NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BAB IV NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI A. PENDAHULUAN Dalam rangka menuju sasaran utama pembangunan jangka panjang, yaitu terciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri maka kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat secara merata dan adil. Selania Repelita I kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri ter utama diarahkan untuk mendukung program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi sebagai landasan bagi pembangunan jangka panjang. Selama Repelita II sasaran utama adalah peningkatan laju pertumbuhan dan penunjangan perubahan struktur ekonomi melalui pengerahan dana-dana pembangunan khususnya yang berbentuk devisa. Di samping itu, kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri ditujukan pula untuk mendorong peningkatan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, penyebaran kegiatan pembangunan ke daerah-daexah, peningkatan peranan golongan ekonomi lemah, serta pengendalian kestabilan harga barang-barang kebutuhan pokok di dalam negeri. Dalam kerangka tersebut di atas, selama tahun 1977/78 terus dilanjutkan kebijaksanaan pengembangan dan diversifikasi ekspor maupun substitusi impor sebagai usaha untuk membantu proses perubahan struktur produksi dan perdagangan luar negeri. Kebijaksanaan ini juga ditujukan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap kegoncangan-kegoncangan ekonomi dunia yang masih terus berlangsung. Di samping itu perkembangan neraca pembayaran selama tahun 1977/78 juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan yang ditempuh di bidang pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing sebagai sum - 207 ber pembiayaan pelengkap, dan oleh kebijaksanaan pemeliharaan cadangan devisa. Di lain pihak, pelunasan pokok dan bunga pinjaman luar negeri tetap diawasi dan dikendalikan agar tidak mengganggu kemantapan neraca pembayaran. Neraca pembayaran Indonesia dalam tahun-tahun 1974/75 dan 1975 / 76 mengalami masa yang suram akibat masalah-masalah yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, kesu litan keuangan yang dialami oleh Pertamina telah menyebabkan keharusan pelunasan hutang-hutang luar negeri perusahaan tersebut dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya, cadangan devisa yang sejak tahun 1970/71 terus meningkat, mengalami kemunduran sebesar US $ 9 juta dalam tahun 1974/75 dan US $ 364 juta dalam tahun 1975/76, sehingga tingkat cadangan devisa turun dari US $ 930 juta pada akhir tahun 1973/74 menjadi US $ 557 juta pada akhir tahun 1975/76. Berkat usaha-usaha pengendalian dan pemanfaatan pinjaman luar negeri serta peningkatan ekspor dan penghematan dalam penggunaan devisa untuk impor, maka masalah pelunasan hutang-hutang luar negeri Pertamina tersebut akhirnya dapat diatasi dan kemantapan neraca pembayaran dapat kembali dipulihkan. Pergolakan penekonomian dan perdagangan dunia merupakan faktor-faktor ekstern yang dalam tahun-tahun 1974/75 dan 1975/76 telah menyebabkan kemunduran dalam nilai ekspor karena merosotnya harga-harga bahan mentah di pasaran dunia pada satu pihak, sedang di lain pihak impor meningkat akibat kenaikan dalam harga pangan dan bahan-bahan baku industri. Dalam tahun 1976/77 posisi neraca pembayaran membaik dengan pesat, hal mana antara lain tercermin dari kenaikan dalam nilai ekspor di luar minyak bumi sebesar 52,9%, kenaikan nilai ekspor minyak sebesar 20,4% .dan peningkatan cadangan devisa dengan US $ 1.001 juta. Perbaikan neraca pembayaran tersebut turut didukung oleh ik lim perekonomian dan perdagangan dunia yang mulai membaik kembali sejak akhir tahun 1975. Kemantapan neraca pembayaran tersebut dapat terus dipertahankan selama tahun 1977 / 78 walaupun perkembangannya tidak sebaik tahun sebelumnya. Nilai ekspor di luar minyak bumi mengala 208 mi kenaikan sebesar 21,9 %, sedang nilai ekspor menjadi naik dengan 13,8%. Suatu kejadian pokok yang memerlukan perhatian khusus adalah timbulnya krisis pangan dalam negeri akibat serangan hama dan musim kering yang luar biasa dalam tahun 1977/78. Terjadinya krisis ini telah mengharuskan kita untuk mengimpor beras dalam jumlah yang paling besar yang pernah dilakukan hingga kini, yaitu 2,6 juta ton dengan nilai sebesar US $ 682 juta. Besarnya jumlah devisa yang telah dipergunakan untuk impor beras dalam tahun 1977/78 telah menyebabkan bahwa kenaikan cadangan devisa dalam tahun tersebut tidaklah sebesar tahun 1976/77 meskipun tetap menunjukkan kenaikan sebesar US $ 651 juta sehingga tingkat cadangan devisa pada a:khir tahun 1977/78 mencapai jumlah US $ 2.209 juta. Sebagaimana halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri Indonesia turut dipengaruhi pula oleh perkenibangan politik dan ekonomi dunia. H ubungan ekonomi antar negara sejak permulaan tahun tujuh puluhan ditandai dengan berbagai gejolak yang mempunyai berbagai pengaruh pula pada perdagangan internasional. Usaha-usaha ke arah perluasan perdagangan internasional dan tercapainya suatu sistem moneter dunia yang lebih serasi telah dirintangi oleh masalah-masalah yang timbul akibat kelangkaan dalam persediaan pangan, sumber-sumber tenaga dan bahan baku industri; fluktuasi dalam nilai valuta negara-negara industri; dan gejala proteksionisme di beberapa negara industri tertentu. Khususnya untuk negara-negara yang sedang berkembang, akibat yang tidak menentu dari masalah-masalah tersebut harus ikut diperhitungkan dalam usaha-usaha perluasan perdagangan internasional dan peningkatan laju pembangunan di dalam negeri. Setelah mengalami laju pertumbuhan dalam produksi riil sebe sar rata-rata 4,8% selama masa 1963 - 1973, maka dalam tahun 1974 negara-negara industri hanya dapat mencapai kenaikan dalam produksi sebesar 0,1 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rendahnya tingkat pertumbuhan ini merupakan salah satu indikator dari adanya resesi dunia yang berlangsung sejak triwulan terakhir 209 tahun 1973 hingga titik terendahnya pada pertengahan tahun 1975. Resesi tersebut disebabkan oleh karena laju inflasi yang meningkat di negara-negara industri, berbagai krisis di bidang pangan, energi dan bahan baku industri, serta kekacauan di bidang keuangan internasional. Karena tidak efektifnya kebijaksanaan fiskal dan mone ter yang ditempuh oleh negara-negara industri untuk menanggulangi inflasi maka resesi tahun 1973 - 1974 juga ditandai oleh gejala stagnasi dan pengangguran. Akibatnya, negara-negara industri sebagai keseluruhan mengalami kenaikan dalam produksi nasional bruto riil hanya sebesar 0,1 % dalam tahun 1974 dan bahkan terjadi penurunan sebesar 0,9%o dalam tahun 1975 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam triwulan terakhir tahun 1975 kegiatan produksi di negara-negara industri dapat dipulihkan kembali, dan dalam semester pertama tahun 1976 laju pertumbuhan ekonominya mencapai 6,7%. Laju pertumbuhan tersebut ternyata menjadi jauh lebih lamban dalam semester ke dua tahun 1976, sehingga produksi nasional bruto negara-negara industri secara keseluruhan dalam tahun 1976 hanya naik dengan 5,4%. Akibat kelambanan dalamn pulihnya kembali kegiatan investasi dan adanya tingkat pengangguran yang masih tinggi, ter utama di Amerika Serikat, maka selanjutnya dalam tahun 1977 negara-negara industri hanya mengalami laju pertumbuhan sebesar 3,7 %. Perkembangan ekonomi di negara-negara industri mempunyai pengaruh yang besar pula pada pertumbuhan perdagangan luar nege ri negara-negara yang sedang berkembang. Dalam tahun 1973 di mana negara-negara industri mencapai pertumbuhan produksi riil sebesar 6,0%, perdagangan dunia juga mengalami kenaikan yang pesat yaitu suatu pertumbuhan dalam volume sebesar 13,0% dan dalam nilai yang dinyatakan dalam SDR sebesar 27,1 % dibandingkan dengan tahun 1972. Dalam tahun yang sama volume ekspor negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi naik dengan 12,5% sedang nilai ekspor (dinyatakan dalam SDR) bertambah dengan 42,3%. Volume dan nilai ekspor negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi masing-masing mengalami kenaikan 210 sebesar 7,8% dan 33,7% dalam tahun 1973 dibandingkan dengan tahun 1972. Di lain pihak volume dan nilai impor untuk negaranegara berkembang dalam tahun 1973 berkembang dengan lebih pesat lagi yaitu untuk negara-negara pengekspor minyak bumi masing-masing dengan 21,6% dan 