kajian aspek perilaku pada keputusan etis akuntan profesional

advertisement
KAJIAN ASPEK PERILAKU PADA KEPUTUSAN ETIS AKUNTAN
PROFESIONAL
DEASY ARIYANTI RAHAYUNINGSIH
STIE Trisakti
[email protected]
Abstract: The objective of this study is to explain the behavioral aspects in ethical decision making. This paper
describes how professional accountant’s perspective in making ethical decision. Previous analysis show that
many supporting variables related with ethical decision making, such as ethical orientation, professional
commitment, moral reasoning, moral judgment, social influence pressure and personal factors. Overall, moral
reasoning and moral judgment play important role in ethical decision making.
Keywords: Ethical decision, ethical orientation, professional commitment, moral reasoning, moral judgment,
social influence pressure and personal factors
PENDAHULUAN
akhlah dan perilaku yang berbudaya serta
ditunjang dengan nilai-nilai spiritual dan
keagamaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
setiap pencapaian hasil (output) yang terjadi
dalam suatu organisasi diperoleh melalui
proses kematangan fikiran, analisa, logika
serta konsep yang baik dan bermutu sehingga
diharapkan menghasilkan output yang
berkualitas.
Pada kajian kali ini, peneliti
menekankan pada ruang lingkup akuntansi
yang merupakan unit atau bagian dalam
organisasi serta pihak-pihak pelaku yang
terlibat didalamnya yaitu akuntan (akuntan
manajemen, auditor internal dan eksternal dan
lain-lain). Sedangkan output yang dimaksud
adalah keputusan etis yaitu proses
pengambilan keputusan yang ditunjang oleh
aspek perilaku berupa orientasi etika, komitmen
profesional, moral reasoning, moral judgement,
social influence pressure dan faktor personal
Intensitas pemerintah dan segenap
unsur yang terlibat didalamnya maupun
masyarakat dalam pemberantasan korupsi
merupakan paradigma baru yang perlu
dicermati. Hal ini dikarenakan masyarakat
sangat menaruh perhatian besar terhadap
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Pemerintahan Negara Republik Indonesia
merupakan lingkup organisasi besar yang
didalamnya meliputi bidang—bidang lain
dengan skope lebih kecil yang juga
membutuhkan pembenahan lebih lanjut
sehingga
nantinya
menunjang
atau
memperkokoh
bidang
lainnya
dalam
menciptakan
organisasi
yang
bersih,
berwibawa dan bebas dari korupsi.
Suatu organisasi akan berhasil apabila
memiliki sumber daya manusia yang kompeten
dibidangnya dan ditunjang dengan moral,
73
2013
lainnya sangat terkait dengan proses
pengambilan keputusan.
Aspek perilaku (personality trait)
tumbuh dan berkembang pada diri individu
tersebut seiring dengan pergerakan individu
tersebut dalam berbagai ruang lingkup,
khususnya akuntansi. Di lain pihak, peneliti
juga menjumpai kenyataan bahwa faktor
perilaku manusia juga memegang peranan
penting dalam mekanisme sistem akuntansi.
Seperti halnya pada perilaku akuntan yang
mempengaruhi keputusan yang terkait dengan
sistem pendesainan, operasi dan pelaporan
akuntansi tersebut (Parker et al. 1989).
Sehingga dapat dijelaskan bahwasanya ruang
lingkup pekerjaan dalam hal ini bidang
akuntansi akan mempengaruhi sifat dan
karakter individu yang terkait didalamnya dan
ini tentunya akan mempengaruhi perilaku dan
tindakan individu dalam kesehariannya.
Pemahaman terhadap aspek perilaku
manusia akan menjembatani etis atau tidaknya
tindakan akuntan dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam kajian ini, peneliti mampu
mengeksplorasi dan mengungkapkan aspekaspek psikologis yang patut dimiliki oleh
akuntan professional sehingga mampu
menghasilkan keputusan yang etis. Akuntan
professional dalam pembahasan ini meliputi
akuntan manajemen, auditor eksternal maupun
internal
auditor.
Kajian
ini
mampu
mengeneralisasikan semua profesi yang terkait
dengan bidang akuntansi.
