Uploaded by User110874

RMK PPN dan PPnBM-LAILY AZMI ADILA-142190172

advertisement
PPN dan PPnBM
A. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN )
Pajak pertambahan nilai (value added tax) pertama kali diperkenalkan oleh Carl
Friedrich Von Siemens, seorang Industrialis dan konsultan pemerintah Jerman pada tahun
1919. Pemerintah Indonesia mulai mengadopsi system Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada
tanggal 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di
Indonesia sejak tahun 1951.
Pajak pertambahan nilai yaitu pajak dikenakan oleh karena adanya perbuatan yaitu
penyerahan barang dan jasa di daerah pabean di Indonesia.
Karateristik PPN
1. Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
2. Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
3. Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
4. Menghindari pengenaan pajak berganda.
5. Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu
dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Objek Pajak
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Kegiatan membangun sendiri tidak dalam lingkungan kegiatan/usaha
8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya;
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. Jasa di bidang pelayanan sosial;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. Jasa di bidang keagamaan;
f. Jasa di bidang pendidikan;
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. Jasa di bidang tenaga kerja;
k. Jasa di bidang perhotelan;
l. Jasa
yang
disediakan
oleh
pemerintah
dalam
rangka
menjalankan
pemerintahan secara umum.
Subjek Pajak
Dalam hah Pajak Pertambahan Nilai , Subjek pajak disebut Pengusaha Kena Pajak
(PKP) dikaitkan dengan Objek Pajaknya.
Objek Pajak
Subjek Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
Pengusaha kena pajak
Impor barang kena pajak
Direktorat Jenderal Bea
Cukai
Ekspor barang kena pajak
Pengusaha kena pajak
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Orang pribadi / Badan
daerah pabean
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean
Orang pribadi / Badan
Penyerahan barang kena pajak / jasa kena pajak oleh pemungut Pemungut PPN
PPN
Kegiatan mambangun sendiri
Orang pribadi / Badan
Penyerahan aktiva
Pengusaha kena pajak
Tarif Pajak Pertambahan Nilai
a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima
belas persen).
Dasar Pengenaan Pajak ( DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang,
teridir dari :
1. Harga Jual ( Untuk penyerahan Barang Kena Pajak )
2. Nilai Penggantian ( Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak )
3. Nilai Impor ( Untuk penyerahan Barang Kena Pajak )
4. Nilai Ekspor ( Untuk penyerahan Barang Kena Pajak )
5. Nilai Lain
o Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor
o Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor
o Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga
jual rata-rata
o Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film
o Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran
o Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar
o Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan
o Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
o Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
o Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Faktur Pajak
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena
pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena
pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan
oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini
merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau
penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan.
Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak
tersebut tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana
faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirriciri faktur pajak standar:
1.
Diisi dengan data yang tidak benar
Pengisian data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak
yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama
pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2.
Diisi tidak lengkap
Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang
ternyata tidak diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh
pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian
tidak lengkap dapat berupa:
·
Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
·
“jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
·
Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak dicoret pada
bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah
sebelah kiri.
·
Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
·
Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-
549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan
pada faktur pajak.
3.
Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4.
Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan
5.
Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan
sebagai
pengusaha kena pajak (PKP)
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN
1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat
faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak
sah. Oleh karena itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat
dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum
dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan
Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A
sebagai berikut yang intinya adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak,
bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan
paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Hubungan Istimewa dan Kaitannya dengan DPP
Dalam hal harga jual atas Barang Kena Pajak atau penggantian atas Jasa Kena
Pajak dipengaruhi adanya hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian
tersebut dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut.
Hubungan Istimewa terjadi dalam hal :
-
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau
lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan
sebesar 25% atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih. Demikian pula hubungan
antara dua Pengusaha atau lebih yang disebutkan terakhir.
-
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua Pengusaha atau lebih berada
dibawah penguasaan Pengusaha yang sama, yaitu penguasaan melalui manajemen
atau penggunaan teknologi.
-
Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan/atau kesamping satu derajat :
- Sedarah lurus satu derajat, yaitu: ayah/ibu dengan anak
- Sedarah kesamping satu derajat, yaitu: kakak dengan adik
- Semenda lurus satu derajat, yaitu: mertua dengan menantu atau ayah/ibu dengan anak tiri
Semenda kesamping satu derajat, yaitu: hubungan saudara ipar
- Jika antara suami istri ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka
hubungan keduanya merupakan hubungan istimewa.
Cara Menghitung Pajak
1. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama.
3. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan
tetap dapat dikreditkan.
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak.
5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti
dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah
Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat
diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan
Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
9. Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat
(2) bagi pengeluaran untuk:

Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon,
van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;

Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya
berupa Faktur Pajak Sederhana;

Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);

Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
10. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp. 25.000.000
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000= Rp2.500.000
PPN sebesar Rp2.500.000tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp. 20.000.000 = Rp 2.000.000
PPN sebesar Rp2.000.000tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
B. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ( PPnBM )
PPnBM dikenakan terhadap :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh
Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di
dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
Objek Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ( PPnBM )
a. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10%
(sepuluh persen), adalah :

Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan
pesawat penerima siaran televisi.

Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga.

Kelompok mesin pengatur suhu udara.

Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio.

Kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.
b. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen), adalah:

Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang
disebut pada huruf a.

Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium,
town house, dan sejenisnya.

Kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena,
selain yang disebut pada huruf a.

Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering,
pesawat elektromagnetik dan instrumen music.

Kelompok wangi-wangian.
c. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga
puluh persen), adalah:

Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan umum.

Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf
a.
d. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah selain kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat
puluh persen), adalah :

Kelompok minuman yang mengandung alcohol.

Kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan.

Kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool.

Kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk
meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu.

Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam
mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;

Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang
disebut pada huruf c, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.

Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat
udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan
Negara.

Kelompok jenis alas kaki.

Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor.

Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau
keramik.

Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu
selain batu jalan atau batu tepi jalan.
e. Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen), adalah:

Kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus.

Kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada huruf d, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan udara niaga.

Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf
a dan huruf c.

Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.
f. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen), adalah :

Kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut pada huruf
d.

Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu
mulia dan/atau mutiara atau campuran daripadanya.

Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan
umum.
g. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
10% (sepuluh persen), adalah :

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15
(lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar
cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
h. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
20% (dua puluh persen), adalah :

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar
cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc
sampai dengan 2500 cc.

Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk
kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga)
orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau
dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi
silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
i. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari
10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:

Kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1500 cc.

Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus
api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
j. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
40% (empat puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang
dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa :

Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc.

Kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
3000 cc.

Kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel),
berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari
1500 cc sampai dengan 2500 cc.
k. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk
golf.
l. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
60% (enam puluh persen), adalah:

Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc.

Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di
gunung, dan kendaraan semacam itu.
m. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan
bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar
75% (tujuh puluh lima persen), adalah :

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc.

Kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa
sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc.

Kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500
cc.

Trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
n. Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah adalah:

Kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan
jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan
angkutan umum.

Kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan.

Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder, yang digunakan untuk
kendaraan dinas tni atau polri.

Kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli tni atau polri.
Contoh Perhitungan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
1. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
o Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000
o PPN = 10% x Rp 5.000.000 = Rp500.000
o PPn BM = 20% x Rp5.000.000= Rp1.000.000
2. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
Contoh perhitungan pajak pertambahan nilai
Misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor
tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000dapat
ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan
sebagai biaya. Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka
penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
o Dasar Pengenaan Pajak = Rp 50.000.000
o PPN = 10% x Rp50.000.000 = Rp5.000.000
o PPn BM = 35% x Rp50.000.000 = Rp17.500.000
PPN sebesar Rp500.000yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP
“D” dan PPN sebesar Rp5.000.000merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan
PPnBM sebesar Rp1.000.000tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar
Rp17.500.000tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
PT Mecanica bergerak dibidang distributor alat listrik, transaksi dalam bulan Jan 2007 sbb:
1. Tgl 3/1 membeli barang dagangan Rp. 15.000.000
2. Tanggal 5/1 menjual barang dagangan Rp. 10.000.000
3. Tanggal 7/1 menjual barang dagangan Rp. 20.000.000
Harga tersebut tidak termasuk PPN,
Berapa Pajak Keluaran dan Masukannya?
** Pajak Keluaran (10% dari penjualan) yaitu
+ 10% X 10.000.000 (nomor 2) =
1.000.000
+ 10% X 20.000.000 (nomor 3) =
2.000.000
Jumlah Pajak Keluaran
3.000.000
=
Download