa untuk
minta nasehat, Elisa tidak keberatan. Dia mengijinkan
Naaman untuk kembali ke Damsyik dan tetap
menyertai raja masuk kuil dan ikut berlutut di depan
Rimon bersama raja (Sabit-Salib: 255-257).
Kisah Naaman yang disejajarkan Nabeel
Jabbour dengan cerita Kornelius dalam Kisah Rasul 1011 dijadikan dasar untuk menegaskan bahwa orang
yang percaya kepada Yahweh boleh tetap menjalankan
kewajiban-kewajiban yang dituntut dalam agamanya
sebab yang Yahweh lihat adalah hati manusia, bukan
hanya bentuk-bentuk luar ibadah. Cerita hidup dua
pejabat militer ini juga menunjukkan bahwa Yahweh
hadir di luar batas-batas agama dan geografi Israel.
Teks kedua yang ditunjuk Nabeel Jabbour
adalah I Korintus 7:17-24 dengan referensi silang I
Petrus 3:1-6. Nabeel Jabbour memakai teks ini bukan
sekedar untuk mendukung pendapat bahwa seorang
Muslim boleh tetap tinggal dalam agamanya pada saat
ia menerima Injil. Teks ini dipakai juga untuk
menunjukan bahwa orang yang sudah menerima Injil
boleh tetap tinggal di dalam agamanya semula, tapi
bukan tinggal secara pasif. Tidak! Ia harus ada dalam
agamanya secara aktif, atau ada tugas yang harus dia
kerjakan di dalam agama itu. Nabeel Jabbour
menyebut tugas itu sebagai menjadi garam dan terang
(Sabit-Salib: 258). Artinya, dia dapat membersihkan
saluran-saluran relasi dan pemahaman-pemahaman
statis yang ada dalam agamanya.
Gereja Lintas Agama
225
Kata kunci dalam I Korintus 7 yang dijadikan
pijakan bagi Nabeel Jabbour untuk membangun
pemahaman tadi adalah “baiklah tiap-tiap orang
tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil
Allah. Apakah engkau hamba waktu engkau dipanggil?
Itu tidak apa-apa. Tetapi jika engkau mendapat
kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah
kesempatan itu.” Pernyataan ini penting karena
diulang Paulus sampai tiga kali (ayat 17, 20, 24).
Menurut Nabeel Jabbour pernyataan ini tidak
boleh dibatasi hanya dalam hubungan tuan-hamba,
tetapi juga hubungan percaya-tidak percaya antara
suami-istri seperti yang ditulis Paulus dalam ayat-ayat
sebelumnya, tetapi juga dalam pengertian perbedaan
agama: Yahudi-bukan. Paulus berkata bahwa tetap
tinggal dalam latar belakangnya pada saat dipanggil
adalah tugas atau panggilan dari dia (Sabit-Salib: 263).
Mengomentari teks ini Nabeel Jabbour menulis sebagai
berikut:29
Prinsip ini dapat juga diterapkan pada
kontroversi Yahudi/bukan Yahudi dan masalah
hamba-majikan. Kepada orang Yahudi yang telah
percaya kepada Kristus, Paulus mengatakan agar
jangan ia menjadi seorang Kristen bukan Yahudi.
Sedangkan kepada orang Kristen bukan Yahudi,
Paulus mengatakan agar jangan ia menjadi
seorang Kristen Yahudi. Menjadi orang Yahudi
29
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit. hlm. 263-4.
226
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
atau menjadi orang bukan Yahudi tidak soal.
Yang penting adalah berserah kepada Kristus dan
mempertahankan
identitas
pribadi
serta
menikmati asal-usulnya sendiri. Yang penting
bukan apakah ia orang Kristen persegi atau
lingkaran. Melainkan ia berada dalam lingkaran
ekklesia.
Setelah komentar ini Nabeel Jabbour
menegaskan bahwa gambaran tadi berlaku juga dalam
hal Kristen dan Muslim. Orang Muslim tidak harus
mengubah bentuk dan identitasnya agar bisa masuk
dalam Kerajaan Allah. Ia dapat langsung masuk
melalui pintu gerbang kerajaan yang lebar, dan tidak
perlu masuk melalui pintu gerbang sempit berupa dua
puluh abad identitas serta tradisi-tradisi Kristen.
Naaman dan kornelius jadi rujukan bagi Nabeel
Jabbour untuk ini (Sabit-Salib: 264).