35,0% dan untuk negara-negara lainnya masing-masing dengan 23,7% dan 39,2%. Bersamaan dengan perkembangan di atas nilai tukar perdagangan telah mengalami kenaikan sebesar 11,3% untuk negara-negara pengekspor minyak bumi dan 11,0% untuk negara-negara berkembang lainnya. Resesi ekonomi dunia dalarn tahun 1974 dan 1975 sangat mempengaruhi perdagangan dunia. Pcngaruh yang paling besar terasa dalam tahun 1975 di mana volume perdagangan dunia menurun dengan 5,0% dan nilai perdagangan hanya meningkat dengan 2,6% bila dibandingkan dengan tahun 1974. Dalam kenyataannya negaranegara berkembanglah yang paling menderita akibat resesi tersebut karena nilai ekspor negara-negara pengekspor minyak bumi turun dengan 7,8%, dan nilai ekspor negara-negara berkembang lainnya turun dengan 2,8%, sedang negara-negara industri mengalami kenaikan sebesar 5,6% dalarn nilai ekspornya dalam tahun 1975 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bagi negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi nilai tukar perdagangan yang dalam tahun 1974 telah mengalami kemerosotan sebesar 8,1 % terus menurun dengan 12,7% dalam tahun 1975. Keadaan ini telah menyebabkan bahwa meskipun volume impor negara-negara tersebut menurun dengan 6,7% namun nilai impor naik dengan 2,6% dalam tahun 1975. Begitu pula negara-negara pengekspor minyak bumi mengalami penurunan dalam nilai tukar perdagangan dalam tahun 1975 yaitu sebesar 5,5%, sehingga impornya dalam volume naik dengan 43,5% dan dalam nilai meningkat sebesar 57,9%. Di lain pihak nilai tukar perdagangan bagi negara-negara industri dalam tahun 1975 membaik dengan 3,1 % hal mana menyebabkan bahwa volume dan nilai impor masing-masing menunjukkan penurunan sebesar 7,7% dan 0,6%. Menjelang akhir tahun 1975 resesi dunia mulai mereda dan kegiatan produksi di negara-negara industri dapat dipulihkan kembali. 211 Volume perdagangan dunia dalam tahun 1976 meningkat dengan 12,0% sedangkan nilainya meningkat dengan 19,8% dibandingkan dengan tahun 1975. Nilai ekspor negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi mengalami kenaikan sebesar 28,8 % , sedang nilai ekspor negara-negara pengekspor minyak bumi naik dengan 27,7 % meskipun bila dilihat dari volume ekspor masing-masing kelompok negara menunjukkan kenaikan yang lebih kecil yaitu sebesar 13,5% dan 14,0%. Negara-negara industri mengalami kenaikan sebesar 10,7% dalam volume ekspor dan kenaikan sebesar 16,7% dalam nilai ekspor dalam tahun 1976. Nilai tukar perdagangan dalam tahun yang sama berbalik ke arah yang membaik bagi ne gara-negara berkembang, yaitu kenaikan sebesar 5,1 % untuk negaranegara bukan pengekspor minyak bumi dan sebesar 4,7% untuk negara-negara pengekspor minyak bumi. Sebaliknya bagi negara-negara industri nilai tukar perdagangan mengalami kemunduran sebesar 0,8%. Pengaruh resesi ekonomi dunia juga tercermin dalam laju pertumbuhan produk domestik bruto negara-negara berkembang. Dalam tahun 1973 produksi negara-negara bekembang telah meningkat dengan masing-masing 10,7% untuk negara-negara pengekspor minyak bumi dan 7,4 % untuk negara-negara lainnya. Dalam tahun 1974 dan 1975 laju pertumbuhan produksi riil dari negaranegara pengekspor minyak bumi hanya mengalami kenaikan sebesar ma sing-masing 8,7% dan 0,3% tetapi kemudian meningkat lagi dengan 12,4% dalam tahun 1976 dan 6,7% dalam tahun 1977. Begitu pula produksi riil negara-negara berkembang lainnya hanya menunjukkan kenaikan sebesar 5,3% dalam tahun 1974 dan 3,9% dalam tahun 1975 akan tetapi kemudian meningkat kembali dengan 4,8 % dalam tahun 1976 dan 4,7% dalam tahun 1977. Dalam kelompok terakhir ini, negara-negara di Asia mengalami kemerosotan dalam laju pertumbuhannya yang hanya mencapai 2,7 % dalam tahun 1974 untuk kemudian naik menjadi 6,2 % dalam tahun 1975, 5,8 % dalam tahun 1976 dan 6,0 % dalam tahun 1977. Dalam tahun 1977 perdagangan dunia terus berkembang meskipun dengan laju yang lebih rendah dibandingk an dengan tahun se- 212 belumnya. Volume perdagangan menunjukkan kenaikan sebesar 3,0% sedang nilainya meningkat dengan 12,3%. Negara-negara industri mengalami kenaikan dalam volume dan nilai ekspor sebesar masing-masing 4,4% dan 12,3% dalam tahun 1977 dibandingkan dengan tahun 1976. Volume dan nilai ekspor negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi dalam tahun yang sama masing masing naik dengan 0,9% dan 9,0%, sedang volume dan nilai ekspor negara-negara berkembang lainnya menunjukkan kenaikan masingmasing sebesar 6,7 % dan 17,9 % . Volume impor negara-negara industri dalam tahun 1977 naik dengan 4,8% sedang nilai impor meningkat dengan 12,8%, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Negara-negara pengekspor minyak bumi mengalami kenaikan dalam volume dan nilai impor sebesar masing-masing 14,9% dan 23,5%, sedang volume impor negara-negara berkembang lainnya naik dengan 4,9 % dan nilai dengan 12,2 % . Nilai tukar perdagangan dalam tahun 1977 untuk negara-negara industri dan negara-negara pengekspor minyak bumi praktis tidak berubah dibandingkan dengan keadaan tahun 1976. Sebaliknya negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi terus mengalami perbaikan dalam nilai tukar perdagangannya yaitu naik dengan 3,3 % dalam tahun 1977. Oleh karena tingkat kenaikan dalam nilai ekspor ternyata lebih besar dari tingkat kenaikan nilai impor, maka saldo negatif dari neraca perdagangan negara negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi berkurang dari US $ 28,1 milyar dalam tahun 1975 menjadi US $ 16,0 milyar dalam tahun 1976 dan US $ 12,7 milyar dalam tahun 1977. Demikian pula defisit pada transaksi berjalan kelompok negara-negara tersebut di atas dapat dikurangi dari US $ 37,3 milyar dalam tahun 1975 menjadi US $25,6 milyar dalam tahun 1976 dan US $ 22,1 milyar dalam tahun 1977. Surplus perdagangan bagi negara-negara pengekspor minyak bumi dalam tahun 1975 berjumlah US $ 52,7 milyar, kemudian naik menjadi US $ 64,7 milyar dalam tahun 1976 tetapi kembali menurun hingga US $ 61,8 milyar dalam tahun 1977. Untuk kelompok negara-negara ini surplus transaksi berjalan dalam tahun 1975 berjumlah US $ 34,7 milyar, dalam tahun 1976 US $ 40,8 milyar dan dalam tahun 1977 US $ 34,9 miljar. 213 11 Di lain pihak, surplus perdagangan negara-negara industri dalam tahun 1975 berjumlah US $ 20,4 milyar tetapi kemudian berbalik menjadi defisit sebesar US $ 4,2 milyar dalam tahun 1976 dan defisit sebesar US $ 9,6 milyar dalam tahun 1977. Di antara negaranegara industri utama, Amerika Serikat mengalami kemerosotan yang menyolok dalam posisi neraca perdagangannya yaitu dari surplus sebesar US $ 9,0 milyar dalam tahun 1975 menjadi defisit sebesar US $ 9,3 milyar dalam tahun 1976 dan terus mengalami defisit sebesar US $ 31,2 milyar dalam tahun 1977. Kemerosotan tersebut disebabkan karena ekspornya berkembang dengan jauh lebih lamban dari pada impor. Sebaliknya Jepang, yang pada tahun 1975 mempunyai surplus sebesar US $ 9,9 milyar dalam tahun 1976 dan US $ 17,5 milyar dalam tahun 1977. Perkembangan di Jepang ini disebabkan karena ekspor tumbuh dengan lebih pesat dibandingkan dengan impor, di mana harga satuan untuk ekspor dalam tahun 1977 ternyata jauh lebih tinggi dari harga satuan impor. Begitu pula Jerman Barat dapat mempertahankan surplus pada neraca perdagangannya, yaitu dari US $ 17,7 milyar dalam tahun 1975 menjadi US $ 16,7 milyar dalam tahun 1976 dan US $ 19,7 milyar dalam tahun 1977. Perkembangan di ke tiga negara ini menyebabkan bahwa dalam tahun 1977 Amerika Serikat mengalami defisit transaksi berjalan sebesar US $ 17,4 milyar, sedang Jepang dan Jerman Barat masing-masing mencapai surplus sebesar US $ 11,2 milyar dan US $ 7,6 milyar. Sistem moneter dunia sejak pertengahan tahun 1972 kembali dilanda oleh berbagai gejala yang menunjukkan ketidak stabilan. Dalam rangka penjajagan suatu sistem moneter internasional baru, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam tahun 1976 telah menyetujui perubahan-perubahan dalam Anggaran Dasar Dana tersebut. Kesepakatan yang dicapai meliputi kenaikan kwota negara-negara anggota, pengaturan kembali nilai tukar mata uang, pengurangan peranan emas dan peningkatan peranan SDR dalam sistem moneter internasional, perbaikan dalam proses penyesuaian pembayaran me lalui perluasan fasilitas kredit dan pembiayaan defisit neraca pem bayaran, serta pendirian "trust fund" untuk negara -negara yang