Profesi akuntan merupakan suatu
profesi yang unik, dimana profesi ini memiliki
peran dan tanggungjawab yang vital, beberapa
diantaranya adalah berperan dalam proses
penyusunan laporan keuangan perusahaan
sehingga mampu menarik investor untuk
menanamkan modalnya di perusahaan tersebut
Deasy Ariyanti Rahayuningsih
dan memberikan opini atas kewajaran laporan
keuangan tersebut. Dalam tugas tersebut,
akuntan dihadapi oleh berbagai macam
dilemma khususnya deadline waktu. Pada
kondisi
tersebut,
auditor
memerlukan
konsentrasi yang tinggi dalam menjalankan
tugas keseharian dan ketelitian, sehingga
disaat itulah dibutuhkan faktor personal,
lingkungan dan guidance tertentu sehingga
tercipta kenyamanan kondisi psikologis auditor
dalam mengambil keputusan sesuai prosedur
dan etika tertentu. Etika yang dimaksud disini
adalah nilai-nilai kejujuran, keadilan, kewajiban,
moralitas, mematuhi janji dan integritas
(Nuryatno dan Dewi 2001).
Tekanan sosial mampu mendorong
seorang auditor melakukan tindakan etis atau
tidak meskipun para pelaku profesi memiliki
tanggungjawab dan etika terhadap profesinya
masing-masing. Hal ini dikarenakan praktikpraktik dalam dunia bisnis sudah banyak
menyimpang dari aktivitas moral bahkan
dikatakan bahwa dunia bisnis saat ini
merupakan dunia amoral (Nuryatno dan Dewi
2001). Dalam hal ini tekanan sosial tersebut
mampu
mempengaruhi
auditor
untuk
menandatangani laporan keuangan yang
mengalami salah saji yang material (Lord dan
DeZoort 2001). Hal semacam ini akan
menimbulkan dilema etika yang menyangkut
integritas, independensi dan imbalansi
ekonomis disisi lainnya. Dilema etika ini akan
mempengaruhi keputusan pengambilan auditor
menjadi etis atau tidak (Abdurrahman dan
Yuliani 2011).
Ford dan Richardson (1994), Louwers
et al. (1997), Loe et al. (2000), Paolilo dan Vitell
(2002) pada Abdurrahman dan Yuliani (2011
mengungkapkan bahwasanya ada beberapa
faktor penting terkait pengambilan keputusan
74
Media Bisnis
etis yaitu faktor-faktor yang berhubungan
secara unik dengan individu pembuat
keputusan dan faktor-faktor yang merupakan
hasil
dari
proses
sosialisasi
dan
pengembangan masing-masing individu.
Terkait hal tersebut, peneliti tertarik
membahas Kajian Aspek Perilaku pada
Keputusan Etis Akuntan Professional.
Berdasarkan literatur-literatur terdahulu, kajian
aspek perilaku banyak mengungkap aspek
orientasi etika, komitmen profesional, moral
reasoning, moral judgement, social influence
pressure dan faktor personal lainnya sangat
terkait dengan proses pengambilan keputusan
akuntan professional. Kajian ini diharapkan
dapat memberikan panduan bagi akuntan
professional dalam proses pengambilan
keputusan sehingga menghasilkan keputusan
etis yaitu keputusan yang secara legal maupun
moral dapat diterima oleh masyarakat luas.
Dengan mengetahui aspek-aspek tersebut
diharapkan membantu
akuntan dalam
menghadapi dilema etika yang terjadi.
Dilema Etika dan Keputusan Etis
Menurut Kamus Inggris Indonesia,
Echols dan Shadily (1992) menyatakan moral
adalah moral, akhlak, susila adalah dasar-dasar
kebaikan. Sedangkan etika diartikan pantas,
layak, beradab, susila. Jadi moral dan etika itu
berbeda. Karena moral dilandasi oleh etika, jadi
orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh
etika. Suatu organisasi yang memiliki etika
bisnis pastinya memiliki karyawan-karyawan
yang bermoral baik.
Etika dapat diartikan sebagai aturanaturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku
yang diterima oleh masyarakat sebagai yang
baik atau buruk seperti halnya keputusan
75
Maret
individual yang menimbulkan konsekuensi
terhadap moral dan nilai-nilai individu. Perilaku
tidak etis dapat menimbulkan penyogokan,
suap, kompetisi yang tidak efektif, diskriminasi
tidak adil, pencurian dan penggelapan dan
deceptive information.
