KAJIAN ASPEK PERILAKU PADA KEPUTUSAN ETIS AKUNTAN PROFESIONAL DEASY ARIYANTI RAHAYUNINGSIH STIE Trisakti [email protected] Abstract: The objective of this study is to explain the behavioral aspects in ethical decision making. This paper describes how professional accountant’s perspective in making ethical decision. Previous analysis show that many supporting variables related with ethical decision making, such as ethical orientation, professional commitment, moral reasoning, moral judgment, social influence pressure and personal factors. Overall, moral reasoning and moral judgment play important role in ethical decision making. Keywords: Ethical decision, ethical orientation, professional commitment, moral reasoning, moral judgment, social influence pressure and personal factors PENDAHULUAN akhlah dan perilaku yang berbudaya serta ditunjang dengan nilai-nilai spiritual dan keagamaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap pencapaian hasil (output) yang terjadi dalam suatu organisasi diperoleh melalui proses kematangan fikiran, analisa, logika serta konsep yang baik dan bermutu sehingga diharapkan menghasilkan output yang berkualitas. Pada kajian kali ini, peneliti menekankan pada ruang lingkup akuntansi yang merupakan unit atau bagian dalam organisasi serta pihak-pihak pelaku yang terlibat didalamnya yaitu akuntan (akuntan manajemen, auditor internal dan eksternal dan lain-lain). Sedangkan output yang dimaksud adalah keputusan etis yaitu proses pengambilan keputusan yang ditunjang oleh aspek perilaku berupa orientasi etika, komitmen profesional, moral reasoning, moral judgement, social influence pressure dan faktor personal Intensitas pemerintah dan segenap unsur yang terlibat didalamnya maupun masyarakat dalam pemberantasan korupsi merupakan paradigma baru yang perlu dicermati. Hal ini dikarenakan masyarakat sangat menaruh perhatian besar terhadap pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan lingkup organisasi besar yang didalamnya meliputi bidang—bidang lain dengan skope lebih kecil yang juga membutuhkan pembenahan lebih lanjut sehingga nantinya menunjang atau memperkokoh bidang lainnya dalam menciptakan organisasi yang bersih, berwibawa dan bebas dari korupsi. Suatu organisasi akan berhasil apabila memiliki sumber daya manusia yang kompeten dibidangnya dan ditunjang dengan moral, 73 2013 lainnya sangat terkait dengan proses pengambilan keputusan. Aspek perilaku (personality trait) tumbuh dan berkembang pada diri individu tersebut seiring dengan pergerakan individu tersebut dalam berbagai ruang lingkup, khususnya akuntansi. Di lain pihak, peneliti juga menjumpai kenyataan bahwa faktor perilaku manusia juga memegang peranan penting dalam mekanisme sistem akuntansi. Seperti halnya pada perilaku akuntan yang mempengaruhi keputusan yang terkait dengan sistem pendesainan, operasi dan pelaporan akuntansi tersebut (Parker et al. 1989). Sehingga dapat dijelaskan bahwasanya ruang lingkup pekerjaan dalam hal ini bidang akuntansi akan mempengaruhi sifat dan karakter individu yang terkait didalamnya dan ini tentunya akan mempengaruhi perilaku dan tindakan individu dalam kesehariannya. Pemahaman terhadap aspek perilaku manusia akan menjembatani etis atau tidaknya tindakan akuntan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kajian ini, peneliti mampu mengeksplorasi dan mengungkapkan aspekaspek psikologis yang patut dimiliki oleh akuntan professional sehingga mampu menghasilkan keputusan yang etis. Akuntan professional dalam pembahasan ini meliputi akuntan manajemen, auditor eksternal maupun internal auditor. Kajian ini mampu mengeneralisasikan semua profesi yang terkait dengan bidang akuntansi. Profesi akuntan merupakan suatu profesi yang unik, dimana profesi ini memiliki peran dan tanggungjawab yang vital, beberapa diantaranya adalah berperan dalam proses penyusunan laporan keuangan perusahaan sehingga mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut Deasy Ariyanti Rahayuningsih dan memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan tersebut. Dalam tugas tersebut, akuntan dihadapi oleh berbagai macam dilemma khususnya deadline waktu. Pada kondisi tersebut, auditor memerlukan konsentrasi yang tinggi dalam menjalankan tugas