PENYAKIT INFEKSI PADA KEHAMILAN

advertisement
PENYAKIT INFEKSI PADA KEHAMILAN
Infeksi Virus
1.Varicella – Zooster
Virus ini termasuk virus DNA dan hidup laten pada ganglion bagian belakang setelah
infeksi primerr. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang
terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan
ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil lebih sering terjadi
pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan kekebalan (immunocompromised).
Pencegahan
Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau memperlemah
infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan dalam 96 jam dengan
dosis 125 U /10 kgBB, i.m maksimal 625 unit atau 5 vial untuk pre dan pascatercemar.
Efek pada janin
Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan
malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi korteks
serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai.
Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada usia
kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan bayi
kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang dkk, 1995).
Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika antibodi ibu belum
terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami infeksi viseral dan susunan
syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan.
2.Parotitis
Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang
disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur, tetapi
juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis selama
kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan tidak terdapat
bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin Jeryl-Lynn (virus hidup
yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.
Efek pada janin
Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin maupun
anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.
3.Rubeola (campak)
Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi abortus
dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst, 1966). Apabila
seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan , timbul resiko infeksi
serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi preterm. Imunisasi pasif dapat
dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml i.m dalam 3 hari setelah terpajan.
Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan secara rutin
divaksinasi postpartum.
4.Rubella
Rubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yang biasanya tidak begitu penting
pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir kehamilan yang
jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital berat. Hubungan
antara rubela maternal dan malformasi kongenital serius, pertama-tama dikenali oleh
Gregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.
Pencegahan
Untuk memberantas penyakit infeksi ini pendekatan berikut dianjurkan untuk
mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia reproduktif:
a. Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat luas mengenai
bahaya infeksi rubella.
b. Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari perawatan medis dan obstetrik
rutin
c. Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencana
d. Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum memiliki kekebalan sesudah
melahirkan bayi atau mengalami abortus
e. Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang diketahui
lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinan
f. Jaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakit yang dapat terpapar pasien rubela
atau yang mengalami kontak dengan ibu hamil
Diagnosis
Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya yang
serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan viremia dan
infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti bodi terhadap rubela
menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan respon imun terhadap
viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu tempat sejak beberapa minggu
atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi rubela maternal terlihat pada saat terpapar
rubela atau sebelumnya, maka kekhawatiran ibu bisa ditenteramkan karena kemungkinan
janin terkena infeksi tersebut sangat kecil. Orang yang tidak kebal dan mendapatkan
viremia akan memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu
sesudah dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia,
mengingat viremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar
1 minggu sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit
diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari sesudah
dimulainya gejala ruam. Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari sesudah ruam,
maka deteksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara kedua kemungkinan ini:
(1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar rubela; atau (2) bahwa penyakit
tersebut bukan rubela, namun orang tersebut sudah kebal terhadap rubela.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer dalam
waktu beberapa bulan.
Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada tes ini
terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh virus rubela.
Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks sehingga digantikan
dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang baru berupa ELISA (enzyme
linked immunoabsorbent assay), PHA (passive agglutination), IFA (Immunofluoresence
assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial immunodiffusion tes.
5. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada hakekatnya
menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 –
2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi primer yang biasanya asimtomatik,
10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 %
meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro
dan 10-15 % pada masa prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi
periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi
humoral diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan
mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu
baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan
kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwa
berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi
tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.
Infeksi Maternal
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 %
mempunyai
mononucleosis
like
syndrome
dengan
gejala:
demam,
paringitis,
limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin pada
sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah (Stagno dkk.,
1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang terinfeksi lebih besar
kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama paruh-pertama kehamilan.
Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal terhadap sitomegalovirus tidak
mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga tidak mencegah terjadinya infeksi
kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat sebagian besar infeksi selama kehamilan
bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wanita-wanita ini. Untungnya, infeksi kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih
jarang disertai dengan sekuele yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital
yang disebabkan oleh infcksi primer.
Infeksi Kongenital
Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik,
menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik, gangguan
sensorineural,
hepatosplenomegali,
ikterus,
anemia
hemolitik
dan
purpura
trombositopenik. Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini
dapat mencapai 20 – 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup ternyata mendcrita
retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikoniotorik,
epilepsy atau pun gangguan sistern saraf pusat lainnya.