Auditor internal sering menghadapi
konflik audit yang mengarah pada situasi yang
dilematis dalam tugasnya. Seperti halnya lain
kepatuhan terhadap pimpinan tempat ia bekerja
dan auditor internal juga menghadapi tuntutan
publik agar mampu memberikan laporan yang
akuntabel, jujur dan sesuai dengan etika
profesi. Di saat itulah timbul konflik audit yang
berkembang menjadi dilema etis, yang mana
auditor diharuskan membuat keputusan yang
bertentangan
dengan independensi dan
integritasnya dengan imbalan ekonomis yang
mungkin terjadi diimbangi dengan tekanan
disisi lainnya. Konflik audit yang menjadi
dilemma etis adalah ketika auditor internal
dihadapkan pada pilihan-pilihan etis dan tidak
etis yang tentunya akan mempengaruhi
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
auditor (Windsor dan Askhanasy 1995).
Arens
dan
Lobecke
(2002)
mendefinisikan dilema etika sebagai suatu
situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana
keputusan mengenai perilaku yang layak harus
dibuat, karena auditor secara social juga
bertanggungjawab kepada masyarakat dan
profesinya
daripada
mengutamakan
kepentingan pribadi atau kepentingan ekonomis
semata. Sedangkan keputusan etis adalah
keputusan yang baik secara legal maupun
moral yang dapat diterima oleh masyarakat
luas (Trevino 1986 dan Jones 1991).
2013
Deasy Ariyanti Rahayuningsih
Konflik
Audit
Situasi
Dilema
Etika
Komitmen Profesional
Pengambilan
Keputusan Etis
Gambar 1 Model Konseptual
Untuk menghindari dilemma etika ini
ada beberapa pendekatan yang digunakan
sebagai pegangan untuk memecahkan
dilemma yang meliputi (1) dapatkan fakta-fakta
yang relevan (2) Identifikasikan isu-isu etika
dari fakta-falta yang ada (3) Tentukan siapasiapa dan bagaimana orang atau kelompok
yang dipengaruhi oleh dilemma (4)
Identifikasikan alternatif yang tersedia bagi
orang yang memecahkan dilema (5)
Identifikasikan konsekuensi yang mungkin
timbul dari setiap alternative (6) Putuskan
tindakan yang tepat (Arens dan Loebecke
2000). Pada pendekatan terakhir ini, yang
merupakan pengambilan keputusan adalah
tahapan proses memilih suatu alternatif cara
bertindak dengan metode yang efisien sesuai
dengan situasi. Berdasarkan definisi tersebut,
dapat dinyatakan bahwa sebelum keputusan
tersebut ditetapkan diperlukan pertimbangan
yang menyeluruh tentang kemungkinan
konsekuensi yang bisa timbul sebab mungkin
saja keputusan yang diambil hanya
memuaskan satu atau beberapa kelompok
saja.
Keputusan etis adalah keputusan baik
secara legal maupun moral diterima oleh
masyarakat luas. Sebaliknya keputusan tidak
etis adalah keputusan yang baik secara legal
maupun moral tidak diterima oleh masyarakat
luas.Pada dasarnya pembuatan keputusan
etika merupakan hal yang kondisional yaitu
tergantung atau sesuai dengan karakteristikkarakteristik masalah moral.
Orientasi Etika
Menurut Forsyth (1980) pada Ulum
(2005), nilai-nilai etika (orientasi etika) individu
digerakkan oleh dua karakteristik, yaitu
idealisme dan relativisme. Idealisme adalah
suatu orientasi etika yang mengacu pada
sejauhmana seseorang concern pada
kesejahteraan orang lain dan berusaha keras
untuk tidak merugikan orang lain. Sedangkan
relativisme adalah suatu orientasi etika yang
mengacu pada penolakan terhadap prinsip
moral yang bersifat universal atau absolut.
Orientasi etika menunjukkan pandangan yang
diadopsi oleh masing-masing individu ketika
menghadapi
situasi
masalah
yang
membutuhkan pemecahan dan penyelesaian
etika atau dilemma etika.