keseharian dan ketelitian, sehingga disaat itulah dibutuhkan faktor personal, lingkungan dan guidance tertentu sehingga tercipta kenyamanan kondisi psikologis auditor dalam mengambil keputusan sesuai prosedur dan etika tertentu. Etika yang dimaksud disini adalah nilai-nilai kejujuran, keadilan, kewajiban, moralitas, mematuhi janji dan integritas (Nuryatno dan Dewi 2001). Tekanan sosial mampu mendorong seorang auditor melakukan tindakan etis atau tidak meskipun para pelaku profesi memiliki tanggungjawab dan etika terhadap profesinya masing-masing. Hal ini dikarenakan praktikpraktik dalam dunia bisnis sudah banyak menyimpang dari aktivitas moral bahkan dikatakan bahwa dunia bisnis saat ini merupakan dunia amoral (Nuryatno dan Dewi 2001). Dalam hal ini tekanan sosial tersebut mampu mempengaruhi auditor untuk menandatangani laporan keuangan yang mengalami salah saji yang material (Lord dan DeZoort 2001). Hal semacam ini akan menimbulkan dilema etika yang menyangkut integritas, independensi dan imbalansi ekonomis disisi lainnya. Dilema etika ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan auditor menjadi etis atau tidak (Abdurrahman dan Yuliani 2011). Ford dan Richardson (1994), Louwers et al. (1997), Loe et al. (2000), Paolilo dan Vitell (2002) pada Abdurrahman dan Yuliani (2011 mengungkapkan bahwasanya ada beberapa faktor penting terkait pengambilan keputusan 74 Media Bisnis etis yaitu faktor-faktor yang berhubungan secara unik dengan individu pembuat keputusan dan faktor-faktor yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu. Terkait hal tersebut, peneliti tertarik membahas Kajian Aspek Perilaku pada Keputusan Etis Akuntan Professional. Berdasarkan literatur-literatur terdahulu, kajian aspek perilaku banyak mengungkap aspek orientasi etika, komitmen profesional, moral reasoning, moral judgement, social influence pressure dan faktor personal lainnya sangat terkait dengan proses pengambilan keputusan akuntan professional. Kajian ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi akuntan professional dalam proses pengambilan keputusan sehingga menghasilkan keputusan etis yaitu keputusan yang secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas. Dengan mengetahui aspek-aspek tersebut diharapkan membantu akuntan dalam menghadapi dilema etika yang terjadi. Dilema Etika dan Keputusan Etis Menurut Kamus Inggris Indonesia, Echols dan Shadily (1992) menyatakan moral adalah moral, akhlak, susila adalah dasar-dasar kebaikan. Sedangkan etika diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi moral dan etika itu berbeda. Karena moral dilandasi oleh etika, jadi orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Suatu organisasi yang memiliki etika bisnis pastinya memiliki karyawan-karyawan yang bermoral baik. Etika dapat diartikan sebagai aturanaturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima oleh masyarakat sebagai yang baik atau buruk seperti halnya keputusan 75 Maret individual yang menimbulkan konsekuensi terhadap moral dan nilai-nilai individu. Perilaku tidak etis dapat menimbulkan penyogokan, suap, kompetisi yang tidak efektif, diskriminasi tidak adil, pencurian dan penggelapan dan deceptive information. Auditor internal sering menghadapi konflik audit yang mengarah pada situasi yang dilematis dalam tugasnya. Seperti halnya lain kepatuhan terhadap pimpinan tempat ia bekerja dan auditor internal juga menghadapi tuntutan publik agar mampu memberikan laporan yang akuntabel, jujur dan sesuai dengan etika profesi. Di saat itulah timbul konflik audit yang berkembang menjadi dilema etis, yang mana auditor diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi diimbangi dengan tekanan disisi lainnya. Konflik audit yang menjadi dilemma etis adalah ketika auditor internal dihadapkan pada pilihan-pilihan etis dan tidak etis yang tentunya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh auditor (Windsor dan Askhanasy 1995). Arens dan Lobecke (2002) mendefinisikan dilema etika sebagai suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang layak harus dibuat, karena auditor secara social juga bertanggungjawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Sedangkan keputusan etis adalah keputusan yang baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino 1986 dan Jones 1991). 