BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang penting , memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan masih merupakan masalah kesehatan di masyarakat, terutama di negara berkembang. Masih tingginya prevalensi TB seiring dengan meningkatnya prevalensi HIV, kurang efektifnya program pengendalian TB, kuman TB yang resisten, dan pemukiman yang padat. Indonesia, Philipina dan Thailand adalah 3 daerah endemik tuberkulosa menurut WHO.1,2 Keterlibatan Sistem Saraf Pusat (SSP) yang disebabkan tuberkulosis merupakan salah satu komplikasi serius. Keterlibatan SSP merupakan 1,3% dari total kasus TB dan 6,3% dari kasus TB ekstrapulmonal. Keterlibatan SSP dapat berupa meningitis (paling banyak), arachnoiditis, tuberkuloma dan abses serebri. Satu persen (1%) dari pasien tuberkulosis berkembang menjadi tuberkuloma intrakranial , biasanya bagian dari TB milier dan 10 % berkaitan dengan meningitis tuberkulosis. Gambaran meningitis TB dapat berupa exudat di sistena basalis dan fisurra sylvii, hidrosefalus, infark di ganglia basalis, maupun gambaran tuberkuloma.2-7 Gejala klinis tuberkuloma tergantung letak atau lokasi lesi di intrakranial. Tuberkuloma bisa soliter maupun multipel, dengan ukuran dan jumlah yang bervariasi. Tuberkuloma sering terlihat di hemisfer serebri, jarang di ganglia basalis, serebellum dan batang otak. Pada anak sering terdapat di infratentorial.8 1 2 Upaya penegakan diagnosis TB SSP tidak mudah karena pada awal penyakit gejala klinis yang timbul tidak khas. Demikan pula dengan meningitis TB yang mempunyai bentuk kelainan yang beragam seperti exudat di sistena basalis dan fisurra sylvii, hidrosefalus, infark di ganglia basalis maupun gambaran tuberkuloma.2-7 Penegakan diagnosisnya sulit apabila terdapat tuberkuloma karena banyak lesi parenkimal intrakranial yang menyerupai gambaran tuberkuloma. Semakin cepat ditegakkan diagnosis, semakin cepat dimulai terapi terhadap tuberkuloma intrakranial, yang akan memperbaiki prognosis penderita.1-7 Diperlukan pemeriksaan kultur jaringan maupun analisis cairan serebrospinal pada kecurigaan besar adanya keterlibatan SSP pada TB. Namun pemeriksaan ini memakan waktu lama, sementara kegagalan maupun keterlambatan pada penatalaksanaan TB SSP mengakibatkan penyebaran penyakit yang tidak terkontrol dan juga kematian. Neuroradiologist dapat memainkan peranan penting pada penatalaksanaan pasien dengan memberikan diagnosis yang tepat berdasarkan karakteristik temuan radiologis.1-9 Alasan pemilihan kasus ini adalah karena kesulitan membedakan tuberkuloma dengan lesi parenkimal intrakranial yang lain. Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran sekaligus membedakan meningitis TB dengan gambaran tuberkuloma intrakranial dan infrak cerebri berdasarkan kesamaan gambaran temuan CT Scan kepala dari penelitianpenelitian terdahulu yang telah dipublikasikan dan perbedaan dengan gambaran lesi parenkim intrakranial yang menyerupai (diagnosis deferensial). 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman mikobakterium tuberkulosa yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.11 Meningoensefalitis tuberkulosa merupakan TB susunan syaraf pusat (TB SSP), dapat bermanifestasi bervariasi dalam bentuk meningitis TB, tuberkuloma, cerebritis, abses TB. Tuberkuloma adalah lesi pada jaringan otak berupa masa padat granulomatosa, membulat, diameter lebih kurang 2-8cm, di dalamnya bisa terdapat jaringan nekrotik akibat infeksi kuman TB yang menyebar dari organ lain secara hematogen, terutama berasal dari paru.10,13-16 B. Patogenesis Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer, akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) atau sembuh dengan 4 meninggalkan sedikit bekas (kompleks Ghon, garis fibrotik, kompleks perkapuran di hilus) atau menyebar dengan cara perkontinuitatum, bronkhogen atau secara hematogen dan limfogen.7,16,17 Daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman sangat berkaitan dengan penyebaran tuberkulosis secara hematogen dan juga limfogen . Kompleks yang ditimbulkan dapat sembuh imunitas yang secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat memadai, penyebaran hematogen dan limfogen akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran hematogen dan limfogen juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada organ tubuh lainnya seperti tulang, ginjal, adrenal, genitalia dan organ lainnya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan sekuel (misalnya keterbelakangan atau gangguan pertumbuhan pada anak setelah terjadi encephalomeningitis dan atau tuberkuloma) atau meninggal. Semua kejadian di atas adalah perjalanan tuberkulosis primer (gambar 1).6,16,17,18 Untuk TB SSP, penyakit dimulai dengan terbentuknya fokus TB yang kecil (Rich foci) di otak, tulang belakang, atau meningen. Lokasi fokus ini dan kemampuan tubuh untuk mengendalikannya menentukan bentuk TB SSP yang terjadi. TB SSP bermanifestasi terutama sebagai meningitis, dapat juga sebagai tuberkuloma intrakranial, cerebritis, atau abses TB.7,17 Rich foci berkembang dari bakteri yang berada di meningen dan parenkim otak selama awal fase bacteremia. Kemudian fokus itu pecah dan menyebar ke ruang subaraknoid, menyebabkan inflamasi difus meningen. Penyebaran 5 mikobakterium tuberkulosis dalam ruang subarachnoid dari rich foci memicu inflamasi dan respon sel T. Manifestasi klinis dari TB SSP adalah akibat inflamasi yang terjadi untuk merespon mikobakterium tuberkulosis di SSP. Mikobakterium tuberkulosis menginvasi atau melintasi sawar darah otak dan terdeposit di SSP. Apabila terdapat banyak kuman yang terdeposit seperti pada TB primer pada bayi atau anak akan menyebabkan terjadinya meningitis TB atau terbentuknya tuberkuloma. Sementara pada anak yang lebih tua atau dewasa, adanya mikobakterium tuberkulosis tidak memperoleh respon imun dan menyebabkan TB laten dan baru akan bermanisfestasi bila ada respon imun atau ada reaktifasi, ini akan membentuk tuberkuloma SSP. Bila tuberkuloma ini ruptur ke CSF maka akan terjadi inflamasi dan meningitis TB (gambar 2).7,17,19 C. Epidemiologi TB masih merupakan masalah kesehatan baik di negara berkembang maupun negara maju. Pada 80% kasus TB baru berhubungan dengan kemiskinan, kepadatan penduduk, malnutrisi, penurunan imunitas.1-17 TB SSP merupakan manisfestasi klinik dari TB yang cukup berbahaya. Keterlibatan SSP merupakan 5-10% dari TB extrapulmonal (1,3% dari semua kasus TB). TB SPP yang terbanyak adalah meningitis dan tuberkuloma, walaupun bisa juga bermanifestasi sebagai abses TB, encephalitis TB, dan millier. 6 D. Temuan Klinis Gejala umum berupa penurunan berat badan, anoreksia, demam sub febril lama/berulang tanpa sebab yang jelas, keringat malam, batuk lebih dari 3 minggu, diare persisten. Gejala spesifik adanya skrofuloderma; bila menyerang tulang dan sendi terjadi parese/plegi, pincang; pada TB SSP terdapat gejala iritabel, kaku kuduk, mual, muntah, kesadaran menurun, sakit kepala kejang, papil edema; gejala mata terjadi konjungtivitis phlyctenularis, tuberkel koroid (pandangan kabur). Gejala ini dapat bervariasi dari satu bulan sampar 9 bulan. Riwayat kontak dengan penderita TB sangat membantu untuk penegakan diagnosis.2,10 E. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis yang baik untuk diagnosis TB intrakranial adalah CT scan dan MRI dengan kontras. Untuk mendiagnosis infark cerebri, MRI lebih akurat dibandingkan CT Scan. Tetapi dengan terbatasnya fasilitas yang memiliki MRI dan harga yang relatif lebih mahal, CT scan masih merupakan pilihan untuk diagnosis TB intrakranial. 1. CT Scan Kepala Intrakranial TB bisa bermanifestasi sebagai meningitis TB, ensephalopathie TB, vaskulopathie (vaskulitis, infark cerebri), Space occupying lesion (tuberkuloma, milier, abses). Pada meningitis TB dapat ditemukan eksudat kental di fissura sylvii, sisterna basalis , batang otak, dan cerebelum. Gambaran CT Scan dengan kontras 7 tampak sebagai peyangatan yang kuat pada meningen terutama di sekitar sisterna basalis (pada potongan axial membentuk spider leg appearance) seperti terlihat pada gambar 3. Hidrocephalus terjadi akibat obstruksi pada sisterna basalis, aliran keluar ventrikel IV, dan oklusi dari aquaductus sylvii. Komplikasi lain dari intracranial Tb yang dapat ditemukan pada gambaran ct scan adalah infark cerebri pada ganglia basalis akibat adanya vaskulitis, gambaran tuberkuloma pada basal (basal granuloma meningitis) seperti gambar 4.5,20,21 Tuberkuloma intrakranial sering terjadi pada lobus frontalis dan parietalis, biasanya pada area parasagital, dapat soliter walaupun lebih