7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas, dan tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983). Secara umum, densitas massa air akan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Dalam kondisi tidak adanya gangguan, massa air yang memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Adanya gangguan akan berpotensi mendistorsi profil tersebut yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur secara vertikal, di mana massa air dengan densitas tinggi berada di atas massa air berdensitas rendah. Parsel massa air dengan ketidakstabilan ini selanjutnya akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990). Fluida dikatakan tidak stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard, 1983). Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas (E) (Stewart, 2002): E≈− 1 ∂ρ ………....................….……. (2.1) ρ ∂z di mana ρ adalah densitas (kg m-3) dan z adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika E>0, netral jika E= 0 dan tidak stabil jika E<0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil. Stabilitas kolom air juga dipengaruhi oleh kondisi stratifikasi (pelapisan) perairan yang dapat memodifikasi dinamika turbulensi. Turbulensi akan tertekan 8 pada kondisi stratifikasi yang kuat, sehingga dibutuhkan energi turbulen yang lebih besar untuk melawan besarnya gradien vertikal dari densitas (Fer et al., 2004). Dalam sudut pandang mendasar, transisi menuju turbulen dalam suatu aliran yang terstratifikasi merupakan kajian yang penting untuk memahami percampuran dan proses dinamik. Dinamika percampuran pada lapisan terstratifikasi stabil dikendalikan oleh kompetisi antara shear arus vertikal sebagai basis dari aliran dengan gaya apung, kaitannya dengan stratifikasi densitas (Martinez et al., 2006). Efek apung berperan mereduksi laju pertumbuhan perturbasi/gangguan dan menunda transisi ke arah turbulen, sedangkan shear berperan memasok energi kinetik. Lapisan percampuran pada aliran terstratifikasi terbentuk pada bidang batas (interface) dua aliran horizontal fluida yang sejajar namun dengan kecepatan dan densitas berbeda. Seiring meningkatnya stratifikasi, medan kecepatan akan cenderung mengarah lebih horizontal. Meskipun demikian, adanya disipasi gesekan dengan lapisan-lapisan horizontal di sebelahnya, proses ini akan menguras energi komponen turbulensi terstratifikasi (Riley dan Lelong, 2000). Karakteristik stratifikasi massa air dan kemungkinan terjadinya turbulensi, secara kuantitatif dapat diestimasi dari bilangan gradien Richardson (Ri). Gradien Ri diungkapkan sebagai (Kitade et al., 2003; Yoshida dan Oakey, 1996): Ri = N2 ………………………..……… (2.2) S2 di mana N dan S berturut-turut adalah frekuensi buoyancy, dan arus shear. Nilai frekuensi buoyancy atau yang juga dikenal sebagai frekuensi Brunt Väisälä dan shear berturut-turut ditentukan melalui hubungan: N2 = − g ∂ρ …………………………… (2.3) ρ 0 ∂z 2 2 ∂u ∂v S 2 = + ………………..………. (2.4) ∂z ∂z dengan g dan ρ adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s-2) dan densitas (kg m-3), sedangkan ρ0 merupakan densitas latar (background) perairan. Adapun u dan v berturut-turut adalah komponen zonal dan meridional dari arus (m s-1). 9 Gradien Richardson (Ri) mengekspresikan besaran relatif gaya-gaya yang menstabilkan stratifikasi densitas terhadap pengaruh-pengaruh yang mengganggu kestabilan shear arus (Delpeche et al., 2010). Representasi nilai gradien Richardson merupakan indikator turbulensi dalam perairan, di mana nilai Ri yang tinggi menunjukkan terjaganya turbulensi, sebaliknya nilai Ri yang rendah menunjukkan ketertekanan atau kecilnya turbulensi (Pond dan Pickard, 1983), di samping juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kuantitatif percampuran antarmuka (interfacial mixing) (Delpeche et al., 2010). Jika nilai Ri lebih besar dari 0,25 maka kolom air dikategorikan stabil (Pickard dan Emery, 1990). Richardson (1920) menyatakan bahwa nilai kritis di mana percampuran dapat terjadi pada kondisi terstratifikasi adalah 0<Ric<1. Namun, dalam kajian teoritis