2013 Deasy Ariyanti Rahayuningsih Konflik Audit Situasi Dilema Etika Komitmen Profesional Pengambilan Keputusan Etis Gambar 1 Model Konseptual Untuk menghindari dilemma etika ini ada beberapa pendekatan yang digunakan sebagai pegangan untuk memecahkan dilemma yang meliputi (1) dapatkan fakta-fakta yang relevan (2) Identifikasikan isu-isu etika dari fakta-falta yang ada (3) Tentukan siapasiapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilemma (4) Identifikasikan alternatif yang tersedia bagi orang yang memecahkan dilema (5) Identifikasikan konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternative (6) Putuskan tindakan yang tepat (Arens dan Loebecke 2000). Pada pendekatan terakhir ini, yang merupakan pengambilan keputusan adalah tahapan proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa sebelum keputusan tersebut ditetapkan diperlukan pertimbangan yang menyeluruh tentang kemungkinan konsekuensi yang bisa timbul sebab mungkin saja keputusan yang diambil hanya memuaskan satu atau beberapa kelompok saja. Keputusan etis adalah keputusan baik secara legal maupun moral diterima oleh masyarakat luas. Sebaliknya keputusan tidak etis adalah keputusan yang baik secara legal maupun moral tidak diterima oleh masyarakat luas.Pada dasarnya pembuatan keputusan etika merupakan hal yang kondisional yaitu tergantung atau sesuai dengan karakteristikkarakteristik masalah moral. Orientasi Etika Menurut Forsyth (1980) pada Ulum (2005), nilai-nilai etika (orientasi etika) individu digerakkan oleh dua karakteristik, yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme adalah suatu orientasi etika yang mengacu pada sejauhmana seseorang concern pada kesejahteraan orang lain dan berusaha keras untuk tidak merugikan orang lain. Sedangkan relativisme adalah suatu orientasi etika yang mengacu pada penolakan terhadap prinsip moral yang bersifat universal atau absolut. Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi situasi masalah yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilemma etika. 76 Media Bisnis Maret Tabel 1 Taxonomy of Ethical Ideologies Idealisme Tinggi Rendah Relativisme Tinggi Rendah Situasionis:mendukung analisis individual Absolutis: menganggap bahwa hasil terhadap tindakan dalam setiap situasi terbaik bias selalu dicapai dengan mengikuti aturan moral universal Subyektivitas:penilaian berdasarkan nilai-nilai Eksepsionis: aturan moral universal dan perspektif pribadi memandu pertimbangan tetapi secara pragmatis terbuka pengecualian Komitmen Profesional Komitmen professional mengacu pada kekuatan identifikasi individual dengan profesi. Mowday dan McDade (1979) pada Abdurahman dkk mengatakan bahwa individu dengan komitmen professional yang tinggi memiliki kepercayaan dan penerimaan yang tinggi dalam tujuan profesi dan berkeinginan kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam profesi. Komitmen profesi yang tinggi mendorong auditor ke perilaku yang sesuai dengan kepentingan publik dan menjauh dari perilaku yang membahayakan profesi (Aranya dan Feris 1984). Komitmen profesi yang tinggi akan mengarahkan perilaku selaras dengan kepentingan public dan tidak merusak profesionalisme, begitupula sebaliknya, komitmen professional rendah akan menimbulkan perilaku disfungsional (mengutamakan kepentingan klien). Menghasilkan keputusan etis dan bertanggungjawab adalah satu indikasi profesionalitasnya seseorang dalam bekerja. 77 Moral Reasoning dan Moral Judgement Penelitian tentang Etika telah berkembang dan memfokuskan pada moral reasoning dalam profesi akuntan. Ponemon (1990) dan Sweeney (1995) pada Hartanto dan Kusuma (2001) berhasil menunjukkan bahwa tingkat perkembangan moral auditor akan berubah seiring dengan perubahan posisi atau kedudukannya dalam kantor akuntan public. Semakin tinggi posisi dalam kantor akuntan publik, auditor cenderung memiliki tingkat pertimbangan moral yang sangat rendah. Haidt (2001) pada Paxton dan Green (2010) mendefinisikan moral reasoning sebagai aktivitas kesadaran mental yang berisikan transformasi informasi masyarakat untuk mencapai moral judgement. Haidt (2001) membahas kerangka kerja dalam memahami moral psychology, SIM (the social intuitionist model) yang