sering multipel. Tuberkuloma memberi gambaran massa bulat atau lobulated , homogen, ukuran 2-8 cm, mempunyai dinding yang irreguler, tebal bervariasi, dengan densitas rendah sampai tinggi pada CT scan, pada pemberian kontras tampak penyangatan homogen jika lesi solid, namun jika terjadi kaseasi atau likuefaksi, akan terlihat ring enhancement. Terdapat edema perilesi. Jarang terjadi kalsifikasi, walaupun pada 20% kasus dapat dijumpai kalsifikasi. Kalsifikasi sentral atau nidus dikelilingi ring enhancement yang disebut juga target sign merupakan patognomonis pada CT scan (gambar 5,6) .2,5,6,12-15 2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Tuberkuloma akan memberikan gambaran nodul dengan area sentral solid atau liquid (nekrosis kaseosa) dengan intensitas tinggi pada T2WI/FLAIR. Intensitas tinggi juga terlihat pada dinding tuberkuloma pada T1WI dan intensitas rendah pada T2WI/ FLAIR.2,9,16,17 8 Tuberkuloma non kaseasa memberi gambaran intensitas rendah dibanding dengan grey matter pada T1 dan intensitas tinggi pada T2WI dengan homogen enhancement, sedangkan lesi kaseosa dengan sentral yang solid menunjukkan isointens sampai hipointens pada T1 maupun T2WI dan ring enhancement disertai edema perifokal. Pada sentral yang liquid tampak hipointens (T1) dan hiperintensi (T2) pada bagian central, dengan dikelilingi daerah hipointens (T2). Sesudah pengobatan, tuberkuloma dapat hilang sempurna. Kadang tampak kalsifikasi pada seperempat kasus (gambar 6). 2,9,16,17 Pada Millier TB SSP, biasanya berhubungan dengan meningitis TB, pada MRI tampak lesi multipel kecil (< 2 mm), hiperintens pada T2 dan enhancement homogen pada T1 dengan kontras gadolinium (gambar 7). 2,9,16,17 F. Pemeriksaan Penunjang Lainnya Pemeriksaan baku standar untuk tuberkuloma SSP adalah pemeriksaan patologi anatomi pada tuberkuloma yang diambil pada operasi. Tuberkuloma SSP memberi gambaran khas adanya reaksi granulomatosa dengan sel-sel epitelioid dan giant cells di sekitar area nekrosis sentral. 8 Pemeriksaan penunjang lain adalah uji tuberkulin (dipakai PPD 5 TU, dikatakan positif jika indurasi ≥ 10 mm); rontgen toraks tampak infiltrat dengan pembesaran hilus atau kelenjar paratrakeal, dapat juga berupa milier, kalsifikasi, kavitas, bronkiektasis, destroyed lung; pemeriksaan BTA dan kultur dari sputum maupun cairan lambung.10 9 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan analisis cairan serebrospinal (CSS), tampak limfosit predominat, peningkatan protein, kadar glukosa rendah. Selain itu juga di periksa BTA , kultur, pengukuran Adenosine Deaminase (ADA), antibodi dan antigen TB dari CSS.6 Namun begitu, pemeriksaan kultur dan analisis CSS membutuhkan waktu yang lama, sekitar 6 – 8 minggu, sementara terapi yang lebih cepat diharapkan dapat menyelamatkan pasien. Neuroimejing diharapkan dapat memberikan gambaran diagnostik pada kondisi ini.2,6,9 G. Tatalaksana Terapi antituberkulosis tetaplah merupakan pengobatan yang utama pada tuberkulosis. Obat yang dapat digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan streptomisin dan atau etambutol. Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial.2,6 Tatalaksana pembedahan pada tuberkuloma yang besar, evakuasi pembedahan ini tergantung pada ukuran tuberkuloma , bila tuberkuloma menyebabkan mass efect menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan tergantung kondisi neurologis pasien. Terapi pembedahan juga dilakukan pada tuberkuloma yang kurang respon terhadap obat antituberkulosis.2,6 H. Prognosis Tingkat morbiditas dan mortalitas akibat tuberkuloma terutama yang bersamaan dengan meningitis TB masih tinggi. Namun, jika diagnosis dapat lebih 10 cepat ditegakkan sehingga tatalaksana dapat secepatnya dilakukan, prognosis akan menjadi baik. Pada 20 – 25% penderita yang bertahan hidup, akan mengalami sekuel neurologis meliputi retardasi mental, kelainan psikiatri, kejang, buta, tuli, ophthalmoplegia, hemiparesis dan endokrinopati.2,6,8 11 BAB III LAPORAN KASUS Dilaporkan anak perempuan usia 4 tahun 4 bulan dengan keluhan utama anggota gerak bagian kanan kaku sejak 2 bulan yang lalu. Pasien dirujuk dari RSU Purworejo dengan hidrocephalus. Terdiagnosis TB Paru dan dalam pengobatan OAT bulan ketiga. Anak datang ke poliklinik RSUP dr Sardjito dengan keluhan tangan dan