1 MAKALAH KESEHATAN MASYARAKAT Kasus Stunting di Indonesia Disusun oleh : Ismail (C011201134) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN APRIL, 2021 NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 2 ABSTRAK Stunting merupakan keadaan status gizi kronis yang diderita oleh seorang anak dan merupakan keadaan yang sulit diperbaiki disebabkan karena terdapat suatu gangguan pertumbuhan yang akan mungkin tetap bertahan hingga dua bahkan tiga tahun yang akan datang dari waktu kelahirannya. Prevalensi stunting di dunia pada tahun 2017 berada pada 22,2 persen, sedangkan prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 30,8 persen. Program dari WHO dalam penanganan kasus stunting di dunia tercakup dalam program Scaling Up Nutrition (SUN) sejak tahun 2010. Di Indonesia, program dalam cakupan dunia ini dituangkan dalam gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Program yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam pencegahan stunting ini di antaranya adalah adanya inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian ASI yang eksklusif untuk bayi baru lahir, pembagian tablet tambah darah (TTD) pada ibu hamil, penimbangan berat badan, dan pembekalan terhadap kader pos pelayanan terpadu (posyandu). Pencapaian pemerintah pada tahun 2019 untuk program IMD sebesar 75,58 persen, untuk program pemberian ASI eksklusif sebesar 67,74 persen, dan untuk program penimbangan di posyandu sebesar 73,86 persen anak per bulan. Melalui riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, dilaporkan bahwa cakupan konsumsi TTD pada ibu hamil hanya sebesar 33,32 persen. Kemudian, kegiatan gerakan pencegahan stunting oleh kader posyandu masih minim karena pelatihan kader jarang dilakukan. Program yang dilakukan oleh pemerintah sudah melalui berbagai penelitian dan sudah terbukti berkaitan dengan pencegahan kasus stunting. Secara garis besar, program pencegahan stunting telah dilaksanakan pemerintah melalui kementerian kesehatan dengan baik, tetapi masih belum merata ke seluruh daerah di Indonesia. Disarankan kepada pemerintah untuk lebih memerhatikan beberapa program yang masih kurang terlaksana dengan baik dan memprioritaskan kepada provinsi yang masih kurang dalam pelaksanaan tiap program ini. Masyarakat utamanya ibu hamil disarankan untuk lebih turut serta dalam menjalankan program pemerintah dalam pencegahan stunting ini. Kata kunci : Gizi, Balita, Bayi, Stunting, Indonesia NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 3 1. Latar belakang Setiap kasus stunting yang terjadi pada balita menjadi indikator penting dalam status gizi kronis yang nantinya menjadi gambaran bahwa terjadi gangguan dari sosial ekonomi pada masa lampau dan pada dua tahun pertama dari kehidupan seorang anak sehingga akan sulit untuk diperbaiki ke depannya (Ngaisyah, 2015). Di dunia, prevalensi stunting menurun dari tahun 2000 sebesar 32,6 persen menjadi 22,2 persen di tahun 2017. Begitu pula dengan prevalensi stunting di Asia Tenggara yang mengalami penurunan dari 51,3 persen di tahun 2000 menjadi 35,8 persen di tahun 2016 (UNICEF, WHO, World Bank Group, 2017). Melihat data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2013, prevalensi stunting secara nasional sebesar 37,2 persen, dengan rincian prevalensi pendek sebanyak 18,0 persen kemudian sangat pendek sebanyak 19,2 persen. Kemudian, tahun 2018 dilakukan riset kembali dan hasil dari Riskesdas tahun 2018 memberikan hasil prevalensi stunting yang menurun dari tahun 2013 yaitu sebesar 30,8 persen. Dalam ilmu kesehatan masyarakat, kasus stunting masih dianggap menjadi permasalahan dalam suatu wilayah apabila prevalensi kasus tersebut berkisar 30-39 persen. Jika merujuk terhadap standar tersebut, Indonesia masih dalam bayang-bayang permasalahan kesehatan masyarakat dalam penanganan kasus stunting. Sebuah kelompok yang dibentuk dalam menanggulangi kasus stunting juga berkaitan dengan