Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia Eksplorasi Pembandingan Karakteristik Termal Ruang Dalam Bangunan Tradisional Raja Thie Dan Limbadale Di Kabupaten Rote Ndao Desak Putu Damayanti(1), I Ketut Suwantara(2) (1) Peneliti Pertama Balai Pengembangan Teknologi Pebangunanan Tradisional Denpasar, Puslitbang Permukiman – Kementerian PU. (2) Peneliti Pertama Balai Pengembangan Teknologi Pebangunanan Tradisional Denpasar, Puslitbang Permukiman – Kementerian PU. Abstrak Kajian termal untuk daerah iklim tropis lembab membuktikan bahwa selubung bangunan memegang peran vital untuk pengendalian termal dalam bangunan (pengendalian pasif). Mengacu pada hal tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk menganalisa sejauh mana kinerja selubung bangunan tradisional Limbadale dan Raja Thie, Kabupaten Rote Ndao-Provinsi NTT dalam mengendalikan pengaruh iklim terhadap kondisi termal dalam bangunan. Mengingat bahwa karakter iklim di setiap lokasi adalah berbeda, serta tidak ada satu sistem bangunan yang dapat berkerja dengan baik (kinerja termal) di lokasi yang berbeda-beda. Sebagai penelitian eksplorasi, maka pengukuran lapangan terfokus pada parameter iklim (suhu selubung bangunan dan suhu ruang bangunan) selama 3x24 jam pada kondisi saat suhu sedang tinggi (bulan April). Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi kinerja 2 buah bangunan berbeda fasade (Bangunan Raja Thie dan Limbadale), dengan melihat karakter kondisi ruang dalam yang tercipta. Diperoleh hasil bahwa kinerja atap bangunan memang memberikan pengaruh yang lebih signifikan dalam membentuk kondisi termal ruang dalam bangunan dibandingkan kinerja dinding dengan selisih hingga 0.51oC. Kata Kunci : Rote Ndao, Kondisi termal, Komparasi Keberpihakan pada Perancangan Pasif Manusia sebagai penghuni bangunan, umumnya menginginkan agar kondisi di dalam ruang nyaman digunakan sesuai aktivitasnya. Faktor luar yang mempengaruhi kondisi tersebut meliputi suhu, kelembapan udara, kecepatan angin, hingga radiasi/tingkat penyinaran. Jika kondisi di luar sangat menyimpang, maka diperlukan usaha yang lebih besar untuk mengendalikan pengaruhnya terhadap kondisi di dalam bangunan. Usaha pengendalian yang saat ini marak dilakukan adalah dengan pengendalian aktif, salah satunya dengan penggunaan Air Conditioner. Maraknya pengendalian aktif, lebih dikarenakan oleh tingkat kepraktisannya, karena dengan penggunaan AC maka satu sistem bangunan akan menghasilkan kondisi termal ruang yang nyaman menurut penghuni, tanpa terikat pada kondisi iklim makro sekitar. Fenomena ini pada akhirnya memberi dampak negatif terhadap lingkungan secara global yang memicu terjadinya pemanasan global (Global Warming). Karena secara alami idealnya adalah satu sistem bangunan hanya akan bekerja dengan baik pada lokasi tertentu, sedangkan modernisasi identik dengan kepraktisan daripada harus penyesuaian sistem rancang bangun terhadap iklim. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 50 Penguasaan Teknologi struktur dan konstruksi Rumah Tradisional Manggarai Sebagai Kunci Keberhasilan Kegiatan Pelestariannya. Di sisi lain pengendalian pasif yang terfokus pada konsep perancangan banguanan, semakin terpinggirkan. Pengendalian pasif merupangan setingan rancang bangunan dengan mempertimbangkan faktor iklim, sifat fisika bahan bangunan, dan variabel perancangan bangunan lainnya (Soegijanto, 1999a). Kondisi seimbang ini merupakan hubungan saling keterkaitan built environment dan alam yang sejalan dengan lokalitas dan sejarah (Broomberek, 2000). Ekspresi hubungan yang ideal antara sistem rancang bangunan