kaki kanan sulit digerakkan, kaku, anak sering rewel. Tidak ada kejang, tidak muntah, tidak ada demam. Anak masih mendapat pengobatan untuk TB Paru. Tiga bulan sebelum masuk rumah sakit, anak demam ± 2 minggu, tidak batuk ataupun pilek, tidak muntah, tidak diare, diperiksakan ke RS PKU Purworejo. Di RS PKU Purworejo di periksa rontgen, anak mondok selama 8 hari dengan diagnosis demam tifoid dan TB Paru. Anak mendapat sirup antibiotik untuk tifoid dan obat TB. Saat pulang kondisi anak sudah tidak demam. Dua bulan sebelum masuk RS Anak kembali kontrol ke RS PKU, obat TB dilanjutkan. Selama di rumah, anak sudah tidak demam, kadang muntah, anak terlihat semakin kurus, berat badan anak turun. Muncul keluhan anggota gerak bagian kanan sulit digerakkan, awalnya lemes, kemudian lama-lama menjadi kaku. Anak juga sulit berjalan. 8 hari sebelum RS, tangan dan kaki kanan semakin sulit digerakkan, kaku. Tidak ada kejang, penurunan kesadaran, ataupun muntah. Anak dibawa berobat ke RSU Saras Husada Purworejo, mondok selama 1 minggu, dilakukan CT Scan kepala, dikatakan menderita penyumbatan pembuluh darah di otak. Saat 12 pulang masih terdapat kekakuan pada anggota gerak kanan, anak disarankan untuk diperiksakan ke RS Sardjito. Riwayat kehamilan, persalinan dan post natal baik. Imunisasi tidak sesuai jadwal menurut PPI. Tumbuh kembang sesuai dengan usia, sejak sakit terdapat kemunduran perkembangan motorik kasar dan halus. Kondisi sosioekonomi kurang, terdapat paparan infeksi TB. Pemeriksaan fisik dengan kesan umum : anak tampak sangat kurus, composmentis. Heart Rate 124 x/menit, isi dan tegangan cukup, RR 24 x/menit, suhu 370C, tekanan darah 85/55 mmHg. Berat badan sangat kurang. Kepala normocephal, fontanella tertutup, conjunctiva tak anemis, pupil bulat isokor diamer 3 mm, refleks cahaya (+). Limfonodi colli dextra et sinistra teraba multiple, diameter 1 cm, sebagian konfluen. Otot hipotrofi, tak tampak deformitas tulang, terdapat deformita sendis, kaku pada sendi siku, pergelangan tangan, lutut, pergelangan kaki kanan. Pulmo dan jantung dalam batas normal. Abdomen dalam batas normal. Ekstremitas hemiparesis dextra spastik. Hasil laboratorium Hb 13,5 g/dl, hematokrit 38,5%, leukosit 6260 /l, eritrosit 5,09 106/µl, trombosit 320.000 /l, neutrofil 41,2%, limfosit 49,7%, monosit 7,2%, eusinofil 1,6%, basofil 0,3%. Foto thoraks tanggal 24 agustus 2013 di Purworejo dikesankan sebagai PKTB dengan besar cor dalam batas normal (gambar 8). 13 CT scan kepala tanpa kontras di Purworejo tanggal 31 Oktober 2013 dengan temuan: posisi asimetris, densitas cerebri dan cerebelli normodens, ventrikel lateral bilateral, ventrikel III melebar simetris, tak tampak pelebaran pada ventrikel IV, tak tampak deviasi struktur mediana. Kesan : obstruktif hidrocephalus ventrikel lateral dan ventrikel III kemungkinan adanya obstruksi pada aquaductus sylvii (gambar 9). Diagnosis kerja pada waktu masuk RSUP dr Sardjito: hidrocephalus obstruktif et hemiparesis dekstra spastik e.c massa intracranial, TB paru dalam pengobatan OAT bulan ketiga dan gizi buruk tipe marasmik. Konsul bedah syaraf dengan jawaban konsul hydrocephalus obstruktif curiga craniopharyngioma dan usul CT scan dengan kontras. Kemudian dilakukan CT Scan kepala dengan kontras pada tanggal 11 November 2013 dengan kesan multiple abses di interpeduncularis, dan hydrocephalus obstruktivus (gambar 10). Kemudian tanggal 13 november 2013 dikonsulkan kembali ke bagian radiologi anak, ditemukan batas cortex-medulla di regio periventrikuler tampak samar, sedangkan regio lain masih tegas. Tampak multiple lesi heterogen (isohipodense), batas tegas, bentuk bulat kecil, tepi ireguler, ukuran bervariasi, densitas bagian sentral (16-18 HU) sedangkan bagian rim 27-32 HU di intra sella yang meluas sampai suprasellar, post kontras tampak rim enhancement (60-77 HU) sedangkan bagian sentral tidak mengalami enhancement yang menyebabkan pendesakan pons ke posterior sehingga aquaductus silvii tampak sempit dan pons tampak hipodens. Tampak lesi heterogen (iso-hipodense), batas tegas, bentuk bulat kecil, tepi ireguler, soliter, di lobus parietalis sinistra pada post kontras 14 tampak rim enhancement. Tampak ventrikel lateralis bilateral lebar dengan ukuran terlebar 2,5 cm (pada cornu anterior), ventrikel III tampak