Ekklesia Tersembunyi dan Gereja Kasat Mata
Bertolak dari pemahaman tentang penginjilan
Nabeel Jabbour sampai pada percakapan
mengenai ekklesia. Dalam merenungkan model gereja
yang tepat Nabeel juga mempertimbangkan pendapat
orang Muslim tentang perpindahan agama sebagai
sebuah penghianatan. Pencaharian dia akan model
gereja diawali dengan pertanyaan: “Apakah untuk
percaya kepada Kristus seseorang perlu meninggalkan
Islam dan masuk dalam kekristenan? Dapatkah
relasional
Gereja Lintas Agama
227
seorang Muslim percaya dengan sepenuh hati kepada
Kristus namum tetap tinggal di antara kaumnya sendiri
sebagai garam dan terang? (Sabit-Salib: 234).
Jawaban yang diberikan Nabeel Jabbour untuk
pertanyaan ini adalah: “Kita harus memberikan dua
pilihan bagi orang Muslim untuk menentukan, apakah
bergabung dengan kekristenan atau tetap tinggal
dalam latar belakang mereka untuk membersihkan
saluran-saluran relasi mereka” (Sabit-Salib: 267). Kalau
seorang Muslim lebih memilih opsi kedua, kita harus
menghormati pilihan itu. Pilihan itu sendiri tidak
bertentangan dengan Injil.
Ekklesia tersembunyi, gereja tidak kasat mata
adalah ungkapan yang dipakai Nabeel Jabbour untuk
menggambarkan posisi eklesiologinya. Yang dia
maksudkan dengan ekklesia tersembunyi adalah orang
yang menerima Injil atau percaya kepada Kristus
dalam perserakan atau diaspora. Mereka tetap tinggal
dalam dunia Islam, hidup sebagai orang Muslim tetapi
percaya kepada Kristus dengan sepenuh hati.
Mereka tidak memberitahukan secara terbuka
kepada keluarga dan orang-orang sekitar keberadaan
baru mereka sebagai pengikut Kristus, bukan karena
takut atau mengkompromikan Injil (Sabit-Salib: 234).
Mereka lakukan itu karena ada banyak hal dalam
kekristenan yang mereka anggap asing, bahkan tidak
bisa mereka terima, seperti berdoa sambil duduk
bahkan berpangku kaki atau cara berpakaian para
perempuan yang sangat menyolok dan kebarat228
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
baratan. Selain itu, dengan tetap menjadi Muslim ada
dua misi positif yang mau mereka lakukan.
Pertama,
mereka
mau
melakukan
pembersihan-pembersihan terhadap saluran-saluran
dalam agama mereka bertolak dari Injil Kristus,
dengan paradigma rangka empat kuasa pembebasan
Injil yang sudah kami utarakan. Kedua, harta terindah
yakni Injil yang sudah mereka miliki mau juga mereka
bagikan kepada keluarga mereka dengan harapan satu
saat kelak semua keluarga mereka juga menerima Injil
(Sabit-Salib: 236).
Anggota dari ekklesia tersembunyi tetap
menjalankan ketentuan-ketentuan ibadah dalam
agama mereka, Muslim tetapi dengan cara pandang
yang baru. Inilah juga yang terjadi dengan Petrus dan
Yohanes setelah Pentakosta pertama di Yerusalem.
Dua rasul ini tetap mengikuti ibadah di Bait Allah
sesuai jam-jam doa agama Yahudi. Mereka sama sekali
tidak mengutuk agama Yahudi dan menyeberang ke
agama baru, Kristen karena memang waktu itu belum
ada agama Kristen. Mereka adalah orang beragama
Yahudi yang percaya kepaada Yesus (Sabit-Salib: 238).
Dengan kata lain, ekklesia tersembunyi bukan
gambaran yang asing dalam Perjanjian Baru.
