TEKNIK PENGOLAHAN HASIL EVALUASI MAKALAH Makalah ini disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika Tahun Akademik 2020/2021 Dosen Pengampu: Sri Tirto Madawistama., Dr., S.Pd., M.Pd. Kelompok 9: 192151071 Yati Restiani 192151076 Kemas 192151092 Irfan Nurhidayat 192151113 Kuncoro Dwi Widodo PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SILIWANGI TAHUN 2021 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul ”Teknik Pengolahan Hasil Evaluasi”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika. Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua yang senantiasa memberikan doa dan motivasi kepada kami selama penyusunan makalah ini; 2. Bapak Sri Tirto Madawistama., Dr., S.Pd., MPd. selaku dosen mata kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika; 3. Kerabat-kerabat dekat dan rekan-rekan seperjuangan Universitas Siliwangi yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi selama penyusunan Makalah ini; 4. Serta semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT, memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada kami. Kami menyadari, bahwa makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal sistematika penulisan, maupun isi. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan Makalah ini.Semoga Makalah ini memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin. Tasikmalaya, 08 April 2021 Tim Penyusun ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii DAFTAR ISI ...................................................................................................................iii BAB I ................................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 A.LATAR BELAKANG .................................................................................................. 1 B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................................. 1 C. TUJUAN ....................................................................................................................... 1 BAB II .............................................................................................................................. 3 PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3 A.TEKNIK PENGOLAHAN HASIL TES ....................................................................... 3 B. SKOR TOTAL ............................................................................................................ 18 C. KONVERSI SKOR .................................................................................................... 20 D.CARA MEMBERI SKOR UNTUK SKALA SIKAP ................................................ 22 E. CARA MEMBERI SKOR UNTUK DOMAIN PSIKOMOTOR .............................. 30 F. PENGOLAHAN DATA HASIL TES PAP DAN PAN ............................................. 34 BAB III ........................................................................................................................... 48 PENUTUP ...................................................................................................................... 48 A.KESIMPULAN ........................................................................................................... 48 B. SARAN ....................................................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 49 iii BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Evaluasi pembelajaran merupakan salah satu bagian yang penting dalam kegiatan belajar mengajar, hal ini disebabkan dengan adanya evaluasi dapat mengetahui kelemahankelemahan dan kekurangan serta perkembangan proses belajar mengajar dan masih banyak hal lain yang berhubungan dengan pentingnya dan tujuan evaluasi. Peningkatan ataupun penurunan dari suatu proses pembelajaran dapat dilihat setelah adalah proses evaluasi . Dewasa ini terkadang para pendidik tidak begitu memperdulikan teknik-teknik yang baik dalam menyelenggarakan suatu instrumen dan ilmu-ilmu yang ada dalam evaluasi pembelajaran. Padahal sebbelum dilakukannya proses evaluasi kita perlu memperhatikan teknik-teknik pelaksanaan suatu instrumen, macam-macamnya, pemilihan soal-soal yang baik, cara penskoran, pengolahannya dan lain sebagainya. Perlu untuk diperhatikan juga oleh para pendidik tentang pentingnya menguasai ilmu tentang teknik pengolahan hasil evaluasi. Dengan ilmu ini maka tidak dikhawatirkan terjadi ketidak adilan dalam pemberian nilai pada peserta didik. Oleh sebab itu, dalam makalah ini kami menuliskan beberapa hal terkait dengan teknik pengolahan hasil evaluasi diantaranya, teknik pengolahan hasil tes, skor total, konversi skor, cara memberi skor untuk skala sikap, cara memberi skor untuk domain psikomotor, dan pengolahan data hasil tes PAP dan PAN. B. RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah dari pembahasan yang akan dibahas adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan teknik pengolahan hasil tes? 2. Apa yang dimaksud dengan skor total? 3. Apa yang dimaksud dengan konversi skor? 4. Bagaimana cara memberi skor untuk skala sikap? 5. Bagaimana cara memberi skor untuk domain psikomotor 6. Bagaimana pengolahan data hasil tes PAP dan PAN? C. TUJUAN Berdasarkan rumusan masalah tersebut, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan : 1 1. Teknik pengolahan hasil tes 2. Skor total 3. Konversi skor 4. Cara memberi skor untuk skala sikap 5. Cara memberi skor untuk domain psikomotor 6. Pengolahan data hasil tes PAP dan PAN. 2 BAB II PEMBAHASAN A. TEKNIK PENGOLAHAN HASIL TES Banyak guru yang sudah mengumpulkan data hasil tes dari peserta didiknya, tetapi tidak memperhatikan cara mengolahnya sehingga data tersebut menjadi mubazir (data tanpa makna). Sebaliknya, jika hanya ada data yang relative sedikit, tetapi sudah mengetahui cara pengolahannya, maka data tersebut akan mempunyai makna. Pada umumnya, pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistic. Analisis statistic digunakan jika ada data kuantitatif, yaitu datadata yang berbentuk angka, sedangkan untuk data kualitatif, yaitu data yang berbentuk kata-kata, tidak dapat diolah dengan statistic. Prosedur pelaksanaan pengolahan hasil penilaian adalah sebagai berikut : 1. Menskor, yakni memberikan skor pada hasil penilaian yang dapat dicapai oleh responden (peserta didik). Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan 3 (tiga) macam alat bantu, yakni kunci jawaban, kunci skoring dan pedoman pengangkaan. Tiga macam alat bantu penskoran atau pengangkaan berbeda-beda cara penggunaannya untuk setiap butir soal yang ada dalam alat penilai. 2. Mengubah skor mentah menjadi skor standar, yakni kegiatan evaluator menghitung untuk mengubah skor yang diperoleh peserta didik yang mengerjakan alat penilaian disesuaikan dengan norma yang dipakai. 3. Mengkonversikan skor standar ke dalam nilai, yakni kegiatan akhir dari pengolahan hasil penilaian yang berupa pengubah skor ke nilai, baik berupa huruf atau angka. Hasil pengolahan hasil penilaian ini akan digunakan dalam kegiatan penafsiran hasil penilaian. Untuk memudahkan penafsiran hasil penilaian, maka hasil akhir pengolahan hasil penilaian dapat diadministrasikan dengan baik. Dalam bukunya Zainal Arifin ditambah satu prosedur lagi yaitu melakukan analisis soal (jika diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan reabilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty index), dan daya pembeda. Jika data sudah diolah dengan aturan-aturan tertentu, langkah selanjutnya adalah menafsirkan data sehingga dapat memberikan makna. Langkah penafsiran data sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengolahan data itu sendiri, karena setelah mengolah data dengan sendirinya akan menafsirkan hasil pengolahan itu. Interpretasi terhadap suatu hasil evaluasi didasarkan atas kriteria tertentu yang disebut norma. Norma bisa ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan sistematis sebelum kegiatan evaluasi dilaksanakan, tetapi dapat pula dibuat berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dalam melaksanakan evaluasi. Sebaliknya, jika penafsiran data itu tidak berdasarkan kriteria atau norma tertentu, maka itu termasuk kesalahan besar. Dalam kegiatan penilaian hasil belajar, guru dapat menggunakan kriteria yang bersumber pada tujuan setiap mata pelajaran (standar kompetensi, kompetensi dasar). Kompetensi itu tentu masih bersifat umum, karena itu harus dijabarkan menjadi indikator yang dapat diukur dan diamati. Untuk menafsirkan data, dapat digunakan dua jenis penafsiran data, yaitu penafsiran kelompok dan penafsiran individual. Penafsiran kelompok adalah penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil evaluasi, seperti prestasi kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap guru dan materi pelajaran yang diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuan utamanya adalah sebagai persiapan untuk melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok, dan untuk mengadakan perbandingan antar kelompok. Penafsiran individual adalah penafsiran yang hanya tertuju pada individu saja. Misalnya, dalam kegiatan bimbingan dan penyuluhan atau dalam situasi klinis lainnya. Tujuan utamnya adalah untuk melihat tingkat kesiapan peserta didik (readiness), pertumbuhan fisik, kemajuan belajar, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Sebelum melakukan tes, guru harus menyusun pedoman pemberian skor, bahkan sebaiknya guru sudah berpikir tentang strategi pemeberian skor sejak merumuskan kalimat pada setiap butir soal. Pedoman penskoran sangat penting disiapkan terutama bentuk soal esai. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisai subjektivitas penilai. Begitu juga ketika melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik, karena harus ditentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Rumus penskoran yang digunakan bergantung pada bentuk soalnya, sedangkan bobot (weight) bergantung pada tingkat kesukaran soal (difficulty index), misalnya sukar, sedang, dan mudah. Bila semua jawaban siswa dalam suatu tes sudah diperiksa dan diberikan skor, maka kita akan memperoleh skor akhir untuk setiap siswa. Skor inilah yang disebut dengan skor mentah. Kegiatan ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena menjadi dasar bagi pengolahan hasil tes menjadi nilai prestasi. Kita tidak dapat menjadikan skor mentah ini sebagai nilai akhir untuk siswa, kita harus mengubah dan mengolahnya terlebih dahulu menjadi skor terjabar, diantaranya sebegai berikut : 1. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf Pengolahan skor mentah menjadi nilai huruf menggunakan sifat-sifat yang terdapat pada kurva normal sebagai dasar perhitungan. Adapun ciri-ciri atau sifat-sifat distribusi normal antara lain adalah seperti berikut: a. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Menggunakan Mean (M) dan Standar Deviasi (SD) 4 Mencari mean (M) dan Standar Deviasi (SD) dalam rangka mengolah skor mentah menjadi nilai huruf dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu jika banyaknya skor yang diolah kurang dari 30, digunakan tabel distribusi frekuensi tunggal. Dan jika banyaknya skor yang diolah lebih dari 30, misalnya sampai 40 atau 50 skor atau lebih, sebaiknya digunakan tabel distribusi frekuensi bergolong. Berikut ini sebuah contoh yang menggunakan tabel dis- tribusi frekuensi tunggal. Misalkan seorang guru memperoleh skor mentah dari haisl tes yang telah diberikan kepada 20 orang siswa sebagai berikut 73 70 68 68 67 67 65 65 63 62 60 59 59 58 58 56 52 50 41 40 Skor mentah itu akan diolah menjadi nilai huruf A, B, C, D, TL dengan menggunakan M dan DS. Untuk itu kita membuat tabel sebagai berikut: Langkah-langkah menyusun tabel: Masukkan nama siswa (ke dalam kolom 1) dan skor masing-masing siswa (ke dalam kolom 2), kemudian jumlahkan. Kita akan memperoleh . Hitunglah mean (M) dengan membagi jumlah skor itu ( ) dengan N (banyaknya siswa yang dites). Jadi rumus untuk mencari M itu adalah : π= ∑ πΉπ ∑πΉ Isilah kolom 3 dengan selisih (deviasi) tiap-tiap skor dari mean (X-M) Isilah kolom 4 dengan menguadratkann angka-angka dari kolom 3. Kemudian jumlahkan sehingga kita peroleh hasilnya. Langkah terakhir adalah menghitung mean dan DS dengan rumus-rumus sebagai berikut: π= ∑ πΉπ (ππ − π) πππ ππ· = √ ∑πΉ π−1 5 Tabel 2.1. Perhitungan Mean dan Standar Deviasi Nama Siswa Skor Mentah (X - M) atau (d) atau (X) 1 2 3 4 Amrin 73 13 169 Dahron 70 10 100 Mardi 68 8 64 Popon 68 8 64 Jamilah 67 7 49 Sarman 67 7 49 Ronald 65 5 25 Nursam 65 5 25 Marnah 63 3 9 Kamerun 62 2 4 Djufri 60 0 0 Rajiman 59 -1 1 Jugil 59 -1 1 Bonteng 58 -2 4 Pairah 58 -2 4 Gurita 56 -4 16 Marlopo 52 -8 64 Karmin 50 -10 100 Nirmala 41 -19 361 Brutal 40 -20 400 Jumlah 1201 ( ) 1509 Dari tabel itu kemudian dicari mean dan SD dengan rumus sebagai berikut: M = 60,05 dibulatkan = 60 SD= 8,69 Dari perhitungan dalam tabel di atas kita telah memperoleh mean (M) = 60 dan SD= 8,69. Selanjutnya kita dapat menjabarkan skor-skor mentah yang kita peroleh itu ke dalam nilai huruf melalui langkah-langkah sebagai berikut: Pertama-tama kita menentukan besarnya Skala Unit Deviasi (SUD). Misalnya dalam penjabaran ini 6 kita akan menggunakan seluruh jarak range dari kurva normal, yaitu antara -3 SD s.d. + 3 DS = 6 SD. Karena nilai huruf yang akan digunakan adalah A – B – C – D – E – TL yang berarti = 4 unit, dan kita tentukan besarnya SUD = 6 SD : 4 = 1,5 SD. Jadi, SUD = 1,5 x 8,69 = 13,035, dibulatkan = 13. Titik tengah nilai C terletak pada mean = 60 karena C merupakan nilai tengah pada skala penilaian A - B – C – D – TL. Langkah selanjutnya kita menentukan batas bawah (lower limit) dan batas atas (upper limit) dari masing-masing nilai huruf. Karena titik tengah C = M = 60, maka Batas bawah C = M – 0,5 SUD 60 - (0,5 x 13) = 53,5 Batas atas C = M + 0,5 SUD 60 + (0,5 x 13) = 66,5 Batas bawah D = M – 1,5 SUD 60 – (1,5 x 13) = 34 Skor di bawah 34 = TL Batas atas B = M + 1,5 SUD 60 + (1,5 x 13) = 79,5 Skor di atas 79, 5 = A 4). Selanjutnya kita mentransfer skor-skor mentah dari 20 siswa tersebut ke dalam nilai huruf sebagai berikut: Skor 80 ke atas =A = Tidak ada Skor 67 s.d 79,5 =B = 6 Orang Skor 54 s.d 66,5 =C = 10 Orang Skor 34 s.d 53,5 =D = 4 orang Skor di bawah 34 = TL = Tidak ada Dengan cara penjabaran seperti di atas, ternyata hasilnya lebih baik dalam arti banyak yang lulus meskipun hanya memperoleh nilai D. Hal ini dimungkinkan karena dalam penjabaran tersebut kita menggunakan seluruh range dari kurva normal, yaitu dari -3 SD s.d. +3 SD. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Batas Lulus = Mean Misalkan seorang guru memperoleh skor dari hasil ujian semester dari 50 siswa sebagai berikut: 97 93 92 90 87 86 86 83 81 80 80 78 76 76 75 74 73 72 72 71 69 67 67 67 64 63 63 62 62 60 58 57 57 56 56 54 52 50 47 45 43 39 36 36 32 29 27 26 20 16 Skor mentah ini akan kita olah menjadi nilai huruf A, B, C, D, dan TL. Untuk mencari mean dan SD kita susun skor mentah tersebut ke dalam tabel frekuensi, kita cari dulu range untuk menentukan besarnya interval dan kelas interval. 7 Range = 97 – 16 = 81 Kelas interval = + 1 = + 1 = 9 Jadi, dengan menentukan besarnya interval = 10, kita peroleh kelas interval = 9. Tabel 2.2. Distribusi Frekuensi Kelas Interval f d fd 1 96 – 105 1 +4 +4 16 2 86 – 95 6 +3 +18 54 3 76 - 85 7 +2 +14 28 4 66 - 75 10 +1 +10 10 5 56 - 65 11 0 0 0 6 46 - 55 4 -1 -4 4 7 36 - 45 5 -2 -10 20 8 26 - 35 3 -3 -9 27 9 16 - 25 3 -4 -12 48 +11 () 207 () 50 (N) Dari tabel ini, kita cari mean dengan rumus: M = M’ + i ( ) M = mean sebenarnya yang akan dicari M’ = mean dugaan dalam tabel itu = = = 60,5 I = inteval = 10 = jumlah dari kolom fd = +11 Dengan rumus tersebut di atas maka: Mean (M) = 60,5 + 10 ( ) = 60,5 + = 60,5 + 2,2 = 62,7, dibulatkan menjadi 63 Cara mencari deviasi standar (DS) ialah dengan rumus: DS = i Dari tabel di atas kita dapat menghitung DS sebagai berikut: DS = 10 = 10 = 10 = 10 x 1,9 = 19 8 Selanjutnya jika kita akan mengubah skor mentah yang diperoleh menjadi nilai huruf A, B, C, D, dan TL dengan batas lulus = mean. Caranya adalah sebagai berikut: Telah ditentukan bahwa batas lulus = mean = 63. Jadi, skor mentah dari 63 ke atas kita bagi menjadi nilai huruf A, B, C, D dan skor di bawah 63 dinyatakan TL. Batas bawah D atau batas lulus = mean = 63 Skor di bawah 63 = TL Batas atas D = M + 1 SUD = M + 0,75 DS = 63 + 14,25 = 77 (dibulatkan) Batas atas C = M + 2 SUD = M + 1,5 DS = 63 + 28,5 = 92 (dibulatkan) Batas atas B = M + 3 SUD = M + 2,25 DS = 63 + 42,75 = 106 (dibulatkan) Skor di atas 106 =A Dengan perhitungan tersebut, maka hasil kelulusan dari 50 siswa adalah sebagai berikut : Yang tidak lulus (TL), skor di bawah 63 = 23 orang Yang mendapat nilai D, skor 63 – 77 = 15 orang Yang mendapat nilai C, skor 78 – 92 = 10 orang Yang mendapat nilai B, skor 93 – 106 = 2 orang Yang mendapat nilai A, akor di atas 106 = tidak ada Jika dibandingkan dengan cara penjabaran terdahulu, maka cara yang terakhir ini ternyata lebih mahal. Dari 50 orang siswa yang ujian, ternyata sebanyak 23 orang tidak lulus (hampir 50%). 9 b. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai Huruf dengan Menggunakan Mean Ideal dan DS Ideal Misalkan jika skor maksimum ideal dari tes yang diberikan kepada 50 siswa tersebut =120, maka: mean ideal = ½ x skor maksimum ideal = 60 DS ideal vdari tes tersebut = x 60 = 20 Dengan cara menjabarkan yang telah diuraikan se- belumnya, yakni dengan ketentuan batas lulus = mean, dan dengan demikian, 1 SUD = 0,75 DS, kita peroleh perhitungan sebagai berikut: Batas bawah D atau batas lulus = mean = 60 Skor di bawah 60 = TL Batas atas D = M + 1 SUD = M + 0,75 DS = 60 + (0,75 x 20) = 60 + 15 = 75 Batas atas C= M + 2 SUD = M + 1,5 DS = 60 + (1,5 x 20) = 60 + 30 = 90 Batas atas B= M + 3 SUD = M + 2,25 DS = 60 + (2,25 x 20) = 60 + 45 = 105 Skor di atas 105 = A Dengan perhitungan tersebut, maka hasil kelulusan dari 50 siswa adalah: Yang tidak lulus (TL), skor di bawah 60 = 20 orang Yang mendapat nilai D, skor 60 - 75 = 16 orang Yang mendapat nilai C, skor 76 - 90 = 11 orang Yang mendapat nilai B, skor 91 – 105= 3 orang Yang mendapat nilai A, akor di atas 105= tidak ada Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan sebelumnya, ternyata hasil kelulusan berimbang atau hampir sama. Yang tidak lulus hanya selisih 3 orang, yang kedua-duanya tidak ada yang memperoleh nilai A. Hal ini antara lain adalah karena skor maksimum ideal dari tes yang diolah adalah 120, sedangkan nilai maksimum aktual (nilai tertinggi dari kelompok yang dites) adalah 97, yang berarti masih jauh di bawah nilai maksimum ideal 120. Akan tetapi, jika nilai maksimum ideal dari tees itu 100 misalnya, maka mean ideal = 50 dan DS ideal = 16,7, dibulatkan menjadi 17. Dengan demikian, mungkin ada beberapa orang yang memperoleh nilai A, dan yang tidak lulus pun jumlahnya berkurang. 2. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai 1 – 10 Umpamakan seorang guru memperoleh skor mentah dari hasil ulangan sejarah di kelas III SMP yang ber- jumlah 50 orang siswa sebagai berikut: 16 64 87 36 65 10 42 43 54 47 51 77 55 68 42 40 47 42 46 45 50 20 57 28 7 44 51 40 39 39 57 28 39 21 48 46 37 41 43 49 71 29 44 34 50 45 35 44 52 56 45 Untuk mengolah skor mentah di atas menjadi nilai 1-10, kita perlu mencari mean (angka rata-rata) dan DS. Untuk itu skor mentah tersebut kita susun ke dalam tabel distribusi frekuensi. Langkah-langkah menyusunnya adalah sebagai beriku Kita tentukan dulu banyaknya kelas interval dengan jalan: Mencari range (R), dengan mengurangi skor maksi- mum dengan skor minimum (range = selisih antara skor maksimum dan skor minimum) Bagilah range ke dalam interval-interval yang sama sedemikian rupa sehingga jumlah kelas interval an- tara 6 – 15 atau 11 – 19. Rumus untuk mencari kelas interval: +1 Mengisi kolom 2 (kolom interval) di dalam tabel yang telah tersedia. Mulailah dari skor minimum berturut-turut de- ngan interval yang telah ditemukan dan sejumlah kelas yang telah ditentukan pada langkah pertama Membuat tally pada kolom 3 (menabulasikan tiap-tiap skor ke dalam kelasnya). Mengisi angka (jumlah) tally ke dalam kolom 4 (f) Menentukan deviasi pada lajur fd dengan menetapkan letak mean dugaan (M’) dengan angka nol pada kelas ter- tentu. Untuk menduga letak nol tersebut dapat kita pilih kelas yang mengandung frekuensi yang paling tinggi. Selanjutnya kita letakkan angka-angka deviasi itu dari nol ke atas dan ke bawah. Angka-angka di atas nol kita beri tanda + (plus) dan angka-angka di bawah nol diberi tanda – (minus). Mengisi lajur fd dengan mengalikan angka-angka pada lajur f dan d. Kemudian hasilnya dijumlahkan pada ba- gian bawah dari tabel (= fd). Sampai pada kolom 6 (fd) kita telah dapat menghitung besarnya mean yang sebe- narnya dari tabel tersebut. Akan tetapi, karena kita masih memerlukan mencari DS (deviasi standar), kita perlu menambah satu kolom lagi untuk mencari . Mengisi lajur , kemudian dijumlahkan pula pada bagian bawah dari tabel sehingga kita peroleh yang diperlukan dalam rumus untuk mencari DS. Dari skor mentah hasil ulangan tersebut, kita dapat menyusun tabel distribusi frekuensi seperti berikut: Skor maksimum = 87 Skor minimum =7 Range = 87 – 7 = 80 Banyaknya kelas interval: + 1 = + 1 = 11 Jadi, interval (i) = 8, kelas interval = 11 11 Tabel 2.3 Tabel Distribusi Frekuensi Kelas Interval Tally f d Fd 1 87 - 94 I 1 +6 6 36 2 79 - 86 0 +5 0 0 3 71 - 78 II 2 +4 8 32 4 63 - 70 III 3 +3 9 27 5 55 - 62 IIII 4 +2 8 16 6 47 - 54 IIII +1 11 11 0 0 0 IIII 11 I 7 39 - 46 IIII IIII IIII 18 III 8 31 - 38 IIII 4 -1 -4 4 9 23 - 30 III 3 -2 -6 12 10 15 - 22 III 3 -4 -9 27 11 7 - 14 I 1 -4 -4 16 +19 ( ) 181 ( ) N=50 Sekarang kita cari angka rata-rata (mean) dari tabel di atas: Rumus mean M = M’ + i ( ) Dengan melihat pada tabel distribusi frekuensi maka: M = 42,5 + 8 ( ) = 42,5 + 3,04 = 45,54 Mean dugaan (M’) sebesar 42,5 adalah nilai titik tengah dari kelas interval 39 – 46, yaitu kelas interval yang kita duga sebagai tempat letaknya mean. Cara menghitung: M’ = = = 42,5 Dari tabel itu, sekarang kita mencai DS. Rumusnya: DS = i Dengan menggunakan rumus tersebut maka DS =8 =8 =8 = 8 x 1,89 = 15,12 dibulatkan = 15 12 Setelah kita temukan besarnya mean dan DS, (mean = 45,54 dan DS = 15), langkah selanjutnya ialah menjabar- kan skor mentah yang kita peroleh ke dalam nilai 1 – 10 dengan menggunakan rumus penjabaran sebagai berikut: =5 =4 =3 =2 =1 M - 0,25 DS M - 0,75 DS M - 1,25 DS M - 1,75s DS M - 2,25 DS Rumus Penjabaran M + 2,25 DS = 10 M + 1,75 DS = 9 M + 1,25 DS = 8 M + 0,75 DS = 7 M + 0,25 DS = 6 Penjabarannya 79 ke atas = 10 72 s.d. 78 =9 64 s.d. 71 =8 57 s.d. 63 =7 49 s.d. 56 =6 42 s.d. 48 =5 Hasil Perhitungan 45,54 + (2,25 x 15) = 79,29 dibulatkan = 79 45,54 + (1,75 x 15) = 71,79 dibulatkan = 72 45,54 + (1,25 x 15) = 64,29 dibulatkan = 64 45,54 + (0,75 x 15) = 56.79 dibulatkan = 57 45,54 + (0,25 x 15) = 49,29 dibulatkan = 49 45,54 - (0,25 x 15) = 41,79 dibulatkan = 42 13 34 s.d. 41 27 s.d. 33 19 s.d. 26 12 s.d. 18 11 ke bawah =4 =3 =2 =1 =0 45,54 - (0,75 x 15) = 34,29 dibulatkan = 34 45,54 - (1,25 x 15) = 26,79 dibulatkan = 27 45,54 - (1,75 x 15) = 19,29 dibulatkan = 19 45,54 - (2,25 x 15) = 11,79 dibulatkan = 12 Kebaikan sistem penskoran seperti ini ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh siswa benar-benar mencer- minkan kapasitas kelompok (disesuaikan dengan kondisi atau tingkat kepandaian kelompok yang bersangkutan). Akan tetapi, kelemahannya ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh sistem tersebut belum mencerminkan sampai dimana pencapaian scope bahan pelajaran yang diteskan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kelemah- an ini kita juga melakukan sistem penskoran dengan menggunakan mean ideal dan DS ideal. Caranya adalah sebagai berikut: Misalkan tes yang dipergunakan untuk ulangan seja- rah di atas memiliki skor maksimum ideal = 100. Mean ideal 34 s.d. 41 27 s.d. 33 19 s.d. 26 12 s.d. 18 11 ke bawah = = = 50 DS ideal = = = 16,6 =4 =3 =2 =1 =0 45,54 - (0,75 x 15) = 34,29 dibulatkan = 34 45,54 - (1,25 x 15) = 26,79 dibulatkan = 27 45,54 - (1,75 x 15) = 19,29 dibulatkan = 19 45,54 - (2,25 x 15) = 11,79 dibulatkan = 12 Kebaikan sistem penskoran seperti ini ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh siswa benar-benar mencerminkan kapasitas kelompok (disesuaikan dengan kondisi atau tingkat kepandaian kelompok yang bersangkutan). 14 Akan tetapi, kelemahannya ialah bahwa nilai-nilai yang diperoleh sistem tersebut belum mencerminkan sampai dimana pencapaian scope bahan pelajaran yang diteskan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kelemah- an ini kita juga melakukan sistem penskoran dengan menggunakan mean ideal dan DS ideal. Caranya adalah sebagai berikut: Misalkan tes yang dipergunakan untuk ulangan sejarah di atas memiliki skor maksimum ideal = 100. Mean ideal = = = 50 DS ideal = = = 16,6 Dengan menggunakan rumus penjabaran tersebut, maka: 50 + (2,25 x 16,6) = 87,35 dibulatkan = 87 → 10 50 + (1,75 x 16,6) = 79,05 dibulatkan = 79 → 9 50 + (1,25 x 16,6) = 70,75 dibulatkan = 71 → 8 50 + (0,75 x 16,6) = 62,45 dibulatkan = 62 → 7 50 + (0,25 x 16,6) = 54,15 dibulatkan = 54 → 6 50 - (0,25 x 16,6) = 45,85 dibulatkan = 46 → 5 50 - (0,75 x 16,6) = 37,55 dibulatkan = 38 → 4 50 - (1,25 x 16,6) = 29,25 dibulatkan = 29 → 3 50 - (1,75 x 16,6) = 20,95 dibulatkan = 21 → 2 50 - (2,25 x 16,6) = 12,65 dibulatkan = 13 → 1 Dengan menggunakan mean ideal dan DS ideal, ternyata hasilnya berlainan. Siswa yang mendapat nilai 10 adalah siswa yang memperoleh skor mentah 87 ke atas, dan bukan 79 ke atas seperti hasil perhitungan menggu- nakan mean dan DS aktual. Juga yang mendapat nilai 6 adalah siswa yang memperoleh skor mentah 54 s.d. 61, bukan 49 s.d. 56. 15 3. Mengolah Skor Mentah Menjadi Nilai dengan Persen Yakni besarnya nilai yang diperoleh siswa merupakan persentase dari skor maksimum ideal yang seharusnya dicapai jika tes tersebut dikerjaan dengan hasil 100% betul. Rumus penilaian adalah sebagai berikut: NP = Keterangan: MP = nilai persen yang dicari atau diharapkan R = skor mentah yang diperoleh siswa SM = skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan 100 = bilangan tetap Beberapa contoh sebagai penjelasan: βΆ Siswa A memperoleh skor 64 dari tes matematika yang memiliki skor maksimum ideal = 80 Maka nilai A yang sebenarnya adalah x 100 = 80 βΆ Siswa B memperoleh skor 64 dari tes bahasa indone- sia yang memiliki skor maksimum ideal = 100. Maka nilai B = 64 Cara menilai dengan persen sering dilakukan oleh guru-guru, hal ini karena dianggap lebih mudah dan praktis. 4. Mengolah Skor Mentah Menjadi Skor Standar z Yang dimaksud dengan skor z adalah skor yang penjabarannya didasarkan atas unit deviasi standar dari mean. Dalam hal ini mean dinyatakan = 0 (nol). Oleh karena itu, dengan penjabaran skor-skor mentah menjadi skor standar z kita dapat melihat bagaimana keduduk- an skor tersebut dibandingkan dengan rata-rata skor kelompoknya Misalkan hasil tes umar sebagai berikut: Bahasa Indonesia = 65 Matematika IPS = 55 = 70 Dengan melihat sepintas, kita beranggapan bahwa Umar cukup dalam Bahasa Indonesia, kurang dalam Matematika, dan cukup baik dalam IPS. Untuk mengetahui kecakapan Umar sebenarnya dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, kita perlu mengetahui besarnya mean dan DS dari tiap mata pelajaran, misalkan sebagai berikut: 16 Tabel Konversi nilai Mata Pelajaran Skor Mean SD Bahasa Indonesia 65 60 4.0 Matematika 55 45 4.0 IPS 70 75 5.0 Dengan membandingkan skor yang dicapai Umar dengan mean nya masing-masing, sepintas kita lihat bahwa Umar bukan sangat pandai dalam IPS, malah ia lebih baik dalam matematika dan bahasa indonesia. Dengan menggunakan mean dan SD itu kita dapat mengubah skor-skor yang diperoleh Umar menjadi skor z. Rumusnya: z= (X M) S Keterangan Z = skor –z X = skor mentah M = rata-rata hitung S = deviasi stadar (deviasi standar) Dengan menggunakan rumus tersebut, kita dapat mengubah skor yang dicapai Umar ke dalam skor z sebagai berikut: Bahasan Indonesia = = = +1,25 Matematika = = = +2,5 IPS = = = - 1,0 Melihat hasil skor z di atas kita dapat mengetahui bahwa Umar dalam bahasa Indonesia adalah 1,25 DS di atas mean, untuk matematika 2,5 DS di atas mean, sedangkan untuk IPS 1,0 DS di bawah mean. 5. Mengolah Skor Mentah Menjadi Skor Standar T Yang dimaksud dengan skor T ialah angka skala yang menggunakan dasar mean = 50 dan jarak tiap deviasi standar (DS) = 10. Di dalam range -3 DS sampai dengan +3 DS, T tersebar dari 20 s.d. 80, tanpa bilangan–bilangan minus. Suatu panitia ujian sekolah misalnya, dapat menentukan “batas lulus” dari berbagai mata pelajaran dengan kedudukan nilai skor yang sama setelah setiap skor dari mata pelajaran tersebut dijabarkan ke dalam skor T. Rumusnya: Skor T = ( ) 10 + 50 atau Skor T = 10 Z + 50 Jika skor-skor yang diperoleh Umar tadi kita jabar- kan ke dalam skor T, akan kita peroleh sebagai 17 berikut: Bahasa Indonesia Matematika = ( ) x 10 + 50 = (+1,25) x 10 + 50 = 62,5 = ( ) x 10 + 50 = (+2,5) x 10 + 50 = 75,0 IPS = ( ) x 10 + 50 = (-1,0) x 10 + 50 = 40,0 Dengan melihat hasil penjabaran ke dalam skor T di atas, secara cepat kita dapat mengatakan bahwa Umar memiliki prestasi yang cukup baik dalam matematika dibandingkan dengan teman sekelompoknya, dan kurang baik prestasinya dalam IPS. B. SKOR TOTAL Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab betul oleh siswa. Nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan normal atau acuan standar. Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan: seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh tertee terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai dengan tujuan intruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makin banyak jumlah butir soal dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul itu hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan kepada testee juga kecil atau rendah. Dari uraian diatas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah (dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (=standard score ). Skor total adalah jumlah skor yang diperoleh dari seluruh bentuk soal setelah diolah dengan rumus tebakan (guessing formula). Jika kita mengambil contoh-contoh di atas, maka skor total siswa adalah 20 + 6 + 5 + 7 = 38. Skor ini selanjutnya disebut skor mentah (raw score). Setelah dihitung skor mentah setiap peserta didik, langkah selanjutnya adalah mengolah skor mentah tersebut menjadi nilai-nilai jadi. Pengolahan skor dimaksudkan untuk menetapkan batas lulus (passing grade) dan untuk mengubah skor mentah menjadi skor terjabar (drived score) atau skor standar. Untuk menentukan batas lulus, terlebih dahulu Anda harus menghitung rata-rata (mean) dan simpangan baku (standard deviation), kemudian mengubah skor mentah menjadi skor terjabar atau skor standar berdasarkan kriteria atau norma tertentu. Sebelum Anda mempelajari lebih lanjut tentang perhitungan rata-rata dan simpangan baku, sebaiknya Anda memahami dahulu tentang pendekatan penafsiran hasil evaluasi, karena perhitungan kedua teknik statistik dasar tersebut berkaitan dengan pendekatan 18 yang digunakan. Skor total adalah penjumlahan dari keseluruhan item. Item-item pertanyaan yang berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut mampu memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin diungkap. Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapat. Sebelum sampai pada pembicaraan pengubahan skor menjadi nilai secara lebih lanjut, untuk memahami skor yang akan di ubah tersebut. Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score), skor sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score). Skor yang diperoleh adalah sejumlah biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dam lain-lain adalah faktor yang dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh. Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya. Skor sebenarnya (true score) seringkali juga disebut dengan istilah skor univers – skor alam (universe score), adalah nilai hipotetis yang sangat tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Perbedaan antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut denga istilah kesalahan dalam pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan. Hubungan antara ketiga macam skor tersebut adalah sebagai berikut: Skor yang diperoleh = skor sebenarnya + skor kesalahan Dari sederetan skor yang telah diubah ke standar 100 inilah maka dapat diperoleh gabungannya, misalnya gabungan antara nilai ulangan ke-1, ke-2, ke-3, dan 94 serusnya, yang merupakan catatan untuk dirata-rata dan mengambarkan penguasaan siswa terhadap materi yang di ajarkan, atau menggambarkan sejauh mana siswa mencapai tujuan instruksional umum dari satu unit bahan yang dipelajari dalam satu ukuran waktu. Di dalam penggunaan criterion-referenced, siswa dibandingkan dengan sebuah standar tertentu, yang dalam uraian sebelum ini, dibandingkan dengan standar mutlak, yaitu standar 100. Siswa juga dibandingkan dengan standar tertentu, yaitu skor maksimum. Penggunaan standar mutlak ini terutama dipertahankan dalam pencapaian prinsip belajar tuntas. Sedangkan dalam penggunaan norm-referenced, prestasi belajar seorang siswa dibandingakan dengan siswa lain dalam kelompoknya. Kualitas seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas kelompoknya. Seorang siswa yang apabila terjun ke kelompok A termasuk “hebat”, mungkin jika pindah ke kelompok lain hanya menduduki kualitas “sedang” saja. Ukurannya adalah relatif. Oleh sebab itu, maka dikatakan pila 19 diukur dengan standar relatif. Ukuran demikian juga disebut menggunakan norm-referenced atau norma kelompok. Dasar pikiran dari penggunaan standar ini adalah adanya asumsi bahwa setiap populasi yang heterogen, tentu dapat: 1) Kelompok baik 2) Kelompok sedang 3) Kelompok kurang Dimulai dengan bakat yang dibawa sejak lahir yang dalam hal ini tampak sebagai indeks kecerdasan atau Intelligence Quotient (IQ), maka seluruh populasi tergambar sebagai sebuah kurva normal. Apabila anak-anak itu belajar, maka prestasi atau hasil belajar yang di akibatkan itu pun akan tergambar sebagai kurva normal. Penilaian yang berdasarkan kurva normal merupakan hal yang tidak dapat di bantah lagi. Apabila standar relatif dan standar mutlak ini dihubugkan dengan pengubahan skor menjadi nilai, akan terlihat demikian: a. Dengan standar mutlak 1) Pemberian skor terhadap siswa, didasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang ditentukan. 2) Nilai diperoleh dengan mencari skor rata-rata langsung dari skor asal (skor mentah). Contoh: - Dari ulangan ke-1, memperoleh skor 60 (mencapai 60% tujuan) - Dari ulangan ke-2, memperoleh skor 80 (mencapai 80% tujuan) - Dari ulangan ke-3, memperoleh skor 50 (mencapai 50% tujuan) Maka nilai siswa tersebut: 60+80+50 3 = 63,3 Dibulatkan menjadi 63. b. Dengan standar relatif 1) Pemberian skor terhadap siswa juga didasarkan atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang ditentukan. 2) Nilai diperoleh dengan 2 cara: a) Mengubah skor dari tiap-tiap ulangan lalu diambil rata-ratenya. b) Menjumlah tiap-tiap ulangan, baru diubah ke nilai. C. KONVERSI SKOR Konversi skor adalah proses transformasi skor mentah yang dicapai peserta didik ke dalam skor terjabar atau skor standar untuk menetapkan nilai hasil belajar yang diperoleh. Secara tradisional, dalam menentukan nilai peserta didik pada setiap mata pelajaran, guru menggunakan rumus sebagai berikut : 20 ∑π Nilai = ∑ π × 10 (Skala 0 -10) Keterangan : ∑ π = jumlah skor mentah ∑ π = jumlah soal Contoh : Seorang peserta didik dites dengan menggunakan bentuk soal B – S (Benar – Salah). Dari jumlah soal 30, peserta didik tersebut memperoleh jawaban betul 25, dan jawaban salah 5. Dengan demikian, skor mentahnya adalah 25 – 5 = 20. 20 Nilai = 30 π₯ 10= 6,67. Di samping cara tersebut di atas, Anda juga dapat langsung menentukan nilai berdasarkan jumlah jawaban yang betul, tanpa mencari skor mentah terlebih dahulu. Sesuai dengan contoh soal di atas, maka nilai peserta didik dapat ditemukan seperti berikut : 25 Nilai =30 π₯ 10 = 8,33. Kedua pola konversi seperti ini mengandung banyak kelemahan, antara lain guru belum mengantisipasi item-item yang tidak seimbang dilihat dari tingkat kesukaran dan banyaknya item yang disajikan dalam naskah soal. Padahal, setelah menentukan nilai, guru perlu meninjau kembali tentang seberapa besar peserta didik memperoleh nilai di bawah batas lulus (passing grade). Untuk itu, sudah saatnya guru meninggalkan pola konversi yang tradisional tersebut. Anda hendaknya menggunakan pola konversi sebagai berikut : 1. Membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan suatu standar atau norma absolut. Pendekatan ini disebut juga Penilaian Acuan Patokan (PAP). 2. Membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan standar atau norma relatif atau disebut juga Penilaian Acuan Norma (PAN). 3. Membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan norma gabungan (kombinasi) antara norma absolut (PAP) dengan normat relatif (PAN). Ada dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi skor standar atau nilai 1) Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan mengacu atau berdasarkan pada kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah criterion referenced yang dalam dunia pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan istilah penilaian ber-Acuan patokan ( PAP). 2) Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm referenced evaluation, 21 yang dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Penilaian ber-Acuan Norma (PAN), atau penilaian ber-Acuan Kelompok (PAK). . Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai macam skala, seperti skala lima (stanfive), yaitu nilaistandar berskala lima atau yang sering dikenal dengan istilah nilai huruf A,B, C,D, dan E,skala sembilan (stanine), yaitu nilai standar berskala sembilan diman rentangan nilainya mulai dari 1 sampai dengan 9 ( tidak ada nilai nol dan tidak ada nilai 10), skala sebelas (stanel=standard eleven=eleven points scale, yaitu rentangan nilai mulai dari 0 sampai dengan 10), z score ( nilai standar z) dan T score ( nilai standar T). Dalam dunia pendidikan di Indonesia ,nilai standar yang dipergunakan pada lembaga pendidikan tingkat dasar dan tingkat menengah adalah nilai standar berskala sebelas (stanel), sedangkan pada lembaga pendidikan tinggi pada umumnya digunakan nilai standar berskala lima (stanfive) atau nilai huruf. D. CARA MEMBERI SKOR UNTUK SKALA SIKAP Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap adalah salah satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi dan tingkah laku. Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude. Attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Ellis mengatakan bahwa sikap melibatkan beberapa pengetahuan tentang situasi, namun aspek yang paling esensial dalam sikap adalah adanya perasaan atau emosi, kecenderungan terhadap perbuatan yang berhubungan dengan pengetahuan. Dari pendapat Ellis tersebut, sikap melibatkan pengetahuan tentang situasi termasuk situasi. Situasi di sini dapat digambarkan sebagai suatu obyek yang pada akhirnya akan mempengaruhi emosi, kemudian memungkinkan munculnya reaksi atau kecenderungan untuk berbuat. Dalam beberapa hal sikap adalah penentuan yang paling penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif senang dan tidak senang untuk melaksanakan atau menjauhinya. Perasaan senang meliputi sejumlah perasaan yang lebih spesifik seperti rasa puas, sayang, dll, perasaan tidak senang meliputi sejumlah rasa yang spesifik pula yaitu rasa takut, gelisah, cemburu, marah, dendam, dll. Sikap juga diartikan sebagai “suatu konstruk untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas”. Pengertian sikap itu sendiri dapat dipandang dari berbagai unsur yang terkait seperti sikap dengan kepribadian, motif, tingkat keyakinan, dll. Namun dapat diambil pengertian yang memiliki persamaan karakteristik, dengan demikian sikap adalah tingkah laku yang terkait dengan kesediaan untuk merespon obyek sosial yang membawa dan menuju ke tingkah laku yang nyata dari seseorang. Hal itu berarti tingkah laku dapat diprediksi 22 apabila telah diketahui sikapnya. Tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap suatu objek. Ini berarti bahwa sikap itu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada pada diri masingmasing seperti perbedaan bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan dan juga situasi lingkungan. Demikian juga sikap seseorang terhadap suatu yang sama mungkin saja tidak sama. Krathwohl, Bloom dan Masria (1964) mengembangkan taksonomi ini yang berorientasi kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Domain afektif, Krathwohl membaginya atas lima kategori/ tingkatan yaitu; Pengenalan (receiving), pemberian respon (responding), penghargaan terhadap niali (valuing), pengorganisasian (organization) dan pengamalan (characterization) (WS. Winkel: 150). Menurut A.J. Nitko Jenjang Afektif sama dengan pendapat Kratwohl hanya saja uraiannya lebih terperinci pada masing-masing tingkatan. Pembagian ini bersifat hierarkhis, pengenalan tingkat yang paling rendah dan pengamalan sebagai tingkat yang paling tinggi seseorang memiliki kompetensi pengamalan jika sudah memiliki kompetensi pengenalan, pemberian respon, penghargaan terhadap nilai pengorganisasian. Pengenalan/penerimaan mencakup kemampuan untuk mengenal, bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulasi. Dalam hal ini peserta didik bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasional pada tingkat ini adalah : mendengarkan, menghadiri, melihat dan memperhatikan. Pemberian respon mencakup kemampuan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda atau sistem nilai, lebih dari sekedar pengenalan. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta. Contoh hasil belajar dalam tingkat ini berpartisipasi dalam kebersihan kelas, berlatih membaca al-Qur’an, dll. Kata kerja operasionalnya meliputi: mengikuti, mendiskusikan, berlatih, berpartisipasi, dan mematuhi. Penghargaan terhadap nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berfikiir tertentu mempunyai nilai. Dalam hal ini mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain yang meminta atau mengharuskan. Nilai ini dapat saja dipelajari dari orang lain misalnya dosen, teman atau keluarga. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik tidak hanya menerima nilai yang ajarkan tetapi telah tidak mampu untuk memilih baik atau buruk jenjang ini mulai dari hanya sekedar penerimaan sampai ketingkat komitmen yang lebih tinggi (menerima tanggung jawab untuk fungsi kelompok yang lebih efektif. Kata kerja operasionalnya adalah : memilih, meyakinkan, bertindak dan 23 mengemukakan argumentasi. Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilainilai tertentu dalam suatu sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi commited terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam suatu sistem nilai dan menentukan hubungan diantara nilainilai tersebut. Kata kerja operasional pada tingkat pengorganisasian adalah: memilih, memutuskan, memformulasikan, membandingkan dan membuat sistematisasi. Pengamalan (characterization) berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai kedalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui prilaku yang konsistem dengan sistem nilai tersebut. Ini adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik philosophy of life yang mapan. Contoh hasil belajar pada tingkat ini adalah: siswa memiliki kebulatan sikap untuk menjadikan surat Al-Ashr sebagai pegangan hidup dalam disiplin waktu baik di sekolah, di rumah maupun di tengah masyarakat. Kata kerja operasional pada tingkat ini adalah: menunjukkan sikap, menolak, mendemonstrasikan dan menghindari. RANAH AFEKTIF Tingkatan Kompetensi Contoh Kata Kerja Operasional Pengenalan Mendengarkan, menghindari, memperhatikan Pemberian respon Mengikuti, mendiskusikan, berpartisipasi, mematuhi Penghargaan terhadap nilai Memilih, meyakinkan, bertindak, mengemukakan argumentasi Pengorganisasian Memilih, memutuskan, memformulasikan, membandingkan, membuat sistematisasi Pengalaman Menunjukkan sikap, menolak, mendemonstrasikan, menghindari Afektif yang harus dikembangkan oleh guru dalam proses belajar tentunya sangat tergantung kepada mata pelajaran dan jenjang kelas, namun yang pasti setiap mata pelajaran memiliki indikator afektif dalam kurikulum hasil belajar. Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah Afektif karena tidak dapat dilakukan setiap selesai menyajikan materi pelajaran. Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama, demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilai. Pengukuran afektif berguna untuk mengetahui sikap dan minat siswa ataupun untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi afektif 24 pada setiap tingkat (level). Pada mata pelajaran tertentu, misalnya seorang siswa mendapatkan nilai tertinggi pada mata pelajaran tertentu belum tentu menyenangi mata pelajaran tersebut. Ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap (afektif) yaitu: (1) Skala likert, (2) Skala pilihan ganda, (3) Skala thurstone, (4) Skala guttman, (5) Skala differential, dan (6) Pengukuran minat. 1. Skala likert Skala likert digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya pada mata pelajaran al-Qur’an Hadits siswa menunjukkan sikap dan prilaku gemar melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, siswa menunjukkan sikap hormat pada orang tua dll. Skala likert terdiri dari dua unsur yaitu pernyataan dan alternatif jawaban. Pernyataan ada dua bentuk yaitu pernyataan positif dan negatif, sedangkan alternatif jawaban terdiri dari: sangat setuju, setuju, neteral, kurang setuju dan tidak setuju. Langkah-langkah untuk membuat skala likert untuk menilai afektif antara lain adalah: (1) pilih variabel afektif yang akan diukur, (2) buat pernyataan positif terhadap variabel yang diukur, (3) minta pertimbangan kepada beberapa orang tentang pernyataan positif dan negatif yang dirumuskan, (4) tentukan alternatif jawaban yang digunakan, (5) tentukan pensekorannya dan,(6) tentukan dan hilangkan pernyataan yang tidak berfungsi dengan pernyataan lainnya. Contoh : Saya membaca al-Qur’an setiap selesai shalat Magrib a. sangat setuju b. setuju c. netral d. kurang setuju e. tidak setuju 2. Skala pilihan ganda Skala ini bentuknya seperti soal bentuk pilihan ganda yaitu suatu pernyataan yang diikuti oleh sejumlah alternatif pendapat. Contoh: Dalam melaksanakan shalat pardhu, saya merasa: a. senang karena dapat berdialog dengan Allah b. mudah untuk melakukan konsentrasi c. tidak begitu sulit untuk berkonsentrasi d. dapat berkonsentrasi tetapi mudah terganggu e. sulit untuk berkonsentrasi 3. Skala thurstone Skala ini mirip dengan skala likert karena merupakan instrumen yang jawabannya menunjukkan adanya tingkatan thurstone menyarankan pernyataan yang diajukan + 10 item 4. Skala Guttman Skala ini sama dengan skala yang disusun Bogardus yaitu pernyataan yang 25 durumuskan empat atau tiga pernyataan. Pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang berurutan, apabila responden setuju persyaratan 2, diduga setuju pernyataan 1, selanjutnya setuju pernyataan 3 diduga setuju pernyataan 1 dan 2 dan apabila setuju pernyataan 4 diduga setuju pernyataan 1,2 dan 3. Contoh afektif yang indikatornya hormat pada orang tua 1. Saya permisi kepada orang tua bila bermain ketetangga 2. Saya permisi kepada orang tua bila pergi kemana saja 3. Saya permisi kepada orang tua bila pergi kapan saja dan kemana saja 4. Saya tidak pergi kemana saja tanpa permisi kepada orang tua 5. Skala diffrential Skala ini bertujuan untuk mengukur konsep-konsep untuk tiga dimensi. Dimensi yang akan diukur dalam kategori : baik – tidak baik kuat – lemah cepat – lambat atau aktif – pasif 6. Pengukuran Minat Untuk mengetahui/mengukur minat siswa terhadap mata pelajaran terlebih dahulu ditentukan indikatornya misalnya : kehadiran di kelas, keaktifan bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas, kerapian. Catatan, mengerjakan latihan, mengulan pelajaran dan mengunjungi perpustakaan dan lain-lain. Untuk mengukur minat ini lebih tepat digunakan kuesioner skala likert dengan skala lima yaitu; sangat sering, sering, netral, jarang dan tidak pernah. Tabel Contoh Format Penilaian Minat Siswa Terhadap Mata pelajaran No Pertanyaan Skala SS 1. Saya senang mengikuti pelajaran ini 2. Saya hadir setiap jam mata pelajaran 3. Saya bertanya pada guru bila ada yang tidak jelas 4. Saya menyerahkan tugas tepat waktu 5. Saya mencatat pelajaran dengan rapi 6. Saya untuk menyelesaikan latihan-latihan di rumah 7. Saya mengulang pelajaran di rumah 8. Saya berdiskusi dengan teman mata pelajaran ini 9. Saya membaca diperpustakaan apabila ada 26 SR NT Jumlah JR TP tugas 10. Saya menyelesaikan tugas sebaik mungkin 11. Saya bertanya kepada guru kalau ditunjuk guru 12. Saya mengerjakan latihan walaupun tidak diserahkan kepada guru Jumlah Jawaban sangat sering diberi skor 5, sering diberi skor 4, netral diberi skor 3, jarang skor 2, dan tidak pernah skor 1. Selanjutnya tehnik pensekoran minat siswa terhadap mata pelajaran dengan item pernyataan 12 butir maka skor terendah 12 dan skor tertinggi 60, jika dibagi menjadi tiga kategori maka skala 12 sampai 27 termasuk minat rendah, 28 sampai 43 berminat dan 44 sampai 60 sangat berminat, maka dapat dikomfersi ke pengukuran kualitatif karena penilaian afektif dilakukan secara kualitatif, maka 12 - 27 = C, 28 – 43 = B, 44 – 60 = A. Paling tidak ada dua komponen afektif yang penting untuk dinilai setiap mata pelajaran yaitu sikap dan minat. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif, netral dan negatif. Tentu diharapkan sikap siswa terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan muncul minat yang tinggi untuk mempelajarinya, karena minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. Untuk mengukur sikap siswa tepat digunakan pengematan terhadap siswa dengan menggunakan skala lima yaitu : 1 = sangat kurang, 2 = kurang, 3 = cukup, 4 = baik, 5 = amat baik. Skor untuk masingmasing sikap di atas dapat berupa angka, pada tahap akhir skor tersebut dirata-ratakan. Selanjutnya teknik pensekoran minat siswa dengan item 11 butir maka skor terendah 11 dan skor tertinggi 55, jika dibagi menjadi 3 kategori maka skala 1124 termasuk cukup, 25-38 baik, dan 39-55 amat baik, maka dapat dikonfersikan ke penelitian kualitatif 11-24 = C, 25-38 = B, dan 39-55 = A. Untuk menilai afektif dapat juga dilakukan dengan kolokium yaitu diskusi mendalam tentang suatu topik tertentu untuk mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman seseorang. Kolokium ini dilakukan untuk pelengkap portopolio. Apabila dari sekian banyak siswa ternyata tidak berminat dan bersikap baik dengan 27 substansi mata pelajaran pendidikan agama maka guru harus mencari sebab-sebabnya, perlu dikaji dan dilihat kembali secara menyeluruh hal yang terkait dengan pelajaran mata pelajaran tersebut atau guru belum menyampaikan diawal pembelajaran indikator yang dimiliki oleh siswa, oleh karenanya guru seharusnya menyampaikan kepada siswa kompetensi dasar yang harus dicapai siswa sekaligus indikator-indikator yang mesti dimiliki siswa. Dalam domain afektif, paling tidak ada dua komponen penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat peserta didik terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap suatu pelajaran bisa positif, negatif atau netral. Harapan kita terhadap sikap peserta didik tentu yang positif sehingga dapat menimbulkan minat belajar. Baik sikap maupun minat belajar dapat mempengaruhi prestasi belajar. Oleh sebab itu, tugas Anda adalah mengembangkan sikap positif dan meningkatkan minat belajar peserta didik terhadap suatu pelajaran. Untuk mengukur sikap dan minat belajar, Anda dapat menggunakan model skala, seperti skala sikap dan skala minat. Skala sikap dapat menggunakan lima skala, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Tahu (TT), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala yang digunakan adalah 5, 4, 3, 2 dan 1 (untuk pernyataan positif) dan 1, 2, 3, 4 dan 5 (untuk pernyataan negatif). Begitu juga untuk skala minat. Anda dapat menggunakan lima skala, seperti Sangat Berminat (SB), Berminat (B), Sama Saja (SS), Kurang Berminat (KB), dan Tidak Berminat (TB). Bagaimana langkah-langkah mengembangkan instrumen skala sikap dan skala minat tentunya Anda sudah mempelajarinya pada modul sebelumnya. Di sini hanya dikemukakan bagaimana cara memberi skor skala sikap dan skala minat. Contoh : Pak Heri, adalah seorang guru Bahasa Arab. Ia ingin mengukur minat peserta didik terhadap pelajaran Bahasa Arab. Ia menyusun skala minat dengan 10 pernyataan. Jika rentangan skala yang digunakan adalah 1 – 5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah 10 (10 x 1 = 10) dan skor tertinggi adalah 50 (10 x 5 = 50). Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 = 30. Jika dibagi empat kategori, maka akan diperoleh tingkatan minat sebagai berikut : Skor 10 – 20 termasuk tidak berminat Skor 21 – 30 termasuk kurang bermint Skor 31 – 40 termasuk berminat Skor 41 – 50 termasuk sangat berminat. Sikap berangkat dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan bertindak seseorang dalam merespon sesuatu/ objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk untuk terjadinya perilaku atau 28 tindakan yang diinginkan. Sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: komponen afektif, komponen kognitif, dan komponen konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap sesuatu objek. Komponen kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang mengenai objek. Adapun komponen konatif adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu berkenaan dengan kehadiran objek sikap. Secara umum, objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran berbagai mata pelajaran adalah sebagai berikut: - Sikap terhadap materi pelajaran. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap materi pelajaran. Dengan sikap‘positif dalam diri peserta didik akan tumbuh dan berkembang minat belajar, akan lebih mudah diberi motivasi, dan akan lebih mudah menyerap materi pelajaran yang diajarkan. - Sikap terhadap guru/pengajar. Peserta didik perlu memiliki sikap positif terhadap guru. peserta didik yang tidak memiliki sikap positif terhadap guru akan cenderung mengabaikan hal-hal yang diajarkan. Dengan demikian, peserta didik yang memiliki sikap negatif terhadap guru/pengajar akan sukar menyerap materi pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut. - Sikap terhadap proses pembelajaran. Peserta didik juga perlu memiliki sikap positif terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Proses pembelajaran di sini mencakup suasana pembelajaran, strategi, metodologi, dan teknik pembelajaran yang digunakan. Proses pembelajaran yang menarik, nyaman dan menyenangkan dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. - Sikap berkaitan dengan nilai-nilai atau norma-norma tertentuberhubungan dengan suatu materi pelajaran. Misalnya kasus atau masalah lingkungan hidup, berkaitan dengan materi Biologi atau Geografi. peserta didik juga perlu memiliki sikap yang tepat, yang dilandasi oleh nilai-nilai positif terhadap kasus lingkungan tertentu (kegiatan pelestarian/ kasus perusakan lingkungan hidup). Misalnya, peserta didik memiliki sikap positif terhadap program perlindungan satwa liar. Dalam kasus yang lain, peserta didik memilikisikap negatif terhadap kegiatan ekspor kayu glondongan ke luar negeri. - Sikap berhubungan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum yang relevan dengan mata pelajaran. Penilaian sikap dapat dilakukan dengan beberapa cara atau teknik. Teknik-teknik tersebut antara lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi. Teknik-teknik tersebut secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Observasi perilaku Perilaku seseorang pada umumnya menunjukkan kecenderungan seseorang dalam sesuatu hal. 29 Misalnya orang yang biasa minum kopi dapat dipahami sebagai kecenderungannya yang senang kepada kopi. Oleh karena itu, guru dapat melakukan observasi terhadap peserta didik yang dibinanya. Hasil observasi dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam pembinaan. Observasi perilaku di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan khusus tentang kejadiankejadian berkaitan dengan peserta didik selama di sekolah. Berikut contoh format buku catatan harian. Catatan dalam lembaran buku tersebut, selain bermanfaat untuk merekam dan menilai perilaku peserta didik sangat bermanfaat pula untuk menilai sikap peserta didik serta dapat menjadi bahan dalam penilaian perkembangan peserta didik secara keseluruhan. Selain itu, dalam observasi perilaku dapat juga digunakan daftar cek (Checklist) yang memuat perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan muncul dari peserta didik pada umumnya atau dalam keadaan tertentu. 2. Pertanyaan langsung Kita juga dapat menanyakan secara langsung tentang sikap seseorang berkaitan dengan sesuatu hal. Misalnya, bagaimana tanggapan peserta didik tentang kebijakan yang baru diberlakukan di sekolah mengenai “Peningkatan Ketertiban”. Berdasarkan jawaban dan reaksi lain yang tampil dalam memberi jawaban dapat dipahami sikap peserta didik itu terhadap objek sikap. Dalam penilaian sikap peserta didik di sekolah, guru juga dapat menggunakan teknik ini dalam menilai sikap dan membina peserta didik. 3. Laporan pribadi Melalui penggunaan teknik ini di sekolah, peserta didik diminta membuat ulasan yang berisi pandangan atau tanggapannya tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang menjadi objek sikap. Misalnya, peserta didik diminta menulis pandangannya tentang “Kerusuhan Antaretnis” yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Dari ulasan yang dibuat oleh peserta didik tersebut dapat dibaca dan dipahami kecenderungan sikap yang dimilikinya. E. CARA MEMBERI SKOR UNTUK DOMAIN PSIKOMOTOR Dalam domain psikomotor, pada umumnya yang diukur adalah penampilan atau kinerja. Untuk mengukurnya, Anda dapat menggunakan tes tindakan melalui simulasi, unjuk kerja atau tes identifikasi. Salah satu instrumen yang dapat Anda gunakan adalah skala penilaian yang terentang dari sangat baik (5), baik (4), cukup baik (3), kurang baik (2) sampai dengan tidak baik (1). Contoh : Pak Galih, seorang guru agama ingin mengetahui bagaimana seorang peserta didik melaksanakan sholat yang baik dan benar. Untuk itu, Pak Galih meminta seorang peserta didik A untuk menunjukkan gerakan-gerakan sholat. Alat ukur yang digunakan adalah skala penilaian 30 sebagai berikut : Tabel Pemberian Skor Untuk Praktik Gerakan Solat No Aspek – Aspek Penilaian 1. Gerakan takbiratul ikhram 5 4 3 2 1 2. Gerakan rukuk 5 4 3 2 1 3. Gerakan sujud 5 4 3 2 1 4. Gerakan tahiyat awal 5 4 3 2 1 5. Gerakan tahiyat akhir 5 4 3 2 1 6. Salam 5 4 3 2 1 Skala Penilaian Skor Jika peserta didik A memperoleh skor 6 (6 x 1) berarti peserta didik tersebut gagal (tidak baik), dan bila memperoleh skor 30 (6 x 5) berarti peserta didik tersebut berhasil (sangat baik). Dengan demikian, mediannya adalah (30 + 6) / 2 = 18. Jika dibagi menjadi empat kategori, maka akan diperoleh tingkatan nilai sebagai berikut : Skor 06 – 12 berarti tidak/kurang baik (gagal) Skor 13 – 18 berarti cukup baik (cukup berhasil) Skor 19 – 24 berarti baik (berhasil) Skor 25 – 30 berarti sangat baik (sempurna) Ranah psikomosotorik menurut Dave’s adalah: (a) imitasi, (b) manipulasi, (c) ketepatan, (d) artikulasi, dan (e) naturalisasi. Imitasi: mengamati dan menjadikan perilaku orang lain sebagai pola. Apa yang ditampilkan mungkin kualitas rendah. Contoh: menjiplak hasil karya seni. Manipulasi: mampu menunjukkan perilaku tertentu dengan mengikuti instruksi dan praktek. Contoh: membuat hasil karya sendiri setelah mengikuti pelajaran, ataupun membaca mengenai hal tersebut. Ketepatan: meningkatkan metode supaya lebih tepat. Beberapa kekeliruan tampak jelas. Contoh: bekerja dan melakukan sesuatu kembali, sehingga menjadi “cukup baik.” Artikulasi: mengkoordinasikan serangkaian tindakan, mencapai keselarasan dan internal konsistensi. Contoh: memproduksi film video yang menampilkan musik, drama, warna, suara dsb. Naturalisasi: telah memiliki tingkat performance yang tinggi sehingga menjadi alami, dalam melakukan tidak perlu berpikir banyak. Misalkan: Michael Jordan bermain basket, Nancy Lopez memukul bola golf. Harrow (1972) menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat sebagai berikut: (1) Meniru. Tujuan pembelajaran pada tingkat ini diharapkan peserta didik dapat meniru suatu perilaku yang dilihatnya, 31 (2) Manipulasi. Tujuan pembelajaran pada tingkat ini menuntut peserta didik untuk melakukan suatu perilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Tetapi diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal, (3) Ketepatan Gerakan. Tujuan pembelajaran pada level ini peserta didik mampu melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang dan akurat, (4) Artikulasi. Tujuan pembelajaran pada level ini peserta didik mampu menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat, dan (5) Naturalisasi. Tujuan pembelajaran pada tingkat ini peserta didik mampu melakukan gerakan tertentu secara spontan tanpa berpikir lagi cara melakukannya dan urutannya. 112 Gambar Ranah Meniru (immitation), pada pada tingkat ini mengharapkan peserta didik untuk dapat meniru suatu prilaku yang dilihatnya. Manipulasi (manipulation), pada tingkat ini peserta didik diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Peserta didik diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (perilaku) yang diminta. Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru. Ketetapan gerakan (precision), pada tingkat ini peserta didik diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan Contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat dan akurat. Artikulasi (artikulation), pada tingkat ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat. Naturalisasi (naturalization) Pada tingkat ini peserta didik diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Peserta didik melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan urutannya. RANAH PSIKOMOTORIK Tingkat Kompetensi Meniru Contoh Kata Kerja Operasional Mengulangi, mengikuti, memegang, menggambar, mengucapkan, melakukan Manipulasi Mengulangi, mengikuti, memegang, menggambar, mengucapkan, melakukan, (tidak melihat contoh/tidak mendengar suara) Ketepatan gerakan Mengulangi, mengikuti, memegang, menggambar, mengucapkan, melakukan, (tepat, lancar tanpa kesalahan) Artikulasi Menunjukkan gerakan, akurat benar, kecepatan yang tepat, sifatnya: selaras, stabil dan 32 sebagainya. Naturalisasi Gerakan spontan/otomatis, tanpa Berpikir melakukan dan urutannya Pengukuran ranah piskomotorik merupakan merupakan pengukuran yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik menunjukkan unjuk kerja. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Unjuk kerja yang dapat diamati seperti: bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/deklamasi, menggunakan peralatan laboratorium, dan mengoperasikan suatu alat. Pengukuran ranah psikomotorik perlu memperhatikan hal-hal berikut: a. Langkah-langkah kinerja yang diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompetensi. b. Kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut. c. kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas. d. Upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati. e. kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan urutan yang akan diamati Bentuk-bentuk teknik pengukuran pada ranah psikomotorik antara lain: 1. Daftar Cek Pengukuran ranah psikomotorik dapat dilakukan dengan menggunakan daftar cek (ya tidak). Pada pengukuran ranah psikomotorik yang menggunakan daftar cek, peserta didik mendapat nilai apabila kriteria penguasaan kemampuan tertentu dapat diamati oleh penilai. Jika tidak dapat diamati, peserta didik tidak memperoleh nilai. Kelemahan cara ini adalah penilai hanya mempunyai dua pilihan mutlak, misalnya benar-salah, dapat diamati-tidak dapat diamati. Dengan demikian tidak terdapat nilai tengah. 2. Skala Rentang Pengukuran ranah psikomotorik yang menggunakan skala rentang memungkinkan penilai memberi nilai penguasaan kompetensi tertentu karena pemberian nilai secara kontinuum di mana pilihan kategori nilai lebih dari dua. Penilaian sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu penilai agar faktor subjektivitas dapat diperkecil dan hasil penilaian lebih akurat. Kriteria Penskoran: semakin baik penampilan peserta didik semakin tinggi skor yang diperoleh. 33 F. PENGOLAHAN DATA HASIL TES PAP DAN PAN Menurut Zainal Arifin (2011) ada dua pendekatan penafsiran hasil tes, yaitu “pendekatan penilaian acuan patokan (criterion-referenced assessment) dan pendekatan penilaian acuan norma (norm-referenced assessment)”. Pendekatan penilaian acuan patokan (PAP) pada umumnya digunakan untuk menafsirkan hasil tes formatif, sedangkan penilaian acuan norma (PAN) digunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif. Namun, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dengan model penilaian berbasis kelas (classroombased assessment) pendekatan yang digunakan adalah PAP. 1. Penilaian Acuan Patokan (PAP) Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan apa yang telah dicapai peserta didik sesudah menyelesaikan satu bagian kecil dari suatu keseluruhan program. Jadi, penilaian acuan patokan meneliti apa yang dapat dikerjakan oleh peserta didik, dan bukan membandingkan seorang peserta didik dengan teman sekelasnya, melainkan dengan suatu kriteria atau patokan yang spesifik. Kriteria yang dimaksud adalah suatu tingkat pengalaman belajar yang diharapkan tercapai sesudah selesai kegiatan belajar atau sejumlah kompetensi dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum kegiatan belajar berlangsung. Misalnya, kriteria yang digunakan 75% atau 80%. Bagi peserta didik yang kemampuannya di bawah kriteria yang telah ditetapkan dinyatakan tidak berhasil dan harus mendapatkan remedial. Tujuan penilaian acuan patokan adalah untuk mengukur secara pasti tujuan atau kompetensi yang ditetapkan sebagai kriteria keberhasilannya. Penilaian acuan patokan sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kualitas hasil belajar, sebab peserta didik diusahakan untuk mencapai standar yang telah ditentukan, dan hasil belajar peserta didik dapat diketahui derajat pencapaiannya. Untuk menentukan batas lulus (passing grade) dengan pendekatan ini, setiap skor peserta didik dibandingkan dengan skor ideal yang mungkin dicapai oleh peserta didik. Misalnya, dalam suatu tes ditetapkan skor idealnya adalah 100, maka peserta didik yang memperoleh skor 85 sama dengan memperoleh nilai 8,5dalam skala 0 – 10. Demikian seterusnya. Contoh : Diketahui skor 52 orang peserta didik sebagai berikut : 32 20 35 24 17 30 36 27 37 50 36 35 50 43 31 25 44 36 30 40 27 36 37 32 21 22 42 39 47 28 34 50 27 43 17 42 34 38 37 31 32 22 31 38 46 50 38 50 21 29 33 34 29 Pedoman konversi yang digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skorstandar pada norma absolut skala lima adalah : Tingkat Penguasaan Skor Standar 90 % - 100 % A 80 % - 89 % B 70 % - 79 % C 60 % - 69 % D > 59 % E Jika skor maksimum ditetapkan berdasarkan kunci jawaban = 60, makapenguasaan 90 % = 0,90 x 60 = 55, penguasaan 80 % = 0,80 x 60 = 48, penguasaan 70 % = 0,70 x 60 = 42, penguasaan 60 % = 0,60 x 60 = 36. Dengan demikian,diperoleh tabel konversi sebagai berikut : Skor Mentah Skor Standar 54 – 60 A 48 – 53 B 42 – 47 C 36 – 41 D > 35 E Jadi, peserta didik yang memperoleh skor 50 berarti nilainya B, skor 35 nilainyaE (tidak lulus), skor 44 nilainya C, dan seterusnya. Jika dikehendaki standar sepuluh, maka skor pesertaberikut dapat dikonversi dengan pedoman sebagai: Tingkat Penguasaan Skor Standar 95 % - 100 % 10 85 % - 94 % 9 35 75 % - 84 % 8 65 % - 74 % 7 55 % - 64 % 6 45 % - 54 % 5 35 % - 44 % 4 25 % - 34 % 3 15 % - 24 % 2 05 % - 14 % 1 Selanjutnya, persentase tingkat penguasaan terlebih dahulu diubah dalam bentuk tabel konversi. Caranya sama dengan skala lima di atas, setiap batas bawah tingkat penguasaan dikalikan dengan skor maksimum. Contoh : penguasaan 95 % = 0,95 x 60 = 57, penguasaan 85 % = 0,85 x 60 = 51, penguasaan 75 % = 0,75 x60 = 45, dan seterusnya. Dengan demikian, tabel konversinya adalah : Skor Mentah Skor Standar 57 – 60 10 51 – 56 9 45 – 50 8 39 – 44 7 33 – 38 6 27 – 32 5 21 – 26 4 15 – 20 3 09 – 14 2 03 – 08 1 Berdasarkan tabel di atas, maka peserta didik yang memperoleh skor 47 nilainya8, skor 35 nilainya 6, skor 24 nilainya 4, dan seterusnya. Penafsiran dengan pendekatan PAP dapat juga menggunakan langkah-langkahsebagai berikut : 1. Mencari skor ideal, yaitu skor yang mungkin dicapai oleh peserta didik, jika semua soal dapat dijawab dengan betul. 36 2. Mencari rata-rata ( Χ ‾ ) ideal dengan rumus : π πππππ = 1 × π πππ πππππ 2 3. Mencari simpangan baku (s) ideal dengan rumus : π πππππ = 1 × π πππππ 2 4. Menyusun pedoman konversi sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan langkah-langkah diatas, maka pengolahannya adalah : 1. Mencari skor ideal, yaitu 60 2. Mencari rata rata ideal, yaitu 2 × 60 = 30. 3. Mencari simpangan baku ideal, yaitu × 30 = 10. 4. Menyusun pedoman konversi : a. 1 1 2 Skala Lima : A Χ ‾ + 1,5 (s) = 30 + 1,5 (10) = 45 B ‾Χ + 0,5 (s) = 30 + 0,5 (10) = 35 C Χ ‾ - 0,5 (s) = 30 - 0,5 (10) = 25 D ‾Χ - 1,5 (s) = 30 - 1,5 (10) = 15 E Dengan demikian, skor 32 nilainya C, skor 20 nilainya D, skor 35 nilainyaC, skor 24 nilainya D, dan skor 17 nilainya D. b. Skala Sepuluh : 10 Χ ‾ + 2,25 (s) = 30 + 2,25 (10) = 52,5 9 37 Χ ‾ + 1,75 (s) = 30 + 1,75 (10) = 47,5 8 Χ ‾ + 1,25 (s) = 30 + 1,25 (10) = 42,5 7 Χ ‾ + 0,75 (s) = 30 + 0,75 (10) = 37,5 6 Χ ‾ + 0,25 (s) = 30 + 0,25 (10) = 32,5 5 Χ ‾ - 0,25 (s) = 30 - 0,25 (10) = 27,5 4 Χ ‾ - 0,75 (s) = 30 - 0,75 (10) = 22,5 3 Χ ‾ - 1,25 (s) = 30 - 1,25 (10) = 17,5 2 Χ ‾ - 1,75 (s) = 30 - 1,75 (10) = 12,5 1 Χ ‾ - 2,25 (s) = 30 - 2,25 (10) = 7,5 0 Dengan demikian, skor 32 nilainya 5, skor 20 nilainya 3, skor 35 nilainya6, skor 24 nilainya 4, dan skor 17 nilainya 2. c. Skala 0-100 (T-skor) Rumus : π − π πππ = 50 + [ π−ππ π ] 10 Keterangan : 50 dan 10 = bilangan tetap X = skor mentah yang diperoleh setiap peserta didik Xi = rata rata S = simpangan baku Contoh : Peserta didik A memperoleh skor mentah 35. Rata-rata= 60 dan simpangan baku=20. Dengan 38 demikian, nilai yang diperoleh peserta didik A dalam skala nilai 0-100 adalah : 50 + [ d. 35 − 60 ] 10 = 37,5 20 Konversi dengan Z – score : Z – score adalah suatu ukuran yang menunjukkan berapa besarnya simpangan baku seseorang berada di bawah atau di atas rata-rata dalam kelompok tersebut. π π’ππ’π βΆ π = π − ππ π Contoh : Diketahui : skor (X) = 35 ; rata-rata (Xi) = 60 ; simpangan baku =20 Jadi, π − π πππ = e. 35−60 20 = −1,25 Peringkat (rangking) Menafsirkan skor mentah dapat pula dilakukan dengan cara menyusun peringkat. Caranya adalah dengan mengurutkan skor, mulai dari skor terbesar sampai dengan skor terkecil. Skor terbesar diberi peringkat 1, begitu seterusnya sampai dengan skor terkecil. Skor-skor yang sama harus diberi peringkat yang sama pula. Contoh : Diketahui : 5 (lima) orang peserta didik memperoleh skor dalam bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai berikut : 20, 35, 25, 25, dan 30. Untuk memberikan peringkat terhadap skorskor tersebut dapat diikuti langkah-langkah berikut : Pertama, mengurutkan skor-skor tersebut dari yang terbesar sampai dengan terkecil dengan diberi nomor urut sesuai dengan jumlah data. 1. 35 2. 30 3. 25 4. 25 5. 20 Kedua, memberi peringkat berdasarkan nomor urut, tetapi untuk skor yang sama harus diberi peringkat yang sama. Skor : Peringkat : 39 1. 35 1 2. 30 2 3. 25 3,5 4. 25 3,5 5. 20 5 Peringkat untuk skor 25 adalah 3,5 yang diperoleh dari (3 + 4) : 2 = 3,5. Skor selanjutnya diberi peringkat sesuai dengan nomor urut selanjutnya. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, prestasi belajar peserta didik ditentukan oleh perbandingan antara pencapaian sebelum dan sesudah pembelajaran serta kriteria penguasaan kompetensi yang ditentukan. Oleh karena itu, dalam penilaian berbasis kelas lebih tepat apabila menggunakan penilaian acuan patokan (PAP). 