se- 214 dang berkembang dengan dana yang tersedia dari hasil penjualan emas IMF. Sejak tercapainya kata sepakat tersebut, berbagai kebijaksanaan yang menyangkut pembaharuan sistem moneter internasional telah mulai dilaksanakan. Di lain pihak pembahasan dari masalah-masalah yang berkaitan dengan penyaluran dana-dana pembangunan ke negara-negara berkembang dan hutang-hutang luar negeri negara-negara berkembang dilakukan di forum Panitia Pembangunan yang dibentuk oleh Dana Moncter Internasional dan Bank Dunia tetapi hingga kini belum tercapai persesuaian pendapat dari negara-negara anggota. Dalam kerangka kerjasama ekonomi internasional, masa ber langsungnya Dasawarsa Pembangunan ke II Perserikatan BangsaBangsa telah ditandai oleh berbagai kegoncangan di bidang ekonomi dan politik dunia. Deklarasi dan Program Kerja mengenai pembentukan Orde Ekonomi lnternasional Baru yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1974 bertujuan untuk mengadakan perubahan strukturil dalam hubungan ekonomi antar negara. Setelah diterimanya resolusi tentang Pembangunan dan Kerja Sama Internasional pada tahun berikutnya, maka dibentuklah Konperensi Kerjasama Ekonomi Internasional di Paris yang juga dikenal sebagai Dialog Utara Selatan. Dalam forum ini, yang berlangsung selama tahun 1976 hingga pertengahan tahun 1977, diadakan pertukaran pikiran serta negosiasi tentang langkah-langkah di bidang bahan mentah, energi, perdagangan, keuangan, pembangunan dan teknologi dalam rangka perwujudan Orde Ekonomi Internasional Baru. Sayang bahwa Konperensi Paris tidak membawa hasil seperti apa yang diharapkan negara-negara berkembang. Meskipun demikian, masalahmasalah Dialog Utara Selatan itu kini dilanjutkan pembahasannya dalam forum PBB yang dianggap sebagai badan yang paling tepat untuk merundingkan penyelesaian masalah-masalah ekonomi yang bersifat global. Dalam usaha mewujudkan Orde Ekonomi Internasional Baru yang lebih adil tersebut, Indonesia bersama-sama dengan negara-negara berkembang lainnya telah melaksanakan strategi bersama yang dikembangkan baik dalam Kelompok 77 dari Konperensi terutang Per- 215 dagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), forum Non-Blok, dan Konperensi Islam maupun OPEC. Suatu gagasan yang sangat erat menyangkut kepentingan bersama negara-negara berkembang pengekspor bahan mentah adalah program terpadu mengenai komoditi yang telah dipersiapkan oleh Kelompok 77 dari UNCTAD untuk dibahas dalam sidang UNCTAD ke-IV di Nairobi pada pertengahan tahun 1976. Unsur inti dari program tersebut ialah Dana Bersama (Common Fund) guna pembiayaan persetujuan-persetujuan internasional mengenai sejumlah komoditi antara lain dalam bentuk cada ngan penyangga. Dana Bersama ini pada prinsipnya disetujui pembentukannya oleh negara-negara industri baik dalam sidang UNCTAD ke-IV maupun dalam Konperensi Paris, akan tetapi unsur-unsur tentang tujuan, fungsi dan pembiayaannya hingga kini belum disepakati dan masih pada taraf perundingan UNCTAD. Secara keseluruhan hasil-hasil perundingan sekitar pembentukan Orde Ekonomi Internasional Baru sejauh ini belum begitu menggembirakan dan masih memerlukan perjuangan yang keras guna mencapai sasaran-sasaran yang dituju. Dalam rangka kerjasama ASEAN telah diperoleh kemajuankemajuan yang semakin nyata sejak Konperensi Tingkat Tinggi di Bali pada tahun 1976 dan di Kuala Lumpur pada tahun 1977. Kemajuan dicapai baik di bidang perdagangan dan pariwisata; industri, pertambangan dan energi; pangan, pertanian dan kehutanan; transpor dan komunikasi; maupun keuangan dan perbankan. Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN dalam sidangnya yang ke-IV dalam bulan Juni 1977 di Singapura telah menyetujui dikenakannya preferensi di dalam per dagangan antar negara ASEAN terhadap 71 barang hasil produksi ASEAN. Dalam sidang Komisi Perdagangan dan Pariwisata yang kemudian diadakan dalam bulan September 1977 disepakati tambahan 250 jenis barang yang terdiri dari 50 barang yang ditawarkan oleh masing-masing negara anggota untuk mana mereka bersedia memberikan preferensi pada sesama negara anggota ASEAN. Jumlah barang-barang tersebut kemudian diperluas lagi hingga seluruhnya diperkirakan akan mencapai lebih dari 800 jenis barang pada akhir tahun 1978. Sidang Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN yang ke-V dalam bulan September 1977 di Pattaya Thailand, juga telah me - 216 mutuskan pendirian proyek pupuk urea ASEAN di Indonesia. Selanjutnya segi-segi hukum, pemilikan, permodalan dan perdagangan sedang dalam tahap penyelesaian setelah diadakannya pembahasan di berbagai komisi yang berkepentingan. Di samping itu, feasibility study untuk proyek pupuk ASEAN di Malaysia juga telah diselesaikan, sedang feasibility study untuk proyek superfosfat di Philipina, proyek abu soda di Thailand dan proyek mesin diesel di Singapura masih dalam tahap penyelesaian. Bagi proyek-proyek industri ASEAN ini juga telah dipersiapkan suatu naskah Persetujuan Dasar untuk memperoleh persetujuan dari para Menteri Ekonomi di dalam sidang beri kutnya. Selanjutnya di bidang pangan sedang dijajagi pembentukan suatu sistem cadangan pangan yang terkoordinir secara regional. B. NERACA PEMBAYARAN 1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri Sebagai bagian dari keseluruhan kebijaksanaan pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran juga ditujukan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, merubah struktur ekonomi, menjaga kestabilan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja, dan meratakan hasilhasil pembangunan. Sesuai dengan sasaran laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam periode Repelita II, maka kebutuhan impor akan barang modal dan bahan baku serta penolong yang belum dapat atau belum cukup diproduksi di dalam negeri terus meningkat. Selanjutnya dalam rangka menjaga kestabilan harga-harga di dalam negeri maka impor barang-barang kebutuhan pokok terutama pangan, sepanjang produksi sendiri belum mencukupi, juga mendapat prioritas. Untuk dapat membiayai impor yang mcningkat tersebut maka ekspor juga ditingkatkan sehingga penyediaan devisa tidak menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi dan kestabilan ekonomi. Namun, karena ekspor tidak akan dapat meningkat dengan tanpa batas, maka di samping usaha pengembangan ekspor, kebijaksanaan di bidang neraca pembayaran juga diarahkan untuk menghemat pengeluaran devisa melalui substitusi impor. 217 Keserasian antara laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di satu pihak dan kemampuan penyediaan devisa masih belum dapat dicapai hanya dengan kebijaksanaan pengembangan ekspor dan substitusi impor seperti tersebut di atas. Oleh karena itu masih diperlukan kebijaksanaan yang lain, yaitu pemanfaatan sumber-sumber dana dari luar negeri, baik berupa pinjaman maupun penanaman modal asing. Dengan kebijaksanaan ini maka di satu pihak sasaran pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi dapat diusahakan semaksimal mungkin dan di lain pihak kemantapan neraca pembayaran masih dapat dipertahankan. Kemantapan neraca pembayaran tersebut didukung pula oleh kebijaksanaan dalam lalu lintas modal jangka pendek, pengendalian stabilitas nilai tukar rupiah, dan peningkatan cadangan devisa. Dibandingkan dengan sektor-sektor neraca pembayaran lainnya, ekspor barang dan jasa merupakan sumber penghasilan devisa yang terbesar, dan oleh karenanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan. Berkenaan dengan peningkatan ekspor, salah satu langkah kebijaksanaan yang terpenting adalah serangkaian keputusan yang tertuang dalam paket 1 April 1976. Rangkaian kebi jaksanaan ini mencakup penurunan atau penghapusan pajak eks por menurut skala kekuatan kedudukan komoditi-komoditi ekspor di pasaran internasional serta pengaruh barang yang bersangkutan pada kehidupan rakyat; keringanan dalam pungutan di daerah-daerah; serta penurunan suku bunga kredit ekspor. Dalam tahun 1977/78, berdasarkan keputusan Presiden No. 36/ 1977 bulan Juni 1977 telah dibentuk Team Koordinasi Peningkatan Ekspor ke Timur Tengah dengan maksud mencari daerah pemasaran baru yang sedang berkembang dengan pesat. Team ini tidak saja bertugas membuka pasaran baru bagi barang-barang yang selama ini telah diekspor, akan tetapi juga melapangkan jalan bagi ekspor jasa jasa kontraktor termasuk bahan bangunan dari Indonesia, ekspor