MEMBANGUN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

advertisement
Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia
Sunarmi
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
A. PENDAHULUAN
Era reformasi yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 salah satu
penyebabnya adalah pengaruh perubahan nilai terhadap prilaku politik, ekonomi dan
hukum. Oleh karena itu reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan
hukum. Reformasi di bidang hukum berusaha untuk menegakan kembali supremasi
hukum.
Dilihat dari sejarahnya supremasi hukum adalah suatu doktrin hukum yang timbul
dan berkembang di negara-negara Eropah Barat sejak dimaklumatkannya Dictatus
Papae oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075, pada suatu abad ketika vitalitas
ajaran agama Kristen memasuki puncaknya. Manifesto Paus ini berisi tidak kurang
dari 27 (dua puluh tujuh) butir yang disusun dan dimaklumatkan secara sepihak. Isi
maklumat itu menyatakan bahwa Paus – yang juga uskup di Roma – ialah satusatunya pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi dan universal atas segala urusan
(baik yang rohani maupun yang sekuler) di kawasan imperium Barat atas orang-orang
Kristen dan atas para padri, dan bukan para penguasa dunia – baik yang raja maupun
yang kaisar. Pada masa itu kondisi yang terjadi adalah negara dunia yang dipimpin
oleh kaisar mengembangkan ahli-ahlinya sendiri yang membangun sistem hukum
berdasarkan asas-asas hukum Romawi, sedangkan gereja di bawah kepemimpinan
Paus mengembangkan sistem hukumnya sendiri atas dasar ajaran Yesus Kristus yang
selanjutnya dikenal dengan nama Kanonik. Dari sejarah ini diketahui adanya suatu
pengakuan akan peran hukum sebagai dasar kehidupan bernegara yang selanjutnya
menjadi sesuatu yang sangat bermakna.
Dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem
Pemerintahan ditegaskan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa negara –
termasuk di dalamnya Pemerintah dam Lembaga-Lembaga Negara yang lain – dalam
melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi hukum, dalam hal ini hukum dasar dan
Undang-undang sebagai rinciannya dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti materiil adalah sebagai berikut :
a. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara ;
b. Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi dan
peraturan perundang-undangan;
c. Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas legalitas);
d. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak;
e. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Dalam era reformasi yang terjadi saat ini, dalam rangka supremasi hukum,
lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri
negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan
harus independent serta impartial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada
1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadiladilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh
ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan asas lebih ditujukan kepada proses
pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Dengan kata lain,
independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan asas con tante justitie
berkaitan dengan nilai-nilai prosedure.
Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan
sebagai cara untuk melakukan penegakan hukum.1 Hal senada dikemukakan oeh
Luhut MP. Pangaribuan yang menyebutkan bahwa istilah peradilan dalam persfektif
penegakan hukum mengacu pada berjalannya satu mekanisme tertentu dalam satu
sistem (yang baku). Berjalannya mekanisme ini digerakkan oleh aparatur penegak
hukum (Formal : Polisi, Jaksa, “Advokad” dan Hakim) dalam sistem yang diatur
dalam hukum acara. Adanya kecenderungan harmonisasi aparatur dan sistem yang
belum pernah disempurnakan membuat adanya peluang (loop holes ) untuk intervensi
kekuasaan.2 Secara sosiologis ternyata “proses hukum tidak hanya berlangsung di atas
rel peraturan dan institusi hukum formal, melainkan cukup intensif digerakkan,
dibolehkan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor meta juridis, seperti kekuasaan politik,
ekonomi dan kebudayaan.3
Dalam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada sistem peradilan khususnya
kondisi yang sedang terjadi saat ini dan kondisi yang dicita-citakan pada masa yang
akan datang.
Sistem Peradilan itu sendiri meliputi : 1. Struktur
2. Substansi
3. Kultural
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain.
Dalam melakukan pengamatan terhadap berlakunya hukum secara lengkap,
Sacipto Rahardjo menyebutkan adanya berbagai unsur yang harus terlibat yaitu :4
1. Peraturan Sendiri.
2. Warga negara sebagai sasaran peraturan.
3. Aktivitas birokrasi pelaksana.
4. Kerangka sosial – politik ekonomi budaya yang ada yang turut menentukan
bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang
menjadi bagiannya.
Unsur-unsur yang dikemukakan di atas selanjutnya harus dilihat hubungannya
satu sama lain dalam suatu proses interaksi yang dinamis.
Dengan menggunakan alat analisa tersebut maka selanjutnya akan ditemukan
berbagai macam kekhasan berlakunya hukum yaitu “Hukum yang Tidur”5, Hukum
yang dikesampingkan 6, Hukum yang lumpuh 7.
1
Ediwarman, Kuliah Hukum Sistem Peradilan, Program S3 Pasca Sarjana USU Medan.
Luhut M.P. Pangaribuan, hal 1 (http : // www. Hukum on line. Html)
3
Satjipto Rahardjo, Kompas 30 Mei 1997).
4
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hal 13 – 14.
5
Satjipto Rahardjo menyebutkan hukum yang tidur adalah suatu peraturan hukum yang lambat laun,
berkat proses interaksi di antara unsur-unsur yang disebutkan di atas, tidak dijalankan lagi dan
menjalani ‘masa tidurnya’.
6
Hukum Yang dikesampingkan adalah bila suatu peraturan hukum itu oleh masyarakat dirasa tidak
memadai lagi dan masyarakat lalu mencari jalannya sendiri untuk mengatur masalah yang kini
dihadapinya.
7
Hukum yang lumpuh adalah terdapatnya kecenderungan masyarakat untuk menafsirkan suatu
peraturan hukum itu demikian longgarnya, sehingga praktis setiap saat peraturan itu selalu dilanggar.
2
2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Kondisi hukum sebagaimana di uraikan oleh Satjipto Rahardjo di atas saat ini paling
banyak terjadi dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang dikemukakan adalah :
1. Bagaimanakah kondisi sistem peradilan yang ada saat ini ?
2. Bagaimanakah sistem peradilan yang diharapkan dan bagaimanakah jalan keluar
yang harus dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONDISI PERADILAN SAAT INI
Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai citacita masyarakat yang adil dan makmur. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia
merdeka, tema negara hukum paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan
kelemahan yang nyata pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya – yaitu menurut taraf keinginan, harapan,
dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan masyarakat.8
Donald Black menyebut hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is
governmental social control) sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial
yang di dalamnya diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut.9
Friedman juga menyebutkan bahwa yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu
sendiri yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute
settlement), skema distribusi barang dan jasa (good distributing scheme), dan
pemeliharaan sosial (Social maintenance).10
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum
masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat.
Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk
mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan.
Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi
sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke
pengadilan.
Sebagai negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara berkembang,
kondisi penegakan hukum di Indonesia belum dapat disejajarkan dengan negaranegara maju. Dalam kaitan dengan keadaan hukum di negara-negara berkembang
patut disimak buku “The challenge of the Worlf Poverty” yang diterbitkan pada tahun
1970 oleh Gunnar Myrdal yang merupakan hasil penelitiannya terhadap negaranegara di Asia Selatan. Bab ke tujuh dari buku tersebut berjudul The ‘Soft State’
menyebutkan “Semua negara berkembang sekalipun dengan kadar yang berlainan,
adalah ‘negara-negara yang lembek’. Istilah ini dimaksudkan untuk mencakup semua
bentuk ketidak disiplinan sosial yang manifestasinya adalah : cacad-cacad dalam
perundang-undangan dan terutama dalam hal menjalankan dan menegakan hukum,
suatu ketidak patuhan yang menyebar dengan luasnya di kalangan pegawai negeri
8
Muladi dalam kata sambutan,penerbitan buku R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi
Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal v.
9
Donald Black, The Behaviour of Law, New York, USA, Academic Press, 1976, page 5 - 14
10
Lawrence Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton & Company, New York, 1984,
page 5 – 14.
3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
pada semua tingkatan terhadap peraturan yang ditujukan kepada mereka, dan sering
mereka ini bertabrakan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berkuasa,
yang justru harus mereka atur...... “
Salah satu aspek yang menarik untuk dikutip di sini adalah analisisnya mengenai
faktor yang berdiri di belakang kelembekan suatu negara atau ketidak disiplinan sosial
yang meluas itu, yaitu : “Perundang-undangan yang main sikat “(sweeping
legislation). Perundang-undangan yang demikian itu dimaksudkan untuk
memordenisasikan masyarakat dengan segera, berhadapan dengan keadaan
masayarakat yang umumnya diwarisi, yaitu otoritarianisme, paternalisme,
partikularisme dan banyak ketidakteraturan lainnya. Perundang-undangan memang
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak yang sengsara, tetapi yang
tidak memberikan hasil yang banyak seperti yang tercantum pada maksud
dikeluarkannya peraturan itu.