76
Media Bisnis
Maret
Tabel 1 Taxonomy of Ethical Ideologies
Idealisme
Tinggi
Rendah
Relativisme
Tinggi
Rendah
Situasionis:mendukung analisis individual
Absolutis: menganggap bahwa hasil
terhadap tindakan dalam setiap situasi
terbaik bias selalu dicapai dengan
mengikuti aturan moral universal
Subyektivitas:penilaian berdasarkan nilai-nilai Eksepsionis: aturan moral universal
dan perspektif pribadi
memandu pertimbangan tetapi secara
pragmatis terbuka pengecualian
Komitmen Profesional
Komitmen professional mengacu pada
kekuatan identifikasi individual dengan profesi.
Mowday dan McDade (1979) pada
Abdurahman dkk mengatakan bahwa individu
dengan komitmen professional yang tinggi
memiliki kepercayaan dan penerimaan yang
tinggi dalam tujuan profesi dan berkeinginan
kuat untuk mempertahankan keanggotaannya
dalam profesi.
Komitmen
profesi
yang
tinggi
mendorong auditor ke perilaku yang sesuai
dengan kepentingan publik dan menjauh dari
perilaku yang membahayakan profesi (Aranya
dan Feris 1984). Komitmen profesi yang tinggi
akan mengarahkan perilaku selaras dengan
kepentingan public dan tidak merusak
profesionalisme,
begitupula
sebaliknya,
komitmen
professional
rendah
akan
menimbulkan
perilaku
disfungsional
(mengutamakan
kepentingan
klien).
Menghasilkan
keputusan
etis
dan
bertanggungjawab adalah satu indikasi
profesionalitasnya seseorang dalam bekerja.
77
Moral Reasoning dan Moral Judgement
Penelitian tentang Etika
telah
berkembang dan memfokuskan pada moral
reasoning dalam profesi akuntan. Ponemon
(1990) dan Sweeney (1995) pada Hartanto dan
Kusuma (2001) berhasil menunjukkan bahwa
tingkat perkembangan moral auditor akan
berubah seiring dengan perubahan posisi atau
kedudukannya dalam kantor akuntan public.
Semakin tinggi posisi dalam kantor akuntan
publik, auditor cenderung memiliki tingkat
pertimbangan moral yang sangat rendah.
Haidt (2001) pada Paxton dan Green
(2010) mendefinisikan moral reasoning sebagai
aktivitas kesadaran mental yang berisikan
transformasi informasi masyarakat untuk
mencapai moral judgement. Haidt (2001)
membahas kerangka kerja dalam memahami
moral psychology, SIM (the social intuitionist
model) yang meliputi: intuition, judgement dan
reasoning. Pada gambar berikut ini, Haidt’s
Social Intuitionist Model (SIM) meliputi 6
hubungan yang mengambarkan causal
connection antara moral intuitions, moral
judgement dan tahapan-tahapan dalam moral
reasoning, yaitu (1) intuitive judgment, (2) post
hoc reasoning (3) reasoned persuasion (4)
social persuasion (5) reasoned judgment (6)
private reflection
2013
Deasy Ariyanti Rahayuningsih
6
Eliciting
Situation
5
A’s
Intuition
A’s
Judgement
A’s
Reasoning
1
2
4
B’s
Reasoning
5
B’s
Judgement
B’s
Intuition
Gambar 2 Haidt’s Social Institution Model (SIM)
Paxton
dan
Green
(2010)
mendefinisikan moral reasoning sebagai suatu
tindakan kesadaran mental melalui evaluasi
moral judgement selaras dengan komitmen
moral, yang mana komitmen-komitmen tersebut
merupakan prinsip-prinsip dari moral judgment.
Greene dan koleganya telah mengembangkan
dual process model alternatif dari moral
judgment yang konsisten sama dengan SIM.
Reasoned Social Influence
Grene mengusulkan 2 model moral thinking
yang tidak bersosialisasi dan pada beberapa
kasus berkompetisi yaitu ubiquitous (ada
dimana-mana) dan qualitatively. Berdasarkan
model Greene tersebut (dual process model),
moral judgment digerakkan oleh intuitive
emotional responses dan controlled cognitive
responses.