tenaga kerja, dan ekspor jasa wisata. Sementara itu guna lebih meningkatkan perdagangan antar negara ASEAN, pada tanggal 1 Januari 1978 telah disetujui pemberian 218 Preferensi Perdagangan atas 71 barang ASEAN. Khusus untuk Indo nesia telah disetujui 15 macam barang yang akan mendapatkan pre ferensi. Untuk memperkuat daya saing barang-barang ekspor di pasaran dunia, sejak Januari 1978 telah dikeluarkan pula suatu peraturan baru. Berdasarkan peraturan tersebut seorang eksportir diperbolehkan melaksanakau ekspornya atas barang-barang tertentu dengan syarat pembayaran berjangka (Usance L/C), dengan jangka waktu selambatlambatnya 180 hari setelah tanggal pengapalan. Pada tanggal jatuh waktu wesel berjangka, devisa hasil ekspor tersebut wajib dijual kepada Bank lndonesia. Wesel berjangka tersebut dapat juga dijual kepada Bank Devisa sebelum tanggal jatuh waktu dengan diskonto dan kemudian dapat pula dirediskontokan kepada Bank Indonesia dengan diskonto dan cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Barang-barang tersebut di atas adalah barang-barang kerajinan tangan tekstil, tembakau, teh, pupuk, timah dan ferro nikel. Dalam rangka peningkatan mutu pada umumnya dan untuk menjaga kelangsungan ekspor kopi di pasaran internasional pada khususnya, telah dikeluarkan pula peraturan pelaksanaan ekspor kopi. Pelaksanaan ekspor kopi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan nasional yang memiliki Angka Pengenal Ekspor (APE) dan telah di tetapkan sebagai "Pedagang Kopi Terdaftar". K.opi yang boleh diekspor adalah kopi yang memenuhi standar mutu barang yang telah ditetapkan oleh Menteri Perdagangan dan harus disertai sertifikat mutu. Dengan diberlakukannya pengawasan mutu kopi, maka hingga tahun 1977/78 secara keseluruhan terdapat 9 buah komoditi ekspor yang diawasi mutunya berdasarkan standar yang telah diberlakukan, di mana 8 buah di antaranya termasuk dalarn kelompok minyak atsiri. Dalam jumlah tersebut belum diperhitungkan karet spesifikasi teknis (crumb rubber) yang sudah lama diberlakukan pengawasan mutu ekspornya. Semeutara itu sarana pengawasan mutu di pusat maupun di daerah terus disempurnakan. Untuk mendorong pengolahan lebih lanjut dari barang-barang yang dewasa ini diekspor dalarn bentuk bahan mentah maka dalam tahun 1977/78 telah dikeluarkan serangkaian peraturan baru di sek - 219 tor perkayuan. Pajak ekspor kayu yang semula ditetapkan untuk kayu gelondongan dan kayu proses masing-masing sebesar 10% dan 5 %%, berdasarkan peraturan baru ditetapkan menjadi 20% untuk kayu gelondongan dan, 0% untuk kayu hasil industri dan hasil olahan lainnya. Tarip MPO pajak perseroan bagi jenis usaha perdagangan ekspor kayu gelondongan ditetapkan sebesar Rp. 25, - setiap US dollar. Di samping itu guna mengembangkan armada angkutan kayu nasional, setiap pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan eksportir kayu diwa jibkan untuk menyisihkan dana sebesar Rp. 415,- per meter kubik kayu bulat pada setiap realisasi ekspor. Untuk mempertahankan peranan Indonesia di pasaran tradisionil dan untuk dapat memasarkan barang-barang baru, maka telah dibuka Pusat Perdagangan Indonesia di New York, London dan Hamburg. Adapun tugas utama dari pusat-pusat tersebut adalah untuk mengadakan kontak-kontak dagang langsung dengan para pembeli di luar negeri, mengadakan promosi penjualan dan penelitian pasar, membantu dan mengatur pertemuan-pertemuan misi eks por Indonesia dengan importir luar negeri, dan membantu partisipasi Indonesia dalam pameran-pameran dagang di luar negeri. Perangsang juga telah diberikan kepada kontraktor asing di bidang perminyakan untuk menggairahkan eksplorasi dan investasi agar produksi serta volume dan nilai ekspor minyak bumi selalu da pat meningkat setiap tahunnya. Kepada kontraktor yang bekerja atas dasar Kontrak Bagi Hasil, perangsang diberikan dalam bentuk ke naikan harga minyak mentah prorata untuk pengadaan dalam negeri, investment allowance sebesar 20% dari jumlah investasi baru serta penyusutan dalam jangka waktu 7 tahun. Sedangkan kepada kontraktor yang berusaha atas dasar Kontrak Karya diberikan tambahan pendapatan sebesar $ 0,50 untuk setiap barrel produksi yang berasal dari eksplorasi dan investasi baru. Perangsang-perangsang dalam bentuk tambahan pendapatan tersebut berlaku selama 5 tahun setelah dimu lainya produksi secara komersiil. Seperti telah disebut di muka, impor sebagai saluran pengadaan barang-barang yang belum dapat atau belum cukup diproduksi di dalam negeri mempunyai sumbangan yang penting bagi stabilitasi 220 dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Oleh karena itu kelancaran pengadaan barang-barang yang penting bagi perekonomian di dalam negeri mendapat prioritas yang cukup tinggi. Prinsip tersebut di tuangkan dalam ketentuan yang memperkenankan perusahaan perusahaan dalam rangka PMDN dan PMA untuk mengimpor sendiri alat-alat produksi dan bahan baku serta penolong yang diperlukan untuk proses produksi sendiri. Di samping itu, suatu perusahaan untuk keperluannya sendiri juga diperkenankan mengimpor beberapa jenis bahan baku, alat-alat produksi dan suku cadang dengan syarat pembayaran berjangka. Jangka waktu penundaan tersebut tidak boleh melampaui 180 hari setelah tanggal pengapalan barang. Untuk menjamin persediaan barang-barang kebutuhan dalam negeri dan stabilitas harganya, maka impor kopra dan minyak kelapa hanya dapat dilaksanakan oleh importir yang telah mendapatkan ijin. Penertiban diberlakukan pula dalam tataniaga cengkeh hasil produksi daerah Sabang untuk menghindari pemasukan cengkeh ex luar negeri melalui pelabuhan bebas Sabang ke daerah pabean Indonesia l ainnya. Di lain pihak, pengembangan industri substitusi impor telah menghemat pengeluaran devisa dalam jumlah yang tidak sedikit. Produksi pupuk urea, semen, benang tenun kapas, tekstil, ban, kertas dan lain-lainnya telah meningkat dengan cepat sehingga bagian yang semakin besar dari kebutuhan dalam negeri telah dapat dipenuhi dari produksi sendiri. Dalam rangka melindungi industri dalam negeri, impor barangbarang yang semula diperkenankan dengan menggunakan Merchant L/C, berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan bulan Mei 1977 tidak diperkenankan lagi. Selanjutnya berdasarkan keputusan yang sama, dalam rangka memperlancar pemeriksaan barang-barang impor maka pada tiap L/C yang dibuka untuk impor wajib dicantumkan nomor BTN-nya menurut buku tarif yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai. Selain itu pada setiap kemasan/koli barang impor, wajib dicantumkan nomor L/C bersangkutan, kecuali: container, barang curahan, barang cairan. dan barang yang diimpor tanpa kemasan. 221 Berkenaan dengan pengeluaran netto untuk sektor jasa-jasa juga selalu diusahakan penghematan sebesar mungkin. Hal ini antara lain dicapai melalui peningkatan penerimaan devisa dari sektor kepariwisataan dan penghematan pengeluaran devisa untuk sektor pengangkutan serta perminyakan. Pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing merupakan suatu sarana untuk menyalurkan faktor produksi dari luar negeri yang belum cukup tersedia di dalam negeri. Dengan perkataan lain, pemanfaatan sumber dana luar negeri tersebut adalah hanya sebagai pelengkap dana yang dapat dimobilisir dari dalam negeri. Seperti hal nya dengan tahun-tahun sebelumnya, pedoman yang dipergunakan dalam pemanfaatan pinjaman luar negeri adalah bahwa pinjaman terse but tidak boleh disertai ikatan politik, dan harus dipergunakan sesuai dengan rencana pembangunan kita sedangkan pelunasan kembali po kok beserta bunganya harus cukup ringan sehingga tidak merupakan beban yang berat di kemudian hari. Prinsip tersebut juga diterapkan untuk pinjaman-pinjaman dalam rangka fasilitas kredit ekspor dengan syarat-syarat yang kurang lunak. Dalam hubungannya dengan penanaman modal asing maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 53/1977, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bertugas membantu Presiden di bidang penanaman modal, baik dalam penetapan kebijaksanaan, pemberian perse tujuan, maupun dalam menilai pelaksanaannya. Hal ini berarti adanya pelimpahan fungsi dan wewenang yang lebih luas, sehingga calon investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia cukup berhubungan dengan BKPM saja ("one stop service"). Dengan penyederhanaan prosedur ini diharapkan agar waktu yang diperlukan oleh calon investor sejak permintaan informasi dan peng ajuan aplikasi sampai dengan dikeluarkannya ijin menjadi lebih sing kat. Juga untuk mengatur pelaksanaan tatacara penanaman modal maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 54/1977 tanggal 3 Oktober 1977, telah diatur kembali ketentuan-ketentuan pokok tentang tatacara penanaman modal. 