lebar dengan ukuran terlebar 1 cm, dengan gambaran periventrikuler oedema (+), post kontras tampak enhancement pada tepi ventrikel lateralis bilateral sedangkan ventrikel IV tak tampak lebar maupun sempit. Tampak lesi hipodens batas tegas bentuk bulat, soliter, di thalamus sinistra post kontras tak tampak enhancement. Tampak fissure sylvii bilateral, cysterna interpeduncularis dan cysterna ambiens sempit, pada post kontras tampak enhancement. Kesan gambaran multiple tuberculoma di lobus parietalis sinistra dan intra sella yang meluas hingga suprasellar disertai gambaran meningitis sehingga menyebabkan hydrocephalus obstructivus setinggi aquaductus silvii dengan periventricular oedema dan oedema pons. Ischaemic thalamus sinistra. Diagnosis akhir dari bagian anak hydrocephalus obstruktivus et hemiparesis dextra spastic et causa meningoencephalitis, TB paru, gizi buruk tipe marasmik fase rehabilitasi. terapi obat anti tuberculosis, terapi nutrisi, antibiotic, kortikosteroid. 15 BAB IV PEMBAHASAN Dalam laporan kasus ini, pasien adalah anak perempuan usia 4 tahun dengan hemiparesis dextra tipe spastik sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien menderita tuberkulosis paru dan sudah mendapat terapi anti tuberkulosis selama 3 bulan. Hasil CT scan kepala tanpa kontras di RS purworejo 8 hari sebelum masuk RS didapatkan adanya hidrocephalus dan setelah dikonsul ke bagian bedah syaraf dicurigai adanya craniopharingyoma yang menyebabkan terjadinya hidrocephalus dan disarankan untuk dilakukan CT scan kepala ulang dengan kontras. Setelah dilakukan CT scan kepala ulang dengan kontras didapatkan kesan multiple abses di interpeduncularis, dan hidrocephalus obstruktivus. Muncul pertanyaan dari klinisi, apakah lesi pada MSCT mengarah pada gambaran abses ec bacterial non spesifik, abses TB atau craniopharingioma? Sehingga CT scan kepala ulang dengan kontras dikonsul ulang ke bagian radiologi anak. Hasil tinjauan ulang CT scan kepala ulang dengan kontras didapatkan kesan meningoencephalitis yang menyebabkan hidrocephalus dengan adanya infark cerebri di thalamus sinistra. Dari berbagai referensi, 10% dari pasien yang menderita TB paru terkena TB SSP. TB SSP dapat bermanifestasi bervariasi dalam bentuk TB meningitis, tuberkuloma, abses TB, cerebritis. Tuberkuloma adalah lesi pada jaringan otak berupa masa padat granulomatosa, membulat, diameter lebih kurang 2-8cm, di dalamnya bisa terdapat jaringan nekrotik akibat infeksi kuman TB (m. 16 tuberkulosis) yang menyebar dari organ lain secara hematogen, terutama berasal dari paru.10,13-16 Tuberkuloma intrakranial sulit dibedakan dengan lesi lain yang berada di intrakranial, seperti : 1. Craniopharyngioma Craniopharingioma merupakan neoplasma intrakranial, 6-10% dari seluruh neoplasma intrakranial, 3-5% tumor otak primer, 50% tumor suprasellar pada anak. Predileksinya adalah intrasellar, suprasellar, campuran. Usia yang sering terkena adalah 0-14 tahun dan meningkat kembali frekuensinya pada usia 50-74 tahun. Gambaran CT scan dari craniopharingioma berupa lesi isodens atau slightly hiperdens , inhomogen dimana terdapat komponen solid, kistik, kalsifikasi. Komponen solid biasanya terdapat di intrasellar dan bagian kistik biasanya terdapat di suprasellar. 90% craniopharingioma terdapat kalsifikasi. Terdapat mass efect sehingga dapat terjadi hidrosefalus obstruktivus. Pada post kontras tampak patchy enhancement dan heterogen pada bagian solid, dan tampak periferal rim enhancement pada bagian kistik (gambar 11).22,23 2. Abses tuberkulosis Abses tuberkulosis atau tuberculosis abscess (TBA) merupakan kasus yang jarang. TBA merupakan hal yang berbeda dari tuberkuloma. TBA berkembang dari granuloma tuberkulosis di parenkim atau berkembang melalui fokal tuberkulosis dari selaput otak. TBA merupakan 17 kumpulan basil hidup didalam kapsul tanpa adanya tanda klasik granuloma tuberkulosis24. Reaksi jaringan sampai terinfeksinya bakteri tahan asam / BTA (+) tergantung pada kekebalan tubuh, ukuran bakteri, jaringan spesifik yang terinfeksi dan apakah telah dilakukan terapi. Inokulasi bakteri dalam jumlah yang sedikit pada individu dengan kekebalan tubuh yang turun menyebabkan formasi tuberkuloma, sedangkan inokulasi bakteri dalam jumlah besar menyebabkan respon berlebihan berupa eksudat dan