BAB III HUKUM PIDANA DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN HEWAN DI INDONESIA A. Hukum Pidana dan Penegakan Hukum 1. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana Sampai saat ini, pengertian hukum belum ada yang pasti atau dengan kata lain, belum ada sebuah pengertian hukum yang dijadikan standar dalam memahami makna dan konsep hukum. Notohami djojo mendefinisikan hokum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara (serta antar negara), yang mengarah kepada keadilan, demi terwujudnya tata damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat. Sedangkan menurut Soedarto pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. W.L.G Lemaire juga memberikan pengertian mengenai hukum pidana itu sendiri yang mana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.1 Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu ketentuan hokum atau undang-undang yang menentukan perbuatan yang dilarang atau pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa Hukum Pidana 1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 74 1 menempati tempat tersendiri dalam sistemik hukum, hal ini disebabkan karena hukum pidana tidak menempatkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum laintersebut. Pengertian diatas sesuai dengan asas hukum pidana yang terkandung dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dimana hukum pidana bersumber pada peraturan tertulis (undang-undang dalam arti luas) disebut juga sebagai asas legalitas.2 Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi. Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan member dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidanatapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan umum. b. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana. Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama. 2 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 2017), hlm. 25-26 2 Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo (2012:130) berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam denganpidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang Poernomo (2012:130) juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing straftbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah straftbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan Hakim agar dijatuhi pidana (Diktat Kuliah Asas-Asas Hukum Pidana, 2013:30). Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas. 3 Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya (Kartonegoro, 2010: 165). 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana. Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.3 3 Slamet Khoiri, 2013. Fakta Tentang Satwa Liar Indonesia, http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia, diakses tanggal 20 Februari 2021 jam 14.39 WIB 4 Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan (Lamintang, 2017:193). Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (Dolusatau Culpa); b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP (Lamintang, 2017:193). Sedangkan unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: a. Sifat melanggar hukum b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 2017:194). Seorang ahli hukum yaitu Simons (Andi Hamzah, 2014: 88) merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Diancam dengan pidana oleh hukum; b. Bertentangan dengan hukum; c. Dilakukan oleh orang yang bersalah; 5 d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut Pompe, untuk terjadinya perbuatan tindak pidana harus dipenuhi unsur sebagai berikut: a. Adanya perbuatan manusia b. Memenuhi rumusan dalam syarat formal c. Bersifat melawan hukum. Menurut Jonkers unsur-unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan (yang); b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. Dipertanggung jawabkan. Moeljatno mengemukakan “perbuatan pidana “sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu: a. Perbuatan b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang c. Bersifat melawan hukum d. kelakuan manusia dan e. Diancam pidana dalam undang-undang. 