KONTROL DUNIA AKADEMIS Untuk meningkatkan kontrol terhadap kehidupan kampus dan dunia akademis pada awal 1980 pihak keamanan juga mengheluarkan ketentuan tentang diperlukannya ijin dari kepolisian bagi setiap pertunjukan, seminar maupun pertemuan di luar maun di dalam kampus. Pihak penyelenggara harus mengajukan surat permohonan ijin acara dengan melampirkan daftar panitia secara lengkap dan fotokopi identitas ketuanya kepada pihak Polres. Pihak kepolisian kemudian akan meneruskan surat tersebut ke pihak Kodim, Korem atau Kodam, tergantung dari urgensi dan topik yang akan diangkat. Bila dianggap berbahaya ijin tak akan dikeluarkan hingga saat penyelenggaraan. Bila panitia ngotot untuk mewujudkan acara, polisi pada umumnya akan segera membubarkannya. Dalam hal penelitian juga muncul berbagai hambatan. Para mahasiswa dan peneliti tak bebas melakukan untuk melakukan penelitian. Termasuk penelitian tentang buku-buku yang dilarang. Bahkan untuk keperluan referensi akademis sekali pun. Mahasiswa dan peneliti yang bermaksud menggunakan referensi dan membuka-buka halaman buku terlarang yang tersimpan di Perpustakaan Nasional harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari badan intelejen Bakin, Kejaksaan Agung dan Kepala Perpustakaan Nasional. Kerap kali diperlukan rekomendasi khusus dari Bakorstanas dan Badan Intelejen ABRI. Itu artinya yang bersangkutan harus menjalani screening test dari sejumlah lembaga yang terkenal angker. Kontrol juga dilakukan terhadap para mahasiswa dan peneliti asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia. Para peneliti yang berkewajiban mendapatkan visa itu umumnya melampirkan proposal penelitian mereka saat mengajukan permohonan visa di kedutaan besar Indonesia setempat. Selain itu, mereka juga harus mendapatkan rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan surat rekomendasi bagi peneliti asing. Unsur intelijen di kedutaan lazimnya akan membaca dan memeriksa proposal yang diajukan para mahasiswa atau peneliti itu. Bila topiknya dianggap berpotensi bisa menimbulan ”huruhara”, maka pihak Departemen Luar Negeri akan segera mengeluarkan memo kepada LIPI agar tak mengeluarkan surat rekomendasi yang diperlukan. Dalam sejarah adanya nota memo hampir pasti LIPI tak pernah menolaknya. Hal ini menunjukkan adanya hegemoni dunia dan kerja intelijen terhadap dunia akademis. Bisa dipastikan bahwa sebuah riset tak akan pernah bisa dijalankan tanpa ada surat ijin dari LIPI dan persetujuan dari Bakin. LIPI sendiri mempunyai sebuah tim yang bertugas untuk mempelajari, menilai dan mengeluarkan keputusan untuk memberikan atau menolak pemberian rekomendasi penelitian bagi para mahasiswa atau peneliti asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia. Bergabung dalam Tim LIPI ini antara lain unsur Departemen Luar negeri, Bakin, Badan Intelijen ABRI (BIA, sekarang BIS), dan tentu saja Kopkamtib. Ada pun topik-topik yang umumnya ditolak adalah topik yang dianggap bisa menimbulkan risiko politik, misalnya penelitian terhadap kebenaran Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua. Pada 1987 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Dr. Arief Budiman mendapat berbagai serangan karena dianggap mengajarkan Marxisme kepada para mahasiswa pasca-sarjana di universitas tersebut. Pemerintah Orde Baru melalui aparat intelijen juga mencoba melakukan penjinakan terhadap ilmu sosial, ekonomi, dan sejarah. Semuanya lebih merupakan sebuah upaya untuk ”menormalkan” kehidupan menurut pandangan Orde Baru tentang manusia dan masyarakat yang disebut sebagai sistem Orde Baru. Menurut Daniel Dhakidae (Daniel 2003), normalisasi Orde Baru memberikan dampak besar bukan saja kepada ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga kepada upaya mendisiplinkan ilmuwan sosial dan penelitian sosial. Terjadi pertarungan antara cendekiawan dengan kekuasaan negara. Para cendekiawan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas ilmu-ilmu sosial berhadapan dengan kekuasaan negara terhadap ilmu sosial dan ilmuwan sosial yang kadang dilihat sebagai ”juruselamat” dan