Uploaded by User107633

articles

advertisement
BAB III
HUKUM PIDANA DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM
PERLINDUNGAN HEWAN DI INDONESIA
A. Hukum Pidana dan Penegakan Hukum
1. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana
Sampai saat ini, pengertian hukum belum ada yang pasti atau dengan
kata lain, belum ada sebuah pengertian hukum yang dijadikan standar dalam
memahami makna dan konsep hukum. Notohami djojo mendefinisikan
hokum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis
yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan manusia dalam
masyarakat negara (serta antar negara), yang mengarah kepada keadilan,
demi terwujudnya tata damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam
masyarakat. Sedangkan menurut Soedarto pidana adalah penderitaan yang
sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
W.L.G Lemaire juga memberikan pengertian mengenai hukum pidana
itu sendiri yang mana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus.1 Dengan demikian dapat juga dikatakan,
bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk
melakukan sesuatu) dan dalam keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat
dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu ketentuan
hokum atau undang-undang yang menentukan perbuatan yang dilarang atau
pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran
larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa Hukum Pidana
1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 74
1
menempati tempat tersendiri dalam sistemik hukum, hal ini disebabkan
karena hukum pidana tidak menempatkan norma tersendiri, akan tetapi
memperkuat norma-norma di bidang hukum lain dengan menetapkan
ancaman sanksi atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum
laintersebut. Pengertian diatas sesuai dengan asas hukum pidana yang
terkandung dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dimana hukum pidana bersumber
pada peraturan tertulis (undang-undang dalam arti luas) disebut juga sebagai
asas legalitas.2 Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan
pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan
kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah.
Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana
di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa
kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum
pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan
hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi.
Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan member
dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan
sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana.
Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidanatapi bisa
dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan
umum.
b. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar
hukum pidana.
Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret
yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran
hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana.
Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.
2
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
2017), hlm. 25-26
2
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang
Poernomo (2012:130) berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan
pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa
perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
pidana dilarang dan diancam denganpidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut”. Adapun perumusan tersebut
yang
mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi
keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang Poernomo (2012:130)
juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang
dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam
pidana.
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana,
maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan
bahasa dari istilah asing straftbaar feit namun belum jelas apakah disamping
mengalihkan bahasa dari istilah straftbaar feit dimaksudkan untuk
mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar
kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian
istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan
pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat
juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian perbuatan
melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan
Hakim agar dijatuhi pidana (Diktat Kuliah Asas-Asas Hukum Pidana,
2013:30).
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas
dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah
dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan
azas legalitas.
3
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang
dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk
adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang
menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan
bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk
kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang
tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum
sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas
segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan
bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana
yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi
hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya (Kartonegoro,
2010: 165).
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari
tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat
unsur-unsur tindak pidana. Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus
dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan
akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian
dalam alam lahir (dunia). Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik
kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah
disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah
melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap
tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri
dari unsur subjektif dan unsur objektif.3
3
Slamet
Khoiri,
2013.
Fakta
Tentang
Satwa
Liar
Indonesia,
http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia, diakses tanggal 20 Februari 2021 jam
14.39 WIB
4
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur
objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus di lakukan (Lamintang, 2017:193). Unsur-unsur subjektif
dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (Dolusatau Culpa);
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP (Lamintang, 2017:193).
Sedangkan unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai
negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan
Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang,
2017:194).
Seorang ahli hukum yaitu Simons (Andi Hamzah, 2014: 88)
merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;
5
d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut Pompe, untuk terjadinya perbuatan tindak pidana harus
dipenuhi unsur sebagai berikut:
a. Adanya perbuatan manusia
b. Memenuhi rumusan dalam syarat formal
c. Bersifat melawan hukum.
Menurut Jonkers unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggung jawabkan.
Moeljatno mengemukakan “perbuatan pidana “sebagai perbuatan yang
diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu:
a. Perbuatan
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
c. Bersifat melawan hukum
d. kelakuan manusia dan
e. Diancam pidana dalam undang-undang.
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Menurut jenisnya, tindak pidana terdiri atas:
a. Tindak pidana sengaja (delik sengaja)
Delik ini disyaratkan adanya unsur sengaja (opzettelijk). Menurut
MvT (Memorie van Toelichting) Memori penjelasan, yang dimaksud
dengan sengaja adalah sama dengan dikehendaki atau diketahui
(Ranoe Mihardja, 2014: 97).
b. Tindak pidana kealpaan (delik Culpa)
Adapun jenis culpa adalah sebagai berikut:
1) Culpa Lata : Kealpaan yang berat, besar atau mencolok;
2) Culpa Levis : Kealpaan yang ringan;
6
3) Culpa Levissima: Kealpaan yang sangat ringan (Ranoemihardja,
2014:101).