dengan lingkungan yang natural terwujud pada bangunan tradisional (Santosa, 2001). Penelitian terkait karakteristik termal bangunan tradisional pun masih jarang dilakukan. Bahakan umunya hanya terfokus pada keberterimaan termal penghuni, dan belum membahas lebih jauh tentang bagianbagian dari suatu sistem bangunan yang berpengaruh terhadap kondisi termal di dalam bangunan. Sehingga penelitian ini menjadi sangat menarik karena terfokus pada pembahasan bagaimana karakteristik termal bangunan tradisional di Kabupaten Rote Ndao (Bangunan Raja Thie dan Limbadale), dilihat dari kinerja selubung bangunannya. Temuan penelitian ini idealnya dapat dijadikan dasar modifikasi pada desain perancangan pasif pada bangunan modern. Pengumpulan Data Perubahan temperatur bahan selubung didapat dari selisih suhu selubung bagian luar dan dalam (misalnya suhu atap bagian luar dan bagian dalam), yang diukur dengan meletakkan sensor Termokopel tipe T pada bahan bangunan. Suhu luar suhu dalam dan luar ruangan yang menjadi fokus pengukuran, diukur secara bersamaan selama 3x24 jam dengan rentang waktu pengukuran-nya adalah 1 jam. Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) QUESTemp 34, alat ini digunakan untuk mengukur Globe Temperature (Tglobe), Suhu udara/DBT (Dry Bulb Temperature), Suhu bola basah/WBT (Wet Bulb Temperature), data Kelembaban udara (RH). Alat ukur tersebut dapat mengukur besaran-besaran di atas sekaligus. Data yang diperoleh berupa data digital (Gambar 1a). b) Data Logger, data Logger yang digunakan untuk akuisisi data adalah MEMORY HiLOGGER 8422-51 dari HIOKI (Gambar 1b). Data yang diperoleh berupa angkaangka per-satuan, atau berupa grafik temperatur per satuan waktu (sesuai dengan setting). Metode Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dan komparasi (Experimental and comparation research). Metode komparasi adalah suatu penyelidikan yang dilaksanakan dengan meneliti hubungan dari fenomena sejenis dengan menunjukkan unsur-unsur perbedaan dan persamaannya (Winarno, 1990). Variabel yang dikomparasi adalah : a) Kondisi termal ruang dalam kedua bangunan sebagai refleksi perambatan panas akibat suhu luar bangunan. b) Kinerja bahan bangunan sulubung atap kedua 51 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 a) b) Gambar 1. Alat ukur : a) Questemp 34; b) Hilogger Pengolahan Data Data hasil pengukuran disusun dan diolah untuk mendapatkan tren kinerja selubung masing-masing bangunan. Pengolahan data dilakukan dengan mencari rata-rata suhu, maksimum, dan minimum. Time lag dianalisis dengan menghitung jeda waktu suhu maksimum sisi dalam bahan kembali pada Desak Putu Damayanti suhu yang normal. Sedangkan decrement factor (µ) dicari dengan membandingkan temperatur luar relatif terhadap temperatur rata-rata (∆tpi max) dengan temperatur maksimum permukaan dalam relatif terhadap temperatur rata-rata (∆tpo max) (Soegijanto, 1999b). Analisa Data Hasil pengolahan data kemudian dideskripsikan dengan membandingkan suhu dalam dengan luar ruangan, sehingga diperoleh pengaruh suhu luar terhadap suhu dalam ruangan tersebut. Atau dapat dikatakan bahwa analisa data difokuskan untuk membandingkan kinerja selubung bangunan terhadap suhu ruang yang tercipta. Analisa kinerja selubung dilihat besarnya time lag yang terjadi, dibandingkan dengan suhu ruang yang tercipta. Selain itu juga perlu di membandingkan faktor pengurangan (decrement factor) kedua bangunan. Perbandingan mengenai decrement factor kedua bangunan merupakan deskripsi bagaimana kondisi kinerja selubung bangunan terhadap suhu udara di dalam ruangan. Kajian teori Kondisi Termal