selanjutnya menempatkan nilai kritis ini dalam rentang 0<Ric<0,25 untuk pertumbuhan ketidakstabilan tercepat (Miles, 1961; Miles dan Howard, 1964). Delpeche et al. (2010) menggunakan batasan pertama agar mencakup semua kondisi percampuran. Bruno et al. (2006) menggunakan batasan kedua, di mana jika nilai Ri mendekati 0,25 (nilai kritis) maka mengindikasikan percampuran dimungkinkan terjadi secara reguler dalam suatu porsi kolom air. Pada kasus internal waves (gelombang internal) dengan periode pendek, dapat memungkinkan dihasilkannya nilai Ri di bawah nilai kritis, sehingga peran internal tides (pasut internal) menjadi kurang signifikan atau dapat diabaikan. Nilai Ri hanya mengindikasikan bahwa percampuran antarmuka dapat terjadi dan tidak merefleksikan mekanisme khusus yang melatarbelakanginya (Delpeche et al., 2010). 2.2 Turbulensi Turbulensi merupakan proses fisika dominan dalam transfer momentum dan bahang, serta dispersi partikel zat terlarut, partikel organik dan anorganik; baik di danau, lautan, samudera, maupun fluida yang menyelimuti bumi dan planet lainnya. Turbulensi secara umum dipahami sebagai keadaan gerak yang bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irregular (Thorpe, 2007). Turbulensi di 10 dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik, serta pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar. Secara sederhana, turbulen eddy dalam kondisi massa air yang terstratifikasi harus memiliki kondisi di mana fluida yang berdensitas tinggi berada di atas fluida yang berdensitas rendah, sehingga menghasilkan overturn. Proses ini membutuhkan peningkatan energi potensial, di mana usaha yang dilakukan melawan gaya apung untuk dapat mengangkat atau menurunkan fluida, sehingga energi harus dipasok dan hilang dari eddy. Teori seputar pengadukan turbulen seringkali bergantung pada asumsiasumsi tentang skala panjang/jarak eddy turbulen. Pada mulanya, teori ’panjang percampuran’ secara eksplisit menggunakan ’ukuran’ eddy turbulen sebagai variabel mendasar (Dillon, 1982). 2.2.1 Skala Thorpe, LT Thorpe (1977) mengukur profil temperatur di perairan danau dan memperoleh ketidakstabilan dinamik, yang olehnya diasosiasikan sebagai inversi atau pembalikan (overturn), yang merupakan indikasi adanya percampuran vertikal. Metode yang dirintisnya dimulai dengan melakukan penyusunan ulang (reorder) pada profil densitas yang mengandung inversi menjadi profil baru tanpa inversi, atau profil yang monoton. Fluktuasi perpindahan ini merupakan representasi dari eddy, di mana tajam pada batas atas dan bawah, dengan percampuran yang intensif di dalamnya. Dillon (1982) mengkonfirmasikan bahwa di perairan laut, ketidakstabilan ini berkaitan dengan disipasi turbulen, yang kemudian digunakan untuk memperkirakan koefisien difusivitas (KZ atau Kρ). Dengan demikian, perpindahan Thorpe sangat berguna untuk menggambarkan jangkauan vertikal peristiwa percampuran. Secara teknis, data mentah tekanan dan densitas dirata-ratakan ke dalam segmen tekanan (dbar) tertentu, dan di-reorder sehingga perubahan densitas terjadi secara monoton terhadap kedalaman, menghasilkan profil yang stabil secara dinamik. Jarak di mana setiap segmen bergerak naik atau turun, d, 11 selanjutnya digunakan untuk menghitung skala Thorpe, LT melalui hubungan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008): 1 n LT = ∑ d i 2 n i =1 1/ 2 ………......................……. (2.5) di mana di adalah perpindahan Thorpe pada kedalaman i, dan n adalah jumlah sampel rentang kedalaman. Setiap nilai LT diperoleh dari hasil perata-rataan n buah sampel pada kedalaman atau lapisan yang diinginkan. Secara umum, data CTD jarang digunakan untuk mendapatkan skala Thorpe karena adanya efek getaran kawat, goyangan kapal, dan percampuran oleh rangka CTD. Meskipun demikian, nilai-nilai yang diperoleh dapat dinyatakan valid karena beberapa alasan. Tingkat noise di perairan laut lebih kecil dibandingkan dalam skala laboratorium. Kontaminasi dari rangka dan goyangan kapal dapat direduksi dengan menghilangkan bagian-bagian cast yang terdistorsi oleh gerakan balik ke atas (umumnya ketika CTD diturunkan perlahan ke dasar perairan). Jika penurunan CTD dilakukan terlalu cepat, efek yang timbul adalah overturn akan tampak tidak berubah terhadap waktu. Dengan demikian, variasi kecepatan penurunan CTD dan diskontinuitas data hanya akan memiliki sedikit pengaruh pada hasil yang didapat (Sherwin dan Turrell, 2005). 