222 2. Perkembangan Neraca Pembayaran Dalam tahun 1976/77 dan 1977/78 neraca pembayaran Indonesia kembali berhasil menunjukkan surplus, atau kenaikan dalam ca dangan devisa, sebesar masing-masing US $ 1.001 juta dan US $ 651 juta. (Lihat Tabel IV - 1). Neraca pembayaran Indonesia pulih kembali dalam tahun 1976/77 karena pada satu pihak resesi dunia telah dapat diatasi sehingga permintaan akan bahan mentah dan tingkat harga di pasaran internasional mulai meningkat kembali dan pada lain pihak akibat berhasilnya kebijaksanaan Pemerintah untuk me ningkatkan ekspor melalui paket 1 April 1976. Perkembangan yang menguntungkan ini terus berlangsung selama tahun 1977/78 walaupun pada tingkat yang lebih rendah. Surplus neraca pembayaran dalam tahun 1977/78 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan nilai ekspor. Nilai ekspor bruto telah meningkat dari US $ 9.213 juta dalam tahun 1976/77 menjadi US $ 10.714 juta dalam tahun 1977/78, atau meningkat dengan 16,3%. Peningkatan tersebut terjadi baik pada ekspor minyak maupun ekspor bukan minyak. Bahkan ekspor bukan minyak meningkat lebih pesat yaitu dari US $ 2.863 juta menjadi US $ 3.489 juta, atau meningkat dengan 21,9%, sedangkan nilai ekspor minyak hanya naik dengan 13,8%, yaitu dari US $ 6.350 juta menjadi US $ 7.225 juta. Termasuk dalam ekspor minyak ini adalah gas alam cair (LNG) yang ,sudah di-ekspor sejak semester ke dua tahun 1977/78 dengan nilai ekspor bruto sebesar US $ 138 juta. Selama empat tahun pertama Repe1ita II, kenaikan nilai ekspor bruto yang terbesar terjadi dalam tahun 1974/75, yaitu sebesar 98,9% menjadi US $ 7.186 juta. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga ekspor rninyak bumi dari US $ 4,02 setiap barre1 menjadi US $ 12,08 setiap barrel sehingga nilai ekspor minyak bumi melonjak dari US $ 1.708 juta dalam tahu.n 1973/74 menjadi US $ 5.153 juta dalam tahun 1974/75. 223 TABEL IV – 1 RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN, 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 224 TABEL IV - 2 NILAI EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI (F.O.B.), 1973/74 - 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 1973/74 Nilai 1974/75 Nilai (% kenaikan) 1976/77 1975/76 Nilai (% ke- Nilai naikan) 1977/78 1) (% ke- Nilai naikan) (% kenaikan) I. (April - Juni) II. (Juli - September) III. (Oktober - Desember) 383 449 494 627 ( 63,7) 544 ( 21,2) 449 (- 9,1) 461 475 468 (-26,5) (-12,7) ( 4,2) 620 684 761 (34,5) (44,0) (62,6) 931 896 893 (50,2) (31,0) (17,3) IV. (Januari - Maret) 579 413 (-28,7) 469 ( 13,6) 798 (70,1) 769 (-3,6) 1.905 2.033 ( 6,7) 1.873 (- 7,9) 2.863 (52,9) 3.489 (21,9) Jumlah: 1) Angka sementara. 225 TABEL IV – 3 NILAI EKSPOR (F.O.B), 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 226 GRAFIK IV – 1 NILAI EKSPOR (F.O.B), 973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 227 Dalam tahun berikutnya nilai ekspos bruto minyak bumi hanya meningkat dengan 2,3% menjadi US $ 5.273 juta. Sementara itu nilai ekspor di luar minyak bumi turun sebesar 7,9% menjadi US $ 1.873 juta. Dengan demikian maka seluruh nilai ekspor bruto dalam tahun 1975/76 turun dengan 0,6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. menjadi US $ 7.146 juta. Penurunan nilai ekspor di luar minyak bumi tersebut disebabkan oleh penurunan kegiatan ekonomi di negara-negara maju yang menjadi pasaran utama barang-barang ekspor Indonesia. Dalam tahun 1976/77 nilai ekspor bruto kembali menunjukkan kenaikan. Nilai akspor bukan minyak meningkat dengan 52,9% menjadi US $ 6.350 juta. Jadi tingkat kenaikan nilai ekspor bukan minyak kembali melebihi tingkat kenaikan dari nilai ekspor minyak bumi. Seperti telah disebut di muka, nilai ekspor bruto masih tetap meningkat dalam tahun 1977/78 hingga mencapai US $ 10.714 juta. atau meningkat dengan 16,3% apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Lihat Tabel IV - 1, Tabel IV - 2, Tabel IV - 3, dan Grafik IV - 1). Dengan tersedianya devisa dalam jumlah yang semakin besar baik yang berasal dari ekspor maupun dari sumber dana luar negeri, maka dimungkinkanlah pengeluaran devisa untuk impor yang semakin meningkat pula sehingga nilai impor telah meningkat hampir dua. setengah kali lipat dalam waktu 4 tahun. Apabila dalam tahun 1973/74 nilai impor (f.o.b.) baru mencapai US $ 3.074 juta, maka dalam tahun 1977/78 nilai impor telah mencapai US $ 7.647 juta. Kenaikan yang terbesar terjadi dalam tahun 1974/75 yaitu ketika nilai impor naik dengan 65,8% menjadi US $ 5.097 juta. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga barang-barang impor yang antara lain juga disebabkan oleh kenaikan harga minyak bumi. Dalam tahun 1975/76 nilai impor meningkat lagi dengan 6,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi US $ 5.409 juta. Kenaikan impor tersebut disebabkan kenaikan impor sektor bukan minyak, yakni dari US $ 3.822 juta menjadi US $ 4.479 juta. Se - 228 dangkan impor sektor minyak mengalami penurunan dari US $ 1.275 juta menjadi US $ 930 juta. Dalam tahun berikutnya, yakni tahun 1976/77, impor kembali menunjukkan peningkatan yang pesat lagi, yakni sebesar 32,6% menjadi US $ 7.173 juta. Selanjutnya dalam tahun 1977/78 nilai impor sektor bukan minyak menunjukkan pe ningkatan yang pesat yakni sebesar 15,8%, sedangkan impor sektor minyak yang dalam tahun 1976/77 sudah meningkat dengan 88,5% dalam tahun 1977/78 ini turun dengan 22,0%. Dengan demikian maka seluruh nilai impor dalam tahun 1977/78 hanya naik dengan 6,6% menjadi US $ 7.647 juta (lihat Tabel IV - 4, IV - 5 dan Grafik IV - 2). Laju peningkatan ekspor selama periode 1973/74 - 1977/78 ternyata melebihi laju kenaikan impor, yaitu rata -rata 31,2% untuk ekspor dibandingkan dengan 25,6% untuk impor. Dengan demikian maka surplus neraca perdagangan dalam periode tersebut juga mempunyai kecenderungan untuk menjadi semakin besar. Apabila dalam tahun 1973/74 neraca perdagangan Indonesia baru memperoleh surplus sebesar US $ 539 juta, maka dalam tahun 1977/78 surplus tersebut telah mencapai US $ 3.067 juta. Perlu dicatat di sini bahwa dalam tahun 1974/75 ketika nilai ekspor meningkat dengan besar sekali, surplus perdagangan pada waktu itu baru mencapai US $ 2.089 juta. Pengeluaran devisa untuk biaya pengangkutan dan asuransi menunjukkan kenaikan yang terus menerus sehubungan dengan mening katnya impor. Sementara itu, transfer keuntungan dari penanaman modal asing dan pembayaran bunga atas hutang-hutang luar negeri menunjukkan kenaikan. Dengan demikian maka pengeluaran netto untuk jasa-jasa dalam tahun 1977/78 telah mencapai nilai US $ 3.629 juta, atau 180% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1973/74. Kenaikan tertinggi yaitu sebesar 72,0% terjadi dalam tahun 1974/75 yang disebabkan oleh kenaikan pengeluaran netto jasa -jasa sektor minyak. Peningkatan pengeluaran untuk jasa-jasa tersebut dalam tahun 1975/76 dan 1976/77 masing-masing hanya sebesar 16,3% dan 9,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1976/1977 pengeluaran netto jasa-jasa sektor minyak mengalami penurunan sebesar 26,4% dari tahun sebelumnya, yaitu dari US $ 1.205 229 juta menjadi US $ 887 juta. Hal ini disebabkan oleh penurunan pen dapatan kontraktor minyak asing sebagai hasil dari kebijaksanaan b a r u P e m e r i n t a h d i s e k t o r p e r mi n y a k a n ( Li h a t T a b e l I V - 1 ) . Berdasarkan perkembangan ekspor, impor, dan jasa-jasa seperti tersebut di atas maka transaksi berjalan dalam tahun 1977/78 me nunjukkan defisit sebesar US $ 562 juta, atau menurun dengan 29,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun perinciannya ada lah defisit sektor bukan minyak meningkat menjadi US $ 5.056 juta dan surplus sektor minyak naik menjadi US $ 4.494 juta. Perlu dicatat di sini bahwa defisit transaksi berjalan ini telah mengalami pe nurunan terus menerus dalam dua tahun terakhir yaitu dari US $ 854 juta dalam tahun 1975/76, turun menjadi US $ 802 juta dalam tahun 1976/77, kemudian turun lagi menjadi US $ 562 juta dalam tahun 1977/78. Pemasukan dana luar