1.1 Latar Belakang Intususepsi adalah suatu keadaan gawat darurat akut dibidang ilmu bedah. Kondisi ini muncul akibat segmen usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga dapat menimbulkan gejala obstruksi. Kondisi ini harus ditangani segera karena dapat berujung pada munculnya berbagai komplikasi. Intususepsi adalah obstruksi intestinal yang disebabkan oleh prolaps atau invaginasi satu segmen saluran cerna ke dalam lumen segmen lain yang letaknya berdampingan. Kondisi ini lebih sering muncul pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Kasus intususepsi paling sering terjadi pada anak usia 6 sampai 18 bulan. Intususepsi pada anak dapat disebabkan oleh berbagai yang cenderung idiopathic, namun pada orang dewasa kasus intususepsi memiliki kaitan erat dengan proses keganasan pada usus. Beberapa faktor risiko yang dapat memicu terjadinya intususepsi diantaranya infeksi, cystic fibrosis, dan polip intestinal. Diagnosis intususepsi dapat dilakukan dengan permiksaan klinis dan radiologi. Manifestasi klinis yang sering muncul diantaranya nyeri abdomen akut, mual-muntah, dan diare. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, terkadang didapatkan gambaran currant jelly stool. Pemeriksaan radiologi berperan untuk memastikan diagnosis intususepsi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan foto polos abdomen, kontras enema, ultrasound dan CT-scans. Intususepsi merupakan kondisi yang memerlukan penanganan segera. Penatalaksanaan intususepsi dapat dilakukan dengan air enema, liquid enema, atau tindakan operatif. Indikasi operasi adalah syok yang menetap, kecurigaan nekrosis usus atau perforasi, intususepsi yang tidak tereduksi dengan modalitas tatalaksana nonoperatif, dan pada intususepsi dengan pathological lead point (penyakit yang mendasari). Intususepsi sebagai salah satu keadaan darurat memerlukan penanganan yang tepat dan segera. Selain itu diagnosis yang akurat juga sangat penting untuk dilakukan, terutama pada kasus pasien dewasa yang tidak memiliki keluhan spesifik. Berdasarkan uraian tersebut, penulis menilai pengetahuan mengenai intususepsi sangat penting untuk dimiliki oleh dokter umum. 2.1 Definisi Intususepsi adalah masuknya salah satu bagian ke bagian yang lain atau invaginatio dari salah satu bagian usus kedalam lumen dan bergabung dengan bagian tersebut. Biasanya bagian proksimal masuk ke distal dan jarang terjadi sebaliknya. Bagian usus yang masuk (menginvaginasi) disebut intussusceptum dan bagian yang menerima intussusceptum (diinvaginasi) disebut intussuscipiens. Intususepsi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari traktus alimentary yang mengalami invaginasi yaitu ileoocolic, cecocolic, enteroenteric, duodenogastric, dan gastroesophageal. 2.2 Epidemiologi Epidemiologi intususepsi dilaporkan tertinggi pada anak-anak. Intususepsi dilaporkan sebagai penyebab tersering obstruksi usus pada anak setelah stenosis pilorus. Insidensi intususepsi dilaporkan sebesar 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup. Rasio laki-laki dibanding perempuan adalah 3:2. Insidensi ditemukan tertinggi pada infant usia 9-24 bulan. Epidemiologi intususepsi secara nasional di Indonesia masih belum diketahui. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada periode antara Januari 2009 – Desember 2011 melaporkan adanya 32 kasus sepanjang periode penelitian dengan rentang usia 3 bulan hingga 10 tahun. Kasus terbanyak ditemukan pada kelompok umur <1 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 8 bulan. 