adanya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNPPK) yang menyebutkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia menempati peringkat kelima yang terbesar di dunia pada rentang 2005-2017. Rata-rata dari prevalensi kasus stunting di Indonesia tahun 2005 hingga 2017 sebesar 36,4 persen. World Health Organization (WHO) juga mengumpulkan data mengenai rata-rata prevalensi stunting ini dan hasilnya membuktikan bahwa Indonesia termasuk sebagai negara NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 4 ketiga tertinggi dalam prevalesi stunting di wilayah Asia Tenggara atau South-East Asia Regional (SEAR). Keadaan yang dialami oleh masyarakat saat ini memberikan bukti bahwa kasus stunting menjadi permasalahan kekurangan gizi yang bersifat kronis akibat pemberian asupan gizi yang kurang dalam rentang waktu yang lama. Stunting akan bermula ketika dalam bentuk janin, tetapi akan tampak saat anak menginjak usia dua tahun. Angka kematian bayi dan anak semakin meningkat akibat kekurangan gizi yang pada nantinya akan membuat penderita mudah terserang penyakit serta postur tubuh yang kurang maksimal ketika berusia dewasa. Akibat lain yang dapat timbul adalah kecakapan dalam hal kognitif dari para penderita juga nantinya menurun, sehingga akan menjadi suatu dampak yang panjang bagi Indonesia dalam hal kemajuan ekonomi nantinya. Di Indonesia, kasus anak stunting tidak hanya terjadi dalam rumah tangga atau keluarga yang secara ekonomi kurang mampu, tetapi juga bisa dialami oleh rumah tangga atau keluarga yang tidak miskin atau tingkat kesejahteraannya berada di atas titik 40 persen (Sutarto, et al., 2018). Stunting adalah suatu keadaan yang sulit diperbaiki disebabkan karena terdapat suatu gangguan pertumbuhan yang akan mungkin tetap bertahan hingga dua bahkan tiga tahun yang akan datang dari waktu kelahirannya (Ramli, et al., 2009). Beberapa dampak dari kasus anak stunting yang akan timbul dalam waktu yang panjang di antaranya adalah risiko obesitas, hipertensi, penyakit jantung koroner, toleransi glukosa, osteoporosis, hingga penurunan dari performa dan produktivitas kerja (Eltaguri et al, 2008). NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 5 2. Program- program yang dilaksanakan Program dari WHO dalam penanganan kasus stunting di dunia tercakup dalam program Scaling Up Nutrition (SUN) sejak tahun 2010. Di Indonesia, program dalam cakupan dunia ini dituangkan dalam gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Hingga tahun 2019, Indonesia menjadi salah satu dari enam puluh negara yang memiliki komitmen kuat dalam pelaksanaan program untuk menurunkan angka kasus stunting (WHO, 2019). Salah satu upaya untuk mengaktifkan partisipasi dari pemilik kepentingan secara terkoordinasi dalam rangka mencapai perbaikan gizi dalam interval 1000 hari pertama kehidupan adalah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Perbaikan Gizi (Aryastami dan Tarigan, 2017). Program yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam pencegahan stunting ini di antaranya adalah adanya inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI yang eksklusif untuk bayi baru lahir, pembagian tablet tambah darah (TTD) pada ibu hamil, penimbangan berat badan, dan pembekalan terhadap kader pos pelayanan terpadu (posyandu). Program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dilaksanakan melihat fakta bahwa rendahnya pelaksanaan IMD serta pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif akan berdampak besar terhadap tumbuh dan kembang anak (Lestari dan Hanim, 2020). Pencapaian pemerintah pada tahun 2019 cukup baik dengan melihat bahwa persentase pelaksanaan IMD kepada bayi baru lahir mencapai 75,58 persen. Persentase ini sudah mencapai tuntutan target Rencana strategis (Renstra) di tahun 2019 yakni sebesar 50,0 persen. Sulawesi Tenggara menjadi provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir yang mendapatkan