perkejuan. Materi perkejuan yang lunak disertai masuknya leukosit polimorfonuklear membentuk pus. Selain itu, abses tuberkulosis otak berkembang karena tidak adanya respon kekebalan tubuh pasien yang memadai. Terutama pada usia lanjut dengan kekebalan tubuh yang kurang.24 Pada CT scan, abses tuberkulosis otak menunjukkan suatu lesi hipodense dengan tepi bentuk cincin yang menyangat pada post pemberian kontras. Pada penelitian, umumnya ditemukan di pertemuan gray matter dan white matter di supratentorial (gambar 12).24 Histopatologi abses tuberkulosis otak tergantung kriteria berikut: adanya pus di dalam rongga abses, perubahan mikroskopik pada dinding abses dan adanya M. tuberculosis yang terisolasi. Abses biasanya tunggal dan lebih besar dan lebih progresif dari tuberkuloma24. TBA berkembang dari parenkim granuloma tuberkel atau melalui perluasan fokus tuberkel dari selaput otak dan mempunyai karakter adanya kapsul berupa kumpulan pus yang berisi basil hidup tanpa adanya granuloma tuberkel klasik dan 18 dapat dibedakan dari granuloma dengan perkejuan di pusat dan liquefaksi mirip pus. Secara makroskopis dan radiologis TBA mempunyai dinding yang lebih tebal dibanding abses otak pyogenik. Temuan histopatologis yang mendukung adalah reaksi inflamasi di dinding abses yang dominan adanya jaringan granulasi vaskuler yang terdiri atas sel inflamasi akut dan kronik dan basil didalam pus atau didinding abses.24 3. Abses otak pyogen Abses otak pyogen umumnya merupakan hasil dari penyebaran infeksi dari organ sekitar misalnya dari orofaring, telinga tengah, dan sinus paranasal. Sedangkan bagaimana mikroorganisme ini masuk ke otak tidak sepenuhnya dipahami. Vena emissari dari tempat sumber mikroorganisme memungkinkan mikroorganisme mengalir ke dalam sistem vena ke otak. Trauma kranial merupakan salah satu sumber abses otak yang asalnya dari sumber yang berdekatan. Prevalensi abses otak setelah trauma atau prosedur penetrasi bedah saraf berkisar dari 2% sampai 14%.24,25 Streptokokus (Streptococcus Mulleri dan Streptokokus Viridian) merupakan penyebab paling umum dari abses otak pyogenik dengan penyebaran dari nasofaring dan orofaring. Bakteri anaerob (Bacteroides spp, Prevotella spp, Peptostreptococcus, Fusobacterium spp, Actinomyces spp) merupakan penyebab utama lain dari abses otak, namun sering juga penyebabnya merupakan infeksi polimikroba.24,25 Karakteristik abses pyogen otak pada CT scan bervariasi tergantung tahap penyakit. Selama tahap cerebritis, terdapat adanya edema 19 serebral yang menonjol namun tidak ada kelainan lain yang dapat dilihat. Proses selanjutnya terjadi pembentukan kapsul, abses muncul sebagai lesi hipodens dengan pusat terdiri dari debris nekrotik dikelilingi oleh peningkatan tepi bentuk cincin, yang mungkin selanjutnya dikelilingi oleh lesi hipodens edema serebral (Gambar 13). Meskipun sangat sensitif, CT scan tidak spesifik. Temuan ini juga dapat dilihat pada pasien dengan tuberkuloma intrakranial.24 Pada CT Scan sulit dibedakan antara abses TB dengan abses pyogenik, hal ini dapat dibantu oleh pemeriksaan MRS dimana pada abses pyogenik terdapat peningkatan kadar asam amino, yang tidak ditemukan pada TBA.5 Dari literatur dapat kita lihat bahwa sulit membedakan tuberkuloma dengan lesi-lesi intracranial yang lain pada CT scan kepala non kontras, karena mempunyai gambaran yang mirip. Pada CT scan kepala dengan kontras, pola enhancement dapat membantu radiolog dalam menentukan diagnosis (tabel 1). Sehingga pada CT scan non kontras tgl 31 Oktober 2013 tidak tampak jelas lesi inhomogen di suprasellar, tak tampak enhancement di sisterna basalis yang menandakan adanya meningitis, hanya tampak hidrocephalus obstruktivus kemungkinan adanya obstruksi pada aquaductus sylvii. Klinisi dari bagian bedah syaraf juga mencurigai adanya craniopharyngioma karena melihat inhomogenitas lesi dan efek massa yang ditimbulkan. Setelah dilakukan CT scan kepala dengan kontras pada tanggal 11 November 2013 ditemukan adanya lesi inhomogen di intra dan suprasellar, multiple dengan rim enhancement tebal irreguler, ukuran 0,8-1,6cm. Selain itu tampak enhancement di sisterna basalis dan fissura sylvii, 20 dan gambaran infark cerebri di thalamus sinistra. Tampak pula enhancement bulat, multiple, kecil homogen di lobus frontoparietalis