Dalam Bangunan 54% waktu dalam setahun merupakan waktu dimana bangunan di iklim tropis harus menanggung beban termal untuk pendinginan, dan 28% untuk menghangatkan bangunan. Pendinginan dengan pengendalian pasif mampu meminimalkan aliran panas yang masuk ke dalam bangunan, sisa panas yang harus dikurangi dapat dikeluarkan melalui pergantian udara. Hal ini dikarenakan karakteristik iklim tropis yang umumnya memiliki kelembaban (RH) yang tinggi, Tglobe yang juga tinggi, sedangkan kecepatan angin (Va) rendah (Szokolay, 1981a). Usaha pengendalian pasif memang tidak dapat selalu diharapkan dapat menghasilkan kondisi termal dalam bangunan sesuai yang diinginkan sepanjang hari. Dimana pengendalian pasif disini adalah pengendalian yang menggunakan bangunannya sendiri dalam menghasilkan kondisi ruang dalam yang diinginkan. Pengendalian pasif sangat bergantung pada elemen bangunan dan lingkungan sekitar (Soegijanto, 1999c). Maka kondisi termal di dalam bangunan sangat ditentukan oleh kinerja termal dari bangunan tersebut, salah satunya adalah kinerja selubung bangunan. Kajian penelitian sebelumnya sudah membuktikan bahwa kinerja selubung pada bangunan tradisional memegang peran penting dalam mewujudkan pengkondisian ruang dlaam. Hunian tradisional Toraja dan Minangkabau bentuk dan konstruksi atapnya mampu menerima dan menahan panas > 60% total panas yang diterima bangunan (Santosa, 2000) Aliran Panas Periodik Aliran panas yang dimaksud adalah aliran panas yang masuk atau keluar ruangan. Dimana perubahannya rata-rata menunjukkan pengulangan secara periodik dalam waktu 24 jam. Dimana dalam waktu 24 jam terjadi aliran panas ke dalam bangunan pada siang hari dan ke luar bangunan pada malam hari. Pada bangunan, aliran panas yang masuk dan keluar secara konduksi melalui selubung bangunan dapat dipantau dari perubahan temperatur bahan selubung. Bahan selubung utama pada bangunan tradisional didominasi oleh atap bangunan dan kini dilengkapi oleh dinding. Kajian terdahulu membuktikan bahwa atap merupakan komponen utama bangunan dalam mewujudkan pendinginan pasif (Malama and Sharples, 1996). Perambatan panas tersebut tentu tidak terjadi secara bersamaan, melainkan memerlukan waktu rambat tertentu (waktu tunda / time lag) karena massa termal bahan selubung (jenis, tebal, konduktivitas). Dimana semakin tebal dan resistif suatu bahan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk merambatkan panas/kalor. Lamanya time lag mengakibatkan terjadinya pengurangan temperatur selama masa perambatan. Untuk mengetahui time lag bahan selubung bangunan menggunakan pendekatan selisih antara suhu maksimum permukaan luar bahan dengan suhu Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 52 Penguasaan Teknologi struktur dan konstruksi Rumah Tradisional Manggarai Sebagai Kunci Keberhasilan Kegiatan Pelestariannya. maksimum permukaan dalam dengan pendekatan fungsi sinusoida seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4 (Suwantara, dkk, 2012) kemiringan atap 450. Karakteristik rumah Raja Thie terlihat pada Gambar 2 dan Tabel 1. To : Suhu luar Ti: Suhu dalam a) B Gambar 1. Grafik untuk mengukur Time Lag bahan Sumber :http://learn.greenlux.org/packages/clear/th ermal/buildings/ 2 .0 0 RUANG TIDUR UTAMA + 0 .2 0 2 .0 0 3 .4 0 Selain melihat lamanya waktu rambat tertentu (waktu tunda / time lag) karena massa termal bahan, perlu juga melihat faktor pengurangannya (decrement factor). Faktor pengurangan adalah perbandingan antara selisih temperatur maksimum permukaan dalam relatif terhadap temperatur rata-rata (∆tpi.max) dengan selisih temperatur maksimum