IMD yakni 94,92 persen adapun provinsi yang memiliki persentase IMD terbawah adalah Provinsi Papua Barat yakni 3,06 persen. Pada tahun 2019, masih terdapat dua provinsi yang masih belum mencapai target 50 persen yakni Papua Barat dan Maluku. NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 6 Selaras dengan program IMD, program pemberian ASI eksklusif oleh bayi baru lahir juga berjalan dengan cukup baik. Dalam lingkup nasional, jangkauan bayi yang memperoleh ASI eksklusif mencapai angka 67,74 persen di tahun 2019. Angka tersebut sudah melewati tuntutan target dari Renstra tahun 2019 yakni 50 persen. Provinsi Nusa Tenggara Barat menjadi provinsi dengan tingkat pemberian ASI eksklusif tertinggi yakni 86,26 persen, sebaliknya Provinsi Papua Barat menduduki peringkat terbawah dalam pelaksanaan program pemberian ASI eksklusif. Tercatat pula bahwa masih terdapat empat provinsi yang masih belum mencapai target 50 persen tersebut, yakni Provinsi Gorontalo, Papua, Papua Barat, dan Maluku (Kemenkes, 2020). Kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR) akibat ibu hamil dengan sel darah merah yang rendah (anemia) sering kali menjadi pemicu terjadinya kasus stunting. Pada tahun 2013, hasil Riskesdas membuktikan bahwa terdapat 37,1 persen dari ibu hamil yang menderita anemia. Keadaan ini menjadi pemicu parahnya risiko terjadinya stunting pasca kelahiran. Pemerintah telah berusaha untuk mengembangkan program dalam rangka menjaga kesehatan ibu hamil dan janin, salah satunya melalui pemberian tablet tambah darah (TTD). Namun, hasil Riskesdas pada tahun 2013 kembali memberikan kabar buruk bahwa jangkauan dari konsumsi TTD pada ibu hamil hanya berada pada 33,2 persen atau dengan kata lain disebut bahwa hanya 1 dari 3 orang ibu hamil yang mengonsumsi dengan cukup tablet tambah darah ini. Berat badan lahir rendah atau BBLR merupakan kondisi ketika seorang bayi dilahirkan dengan kurang dari nilai 2500 gram (Fitri, 2018). Penelitian membuktikan bahwa adanya hubungan yang terjadi antara kasus BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) dengan kejadian stunting pada anak yang berusia 6 hingga 24 bulan yakni anak yang memiliki riwayat BBLR 5,6 kali lebih berisiko untuk mengalami kasus stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan yang normal (Nasution, Nurdiati dan Huriyati, 2014). NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 7 Oleh karena itu, pemerintah juga menjaga agar kasus stunting ini turun dengan melakukan program penimbangan yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa penimbangan yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2019 untuk balita umur 6 hingga 59 bulan mencapai 73,86 persen anak tiap bulan. Provinsi Sumatra Utara menjadi provinsi dengan persentase tertinggi untuk penimbangan balita yakni 96,69 persen, sebaliknya Provinsi Papua menduduki posisi terbawah yakni 30,11 persen. Tercatat pula bahwa masih terdapat enam provinsi yang belum menyampaikan datanya, ialah Provinsi Jambi, Riau, Jawa Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua Barat. Kementerian Kesehatan melakukan intervensi gizi spesifik untuk penanganan stunting dengan fokus utama adalah 1000 HPK dengan memberdayakan Posyandu yang sudah ada dan programnya sudah berlangsung sebagai salah satu program intervensi dibidang kesehatan dan Pendidikan. Kader posyandu merupakan penggerak utama seluruh kegiatan yang dilaksanakan di posyandu (Hanifah, Djais dan Fatimah, 2019). Di posyandu, kader posyandu akan diberikan pelatihan mengenai kegiatan pencegahan stunting dalam rangka mencapai penurunan angka stunting di Indonesia (Astuti, 2018). Oleh sebab itu, kader posyandu sangat penting untuk diberikan informasi mengenai pencegahan stunting untuk mendapatkan bekal dalam melaksanakan tugasnya yakni membagikan ilmu dan penyuluhan kepada para ibu di posyandu dan tujuan akhirnya adalah kasus stunting akan menurun (Maywita, 