bilateral. Gambaran tersebut tak tampak pada CT Scan tanpa kontras. Walaupun menurut literatur, pada pasien TB paru hanya 10% yang melibatkan SSP, pada pasien ini tetap harus kita pikirkan dahulu kemungkinan TB SSP dibandingkan diangnosis banding lainnya (Tabel 1 dan 2).26 Dikatakan bahwa TB SSP terbanyak adalah meningitis dengan gambaran CT scan kontras seperti obliterasi dan terdapat peyangatan yang kuat pada meningen terutama pada sisterna basalis (spider leg aapearance) seperti terlihat pada gambar 3. Hidrocephalus terjadi akibat obstruksi pada sisterna basalis, aliran keluar ventrikel IV, dan oklusi dari aquaductus sylvii. Komplikasi lain dari meningitis yang dapat ditemukan pada gambaran ct scan adalah infark cerebri pada ganglia basalis akibat adanya vaskulitis, gambaran tuberkuloma pada basal (basal granuloma meningitis) seperti gambar 4.5,20 Gambaran tersebut kita temukan pada pasien ini. Selain ditemukan juga gambaran tuberkuloma intrakranial sesuai literatur dimana tuberkuloma sering terjadi pada lobus frontalis dan parietalis, biasanya pada area parasagital, dapat soliter walaupun lebih sering multipel. Dibandingkan dengan diagnosis banding yang lain sesuai temuan gambaran pada CT scan kepala dengan kontras pada pasien yang dilaporkan dan adanya riwayat TB paru dan usia 4 tahun, mengarah pada diagnosis meningoencephalitis TB. 21 BAB V KESIMPULAN Telah dilaporkan pasien anak perempuan usia 4 tahun dengan hemiparesis dextra tipe spastik sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien menderita tuberkulosis paru dan sudah mendapat terapi anti tuberkulosis selama 3 bulan. Dari pemeriksaan CT Scan kepala dengan kontras didapatkan gambaran seperti obliterasi dan terdapat penyangatan yang kuat pada meningen terutama pada sisterna basalis (spider leg apearance), hidrocephalus terjadi akibat obstruksi pada sisterna basalis, aliran keluar ventrikel IV, dan pada aquaductus sylvii, infark cerebri pada ganglia basalis akibat adanya vaskulitis, gambaran tuberkuloma pada basal (basal granuloma meningitis). Selain ditemukan juga gambaran tuberkuloma pada lobus frontoparietalis bilateral, sehingga diagnosis mengarah pada meningoencephalitis TB. Pada kasus ini dapat dilihat pentingnya pemakaian kontras pada CT scan kepala untuk membantu penegakan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding tuberkuloma seperti craniopharyngioma, abses TB dan abses pyogenik. 22 DAFTAR PUSTAKA 1. Ceylan. E, Gencer. M. Miliary Tuberculosis Associated with Multiple Intracranial Tuberculomas . Tohoku J. Exp.Med. 2005;205(4):367-370. 2. Patkar D, Narang J, Yanamandala R, Lawande M, Shah GV. Central Nervous System Tuberculosis, Pathophysiology and Imaging Findings. Neuroimag Clin N Am 22 (2012) 677–705 3. Makoo Z, Makoo R, Mashrabi O. Milliary Tuberculosis: A Case Report. American Journal of Infection Disease. 2010;6(4): 103-106. 4. Garg RK,. Diagnosis of Intracranial Tuberkuloma. Ind. J. Tub. 1996; 43: 35-39. 5. Garg RK,. Tuberculosis of the central nervous system. Postgrad Med J.1999;75:133-140. 6. Amin Y, Shaukat A, Mian B. Intracranial Manifestation of Tuberculosis-An Imaging Study. Biomed. 2004;20:1-4. 7. Rock RB, Olin M, baker CA, Molitor TW, Peterson PK. Central Nervous System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects. Clinical Microbiology Reviews. 2008;21(2):243-261. 8. Trivedi R, Saksena S, Gupta RK. Magnetic resonance imaging in central nervous system tuberculosis. Indian J radiol Imaging. 2009;19(4):256-265. 9. Aruminingsih SI. Abses cerebri tuberkulosis dengan tuberkuloma: Gambaran Ct Scan kepala. Laporan Kasus. FK UGM Yogyakarta. 2013. 24 halaman. 10. Scheld, W.M . Infections of the Central Nervous System, third edition, Lipincot William &Wilking, Philadelpia. 2004. 11. Setiawati L, Makmuri, Asih R. Tuberkulosis. http://old.pediatrik.com/ isi03.php. Diakses pada: 16/08/2013. 12. Tanrikulu C, Gurkan F, Dagli CE, Gozu A, Suner A. A comparative review of Pediatric and Adult Patients with Miliary Tuberculosis. Eur J Gen Med. 2007;4(2):67-72. 23 13. Burril J, Williams CJ, Bain G, Conder G, Hine AL, Misra RR. Tuberculosis: A Radiologic Review. RSNA.2007;27:1255-1273. 14. Harisinghani MG, Mcloud TC, Shepard JA, Ko JP, Shoff MM, Mueller PR. Tuberculosis from Head to Toe. RSNA. 2000; 20:449-470. 