meliputi: intuition, judgement dan reasoning. Pada gambar berikut ini, Haidt’s Social Intuitionist Model (SIM) meliputi 6 hubungan yang mengambarkan causal connection antara moral intuitions, moral judgement dan tahapan-tahapan dalam moral reasoning, yaitu (1) intuitive judgment, (2) post hoc reasoning (3) reasoned persuasion (4) social persuasion (5) reasoned judgment (6) private reflection 2013 Deasy Ariyanti Rahayuningsih 6 Eliciting Situation 5 A’s Intuition A’s Judgement A’s Reasoning 1 2 4 B’s Reasoning 5 B’s Judgement B’s Intuition Gambar 2 Haidt’s Social Institution Model (SIM) Paxton dan Green (2010) mendefinisikan moral reasoning sebagai suatu tindakan kesadaran mental melalui evaluasi moral judgement selaras dengan komitmen moral, yang mana komitmen-komitmen tersebut merupakan prinsip-prinsip dari moral judgment. Greene dan koleganya telah mengembangkan dual process model alternatif dari moral judgment yang konsisten sama dengan SIM. Reasoned Social Influence Grene mengusulkan 2 model moral thinking yang tidak bersosialisasi dan pada beberapa kasus berkompetisi yaitu ubiquitous (ada dimana-mana) dan qualitatively. Berdasarkan model Greene tersebut (dual process model), moral judgment digerakkan oleh intuitive emotional responses dan controlled cognitive responses. Moral Reasoning Eliciting Situation Conflict Monitor Rule based Cognitive Control Judgement Social Persuasion Intuitive Appraisal Intuitive Social Influence Intuitive Emotional Response Gambar 3 Greene’Model (Dual Process Model) 78 Media Bisnis Model Greene berbeda dengan Model Haidt’s dalam dua hal yaitu (1) Model Greene menekankan pada peranan rule based, controlled cognitive process khususnya kesadaran dalam menyertakan utilitarian moral principle, (2) memperbolehkan bahwasanya social influence terjadi ketika masyarakat melibatkan kapasitas seseorang untuk moral reasoning, yaitu kesadaran evaluasi atas moral judgement/ perilaku yang konsisten atas moral principle dan komitmen moral yang lain. Penetapan moral reasoning sebagai proksi pengukuran untuk pengembangan moral dikaitkan dengan kesadaran moral, sensitivitas moral, motivasi moral, karakter moral dan moral intent (Butterfield et al. 2000, Rest 1994, Thomas 1997 pada Turner et al. 2002). Moral reasoning itu sendiri merupakan pendekatan utama untuk pendidikan nilai-nilai. Social Influence Pressure Ada 2 tekanan sosial yang dapat mempengaruhi kinerja auditor yaitu tekanan ketaatan dan tekanan kesesuaian. Tekanan kesesuaian adalah sebagai suatu bentuk tekanan pengaruh social yang memiliki potensi negative terhadap kinerja auditor. Tekanan social mempengaruhi keputusan auditor untuk menyetujui atau tidak adanya salah saji material pada laporan keuangan. Hal ini perlu dicermati, karena penyimpangan ini akan mengarah pada integritas auditor (profesionalisme) dan bangkrutnya perusahaan (Rahayu dan Faisal 2005). Rentannya auditor terhadap tekanan yang ada dapat mempengaruhi pertimbangan professional atas dilema etika, misalnya tekanan pengaruh social yang tidak tepat dalam kantor akuntan publik akan menimbulkan situasi konflik etik. Auditor berada pada situasi 79 Maret konflik etikal karena kolega harus mengevaluasi konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang potensial atas tindakan mereka. Baik yang berasal dari perspektif suatu organisasi maupun professional dan berusaha untuk merekonsiliasikan tradeoffs yang dipersepsikan (Rahayu dan Faisal 2005). Selain itu penelitian terdahulu menunjukkan bahwa auditor pemula yang menerima perintah untuk melakukan perilaku yang menyimpang dari manajer audit maupun partner audit memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan pelanggaran norma atau standar professional, bila dibandingkan auditor pemula yang mengambil judgment tanpa adanya tekanan dari atasan (De zoort dan Lord 1994 pada Hartono dan Kusuma 2001). Fenomena Baramuli dan Bank Bali adalah sebagai contoh keberadaan tekanan dari kalangan atas yang mempunyai kekuasaan lebih besar. Peristiwa itu diduga berpengaruh pada pertimbangan dan keputusan yang diambil auditor (Hartanto dan Kusuma 2001).Dugaan ini akan diperkuat dengan temuan DeZoot dan Lord (1994) pada Hartanto dan Kusuma (2001) yang melihat akibat dari pengaruh