2018). NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 8 3. Diskusi dan Saran Baik program inisiasi menyusu dini (IMD) maupun ASI eksklusif ternyata sama-sama memiliki hubungan dengan kasus stunting. Di kabupaten boyolali, pemberian ASI eksklusif menjadi faktor yang memiliki pengaruh tinggi terhadap kasus stunting pada anak-anak umur 6 hingga 24 tahun (Permadi et al., 2016). Penelitian yang dilangsungkan pada 50 anak stunting dan tidak stunting memperoleh kesimpulan bahwa dengan melaksanakan inisiasi menyusu dini tepat setelah proses persalinan akan berpengaruh terhadap kasus stunting yang terjadi pada balita usia 0 hingga 24 bulan. Dengan demikian, inisiasi menyusu dini menjadi faktor penting dalam pencegahan kasus stunting untuk balita (Aini et al., 2013). Di Naeorbi Kenya, penelitian mengenai analisis hubungan antara status gizi dengan pemberian ASI mendapatkan kesimpulan bahwa ditemukan hubungan yang berarti antara penundaan pelaksanaan IMD dengan munculnya kasus stunting pada anak umur 0 hingga 24 bulan (Muchina dan Waithaka, 2010). Oleh karena hasil pencapaian pemerintah dalam program IMD dan ASI eksklusif ini sudah mencapai target rencana strategis maka hal terakhir yang diperlukan adalah adanya pertahanan agar tidak terjadi penurunan dari pelaksanaan program ini pada periode selanjutnya. Mengenai program Tablet Tambah Darah (TTD) kepada ibu-ibu hamil yang masih kurang. Pada wanita hamil, kebutuhan akan sel darah merah atau eritrosit akan tinggi sehingga memicu peningkatan produksi dari eritropoietin (Sutkin et al., 2007). Dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengidap anemia, ibu yang mengidap anemia saat kehamilan akan meningkatkan peluang memiliki anak yang stunting sebanyak 1,36 kali lebih tinggi (Octaviani et al., 2016). Hasil Riskesdas 2018 memberikan hasil persentase dari kasus anemia untuk ibu yang hamil mencapai 48,9 persen. Persentase yang tinggi ini dapat mengarah pada terjadinya stunting pada anak. Oleh karena itu, hal ini masih harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah diharapkan agar dapat memberikan anggaran NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 9 khusus untuk program ini dan perlunya pengarahan kepada petugas kesehatan agar lebih memperhatikan kasus ini. Program untuk menimbang berat badan dengan rutin di pos pelayanan terpadu (posyandu) akan menjadi penghambat terjadinya kasus berat badan lahir rendah (BBLR). Dengan mendatangi posyandu, balita akan ditimbang secara teratur serta akan dipantau mengenai status gizi dan tingkat kesehatannya. Pengaruh besar terhadap pemantuan gizi akan muncul ketika tingkat kehadiran balita di posyandu dalam interval yang sering. Untuk ibu hamil, kehadiran yang tinggi di posyandu akan lebih banyak memperoleh informasi yang terkini mengenai kesehatan yang bermanfaat serta adanya konsultasi untuk menentukan gaya hidup yang sehat. Dua indikator penting dalam kurangnya risiko terjadinya stunting ialah frekuensi kunjungan posyandu serta berat badan yang naik (Destiadi, Susila dan Sumarmi, 2013). Posyandu dirancang menjadi tempat yang tepat untuk melakukan pemantauan terhadap status gizi dan pertumbuhan seorang anak. Dengan mendatangi posyandu, seorang anak akan melakukan pengukuran tingkat pertambahan tinggi dan berat badan secara rutin pada setiap bulan. Anak-anak dengan kasus stunting memiliki frekuensi yang lebih sedikit dalam mendatangi posyandu (Welasasih dan Wirjatmadi, 2012). Berdasarkan data kejadian penimbangan bayi yang dilakukan di Indonesia sudah berada dalam rentang yang cukup secara nasional, tetapi masih terdapat daerah yang kurang dalam pelaksanaan program penimbangan ini. Pemerintah diharapkan untuk lebih memperhatikan kesiapan sarana dan prasarana serta melihat hal yang menjadi kendala dari daerah yang masih kurang dalam pelaksanaan program ini. Program yang dilakukan untuk mencegah stunting lebih banyak difokuskan untuk ibu