15. Engin G, Acunas B, Acunas G, Tunaci M. Imaging of Extrapulmonary Tuberculosis. RSNA. 2000; 20:471-488. 16. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary tuberculosis. Indian J Med Res. 2004; 120:316-353. 17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. http://digilab.usus.ac.id . 2006. Diakses pada 10 Maret 2013. 18. Miller TJW. Tuberkulosis in Children, evolution, epidemiologi, treatment, prevention. New York. Churcill Livingstone; 1982. 19. Be NA, Kim KS, Bishai WR, Jain SK. Pathogenesis of Central Nervous System Tuberculosis. Current Molecular Medicine. 2009; 9:94-99. 20. Bano S,Chaudhary V, Yadav S. Central Nervous System Tuberculosis. http://intechopen.com. Diakses pada 10 Desember 2014. 21. Sharma SK, Mohan A, Sharma A, Kumar D. Miliary tuberculosis : new insights into an old disease. Lancet Infectious Disease. 2006; 6(7): 416-430. 22. Curran JG, O’Connor E. Imaging of craniopharyngioma. Childs Nerv Syst. 2005;21:635-9. 23. Muller HL, Sorensen N. Chilhood Craniopharyngioma. Dtsch Arztebl. 2006;103(40):A 2634-40. 24. Narang M, Gomber, Upreti, Dua S. Mutiple intracranial tubercular abscesses in a child. Kathmandu University Medical Journal. 2010;8(2):244-46. 25. Townsend G. Brain abscess and other focal pyogen infections. Diunduh dari http://studfier.com/docs/books/biology/Microbio/Cohen%20IDs/Cohen %20IDs/Cohen%20IDs%20024.pdf. Diakses tanggal 25 januari 2013. 26. Garg RK, Sinha MK. Multiple ring-enhancing lesions of the brain. J Postgrad Med. 2010;56:307-316. 24 LAMPIRAN Gambar 1. Kalender perjalanan penyakit tuberculosis primer. 18 (Miller TJW, 1982) Gambar 2. Penyebaran TB ke SSP. (Be NA et al., 2009) 25 Gambar 3. Tuberculosis meningitis. NCCT scan (a) penyempitan sisterna basalis. CECT scan(b) enhancement sisterna basalis (spider leg appearance), tentorium dan fissura sylvii disertai hidrocephalus.20 Gambar 4. Basal granuloma meningitis. Axial T1W post contrast MR (a,b) basal meningitis dengan multipel konglomerasi tuberkuloma di sisterna suprasellar.5 (Garg RK.1999) Gambar 5. (A)CECT kepala, tampak multipel tuberkuloma pada pasien meningitis TB. (B) pada X-ray tampak gambaran millier.2,5 26 Gambar 6. (A)CECT kepala, tampak multipel ring enhanced di fronto-parietalis bilateral (tuberkuloma). (B) Potongan axial CE T1WI MRI tampak multipel enhanced tuberkuloma pada frontoparietalis sinistra .13 A B Gambar 7. Potongan axial CE T1WI MRI tampak multipel hiperintens pada kedua cerebral hemisphere.13 Gambar 8. Foto Thorax tanggal 24 Agustus 2013 27 Foto 9. CT Scan kepala tanggal 31 Oktober 2013 28 29 Foto 10. CT scan kepala dengan kontras tanggal 11 November 2013 Gambar 11. Gadis 9 tahun dengan gangguan penglihatan.a. tampak massa sella dengan kalsifikasi perifer, b. Tampak bagian solid dan kistik. C,D. T1,T2 non kontras tampak dominan hipointens, sebagian solid dan sebagian kistik pada sella dan suprasella. E. Sagital post kontras tampak enhancement relatif homogen pada bagian solid.22 30 Gambar 12a. Pada CT dengan kontras tampak lesi hypodense bentuk elip longitudinal di region occipito-parietal kanan dengan tepi yang menyangat, pada pasien dengan diagnosis abses tuberkulosis (post operasi). Gambar 12b. MRI menunjukkan masa fokal di lobus frontal dengan midline shift. Hasil biopsy konsisten dengan TB.24 Gambar 13. CT scan dengan kontras menunjukkan tampilan karakteristik abses intracerebral dengan kavitas dinding tipis yang dikelilingi udema cerebral.25 31 Tabel 1. Perbedaan tuberkuloma dan diagnosis banding berdasarkan CT Tuberkuloma TBA Abses Py Craniopharyngioma Pasien Lesi Hipo-hiper Hipo Hipo Jumlah Soliter/multi Soliter Hiperhipo Multipel Letak Frontoparietal/ Dimana saja Soliter/mu lti Graywhite junc/ supratent Iso-slight hiper Soliter Graywhite junc/ Ter. MCA Intra/ suprasellar Rim enhc Rim enhc(kistik) Patchy enh (solid) +/tipis Frontoparietalis, intrasuprasella r Rim enhc Karakter Post Kont enhc Rim enhc Ring Enh Dinding +/Tebal>> + Tebal/tipis irreguler 20mm-5cm +/+/+/- licin >3cm + ++ ++ licin >besar ++ ++ irreguler Sedang-besar +++ ++ ++ Irreguler 0,8-1,6cm + + Semua umur >> dewasa Semua umur 0-14th 50-74th 4th Diameter Kalsifikasi Oedema Mass Effect Usia + Tebal/Tipis Double rim sign Rim enh Tebal Tabel 2. Algoritma differensial diagnosis Multiple Ring Enhancing Lesion