Mencermati ciri-ciri ekklesia tersembunyi
yang digambarkan Nabeel Jabbour kami mendapat
kesan kuat bahwa para pengikut Kristus yang ada
secara tersembunyi atau diam-diam tetap tinggal
dalam agamanya, mereka ini menjadi seperti ragi yang
Gereja Lintas Agama
229
diadukkan ke dalam terigu atau sebagai garam yang
bekerja secara senyap untuk membuat makanan
memiliki cita rasa yang menyenangkan. Nabeel
Jabbour memang tidak menggunakan gambaran ragi
atau garam, tetapi tugas yang dimainkan pengikut
Kristus dalam agamanya sama persis dengan fungsi ragi
atau garam. Fungsi itu Nabeel Jabbour gambarkan
dalam ilustrasi berikut:
Orang Kristen adalah kotak persegi empat dan
orang Muslin adalah kotak bulatan kecil. Sedangkan
garis tegak lurus adalah sekat permusuhan dan
kecurigaan yang selama ini memisahkan mereka. Pada
saat seorang Muslim percaya kepada Injil yang
ditandai dengan menerobos masuk ke wilayah kotak
persegi empat yang dibatasi oleh garis tegak lurus,
maka dia tidak perlu dipaksa berubah bentuk menjadi
segi empat. Begitu juga kalau seorang Kristen masuk ke
dunia Muslim, biarkan dia tetap ada sebagai persegi
230
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
empat. Masing-masing mereka tidak kehilangan
identitas sosiologis mereka, tetapi sekarang hidup
bersama dalam damai di lingkaran ekklesia.
Gereja dalam perserakan adalah nama lain
yang Nabeel Jabbour berikan ekklesia tidak kasat mata.
Inilah juga corak bergereja jemaat perdana sebelum
adanya agama Kristen.30 Kita temukan ini dalam cerita
hidup para rasul yang berserak menyebar ke seluruh
Yudea dan Samaria akibat dari penganiayaan dari
agama Yahudi di Yerusalem. Dua tokoh yang
dikisahkan
secara
detail
kegiatan
mereka
membersihkan saluran-saluran dalam agama Yahudi
dengan kuasa pembebasan Injil adalah Stefanus dan
Paulus (Sabit-Salib: 238-9). Mereka membersihkan
konsep sunat, institusi perbudakan dan pandangan
terhadap perempuan dalam agama Yahudi dan budaya
bangsa-bangsa dengan Injil Kristus.
Gereja dalam perserakan yang dikonstruksi
Nabeel Jabbour tidak hanya berguna untuk
memperlihatkan kepada kita keberagaman bentuk
ekklesia dalam Perjanjian Baru, supaya kita tidak
memutlakan satu bentuk pemahaman tentang gereja
sebagaimana yang sering terjadi dalam gereja saat ini.
Gereja dalam perserakan juga dikonstruksikan oleh
Nabeel Jabbour sebagai kritik terhadap bentuk ekklesia
perhimpunan, gereja kasat mata yang ia anggap
30
Penegasan ini menunjukkan kepada kita bahwa gereja ada
terlebih dahulu dari agama Kristen..
Gereja Lintas Agama
231
menghalangi banyak orang yang berbeda agama untuk
menerima Injil dan percaya kepada Yesus.
Gambar 1 adalah ekklesia kasat mata.
Sedangkan gambar 2 adalah ekklesia tersembunyi atau
gereja tidak kasat mata. Lingkaran nomer 11 dalam
gambar dua adalah gereja, tetapi dia sama sekali tidak
punya hubungan dengan lingkaran-lingkaran lain. Dia
adalah warga gereja yang terputus hubungan dengan
semua orang yang ada dalam agamanya. Menyedihkan
sekali nasib warga gereja seperti ini. Inilah yang terjadi
kalau kita mewajibkan seseorang yang percaya kepada
Injil menyeberang ke dalam agama Kristen. Ia akan
menjadi orang asing bagi saudara-saudara dalam
agamanya semula, tetapi juga bagi agama yang
dimasukinya.
Ini tidak boleh kita lakukan kepada siapa pun
sekalipun itu demi Injil, karena Injil adalah kekuatan
Allah yang mempersekutukan, bukan mengasingkan
232
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
seseorang. Kita meminta dia untuk melakukan
penyeberangan agama dengan maksud untuk
menjadikan dia gereja kasat mata, tetapi hasilnya yang
bersangkutan menjadi manusia yang tercabut dari akar
komunitasnya dan yang kehilangan relasi-relasi yang
membuat dirinya bermakna.
Yang dimaksud Nabeel Jabbour dengan gereja
kasat mata adalah pemahaman tentang gereja sebagai
sebuah bangunan dengan arsitektur yang khas atau
sekelompok umat yang selalu berkumpul setiap hari
minggu pagi, menyanyikan lagu-lagu pujian, duduk di
bangku panjang, mengumpulkan persembahan dan
sebagainya seperti nyata dalam gambar 1. Ini juga
paham yang syah tentang gereja, tetapi belum penuh.
Gereja yang berhimpun harus dibarengi dengan gereja
yang berserak.