hamil, hal tersebut sangat baik mengingat dengan ibu hamil yang sudah mengetahui sedikit banyaknya terkait stunting dapat mencegah kejadian stunting. Akan tetapi, kehadiran kader posyandu pada NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 10 pasca kehamilan juga akan lebih baik untuk dapat mengetahui tumbuh kembang anak. Terlihat sudah baik penyelenggaraan penimbangan di beberapa daerah, namun para kader masih sekadar mencatat berat badan dan usia dari bayi ataupun balita itu saja. Dilakukannya pemberdayaan kepada kader terkait stunting dilakukan agar kader dapat segera mengetahui ketika anak tersebut termasuk ke dalam kondisi stunting atau tidak. Hal ini berkaitan dengan fenomena sekarang, dalam melakukan kegiatan posyandu, kader hanya mengukur tinggi dan berat badan lalu mencatatnya di buku kunjungan tanpa melakukan interpretasi hasil pengukuran. Selain itu, deteksi perkembangan serta stimulasi tumbuh kembang juga belum terlaksana pada kegiatan posyandu. Dengan kegiatan pemberdayaan kader ini diharapkan pendeteksian dini terkait stunting dan ada atau tidaknya penyimpangan perkembangan anak dapat segera dilakukan sehingga kejadian stunting dan atau penyimpangan perkembangan dapat segera diatasi (Adistie, Lumbantobing dan Maryam, 2018). Kenyataan di lapangan memang bahwa pelatihan untuk kader jarang diadakan, dalam sebulan tidak ada pelatihan atau lebih dari sebulan sekali. Biasanya pelatihan hanya ditujukan kepada ketua kader. Kader merasa bahwa pelatihan sangat membantu dan penting untuk menambah wawasan dalam melakukan pelayanan dan mengelola posyandu. Para kader merasa mendapatkan manfaat dari pekerjaannya, kader sangat berharap dapat memahami gizi balita dan pencegahan stunting serta mendapatkan materi pelatihan dari ahli (Dwi Nastiti Iswarawanti, 2010). Pembahasan diskusi selanjutnya adalah mengenai beberapa faktor di luar program pemerintah yang menjadi faktor risiko penyebab kejadian stunting. Dimulai dari umur yang menunjukkan bahwa jumlah anak yang berumur 6 - 11 bulan serta mengalami stunting lebih sedikit dibandingkan anak yang berumur 12-24 bulan (Supriyanto et al., 2018). NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 11 Kemudian umur ibu juga bisa menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Ditunjukkan bahwa kejadian stunting berpengaruh signifikan oleh umur dan pendidikan dari ibu. Apabila seorang ibu yang memiliki usia reproduksi muda atau di bawah 20 tahun kemudian mengandung, maka sangat rentan untuk memilki keturunan stunting ketika dibandingkan dengan ibu yang berada dalam usia reproduksi aman yaitu 20 hingga 34 tahun. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi nantinya lebih mudah memahami dan mengerti mengenai kekurangan gizi dibandingkan dengan ibu yang berada dalam tingkat pendidikan yang rendah. Oleh karena itu, ibu dengan pendidikan tinggi lebih mudah dalam mengurangi persentase kasus stunting (Siregar dan Siagian, 2021) Ekonomi keluarga juga menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Pendapatan dari keluarga berakibat terhadap pola pengasuhan orang tua kepada anak-anaknya melalui ada atau tidaknya jaminan kebutuhan yang diperlukan dalam pertumbuhan anak. Pendapatan keluarga pada populasi anak dengan kasus stunting berada dalam tingkatan yang lebih rendah dibandingkan pendapatan keluarga pada populasi anak dengan tanpa kasus stunting (Astari L D, Nasoetion A, 2015). Adapun faktor dari lingkungan ternyata tidak berpengaruh terhadap terjadinya kasus stunting. Penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat dari sanitasi lingkungan tempat tinggal terhadap kasus stunting pada balita. Namun, perbedaan hasil penelitian masih mungkin terjadi mengingat bahwa lokasi penelitian sering kali memberikan hasil yang berbeda karena pengaruh dari perbedaan demografi dan kebudayaan dari masyarakat di daerah tersebut (Laili, 2019). Saran terakhir ditujukan kepada dua