Diagnosis
Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic
Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral
kalsifikasi.. Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi
primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada serum, baik
dalam keadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau dibuat dengan
mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum maternal. Sayangnya,
tidak satupun di antara kedua metode ini yang benar-benar akurat dalam memastikan
infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang handal untuk memeriksa efek dari
infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan sonografi atau kultur cairan amnion untuk
menemukan sitomegalovirus.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin
sudah mengalami gejala yang berat.
6. Hepatitis Infeksiosa
Penyakit hepatitis infeksiosa sering ditemui pada remaja dan dewasa muda. Di daerah
khatulistiwa seperti Indonesia, terdapat banyak wanita hamil yang menderita hepatitis
terutama pada trimester ketiga. Penyakit ini sangat berbahaya dan dapat menumbulkan
nekrosis hati yang luas, sehingga dapat menyebabkan kematian fetal dan maternal yang
tinggi. Janin dapat terinfeksi dengan cara kontak langsung dari sekret D'Cruz dan kawankawan melaporkan angka kematian maternal 2 kali lebih tinggi pada wanita hamil dan
dalam masa nifas berbanding penderita yang tidak hamil. Seperti rubella dan
sitomegalovirus, penyakit ini tidak menimbulkan gejala klinik yang khas. Gejala
kliniknya berupa anoreksia, rasa mual, muntah, demam, hepatomegali yang disertai rasa
nyeri dan ikterus. Pada wanita hamil dengan hepatitis berat akan menyebabkan abortus,
partus prematurus dan cacat bawaan pada janinnya. Cara mendiagnosis penyakit ini
adalah dengan pemeriksaan serologik yaitu memeriksa antigen HbsAg.
Pengobatan penyakit ini pada wanita hamil sama dengan pada orang biasa yang tidak
hamil, yaitu diberi obat antivirus, harus dirawat, dianjurkan tirah baring dan diberi diet
tinggi protein dan rendah lemak. Infus cairan diberi jika pasien mual muntah. Vaksinasi
sebagai pencegahan penyakit ini harus dilakukan. Seorang wanita yang HbsAg nya
positif harus diberi imunisasi HBIG (Hepatitis B Immune Globulin) dengan dosis
0,06ml/kg berat badan secara intramuskuler dalam dosis tunggal 14 hari setelah terpapar.
Setelah itu dilanjutkan dengan serial vaksin hepatitis B. Pada wanits yang berisiko
terpapar diberi vaksinasi 6 bulan setelah terpapar. Pada bayi yang lahir dari ibu dengan
HbsAg positif yang sedang hamil diberi vaksinasi HBIG 0.5ml secara intramuskuler
dalam dosis tunggal 12 jam setelah melahirkan dan diberi vaksinasi serial hepatitis B 7
hari setelah lahir, usia 1 bulan dan pada usia 6 bulan. Virus hepatitis bisa masuk ke dalam
ASI, oleh itu proses menyusui hanya diperbolehkan apabila telah dilakukan imunisasi,
tetapi menghindari ASI bukan berarti bayi terlepas dari kemungkinan tertular hepatitis
karena cara penularan lainnya masih mungkin mengancam.
Infeksi Bakteri
1. Streptokokus grup B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi rat
pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap
tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum endometritis
dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.
Dalam tahun 1970-an, infeksi streptokokus grup B pada neonatus mengalami peningkatan
luar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadi penurunan frekuensi infeksi
tersebut. Penyebab terjadinya peningkatan yang mencolok atau penurunan berikutnya
tidak dengan jelas. Transmisi intrapartum streptokokus grup B dari traktus genitalis
maternal dengan kolonisasi kuman tersebut kepada janin, dapat menimbulkan sepsis berat
pads bayi segera sesudah dilahirkan. Tergantung pada populasi yang diteliti, sebanyak 10
hingga 40 persen ibu data stadium kehamilan lanjut mengalami kolonisasi streptokokus
grup B dalam traktus genitalis bagian distal, dan separuh dari bayi yang baru dilahirkan
akan terkena infeksi ini serta mengalami kolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang
ditransmisikan dari ibu akan melindungi kebanyakan bayi ini; tetapi, 1 hingga 2 persen
dari bayi tersebut akan menderita kelainan secara klinis. Bayi-bayi prematur atau dengan
berat badan lahir yang rendah merupakan bayi yang menghadapi risiko paling tinggi,
namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsis streptokokus neonatal ternyata berupa
neonatus yang aterm. Bagi bayi yang mengalami infeksi ini, angka mortalitasnya
mendekati 25 persen.
Pada septikemia akibat streptokokus grup B yang menandai penyakit dengan onset dini,
tanda-tanda sakit yang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudah bayi lahir.