negeri, yang berupa realisasi dari perse tujuan pinjaman Pemerintah dalam tahun-tahun sebelumnya juga mengalami kenaikan selama empat tahun pertama Repelita II ini. Dalam tahun 1973/74 realisasi penggunaan pinjaman luar negeri mencapai US $ 643 juta. Dalam tahun 1974/75 dan 1975/76 jumlah tersebut meningkat menjadi masing-masing US $ 660 juta dan US $ 1.995 juta. Kenaikan yang besar dalam tahun 1975/76 terutama disebab kan oleh adanya pinjaman tunai sebesar US $ 1.049 juta guna menga tasi kemerosotan cadangan devisa sehubungan dengan masalah kesulitan keuangan Pertamina. Di samping itu, mulai tahun tersebut mu lai diperoleh pula pinjaman dalam rangka kredit ekspor sebesar US $ 390 juta. Dalam tahun-tahun berikutnya pinjaman tunai sudah tidak diperlukan lagi. Akan tetapi sementara itu guna meningkatkan pembangunan, pinjaman proyek lain termasuk kredit ekspor naik menjadi US $ 1.163 juta, dan pinjaman dalam rangka bantuan program dan bantuan proyek naik menjadi US $ 660 juta, sehingga secara keseluruhan pinjaman Pemerintah dalam tahun 1976/77 hanya turun dengan 8,6%. Dalam tahun 1977/78 realisasi pinjaman Pemerintah kembali menunjukkan kenaikan yaitu sebesar 16,4% menjadi US $ 2.122 juta, dengan perincian bantuan program sebesar US $ 173 juta bantuan proyek US $ 661 juta, dan pinjaman proyek lain sebesar US $ 1.288 juta (Lihat Tabel IV - 1). 230 TABEL IV – 4 NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK BUMI (F.O.B), 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 231 TABEL IV – 5 NILAI IMPOR (F.O.B), 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 232 GRAFIK IV – 2 NILAI IMPOR (F.O.B), 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 233 Bersamaan dengan meningkatnya realisasi penggunaan pinjaman luar negeri yang ditanda tangani sesudah Juli 1966 maka pembayaran kembali hutang-hutang tersebut juga mulai meningkat. Kalau dalam tahun 1974/75 dan 1975/76 pelunasan pokok pinjaman Pemerintah yang ditanda tangani setelah Juli 1966 baru mencapai masing -masing US $ 19 juta dan US $ 27 juta, maka dalam tahun 1976/77 dan 1977/78 jumlah tersebut telah meningkat menjadi US $ 101 juta dan US $ 675 juta. Dengan demikian maka meskipun pelunasan pokok hutang-hutang sebelum Juli 1966 belum pernah melebihi US $ 70 juta setahun, namun pelunasan pokok pinjaman Pemerintah se luruhnya telah meningkat terus dari US $ 81 juta dalam tahun 1973 / 74 menjadi US $ 744 juta dalam tahun 1977/78. Kenaikan terbesar terjadi dalam tahun 1977/78 yaitu sebesar 348,2% terutama oleh karena pelunasan pinjaman tunai yang bertalian erat dengan masala h hutang-hutang luar negeri Pertamina. Perkembangan sektor pemasukan modal lain dalam tiga tahun pertama Repelita II sangat dipengaruhi oleh masalah keuangan Per tamina dan perkembangan ekonomi dunia. Dalam tahun 1974/75 dan 1975/76, pemasukan modal lain netto selalu menunjukkan arus netto keluar yaitu masing-masing sebesar US $ 131 juta dan US $ 1.075 juta. Hal ini terutama disebabkan karena dalam tahun 1974/75 Pertamina tidak memenuhi kewajiban untuk menyerahkan-sebagian dari hasil devisa minyak kepada Pemerintah dan adanya pembayaran hu tang-hutang jangka pendek Pertamina, dan dalam tahun 1,975/76 terdapat pembayaran kembali hutang-hutang Pertamina sebesar US $ 1.468 juta. Selanjutnya dalam tahun 1976/77 pelunasan jangka pendek Pertamina turun menjadi US $ 98 juta, sehingga pemasukan modal lain menunjukkan arus masuk netto sebesar US $ 38 juta. Dalam tahun 1977/78 pemasukan modal netto berjumlah US $ 21 juta, yang berarti turun sebesar US $ 17 juta dibandingkan de ngan tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan karena pinjaman untuk proyek-proyek yang berkaitan dengan sektor minyak berkurang dari US $ 883 juta dalam tahun 1976/77 menjadi U S $ 343 juta dalam tahun 1977/78. Pinjaman untuk proyek-proyek LNG dan Krakatau Steel dalam tahun 1977/78 telah berkurang dengan US $ 551 juta menjadi US $ 223 juta. Di samping itu telah terjadi 234 kenaikan dalam pelunasan pinjaman dalam rangka investasi modal asing sebanyak US $ 80 juta dibandingkan dengan tahun 1976/77. Sebaliknya realisasi investasi modal asing netto hanya menunjukkan kenaikan sebesar US $ 78 juta dalam tahun 1977/78 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selanjutnya defisit pada pos pemasukan modal lainnya dapat dikurangi dari US $ 749 juta dalam tahun 1976/ 77 menjadi US $ 365 juta dalam tahun 1977/78. Setelah memperhitungkan perkembangan transaksi berjalan dan transaksi modal seperti diuraikan di atas, maka secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia dalam tahun 1973/74 menunjukkan surplus sebesar US $ 360 juta, sehingga pada akhir tahun anggaran tersebut cadangan devisa meningkat menjadi US $ 930 juta. Dalam beberapa bulan berikutnya cadangan devisa tersebut masih meningkat dengan cepat sehingga mencapai jumlah lebih dari US $ 1,5 milyar. Akan tetapi secara tiba-tiba cadangan devisa merosot dengan pesat sekali sehingga dalam bulan Desember 1975 tinggal sekitar US $ 0,5 milyar sebagai akibat langsung dari krisis Pertamina. Cadangan devisa yang dipupuk dengan susah payah dan secara berhati-hati selama bertahun-tahun itu terpaksa dipergunakan untuk membayar kembali hutang-hutang luar negeri Pemerintah. Berkat ketekunan serta kesungguhan Pemerintah dalam mengatasi segala macam akibat krisis Pertamina, termasuk penghematan yang drastis dalam penggunaan devisa, serta berhasilnya kebijaksanaan Pemerintah dalam meningkatkan ekspor (Paket 1 April 1976) maka posisi cadangan devisa Indonesia dapat diperbaiki kembali sehingga mencapai lebih dari US $ 2,2 milyar pada akhir Maret 1978. C. EKSPOR Ekspor Indonesia selama tahun 1977/78 tetap bergerak ke arah yang meningkat. Kebijaksanaan pengembangan ekspor di dalam negeri dan tingkat kegiatan ekonomi serta perkembangan pasaran nega ra-negara maju merupakan faktor pendorong yang telah memungkinkan, nilai ekspor dalam tahun 1977/78 dni mencapai US $ 10.714 juta, atau meningkat dengan 16,3% dibandingkan dengan tahun sebe 235 11 lumnya. Seperti halnya dengan tahun 1976/77, nilai ekspor bukan minyak meningkat dengan lebih cepat dibandingkan dengan ekspor minyak bumi, yaitu dengan 21,9% dibandingkan dengan 1 3,0% untuk minyak meskipun untuk tahun 1977/78 tersebut di dalam eks por minyak bumi sudah termasuk ekspor gas alam cair (LNG). Per kembangan selama dua tahun terakhir tersebut telah meningkatkan peranan ekspor bukan minyak dari 26,2% niilai ekspor dalam tahun 1975/76 menjadi 32,6% dalam tahun 1977/78. Nilai ekspor di luar minyak bumi per triwulan dalam periode 1973/74 - 1977/78 juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Apabila dalam tahun 1973/74 rata-rata nilai ekspor per triwulan baru mencapai US $ 476 juta, maka dalam tahun 1977/78 ini sudah mencapai US $ 872 juta. Seperti terlihat pada Tabel IV - 2, perkembangan ekspor per triwulan menunjukkan gelombang naik turun. Fluktuasi tersebut mencerminkan naik turunnya perekonomian negara-negara maju yang menjadi pasaran utama komoditi ekspor Indo nesia. Dibandingkan dengan ekspor di luar minyak bumi, nilai ekspor minyak bumi meningkat dengan lebih stabil. Hal ini disebabkan karena baik harga minyak bumi Indonesia maupun volume ekspornya tidak berfluktuasi. Selama periode empat tahun, nilai ekspor minyak bumi telah meningkat lebih dari empat kali, yakni dari US $ 1.708 juta dalam tahun 1973/74 menjadi US $ 7.225 juta ter masuk LNG dalam tahun 1977/78. (Lihat Tabel IV - 3). Di luar minyak dan gas bumi, nilai ekspor kayu dalam bebera pa tahun terakhir ini terus menduduki tempat teratas. Nilai ekspor kayu dalam tahun 1977/78 adalah sebesar US $ 924,7 juta dengan volume 15,7 juta ton. Angka tersebut menunjukkan adanya kenaikan nilai sebesar 6,7% meskipun volume ekspor turun dengan 0,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan nilai ekspor kayu tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan ekspor jenis kayu olahan yang mempunyai satuan harga yang jauh lebih tinggi. Dalam tahun 1975/76, nilai ekspor kopi masih menempati urut an kelima setelah kayu, karet, timah dan minyak kelapa sawit. Dalam tahun 1976/77, nilai ekspor komoditi tersebut telah meningkat k e 236 urutan ketiga setelah kayu dan karet. Hal ani terutama disebabkan oleh karena kenaikan harga kopi di pasaran dunia dalam tahun 1976/77 yang telah meningkatkan nilai ekspor kopi dengan 195,2% walaupun volumenya hanya naik dengan 0,1%. Meningkatnya harga kopi tersebut disebabkan oleh berkurangnya penawaran kopi dari beberapa negara pengekspor kopi di Afrika dan Amerika Latin. Kenaikan nilai ekspor kopi terus berlangsung dalam tahun 1977/78 sehingga mencapai nilai US $ 625,8 juta, atau meningkat dengan 87,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan nilai ekspor kopi dalam tahun 1977/78 tersebut selain disebabkan oleh kenaikan harga juga oleh peningkatan volume ekspor, yakni sebesar 26,0% menjadi 179,0 ribu ton. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa dalam tahun 1973/74 ekspor kopi baru mencapai 95,8 ribu ton dengan nilai sebesar US $ 79,0 juta dan hanya menduduki tempat keenam, sedangkan dalam tahun 1977/78 nilai ekspor kopi menduduki tempat kedua setelah kayu dalam urutan ekspor di luar mi nyak dan gas bumi. Ekspor karet dalam tahun 1977/78 berjumlah 872,9 ribu ton dengan nilai US $ 608,5 juta, yang berarti suatu penurunan sebesar 2,0% untuk volume dan kenaikan sebesar 5,7% dalam nilai dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan nilai ekspor karet tersebut disebabkan oleh kenaikan harga dan perbaikan mutu karet ekspor. Harga karet RSS III di New York dalam tahun 1977/78 meningkat dengan 3,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun nilai ekspornya meningkat, akan tetapi untuk tahun 1977/78 ini karet menduduki urutan yang ketiga sete lah kayu dan kopi dalam seluruh nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi. Ekspor timah dalam tahun 1977/78 menempati urutan keempat setelah kayu, kopi dan karet. Dibandingkan dengan tahun 1973/74 volume dan nilai ekspor timah dalam tahun 1974/75 meningkat masing-masing dengan 12,4% dan 69,8%. Seteaah mengalami penurunan dalam tahun 1975/76, dalam tahun berikutnya volume dann nilai ekspor timah kembali meningkat masing-masing dengan 26,8% untuk volume dan 14,3 % untuk nilai sehingga mencapai 27,0 ribu ton dengan nilai US $ 181,1 juta. Selama tahun 1977/78 nilai ekspor 237 timah meningkat lagi dengan 39,4% menjadi US $ 252,4 juta, wa laupun volume ekspornya menurun dengan 8,3% menjadi 24,3 ribu ton. Ekspor minyak sawit, teh, lada dan tembakau, juga menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Meskipun konsumsi dalam negeri meningkat terus, akan tetapi volume ekspor minyak sawit setiap ta hunnya juga masih dapat ditingkatkan. Dalam tahun 1973/ 74 volume ekspor minyak sawit baru mencapai 277,8 ribu ton dengan nilai US $ 89,4 juta. Ekspor tersebut dalam tahun 1977/78 telah mening kat menjadi 438,3 ribu ton dengan nilai US $ 201,8 juta. Dengan demikian maka ekspor minyak sawit tetap menduduki urutan kelima. Nilai ekspor teh dalam tahun 1974/75 naik dengan 59,0% diban dingkan dengan tahun sebelumnya sedangkan volumenya hanya meningkat dengan 11,6%. Setelah mengalami stagnasi dalam tahun 1975/76, nilai ekspom teh kembali meningkat dengan cepat yaitu dengan 27,6% dalam tahun 1976/77 dan 89,9% dalam tahun 1977/78. Volume dan nilai ekspor teh untuk 1977/78 tersebut adalah 60,1 ribu ton dengan nilai US $ 120,4 juta. Ekspor lada menghadapi persaingan yang kuat dengan negara produsen dan eksportir lainnya seperti India dan Malaysia. Meskipun demikian volume dan nilai ekspor lada masih dapat ditingkatkan dari 25,2 ribu ton dengan nilai US $ 30,7 juta dalam tahun 1973/ 74 menjadi 30,9 ribu ton dengan nilai US $ 67,4 juta dalam tahun 1977/78. Dalam hal tembakau, volume ekspor sejak tahun 1974/75 mengalami stagnasi di sekitar 25 ribu ton. Meskipun demikian, ber kat harga di pasaran internasional yang berkecend erungan naik, maka nilai ekspor tembakau masih dapat meningkat dari US $ 35,6 juta dalam tahun 1974/75 menjadi US $ 59,2 juta dalam tahun 1977/78. Ekspor barang-barang lainnya kecuali kopra yang sudah tidak diekspor lagi, pada umumnya menunjukkan suatu peningkatan seperti hewan dan hasil hewan lainnya dan biji sawit. Adapun perkembangan volume dan nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi beserta perkembangan harga-harganya dapat dilihat pada Tabel IV - 6, Tabel IV - 7, dan Grafik IV - 3 serta Grafik IV - 4. 238 TABEL IV – 6 VOLUME DAN NILAI 1) BEBERAPA BAHAN EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI, 1973/74 – 1977/78 (volume dalam ribuan ton dan nilai dalam jutaan US dollar) 239 TABEL IV – 7 HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1) 1973/74 – 1977/78 240 GRAFIK IV – 3 NILAI BEBERAPA BAHAN EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI, 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US dollar) 241 (Lanjutan Grafik IV – 3) 242 (Lanjutan Grafik IV – 3) 243 (Lanjutan Grafik IV – 3) 244 (Lanjutan Grafik IV – 3) 245 GRAFIK IV – 4 HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1973/74 – 1977/78 246 247 (Sambungan Grafik IV – 4) 248 D. IMPOR Keperluan akan bahan baku dan penolong, barang modal, serta barang konsumsi juga semakin besar sesuai dengan peningkatan kegiatan produksi, investasi, dan kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sepanjang barang-barang tersebut belum dapat atau belum cukup diproduksi di dalam negeri, maka diperlukan impor. Selama period e 1973/74 - 1977/18 nilai impor telah meningkat dari US $ 3.074 juta menjadi US $ 7.647 juta, atau meningkat dengan rata-rata 25,6% per tahun. Sebagian besar dari kenaikan ini terjadi pada sektor di luar minyak dan gas bumi, yaitu dari US $ 2.613 juta dalam tahun 1973/74 menjadi US $ 6.279 juta dalam tahun 1977/78, sedangkan impor sektor minyak dan gas bumi hanya meningkat dari US $ 461 juta menjadi US $ 1.368 juta. Nilai impor sektor minyak pernah mencapai US $ 1.753 juta yaitu dalam tahun 1976/77 hal mana disebabkan karena kenaikan impor dalam rangka proyek pengilangan Cilacap. Perkembangan impor sektor di luar minyak dan gas bumi me nunjukkan bahwa impor barang konsumsi yang sudah mulai turun dalam tahun 1974/75 dan 1975/76 ternyata meningkat lagi dalam tahun 1976/77 menjadi US $ 1.226,6 juta. Hal ini berarti suatu kenaikan sebesar 55,2 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya impor beras sebagai salah satu komponen, impor pangan, dari US $ 136,2 juta menjadi US $ 386,4 juta. Impor pangan dalam tahun 1976/77 telah naik dengan 64,3 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan impor barang konsumsi bukan pangan meningkat dengan 42,0 % sehingga masing-masing mencapai US $ 766,5 juta dan US $ 460,1 juta. Untuk tahun 1977/78 impor barang konsumsi meningkat lagi dengan 26,7% menjadi US $ 1.554,3 juta akibat impor beras yang naik dengan US $ 325,9 juta atau pertambahan sebesar 84,3% dibandingkan dengan tahun 1976/77. Impor bahan baku dan penolong menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat kecuali benang tenun kapas dan semen. Nilai impor bahan baku dan penolong telah naik dari US $ 1.167,2 juta dalam tahun 1973/74 menjadi US $ 1.503,1 juta dalam tahun 1977/ 249 78. Peningkatan terbesar terjadi dalam tahun 1974/75 yakni dari US $ 1.167,2 juta menjadi US $ 2.102,6 juta disebabkan kenaikan impor pupuk yang sangat besar, yakni dari US $ 235,4 juta menjadi US $ 1.108,2 juta, dalam rangka menambah persediaan pupuk di dalam negeri. Dalam tahun berikutnya impor pupuk turun dengan dras tis menjadi US $ 89,3 juta, sehingga nilai impor bahan baku dan penolong menjadi normal kembali yaitu sebesar US $ 1.191,6 juta. Impor pupuk ini menurun lagi dalam tahun 1976/77 menjadi US $ 14,2 juta, tetapi kemudian kembali naik menjadi US $ 40,2 juta dalam tahun 1977/78. Dengan semakin meningkatnya produksi dalam negeri, maka impor benang tenun kapas dan semen secara bertahap dapat diperkecil. Dalam tahun 1977/78 nilai impor benang tenun kapas dan semen masing-masing sebesar US $ 4,3 juta dan US $ 24,2 juta. Impor bahan baku dan penolong lainnya semakin meningkat sesuai dengan pertumbuhan produksi di sektor masing-masing. Seperti halnya dengan kelompok barang impor lainnya, impor barang modal juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat, se suai dengan peningkatan pembentukan modal dalam negeri. Nilai impor barang modal telah meningkat dari US $ 779,8 juta dalam tahun 1973/74 menjadi US $ 1.712,3 juta dalam tahun 1977/78. Dalam periode tersebut, impor yang terbesar terjadi dalam tahun 1975/76 yaitu sebesar US $ 2.641,2 juta, ketika impor aparat penerima dan pemancar meningkat dari US $ 50,4 juta menjadi US $ 525,5 juta, dan impor lain-lain barang modal