permukaan luar relatif terhadap temperatur rata-rata (∆tpo.max). Besarnya faktor pengurangan dipengaruhi oleh konduktifitas bahan, tebal bahan, dan kepadatan massa tersebut (Szokolay, 1981b). Bangunan Tradisional Raja Thie Arsitektur rote merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) ragam arsitektur NTT (Suprijanto, dkk, 2010). Penelitian ini mengambil 2 (dua) objek bangunan yaitu Rumah Adat Raja Thie rumah Limbadale. Rumah Raja Thie terletak pada koordinat 10048.817’ LS dan 122o58.771 BT. Rumah Adat Raja Thie terletak di atas perbukitan, pinggir jalan raya dengan ketinggian 101 meter dpl. Secara administrasi Rumah Adat Raja Thie ini termasuk kedalam wilayah Desa Oebafok, Kecamatan Rote Barat daya. Rumah Limbadale merupakan bangunan panggung 3 lantai dengan luasan 300 m2, dan 53 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 A 3 .4 0 1 -­‐6 KOLONG + 0 .2 0 RUANG TAMU + 0 .2 0 TERAS + 0 .1 0 A 3 .4 0 2 .0 0 RUANG KELUARGA + 0 .2 0 RUANG TIDUR + 0 .2 0 2 .3 0 2 .4 0 1 .7 5 2 .4 0 3 .0 0 2 .2 5 3 .0 0 2 .2 5 B U 1 .7 5 S KALA 1 : b) 100 Gambar 2. Bangunan Tradisional Raja Thie: a) Fasade; b) Denah DENAH GROUND FLOOR Tabel 1. Bahan bangunan yang digunakan Rumah Raja Thie Kompo nen Atap Dinding Lantai Bahan § Alangalang § Papan jati tebal 3-5 cm § Papan jati tebal 3-5 cm Konduktivitas (W/m K) Alang-alang 0.038 Resistivitas (cm C/W) Alang-alang 2618 Papan Jati 0.153 Papan Jati 656,6 Papan Jati 0.153 Papan Jati 656,6 Bangunan Tradisional Limbadale Rumah Tradisional Limbadale terletak pada koordinat 10º50,38’ LS dan 122º58,004’ BT dengan ketinggian 117 meter dpl. Secara administratif, Rumah Adat Limbadale terletak Desak Putu Damayanti di Desa Meoain, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao. Rumah Limbadale merupakan bangunan panggung 2 lantai dengan luasan 86 m2, dan kemiringan atap 450. Karakteristik rumah Limbadale terlihat pada Gambar 3 dan Tabel 2. Terdapat perbedaan signifikan pada luasan ruang. Dimana perbandingan luasan ruang bangunan Limbadale dan Raja Thie adalah 4:1. Artinya bangunan Raja Thie memiliki luasan hampir 4x luasan bangunan Limbadale. Penggunaan bahan juga berbeda pada bagian penutup atap. Hal ini akan menjadi input data dalam analisa data di lapangan. Data Iklim Kabupaten Rote Ndao Data iklim di Kabupaten Rote Ndao digunakan untuk mengetahui gambaran umum dari kondisi makro di lingkungan objek penelitian (BMKG, 2012). Data yaang dijadikan acuan yaitu data penyinaran matahari dan data rataan suhu makro (Gambar 4 dan 5). a) 194 100 Max 194 220 B 100 153 A A 1 -­‐1 1 -­‐2 1 -­‐3 2 -­‐1 2 UMA DULU + 0 .7 5 UMA DULU + 0 .7 5 228 RAO DALE + 0 .7 5 UP Min 256 Gambar 4. Fluktuasi penyinaran matahari di rote Ndao 10 tahun terakhir 2 -­‐1 1 102 U Max B DENAH LANTAI 1 S KALA 1 : 1 0 0 Min b) Gambar 3. Bangunan Tradisional Limbadale: a) Fasade; b) Denah Tabel 2. Bahan bangunan yang digunakan Rumah Limbadale Kompo nen Atap Dinding Lantai Bahan § Daun Lontar (20-30 cm) § Papan jati tebal 3-5 cm § Papan jati tebal 3-5 cm Konduktivitas (W/mK) Daun Lontar 0.036 Resistivitas (cm C/W) Daun Lontar 2779 Papan Jati 0.153 Papan Jati 656,6 Papan Jati 0.153 Papan Jati 656,6 Sumber : Balai PTPT DPS, 2012 (tidak diterbitkan) Gambar 5. Fluktuasi suhu makro di rote Ndao 10 tahun terakhir Dari data iklim pada Gambar 4 dan 5 terlihat bahwa meskipun intensitas penyinaran tertinggi terjadi pada pertengahan tahun, namun suhu mengalami kenaikan signifikan dari bulan November hingga April. Penelitian ini idealnya melakukan pengukuran di waktuwaktu dimana suhu makro sedang berada pada suhu tinggi (bulan ke-11). Namun