Yang khas, selaput ketuban sudah pecah beberapa saat sebelum persalinan, atau
persalinan tersebut terjadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat badan lahir yang rendah
menghadapi kemungkinan lcbih besar untuk menderita infeksi klinis serius. Tanda-tanda
infeksi dengan onset dini mencakup gawat pernafasan, apnea dan syok.
Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat gawat
pernafasan idiopatik dan takipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan segera dengan
pemberian antibiotik di saroping penanganan masalah respirasinya, harus dilakukan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Angka mortalitas pada penyakit dengan
onset yang dini bervariasi dari 30 hingga 90 persen, dan prognosis untuk bayi prematur
lebih buruk Penyakit dengan onset lanjut biasanya terlihat sehagai meningitis yang timbul
sate minggu atau lebih sesudah lahir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dini
bervariasi antara bayi yang satu dengan lainnya, nantun mikroorganisme yang paling
sering ditemukan dalam tubuh bayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang tcrdapat di dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling sering
discbabkan oleh mikroorganisme serotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun cukup
tinggi, lebih rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari pada sepsis dengan onset
dini.
Diagnosis
Diagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu yang
diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan kultur, yang
tidak adekuat untuk intrapartum skrinning.
Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan hapus dari
vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini hanya dilakukan
pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus dan memerlukan
pengobatan segera.
2. Tifus abdominalis
Tifus abdominalis pada kehamilan dan pada nifas akan menyebabkan kematian yang
lebih tinggi berbanding infeksi pada orang yang tidak hamil. Enam puluh hingga lapan
puluh persen wanita hamil yang terinfeksi penyakit ini akan terjadi pengeluaran hasil
konsepsi secara spontan. Oleh karena itu, jika terjadi wabah tifoid pada suatu daerah,
semua wanita hamil akan diberi vaksinasi. Wanita yang terinfeksi juga dinasehatkan
supaya tidak menyusui bayinya walaupun tidak ada bukti yang menyatakan bakteri ini
tidak masuk ke dalam ASI. Pengobatan pada penyakit ini adalah dengan pemberian
kloramfenikol atau tiamfenikol.
3. Tetanus
Tetanus selama kehamilan, terutama pada ibu yang abortus atau di dalam nifas akan
mengakibatkan komplikasi yang sangat berbahaya. Penyakit ini sering terjadi pada
abortus provokatus kriminalis yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berwenang.
Masa inkubasi penyakit ini pada wanita hamil lebih pendek berbanding pada orang yang
tidak hamil yaitu rata-rata 9 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin berbahaya
penyakitnya. Kematian terjadi karena asfiksia akibat spasmus otot-otot pernafasan. Cara
mengobati tetanus adalah dengan melakukan pembersihan luka dan tempat sumber
infeksi. Pasien diberi antibiotika dan antitoksin tetanus 100.000 IU dalam 2 bentuk yaitu
intravena dan intramuskuler dan sebelumnya dilakukan skin tes terlebih dahulu. Selain itu
perlu disiapkan obat antikonvulsi dan obat-obat penenang terlebih dahulu.
Infeksi Protozoa
1. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Infeksi ditularkan lewat organisme berkista dengan memakan daging mentah atau kurang
matang, dan terinfeksi protozoa tersebut atau lewat kontak dengan kotoran kucing yang
terinfeksi, atau infeksi ini dapat terjadi secara kongenital melalui penularan transplasenta
Patogenesis
Imunitas
maternal
tampaknya
memberikan
perlindungan
terhadap
penularan
transplasental parasit tersebut; dengan demikian, agar terjadi toksoplasmosis kongenital,
ibu harus mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya. Sekitar sepertiga dari para
wanita di Amerika Serikat, mendapatkan antibodi pelindung sebelum hamil dan kadar
antibodi ini lebih tinggi di antara wanita yang memelihara kucing sebagai binatang
kesayangan.
Keluhan mudah lelah, nyeri otot dan kadangkala limfadenopati ditemukan pada ibu yang
terinfeksi, namun infeksi maternal tersebut paling sering terjadi secara subklinis. Infeksi
pada kehamilan dapat menyebabkan abortus atau mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan
gejala penyakit tersebut. Risiko terjadinya infeksi meningkat menurut lamanya kehamilan
dan kurang lebih 15,30 serta 60 persen dalam trimester pertama, kedua dan ketiga
(Remington dan Desmonts, 1983).
Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi maternal didapat secara awal dalam
kehamilan untungnya keadaan ini jarang terjadi. Kurang dari sepuluh persen neonatus
dengan toksoplasmosis kongenital memperlihatkan tanda tanda sakit secara klinis pada
scat lahir. Bayi yang terkena biasanya mcmperlihatkan tanda-tanda penyakit yang
menyeluruh dengan berat badan lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia.