Tindak pidana merupakan terjemahan dari pendekatan StrafbaarFeit
atau delik dalam bahasa inggrisnya Criminal Act, ada beberapa bagian
mengenai tindak pidana dan beberapa pendapat darri pakar-pakar hukum
pidana.
a. Menurut Simons, menyatakan tindak pidana ialah suatu tindakan atau
perbuatan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang Hukum
Pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan
kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
b. Menurut E. Utrecht menyatakan tindak pidana ialah dengan istilah
peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu
merupakan suatu perbuatan atau sesuatu yang melalaikan maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan
itu).
c. Sementara itu, menurut Moeljatno, perbuatan tindak pidana ialah
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa
saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga
dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan
yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana
yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana
senantiasa merupakan suatu perbuatanyang tidak sesuai atau melanggar
suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang
disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada
perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada
orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan
Hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang
tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindakpidana. Akan
tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai
7
hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang
menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.
B. Penegakan Hukum Dalam Perlindungan Hewan
Hewan atau satwa langka yang telah sulit ditemui di habitatnya
karena populasinya hampir punah, membuat pemerintah menerbitkan
peraturan perundang-undangan untuk melindungi satwa langka dari
kepunahan. Untuk pengaturan pelaksanaan mengenai satwa langka terdapat
pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Pemburuan
Satwa Baru, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan di Taman Hutan Raya, Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.4
Pemerintah memberikan perhatian terhadap satwa liar ataupun
satwa tidak liar dibuktikan dengan diberlakukannya aturan-aturan
perlindungan terhadap
satwa.
Indonesia telah menandatanganidan
meratifikasi konvensi Internasional terkait perlindungan satwa-satwa di
Indonesia. Konvesi-konvensi tersebut diantaranya adalah Convention of
Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati), dan Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(Konvensi Perdagangan International Tumbuhan dan Stawa Liar).
Penegakan Norma dalam konvensi dikembalikan kepada penegakan hukum
nasional.
4
Abdullah Marlang dan Rina Maryana, Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), hlm. 134
8
Peraturan-peraturan tersebut dimaksudkan sebagai kerangka
menyeluruh untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan penggunaanya.
Hal ini bertujuan untuk melindungi sistem pendukung kehidupan,
melindungi
keanekaragaman
jenis
tumbuhan,
hewan
termasuk
ekosistemnya dan melestarikan tanaman dan hewan yang dilindungi. Salah
satu tindakan yang hingga saat ini masih sering terjadi dan melanggar aturan
dalam perlindungan hewan adalah perdagangan hewan yang dilindungi.
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan peraturan dalam upaya
perlindungan terhadap satwa yang dimanfaatkan untuk kepentingan
perekonomian
manusia
pun
tidak
berdampak
banyak
terhadap
kesejahteraan satwa, karena pada kenyataannya, pemeliharaan terhadap
satwa ini sering kali tidak memperhatikan kesejahteraan hewan tersebut.
Dengan memelihara saja sudah termasuk dalam penyiksaan terhadap
hewan, karena mereka harus tinggal di tempat yang bukan habitat aslinya.
Fenomena seperti ini diperparah dengan mempekerjakan satwa liar maupun
tidak liar yang dipaksa agar melakukan atraksi-atraksi. Satwa yang sering
mendapatkan paksaan untuk melakukan aksi-aksi akrobatik diantaranya
gajah, singa, harimau, lumba-lumba, dan anjing laut. Salah satu hewan yang
menyita banyak perhatian dari masyarakat adalah satwa jenis lumba-lumba.
Spesies yang sering digunakan dalam pertunjukkan merupakan spesies
Tursiops Aduncus atau yang kita kenal dengan sebutan lumba-lumba hidung
botol.
Satwa memiliki hak asasi yang terdiri atas 5 kebebasan, yaitu
terbebas dari rasa haus dan lapar, rasa tidak nyaman, dapat mengekspresikan
tingkah laku alaminya, terbebas dari stress danketakutan, serta dilukai dan
kesakitan. Hak yang seharusnya dimiliki satwa ini diabaikan oleh para
korporasi-korporasi, yang menjadikan para satwa tersiksa. Seperti halnya
Lumba-lumba yang termasuk satwa yang cerdas karena memiliki kapasitas
otak yang lebih besar dibandingkan simpanse. Kecerdasan yang dimiliki
lumba-lumba ini dijadikan alasan untuk tetap mempertahankan pengadaan
pertunjukan sirkus lumba-lumba, dengan dalih-dalih sebagai sarana
9
pendidikan dan pengenalan bagi masyarakat. Padahal pertunjukan lumbalumba seperti ini sangat tidak mendidik, alasan edukasi dan konservasi yang
dinyatakan oleh korporasi-korporasi terkait hanyalah pembenaran atas
eksploitasi lumba-lumba untuk keperluan komersil belaka.5
Menurut Soerjono Soekanto, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum disuatu negara, yaitu:
1. Hukum nya sendiri.
2. Faktor penegak hokum.
3. Faktor sarana atau fasilitas.
4. Faktor masyarakat.
5. Faktor kebudayaan”.6
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya Norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam hubungan-hubungan hukum
di
dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.7 Namun dalam praktiknya, Hukum tidak
selalu berjalan sesuai apa yang diharapkan pemerintah maupun masyarakat.