Gunnar Myrdal menyebutkan bahwa kondisi ini bukan disebabkan oleh ciri watak
dari bangsa-bangsa di wilayah tersebut, melainkan karena faktor sejarahnya. Asia
Selatan tidak mengalami perkembangan sejarah yang “mulus” seperti di Eropah
Barat. Kolonialisme telah membawa negara-negara itu ke kemerosotan organisasi di
tingkat pedesaan tanpa menciptakan penggantinya. Tekanan untuk mengintroduksikan
bentuk pemilikan tanah secara Barat, ekonomi yang didasarkan pada uang,
administrasi kolonial yang terutama ditujukan untuk mengumpulkan pajak dan
mempertahankan ketentraman dan ketertiban, menyebabkan melemahnya sistem hakhak dan kewajiban-kewajiban yang asli, bahkan di daerah-daerah tertentu
menyebabkan itu semua runtuh sama sekali. Tradisi otoriter yang telah ada sebelum
masa penjajahan, dengan datangnya kolonialisme itu malah diperkuat oleh
pemerintahan kolonial itu dan dialihkan kepada paternalisme. Dalam sistem yang
demikian itu rakyat menjadi terbiasa untuk diperintah, tetapi juga sedapat mungkin
untuk menghindarkan diri. Hal itu menyebabkan kontrol oleh masyarakat terhadap
tindakan-tindakan pemerintahan menjadi lemah.
Dengan demikian permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh negara-negara
yang sedang berkembang adalah bagaimana menciptakan suatu tatanan politik yang
mantap. Tanpa membereskan hal-hal yang bersifat fundamental tersebut orang tidak
bisa menciptakan suatu sistem politik dan hukum pada kedudukan yang lebih tinggi.
Pada umumnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dijumpai
demam untuk memodernisir hukumnya. Tetapi Friedman melihat, bahwa modernisasi
ini umumnya hanya menyangkut unsur struktur dan substansinya saja, sedangkan
kultur hukumnya tidak mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian maka
modernisasi hukum seperti ini belum dapat menjawab pertanyaan “apakah yang
selanjutnya dapat dihasilkan oleh hukum yang telah menjadi modern seperti ini?”.
Apakah ia dapat menolong meningkatnya GNP? Apakah ia mampu menggerakkan
perubahan dalam masyarakat. Pada pokoknya Friedman ingin mengingatkan tentang
pentingnya peranan kultur hukum, yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerjanya hukum.
Kondisi yang sama juga dihadapi Indonesia. Dalam bidang hukum secara garis
besar dapat dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan
hukum dan penegakan hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak
terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat
dirinci sebagai berikut :
1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;
2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;
3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih);
4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;
5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.11
Buku Reformasi Hukum di Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang
penegakan hukum di Indonesia menyatakan antara lain :
a. Kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum;
b. Tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan;
c. Management pengadilan sangat tidak efektif (maksudnya : mekanisme
pengawasan);
d. Peranan yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat
terhadap pengadilan (Peradilan yang tidak independent, karena dualisme
kekuasaan kehakiman);
e. Penegakan hukum yang berbau praktek korupsi , dan keberpihakan yang
menguntungkan pemerintah.12
Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit
banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa prilaku sebagai bangsa terjajah
masih nampak di kalangan para hakim. Dari sisi ini paling tidak ada tiga hal yang
dapat dilihat yaitu :
Pertama, hakim-hakim tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip
yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia.
Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap
berkualitas untuk kasus itu.
Ketiga, menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.13
Permasalahan yang berkaitan dengan hukum positif dan keadaan supremasi hukum
saat ini juga terletak pada kualitas perundang-undangan yang mencakup
kemungkinan-kemungkinan negatif sebagai berikut :14
1. Perundang-undangan warisan kolonial yang sudah tidak memadai dengan suasan
kemerdekaan. Sebagai contoh : ketentuan tentang “Hatzaai Artikelen” (Pasal 154,
Pasal 156 KUHAP) yang bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat,
pasal-pasal yang memidana pengemisan dan penggelandangan (Pasal 504 dan
Pasal 505 KUHAP).
2. Perundang-undangan yang diciptakan setelah Indonesia merdeka tetap dinilai
bermasalah sehingga telah ditinjau kembali. Contoh Undang-Undang No. 11
PNPS 1963, yang merupakan gambaran sistem otoriter.
3. Undang-undang yang karena sesuatu hal belum beradaptasi dengan perkembangan
internasional (sekalipun dimungkinkan) misalnya, ratifikasi dokumen
internasional HAM masih sangat rendah intensitasnya. Contoh : belum diaturnya
pertanggungjawaban korporasi (corporate criminal hability ) dalam tindak pidana
korupsi;
11
R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum,
Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal 2.
12
Diagnostik Assesment of Legal Development in Indonesia, 1999, World Bank Project, Pengadilan
Tinggi Siber Konsultan (Reformasi Hukum di Indonesia ) yang disusun oleh Kantor Konsultan Hukum
A.B.N.R).
13
Zudan Arif Fakrullah, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Artikel,
Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001.
14
RE Baringbing, Op Cit, hal 125.
5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
4. Penegakan hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi
masyarakat dan rasa keadilan masyarakat yang kadang-kadang terlalu
menekankan kepastian hukum tetapi merugikan keadilan.
5. Kesadaran hukum yang masih rendah yang lebih banyak berkisar dengan kualitas
sumber daya manusianya, sehingga terjadi kesenjangan antara “law
awarenes/lawacquitance” dengan “law behaviour” (aspek kesadaran hukum).
Contohnya : praktek-praktek penyiksaan dalam penegakan hukum, padahal jelas
melanggar Pasal 422 KUHAP.
6. Rendahnya pengetahuan hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional,
dan tidak jarang mengakibatkan malpraktek di bidang penegakan hukum (aspek
illteracy). Misalnya : masih banyak praktek main hakim sendiri baik antar warga
masyarakat maupun oknum penegak hukum terhadap warga masyarakat.
7. Mekanisme Lembaga Penegak Hukum yang fargmentasi sehingga tidak jarang
menimbulkan disparitas penegakan hukum dalam kasus yang sama atau kurang
lebih sama.
8. Budaya hukum tentang HAM yang belum terpadu sebagai akibat perbedaan
persepsi tentang HAM.
Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal system )
Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut : 15
1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini terdapat berbagai
sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem
hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan
akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut
dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum
tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan
bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada
bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa
mengarahakan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah
hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara
hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut.16
Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya
sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa
Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak
sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan
mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan
fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan
(beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari
administrasi negara, bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan
merupakan instrumen yang selalu melekat pada administrasi negara. Yang
menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan
tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan aspek
15
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan
(Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor
Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999, hal 238 – 245.
16
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah,
Jakarta, 1993, hal 2.
6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
“doelmatigheid” dari pada “rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu
dapat dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum yang
dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan
dan ketidak pastian hukum.
5. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris.
Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai
urusan departemen bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah
daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan
perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau
landasan teoretik yang dipergunakan.
7. Keadaan hukum kita – khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat
dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir – sangat mudah tertelan masa,
mudah aus (out of date) . Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan
masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat,
sehingga hukum mudah seka;i tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai
peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga
kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenranya dapat
dibatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai
kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai
“aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Ediwarman menyebutkan bahwa berbagai krisis yang terjadi saat ini di Indonesia
sesungguhnya berpangkal tolak pada krisis prilaku.17Beliau menggambarkan dalam
suatu skema berikut ini :
Pangkal
Perwujudan
Stressing
Final
Feedback
Krisis Hukum
Penegakan Hukum
Krisis Ekonomi
Pembangunan Tidak Seimbang
Krisis Prilaku
Krisis Sosial
Pengaruh Materi
(Behavioral
Krisis Budaya
Mentalitas
Crisis)
Krisis Politik
Krisis
Kepercayaan
Clean Governement
Feedback
Dalam rangka untuk mengatasi krisis yang meliputi berbagai bidang kehidupan
tersebut maka pembenahan yang harus dilkukan pertama sekali adalah Sumber Daya
Manusia.
Sunaryati Hartono18 menyatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
yang berkaitan langsung dengan krisis hukum disebabkan oleh :
17
Ediwarman, Kuliah Sistem Peradilan, Program S3 Pascasarjana USU, Medan, Tanggal 1 Oktober
2002.