2.2.2 Skala Ozmidov, LO Skala Thorpe memiliki karakteristik yang hampir sama dengan skala Ozmidov. Pada fluida terstratifikasi, suatu parsel fluida yang bergerak dalam jarak vertikal guna mengubah semua energi kinetiknya menjadi energi potensial, dapat dinyatakan dengan skala Ozmidov (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008): ε LO = 3 N 1/ 2 …….....................….……. (2.6) di mana ε adalah disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa, dan N adalah frekuensi apung atau frekuensi Brunt Vaisälä. 12 Dillon (1982) menguji hubungan antara skala Thorpe dengan skala Ozmidov, dan menemukan pola: LO = aLT n ……….....................….……. (2.7) dengan koefisien regresi 0,98 untuk n = 0,95. Selanjutnya, dengan melihat bahwa nilai n yang tidak jauh berbeda dengan 1, diperoleh rasio rata-rata konstanta proporsionalitas (Dillon, 1982): a= LO = 0 ,8 ………...................….……. (2.8) LT Ferron et al. (1998) menemukan nilai a = 0,95 (±0,6) di zona patahan Romanche. Adapun kajian terakhir yang dilakukan oleh Stansfield et al. (2001) menemukan LO ≈ 1,06 LT di Selat Juan de Fuca. 2.3 Percampuran Massa Air Percampuran massa air dapat terjadi baik secara isopiknal ataupun secara diapiknal. Percampuran yang mentransfer properti fluida antarpermukaan isopiknal yang berdensitas konstan disebut dengan percampuran diapiknal, sedangkan percampuran yang mentransfer properti fluida (temperatur dan salinitas) sejajar permukaan isopiknal (tanpa perubahan densitas) disebut dengan percampuran isopiknal. Kendati demikian, percampuran secara diapiknal pada tahap selanjutnya akan menimbulkan ketidakseimbangan medan tekanan, yang pada akhirnya juga menghasilkan collapse dan penyebaran properti fluida secara isopiknal (Thorpe, 2007). Perairan pesisir atau batas-batas lautan dengan daratan merupakan areaarea utama percampuran massa air (Munk, 1966). Gregg (1987) menyatakan bahwa adanya percampuran difusif berkaitan erat dengan disipasi energi, sehingga merupakan implikasi adanya keseimbangan antara transfer energi dan modifikasi massa air. Pada perairan landas benua, di mana terdapat tebing dasar laut, terbentuknya gelombang internal dapat disebabkan oleh meningkatnya intensitas arus yang menuju tebing (Bruno et al., 2006). Dengan menggunakan nilai konstanta proporsionalitas a, maka nilai koefisien difusivitas dari skala Thorpe 13 dapat diperoleh dari persamaan semi empirik, laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε) (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008): ε = L O 2 N 3 ………....................….……. (2.9) Wunsch dan Ferrari (2004) menyatakan bahwa tidak semua energi kinetik turbulen digunakan secara aktual untuk mencampur massa air. Sebagian besar energi kinetik turbulen ini akan terdisipasi oleh gesekan kekentalan. Hanya sejumlah fraksi γ yang digunakan untuk mencampur secara vertikal densitas fluida, dan menaikkan pusat massa. Dengan demikian, koefisien difusivitas vertikal dihitung sebagai (Park et al., 2008): Kρ = γε N2 ………...................….……. (2.10) di mana frekuensi buoyancy lokal atau frekensi Brunt Väisälä (N) diturunkan dari profil densitas hasil reorder. Efisiensi percampuran (γ) mengindikasikan efisiensi konversi dari energi kinetik turbulen ke energi potensial sistem, sehingga dapat bervariasi tergantung pada dinamika turbulensi. Fer et al. (2004) menetapkan γ = 0,15 dalam perhitungannya; sedangkan Osborn (1980) menetapkan γ = 0,2. 