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Menurut jenisnya, tindak pidana terdiri atas: a. Tindak pidana sengaja (delik sengaja) Delik ini disyaratkan adanya unsur sengaja (opzettelijk). Menurut MvT (Memorie van Toelichting) Memori penjelasan, yang dimaksud dengan sengaja adalah sama dengan dikehendaki atau diketahui (Ranoe Mihardja, 2014: 97). b. Tindak pidana kealpaan (delik Culpa) Adapun jenis culpa adalah sebagai berikut: 1) Culpa Lata : Kealpaan yang berat, besar atau mencolok; 2) Culpa Levis : Kealpaan yang ringan; 6 3) Culpa Levissima: Kealpaan yang sangat ringan (Ranoemihardja, 2014:101). Tindak pidana merupakan terjemahan dari pendekatan StrafbaarFeit atau delik dalam bahasa inggrisnya Criminal Act, ada beberapa bagian mengenai tindak pidana dan beberapa pendapat darri pakar-pakar hukum pidana. a. Menurut Simons, menyatakan tindak pidana ialah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh Undang-undang Hukum Pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. b. Menurut E. Utrecht menyatakan tindak pidana ialah dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu merupakan suatu perbuatan atau sesuatu yang melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan itu). c. Sementara itu, menurut Moeljatno, perbuatan tindak pidana ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat. Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatanyang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan Hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindakpidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai 7 hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula. B. Penegakan Hukum Dalam Perlindungan Hewan Hewan atau satwa langka yang telah sulit ditemui di habitatnya karena populasinya hampir punah, membuat pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi satwa langka dari kepunahan. Untuk pengaturan pelaksanaan mengenai satwa langka terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Pemburuan Satwa Baru, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan di Taman Hutan Raya, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.4 Pemerintah memberikan perhatian terhadap satwa liar ataupun satwa tidak liar dibuktikan dengan diberlakukannya aturan-aturan perlindungan terhadap satwa. Indonesia telah menandatanganidan meratifikasi konvensi Internasional terkait perlindungan satwa-satwa di Indonesia. Konvesi-konvensi tersebut diantaranya adalah Convention of Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati), dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Konvensi Perdagangan International Tumbuhan dan Stawa Liar). Penegakan Norma dalam konvensi dikembalikan kepada penegakan hukum nasional. 4 Abdullah Marlang dan Rina Maryana, Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), hlm. 134 8 Peraturan-peraturan tersebut dimaksudkan sebagai kerangka menyeluruh untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan penggunaanya. Hal ini bertujuan untuk melindungi sistem pendukung kehidupan, melindungi keanekaragaman jenis tumbuhan, hewan termasuk ekosistemnya dan melestarikan tanaman dan hewan yang dilindungi. Salah satu tindakan yang hingga saat ini masih sering terjadi dan melanggar aturan dalam perlindungan hewan adalah perdagangan hewan yang dilindungi. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan peraturan dalam upaya perlindungan terhadap satwa yang dimanfaatkan untuk kepentingan perekonomian manusia pun tidak berdampak banyak terhadap kesejahteraan satwa, karena pada kenyataannya, pemeliharaan terhadap satwa ini sering kali tidak memperhatikan kesejahteraan hewan tersebut. Dengan memelihara saja sudah termasuk dalam penyiksaan terhadap hewan, karena mereka harus tinggal di tempat yang bukan habitat aslinya. Fenomena seperti ini diperparah dengan mempekerjakan satwa liar maupun tidak liar yang dipaksa agar melakukan atraksi-atraksi. Satwa yang sering mendapatkan paksaan untuk melakukan aksi-aksi akrobatik diantaranya gajah, singa, harimau, lumba-lumba, dan anjing laut. Salah satu hewan yang menyita banyak perhatian dari masyarakat adalah satwa jenis lumba-lumba. Spesies yang sering digunakan dalam pertunjukkan merupakan spesies Tursiops Aduncus atau yang kita kenal dengan sebutan lumba-lumba hidung botol. Satwa memiliki hak asasi yang terdiri atas 5 kebebasan, yaitu terbebas dari rasa haus dan lapar, rasa tidak nyaman, dapat mengekspresikan tingkah laku alaminya, terbebas dari stress danketakutan, serta dilukai dan kesakitan. Hak yang seharusnya dimiliki satwa ini diabaikan oleh para korporasi-korporasi, yang menjadikan para satwa tersiksa. Seperti halnya Lumba-lumba yang termasuk satwa yang cerdas karena memiliki kapasitas otak yang lebih besar dibandingkan simpanse. Kecerdasan yang dimiliki lumba-lumba ini dijadikan alasan untuk tetap mempertahankan pengadaan pertunjukan sirkus lumba-lumba, dengan dalih-dalih sebagai sarana 9 pendidikan dan pengenalan bagi masyarakat. Padahal pertunjukan lumbalumba seperti ini sangat tidak mendidik, alasan edukasi dan konservasi yang dinyatakan oleh korporasi-korporasi terkait hanyalah pembenaran atas eksploitasi lumba-lumba untuk keperluan komersil belaka.5 Menurut Soerjono Soekanto, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum disuatu negara, yaitu: 1. Hukum nya sendiri. 