7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1) Karena aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat,
terutama bidang hukum sangat diabaikan;
2) Karena kejujuran dalam kata dan perilaku semakin ditinggalkan, baik dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara, maupun dalam kehidupan pribadi. Ini
tercermin dari perkembangan bangsa Indonesia yang dalam 30 tahun terakhir
menjadi sampai kabur, berbunga-bunga karena banyak menggunakan eufemisme;
3) Karena cara berfikir bangsa Indonesia semakin menjadi formalistis, birokratis dan
munafik, legalistis, hal mana mendukung sikap hipokritis pula, dan kurang
memperhatikan arti intrinsik dan yang sebenarnya dari suatu kata atau pengertian;
4) Karena elite baru dan orang kaya baru masyarakat Indonesia semakin menjadi
feodal dan mengadopsi cara-cara kehidupan orang-orang Belanda yang dimasa
kolonial hidup di Indonesia.
Hart menyebutkan bahwa : Thus, it cannot serously be disputed that the
development of law, at all times and places, has in fact been profoundly influenced
both by the conventional morality and ideals of particular social groups, and also by
forms of enlightened moral criticism urged by individuals, whose moral horizon has
transcended the morality currebtly accepted. But it is possible to take this truth
illicitly, as a warrant for a different proposition : namely that a legal system must
exhibit some specific conformity with morality or justice, or must rest on a widely
diffused confiction that there is a moral obligation to obey it. 19
Dari berbagai kasus yang menimpa pengadilan setidaknya terdapat tiga kritik bagi
lembaga peradilan kita.
Pertama, adalah lemahnya moral dan profesionalisme.Kedua, adalah lemahnya
budaya hukum masyarakat yang menyangkut persepsi masyarakat terhadap pola
penegakkan hukum dan Ketiga, adalah lemahnya kemandirian dan kebebasan hakim
(lemahnya sistem peradilan).
B. SISTEM PERADILAN YANG DIHARAPKAN
Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili Rasjidi
menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik dan
tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau stelsel
hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-pemikiran baru
– sekalipun di luar disiplin hukum – selalu dapat membawa pengaruh kepada sistem
hukum.20
Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu :21
Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah,
namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap
bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang
berkesinambungan – aspek sistem yang berada di sini kemarin ( atau bahkan pada
abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem
hukum – kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Struktur sistem hukum terdiri dari
18
Sunaryati Hartono, Reformasi Total untuk Mengatasi Krisis Ekonomi dan Krisis Total Yang Sedang
Melanda Indonesia, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja,
Op cit, hal 274 – 275.
19
H.L.A. Hart, The Concept of Law, Oxford At the Clarendon Press, 1988, page, 181.
20
Dikutip dalam Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 149.
21
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah
Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal 7 –9.
8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
unsur berikut ini : jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya( yaitu, jenis perkara
yang diperiksa, dan bagaimana serta mengapa), dan cara naik banding dari satu
pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya struktur adalah semacam sayatan sistem
hukum – semacam foto diam yang menghentikan gerak.
Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan, norma, dan pola
prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk”
yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu – keputusan yang
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada
hukum hukum yang hidup (Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum
(law books).
Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.
Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan.
Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya – seperti ikan
yang mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.
Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti “struktur” hukum seperti
mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya
hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan
mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Berkaitan dengan hal di atas, apabila teori Lawrence M Friedman di atas dikaitkan
dengan sistem hukum di Indonesia saat ini maka dalam “struktur” terdapat empat
lingkungan peradilan yaitu, yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata
usaha negara. Peradilan Niaga termasuk ke dalam lingkungan peradilan umum.
Masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai tingkatan yang berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara. Setiap pengadilan memiliki
yurisdiksinya sendiri-sendiri baik secara absolut maupun relatif. Hubungan antara
polisi, jaksa, hakim, pengacara, terdakwa dan lain-lain menunjukkan suatu struktur
sistem hukum .
Friedman menyebutkan, bahwa struktur adalah .... is a kind of cross section of the
legal system - a kind of dtill photograph, which freezes the action.22
Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana
dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam
sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka
berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah memenuhi rasa
keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi
peraturan perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan
pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk
pemahaman masyarakat terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat.23
Berdasarkan komponen Friedman di atas, Achmad Ali berpendapat bahwa kondisi
Sistem Hukum Nasional Indonesia, sangat menyedihkan dan mengalami
keterpurukkan yang luar biasa. Keterpurukan tersebut tidak akan berhasil diperbaiki
apabila sosok-sosok the dirty broom ( sapu kotor) masih menduduki jabatan di
berbagai institusi hukum.24
22
Lawrence M. Friedman, American Law, W.W Norton & Co, New York, 1984, hal 5.
Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hal 3.
24
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta,
2001, hal 10 – 11.
23
9
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Penciptaan berbagai peraturan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru timbul
kondisi “hiperregulated” tersebut membuat masyarakat lebih apatis. Sementara itu
institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa
memperdulikan substansial justice sehingga segala sesuatu dilihat dari dua hal yang
jukstaposisional saja yaitu benar – salah, hitam putih, menang kalah, halal haram dan
sebagainya. Sementara itu arus reformasi yang tidak terkendali (kebablasan) telah
menciptakan masyarakat yang berperilaku/berbudaya membabi buta (blind society).
Kondisi keterpurukan ke tiga komponen sistem hukum tersebut telah menjadikan
hukum tidak berfungsi sama sekali dan apa yang disebut sistem hukum nasional
Indonesia menjadi sulit diterima.
Secara lengkap Achmad Ali menyebutkan :
Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan
penegakan hukum, disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan dan
mengetahui sendiri betapa “sandiwara hukum” dan lebih khusus lagi “sandiwara
peradilan” masih terus berlangsung. Kita masih tetap pantas untuk mengalunkan
syair lagu “aku masih tetap seperti yang dulu”. Sosok-sosok penegak hukum
yang kini masih bergentayangan masihlah sosok-sosok lama dengan paradigma
lama, tetapi dengan “kemasan baru”. Konkretnya “sosok-sosok sapu kotor” di
lingkungan penegakan hukum masih eksis dan semakin hari semakin
memperkokoh posisinya. Serentetan kasus-kasus hukum dan peradilan yang
muncul di media massa. Seperti berita kasus suap menyuap kelas kakap masih
berlangsung ditubuh Mahkamah Agung , berita perintah penundaan penuntutan
tiga konglomerat dan lain-lain sebagai akibat tidak profesionalnya aparat
penegak hukum teramat mengecewakan rakyat banyak. Kesemuanya makin
menurunkan citra penegakan hukum.
Dan jalan keluar dari segala keterpurukan itu adalah secara klasik berupa pembenahan
instiusi dan aparatur hukum. Pembenahan itu harus dilakukan secara drastis, tanpa
harus mengganggu berjalannya sistem formal hukum yang sedang berjalan.
Dalam hukum formal, acara sidang dalam tradisi common law
sangat
menekankan pada “kelisanan” (orality). Pengadilan Common Law lebih suka ucapan
dari dokumen tertulis. Sedangkan dalam Civil Law, sistem yang dipergunakan adalah
sistem selidik (inquisitoriasl system). Dari sejarahnya Civil Law tidak menggunakan
dewan juri, dan keberadaan penasehat hukum di ruang sidang pengadilan tidak
sedominan penasehat hukum negara common law.
Peradilan merupakan suatu macam penegakan hukum, karena aktivitasnya tidak
terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum itu.
Terdapat perbedaan antara peradilan dan pengadilan. Peradilan menunjuk kepada
proses mengadili, sedangkan pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses
tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah
kepolisian, kejaksaan dan advokat. Hasil akhir dari proses peradiln tersebut berupa
putusan pengadilan.
Bagi ilmu hukum, bagian penting dalam proses mengadili terjadi saat hakim
memeriksa dan mengadili suatu perkara. Pada dasarnya yang dilakukan oleh hakim
adalah memeriksa kenyataan yang terjadi, serta menghukuminya dengan peraturan
yang berlaku. Pada waktu itu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang
berlaku untuk satu kasus. Pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya.
Hans Kelsen menyebutkan bahwa proses penegakan hukum yang dijalankan oleh
hakim demikian disebut sebagai Konkretisierung.
Dalam persfektif sosiologi, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multi
fungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative
10
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
processing “, ceremonial changes of status”, “settlement negotiation”, “mediations
and arbitartion” dan “warfare”.
Sacipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah tempat
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi
konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, fungsi itu
hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat :25
1. Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan
seperti mereka kehendaki;
2. Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang
mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai
utama lainnya;
3. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;
Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh
perlindungan hukum.