2.3 Etiologi Pada anak – anak, sekitar 90% kasus intususepsi merupakan kasus idiopatik. Kasus intususepsi idiopatik seringkali diasumsikan karena peristaltik usus yang tidak terkoordinasi, atau karena hiperplasia limfoid, yang mungkin terjadi pada infeksi gastrointestinal. Perbedaan asupan makanan pada bayi, ASI, antibodi maternal, prevalensi enteropatogen seperti adenovirus dan rotavirus, berkontribusi pada risiko terjadinya intususepsi. Hanya 10% kasus intususepsi pada anak yang termasuk intususepsi sekunder, yaitu mempunyai patologi pada usus, seperti massa fokal atau abnormalitas dinding usus. Adanya patologi pada usus ditandai dengan gejala obstruksi usus yang lebih menonjol, segmen usus yang terkena intususepsi lebih panjang, dan adanya cairan bebas intraperitoneal. Beberapa jurnal menghubungkan kejadian intususepsi dengan penggunaan vaksin rotavirus. Penelitian pada bayi intususepsi ileokolik idiopatik menunjukkan bahwa mayoritas bayi tidak lagi mengonsumsi ASI sehingga terjadi hilangnya imunitas maternal yang didapat secara pasif.10 Sebuah studi di India menyatakan bahwa 78,84% bayi intususepsi mendapat makanan pengganti ASI saat usia 2 – 4 bulan, 15,38% bayi mendapat makanan pengganti saat masih berusia 4 – 6 bulan. Pada penelitian tersebut, hanya 1 anak dengan ASI eksklusif yang menderita intususepsi. Kasus intususepsi dewasa berbeda dibanding anak – anak. Hampir 90% kasus intususepsi pada dewasa merupakan intususepsi sekunder, yaitu intususepsi karena ada bagian patologis pada usus. Titik patologis ini menjadi penyebab intususepsi. Beberapa contoh penyebab adalah karsinoma, polip, divertikel Meckel’s, divertikulum kolon, striktur, atau neoplasma jinak yang sering ditemukan intraoperatif. Adenokarsinoma merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada intususepsi di kolon; sedangkan di usus halus, metastasis menjadi penyebab tersering. Intususepsi sering berulang, yaitu sekitar 8–15%. Rekurensi bisa lebih dari 1 kali. Sebuah jurnal melaporkan 481 kasus dari 191 pasien; beberapa kasus mengalami rekurensi lebih dari 1 kali, bahkan 11 kasus mengalami rekurensi 6 kali. Rekurensi tertinggi terjadi pada 24 jam pertama. Pasien berusia lebih dari 1 tahun lebih berisiko rekuren, mungkin karena pada anak di bawah 1 tahun, tindakan operasi lebih sering daripada reduksi enema. Data tersebut juga menunjukkan bahwa onset kurang dari 12 jam, tidak ada muntah; teraba massa di perut bagian kanan juga mampu menjadi prediktor peningkatan faktor risiko rekurensi intususepsi. Intususepsi sekunder lebih sering rekuren, muntah, dan teraba massa di perut bagian bawah kiri. Etiologi intususepsi pada anak mayoritas idiopatik, dan hanya 10% kasus dapat diidentifikasikan penyebabnya. Beberapa faktor predisposisi diperkirakan berkontribusi, salah satunya fitur anatomi usus yang terbentuk selama kehamilan. Fitur anatomi yang ditemukan berkaitan dengan intususepsi antara lain insersi anterior ileum terhadap caecum, penurunan rigiditas caecum, dan kurangnya maturitas serat otot longitudinal kolon pada valve ileocaecal. Etiologi lain yang pernah dilaporkan adalah infeksi yang menyebabkan limfadenopati mesenterika, penyakit Celiac, penyakit Crohn, kelainan kongenital (seperti divertikulum Meckel), atau adanya lesi seperti polip. Intususepsi pada dewasa jarang terjadi, dan berkontribusi 1-5% penyebab obstruksi usus. Neoplasma jinak atau ganas merupakan penyebab tersering. Penyebab lain adalah infeksi, adhesi pascaoperasi, granuloma Crohn, ulkus usus (Yersinia), dan kelainan bawaan seperti divertikulum Meckel. 2.4 Faktor Risiko Infeksi adalah salah satu faktor risiko intususepsi. Pada sebuah penelitian dilakukan pengumpulan sampel tinja dari 206 pasien dengan intususepsi dan 143 subjek kontrol. Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan antara infeksi adenovirus dengan intususepsi. Faktor risiko lain adalah usia. Usia rata-rata intususepsi pada anak adalah 6-18 bulan, yang didominasi oleh anak laki-laki. Insiden intususepsi menurun seiring bertambahnya usia dan hanya 30% dari semua kasus terjadi pada anak-anak lebih dari 2 tahun. 