Sebagian bayi terutama menderita penyakit neurologi dengan konvulsi, kalsifikasi intrakranial dan hidrosefalus atau mikrosefalus. Kedua kelompok bayi tersebut pada
akhirnya akan mengalami korioretinitis.
2. Malaria
Malaria banyak terjadi di daerah endemis seperti di Indonesia timur seperti di Papua dan
Sulawesi. Walaupun begitu, penduduk di daerah endemik ini memiliki kekebalan
terhadap malaria yang tinggi. Sebaliknya di daerah yang tidak endemik mudah terjadi
wabah.
Pengaruh kehamilan pada malaria
Seorang wanita yang hamil, walaupun telah memiliki kekebalan terhadap malaria, bisa
saja mendapat dampak akibat penyakit ini karena terjadinya penurunan imunitas karena
kehamilannya. Jika di luar kehamilan, wanita-wanita ini tidak merasakan apa-apa saat
parasitemia, tetapi pada saat hamil, mereka akan merasakan demam yang tinggi dan
menjadi lebih parah lagi dengan tuanya kehamilan sehingga dapat terjadi abortus. Malaria
juga dapat memperburuk kondisi ibu sehingga mengakibatkan kematian ibu dan janin.
Secara singkat, dampak malaria pada kehamilan adalah seperti berikut:
a. Terjadinya abortus pada trimester pertama karena pireksia dan abortus pada trimester
kedua karena anemia berat.
b. Kematian janin intrauterin karena pireksia, anemia berat karena adanya parasit di
dalam plasenta dan infeksi transplasental.
c. Dismaturitas janin karena insufisiensi plasenta akibat banyaknya parasit di dalam
plasenta.
d. Partus prematurus karena pireksia atau karena kematian janin
e. Kematian neonatus akibat asfiksia intrapartum akibat banyaknya parasit di dalam
plasenta atau anemia, karena prematuritas atau karena malaria kongenital.
Pada wanita hamil penderita malaria, plasenta itu dapat bekerja seperti limpa di mana
ruang-ruang intervilusnya dipenuhi dengan makrofag dan parasit. Ini terjadi terutama
pada malaria tertiana akibat infeksi Plasmodium falciparum dan dijumpai pada trimester
kedua kehamilan. Hal ini akan menghambat pertumbuhan janin dan menganggu pasokan
oksigen sehingga terjadi insufisiensi plasenta yang mengakibatkan kematian perinatal
yang tinggi. Walaupun terdapat banyak parasit di dalam plasenta, infeksi transplasental
jarang terjadi sehingga malaria kongenital sangat jarang didapatkan. Imunitas yang
diperoleh oleh ibu-ibu di daerah endemis juga bisa menjadi faktor pelindung buat
janinnya.
Selain meningkatnya frekuensi dan bertambahnya berat serangan malaria pada ibu hamil,
pengaruh buruk lain penyakit ini adalah anemia hemolitik. Proses hemolisis tidak hanya
terjadi pada eritrosit yang diinvasi oleh parasit tetapi juga pada eritrosit yang tidak
mengandungi parasit. Hal ini terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit itu bersifat
antigenik yang menyebabkan dibentuknya antibodi yang menyebabkan hemolisis
intravaskuler. Hal ini terjadi terutama pada malaria tertiana. Untuk mengimbangi
hemolisis secara besar-besaran itu, sumsum tulang akan membuat lebih banyak eritrosit
baru sehingga dibutuhkan lebih banyak asam folat sehingga terjadi defisiensi asam folat
dengan akibat megaloblastosis dan anemia megaloblastik. Penyakit malaria diobati
dengan obat antimalaria klorokuin, biasanya pada kehamilan 20-28 minggu. Pemberian
asam folat juga harus ada untuk memperbaiki defisiensi dan untuk hemopoiesis yang
meningkat. Jika anemia tidak membaik, diberikan transfusi darah untuk mempertahankan
kadar Hb pada tingkat yang cukup aman. Pada pasien yang harus ditransfusi diberikan
juga kortikosteroid untuk mencegah hemolisis.
Pada saat persalinan, harus diperhatikan terjadinya dekompensasio kordis terutama pada
ibu yang menderita anemia berat. Ini terjadi karena pertambahan aliran darah yang
banyak secara tibatiba dan jantung ibu tidak mampu memompanya sehingga terjadi
dekompensasio kordis. Anemia hemolitik karena malaria sering kambuh pada kehamilan
berikutnya tetapi bisa dicegah dengan pemberian profilaksis dengan obat anti malaria
sejak trimester pertama sehingga sampai 6 minggu setelah persalinan. Profilaksis juag
diberi kepada ibu yang berpindah dari daerah non endemik ke daerah endemik.