Bagaimana dengan substansi hukum nya di Indonesia ?. Dalam perkembangan
sejarah berfungsinya hukum di Indonesia, Mochtar Kusumatmadja pernah
mengadopsi pemikiran Roscoe Pound, salah seorang pendukung Sociological
Jurisprudence. Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja ini dikenal dengan Mazhab
UNPAD. Dalam konsep ini hukum dijadikan sebagai sarana untuk melakukan
pembaruan dalam masyarakat26. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk tujuan yang
praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial dan
ekonomi. Model pemikiran Roscoe Pound ini lebih dirasakan oleh negara-negara
berkembang dari pada negara maju karena mekanisme hukum di negara-negara
berkembang belum semapan di negara-negara maju. Hukum harus dapat lebih
berperan dalam melakukan kontrolterhadap perubahan-perubahan yang terjadi,
sehingga hukum dapat mengarahkan kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik yang
diinginkan.
Pokok-pokok pikiran yang melandasai konsep hukum sebagai sarana untuk
pembaruan masyarakat adalah :
1) Bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan
memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan
2) Bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan
manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan oleh pembangunan dan
pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang
tertulis ( baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang
berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Meskipun konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja merupakan konsep pembangunan hukum
25
Sacipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hal 107.
Berbeda dengan konsep Roscoe Pound yang menyatakan hukum adalah sebagai alat, Mochtar
Kusumaatmadja tidak mengartikannya sebagai alat tetapi sebagai sarana. Menurutnya pengertian
sarana lebih luas dibandingkan dengan alat. Alasannya adalah : (1) di Indonesia peranan perundangundangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya dibandingkan dengan di
Amerika Serikat, yang menempatkan yruisprudensi (khususnya putusan Suoreme Court) pada tempat
yang lebih penting. (2) konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda
dari penerapan “legalisme” sebagaimana pernah diterapkan pada zaman Hindia Belanda, dan di
Indonesia ada sikap yang menunjukan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti
itu, (3) apabila hukum di sisni termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep itu diterima resmi sebagai landasan
kebijakan hukum nasional.
26
11
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
yang palin tepat dan relevan sampai saat ini. Namun masalahnya terletak pada
seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidangbidang hukum yang dianggap netral itu) telah diantisipasi dampaknya bagi
masyarakat secara keseluruhan. Darji Darmodihardjo27 mengemukakan ada tiga
catatan yang dapat diberikan berkaitan dengan hal di atas :
Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem,
yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk
itu pengembangan satu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan
berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan
masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebut sebagai bidang
yang netral.
Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali
menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai contoh,
pembentukan Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, sesungguhnya dapat dilihat dalam konteks ini. Produk hukum tersebut dapat
dikatakan sebagai wujud social engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia
dari kebiasaan tidak disiplin berlalu lintas menjadi disiplin. Kendati demikian kondisi
ideal seperti diharapkan oleh Undang-undang tersebut rupanya terlalu jauh dari
kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk mengikuti instrumen
hukum itu. Akibatnya, stabilitas sosial (bahkan politik) terganggu. Sebagai
pemecahannya, diberikan beberapa konsesi kepada masyarakat dengan menerapkan
isi undang-undang itu secara bertahap, yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan
akan terjadi.
Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan
hukum tertulis karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan.
Konsep ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang profesional, untuk
memberi jiwa pada kalimat-kalimat yang tertulis dalam peraturan perundangundangan itu. Aparat hukum, khususnya hakim, harus mampu menggali nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 UU
No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan
kemudian menggunakan nilai-nilai yang baik itu dalam rangka menerjemahkan
ketentuan hukum yang berlaku.
A. Lawrence Friedman (seperti dikutip oleh Robert Seidman), mengajukan usulan
untuk menghadapi terjadinya perubahan sosial, dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
a. Bagaimana hukum menetapkan, memantau atau sebaiknya mengatur fakta atau
langkah perubahan sosial.
b. Apakah sistem hukum dan kelembagaan hukum dapat membantu atau
menghambat masyarakat yang maju ke arah modernisasi .
c. Apakah hukum membantu pertumbuhan ekonomi.
d. Bagaimanakah hukum mempelopori atau menggelapkan jalan menuju
kebijaksanaan atau stabilitas politik.
e. Bagaimanakah sebuah masyarakat bisa meningkatkan sistem keadilannya.
Kesemua pertanyaan itu dimaksudkan untuk menjelaskan konsep suatu sistem hukum
yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu :
- Aturan-aturan hukum substantif;
27
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia,
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 180 – 181.
12
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
- Lembaga-lembaga hukum (pengadilan dll) ;
- Kontribusi keberdayaan hukum (nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap hukum).
L. Friedman mengatakan perlu dicari suatu sistem hukum yang paling baik untuk
membantu pembangunan, untuk menghadapi perubahan sosial yang sedang berjalan
saat ini.28
Bagi suatu negara seperti Indonesia yang sedang mengalami masa pembangunan
dan perubahan soaial, adalah diseyogyakan sekali apabila pengkajian terhadap hukum
itu selalu dikaitkan pada pertanyaan-pertanyaan standar, seperti :
1. Apakah identitas dan fungsi hukum ini sesuai dengan struktur masyarakat yang
dilayaninya ?
2. Apakah peranan hukum ini di dalam masyarakat ?
3. Fungsi positif dan negatif mana yang ada pada hukum sekarang ini ?
Dalam rangka membangun sistem peradilan di Indonesia maka terkait di
dalamnya pembangunan substansi hukumnya. Apabila sistem peradilan dimaksudkan
sebagai penegakan hukum maka hal ini juga akan berhubungan dengan fungsi hukum
sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Dalam hal ini hukum harus menjalani suatu
proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbedabeda. Secara garis besar aktivitas itu berupa pembuatan hukum dan penegakan
hukum.
Sacipto Rahardjo29 menyebutkan pembuatan hukum merupakan awal dari
bergulirnya proses pengaturan tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan
keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum . Ia merupakan
pemisah antara “dunia sosial” dengan “dunia kenyataan hukum “, oleh karena sejak
saat itu kejadian dalam masyarakatpun mulai ditundukan pada tatanan hukum.
Tunduk pada tatanan hukum berarti tunduk pada penilaian hukum, ukuran hukum dan
akibat-akibat hukum.
Selanjutnya Satjipto melanjutkan30 bahwa proses dalam pembuatan hukum ini
dibagi dalam dua golongan tahap besar yaitu tahap sosio politis dan tahap yuridis.
Dalam tahap sosio politis, maka gagasan awal diolah oleh masyarakat sendiri,
dibicarakan dan dikritik, dipertahankan, melalui pertukaran pendapat antara berbagai
golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Pada tahap ini suatu gagasan mengalami
ujian, apakah ia akan bisa terus digelindingkan ataukah berhenti di tengah jalan.
Dalam kejadian terakhir itu, maka gagasan tersebut akan hilang dan tidak
dipermasalahkan lagi oleh dan di dalam masyarakat.
Apabila gagasan tersebut berhasil untuk menggelinding terus, maka barang tentu
bentuk serta isinya juga mengalami perubahan dibanding pada saat ia muncul.
Perubahan itu menjadikan bentuk dan isi gagasan tersebut makin dipertajam
(articulated).
Tahap berikutnya atau tahap akhir adalah pemberian sanksi hukum terhadap bahan
tersebut. Tahap ini melibatkan kegiatan intelektual yang murni bersifat yuridis dan
tentunya juga akan ditangani oleh tenaga-tenaga yang khusus berpendidikan hukum.
Yang dimaksud dengan kegiatan yang murni yuridis di sini, misalnya adalah
perumusan dalam bahasa hukum, meneliti konteksnya dalam sistem hukum yang ada
sehingga tidak menimbulkan gangguan sebagai satu kesatuan sistem, baik dalam
konteks mengikuti tahap-tahap tersebut secara lengkap, tetapi dalam garis besarnya,
pembuatan hukum itu bisa dirinci dalam tahap-tahap sebagai berikut :
1. Tahap inisiasi : muncul suatu gagasan dalam masyarakat.
28
B. Robert Seidman, Law and Development, University Wisconsin Madison.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 176.
30
Ibid, hal 177.
29
13
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2. Tahap sosio politis : pematangan dan penajaman gagasan.
3. Tahap yuridis : penyusunan bahan ke dalam rumusan hukum dan
kemudian
diundangkan.
Proses pembuatan hukum memerlukan suatu wadah struktur tertentu yang
menyangkut penyusunan suatu organisasi yang akan mengatur kelembagaan juga
mekanisme kerjanya.
Dalam proses pembuatan hukum ini, Montesquieu memiliki gagasan tentang
pembuatan hukum yang baik yang ditulisnya dalam L’Esprit des Lois Tahun 1748.
Intisari pendapatnya mengenai bagaimana seharusnya hukum itu dibuat adalah
sebagai berikut :
1. Gaya hendaknya padat dan sederhana. Kalimat-kalimat yang muluk dan retorik
hanya merupakan hal yang berlebihan dan menyesatkan.