pihak yaitu ibu hamil dan pemerintah. Kami menyarankan kepada ibu hamil agar dapat turut ikut serta dalam kegiatan yang menjadi program pemerintah dalam melawan terjadinya stunting. Inisiasi menyusu dini, pemberian ASI eksklusif, mengonsumsi tablet tambah darah, dan mendatangi posyandu untuk NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 12 melakukan penimbangan adalah beberapa kegiatan yang harus menjadi perhatian ibu hamil dalam melaksanakannya. Kemudian kepada pemerintah, kami sangat mengapresiasi terhadap hasil dari program yang sudah banyak mencapai rencana strategis nasional. Namun, beberapa program seperti tablet tambah darah untuk ibu hamil dan melakukan pengaderan kepada kader posyandu masih perlu untuk diperhatikan pelaksanannya. 4. Kesimpulan Prevalensi stunting di Indonesia tahun 2018 menurun ketika dibandingkan dengan tahun 2013. Secara nasional, program yang dilakukan pemerintah untuk pencegahan stunting sudah baik untuk program inisiasi menyusu dini, pemberian ASI eksklusif, dan penimbangan balita di posyandu. Program yang masih kurang dalam pelaksanaannya adalah pemberian tablet tambah darah kepada ibu hamil dan pelatihan kader di posyandu dalam mencegah kasus stunting. Beberapa provinsi masih kurang dalam pelaksanaan program pencegahan stunting sehingga masih dibutuhkan perhatian pemerintah untuk penyamarataan ini. NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 13 Daftar Pustaka Adistie, F., Lumbantobing, V. B. M. dan Maryam, N. N. A. (2018) ‘Pemberdayaan Kader Kesehatan Dalam Deteksi Dini Stunting dan Stimulasi Tumbuh Kembang pada Balita’, Media Karya Kesehatan, 1(2), pp. 173–184, doi: 10.24198/mkk.v1i2.18863. Aini, N., A., Aritonang T. dan Siswati, T. (2013) ’Inisiasi menyusu dini faktor risiko terjadinya stunted pada anak usia 0-24 bulan’, Jurnal Teknologi Kesehatan. 9(2), pp.102-104. Aryastami, N. K. dan Tarigan, I. (2017) ‘Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di Indonesia’, Buletin Penelitian Kesehatan, 45(4), pp. 233–240. doi: 10.22435/bpk.v45i4.7465.233-240. Astari L D, Nasoetion A, D. C. M. (2015) ‘Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuh Dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan’, Media Gizi & Keluarga, 29(2), pp. 40–46. Astuti, S. (2018) ‘Gerakan Pencegahan Stunting Melalui Pemberdayaan Masyarakat Di Kecamatan Dharmakarya, Jatinangor 7(3), Kabupaten pp. Sumedang’, 185–188. doi: 10.24198/dharmakarya.v7i3.20034. Destiadi, A., Susila, T. dan Sumarmi, S. (2013) ‘Frekuensi Kunjungan Posyandu dan Riwayat Kenaikan Berat Badan sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 3-5 Tahun’, Media Gizi Indonesia, 10(1), pp. 71–75. El-Taguri, A., Ibrahim, B., Salah, M. M., dan Abdel, M. A. (2008) ‘Risk Factors for Stunting Among Under-fives in Libya’ Public Health Nutrition, 12(8), pp. 1141-1149. Fitri, L. (2018) ‘Stunting Di Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru’, Jurnal Endurance, 3(1), pp. 131–137. Available at: http://ejournal.lldikti10.id/index.php/endurance/article/viewFile/1767/930. NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 14 Hanifah, R. N., Djais, J. T. B. dan Fatimah, S. N. (2019) ‘Prevalensi Underweight, Stunting, dan Wasting pada Anak Usia 12-18 Bulan di Kecamatan Jatinangor’, Jsk, 5(3), pp. 3–7. Iswarawanti, D., W. (2010) ‘Kader Posyandu : Peranan dan Tantangan Pemberdayaannya Dalam Usaha Peningkatan Gizi Anak Indonesia’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 13(04), pp. 169– 173. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013) Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) ‘Situasi balita pendek (Stunting) di Indonesia’, dalam Buletin Jendela Data dan Informasi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta: Sekretariat Jenderal Kemenkes RI. Laili, A. N. (2019) ‘Pengaruh Sanitasi Di Lingkungan Tempat Tinggal Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita’, Jurnal Kebidanan, 8(1), pp. 28–32. doi: 10.47560/keb.v8i1.192. Lestari, A., Hanim, D. (2020) ‘Edukasi Kader dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Stunting di Kecamatan Mondokan Kabupaten Sragen’ AgriHealth: Journal of Agri-food, Nutrition dan Public Health. 