2. Faktor penegak hokum. 3. Faktor sarana atau fasilitas. 4. Faktor masyarakat. 5. Faktor kebudayaan”.6 Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya Norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.7 Namun dalam praktiknya, Hukum tidak selalu berjalan sesuai apa yang diharapkan pemerintah maupun masyarakat. Di Indonesia sudah terdapat beberapa aturan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap seluruh spesies satwa serta aturan perlindungan bagi kesejahteraan satwa. Aturan-aturan tersebut diantaranya, yakni: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-Undang nomor 41 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Thun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan hewan 3. Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa. Tommy Apriando, 2014, “Sirkus, konsumsi dan perdagangan satwa melanggar hak asasi satwa”, http://www.mongabay.co.id/tag/sirkus-lumba-lumba//, (diakses pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 13.01) 6 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 8 7 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 49 5 10 4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar Diadakannya perlindungan hukum bagi satwa ini maka dibutuhkan sebuah kebijakan ataupun upaya diberikannya sanksi pidana terhadap individu yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan bagi satwa dan kesejahteraannya. Penegakan hukum melalui hukum pidana merupakan suatu tindakan yang akan memberikan sanksi atau hukuman kepada setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan satwa dan kesejahteraannya. Menurut Simons, Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana dalam arti subjektif (strafrech in objecyieve zin). Dan hukum pidana dalam arti objektif (strafrech n obtectieve zin).8 Hukum pidana dalam arti subjektif atau (ius puniendi) adalah hak untuk memidana. Dan yang memiliki hak tersebut adalah negara sebagaimana aturan-aturan yang ada pada hukum pidana material (ius poenale). Hukum pidana dalam arti objektif atau juga disebut ius poenale, Merupakan sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dengan disertai ancaman pidana (sanksi hukuman) bagi barang siapa yang membuatnya.9 C. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Terhadap Hewan Segala perbuatan maupun tindakan yang dilakukan manusia pastilah memiliki sebab dan akibat, begitu pula kejahatan, setiap kejahatan memiliki motif atau alasan untuk melakukan tindakan kejahatan dan setiap alasan tersebut pasti berbeda-beda satu sama lainnya. Perbedaan ini terjadi karena setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula. Menurut Soerjono Soekanto terdapat beberapa factor penyebab dalam penegakan hukum diantaranya sebagai berikut: 10 Faktor hukumnya sendiri; 8 Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2018. hlm. 4 Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2013. hlm. 1 10 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT Rajawali Pers. Jakarta. 2011. hlm. 8 9 11 1. Faktor penegakan hukum; 2. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum 3. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan, 4. Faktor kebudayaan, Yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Satwa sebagai mahluk hidup juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, karena satwa merupakan mahluk hidup yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia baik secara langsung atau tidak langsung sehingga bentuk perlindungan hukum terhadap satwa harus di tegakan secara tegas dan dijalankan secara nyata melalui penegakan hukum. Tidak terdapat pembenaran bagi manusia untuk memperbudak atau memanfaatkan hewan untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa factor penyebab terjadinya tindak pidana salah satunya, khususnya kejahatan pencurian disebabkan oleh: 1. Faktor ekonomi Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam kehidupan manusia, maka keadaan ekonomi dari pelaku tindak pidana pencurianlah yang sering muncul melatarbelakangi seseorang melakukan tindak pidana pencurian. Para pelaku sering tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, atau bahkan tidak punya pekerjaan. Karena desakan ekonomi yang menghimpit, yaitu harus memenuhi kebutuhan keluarga, membeli sandang maupun pangan, atau ada sanak keluarganya yang sedang sakit, maka sesorang dapat berbuat nekat dengan melakukan tindak pidana pencurian. Faktor ekonomi adalah faktor yang amat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan manusia memiliki kebutuhan (sandang, pangan, papan) yang harus dipenuhi setiap hari. Pemenuhan kebutuhan inilah yang membutuhkan biaya, jika kebutuhan sehari-hari sangat banyak, maka biaya yang dibutuhkan juga semakin banyak. 