Di Indonesia sudah terdapat beberapa aturan yang secara khusus
memberikan perlindungan terhadap seluruh spesies satwa serta aturan
perlindungan bagi kesejahteraan satwa. Aturan-aturan tersebut diantaranya,
yakni:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konsevasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-Undang nomor 41 Tahun 2014 Tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Thun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan hewan
3. Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan jenis
Tumbuhan dan Satwa.
Tommy Apriando, 2014, “Sirkus, konsumsi dan perdagangan satwa melanggar hak asasi
satwa”, http://www.mongabay.co.id/tag/sirkus-lumba-lumba//, (diakses pada tanggal 21 Februari
2021 pukul 13.01)
6
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm. 8
7
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 49
5
10
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar Diadakannya perlindungan hukum bagi
satwa ini maka dibutuhkan sebuah kebijakan ataupun upaya
diberikannya sanksi pidana terhadap individu yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan bagi satwa dan kesejahteraannya.
Penegakan hukum melalui hukum pidana merupakan suatu tindakan
yang akan memberikan sanksi atau hukuman kepada setiap orang atau
badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
satwa dan kesejahteraannya. Menurut Simons, Hukum pidana dibagi
menjadi hukum pidana dalam arti subjektif (strafrech in objecyieve zin).
Dan hukum pidana dalam arti objektif (strafrech n obtectieve zin).8 Hukum
pidana dalam arti subjektif atau (ius puniendi) adalah hak untuk memidana.
Dan yang memiliki hak tersebut adalah negara sebagaimana aturan-aturan
yang ada pada hukum pidana material (ius poenale). Hukum pidana dalam
arti objektif atau juga disebut ius poenale, Merupakan sejumlah peraturan
hukum yang mengandung larangan dan perintah dengan disertai ancaman
pidana (sanksi hukuman) bagi barang siapa yang membuatnya.9
C. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Hewan
Segala perbuatan maupun tindakan yang dilakukan manusia pastilah
memiliki sebab dan akibat, begitu pula kejahatan, setiap kejahatan memiliki
motif atau alasan untuk melakukan tindakan kejahatan dan setiap alasan
tersebut pasti berbeda-beda satu sama lainnya. Perbedaan ini terjadi karena
setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula. Menurut
Soerjono Soekanto terdapat beberapa factor penyebab dalam penegakan
hukum diantaranya sebagai berikut: 10 Faktor hukumnya sendiri;
8
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2018. hlm. 4
Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2013. hlm. 1
10
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT Rajawali
Pers. Jakarta. 2011. hlm. 8
9
11
1. Faktor penegakan hukum;
2. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum
3. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan dan,
4. Faktor kebudayaan, Yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Satwa sebagai mahluk hidup juga memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum, karena satwa merupakan mahluk hidup yang
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia baik secara langsung atau
tidak langsung sehingga bentuk perlindungan hukum terhadap satwa harus
di tegakan secara tegas dan dijalankan secara nyata melalui penegakan
hukum. Tidak terdapat pembenaran bagi manusia untuk memperbudak atau
memanfaatkan hewan untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Selain itu,
ada juga yang berpendapat bahwa factor penyebab terjadinya tindak pidana
salah satunya, khususnya kejahatan pencurian disebabkan oleh:
1. Faktor ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam kehidupan
manusia, maka keadaan ekonomi dari pelaku tindak pidana pencurianlah
yang sering muncul melatarbelakangi seseorang melakukan tindak
pidana pencurian. Para pelaku sering tidak mempunyai pekerjaan yang
tetap, atau bahkan tidak punya pekerjaan. Karena desakan ekonomi yang
menghimpit, yaitu harus memenuhi kebutuhan keluarga, membeli
sandang maupun pangan, atau ada sanak keluarganya yang sedang sakit,
maka sesorang dapat berbuat nekat dengan melakukan tindak pidana
pencurian. Faktor ekonomi adalah faktor yang amat memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan manusia
memiliki kebutuhan (sandang, pangan, papan) yang harus dipenuhi
setiap hari. Pemenuhan kebutuhan inilah yang membutuhkan biaya, jika
kebutuhan sehari-hari sangat banyak, maka biaya yang dibutuhkan juga
semakin banyak.