2.4 Peran Konfigurasi Topografi Perairan dalam Percampuran Massa Air Pemahaman yang baik terhadap dinamika aliran di atas sistem celah kanal merupakan topik penting bagi kajian iklim dan sirkulasi samudera, di mana percampuran di dekat selat dan ambang memungkinkan adanya transformasi massa air. Sayangnya, kajian observasi di area-area kritis ini belum banyak dilakukan dan masih menggunakan model sirkulasi global dengan resolusi yang kasar, serta banyak penyederhanaan. Berdasarkan kajian model yang dilakukan Ezer (2006), topografi ambang berperan vital pada percampuran karena turbulensi aliran dan dinamika arus bawah (downstream). Fenomena ini berkaitan dengan sistem kanal sempit dan asosiasinya dengan gesekan dasar dan shear. Pada akhirnya, terdapatnya fenomena percampuran ini juga memungkinkan adanya pertemuan antarmassa air secara tiba-tiba di lokasi tersebut. 14 2.5 Peran Gelombang Internal dan Pasut Internal dalam Percampuran Massa Air Pergerakan-pergerakan dengan skala mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa kilometer dalam arah vertikal di lautan biasanya dikaitkan dengan gelombang internal dan turbulensi dalam tiga dimensi (Riley dan Lelong, 2000). Gelombang internal memiliki peran yang sangat penting baik dari sisi oseanografi fisik maupun ekosistem laut, melalui mekanisme seperti percampuran massa air dan transfer bahang dan nutrien kepada lapisan-lapisan yang aktif secara biologis. Fenomena ini dapat mengantarkan pada percampuran massa air, khususnya di mana terdapat interaksi antara gelombang ini dengan topografi, sehingga menghasilkan pantulan dan pecahan gelombang, yang berpotensi bagi redistribusi bahang, garam mineral, maupun nutrien-nutrien (Wallace et al., 2008). Interaksi antara gelombang internal dengan dasar perairan dapat memicu terpecahnya gelombang, terbentuknya area dengan shear tinggi yang bersifat lokal dan memicu turbulensi; yang mengarah pada terdisipasinya energi gelombang internal tersebut (Polzin et al., 1997). Sehingga, gelombang internal memainkan peranan penting dalam termodinamika lautan. Gelombang internal akan menjalar secara spasial dan mempertukarkan energi dengan gelombang-gelombang lain melalui interaksi-interaksi gelombang non linier. Proses ini menghasilkan transfer energi dari skala besar ke skala kecil (Winters dan D’Asaro, 1997). Proses-proses serupa juga banyak dijumpai pada perairan landas benua (New, 1988; Rippeth dan Inall, 2002). 2.6 Percampuran Massa Air Arus Lintas Indonesia Massa air Pasifik Barat bagian tengah dan tropis atau yang biasa disebut dengan massa air subtropis bawah (subtropical lower water) dikarakterisasi oleh salinitas maksimum yang dangkal (Wyrtki, 1961). Massa air Pasifik ini masuk ke lautan Indonesia sebagai bagian dari arus lintas Indonesia (Arlindo), di mana salinitas maksimumnya mengalami reduksi, dan bahkan di beberapa lokasi tidak ditemukan (Gordon, 1986). Modifikasi massa air dari Pasifik barat secara kuantitatif merupakan representasi dari percampuran vertikal. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan model adveksi-difusi memverifikasi peran percampuran 15 vertikal ini dan menemukan bahwa lautan Indonesia secara spesifik didominasi oleh massa air Pasifik Barat bagian utara, meskipun pada beberapa lokasi seperti di perairan Halmahera bagian timur, Seram, dan Banda dijumpai pula massa air Pasifik Selatan. Jalur utama Arlindo adalah melalui perairan sebelah barat, yakni Laut Sulawesi, Laut Makassar, dan Laut Flores. Reduksi massa air salinitas maksimum Pasifik Barat berkaitan dengan efektivitas fluks salinitas cross-isopycnal. Berger et al. (1988) mengestimasi Kρ pada slope dan ambang di lautan Indonesia sebesar 5 x 10-3 m2 s-1. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk mengestimasi nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m2 s-1. Hatayama (2004) menggunakan pemodelan numerik dan menghasilkan nilai maksimum difusivitas vertikal sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 di ambang Dewakang. Adapun KochLarrouy et al. (2007) menemukan rata-rata difusivitas vertikal perairan kepulauan Indonesia sebesar 1,5 x 10-4 m2 s-1 menggunakan model pasang-surut. Suteja (2011) mengidentifikasi difusivitas vertikal rata-rata berdasarkan data observasi di Selat Ombai sebesar 7,56 x 10-2 m2 s-1.