12 2. Rendahnya penghayatan agama Agama merupakan Norma yang meliputi nilai tertinggi dalam kehidupan umat manuisia dan dianggap sebagai kebutuhan spiritual yang hakiki. Dalam Norma agama ini terdapat perintah-perintah dan larangan-larangan yang wajib ditaati oleh penganutnya. Walau pelaksanaan agama tersebut berbeda, namun pada dasarnya memiliki sesuatu persamaan yaitu larangan untuk melakukan setiap kejahatan. 3. Rendahnya Mental Dan Daya Emosional Keadaan mental seseorang adalah sesuatu keadaan batin berupa cara berfikir dan berperasaan. Jika keadaan mental seseorang itu rendah, maka akan dapat mengakibatkan tingkah laku yang menyimpang. Kaitanya dengan kejahatan pencurian yang dilakukan oleh seseorang adalah bahwa orang tersebut tidak mampu menempatkan daya intelegensinya unutk menilai secara benar tentang baik buruknya perilaku yang dia lakukan. Rendahnya mental serta perasaan emosional ini mengakibatkan orang tersebut tidak mampu untuk mengendalikan diri sehingga banyak yang terjerumus dalam kejahatan kejahatan pencurian.11 4. Faktor Keluarga Pertumbuhan dan perkembangan seorang manusia pertama sekali terjadi dalam keluarga kemudian berkembang terus hingga dalam suatu masyarakat pada masa perkembangan, seorang anak akan sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan agar dapat menjalani masamasa kritis kehidupan dengan baik. Faktor lingkungan kehidupan keluarga dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencurian malam hari, jika keadaan kehidupan ekonomi keluarga tersebut sangat rendah atau kurang mencukupi dan juga apabila dalam kehidupan keluarga tersebut sering terjadi pertentangan atau percekcokan. Pembentukan pribadi seseeorang, yang memegangperanan penting ialah 11 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, 2005, hlm.15-16 13 keluarga atau orang tua. Lingkungan keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama. 5. Faktor Lingkungan atau Pergaulan Lingkungan Pergaulan sehari-hari seseorang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa seseorang. Faktor kehidupan pergaulan dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindak pidana kejahatan pencurian, seperti misalnya bergaul dengan para penjudi, para pecandu narkotika atau minuman keras dan ataupun bergaul dengan para penjahat (residivis). D. Pengaturan Perlindungan Hewan di Indonesia 1. Pengaturan Perlindungan Hewan di Indonesia Didalam KUHP Salah satu aturan mengenai perlindungan terhadap satwa berdasarkan hukum nasional adalah Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini berisikan adanya perlindungan terhadap satwa berupa jaminan pangan yang terpenuhi secara layak, dan bebas dari penyiksaan yang dilakukan oleh manusia. engan semakin maraknya eksploitasi terhadap satwa, maka diberlakukanlah beberapa aturan terkait perlindungan satwa seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan 14 kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Kartonegoro, 1990: 62). 2. Pengaturan Perlindungan Hewan di Indonesia Diluar KUHP Berpedoman pada bunyi Pasal 66 ayat (2) UU 18/2009 itu, maka jika memang bukan hewan yang dilindungi oleh negara, maka untuk peraturan di luar KUHP seseorang dapat memelihara hewan tersebut jika ia menderita stress atau sekarat seperti dalam cerita kehidupan seseorang. Jadi, perlu melihat lagi apakah hewan tersebut merupakan satwa yang dilindungi atau tidak karena tidak semua orang dapat begitu saja mengambil alih dalam merawat atau memelihara satwa yang dilindungi tersebut. Selain itu, perlu diperhatikan pula bagaimana prosedur pengangkatan/adopsi hewan jika memang hewan yang mau di ambil alih pemeliharaannya itu adalah hewan milik orang lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan untuk dapat atau tidaknya menuntut orang yang melakukan penganiayaan terhadap hewan, hal ini dapat saja dilakukan akan tetapi dalam bentuk pelaporan. Maka dapat melaporkan suatu tindak pidana penganiayaan terhadap hewan kepada kepolisian. Nantinya, pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang akan melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.12 Adapun aturan dalam memelihara hewan yaitu: a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; 12 Undang-undang KUHP (Pasal 84 ayat [2] huruf a UU 18/2009). 15 b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia, dan e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.” 16