12
2. Rendahnya penghayatan agama
Agama merupakan Norma yang meliputi nilai tertinggi dalam
kehidupan umat manuisia dan dianggap sebagai kebutuhan spiritual
yang hakiki. Dalam Norma agama ini terdapat perintah-perintah dan
larangan-larangan yang wajib ditaati oleh penganutnya. Walau
pelaksanaan agama tersebut berbeda, namun pada dasarnya memiliki
sesuatu persamaan yaitu larangan untuk melakukan setiap kejahatan.
3. Rendahnya Mental Dan Daya Emosional
Keadaan mental seseorang adalah sesuatu keadaan batin berupa cara
berfikir dan berperasaan. Jika keadaan mental seseorang itu rendah,
maka akan dapat mengakibatkan tingkah laku yang menyimpang.
Kaitanya dengan kejahatan pencurian yang dilakukan oleh seseorang
adalah bahwa orang tersebut tidak mampu menempatkan daya
intelegensinya unutk menilai secara benar tentang baik buruknya
perilaku yang dia lakukan. Rendahnya mental serta perasaan emosional
ini mengakibatkan orang tersebut tidak mampu untuk mengendalikan
diri sehingga banyak yang terjerumus dalam kejahatan kejahatan
pencurian.11
4. Faktor Keluarga
Pertumbuhan dan perkembangan seorang manusia pertama sekali
terjadi dalam keluarga kemudian berkembang terus hingga dalam suatu
masyarakat pada masa perkembangan, seorang anak akan sangat
membutuhkan bimbingan dan pengarahan agar dapat menjalani masamasa kritis kehidupan dengan baik. Faktor lingkungan kehidupan
keluarga dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencurian
malam hari, jika keadaan kehidupan ekonomi keluarga tersebut sangat
rendah atau kurang mencukupi dan juga apabila dalam kehidupan
keluarga tersebut sering terjadi pertentangan atau percekcokan.
Pembentukan pribadi seseeorang, yang memegangperanan penting ialah
11
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, 2005,
hlm.15-16
13
keluarga atau orang tua. Lingkungan keluarga merupakan tempat
pendidikan yang pertama dan utama.
5. Faktor Lingkungan atau Pergaulan Lingkungan
Pergaulan sehari-hari seseorang sangat besar sekali pengaruhnya
terhadap perkembangan jiwa seseorang. Faktor kehidupan pergaulan
dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindak pidana
kejahatan pencurian, seperti misalnya bergaul dengan para penjudi, para
pecandu narkotika atau minuman keras dan ataupun bergaul dengan para
penjahat (residivis).
D. Pengaturan Perlindungan Hewan di Indonesia
1. Pengaturan Perlindungan Hewan di Indonesia Didalam KUHP
Salah satu aturan mengenai perlindungan terhadap satwa
berdasarkan hukum nasional adalah Pasal 302 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini berisikan adanya perlindungan terhadap
satwa berupa jaminan pangan yang terpenuhi secara layak, dan bebas dari
penyiksaan yang dilakukan oleh manusia. engan semakin maraknya
eksploitasi terhadap satwa, maka diberlakukanlah beberapa aturan terkait
perlindungan satwa seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diganti dengan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
14
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana
haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas
untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat (Kartonegoro, 1990: 62).
2. Pengaturan Perlindungan Hewan di Indonesia Diluar KUHP
Berpedoman pada bunyi Pasal 66 ayat (2) UU 18/2009 itu, maka jika
memang bukan hewan yang dilindungi oleh negara, maka untuk peraturan
di luar KUHP seseorang dapat memelihara hewan tersebut jika ia menderita
stress atau sekarat seperti dalam cerita kehidupan seseorang. Jadi, perlu
melihat lagi apakah hewan tersebut merupakan satwa yang dilindungi atau
tidak karena tidak semua orang dapat begitu saja mengambil alih dalam
merawat atau memelihara satwa yang dilindungi tersebut. Selain itu, perlu
diperhatikan pula bagaimana prosedur pengangkatan/adopsi hewan jika
memang hewan yang mau di ambil alih pemeliharaannya itu adalah hewan
milik orang lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan untuk dapat atau tidaknya menuntut orang yang
melakukan penganiayaan terhadap hewan, hal ini dapat saja dilakukan akan
tetapi dalam bentuk pelaporan. Maka dapat melaporkan suatu tindak pidana
penganiayaan terhadap hewan kepada kepolisian. Nantinya, pejabat
penyidik pegawai negeri sipil yang akan melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang peternakan dan kesehatan hewan.12 Adapun aturan dalam
memelihara hewan yaitu:
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup;
12
Undang-undang KUHP (Pasal 84 ayat [2] huruf a UU 18/2009).
15
b.
Menyimpan,
memiliki,
memelihara,
mengangkut,
dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia, dan
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan
atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
16
Download