1(1), pp. 713. Maywita, E. (2018) ‘Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Stunting Pada Balita Umur 12-59 Bulan Di Kelurahan Kampung Baru Kec . Lubuk Begalung Tahun 2015’ Jurnal Riset Hesti Medan, 3(1), pp. 56-65. Muchina E., N., dan Waithaka P., M. (2016) ‘Relationship between breastfeeding practices dan nutritional status of children aged 0-24 months in Nairobi, Kenya’, Afr J Food Agric Nutr Dev, 39 (1), pp. 9-14. NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 15 Nasution, D., Nurdiati, D. S. dan Huriyati, E. (2014) ‘Berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan’, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 11(1), p. 31. doi: 10.22146/ijcn.18881. Ngaisyah R., R., D. (2015) ‘Hubungan Sosial Ekonomi dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Desa Kanigoro, Saptosari, Gunung Kidul’, Jurnal Medika Respati, 10 (4), pp. 65-70. Octaviani I, Makalew L, Sesca S., D. (2016) Profil haemoglobin pada ibu hamil dilihat dari beberapa faktor pendukung. JIDAN, 4(1), pp. 22–30. Permadi, M. R. et al. (2016) ‘Risiko Inisiasi Menyusu Dini dan Praktek ASI Eksklusif terhadap Kejadian Stunting pada Anak 6-24 Bulan’, Penelitian Gizi dan Makanan, 39(1), pp. 9–14. Pernoll, L., M. (2001) Medical dan Surgical Complications during Pregnancy: Hematologic disorders. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division. Ramli, A., K., E., Inder, K., J., Bowe, S., J., Jacobs, J., & Dibley, M.J. (2009) ‘Prevalence dan risk factors for stunting dan severe stunting among under fives in North Maluku Province of Indonesia’, BMC Pediatric, 9(64). http://bmcpedi atr.biomedcentral.com/articles/10.118 6/1471-2431-9-64 Siregar, S. H. dan Siagian, A. (2021) ‘Hubungan karakteristik keluarga dengan kejadian stunting pada anak 6 – 24 bulan di Kabupaten Langkat The relationship of family characteristics with the incidence of stunting in children at 6-24 months in Langkat District’, TROPHICO: Tropical Public Health Journal, 1(1), pp. 1–8. Supriyanto, Y., Paramashanti, B. A., & Astiti, D. (2018) Berat badan lahir rendah berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan, Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia (Indonesian Journal of Nutrition dan Dietetics), 5(1), pp. 23-30. doi:10.21927/ijnd.2017.5(1). Sutarto, Mayasari, D., Indriyani, R. (2018) ‘Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya’, Jurnal Agromedicine, 5(1) pp. 540-545. NAMA : ISMAIL NIM : C011201134 16 Sutkin G, Isada NB, Stewart M, Powell S. (2007) Hematologic complications. Texas: Lippincott Williams dan Wilkins. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNPPK) (2017) 100 kabupaten/ kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting). Jakarta: TNPPK. United Nations Children’s Fund, the World Health Organization dan World Bank Group (2017) Level dan Trends in Child Malnutrition: UNICEF/WHO/World Bank Group Joint Child Malnutrition Estimates. Washington DC: United Nations Children’s Fund, the World Health Organization dan World Bank Group. Welasasih, B. D. dan Wirjatmadi, R. B. (2012) ‘Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Stunting’, The Indonesian Journal of Public Health, 8(3), pp. 99–104. doi: 10.1080/07357900701206281. WHO (2019) Leveraging diverse stakeholders to tackle all forms of malnutrition: Lessons from the SUN Movement. Tersedia di : https://www.who.int/nutrition/events/2018-fpgh-workshop-nutritionagainst-ncd-16nov-presentation-EdwynShiell-SUN.pdf?ua=1 (Terakhir diakses: 3 April 2021). WHO (2020) Child Malnutrition. Tersedia di : http://www.who.int/gho/childmalnutrition/en/ (Terakhir diakses: 3 April 2021). NAMA : ISMAIL NIM : C011201134