pada Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 54 Penguasaan Teknologi struktur dan konstruksi Rumah Tradisional Manggarai Sebagai Kunci Keberhasilan Kegiatan Pelestariannya. waktu tersebut curah hujan juga sedang tinggi, sehingga menghalangi proses penyebrangan laut dan udara jika dilakukan survey lapangan. Sehingga survey lapangan pada penelitian ini dilakukan pada bulan April disamping karena masuk dalam rentang waktu bulan dengan suhu yang mulai “hangat” (27,4°) juga dengan tingkat penyinaran 76,4%. Selain atap juga dilakukan pengukuran pada dinding bangunan (Gambar 7). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Termal Bangunan Raja Thie Pengolahan data dengan menggunakan HiLoger untuk pengukuran kinerja atap bangunan pada bangunan Raja Thie menunjukkan hasil seperti pada Gambar 6. Gambar 6. Kinerja atap Raja Thie Dari Gambar 5 terlihat bahwa kinerja atap rumah Limbadale dapat menghangatkan suhu 0,02 °C pada siang hari (14 jam) dan mampu mendinginkan pada malam hari sebesar 0,03 °C (10 jam). Sehingga jika dirata-ratakan maka kinerja atap rumah Limbadale dapat menghangatkan suhu 0,02 °C pada siang hari (14 jam) dan mampu mendinginkan pada malam hari sebesar 0,03 °C (10 jam). Time lag bahan adalah 0, dimana suhu tertinggi atap bagian dalam dan suhu tertinggi atap bagian luar terjadi pada waktu yang bersamaan. Sedangkan decrement factor (µ) pada atap berbahan alang-alang dengan konduktivitas sebesar 0,038 W/m K adalah : µatap = (∆tpi max) / (∆tpo max) = (28,25 - 26,57) / (29,01 - 26,76) = 0,75 55 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 Gambar 7. Kinerja dinding Raja Thie Dari Gambar 7 terlihat bahwa kinerja dinding bagian dalam baik dinding sebelah Barat maupun untuk dinding sebelah Timur, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun secara keseluruhan kinerja dinding rumah Raja Thie hanya mampu menghangatkan suhu 0.004 °C pada siang hari (13,5 jam) dan mampu mendinginkan pada malam hari sebesar 0,004 °C (10,5 jam). Time lag bahan sebesar 4 jam, Sedangkan decrement factor (µ) pada dinding berbahan papan jati dengan konduktivitas sebesar 0,153 W/m K adalah : µdinding = (∆t pi max) / (∆t po max) = (28,31 – 26,86) / (28,43 – 26,88) = 0,93 Kondisi ruang dalam sebagai pengaruh dari kinerja atap dan dinding bangunan terlihat pada Gambar 8. 30 29 28 ) °C ( 27 u h u S Udara luar Udara dalam 26 25 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 :0 :0 0 : :0 :0 0 : :0 :0 :0 :0 :0 :0 :0 :0 :0 :0 :0 :0 0 : :0 :0 0 : :0 :0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 Waktu pengukuran (Pukul -­‐) Gambar 8. Komparasi bangunan Raja Thie suhu luar dan dalam Desak Putu Damayanti Dari gambar 8, terlihat fluktuasi yang menonjol antara suhu udara dalam dan suhu udara luar. Jika dirata-ratakan maka kinerja bangunan mampu menghangatkan 1 °C dibandingkan udara luar selama 6 jam dan lebih rendah 0,75 °C dibandingkan udara luar selama 12 jam. Waktu pendinginan lebih panjang dibandingkan waktu untuk menghangatkan ruang dalam. Karakteristik Termal Bangunan Limbadale Kinerja atap bangunan Limbadale terlihat pada Gambar 9. Gambar 9. Kinerja atap Limbadale Gambar 10. Kinerja dinding Limbadale Dari Gambar 10 terlihat bahwa kinerja dinding bagian dalam baik dinding sebelah Barat maupun untuk dinding sebelah Timur, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun secara keseluruhan kinerja dinding dapat menghangatkan suhu 0,12 °C pada siang hari (16 jam) dan mampu mendinginkan pada malam hari sebesar 0,14 °C (8 jam). Time lag bahan sebesar 1 jam, sedangkan pengukuran decrement factor (µ) pada dinding berbahan papan