DISUSUN OLEH : AHMAD PRAYOGA (1801170) ALFIAN SUDRAZAT (1801171) ALHARIS SITIO (1801172) ALPI AGUSTIAN (1801173) ANAS JOSUA SIHOMBING (1801174) ANDREAS HASUGIAN (1801175) MATA KULIAH PENGANTAR HUKUM BISNIS DAN AGRARIA (BDP III-E) SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN AGROBISNIS PERKEBUNAN (STIPAP) 2019/2020 MEDAN KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya sehinnga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang hukum kontrak atau hukum perjanjian. Dalam penyusunan makalah ini kami mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang turut berpartisipasi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian makalah ini.. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang turut memberikan dukungan baik berupa materil maupun moril. kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan dan kesilapan baik dalam hal penulisan maupun isi. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian yang bersifat membangun yang bisa menjadi bahan acuan dan pertimbangan bagi kami untuk kesempurnaan makalah ini dikemudian harinya. Penyusun Kelompok 2 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ DAFTAR ISI....................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. A. Latar Belakang ............................................................................................................... B. Rumusan Masalah.......................................................................................................... C. Tujuan Penelitian............................................................................................................ BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 1.Apa itu Hukum kontrak atau Hukum perjanjian .............................................................. 2. Syarat sah Hukum kontrak atau Hukum perjanjian ........................................................ 3. Asas-asas Hukum kontrak atau Hukum perjanjian ......................................................... BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan........................................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa belanda disebut dengan istilah overeenscom strecht. Dalam menunjang suatu kegiatan bisnis agar tercapainya keamanan dimana tidak hanya mengandalkan saling percaya dibutuhkan suatu perjanjian mengikat yang dikenal dengan istilah kontrak. Kontrak dalam dunia bisnis merupakan salah satu aspek penting yang banyakdipergunakan orang dan hampir semua kegiatan bisnis diawali dengan adanya perjanjian kontrak. Kontrak mencakup banyak hal dimana dalam pembuatannya terdapat asas-asas kontrak, syarat sah kontrak yang harus dipenuhi,dan dengan kontrak pula pihak-pihak yang terkait mendapatkan suatu kejelasan hukum apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.Hukum kontrak kita masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek Bab III tentang perikatan. Dari permasalahan diatas, penulis berusaha agar pihak yang terkait dalam suatu kontrak mendapat kejelasan hukum, maka perlu dikaji pembahasan lebih serius mengenai hukum kontrak, baik itu secara definisi, asa-asas yang terkandung didalamnya, syarat sahnya, serta contoh analisis kasus dari suatu perjanjian bisnis sesuai perspektif hukum kontrak dan hukum perdata. b. Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi hukum kontrak atau perjanjian di dalam perspektif hukum perdata ? 2. Bagaimana syarat sahnya perjanjian atau kontrak beserta asas-asas perjanjian ? 3. Bagaimana contoh kasus perjanjian bisnis yang sesuai dengan anatomi kontrak ? 4. Bagaimana analisis dari kasus perjanjian bisnis dalam perspektif hukum kontrak dan hukum perdata ? 5. Bagaimana kesimpulan dari analisis kasus perjanjian bisnis dan kesan pesan hukum kontrak yang penulis baca ? c. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang ada, dapat disimpulkan tujuan penulis membuat makalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui definisi hukum kontrak atau perjanjian dalam perspektif hukum perdata. 2. Untuk mengetahui syarat sahnya perjanjian atau kontrak beserta asas-asas perjanjian. 3. Untuk mengetahui contoh kasus perjanjian bisnis yang sesuai dengan anatomi kontrak. 4. Untuk mengetahui analisis dari sebuah kasus perjanjian bisnis dalam perspektif hukum kontrak atau hukum perdata. 5. Untuk mengetahui kesimpulan dari sebuah kasus perjanjian bisnis dan kesan pesan hukum kontrak yang penulis baca. BAB II PEMBAHASAN a. Definisi Hukum Kontrak atau Perjanjian Dalam Perspektif Hukum Perdata Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Biasanya kalo seorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak dimana hanya seorang yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atau sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak menjanjikan untuk memberikan sesuatu/ berbuat sesuatu kepada pihak lainnya yang berarti pula bahwa masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang dijanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dengan perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. b. Syarat Sahnya Perjanjian atau Kontrak Beserta Asas-Asas Perjanjian Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut. Sebagai contoh, apabila dalam kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan tentang barang dan harga, lahirlah kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh undang-undang. 1. Syarat Sahnya Perjanjian atau Kontrak Walupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagimana diatur dalam pasal 1320 BW, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c. Suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab yang halal. Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW tersebut diatas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut : 1. Kesepakatan Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penanwaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, Sebagai cara terjadinya kesepakatan / terjadinya penawaran dan penerimaan adalah: a. dengan cara tertulis; b. dengan cara lisan; c. dengan simbol-simbol tertentu; bahkan d. dengan berdiam diri. Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut diatas. secara garis besar terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang, mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu, atau diam-diam, Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Berbeda dari akta di bawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Berdasarkan pengertian akta autentik di atas dapat diketahui bahwa akta autentik ada dua macam, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dan akta yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akte tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta di bawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan (diuntungkan oleh akta di bawah tangan tersebut) dibebani untuk membuktikan keaslian akta tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali, pemegang akta autentik (yang diuntungkan oleh akta autentik tersebut) tidak perlu membuktikan keaslian akta autentik tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan. Di samping lahirnya kontrak dengan cara-cara tersebut di atas, dapat pula terjadi suatu kontrak dengan perantaraan elektronik yang walaupun penawaran dan penerimaan atau kesepakatan terjadi secara tertulis (dapat dibaca), namun kedudukannya berbeda dari kontrak tertulis sebagaimana disebutkan di atas karena tulisan tersebut tujuannya tidak dibuat untuk pembuktian di kemudian hari, tetapi hanya merupakan sarana untuk menyampaikan isi penawaran dan penerimaan antara para pihak. Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan mi kadang tidak disadari sebagai suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak. Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbolsimbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, misalnya penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual soto ! akan mengantarkan satu mangkok soto. Cara terjadinya kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu ini mungkin juga banyak terjadi pada perjanjian-perjanjian yang terlarang, misalnya jual beli narkoba dan hal-hal terlarang lainnya. Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengeltahui jurusan mobilmobil penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau ke mana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai di tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan. Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal-hal di antaranya: kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan. Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam BW, namun lahir kemudian dalam perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam BW dapat dilihat dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW yang masing-masing menentukan sebagai berikut. Pasal 1321 BW: Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Pasal 1449 BW: Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatall kannya. Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana dapa dijelaskan sebagai berikut. Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan. Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu. Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam BW, sedangkan tiga lainnya, yaitu penipuan, kekhilafan, dan paksaan diatur dalam BW. 2. Kecakapan Untuk mengadakan kontrak, para pihak harus cakap, namum dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah tidak cakap menurut hukum. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika 1a telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengapuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang dianggap tidak cakap apabila: a. belum berusia 21 tahun dan belum menikah; b. berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros. Sementara itu, dalam Pasal 1330 BW, ditentukan bahwa tidak untuk membuat perjanjian adalah: a. orang-orang yang belum dewasa; b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. Khusus huruf c di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undangundang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orangorang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat Perjanjian tertentu . 3. Hal Tertentu Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Berbeda dari hal di atas, dalam BW dan pada umumny sarjana hukum berpendapat bahwa prestasi itu dapat berupa: a. menyerahkan/memberikan sesuatu; b. berbuat sesuatu; dan c. tidak berbuat sesuatu. Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga.” 4. Sebab yang Halal Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebnt tidak bertentangan dengan peraturan perunnangundangan. 2. Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam Hukum Kontrak dikenal banyak asas, di antaranya adalah sebagai berikut : 1 . Asas Konsensualisme Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini _tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut. Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku. 2. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 BW yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya: a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak. b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian. c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian. d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III BW yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), keeuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. 3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 4. Asas lktikad Baik Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sementara itu, Arrest H.R. di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik. Dijerman, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa apabila ditetapkan syaratsyarat umum mengenai perjanjian, kebebasan berkontrak dianggap ada sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut ukurannya sendiri, yaitu berdasarkan iktikad baik dengan kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada awal penyusunan syarat-syarat perjanjian itu. Apabila satu pihak hanya mengajukan kepentingan-kepentingan sendiri, ia menyalahgunakan kebebasan dalam membuat perjanjian. Kedua keputusan tersebut menunjukkan bahwa iktikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan memerhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Putusan Pengadilan Inggris yang menyatakan bahwa apabila orang memiliki pengetahuan khusus (ahli) memberikan keterangan kepada pihak lain dengan maksud memengaruhi pihak lain supaya menutup perjanjian dengannya, dia wajib untuk berhati-hati bahwa keterangan-keterangannya adalah benar dan dapat'dipercaya,3 juga terkait dengan iktikad baik. BAB III KESIMPULAN Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut. Contoh : dalam kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan tentang barang dan harga, lahirlah kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh undangundang. DAFTAR PUSTAKA Miru ,Ahmadi. Hukum kontrak & perancangan kontrak. Jakarta: Rajawali pers. 2013 Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT.Intermasa. 2004 https://kawanwas.blogspot.com/2017/12/analisis-dan-contoh-pembuatan-kontrak.html?m=1 diakses pada tanggal 4 mei 2016 http://bimoadiwicaksono.blogspot.com/2010/08/analisis-perjanjian-jual-beli-dansewa.html?m=1 diakses pada tanggal 10 januari 2016 Purwaningsih, Endang. Hukum Bisnis. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. 2010