2. Penilaian Acuan Norma (PAN) Dalam penilaian acuan norma, makna angka (skor) seorang peserta didik ditemukan dengan cara membandingkan hasil belajarnya dengan hasil belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok/kelas. Peserta didik dikelompokkan berdasarkan jenjang hasil belajar, sehingga dapat diketahui kedudukan relatif sedorang peserta didik dibandingkan dengan teman sekelasnya. Tujuan penilaian acuan norma adalah untuk membedakan peserta didik atas kelompok-kelompok tingkat kemampuan, mulai dari yang terendah sampai dengan tertinggi. Secara ideal, pendistribusian tingkat kemampuan dalam satu kelompok menggambarkansuatu kurva normal. Pada umumnya, penilaian acuan norma dipergunakan untuk seleksi. Soal tes dalam pendekatan ini dikembangkan dari bagian bahan yang dianggap oleh guru urgen sebagai sampel dari bahan yang telah disampaikan. Anda berwenang untuk menentukan bagian mana yang lebih urgen. Untuk itu, Anda harus dapat membatasi jumlah soal yang diperlukan, karena tidak semua materi yang disampaikan kepada peserta didik dapat dimunculkan soal- soalnya secara lengkap. Soal-soal harus dibuat dengan tingkat kesukaran yang bervariasi, mulai dari yang mudah sampai dengan sukar, sehingga memberikankemungkinan jawaban peserta didik bervariasi, soal dapat menyebar, dan dapat membandingkan peserta didik yang satu dengan lainnya. Peringkat dan klasifikasi anak yang didasarkan pada penilaian acuan norma lebih banyak mendorong kompetisi daripada membangun semangat kerjasama. Lagi pula tidak menolong sebagian besar peserta didik yang mengalami kegagalan. Dengan kata lain, keberhasilan peserta didik hanya ditentukan oleh kelompoknya. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, prestasi peserta didik ditentukan oleh perbandingan antara pencapaian sebelum dan sesudah pembelajaran, 40 serta kriteria penguasaan kompetensi yang ditentukan. Penilaian acuan norma biasanya digunakan pada akhir unit pembelajaran untuk menentukan tingkat hasil belajar peserta didik. Pedoman konversi yang digunakan dalam pendekatan PAN sama dengan pendekatan PAP. Perbedaannya hanya terletak dalam menghitung rata-rata dan simpangan baku. Dalam pendekatan PAN, rata-rata dan simpangan baku dihitung dengan rumus statistik sesuai dengan skor mentah yang diperoleh peserta didik. Adapunlangkah-langkah pengolahannya adalah : 1. Mencari skor mentah setiap peserta didik. 2. Menghitung rata-rata ( Χ ‾ ) aktual dengan rumus : Keterangan : ∑ ππ π πππ‘π’ππ = ππ + ( )π π M = mean F = frekuensi d = deviasi fd = frekuensi kali deviasi n = jumlah sampel i = interval 3. Menghitung simpangan baku (s) aktual dengan rumus: π(∑ ππ2 ) − (∑ ππ) √ π =π π(π − 1) 2 4. Menyusun Konversi 1. Contoh : Diketahui : 52 orang peserta didik setelah mengikuti Ujian Akhir Semester mata pelajaran Bahasa Arab memperoleh skor sebagai berikut : 32 20 35 24 17 30 36 27 37 50 36 35 50 43 31 25 44 36 30 40 27 36 37 32 21 22 42 39 47 28 50 27 43 17 42 34 38 37 31 32 22 31 38 46 50 38 50 21 29 33 34 29 41 Pertanyaan : tentukan nilai peserta didik dengan pendekatan PAN ! Langkah-langkah penyelesaian : 1. Menyusun skor terkecil sampai dengan skor terbesar seperti berikut : 17 25 30 34 37 42 50 17 27 31 34 37 42 50 20 27 31 35 37 43 50 21 27 31 35 38 43 50 21 28 32 36 38 44 22 29 32 36 38 46 22 29 32 36 39 47 24 30 33 36 40 50 Selanjutnya data ini ditabulasikan dalam daftar distribusi frekuensi, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan kelas interval. Untuk membuat kelas interval dapat digunakan rumus Sturges. Adapun langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut : a. Mencari rentang (range), yaitu skor terbesar dikurangi skor terkecil. Skor terbesar = 50 Skor terkecil = 17 Rentang = 33 b. Mencari banyak kelas interval : Banyak kelas = 1 + (3,3) log. n = 1 + (3,3) log 52 = 1 + (3,3) (1,7160) = 1 + 5,6628 = 6,6628 = 7 ( di bulatkan ) c. Mencari interval kelas 42 π= π πππ‘πππ 33 = = 4,9529 = 5(ππππ’πππ‘πππ) π΅πππ¦ππ πΎππππ 6,6628 d. Menyusun daftar distribusi frekuensi: Tabel Distribusi Frekuensi Skor Bahasa Arab Kelas Interval Tally Frekuensi 17-21 IIIII 5 22-26 IIII 4 27-31 IIIII IIIII I 11 32-36 IIIII IIIII II 12 37-41 IIIII III 8 42-46 IIIII I 6 47-51 IIIII I 6 Jumlah 52 2. Menghitung rata rata dan simpangan baku aktual Menghitung Rata-rata dan Simpangan Baku Aktual Fd F (d2) +3 18 54 6 +2 12 24 37 – 41 8 +1 8 8 32 – 36 12 0 0 27 – 31 11 -1 - 11 11 22 – 26 4 -2 - 8 16 17 – 21 5 -3 - 15 45 Jumlah 52 Kelas Interval f 47 – 51 6 42 – 46 d 0 4 158 ∑ ππ 4 π = ππ + ( ) π = 34 + ( ) 5 = 34,38 π 52 2 π(∑ ππ2 ) − (∑ ππ) 52(158) − (4)2 8216 − 16 π = π√ = 5√ = 5√ = 5√3,092006 = 8,79 π(π − 1) 52(52 − 1) 2652 43 3. Menyusun pedoman konversi : a. Skala Lima (0 – 5) : Χ ‾ A Χ + 1,5 (s) = 34,38 + 1,5 ( 8,79 ) = 47,57 B Χ ‾ + 0,5 (s) = 34,38 + 0,5 ( 8,79 ) = 38,78 C Χ ‾ - 0,5 (s) = 34,38 - 0,5 ( 8,79 ) = 29,99 D Χ ‾ - 1,5 (s) = 34,38 - 1,5 ( 8,79 ) = 21,20 E Dengan demikian, skor 32 nilainya C, skor 20 nilainya E, skor 35nilainya C, skor 24 nilainya D, dan skor 17 nilainya E. b. Skala Sepuluh (0 – 10) : 10 Χ ‾ + 2,25 (s) = 34,38 + 2,25 ( 8,79 ) = 54,16 9 Χ ‾ + 1,75 (s) = 34,38 + 1,75 ( 8,79 ) = 49,76 8 Χ ‾ + 1,25 (s) = 34,38 + 1,25 ( 8,79 ) = 45,37 7 Χ + 0,75 (s) = 34,38 + 0,75 ( 8,79 ) = 40,97 6 Χ + 0,25 (s) = 34,38 + 0,25 ( 8,79 ) = 36,58 5 Χ ‾ - 0,25 (s) = 34,38 - 0,25 ( 8,79 ) = 32,18 4 Χ ‾ - 0,75 (s) = 34,38 - 0,75 ( 8,79 ) = 27,79 44 3 Χ ‾ - 1,25 (s) = 34,38 - 1,25 ( 8,79 ) = 23,39 2 Χ ‾ - 1,75 (s) = 34,38 - 1,75 ( 8,79 ) = 19,00 1 Χ ‾ - 2,25 (s) = 34,38 - 2,25 ( 8,79 ) = 14,60 0 a. Skala Seratus (0-100) atau T-100 π π’ππ’π : π − π πππ = 50 + ( π − ππ ) 10 π Keterangan : 50 dan 10 = bilangan tetap X = skor mentah yang diperoleh setiap peserta didik Xi = rata rata s = simpangan baku Contoh : Diketahui : Peserta didik A memperoleh skor mentah 35. Rata-rata = 34,38 dan simpangan baku=8,79. Dengan demikian, nilai yang diperoleh peserta didik A dalam skala 0-100 adalah 50 + ( 35−34,8 8,79 ) 10 = 50,71 b. Konversi dengan Z – skor : Z – skor adalah suatu ukuran yang menunjukkan berapa besarnya simpangan baku seseorang berada di bawah atau di atas rata-rata dalam kelompok tersebut. π π’ππ’π : π = π − ππ π Contoh: Diketahui : skor (X) =35; Rata-rata (Xi)=34,38 Jadi, Z-Skor = 35−34,38 ( 8,79 ) 10 = = 0,07 Simpangan baku(s)=8,79 45 Secara teoritik, pendekatan penilaian terdiri atas dua pendekatan seperti telah dijelaskan dalam kegiatan belajar 1 dan 2, tetapi dalam praktik, kita dapat menggunakan pendekatan gabungan antara PAP dan PAN. Pendekatan gabungan digunakan dengan asumsi bahwa pendekatan PAP dan PAN masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pedoman konversi yang digunakan sama dengan pedoman konversi dalam PAP dan PAN. Perbedaannya hanya terletak dalam perhitungan rata-rata dan simpangan baku. Rata-rata gabungan = ( ‾Χ ideal + ‾Χ aktual) / 2. Simpangan baku (SB) gabungan = (SB ideal + SB aktual) / 2. Dengan demikian, untuk memperoleh rata-rata gabungan, terlebih dahulu harus dicari rata-rata ideal dan rata-rata aktual. Begitu juga untuk mencari simpangan baku gabungan. Contoh : Diketahui : ‾Χ ideal = 60 SB ideal = 20 ‾Χ aktual = 34,38 SB aktual =8,79 Jadi, ‾Χ gabungan = ½ x ( ‾Χ ideal + ‾Χ aktual ) = ½ x ( 60 + 34,38 ) = 47,19 SB gabungan = ½ x ( SB ideal + SB aktual ) = ½ x ( 20 + 8,79 ) = 14,395 Untuk penyusunan pedoman konversi dapat digunakan seperti dalam pendekatan PAP dan PAN. Penilaian acuan patokan meneliti apa yang dapat dikerjakan oleh peserta didik, dan bukan membandingkan seorang peserta didik dengan teman sekelasnya, melainkan dengan suatu kriteria atau patokan yang spesifik. Tujuan penilaian acuan patokan adalah untuk mengukur secara pasti tujuan atau kompetensi yang ditetapkan sebagai kriteria keberhasilannya. Langkah-langkah pendekatan PAP adalah mencari skor ideal, mencari rata-rata ideal, mencari simpangan baku ideal, dan menyusun pedoman konversi sesuai dengan kebutuhan. Dalam penilaian acuan norma, makna angka (skor) seorang peserta didik ditemukan dengan cara membandingkan hasil belajarnya dengan hasil belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok/kelas. Tujuan penilaian acuan norma adalah untuk membedakan peserta didik atas kelompok-kelompok tingkat kemampuan, mulai dari yang terendah sampai dengan tertinggi. Secara 46 ideal, pendistribusian tingkat kemampuan dalam satu kelompok menggambarkan suatu kurva normal. Adapun langkah-langkah pengolahan dengan pendekatan PAN adalah mencari skor mentah setiap peserta didik, menghitung rata-rata aktual, menghitung simpangan baku aktual, dan menyusun pedoman konversi. Dalam praktik, kita dapat menggunakan pendekatan gabungan antara PAP dan PAN. Pendekatan gabungan digunakan dengan asumsi bahwa pendekatan PAP dan PAN masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pedoman konversi yang digunakan sama dengan pedoman konversi dalam PAP dan PAN. Perbedaannya hanya terletak dalam perhitungan rata-rata dan simpangan baku. Rata-rata gabungan = ( ‾Χ ideal + ‾Χ aktual) / 2. Simpangan baku gabungan = (SB ideal + SB aktual) / 2. 47 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Banyak guru yang sudah mengumpulkan data hasil tes dari peserta didiknya, tetapi tidak memperhatikan cara mengolahnya sehingga data tersebut menjadi mubazir (data tanpa makna). Sebaliknya, jika hanya ada data yang relative sedikit, tetapi sudah mengetahui cara pengolahannya, maka data tersebut akan mempunyai makna. Pada umumnya, pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Analisis statistik digunakan jika ada data kuantitatif, yaitu data-data yang berbentuk angka, sedangkan untuk data kualitatif, yaitu data yang berbentuk kata-kata, tidak dapat diolah dengan statistik. Perlu untuk diperhatikan juga oleh para pendidik tentang pentingnya menguasai ilmu tentang teknik pengolahan hasil evaluasi. Dengan ilmu ini maka tidak dikhawatirkan terjadi ketidak adilan dalam pemberian nilai pada peserta didik. Oleh sebab itu, dalam makalah ini kami menuliskan beberapa hal terkait dengan teknik pengolahan hasil evaluasi diantaranya, teknik pengolahan hasil tes, skor total, konversi skor, cara memberi skor untuk skala sikap, cara memberi skor untuk domain psikomotor, dan pengolahan data hasil tes PAP dan PAN. B. SARAN Penyusunan makalah ini tentu belum sempurna, karena yang sempurna hanyalah milik Tuhan semata. Jika masih ada kesalahan baik itu pada materi, penggunaan bahasa, tata cara penulisan, dan sistematika makalah yang kami susun mohon untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun. Demi penyusunan makalh kedepanya. 48 DAFTAR PUSTAKA Ainur Rofieq (2008) Analisis Statistik, UMM Press. Arifin, Zainal (2011), Evaluasi Pembelajaran : Prinsip-Teknik-Prosedur, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. Arifin, Zainal (2011), Penelitian Pendidikan : Metode dan Paradigma Baru, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. Anas Sudijono, 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers,) Ngalim Purwanto, 1994. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,) M. Chatib Thoha, MA, Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1991 49