meningkat dari US $ 692,8 juta menjadi US $ 1.409,2 juta. Dilihat dari segi komposisi impor di luar minyak dan gas bumi, arah kecenderungan ternyataa tidak sesuai dengan yang diperkirakan semula. Persentase impor barang konsumsi yang diperkirakan dapat turun setiap tahunnya ternyata meningkat dalam dua tahun terakhir yakni dari 17,1 % dalam tahun 1975/76 menjadi 28,9% dalam tahun 1976/77, dan 32,6% dalam tahun 1977/78. Dalam hal impor bahan bahan baku dan penolong peranannya menurun dalam tahun 1975/76 sebagai akibat turunnya impor pupuk dengan lebih dari US $ 1 mil yar. Kemudian dalam tahun 1976/77 dan 1977/78 nilai impor bahan baku dan penolong kembali meningkat dan masing-masing merupakan 30 ,9 % d an 3 1,5 % dar i selur uh nilai imp or tanp a min yak d an gas 25 0 TABEL IV-8 PERKEMBANGAN IMPOR TANPA MINYAK BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI 1) 1973/74 - 1977/78 (dalam persentase) Golongan Ekonomi 1976/77 2) 1977/78 3) 1973/74 1974/75 1975/76 1. Barang Konsumsi 2. Bahan Baku/Penolong 33,9 39,6 22,0 49,8 17,1 25,8 28,9 30,9 32,6 31,5 3. Barang Modal 26,5 28,2 57,1 40,2 35,9 Jum1ah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 1) Berdasarkan pembukaan L/C 2 ) Angka diperbaiki 3 ) Angka sementara 251 TABEL IV – 9 PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR MINYAK BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI 1) 1973/74 – 1977/78 (c.i.f. dalam jutaan US dollar) 252 GRAFIK IV – 5 PERKEMBANGAN IMPOR TANPA MINYAK BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI 1973/74 – 1977/78 (dalam persentase) 253 bumi (Lihat Tabel IV - 8, Tabel IV - 9, dan Grafik 1V - 5). Untuk impor barang modal, sejak tahun 1975/76 secara absolut nilai impornya adalah yang paling besar. Secara relatif peranan impor ba rang modal menjadi turun dalam dua tahun terakhir, dari 57,1% dalam tahun 1975/76 menjadi 40,2% dalam tahun 1976/77 dan 35,9% dalam tahun 1977/78. E. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH Untuk menunjang peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, sumber dana luar negeri sebagai pelengkap dari dana dalam negeri juga diperlukan untuk menambah penyediaan devisa bagi pembiayaan impor yang berhubungan dengan program dan proyek-proyek pembangunan. Dana luar negeri tersebut dimaksudkan untuk melengkapi faktor-faktor produksi yang belum dapat dihasilkan atau belum cukup tersedia di dalam negeri, untuk mendapatkan teknologi yang lebih baik dan keahlian serta ketrampilan berusaha. Pedoman Pemerintah dalam mengusahakan pinjaman luar negeri adalah bahwa pinjaman tersebut tidak boleh disertai dengan ikatan politik, bahwa pinjaman tersebut harus digunakan untuk kegiatan kegiatan pembangunan yang produktif dan bermanfaat serta yang meningkatkan kemampuan untuk membangun dengan kekuatan sendiri di kemudian hari. Pedoman tersebut juga tercermin dalam pelaksa naan persetujuan pinjaman Pemerintah, di mana syarat-syaratnya tidak terlampau keras sehingga diharapkan tidak merupakan beban yang berat di kemudian hari, serta pengarahan penggunaan yang se lalu dikaitkan dengan program-program dan proyek-proyek pembangunan sehingga manfaatnyapun jelas kelihatan. Pinjaman tersebut juga tidak dimaksudkan untuk mengakibatkan ketergantungan seperti yang tercermin dari peranan dana luar negeri yang semakin menurun dalam pembiayaan pembangunan. Sampai dengan tahun 1974/75 seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah berasal dari negara-negara atau badan anggota IGGI dan dengan syarat yang lunak. Persetujuan pinjaman dalam tahun 1973/ 74 dan 1974/75 adalah sebesar masing-masing US $ 856,1 juta dan US $ 1.131,5 juta. 254 Dilihat dari segi komposisinya, bantuan tersebut mengalami pergeseran yakni dari bantuan program (devisa kredit dan bantuan pangan) ke bantuan proyek. Apabila dalam tahun 1973/74 bantuan proyek merupakan 60,4% dari seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah, maka dalam tahun 1974/75 bantuan tersebut meningkat menjadi 83,6 %. Dengan semakin langkanya dana-dana pinjaman dengan syarat yang lunak di satu pihak dan kebutuhan kita untuk meningka tkan laju pembangunan di lain pihak maka sejak tahun 1974/75 mulai di jajagi langkah-langkah untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman yang bersifat kurang lunak. Usaha tersebut ternyata baru dapat direalisasi kan dalam tahun 1975/76 terutama dalam bentuk kredit ekspor. Sementara itu timbul pula masalah Pertamina yang kemudian mengganggu keadaan neraca pembayaran sehingga dirasakan keperluan pinjaman tunai untuk memperkuat cadangan devisa. Dengan demi kian maka mulai tahun 1975/76, di samping pinjaman lunak yang diperoleh dalam rangka IGGI, Indonesia juga memperoleh pinjaman setengah lunak dan komersiil (untuk proyek-proyek dari negara-negara IGGI, terutama dalam bentuk kredit ekspor dan dari negaranegara bukan IGGI serta pinjaman tunai di luar IGGI). Jumlah persetujuan pinjaman yang diperoleh dalam tahun 1975/ 76 adalah US $ 4.339 juta. Dari jumlah tersebut sebesar US $ 1.138,4 juta adalah pinjaman dalam rangka IGGI yang bersifat lunak, sejumlah US $ 1.693,9 juta dalam bentuk kredit ekspor dari negara negara dan badan anggota IGGI, sejumlah US $ 437,9 juta berbentuk pinjaman untuk proyek lainnya dengan syarat yang kurang lunak atau komersiil, dan pinjaman tunai sebesar US $ 1.048,8 juta. Perlu dike mukakan disini bahwa jumlah persetujuan tersebut baru menjadi beban pada neraca pembayaran setelah pinjaman tersebut digunakan. Angka-angka penggunaan inilah yang digambarkan dalam neraca pembayaran. Dalam tahun 1976/77 jumlah persetujuan pinjaman luar negeri Pemerintah berjumlah US $ 2.528,4 juta yang terdiri dari pinjaman dalam rangka IGGI sebesar US $ 1.743,7 juta dan di luar IGGI se besar US $ 784,7 juta. 255 Sebagian besar (65%) dari persetujuan pinjaman dalam rangka IGGI tersebut berasal dari pinjaman lunak dan 35% berupa pinjaman setengah lunak, dibandingkan dengan 40% berupa pinjaman lunak dan 60% pinjaman tidak lunak dalam tahun 1975/76. Persetujuan pinjaman selama tahun 1977/78 mencapai jumlah US $ 2.035,8 di mana US $ 1.835,8 juta berasal dari IGGI. Dari pinjaman IGGI tersebut yang berupa pinjaman lunak antara lain berasal dari Bank Dunia US $ 550,0 juta, Jepang US $ 202,3 juta, Bank Pembangunan Asia US $ 150,0 juta, Amerika Serikat US $ 135,4 juta dan dari negara-negara lain sebesar US $ 198,1 juta. Pinjaman kurang lunak dalam rangka IGGI untuk tahun 1977/78 diperkirakan seluruhnya berjumlah US $ 600 juta sedangkan pinjaman proyek lainnya di luar IGGI diperkirakan sebesar US $ 200 juta (lihat Tabel IV 10, Tabel IV - 11. Tabel IV - 12 dan Grafik IV - 6). Pelunasan kembali hutang-hutang luar negeri termasuk bunga pinjaman meningkat terus sejak tahun 1973/74, karena di samping hutang-hutang lama, hutang-hutang barupun mulai harus dilunasi. (Lihat Tabel IV - 1 dan Tabel IV - 13). Meskipun demikian sampai dengan tahun 1976/77 jumlah pelunasan tersebut dinyatakan sebagai persentase terhadap nilai ekspor termasuk minyak dan gas bumi atas dasar netto belum pernah melebihi 7%. Untuk tahun 1977/ 78 pelunasan pinjaman Pemerintah melonjak menjadi US $ 1.100 juta, atau 13,8 % dari penghasilan ekspor netto. Kenaikan yang menyolok ini terutama disebabkan oleh pembayaran kembali pinjaman tunai yang bertalian erat dengan masalah keuangan Pertamina. 256 TABEL IV – 10 PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1) 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US Dollar) 257 GRAFIK IV – 6 PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH DALAM RANGKA IGGI (PINJAMAN LUNAK) 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US Dollar) 258 TABEL IV – 11 KOMPOSISI PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1) 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan UD Dollsr) 259 TABEL IV – 12 PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, 1973/74 – 1977/78 (dalam jutaan US Dollar) 260 TABEL IV - 13 PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH 1973/74 - 1977/78 (dalam jutaan US dollar) Pelunasan ¹) Pinjaman Nilai 2) Ekspor 1973/74 1974/75 131 147 2.546 4.671 (5,1) (3,1) 1975/76 1976/77 204 406 5.011 6.573 (4,1) (6,2) Tahun 1977/78 ³) 1.100 7.983 4) (% dari Nilai Ekspor) (13,8) 1 ) 2 Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah ) Termasuk ekspor minyak bumi atas dasar netto 3) Angka sementara 4 ) Termasuk gas bumi (LNG) 261