jati dengan konduktivitas sebesar 0,153 W/m K adalah : µdinding = (∆tpi max) / (∆tpo max) Dari Gambar 9 terlihat bahwa kinerja atap menunjukkan selisih yang lebih besar antara suhu atap bagian luar dengan suhu atap bagian dalam pada waktu suhu puncak, dibandingkan dengan kinerja atap bagian Timur. Namun secara keseluruhan kinerja atap rumah Limbadale dapat menghangatkan suhu 0,78 °C pada siang hari (22 jam) dan mampu mendinginkan pada malam hari sebesar 0,72 °C (2 jam). Time lag bahan sebesar 1 jam, sedangkan decrement factor (µ) pada atap berbahan daun lontar dengan konduktivitas sebesar 0,153 W/m K adalah : = (26,77 – 26,23) (26,92 – 26,35) = 0,94 Kondisi ruang dalam sebagai pengaruh dari kinerja atap dan dinding bangunan terlihat pada Gambar 11. µatap = (∆tpi max) / (∆tpo max) = (26,55 – 26,15) (27,31 – 25,77) = 0,26 Sedangkan kinerja Gambar 10. dinding terlihat pada Gambar 11. Komparasi suhu luar dan dalam bangunan Limbadale Dari gambar 11, tidak terlihat fluktuasi yang menonjol antara suhu udara dalam dan suhu udara luar. Jika dirata-ratakan maka kinerja bangunan mampu menghangatkan 0,23 °C Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 56 Penguasaan Teknologi struktur dan konstruksi Rumah Tradisional Manggarai Sebagai Kunci Keberhasilan Kegiatan Pelestariannya. dibandingkan udara luar selama 6 jam dan mendinginkan 0,25 °C dibandingkan udara luar selama 18 jam. Waktu pendinginan lebih pendek dibandingkan waktu untuk menghangatkan ruang dalam. Pembahasan Jika dilihat dari komparasi tersebut waktu pendinginan pada bangunan Raja Thie hanya berlangsung selama 6 jam, sedangkan waktu pendinginan pada bangunan Limbadale terjadi selama 18 jam. Hal ini menjadi indikator bahwa meskipun penurunan suhu di rumah Limbadale tidak sebesar bangunan Raja Thie, namun rentang penurunan suhu terjadi selama 18 jam (3/4 hari). Sesuai dengan kajian teori, bahwa bangunan iklim tropis sudah seyogyanya harus bekerja lebih lama untuk mendinginkan bangunan terlepas dari seberapa besar derajat pendinginannya. Jadi lebih lama waktu pendinginan maka akan lebih baik, meskipun besaran selisih suhunya kecil. Disamping itu, hasil komparasi decrement factor (µ) antara 2 (dua) objek tersebut terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Bahan bangunan yang digunakan Rumah Limbadale Bangunan Raja Thie Limbadale Penutup Atap Dinding § Berbahan alangalang § µ = 0,75 § Time lag = 0 jam § Berbahan papan jati § µ = 0,93 § Time lag = 4 jam § Berbahan daun lontar § µ = 0,26 § Time lag = 1 jam § Berbahan papan jati § µ = 0,94 § Time lag = 1 jam Dari hasil pada Tabel 3 terlihat bahwa faktor pengurangan bahan penutup atap umumnya lebih kecil dibanding bahan dinding. Semakin kecil faktor pengurang maka indikasinya adalah semakin baik. Dimana kecilnya faktor pengurang menujukkan suhu relatif ruang dalam lebih kecil dibandingkan suhu relatif ruang luar. Selisih perbandingan tersebut merupakan hasil kinerja bahan selubung. Maka dapat dikatakan bahan penutup atap 57 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 bekerja lebih baik daripada bahan dinding dalam pengurangan panas. Namun jika dilihat lebih detail lagi, kinerja daun lontar pada rumah Limbadale bekerja lebih baik dibandingkan alang-alang sebagai penutup atap rumah Raja Thie. Aspek lain yang mempengaruhi pengkondisian ruang dalam yaitu bukaan/ventilasi. Dari hasil pengukuran masih sebatas menemukan bahwa bukaan kedua bangunan berkisar 10-20% luasan dinding (Balai PTPT DPS, 2012). Dimana kajian ini terbatas hanya mengkaji tentang pengaruh kinerja selubung bangunan. Kesimpulan Dan Saran Dari hasil