Profilaksis diberi dengan 600mg klorokuin. Pada bayinya juga diberi profilaksis 6,25 mg
klorokuin setiap minggu dalam 6 bulan pertama.
ABORTUS
Definisi
Abortus adalah terhentinya kehamilan atau keluarnya hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, biasanya pada usia kehamilan di
bawah 20 minggu.
Menurut Eastman abortus adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan
dimana fetus belum dianggap sanggup hidup sendiri di luar uterus, maksudnya
belum diartikan apabila fetus itu beratnya antara 400-1000 gram atau usia
kehamilan kurang dari 28 minggu.
Sedangkan menurut Jefcoat abortus adalah pegeluaran dari hasil konsepsi
sebelum usia kehamilan 28 minggu yaitu belum viable. Holmer mengatakan
abortus adalah teputusnya kehamilan sebeum 16 minggu dimana proses plasentasi
belum selesai.
ETIOLOGI
Penyebab abortus masih sering diperdebatkan dan biasanya penyebabya lebih dari
satu faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan abortus antara lain ;
1.
Kelainan Genetik
Sekitar 50% kejadian abortus oleh karena kelainan karotip embrio biasanya
merupakan kelainan sitogenik yang terjadi pada awal kehamilan dapat berupa
aneuploidi atau poliploidi. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik karena
trisomi autosom
Kelainan gen yang abnormal mungkin terjadi karena adanya mutasi gen yang
mengganggu proses implantasi contohnya mytotonic dystrophy. Gangguan
jaringan lain seperti sindrom Marfan, sindrom Ehlers-Danlos, pada perempuan
juga sering dijumpai sickle cell anemia yang sering menyebabkan abortus.
Abortus berulang bisa disebabkan penyatuan 2 kromosom yang abnormal
Menurut Hertig pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus
spontan. Dari 1000 abortus spontan 48,9% disebabkan karena ovum yang
patologis, 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio dan 9,6% disebabkan
karena plasenta yang abnormal.
Pada ovum yang abnormal 6% diantaranya terdapat degenerasi hidatid villi.
Apabila usia kehamilan sudah lebih dari satu bulan biasanya baorts yang
disebabkan oleh karena kelainan ovum dapat disingkirkan.
2.
Kelainan Genitalia Ibu
Defek anatomis uterus seperti hipoplasia uteri, uterus bikornis, kelainan letak
uterus seperti retrofleksi uteri fiksata diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetric seperti abortus berulang Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200
sampai 1/600 perempuan Pada perempuan dengan riwayat abortus ditemukan
anomali uterus pada 27% pasien.
Persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah dibuahi seperti
kurangnya progesterone atau estrogen, endometriosis, mioma submukosa. Risiko
kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi
Sindroma asherman bisa menyebabkan gangguan implantasi serta pasokan darah
pada permukaan endometrium.
3.
Infeksi
Beberapa jenis organisme yang diduga berdampak pada kejadian abortus antara
lain :
-
Bakteri :Listeria monositogenes, Klamidia trakomatis, Ureaplasma urealitikum.
-
Virus
: Sitomegalovirus, Rubela, Herpes simpleks virus.
-
Parasit
: Toksoplasmosis gondii, Plasmodium falsiparum
-
Spirokaeta : Treponema pallidum.
Teori peran infeksi mikroba terhadap kejadian abortus dikemukakan oleh
DeForest :
a)
Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin, yang
berdampak
b)
langsung, pada janin atau fetoplasenta
Infeksi janin yang bias berakibat kematian janin atau cacat janin sehingga
janin sulit bertahan hidup
c)
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genital bawah yang bias
menggangu proses implantasi
d)
Amnionitis
e)
Memacu perubahan genetik dan anatomk embrio umumnya oleh karena
virus selama kehamilan awal.
4. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1- 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia,
atau, radiasi, umumnya berakhir dengan abortus, misalnya, paparan terhadap
buangan gas anestesi dan tembakau.Rokok diketahui mengandung ratusan unsur
toksik antara lain nikotin yang mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat
sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu
dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus.
5. Faktor Hormonal
Pada wanita hamil dengan diabetes mellitus dan dengan kadar HbA1c tinggi pada
trimester pertama risiko terjadi abortus meningkat signifikan.