Moral Reasoning
Eliciting
Situation
Conflict
Monitor
Rule based
Cognitive Control
Judgement
Social Persuasion
Intuitive
Appraisal
Intuitive Social
Influence
Intuitive
Emotional
Response
Gambar 3 Greene’Model (Dual Process Model)
78
Media Bisnis
Model Greene berbeda dengan Model
Haidt’s dalam dua hal yaitu (1) Model Greene
menekankan pada peranan rule based,
controlled cognitive process khususnya
kesadaran dalam menyertakan utilitarian moral
principle, (2) memperbolehkan bahwasanya
social influence terjadi ketika masyarakat
melibatkan kapasitas seseorang untuk moral
reasoning, yaitu kesadaran evaluasi atas moral
judgement/ perilaku yang konsisten atas moral
principle dan komitmen moral yang lain.
Penetapan moral reasoning sebagai
proksi pengukuran untuk pengembangan moral
dikaitkan dengan kesadaran moral, sensitivitas
moral, motivasi moral, karakter moral dan moral
intent (Butterfield et al. 2000, Rest 1994,
Thomas 1997 pada Turner et al. 2002). Moral
reasoning itu sendiri merupakan pendekatan
utama untuk pendidikan nilai-nilai.
Social Influence Pressure
Ada 2 tekanan sosial yang dapat
mempengaruhi kinerja auditor yaitu tekanan
ketaatan dan tekanan kesesuaian. Tekanan
kesesuaian adalah sebagai suatu bentuk
tekanan pengaruh social yang memiliki potensi
negative terhadap kinerja auditor. Tekanan
social mempengaruhi keputusan auditor untuk
menyetujui atau tidak adanya salah saji
material pada laporan keuangan. Hal ini perlu
dicermati, karena penyimpangan ini akan
mengarah
pada
integritas
auditor
(profesionalisme) dan bangkrutnya perusahaan
(Rahayu dan Faisal 2005).
Rentannya auditor terhadap tekanan
yang ada dapat mempengaruhi pertimbangan
professional atas dilema etika, misalnya
tekanan pengaruh social yang tidak tepat dalam
kantor akuntan publik akan menimbulkan
situasi konflik etik. Auditor berada pada situasi
79
Maret
konflik etikal karena kolega harus mengevaluasi
konsekuensi jangka pendek dan jangka
panjang yang potensial atas tindakan mereka.
Baik yang berasal dari perspektif suatu
organisasi maupun professional dan berusaha
untuk merekonsiliasikan tradeoffs yang
dipersepsikan (Rahayu dan Faisal 2005).
Selain itu penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa auditor pemula yang menerima perintah
untuk melakukan perilaku yang menyimpang
dari manajer audit maupun partner audit
memiliki kemungkinan lebih besar untuk
melakukan pelanggaran norma atau standar
professional, bila dibandingkan auditor pemula
yang mengambil judgment tanpa adanya
tekanan dari atasan (De zoort dan Lord 1994
pada Hartono dan Kusuma 2001).
Fenomena Baramuli dan Bank Bali
adalah sebagai contoh keberadaan tekanan
dari kalangan atas yang mempunyai kekuasaan
lebih besar. Peristiwa itu diduga berpengaruh
pada pertimbangan dan keputusan yang
diambil auditor (Hartanto dan Kusuma
2001).Dugaan ini akan diperkuat dengan
temuan DeZoot dan Lord (1994) pada Hartanto
dan Kusuma (2001) yang melihat akibat dari
pengaruh tekanan atasan pada konsekuensi
tuntutan hukum, hilangnya profesionalisme dan
hilangnya kepercayaan publik dan kredibilitas
sosial.
Eksperimen
tersebut
mempertimbangkan tekanan atasan untuk
melakukan perilaku yang menyimpang karena
adanya kemungkinan perubahan dalam
perspektif etis sejalan dengan perubahan
ranking peran dalam organisasi.
Ada
kecenderungan perubahan focus dari yang
sempit (praktis dan kualitas audit) menjadi lebih
luas dan menekankan pada profitabilitas
organisasi, hal semacam ini akan berpengaruh
pada kemampuan auditor dalam menjaga
2013
reputasi organisasi dalam hal independensi dan
obyektivitas (AICPA 1993 pada Hartanto dan
Kusuma 2001).