2. Istilah-istilah yang dipilih, hendaknya sedapat mungkin bersifat mutlak dan tidak
relatif, sehingga mempersempit kemungkinan untuk adanya perbedaan pendapat.
3. Hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang aktual, menghindari penggunaan
perumpamaan atau bersifat hipotetis.
4. Hendaknya jangan rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan, jangan
membenamkan orang ke dalam persolan logika, tetapi sekedar bisa dijangkau oleh
penalaran orang kebanyakan.
5. Janganlah masalah pokok yang dikemukakan dikaburkan oleh penggunaan
perkecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali memang benar-benar
diperlukan.
6. Jangan berupa penalaran (argumentative) ; berbahaya sekali memberikan alasan
yang rinci tentang masalah yang diatur, sebab hal itu hanya akan membuka pintu
perdebatan.
7. Di atas semua itu, isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih dahulu serta
janganlah membingungkan pemikiran serta rasa keadilan biasa dan bagaimana
umumnya sesuatu itu berjalan secara alami; sebab hukum yang lemah, tidak perlu
dan tidak adil akan menyebabkan keseluruhan sistem perundang-undangan
menjadi ambruk dan merusak kewibawaan negara.31
Proses pembuatan hukum barulah merupakan salah satu tahap saja dari suatu
perjalanan panjang fungsi hukum untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan
hukum tersebut masih harus disusul dengan tahap pelaksanaannya secara konkrit
dalam masyarakat. Dan inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum (law
enforcement, rechtstoepassing, rechtshandhaving).
Dalam bukunya yang berjudul Law and Society in transition : toward Responsive
Law (terjemahannya : Hukum dan Masyarakat dalam Peralihan Menyongsong
Hukum yang Responsive), Philipe Nonet dan Philip Selznik telah merumuskan
sebuah konsep hukum yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat
lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan
terhadap masalah-masalah keadilan sosial, sambil tetap memperhatikan hasil-hasil
institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasakan hukum.
Konsep “hukum responsive” ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali
hukum “tercerai dengan kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita
keadilan sendiri” Konsep ini juga merupakan suatu usaha untuk mengintegrasikan
kembali teori hukum, filsafat politik dan penelaahan sosial. Tesis yang diajukan oleh
Nonet dan Selznik bukanlah suatu teori yang mampu menyelesaikan semua problem
yang praktis. Namun, tesis tersebut memberikan suatu persfektif dan kriteria untuk
31
Dikutip dalam Satjipto Rahardjo, Op cit, hal 180.
14
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
mendiagnosis dan menganalisis problem-problem hukum dan masyarakat dengan
penekanan khusus atas dilema-dilema institusional dan pilihan-pilihan kebijaksanaan
yang kritis. Mereka mulai dengan membandingkan dua pandangan hukum yang
berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain : suatu pandangan hukum dengan risiko
rendah dan pandangan hukum dengan risiko tinggi.32
Pandangan pertama memberikan penekanan pada tata tertib, penaatan kepada aturanaturan yang telah ditetapkan, dan stabilitas sosial. Pandangan kedua tidak
menyamakan “hukum” dengan “tata tertib”.
“It is more careles of authority, more accepting of challenge and and disarray. This
approach resists the equatin of “law” and “order” ; it is sensitive to the fact that law
characterustically upholds a specific kind of order in the form of received moral
codes, systems of status, and patterns of power. The very concept of “order: is
conceived of as problematic, subjet to historically changing expectations, compatible
with controversy and expressive behaviour. In this persfective law is valued as a
resource for criticism and an instrument for change, and there is a tacit faith that a
system of authority can better preserve it self, and be better, if it is open to
reconstruction in the light of how those who are governed perceive their rights and
reassess their moral commitments. To be responsive, the system should be open to
challenge at many points, should encourage participation, and should expect new
social; interests to make themselves known in troublesome ways.33
Nonet dan Selznick berpendapat bahwa setiap pandangan mempunyai biaya-biaya
sosialnya sendiri.
Each of these persfectives has characteristic weaknesses. The first, in being relatively
unresponsive, may encourage evasion or the law, if only because some accomodation
to different interests, values, and styles of life is required; and it may actually bring
on crisis and disorder by closing off perspective, on the other hand, in seekingto
maximize responsiveness, my invite more trouble than it bargained for, foster
weakness and vacillation in the face of pressure, and yield too much to activist
minorities.34
32
Philippe Nonet and Philip Selznik, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper
Colophon Books, Harper & Row, Publishers, New York, 1978, page 5 – 7.
33
Ibid, page 6 (Terjemahannya “ Ia kurang memperhatikan otoritas, lebih terbuka bagi tantangan dan
ketidak teraturan. Konsep tentang “tata tertib” sendiri dilihat sebagai bersifat problematis, tunduk
kepada harapan-harapan yang secara historis berubah-ubah, konsisten dengan kontroversi dan prilaku
yang ekspresif. Dalam persfektif ini hukum dinilai sebagai sumber untuk kritik dan suatu sarana
perubahan, dan terdapat suatu kepercayaan secara diam-diam bahwa suatu sistem otoritas akan lebih
mampu mempertahankan dirinya sendiri, dan menjadi lebih baik, apabila Ia terbuka bagi rekonstruksi
dilihat dari segi bagaimana orang-orang yang diperintah memahami hak-haknya serta menetapkan
kembali ikatan-ikatan moralnya. Untuk bersifat responsif, sistemnya harus terbuka bagi tantangan
mengenai berbagai hal, harus mendorong partisipasi, dan harus bersedia menerima bahwa kepentingankepentingan sosial baru akan menampakkan diri dengan cara-cara yang menjengkelkan) dikutip dalam
A.A.G Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1990, hal 160 – 161.
34
Ibid, page 7 (Terjemahannya “ Masing-masing persfektif tersebut memiliki kelemahankelemahannya yang khas. Yang pertama, dengan bersifat relatif tidak responsif, mungkin akan
mendorong penghindaran dari hukum, meskipun hanya karena disyaratkan sedikit kesediaan untuk mau
menerima kepentingan-kepentingan, nilai-nilai dan corak-corak kehidupan yang berbeda; dan ia
mungkin sekali benar-benar akan menimbulkan krisis dan kekacauan dengan jalan menutup saluransaluran untuk naik banding, partisipasi dan perubahan. Di lain paihak, perspektif dengan risiko tinggi
dalam usaha untuk mencapai sifat responsif semaksimalnya, akan mengundang lebih banyak kerepotan
daripada “yang ia perkirakan, menyuburkan kelemahan dan keragu-raguan dalam menghadapi tekanan
dan terlalu memberi hati kepada minoritas-minoritas aktifis “).
15
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Nonet dan Selznick mengemukakan adanya tiga tipe hukum yaitu :
1. hukum represif, yaitu hukum sebagai abdi kekuasaan represif;
2. hukum otonom, yaitu hukum sebagai institusi yang dibedakan dan mampu untuk
menjinakkan represi serta untuk melindungi integritasnya sendiri, dan
3. hukum responsif, yaitu hukum sebagai fasilitator dari respons terhadap kebutuhankebutuhan sosial dan aspirasi-aspirasi sosial.
Ketiga tipe hukum tersebut harus dilihat sebagai berkaitan satu sama lainnya di
dalam suatu urutan perkembangan. “Hukum represif, hukum otonom dan hukum
responsif tidak merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya, dapat
juga diartikan sebagai tahap-tahap evolusi di dalam hubungan hukum dengan tata
politik dan tata sosial. Masing-masing tipe hukum berhubungan dengan suatu problem
lain dalam tata sosial.
Dalam hukum represif tata tertibnya sendiri yang menarik semua perhatian.
Hukum otonom mempermasalahkan problem legitimasi dari pada tata tertib sosial.
Legitimasi ini di dasarkan atas ide bahwa tata tertib sosial dapat dibuat sah apabila
penggunaan kekuasaan diletakan di bawah pengawasan dari prinsip-prinsip
konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi-institusi peradilan yang bebas.