penelitian didapat bahwa kinerja atap kedua bangunan lebih besar pengaruhnya terhadap pembentuhan suhu ruang dalam bangunan, dibandingkan kinerja dinding bangunan. Dibandingkan bangunan Raja Thie, maka kinerja bangunan Limbadale dapat dikatakan lebih baik jika dilihat dari hasil analisa yang didapat. Hal ini membuktikan bahwa kinerja selubung bangunan dapat dijadikan salah satu indikator dalam menganalisa kinerja bangunan tersebut. Kinerja selubung bangunan sangat erat kaitannya dengan bahan yang digunakan. Ditemukan bahwa kinerja daun lontar sebagai penutup atap rumah Limbadale bekerja lebih baik daripada alang-alang sebagai penutup atap rumah Raja Thie. Hasil penelitian ini akan lebih baik jika diperdalam pada studi tentang pengaruh aspek ventilasi dalam bangunan. Bantuan simulasi terkait pengukuran termal ruang maupun pengaruh bukaan ruang akan lebih menajamkan kajian lanjutannya. Sehingga kajian awal ini dapat dijadikan dasar untuk meneliti lebih jauh tentang pengembangan maupun rekayasa bahan baru yang dapat diterima masyarakat saat ini, namun memiliki kinerja selayaknya material alam. Ucapan Terima Kasih Ucapkan terima kasih disampaikan kepada Balai PTPT Denpasar - Pusat Penelitian dan Desak Putu Damayanti Pengembangan Permukiman - Kementerian Pekerjaan Umum yang telah membiayai penelitian ini dengan sumber dana dari APBN Tahun Anggaran 2012. Ucapkan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. I Gusti Ngurah Antaryama, Ph.D, Lab. Sains Bangunan – ITS sebagai narasumber kegiatan penelitian ini, yang telah dengan sabar membimbing selama pelaksanaannya. Daftar Pustaka Soegijanto, 1999. Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung. Hal : 2;124) Broomberek, ZA. Question of Sustainability Tourist Resort In The Tropics. In Santosa Proceedings International Seminar On Sustainable Environment Architecture (SENVAR - 2000) – ITS, Surabaya. Architecture and Built Environment), Vol. 39, No. 1, July 2012, 6-7. http://learn.greenlux.org/packages/clear/ther mal/buildings/building_fabric/ Suprijanto, Iwan, Deak Putu Damayanti, Muhajirin. 2010. Inventarisasi Dan Identifikasi Desa-Desa Tradisional Indonesia Dalam Siati (Sistem Informasi Arsitektur Tradisional Indonesia), Proseding Kolokium 2010, Puslitbang Permukiman. Bandung Balai PTPT DPS, 2012. Laporan Survey Lapangan Kajian Karakteristik Termal Arsitektur Rote, Provinsi NTT (Intern report). Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum. Tidak diterbitkan. Santosa, Mas. 2001. Harmoni di Lingkungan Tropis Lembab : Keberhasilan Bangunan Kolonial. Jurnal Dimensi Teknis Arsitektur, Vol. 29, No.1 (http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.p hp/ars) Szokolay, SV. 1981. Cooling Problems and Responses in Predominantly Overheat Region in Bowen. International Passive and Hybrid Cooling Conference. Miami Beach, Florida. American Section of The International Solar Energy Conference. Santosa, Mas. 1995. Environmentally Responsible Architecture : The Intelegent of Traditional Buildings in Hot Humid of Indonesia. The First International Symposium on Asia Pasific Architecture. The East West Encounter, 22-25 March. Honolulu, The University of Hawaii at Manoa. Malama, A and Sharples. S. 1996. Thermal and econmic implications of passive cooling strategies in low cost housing in tropical upland climate. Architecture Science Review, Vol. 39. No. 2; hal. 98-106. Suwantara, I Ketut, Desak Putu Damayanti, dan Iwan Suprijanto. 2012. Karakteristik Termal Pada Uma Lengge Di Desa Mbawa Nusa Tenggara Barat. DIMENSI (Journal of Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 58