kadang sebagai ”keparat”. Lebih lanjut, Daniel menyatakan bahwa semua hal dikontrol oleh negara. Sejarah dikontrol, ilmu ekonomi dikendalikan, historiografi dibekukan dan hampir-hampir dibunuh. Sebagai akibatnya dalam satu gerak negara bukan saja mengatur ilmu-ilmu sosial akan tetapi menjadi ”ilmuwan sosial” itu sendiri, menjadi ”ahli ilmu ekonomi”, ahli statistik dan lain-lain. Birokrat negara menjadi ahli ilmu-ilmu sosial, ahli ilmu statistik, dan bahkan dia juga menjadi seniman serta sastrawan sendiri. Dalam sejumlah kasus, para ilmuwan dan intelektual lebih banyak menunggu Soeharto dawuh. Kasus gerhana matahari total yang hanya berlangsung 1 kali dalam 200 tahun pada 1982 dan mengamuknya hama wereng pada 1993 memperkuat hal ini. Saat itu tak ada satupun ilmuwan yang berinisiatif memberikan penjelasan. Malah dalam kasus gerhana matahari, rakyat ditakut-takuti agar tidak ke luar rumah apalagi melihat matahari karena akan mengalami kebutaan secara langsung. Dalam kasus hama wereng, para guru besar IPB justru manggut-manggut ketika Pak Harto mengadakan temu-wicara dengan Kelompencapir di Bogor. Sepertinya para guru-besar IPB takut dituduh mencuri start sebelum Pak Harto memberikan kiat-kiat penanggulangan hama wereng kapada rakyat secara langsung.Dalam kasus gerhana total matahari pada 1982, masyarakat diteror dan ditakut-takuti dengan berbagai keterangan yang seolah-olah ilmiah bahwa menonton gerhana secara langsung akan membuat mata jadi buta. Jadi lebih baik dan lebih aman menonton gerhana melalui siaran langsung TVRI. Imbauan untuk sebaiknya melihat gerhana melalui siaran TVRI ini juga digencarkan oleh sejumlah doktar ahli mata dan pejabat departemen kesehatan. Juga ada imbauan agar rumah-rumah penduduk sebaiknya menutup tirai atau gorden dan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Bahkan ada banyak penduduk yang menutupi kaca jendelanya dengan kayu tripleks. Yang menarik dari peristiwa ini adalah ketika menjelang hari yang ditentukan tiba, aparat militer di Jawa tengah dikerahkan untuk melakukan patroli di jalanan dan menegur setiap orang yang ada di jalanan untuk segera pulang atau masuk ke rumah. Usut punya usut, sejumlah wartawan menyebutkan bahwa ternyata salah satu penasehat spritual Soeharto menyatakan bahwa bila pada saat terjadi gerhana mataharoi total terjadi kerumunan massa, bukan tak mungkin Presiden Soeharto akan jatuh dari kekuasaan. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan. Sebetulnya sejak akhir 1970-an sejumlah ilmuwan dan intelektual telah mencoba melancarkan berbagai gugatan. Mereka umumnya merasa gerah karena ilmu dan intelektual indonesia sepertinya terpisah dengan realitas negeri. Ilmu sepertinya tak pernah mampu menjawab persoalan-persoalan empirik yang ada di masyarakat. Dr. Arief Budiman yang pada 1981 pulang dari Harvard memperkenalkan sebuah terori struktural sebagai alternatif terhadap paradigma modernisasi yang selama hampir 3 dekade mendominasi dunia ilmu sosial di Indonesia. Arief berpendapat bahwa ilmu sosial di Indonesia bersifat ahiastoris, karena ia mengabaikan konteks kesejarahan. Para ilmuwan sosial kita cenderung mengimpor begitu saja teori-teoro sosial dari Barat tanpa mempertanyakan keabsahannya, terutama ketika diterapkan dalam konteks lokal. Padahal, menurut Arief, ilmu sosial tidak bebas nilai dan ilmu sosial itu sebenarnya merupakan satu ideologi imperialisme ekonomi. Gagasan Arief ini mendapat banyak reaksi berupa pro-kontra di kalangan ilmuwan sosial. Ilmu sosial di Indonesia terjebak dalam tujuan birokratis negara, selain para ilmuwan memang lebih tertarik menjadi birokrat negara. Hal ini bisa dilihat dari adanya model pelatihan para ilmuwan sosial yang menggunakan cara-cara pengidentifikasian masalah dan mencari solusi dengan cara-cara yang teknokratis. Demikian pula halnya dengan para ilmuwan sosial, baik yang lulusan dalam maupu luar negeri, menyelenggarakan berbagai seminar dan lokakarya serta membicarakan bagaimana supaya ilmu sosial bisa relevan bagi pembangunan. Koleksi Pustaka HAM Elsam Sumber Artikel KKPK