Ini pada dasarnya adalah adalah cita-cita kekuasaan yang berdasar hukum yang klasik
liberal. Dalam hukum responsif pada akhirnya yang dipermasalahkan adalah tujuan
tata tertib sosial. Tipe hukum ini berasal dari suatu hasrat untuk membuat hukum
lebih bertujuan di dalam melayani manusia dan institusi untuk mencapai, tidak hanya
keadilan yang formal, tetapi juga keadilan yang substantif. Model perkembangannya
dilandasi suatu dinamika dari dalam yang mendorong hukum represif ke arah hukum
otonom, dan hukum otonom ke arah hukum responsif. Dalam hal ini setiap tipe
hukum yang lebih rendah akan berhadapan dengan problem-problem yang tidak dapat
dipecahkannya, kecuali ia bergerak ke suatu tingkat yang lebih tinggi. Hukum
represif, misalnya tidak bisa memecahkan problem legitimasi selam ia tetap bersifat
refresif; ia hanya mampu memecahkannya apabila ia menjadi hukum otonom. Namun
kelemahan utama dari hukum otonom terletak di dalam tendensinya ke arah
formalisme hukum, yang akan mengurangi relevansi hukum untuk pemecahan
problem, dan yang akan membuatnya tidak peka terhadap tuntutan-tuntutan keadilan
sosial. Hukum otonom hanya akan mampu mengatasi kelemahan ini bila ia menjadi
lebih “responsif”. Lagi pula, penggunaan hukum sendiri menggerakan suatu dinamika
dari perkembangan. Seorang penguasa yang kuat dapat mengeluarkan aturan-aturan
sebagai saran kekuasaannya, akan tetapi ia tidak akan dapat memaksa semua
rakyatnya untuk patuh setiap waktu. Dia akan memperoleh tambahan kredibilitas dan
aturan-aturannya akan memperoleh tambahan legitimasi serta menarik kemauan untuk
menurut sendiri secara sukarela, bilamana aturan tersebut adil, bilaman ia sendiri
merasa terikat oleh aturan-aturan tadi, dan bilamana terdapat pengadilan yang tidak
berpihak yang akan menerapkan aturan dan memberikan keputusan dalam pertikaian
dan kejahatan secara tidak berpihak.
Dengan demikian, hukum yang semula tidak lain daripada sarana kekuasaan, dapat
mengembangkan suatu titik puncaknya sendiri dan menjadi suatu kriteria nilai untuk
menilai penggunaan kekuasaan. Penggunaan hukum secara “kritis” demikian
kemudian dapat lebih maju dan diperluas dari mengkaji kepantasan prosedural formal
dari penggunaan kekuasaan kepada evaluasi dari hasil-hasil dan kebijakan substantif.
Akan tetapi, logika perkembangan ini sama sekali tidak selalu harus demikian.
Apakah perkembangan semacam ini akan terjadi “tergantung dari kondisi yang sangat
beraneka ragam dan kekuatan-kekuatan yang saling berimbangan”. Setiap pola
mempunyai kekuatan-kekuatannya sendiri untuk mempertahankan dirinya. Penguasa16
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
penguasa akan menolak untuk menyerahkan pengawasan kepada institusi peradilan
yang bebas; dan pola-pola formalisme hukum serta formalisme birokratis akan
menentukan upaya perbaikan yang dapat didesain untuk mengatasi kekurangan sistem
tersebut. Perkembangan akan tergantung pada keadaan-keadaan yang menunjang dan
kepada “suatu konteks politik yang memberi tunjangan”. Tidak terdapat sesuatu yang
memastikan dalam hal ini, mungkin saja ada hambatan dan juga kemunduran :
“model-model perkembangan sama saja ada kaitannya dengan kehancuran atau
kemunduran dan dengan pertumbuhan serta kemajuan”. Namun apa yang ingin
dikembangkan oleh model perkembangan ini adalah suatu urutan tahap-tahap yang
tegas yang harus dilalui oleh perkembangan hukum, bila terjadi perkembangan hukum
dan sepanjang terjadi perkembangan hukum. Maksudnya, tidak akan ada transisi dari
hukum represif ke hukum reponsif sambil meloncati tahap hukum otonom. Apabila
hukum represif, yang sangat mementingkan pemeliharaan tata tertib, kemudian
dipakai untuk tujuan-tujuan kebijaksanaan dan perkembangan ekonomis atau sosial,
tanpa adanya kekuasaan berdasar hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia, ia
tetap akan tunduk dan mengabdi kepada kebutuhan-kebutuhan kekuasaan yang ada,
sifat-sifat represifnya akan diperkuat dan ia akan gagal sebagai suatu kerangka dasar
untuk memungkinkan dicapainya perkembangan sosial yang sesungguhnya.
Secara lebih ringkas dapat disebutkan bahwa dalam hukum represif, hukum
dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang berdaulat
(pengemban kekuasaan politik) yang memiliki kewenangan diskresionis tanpa batas.
Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta hukum dan politik tidak terpisah,
sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka (dominan, lebih
menonjol ke permukaan) ketimbang aspek eskpresifnya.
Ciri-ciri hukum represif adalah :35
1) Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada institusi hukum sehingga tata
hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi pada
“raison de’etat”
2) Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang
memunculkan “persfektif pejabat”, yakni perspektif yang memandang keraguan
harus menguntungkan sistem, dan sangat mementingkan kemudahan
administrasif.
3) Badan kontrol khusus yang menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi
dari konteks sosial yang memoderatkan, dan kapabel melawan otoritas politik.
4) Resim “hukum ganda” menginstitusionalisasi kadilan kelas, yang
mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5) Perundang-undangan Pidana mencerminkan “dominat mores” yang sangat
menonjol “legal moralism”.
Dalam tipe hukum Otonomius36, hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang
mampu mengendalikan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tipe hukum
otonomius ini berintikan pemerintahan “Rule of Law” , subordinasi putusan pejabat
pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka itu. Institusi hukum serta cara
berfikir mandiri memiliki batas-batas yang jelas. Dalam tipe ini, keadilan prosedural
sangat ditonjolkan. Ciri-ciri hukum otonomius adalah :
1) Hukum terpisah dari politik yang mengimplikasikan kewenangan kehakiman yang
bebas dan separasi fungsi legislatif dan fungsi judisial.
35
36
Ibid, hal 29 - 33
Ibid, hal 53 – 54.
17
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2) Tata hukum mengacu “model aturan”. Dalam kerangka ini, maka aturan
membantu penegakan penilaian terhadap pertanggung jawaban pejabat. Selain itu,
aturan membatasi kreativitas institusi-institusi hukum dan peresapan hukum ke
dalam wilayah politik.
3) Prosedure dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian maka tujuan
pertama dan kompetensi utama tata hukum adalah regularita dan kelayakan.
4) Loyalitas pada hukum yang mengharuskan kepatuhan semua pihak pada aturan
hukum posistif. Kritik terhadap aturan hukum positif harus dilaksanakan melalui
prose politik.
Pandangan tentang hukum responsif didasarkan atas infrastruktur institusional
yang terbentuk dengan baik dari hukum otonom dan adanya suatu konteks
kebudayaan dalam mana prinsip-prinsip peradilan yang adil, perlindungan hak-hak
asasi, keteraturan administratif, dan integritas resmi dianggap kurang lebih mesti ada.
Hal ini menimbulkan problem-problem berat bagi bangsa-bangsa baru yang secara
simultan berhadapan dengan :
a) problem tata tertib dan pemeliharaan perdamaian dalam masyarakat;
b) tugas untuk menetapkan atau memperkuat kekuasaan berdasar hukum dan
c) kebutuhan untuk membuat dan menggunakan hukum untuk tujuan-tujuan
perkembangan ekonomis dan sosial.
Pandangan yang diambil dari sini adalah bahwa tidak ada jalan lain kecuali harus
menangani ke tiga tugas tersebut secara simultan.
Dalam hukum responsif sebagaimana diuraikan di atas. Hukum dipandang sebagai
fasilitator respon atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan inspirasi sosial.
Pandangan ini mengimplikasikan dua hal.
Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional.
Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan.
Ini berati bahwa tujuan berfungsi sebagai norma kritik dan dngan demikian
mengendalikan diskresi administratif serta melunakkan risiko “institutional
surrender”. Dalam tipe ini, aspek ekspresif dari hukum lebih mengemuka ketimbng
dalam dua tipe lainnya, dan keadilan substantif juga dipentingkan di samping keadilan
prosedural.
. Bilamana hukum akan dipakai untuk tujuan-tujuan perkembangan ekonomis dan
sosial, tanpa ada waktu yang bersamaan memperkuat otonominya untuk menghadapi
kekuasaan politik dan ekonomis, maka ia akan tetap merupakan suatu kekuatan yang
asing, akan bertemu dengan sikap bermusuhan dan pengelakan, dan akan menjadi
tidak efektif di dalam mengajak tenaga-tenaga yang mau bekerja sama yang sangat
diperlukan bagi perkembangan sosial yang sungguh-sungguh. Di pihak lain,
perjuangan untuk kekuasaan berdasar hukum dengan menelantarkan tugas-tugas
sosial dan ekonomis yang sangat diperlukan, akan berarti memukul diri sendiri,
karena ketidak adilan yang diakibatkan oleh kemiskinan kekurangan
perkembangannya dan ketidak tahuan, yang menjadi ikan tata tertib sosial yang ada
represif bagi jumlah rakyat yang sangat besar, akan tetap ada.