Progesteron
punya
peranan
penting
dalam
mempengaruhi
reseptivitas
endometrium terhadap implantasi embrio. Kadar progesteron yang rendah
dianggap berhubungan dengan risiko abortus. Fase luteal punya peran kritis pada
usia kehamilan 7 minggu yaitu saat dimana trofoblas menghasilkan cukup steroid
untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia
kehamilan 7 minggu akan menyebabkan abortus. progesterone diberikan dapat
menyelamatkan kehamilan.
Klasifikasi
1.
Abortus kompletus
Keluarnya seluruh basil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.
Ditandai dengan keluarnya seluruh hasil konsepsi.Perdarahan pervaginam ringan
terus berlanjut sampai beberapa waktu lamanya.Umumnya pasien datang dengan
rasa nyeri abdomen yang sudah hilang.
2.
A
bortus
inkompletus
Keluarnya sebagian, terapi tidak seluruh basil konsepsi sebelum umur kehamilan
lengkap 20 minggu . Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari cavum uteri. Pada
kehamilan <>abortus completus) Pada kehamilan> 10 minggu, keluarnya janin
dan plasenta tidak terjadi secara bersamaan dan sebagian masih tertahan didalam
uterus. (abortus incompletus) yang biasanya disertai rasa nyeri akibat kontraksi
uterus dalam usaha untuk mengeluarkan hasil konsespsi. Perdarahan umumnya
persisten dan seringkali sangat banyak.
3.
A
bortus
iminens (mengancam)
keadaan di mana perdarahan berasal dari intrauteri yang timbul sebelum
umur kehamilan lengkap 20 minggu, dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa
pengeluaran basil konsepsi dan tanpa dilatasi serviks. 20% wanita hamil
mengalami perdarahan pervaginam pada trimester I. Pada sebagian besar
kasus hal tersebut disebabkan oleh perdarahan akibat adanya implantasi.
Servik tertutup , perdarahan minimal dan dapat atau tanpa disertai rasa nyeri.
4.
Abortus insipiens
keadaan perdarahan dari intrauteri yang terjadi dengan dilatasi ser viks
kontinu dan progresif, tetapi tanpa pengeluaran basil konsepsi sebclum umur
kehamilan lengkap 20 minggu. Ditandai dengan nyeri abdomen atau nyeri
punggung, perdarahan pervaginam dengan dilatasi servik.Abortus sudah tak
mungkin dipertahankan bila terjadi pendataran dan dilatasi servik dan atau
terjadi pecahnya selaput ketuban.
5.
Missed abortion
Abortus yang embrio atau janinnya meninggal dalam uterus sebelum umur
kehamilan lengkap 20 minggu, tetapi basil konsepsi tertahan dalam uterus selama
8
minggu
atau
lebih.
etelah
kematian
janin,
janin
tidak
segera
dikeluarkan14.Retensi kehamilan diperkirakan terjadi oleh karena masih adanya
produksi progesteron plasenta yang terus berlanjut dan produksi estrogen yang
turun sehingga kontraktilitas uterus menurun. Keadaan ini dapat menyebabkan
terjadinya gangguan faal pembekuan darah bila janin mati tidak dikeluarkan
dalam waktu lebih dari 8 minggu.
6.
Abortus septic
Abortus yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorganisme dan
produknya ke dalam sirkulasi sistemik ibu.
7.
Abortus provokatus
1)
Abortus provokatus atas indikasi medis
Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang
dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung
jawab profesi.
Syarat untuk melakukan abortus provokatus atas indikasi medis :
1.
Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suami atau
keluarga dekat.
2.
Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/ peralatan
yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.
3.
Dokumen medik yang lengkap.
4.
Harus meminta pertimbangan tim ahli.
Beberapa indikasi medik yang dapat dipertimbangkan antara lain :
1.
Faktor kehamilannya sendiri
2.
Kehamilan ektopik
3.
IUFD
4.
Molahidatidosa
5.
Kelainan plasenta
2) Abortus provokatus kriminalis
Kurang lebih 40% dari semua kasus abortus provokatus kriminalis. Pelaku
abortus kriminalis biasanya adalah :
• Wanita yang bersangkutan
• Dokter / tenaga medis lain
• Orang lain yang bukan tenaga medis yang karena suatu alasan tidak
menghendaki kehamilan seorang wanita.
Cara melakukan abortus provokatus kriminalis :
1. Kekerasan mekanik :
• Umum : latihan olah raga berlebihan, naik kuda berlebihan, mendaki
gunung, berenang, naik turun tangga yang berlebihan, tekanan/trauma pada
abdomen.