2.5 Patofisiologi Intususepsi traktus gastrointestinal dapat terjadi pada seluruh traktus gastrointestinal, meskipun intususepsi ileocolic dan jejunojejunal adalah yang paling umum terjadi. Intususepsi sering berhubungan dengan enteritis (yang disebabkan oleh parasitisme, infeksi virus atau bakteri, perubahan diet, benda asing dan massa) atau penyakit sistemik, walaupun penyebab intususepsi pada umumnya tidak diketahui. Patofisiologi intususepsi adalah ketika terjadi invaginasi bagian proksimal segmen usus ke dalam bagian distal segmen yang berdekatan. Seiring dengan terjadinya peristaltik pada usus intususeptum akan mendorong usus semakin jauh ke arah distal. Hal ini menyebabkan kompresi pembuluh mesenterika dan limfatik yang menyebabkan kongesti vena dan edema jaringan, sehingga akan menghasilkan sekresi lendir dan perdarahan, nekrosis dinding usus, hingga perforasi. Edema yang terjadi pada intususepsi juga menghasilkan sumbatan intraluminal usus. Ketika gerakan peristaltik usus terganggu, translokasi bakteri akan terjadi dan dapat menyebabkan terjadinya sepsis dan hipovolemia pada pasien. 2.6 Manifestasi Klinis Gejala klinis dan perkembangan penyakit dapat dibedakan berdasarkan lokasi intususepsi, adanya hubungan dengan sistem vascular dan obstruksi yang kompleks. Manifestasi penyakit mulai tampak dalam waktu 3-24 jam setelah terjadi intususepsi. Gejala-gejala sebagai tanda-tanda obstruksi usus yaitu nyeri perut, muntah dan perdarahan. Biasanya nyeri disusul oleh muntah. Gejala muntah lebih sering muncul pada invaginasi usus halus bagian atas, jejunum dan ileum daripada ileo-colica. Setelah serangan kolik yang petama, umumnya tinja masih dalam keadaan normal. Setelah 12 jam feses akan bercampur darah dan lendir. Darah lender pada feses awalnya berwarna segar, kemudian berangsur-angsur feses akan bercampur dengan jaringan nekrosis sehingga akan tampak karakteristik fese yang khas yang disebut sebagai "red currant jelly" stool. Gejala klinisnya lainnya dapat berupa distensi abdomen, demam, dehidrasi dan lethargy. 2.7 Diagnosis Diagnosis intususepsi dapat ditegakkan pada pasien yang mengeluhkan nyeri abdomen akut, gejala obstruksi intestinal, dan tanda invaginasi usus pada pemeriksaan radiologi. 2.7.1 Anamnesis Gejala yang timbul pada pasien intususepsi dapat bervariasi, tetapi mayoritas pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen akut dan gejala obstruksi intestinal. Pada anak, manifestasi dapat berupa nyeri abdomen kolik disertai iritabilitas. Semakin berat nyeri, anak akan semakin tampak letargis. Pasien juga bisa menunjukkan gejala lain seperti mual, currant jelly stool, dan distensi abdomen. Pada pasien dewasa, umumnya gejala tidak berupa trias intususepsi (nyeri abdomen, teraba massa abdomen, dan BAB berdarah). Gejala yang muncul lebih ke arah ileus obstruktif, yaitu berupa mual, muntah, obstipasi, dan kembung. 2.7.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik pasien anak didapatkan massa berbentuk seperti sosis di kuadran kanan atas atau regio epigastrik abdomen pada 60% kasus. Temuan pemeriksaan fisik lain adalah distensi abdomen, nyeri tekan, dan penurunan atau hilangnya bising usus. 2.7.3 Pemeriksaan Radiologi Sulitnya diagnosis membuat perlunya pemeriksaan penunjang. Enema masih menjadi gold standard diagnosis intususepsi. Penggunaan ultrasonografi makin meningkat karena tidak invasif, bebas radiasi, tidak nyeri, cepat, dan relatif murah. a. Foto Polos Abdomen Pemeriksaan radiologi dilakukan setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Foto polos abdomen memiliki nilai diagnostik yang terbatas. Pemeriksaan foto polos abdomen umumnya hanya menunjukan kondisi kelainan pada 60% kasus intususepsi. Bahkan pada kondisi awal intususepsi sering kali tidak menimbulkan gambaran kelainan pada pemeriksaan foto polos abdomen. Setelah kondisi ini berlanjut maka akan timbul beberapa kelainan awal seperti hilangnya udara di bagian kuadran kanan atas dan bawah. Selain itu sering ditemukan juga massa jaringan lunak umumnya di bagian kuadran kanan atas disertai dengan tanda obstruksi berupa diltasi usus dan air-fluid level di daerah proximal dari massa tersebut. b. Enema dengan Kontras Barium enema adalah pemeriksaan