Tatanan hukum represif yang mendahului dua tatanan lainnya, muncul atau
diperlukan untuk menyelesaikanberbagai masalah fundamental dalam mendirikan
tatanan politikyang merupakan prasyarat bagi sistem hukum dan sistem politik
mencapai sasaran-sasaran yang lebih tinggi.
18
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Tatanan otonomius mengandaikan dan dibangun di atas hasil-hasil yang dicapai
tatanan hukum represif. Tatatnan hukum responsif bertumpu pada “constitusional
cornerstones” tahap “Rule of Law” yang dihasilkan tatanan otonomius.37
Ke tiga tipe hukum tersebut di atas yaitu hukum represif, hukum otonomius,
hukum rsponsif merupakan konsep yang abstrak, yang dalam kenyataansesungguhny
tidak akan ditemui dalam bentuknya yang murni. Dalam kenyataan yang
sesungguhnya Nonet dan Selznick berpendapat38” No complex legal order, or sector
of it, ever forms a fully coherent system ; any given legal order or legal institution is
likely to have a ‘mixed’ character, incorporating aspects of all three types of law”
Dalam kenyataan empiris, tiap tata hukum dan institusi memiliki sifat campuran yang
mengandung aspek-aspek dari tiga model hukum tersebut. Hanya saja, dengan
pengamatan yang cermatakan dapat ditunjukkan sosok (postur) dasarnya yang lebih
dekat pda salah satu dari tiga tipe hukum itu. Dalam hubungan ini, maka fungsi model
adalah untuk memperlihatkan postur dan semangat karakteristik dari tata hukum yang
tengah dipelajari.
Dalam rangka menuju strategi pembangunan hukum responsif progresif, Garuda
Nusantara mengusulkan perbaikan situasi hukum saat ini dengan cara :39
1. penciptaan kondisi sosial memungkinkan pertumbuhan sejati kelompokkelompok kolektif masyarakat lapisan bawah memperjuangkan hak-hak dan
kepentingan mereka;
2. memperbesar akses masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah ke
lembaga-lembaga pengadilan. Bersamaan dengan cara itu, pemerintah dan
Mahkamah Agung berkewajiban pula menciptakan kondisi-kondisi yang
mendorong para hakim mampu berpikir secara bebas dalam menghadapi
kasus-kasus startegis yang diajukan kehadapannya. Dengan cara itu para
hakim akan memiliki keberanian untuk menghasilkan jurisprudensijurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap terhadap tuntutan kebutuhan
masyarakat luas, khususnya tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat lapisan
bawah.
3. Organisasi-organisasi sosial non pemerintah yang selama ini bergerak di
bidang penyadaran masyarakat dan atau bantuan hukum, seperti : LBH,
lembaga konsumen, KSBH, kelompok-kelompok penyadar kelestarian
lingkungan dan kelompok sejenis harus pula terus meningkatkan peranannya
untuk menyadarkan hak-hak masyarakat lapisan bawah; bersamaan dengan itu
merencanakan program-program litigasi baru yang diarahkan untuk
mernagsang timbulnya jurisprudensi-jurisprudensi baru yang responsifprogresif.
4. Perlu dibentuk “lembaga arbitrase” yang menjembatani kepentingankepentingan yang berbeda antara kelompok-kelompok masyarakat dan
lembaga birokrasi pemerintah; lembaga itu harus mempunyai kewenangan
menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Lembaga seperti ini diperlukan dengan rencana
penggunaan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan umum, masalah
pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya.
5. Pemerintah dan DPR harus mempercepat proses perundang-undangan
peradilan tata usaha negara (lembaga ini sudah dibentuk berdasarkan UU NO.
5 Tahun 1986).
37
Nonet, Selznick, Op cit, hal 14 – 15.
Ibid, hal 17
39
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988, hal 45 - 46
38
19
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
6. Pemerintah dan pihak swasta atau kelompok-kelompok sosial harus mulai
mengadakan suatu proyek penelitian untuk mempelajari, menganalisis dan
memberikan catatan-catatan atas putusan-putusan hakim menyangkut kasus
strategi yang menyangkut kepentingan mayoritas rakyat.
Muladi40 menyebutkan bahwa penegakan hukum pasca reformasi diwujudkan
melalui perlindungan hukum terhadap hak-hak sipil, selain upaya mengembalikan
fungsi hukum sesuai tatanan nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, tanggung
jawab, kebebasan, dan keadilan. Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia memerlukan
kondisi-kondisi awal yang menunjukkan bahwa proses penegakkan hukum tersebut
dilaksanakan. Kondisi awal itu antara lain meliputi keberadaan pemerintahan yang
terbuka, bertanggung jawab, dan responsif. Ini artinya pemerintahan tersebut harus
membuka peluang seluas-luasnya bagi keterbukaan informasi, persamaan hukum,
keadilan, kepastian hukum, dan peran serta masyarakat.
Dalam rangka membangun sistem peradilan di Indonesia maka hal mendasar yang
harus dilakukan saat ini adalah melakukan reformasi hukum secara total.
Reformasi hukum dilakukan dengan menitik beratkan pada reorganisasi dan
restrukturisasi hukum yang bersifat proaktif, profesional dan aspiratif terhadap baik
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat nasional maupun internasional.41
Reorganisasi hukum berorientasi kepada penataan kembali materi hukum dan
proses penegakan hukum. Penataan kembali materi hukum ditujukan terhadap seluruh
produk hukum kolonial dan peraturan perundang-undangan nasional yang dianggap
sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat nasional
terutama kebutuhan perkembangan ekonomi, politik dan perlindungan HAM baik
yang terjadi pada saat sekarang ini maupun yang diprediksikan berlaku pada masa
yang akan datang.
Hal yang dirasa mendesak untuk dilakukan pembenahan adalah dalam proses
penegakan hukum. Penataan kembali proses penegakan hukum ditujukan terhadap
mekanisme kerja seluruh aparaur penegak hukum, baik yang bersifat horizontal
maupun vertikal. Dua jenis penataan tersebut berkaitan satu sama lain dan tidak
terpisahkan, sehingga dalam menata kembali materi hukum tertentu sudah
dipertimbangkan dan diprediksi mengenai penegakan hukumnya. Paham yang
mengemukakan bahwa Law Making Proses hanya berkaitan dengan proses
pembuatan Undang-undang sudah harus ditinggalkan karena Law Making Proces juga
merupakan “Social and Political Proces” . Dalam konteks ini maka produk-produk
hukum dari suatu Law Making Proces tidak hanya cukup memenuhi persyaratan
filosofis, yuridis dan sosiologis, tetapi juga harus memiliki legitimasi sosial dan
sekaligus legitimasi politik untuk dapat berlaku secara efektif dan nyata.
Menurut Muladi di dalam reorganisasi hukum terdapat 4 (empat) unsur penting
yang merupakan kunci utama yaitu substansi hukum, struktur hukum, budaya huku,
dan kepemimpinan (leadership). Reformasi hukum akan berlangsung baik dan
berwibawa, jika diperkuat dan dilandasi oleh substansi hukum yang mmenuhi
persyaratan filosofis, yuridis dan sosiologis, adopsi lembaga-lembaga hukum yang
relevan dan mendukung, serta sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Dalam
reorganisasi hukum yang berlangsung baik dan berwibawa itu, masih harus didukung
40
Muladi, Penegakan Hukum Pasca Refoemasi Di Indonesia, Artikel, Jurnal Keadilan. Vol. 1 No. 3,
September 2001.
41
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum di Indonesia dan Tantangannya Pada Abad 21, Dalam
Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M, Op cit,
hal 358.
20
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
atau diperkuat oleh aparatur hukum yang memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan
dalam sistem manajemen merupakan kunci utama keberhasilan untuk melahirkan
produk-produk hukum yang aspiratif, berwibawa, dan tangguh.
Restrukturisasi hukum berorientasi kepada penataan kembali sarana dan prasarana
hukum termasuk didalamnya penataan kembali lembaga-lembaga yang berfungsi
menerapkan hukum.
Keseluruh langkah-langkah yang berupa reorganisasi dan restrukturisasi hukum harus
dilakukan dalam penegakan hukum yang menjamin keadilan, kepastian dan
memberikan manfaat terhadap seluruh masyarakat luas nasional dan internasiona.
Dalam bidang hukum ekonomi telah terkenal di luar negeri bahwa sistem peradilan di
Indonesia sangat buruk dan tidak menjamin kepastian hukum.