• Lokal :
- Memasukkan alat yang dapat menusuk kedalam vagina : pensil,paku, jeruji
sepeda.
- Kateter atau alat penyemprot untuk menusuk atau menyemprotkan cairan
kedalam uterus untuk melepas kantong amnion.
- Alat untuk memasang IUD
- Alat yang dapat dilalui arus listrik.
2. Kekerasan kimiawi/obat obatan atau bahan bahan yang bekerja pada uterus.
Mekanisme Abortus
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian
embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi
plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan
terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu :
Embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi
chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil
konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis.Perdarahan
pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu:
Mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan pecahnya selaput ketuban
lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih
tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis
servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri.Jenis ini sering
menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak.
Pada kehamilan minggu ke 14 – 22:
Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa
saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga
menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang
banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih
menonjol. Dari penjelasan diatas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya
perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
1.
Darah lengkap
o
Kadar haemoglobih rendah akibat anemia haemorrhagik.
o
LED dan jumlah leukosit meningkat tanpa adanya infeksi.
2.
Tes kehamilan
o
Penurunan atau level plasma yang rendah dari β-hCG adalah prediktif.
terjadinya kehamilan abnormal (blighted ovum, abortus spontan ataukehamilan
ektopik).
Ultrasonografi
USG transvaginal dapat digunakan untuk deteksi kehamilan 4 – 5 minggu. Detik
jantung janin terlihat pada kehamilan dengan CRL > 5 mm (usia kehamilan 5 – 6
minggu). Dengan melakukan dan menginterpretasi secara cermat, pemeriksaan
USG dapat digunakan untuk menentukan apakah kehamilan viabel atau nonviabel. Pada abortus imimnen, mungkin terlihat adanya kantung kehamilan
(gestational sac GS) dan embrio yang normal Prognosis buruk bila dijumpai
adanya :
• Kantung
kehamilan yang besar dengan dinding tidak beraturan dan tidak adanya
kutub janin.
• Perdarahan
retrochorionic yang luas ( > 25% ukuran kantung kehamilan).
• Frekuensi DJJ
yang perlahan ( < 85 dpm ).
Pada abortus inkompletus, kantung kehamilan umumnya pipih dan iregular serta
terlihat adanya jaringan plasenta sebagai masa yang echogenik dalam cavum uteri.
Pada abortus kompletus, endometrium nampak saling mendekat tanpa visualisasi
adanya hasil konsepsi. Pada missed abortion, terlihat adanya embrio atau janin
tanpa ada detik jantung janin.
Teknik melakukan abortus buatan
Berbagai teknik untuk melaksanakan abortus yang dilakukan akhirakhir ini akan digambarkan dan dibicarakan dibawah ini.
A. Pembedahan
1. Dilatasi serviks yang diikuti oleh pengosongan isi uterus.
a. Kuretase
b. Aspirasi vakum (kuretase dengan penyedotan)
c. Dilatasi dan evakuasi.
2. Laparotomi.
a. Histerotomi.
b. Histerektomi.
B. Medis
1. Oksitosin intravena
2. Cairan hiperosmotik intra amnion
a. Larutan salin 20 persen
b. Larutan urea 30 persen
3. Preparat prostaglandin E2, E2α dan analog prostaglandin
a. Injeksi intra amnion
b. Injeksi ekstra ovuler
c.
Insersi vagina
d. Injeksi parenteral
e. Per oral
4. Berbagai kombinasi tindakan diatas
5. Anti progesteron RU486
Indikasi abortus dengan tindakan medis
Obat yang efektif dan juga aman tidak begitu banyak meskipun dalam sejarah
telah dicoba begitu banyak zat oleh wanita dalam menghindari kehamilannya,
penyakit sistemik yang serius atau bahkan kematian, tetapi bukan abortus, sering
terjadi akibat penggunaan zat-zat tersebut.
a. Oksitosin
Induksi abortus yang berhasil pada kehamilan trimester kedua dimungkinkan
dengan pemberian oksitosin dosis tinggi dalam cairan intravena dengan
volume kecil salah satu cara yang efektif adalah dengan menambahkan
sepuluh ampul oksitosin 1 mL (10 IU per ml-) ke dalam 1000 mL larutan
Ringer Laktat.