standar untuk kasus intususepsi. Tanda klasik intususepsi pada pemeriksaan barium enema adalah adanya meniscus sign dan coiled spring sgin. Meniscus sign terbentuk akibat intussusceptum masuk ke dalam bagian yang berisi kontras. Sementara itu coiled spring sign nampak akibat adanya lipatan mukosa intussusceptum dialiri oleh kontras. c. Ultrasonografi Pada ultrasonografi, pada gambaran longitudinal dapat ditemukan hayfork sign atau sandwich sign yang patognomonik, yaitu 3 area hipoekoik yang terpisahkan oleh area hiperekoik. Tiga area ini menggambarkan segmen usus yang berdilatasi dan terisi segmen usus lain. Pada beberapa kasus akan terlihat gambaran pseudokidney yang terbentuk karena intususepsi melengkung dan mesenterium hanya terlihat pada satu sisi saja. Pada gambaran aksial, terdapat gambaran hipoekoik melingkar. Area hipoekoik adalah area dinding usus yang mengalami edema. Sedangkan lapisan di tengah adalah gambaran lapisan mukosa dan serosa segmen usus yang masuk ke dalam segmen usus lain. Gambaran ini memiliki beberapa nama, yaitu bulls eye sign, target sign, atau donut sign. Walaupun penilaian ultrasonografi bersifat subjektif, tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya hampir 100% di tangan dokter berpengalaman. Jika seorang dokter anak atau ahli gawat darurat mendapat kursus ultrasonografi bedside selama 1 jam saja, sensitivitas dan spesifisitas diagnosis dari ultrasonografi sudah mencapai 85% dan 97%, nilai prediktif positif 85%, dan nilai prediktif negatif 97%. Sebuah jurnal lain juga menilai apakah ultrasonografi mampu digunakan untuk membedakan intususepsi dari usus halus atau ileokolik. Parameter yang dianggap berguna sebagai pembeda adalah indeks diameter inti lemak bagian dalam dengan ketebalan dinding usus. Jika nilai indeks lebih dari 1,0 maka karakteristik intususepsi ileokolik. Sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%. Sedangkan jika kurang dari 1,0 adalah karakteristik intususepsi usus halus. Hal ini berhubungan dengan perbedaan anatomis struktur lemak mesenterium. Pada intususepsi pasien dewasa, ultrasonografi kurang sensitif dibandingkan CT scan; tetapi ultrasonografi tetap dapat melihat target sign pada beberapa kasus. Jika ditemukan massa abdomen, akurasi ultrasonografi lebih dari 90%. Karena akurasi dan keamanannya, ultrasonografi mulai menggantikan enema, sehingga enema sering digunakan untuk terapi saja. d. CT Scan Alat diagnostik lain adalah CT scan yang sensitif untuk diagnosis intususepsi pada dewasa. CT scan dapat membantu identifikasi lesi patologis usus, dapat mendeteksi gangguan vaskuler, dan memprediksi kemungkinan resolusi spontan. Dengan CT scan, makin sering ditemukan intususepsi pada orang dewasa tanpa kelainan patologis usus, sehingga meningkatkan keberhasilan terapi non-operatif. 2.8 Differential diagnosis Banyak kondisi penyakit yang mirip dengan intussusception yang juga menjadi faktor predisposisi untuk perkembangan intussusception, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan monitoring pasien. Differential diagnosa dari in tussusception antara lain: 1) benda asing terlihat adanya radioopaque, dengan menggunakan bahan kontras dapat dibedakan dari intussusception, 2) enteritis karena virus biasanya diagnosa berdasarkan perubahan tipe dari CBC (leukopenia) dan antigen tes kit, 3) torsio atau volvulus usus, 4) parasit intestinal dapat diperiksa melalui feses, 5) gastroenteritis hemoragika, 6) tertahannya usus, 7) adhesi, 8) strictur, 9)abses, 10) granuloma atau malformasi kongenital). Penyebab lain adanya fisiologi ileus yang disebabkan karena adanya inflamasi kedua (seperti parvo virus atau peritonitis). Penatalaksanaan Terapi intususepsi pada anak berawal dari terapi operasi segera setelah diagnosis; saat ini reduksi radiologis rutin dilakukan dengan morbiditas minimal. Operasi tetap menjadi pilihan pada pasien yang tidak stabil, ditemukan peritonitis atau perforasi, tidak ada ahli radiologi, atau