Gereja dalam perserakan yang Nabeel Jabbour
perkenalkan (gambar 2) tidak menyepelehkan perlu
dan pentingnya pertemuan-pertemuan pendalaman
dan pemahaman kitab suci. Orang-orang yang
menerima Injil memang tidak perlu melakukan
penyeberangan agama, tetapi pemahaman mereka
terhadap Injil perlu terus diperdalam. Untuk itu
pertemuan-pertemuan rutin bersama saudara seiman
yang lain dalam lingkaran ekklesia adalah sangat perlu.
Nabeel Jabbour mewajibkan orang-orang dari agama
seberang yang tertarik pada Injil dan tidak terganggu
dengan Yesus untuk bertemu secara berkala demi
mempelajari injil dan memperkuat persaudaraan
Gereja Lintas Agama
233
universal dengan sesama anggota ekklesia (Sabit-Salib:
226).
Kewajiban ini membawa kita pada kesimpulan
bahwa orang Muslim yang percaya kepada Injil perlu
menerima baptisan, betapapun Nabeel Jabbour tidak
secara eksplisit mengatakannya. Tetapi baptisan tidak
dipahami sebagai tanda keanggotaan satu agama
institusional, melainkan meterai penyatuannya dengan
Kristus.
Kesimpulan dan Penutup
Nabeel Jabbour menghadirkan fakta yang
mengejutkan kita sebagai orang Kristen. Secara terus
terang ia menunjukkan bahwa kita, orang Kristen
tidak bisa mempersalahkan begitu saja Islam untuk
berbagai tindakan kekerasan atau terror. Orang
Kristen dan dunia Kristen (Barat) bukan malaikat dan
orang Muslim dan dunianya adalah sarang setan.
Tidak! Orang Kristen dan kekristenan ikut
bertanggung jawab atas eskalasi kekerasan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan oleh sebagian besar
orang Muslim. Ibarat sebuah pertunjukan, kekristenan
dan dunia Kristen adalah sutradara atau penulis
scenario dari kekerasan itu sementara kaum Muslim
militant adalah aktor-aktornya. Nabeel Jabbour
menulis begini:31
31
Nabeel T. Jabbour. Memandang Sabit. hlm. 94-5.
234
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
“Sebagian besar orang Muslim sedang ditarik ke
dua arah: mendekat kepada Kristus yakni ke arah
keterbukaan pikiran atau merapat ke fanatisme
atau sikap hidup yang tertutup dan bermusuhan.
Kita sebagai orang Kristen dan negara-negara
Barat yang diasosiasikan dengan negara Kristen
dan yang kuat secara ekonomi dan kekuasaan
memiliki peran dalam menolong orang Muslim
untuk mengarahkan pilihan kepada keterbukaan
pikiran, yakni untuk menjadi kaum Muslim
moderat.
Gambaran keadaannya adalah seperti ini:
Jelasnya, ketertarikan orang Muslim ke arah tindakantindakan militan disebabkan oleh sikap dunia dan
orang Kristen terhadap mereka (Sabit-Salib: 93).
Peringatan Nabeel Jabbour ini terus menggiang
di telinga kami usai membaca bukunya dan sementara
menyelesaikan buku ini. Bahkan jujur kami mau
katakan bahwa kami merasa ditantang untuk menulis
buku ini karena membaca tulisan-tulisan Nabeel
Jabbour. Tantangan itu kami kemukakan kepada
Gereja Lintas Agama
235
Nabeel Jabbour melalui e-mail dan mendapat respons
positif. Bahkan beliau mengirim timnya yang ada di
Indonesia (Surabaya) untuk bertemu kami di Salatiga
sekedar untuk bertemu. Hubungan kami dengan
Nabeel Jabbour terjalin dengan baik betapapun hanya
lewat e-mail.
Apa yang ingin kami katakan adalah bahwa
sebagai warga gereja kata-kata Nabeel Jabbour ini
patut kita perhatikan dengan serius. Kita suka sekali
berdoa agar Tuhan membebaskan kita dari yang jahat
dan tidak membawa kita ke dalam pencobaan. Doa itu
sekarang harus kita kerjakan, yakni menjalani hidup
begitu rupa untuk tidak membawa sesama kita ke
dalam pencobaan. Kalau toh tanpa sadar kita sudah
menjerumuskan sesama ke dalam pencobaan atau
kejahatan, dua hal patut kita lakukan, sebagaimana
yang ditegaskan juga oleh Nabeel Jabbour: Bertobat
dan memperbaiki sikap kita seturut dengan pertobatan
itu.
236
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Download