Pemberian infus oksitosin dimulai dengan takaran 0,5 mL permenit (50 mU
permenit). Kecepatan infus dinaikkan dengan interval 20 hingga 30 menit
hingga
tercapai
kecepatan
maksimal
2
mL
permenit (200 mU
permenit).Jika kontraksi uterus yang efektif tidak timbul dapat diberikan
sepuluh ampul oksitosin ke dalam 500 mL larutan Ringer Laktat
akan
mengandung 200 mU oksitosin per mL dan kecepatan infus dikurangi
menjadi 1 mL permenit (200 mU permenit).
Diteruskannya pemberian oksitosin ini dengan peningkatan kecepatan
yang progresif dimulai hingga tercapai kecepatan 2 mL permenit (400 mU
permenit), lalu dibiarkan dengan kecepatan atau takaran ini selama 4 hingga
5 jam lagi atau sampai terdorong keluar.
Jika tindakan induksi ini tidak berhasil, induksi secara setiap hari selama2
hingga 3 hari hampir selalu memberikan hasil. Peluang keberhasilan induksi
dengan oksitosin dosis tinggi akan mengalami banyak peningkatan dengan
penggunaan gagang laminaria yang disisipkan malam hari sebelum induksi.
b.
Larutan hiperosmotik intraamnion
Untuk melaksanakan abortus dalam trimester kedua kehamilan, larutan salin 20
hingga 25 persen atau larutan urea 30 hingga 40 persen disuntikkan kedalam
kantong ketuban untuk merangsang kontraksi uterus dan dilatasi serviks.
Ketika dimasukkan kedalam kantong ketuban masih belum jelas. Yang paling
sering terjadi janin akan mati dan larutan hipertonik akan merusak
membran janin yang mengakibatkan pembebasan enzim-enzim fosfolipase.
Enzim ini akan memecah asam arakidonat dari tempat penyimpanannya didalam
membran janin. Asam arakidonat yang lepas kemudian bebas untuk berubah
menjadi prostaglandin yang akan menyebabkan kontraksi uterus dan dilatasi
serviks.
c.
Larutan salin hipertonik
Larutan salin hipertonik disuntikkan intra amnion. Cara ini sudah lama
ditinggalkan, karena morbiditas dan mortalitas maternal.
d.
Larutan urea hiperosmotik
Larutan urea 30 hingga 40 persen yang larut kedalam kantong ketuban,
kemudian diikuti dengan pemberian oksitosin dengan takaran sekitar 400
mU permenit.
e. Prostaglandin
Penggunaan prostaglandin banyak digunakan untuk mengakhiri kehamilan
karena kurangnya metode induksi abortus dengan obatobatan lainnya.
Teknik pemberian Prostaglandin dapat bekerja efektif pada serviks dan uterus
dengan cara :

Dimasukkan kedalam vagina dalam bentuk supositoria hingga terletak
didekat serviks.

Diberikan dalam bentuk gel lewat kateter kedalam kanalis
servikalis.

Disuntikkan
kedalam
amniosintesis (Embrey, 1981)
kantong
ketuban
melalui
tindakan
Komplikasi
Perforasi
Dalam melakukan dilatasi dan kuretase harus diingat bahwa ada
kemungkinan terjadinya perforasi uterus, yang dapat menjurus ke
rongga peritoneum, ke ligamentum latum atau ke kandung kemih.
Bahaya perforasi adalah perdarahan dan peritonitis.
Luka pada serviks uteri
Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksakan, maka dapat timbul
sobekan pada serviks uteri.
Perlekatan dalam kavum uteri
Melakukan kuretase secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa hasil
konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangan sampai
terkerok, karena hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perlekatan
dinding kavum uteri di beberapa ternpat.
Perdarahan
Kuretase pada kehamilan lanjut atau pada mola hidatidosa ada
bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu diberikan transfusi darah dan
sesudah kuretase selesai dimasukkan tampon kasa
Infeksi
Apabila syarat-syarat asepsis dan antisepsis diindahkan, bahaya infeksi
tidak besar.
Sepsis akibat abortus paling sering disebabkan oleh organisme patogen yang
berasal dari flora usus clan vagina.Infeksi paling sering ditemukan hanya
pada uterus dalam bentuk metritis, parametritis, peritonitis (lokalisata dan
generalisata) dan septikemia tidak jarang pula ditemukan.
Dari 300 kasus abortus dengan disertai gejala demam di rumah sakit
Parkland hasil kultur darah yang positif ditemukan pada seperempat kasus
organisme yang dijumpai.
Organisme yg dikultur
Anaerob
Streptokokus
Frekuensi (%)
63
Bact;
Clostridium perfringens
Aerob
Escherichia coli
Pseudomonas
Streptococcus β-hemolyticus
Enterococcus
Kombinasi
9
4
37
14
9
4
41
3
7
Download