Dalam The Asian Wall Street Jaournal tertanggal 27 April 1998 diberitakan
bahwa di Indonesia akan didirikan suatu pengadilan khusus untuk mengadili perkaraperkara kepailitan. Hal yang menyakitkan disebutkan bahwa :
“But while foreign bankers applauded the move, there’s no certainty the court
will give them what they want : an effective legal mechanism to declare
debtors bankrupt and deal with selling their assets” (hlm. 1)
Sebab :
Indonesia’s lack of credible and efficient legal mechanism for settling disputes
between creditors and debtors is an old one “ (hlm.7)
Demikian pula :
“The Indonesian court system is stigmated by widespread public preception
that some judges are knwon to accept bribes and thet courts should be avoided
if possible “ (hlm. 7)
Tambahan pula :
C”Creditor says that reforming the bankruptcy law and procedures is critical;
to enchanging negotiation on restructuring some $ 68 billion in debt “.
Berkaitan dengan hal di atas maka Faillisements Verordening yang merupakan
peninggalan kolonial harus diganti dan diubah, sebab :
Many (foreign bankers) have worried that the old benkruptcy law, especially
when administered by Indonesia’s often critized court system, should’nt prove
an effective channel for creditors to seek redress” (hlm. 1).
Berita sebagaima diuraikan di atas menjelaskan secara lebih gamblang sistem hukum
yang buruk akan menjatuhkan kepercayaan masyarakt terhadap hukum itu sendiri,
pemerintah, pengadilan dan seluruh aparat penegak hukum dan hal ini pada akhirnya
akan mempengaruhi kehidupan perekonomian, perdagangan, perbankan dan lain-lain.
Untuk itu perlu segera dilakukan pembenahan, pembangunan dan transformasi
dalam rangka reformsi di bidang hukum yang berupa restrukturisasi dan reorganisasi
yang menyangkut asas-asas hukum, budaya hukum, peraturan dan materi hukum,
lembaga, aparatur hukum, sumber daya manusia, sarana dan prasarana hukum baik
yang fisik maupun yang non fisik dan informasi hukum.
Lembaga yang sangat berperan penting dalam membangun sistem peradilan di
Indonesia adalah Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung merupakan puncak peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan merupakan salah satu lembaga tinggi negara.
Mahkamah Agung (di Indonesia), The supreme Court ( di negara-negara yang
berbahasa Inggris), Hoge Raad (di Belanda) merupakan instrumen terpenting dalam
upaya mencari kebenaran dan keadilan, dan bukan sekedar sebagai tempat dimana
hukum berproses.
21
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman disebut “ Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan,
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”. Dalam Penjelasan pasal tersebut dinyatakan :”Hakim merupakan
perumus dan penggali nilai-nilai yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus
terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat”. Dalam rangka mengemban tugas di atas Mahkamah Agung
menjadi sarana vital untuk menyebarkan The sense of justice of the people.
Secara universal, paling tidak hukum mengemban misi untuk menjalankan fungsifungsi berikut :42
1. ‘Dispute Resolution’ – a function of courts and law firms.
2. ‘Reinforcement’ or ‘reisntitutionalization’ (Bohannan, 1986) of existing practices
within the community by framming rules that equate to those practices and by
providing the means for their ‘fcilitation ; (Summers, 1977, p 127) – a function of
courts and legisltures.
3. ‘Changing in existing practices’ (Schur, 1986, p. 75) – by legislatures and
sometimes, courts.
4. ‘Guidance’ or ‘ education’ (Chamblis and Seidman, 1971, p. 9 ) –again by the
legislature and courts.
5. ‘Regulation’, the administrative control of various private institutions – by the
bureaucracy.
6. ‘Participation by the state in social and economic affairs by the bureaucracy.
7. ‘Punishment’ retribution or vengeance against perceived wrongdoers
reinforcement of existing social values – by courts and penal insitutions.
8. ‘Maintaning social peace (or, more loosely, ‘ social order’ or ‘social control’)—
by police and penal instituions to the extent that they isolate some and deter some
other potentially violent individuals.
9. ‘Legitimation’ of existing social institutions – supposedly achieved by courts.
Hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan
akar relijiusnya, sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu
cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak
sesuai dengan nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang
muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut
sanksi), dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar
menganggap aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya.
Ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan institusinya yang kemudian
diekspresikan dalam bentuk pengadilan massa sebagaimana yang banyak terjadi
akhir-akhir ini, merupakan salah satu bentuk pembangkangan sipil (civil
disobedience) untuk menuntut perubahan hukum. Sudjono Dirdjosisworo
menyebutkan bahwa di berbagai negara, pembangkangan sipil terbukti mampu
menjadi instrumen bagi perubahan hukum atau paling tidak dapat meningkatkan
percepatan bagi perubahan hukum.43
42
Charles Sampford, 1989 : 110 – 111, dikutip dalam Ahmad Ali, Ulasan Terhadap Fungsi Mahkamah
Agung Dalam Praktek Sehari-hari, dalam Henry P. Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam
Praktek Sehari-hari, Penerbit, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal x.
43
Sudjono Dirdjosisworo, Filsafat Hukum dalam Konsepsi dan Analisa, Penerbit Alumni Bandung,
1985, hal 74.
22
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Pada akhirnya, independence of the judiciary. Semua akan berpulang pada pranata
kekuasaan kehakiman itu. Bila independence of the judiciary bisa dielaborasi dan
diimplementasikan dalam sistem dan praktek maka kemungkinan adanya peluang
muncul “ peradilan yang sesaat’ dapat dihindari secara terus menerus.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
1. Kondisi sistem peradilan yang terjadi saat ini di Indonesia sangat jauh dari nilainilai keadilan yang diharapkan. Kondisi sistem peradilan yang buruk disebabkan
oleh kelemahan dalam struktur, substansi dan kultur. Munculnya kritik-kritik
terhadap sistem peradilan di Indonesia tidak lain karena sistem peradilan yang ada
belum memberikan pengayoman kepada masyarakat melalui keputusan yang adil
dan berwibawa.
2. Sistem peradilan yang diharapkan yang akan berlaku di masa datang adalah suatu
sistem yang mampu menempatkan hukum kembali ke akar moralitasnya, akar
religiusnya dan akar kulturalnya. Sebab hanya dengan cara itu masyarakat
merasakan bahwa hukum itu sesuai dengan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
B. Saran
1. Perlu pembenahan terhadap seluruh sistem peradilan di Indonesia yang
mencakup struktur, substansi dan cultur hukumnya. Faktor yang sangat
penting dalam pembenahan itu adalah sumber daya manusia sebagai salah satu
faktor yang sangat esensial untuk melakukan perubahan secara total.
2. Agar peradilan yang fair, impartial dan obyektif dapat segera direalisasikan
maka perlu adanyas status dan peranan profesi advokad yang otonom dalam
sistem hukum. Menjadikan profesi menjadi bagian birokrasi secara
independen akan membuka lebar pada penyimpangan dalam peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Penerbit
Ghalia, Jakarta, 2001.
Black, Donald, The Behaviour of Law, New York, USA Academic Press, 1976.
Dirjosisworo, Sudjono, Filsafat Hukum Dalam Konsepsi Dan Analisa, Penerbit
Alumni Bandung, 1985.
Diagnostik Asessesment of Legal Development in Indonesia, 1999, World Bank
Project, Pengadilan Tinggi Siber Konsultan (Reformasi Hukum di Indonesia )
yang disusun oleh Kantor Konsultan Hukum A.B.N.R.
Darmodihardjo, Darji, dan Arief Sidharta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam
Sistem Hukum Indonesia, Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996.
Ediwarman, Kuliah Sistem Peradilan, Program S3 Pascasarjana USU. Medan,
Tanggal 1 Oktober 2002.
Friedman, M. Lawrence, American Law An Introduction, Second Edition (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa,
Jakarta, 2001.
23
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Friedman, Lawrence, American Law, An Introduction, W.W. Norton, New York,
1986.
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang
Berkualitas, Jurnal Keadilan, Vol 1, No. 3, September 2001.
Hart, H.L.A, The Concept of Law, Oxford At The Clarendon Press, 1988.
Jurnal Keadilan, Volume 2 No. 1 Tahun 2002.
Komar, Mieke., Etty R. Agoes., Eddy Damian, (Editor), Mochtar Kusumaatmaja :
Pendidik & Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M), Penerbit Alumni Bandung, 1999.
Manan, Bagir, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional.,
Makalah, Jakarta, 1993.
Muladi, Penegakkan Hukum Pasca Reformasi, Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3,
September 2001.
Nonet, Philip and Philip Selznik, Law and Society in Transition : Toward Responsive
Lw, Harper Colophon Books, Harper & Row, Publisher, New York, 1978.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988.
Peters, A.A.G., Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
Pangabean, Henry. P, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
Pangaribuan, Luhut. MP, (http: // Hukum On Line. Html).
RE. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan
Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta 2001.
Rahardjo. Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung,
1983.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditra Bakti, Bandung, 1991.
Rahardjo, Satjipto, Kompas 30 Mei 1997.
Seidman, B. Robert, Law and Development, University Wisconsin Madison.
24
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Download