Faktor Personal dalam Keputusan Etis
Beberapa
penelitian
terdahulu
menunjukkan bahwasanya faktor-faktor yang
secara unik berhubungan dengan individu
pembuat keputusan dan faktor-faktor yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan
pengembangan
masing-masing
individu
merupakan faktor penting dalam pengambilan
keputusan etis. Trevino (1986) menyusun
sebuah model pengambilan keputusan etis
dengan membuat suatu interaksi antara faktor
individu dengan faktor situasional. Pengambilan
keputusan etis seseorang akan sangat
bergantung pada faktor-faktor individu berupa
egois, ketergantungan dan locus of control dan
faktor situasional seperti budaya organisasi,
karakteristik pekerjaan dan ruang lingkup
pekerjaan.
PENUTUP
Akuntan
professional
dalam
menjalankan tugasnya memiliki pedoman-
Deasy Ariyanti Rahayuningsih
pedoman yang mengikat seperti kode etik
akuntan
Indonesia.
Sehingga
dalam
melaksanakan aktivitasnya, akuntan memiliki
arah yang jelas dan dapat memberikan
keputusan
yang
tepat
dan
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
dan pihak-pihak lain yang menggunakan
keputusan auditor.
Akuntan mampu
menghasilkan
keputusan yang etis, dibutuhkan beberapa
variabel terkait yang dapat mempengaruhi
pemikiran dan idealism akuntan dalam
bertindak beberapa diantaranya adalah moral
reasoning, moral judgement yang menggirin
pemikiran auditor dalam bertindak etis, karena
mampu membedakan mana yang etis dan tidak
etis, selanjutnya komitmen professional yang
mengarahkan
auditor
agar
memiliki
kemampuan yang cukup, kompeten, memadai
dan independen, orientasi etika yang lebih
mengutamakan faktor etis dan kejujuran fair
serta adil, adanya tekanan social dari pihak luar
(dari lingkungan kerja, supervisor dan klien)
dan juga faktor-faktor pribadi lainnya.
REFERENSI:
Abdurrahman dan NL Yuliani, 2011. Determinasi Pengambilan Keputusan Etis Auditor Internal (Studi
Empiris pada BUMN dan BUMD di Magelang dan Temanggung). Widya Warta, No. 02
Tahun XXXV/July.
Bucciarelli, M., Sanget Khemlani dan PN Johnson Laird. 2008. The Psychology of Moral Reasoning.
Judgement and Decision Making, Vol 3, No 2, February,hlm. 121-139.
Chan, Samuel YS dan P Leung. 2006. The Effects of Accounting Students’ Ethical Reasonong and
Personal Factors on Their Ethical Sensitivity. Managerial Auditing Journal, Vol 21, No 4.
Hartanto, HY dan Indra W Kusuma. 2001. Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap Judgement
Auditor. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol 12, no 3 Desember.
Lord, Alan T dan F Todd DeZoort. 2001. The Impact of Commitment and Moral Reasoning on Auditors
Responses to Social Influence Pressure. Accounting, Organizations and Society 26 hlm.
215-235.
80
Media Bisnis
Maret
Nuryatno, M dan S Dewi. 2001. Tinjauan Etika atas Pengambilan Keputusan Auditor Berdasarkan
Pendekatan Moral. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol.1, No, 3 Desember.
Parker, LD., Kenneth R Ferris dan David T Otley. 1989. Accounting for The Human Factor. Australia:
Prentice Hall of Australia.
Paxton, Joseph M dan Joshua D Greene. 2010. Moral Reasoning: Hints and Allegations. Topics in
Cognitive Science, hlm. 1-17.
Rahayu, DS dan Faisal. 2005.Pengaruh Komitmen Terhadap Respon Auditor Atas Tekanan Sosial;
Sebuah Eksperimen. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 9 No 1, Juni.
Turner, Nick. Julian Barling. Olga Epitopaki, Vicky Butcher dan Caroline Milner.2002. Transformational
Leadership and Moral Reasoning. Journal of Applied Psychology, Vol 87, No 2.
Ulum, Akhmad Samsul. 2005. Pengaruh Orientasi Etika Terhadap Hubungan Antara Time Pressure
Dengan Perilaku Premature Sign Off Prosedur Audit. Jurnal Maksi, Vol. 2, No. 2, Agustus.
81
Download