yang paling sering, jika reduksi enema gagal. Reduksi non-operatif menjadi pilihan pertama pada anak kecuali jika ditemukan tanda perforasi usus atau peritonitis. Kontraindikasi operasi lainnya adalah intususepsi usus halus, pada neonatus, pada anak hemofilia, sindrom Peutz-Jegher, purpura Henoch-SchÅ‘nlein, keganasan, atau ditemukan tanda iskemi usus intususepsi. Reduksi dapat dilakukan dengan bantuan fluoroskopi atau ultrasonografi dengan enema hidrostatik (kontras larut air atau barium) atau pneumatik (menggunakan udara). Reduksi dianggap berhasil jika klinis membaik dan terdapat refluks dari ileum ke katup ileosekal. Tanda refluks dapat tidak timbul jika katup ileosekal mengalami edema. Kelebihan enema menggunakan barium dibanding udara adalah dapat menjadi sarana diagnostik. Barium enema juga dapat mengidentifikasi lesi patologis lebih baik dibanding udara. Mayoritas ahli radiologi juga lebih terbiasa menggunakan barium dibandingkan udara. Namun, penggunaan barium lebih sering menimbulkan peritonitis septik dan gangguan elektrolit jika terjadi perforasi usus halus. Angka keberhasilan barium enema sebagai terapi sekitar 40 – 90% tergantung banyak faktor yang berkaitan dengan pasien, operator, ataupun institusi. Keunggulan utama reduksi intususepsi menggunakan udara adalah paparan radiasi rendah dan risiko peritonitis rendah jika terjadi perforasi. Selain itu, penggunaan udara membuat tindakan reduksi lebih cepat, aman, dan murah dibandingkan menggunakan barium. Reduksi dengan udara lebih berhasil dengan komplikasi tidak signifikan, tetapi tidak disarankan pada kasus intususepsi usus halus atau kasus prolaps karena angka keberhasilannya rendah. Angka rekurensi penggunaan barium lebih besar. Sebuah jurnal menunjukkan rekurensi pada penggunaan barium lebih tinggi dengan nilai 12,7% dibanding 7,5%. Mubarak, dkk. juga melaporkan angka rekurensi pada barium adalah 15,8%, sedangkan penggunaan udara hanya 11,4%. Dalam sebuah metaanalisis di Amerika yang meliputi 32 ribu lebih kasus, penggunaan udara memiliki angka keberhasilan lebih tinggi, yaitu 82,7% dibanding 69,6%, sedangkan angka perforasi tidak signifikan, yaitu 0,39% pada penggunaan udara dan 0,43% pada penggunaan cairan. Akan tetapi, kebanyakan penelitian tidak mencantumkan interval mula timbul gejala sampai mulai terapi. Operasi pada kasus intususepsi anak bukan pilihan utama, kecuali jika klinis tidak stabil, terdapat tanda peritonitis atau perforasi usus, tidak ada ahli yang dapat melakukan enema reduksi, enema reduksi gagal atau inkomplit, atau teraba massa. Angka operasi juga lebih tinggi pada negara berkembang karena keterlambatan diagnosis. Sebuah penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menemukan bahwa gejala klinis feses berdarah merupakan tanda klinis tersering pada kasus intususepsi anak dengan komplikasi; jika durasi klinis intususepsi melebihi 78,5 jam, kemungkinan besar perlu reseksi usus. Sedangkan pada intususepsi dewasa, sering dilakukan operasi karena tingginya angka keganasan atau abnormalitas struktural lain. Penggunaan CT scan mengurangi tindakan operasi karena ditemukan kasus intususepsi biasa tanpa patologi. Komplikasi Komplikasi intususepsi sebenarnya bisa dihindari dengan diagnosis dini, resusitasi cairan dan tatalaksana adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi berupa perforasi usus, infeksi pada luka operasi, hernia, adhesi internal yang dapat menyebabkan obstruksi usus, syok sepsis akibat peritonitis yang tidak terdeteksi, dan perdarahan saluran cerna yang bisa menyebabkan hipovolemia. Prognosis Mortalitas akibat intususepsi dilaporkan < 1%. Rekurensi setelah reduksi nonoperatif dilaporkan pada 5% kasus, dan setelah reduksi operatif dilaporkan 1-4%. Keadaan umum yang buruk merupakan faktor prediktor dari intususepsi gangrenosa. Prediktor lain adalah durasi gejala > 48 jam, intususepsi pada area ileoileokolik, dan penurunan aliran darah yang dideteksi melalui Doppler.