tekanan atasan pada konsekuensi tuntutan hukum, hilangnya profesionalisme dan hilangnya kepercayaan publik dan kredibilitas sosial. Eksperimen tersebut mempertimbangkan tekanan atasan untuk melakukan perilaku yang menyimpang karena adanya kemungkinan perubahan dalam perspektif etis sejalan dengan perubahan ranking peran dalam organisasi. Ada kecenderungan perubahan focus dari yang sempit (praktis dan kualitas audit) menjadi lebih luas dan menekankan pada profitabilitas organisasi, hal semacam ini akan berpengaruh pada kemampuan auditor dalam menjaga 2013 reputasi organisasi dalam hal independensi dan obyektivitas (AICPA 1993 pada Hartanto dan Kusuma 2001). Faktor Personal dalam Keputusan Etis Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwasanya faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan faktor-faktor yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan etis. Trevino (1986) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis dengan membuat suatu interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional. Pengambilan keputusan etis seseorang akan sangat bergantung pada faktor-faktor individu berupa egois, ketergantungan dan locus of control dan faktor situasional seperti budaya organisasi, karakteristik pekerjaan dan ruang lingkup pekerjaan. PENUTUP Akuntan professional dalam menjalankan tugasnya memiliki pedoman- Deasy Ariyanti Rahayuningsih pedoman yang mengikat seperti kode etik akuntan Indonesia. Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya, akuntan memiliki arah yang jelas dan dapat memberikan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang menggunakan keputusan auditor. Akuntan mampu menghasilkan keputusan yang etis, dibutuhkan beberapa variabel terkait yang dapat mempengaruhi pemikiran dan idealism akuntan dalam bertindak beberapa diantaranya adalah moral reasoning, moral judgement yang menggirin pemikiran auditor dalam bertindak etis, karena mampu membedakan mana yang etis dan tidak etis, selanjutnya komitmen professional yang mengarahkan auditor agar memiliki kemampuan yang cukup, kompeten, memadai dan independen, orientasi etika yang lebih mengutamakan faktor etis dan kejujuran fair serta adil, adanya tekanan social dari pihak luar (dari lingkungan kerja, supervisor dan klien) dan juga faktor-faktor pribadi lainnya. REFERENSI: Abdurrahman dan NL Yuliani, 2011. Determinasi Pengambilan Keputusan Etis Auditor Internal (Studi Empiris pada BUMN dan BUMD di Magelang dan Temanggung). Widya Warta, No. 02 Tahun XXXV/July. Bucciarelli, M., Sanget Khemlani dan PN Johnson Laird. 2008. The Psychology of Moral Reasoning. Judgement and Decision Making, Vol 3, No 2, February,hlm. 121-139. Chan, Samuel YS dan P Leung. 2006. The Effects of Accounting Students’ Ethical Reasonong and Personal Factors on Their Ethical Sensitivity. Managerial Auditing Journal, Vol 21, No 4. Hartanto, HY dan Indra W Kusuma. 2001. Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap Judgement Auditor. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol 12, no 3 Desember. Lord, Alan T dan F Todd DeZoort. 2001. The Impact of Commitment and Moral Reasoning on Auditors Responses to Social Influence Pressure. Accounting, Organizations and Society 26 hlm. 215-235. 80 Media Bisnis Maret Nuryatno, M dan S Dewi. 2001. Tinjauan Etika atas Pengambilan Keputusan Auditor Berdasarkan Pendekatan Moral. Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol.1, No, 3 Desember. Parker, LD., Kenneth R Ferris dan David T Otley. 1989. Accounting for The Human Factor. Australia: Prentice Hall of Australia. Paxton, Joseph M dan Joshua D Greene. 2010. Moral Reasoning: Hints and Allegations. Topics in Cognitive Science, hlm. 1-17. Rahayu, DS dan Faisal. 2005.Pengaruh Komitmen Terhadap Respon Auditor Atas Tekanan Sosial; Sebuah Eksperimen. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 9 No 1, Juni. Turner, Nick. Julian Barling. Olga Epitopaki, Vicky Butcher dan Caroline Milner.2002. Transformational Leadership and Moral Reasoning. Journal of Applied Psychology, Vol 87, No 2. Ulum, Akhmad Samsul. 2005. Pengaruh Orientasi Etika Terhadap Hubungan Antara Time Pressure Dengan Perilaku Premature Sign Off Prosedur Audit. Jurnal Maksi, Vol. 2, No. 2, Agustus. 81