MATERI KE-2 FUNGSI, RAGAM, DAN LARAS BAHASA INDONESIA Setelah memahami sejarah bahasa Indonesia sekaligus kaitannya dengan bahasa persatuan dan bahasa negara pada pertemuan pertama, sekarang kita akan mempelajari fungsi, ragam dan laras bahasa Indonesia. Silakan Anda pelajari materi berikut ini. A. Fungsi Bahasa Indonesia Secara umum bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antarsesama. Namun, bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia, juga mempunyai fungsi khusus. Pada bagian ini kita akan membahas fungsi umum bahasa dan fungsi khusus bahasa Indonesia. 1. Fungsi Bahasa secara Umum Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga berfungsi menyampaikan berbagai macam ide, gagasan, dan perasaan manusia. Secara lebih rinci Jakobson (melalui Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 19—22) menjelaskan bahwa bahasa memiliki fungsi a) emotif, b) konatif, c) referensial, d) puitik, e) fatik, f) metalingual. a) Fungsi Emotif Fungsi emotif berkaitan dengan ekspresi diri/personal. Melalui media bahasa, fungsi ini kita gunakan untuk mengungkapkan berbagai macam perasaan, seperti senang, sedih, marah, dan yang lainnya. Oleh karena fungsi ini berkaitan dengan ekspresi diri, melalui fungsi ini penutur dapat memperlihatkan sikapnya. Unsur pribadi penutur akan terlihat ketika sedang berkomunikasi sehingga kita/mitra tutur dapat mengetahui bahwa penutur dalam keadaan senang, sedih, atau marah. b) Fungsi Konatif Bahasa pada fungsi ini digunakan untuk mengatur tingkah laku mitra tutur. Melalui bahasa, penutur menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Kalimat perintah, larangan, permohonan, dan imbauan digunakan pada fungsi ini. c) Fungsi Referensial Ada topik-topik tertentu yang kita bahas ketika sedang berbahasa. Berbagai macam aktivitas manusia diekspresikan melalui bahasa melalui topik-topik tertentu. Fungsi referensial berkaitan dengan hal yang dibicarakan. Ketika berkomunikasi, kita bisa saja membicarakan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, sastra dan sebagainya. Dengan demikian, fungsi referensial digunakan untuk membicarakan segala macam topik yang berkaitan dengan aktivitas manusia sebagai penutur bahasa. d) Fungsi Puitik Fungsi puitik menekankan pada amanat dalam sebuah tuturan. Bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pesan itu dapat berupa nasihat penutur kepada mitra tutur yang diungkapkan langsung dan tidak langsung. Amanat yang diungkapkan secara langsung, misalnya “Kamu harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri”, “Kamu harus disiplin”, sedangkan amanat yang diungkapakan secara tidak langsung, seperti “Besar pasak daripada tiang”, “Air beriak tanda tak dalam”, dan sebagainya. e) Fungsi Fatik Salah satu tujuan manusia berkomunikasi adalah untuk bersosialisasi dengan sesama. Bahasa digunakan untuk menjalin hubungan baik antara penutur dan mitra tutur dalam masyarakat. Bahasa pada fungsi ini digunakan untuk melakukan kontak dengan mitra tutur, misalnya memberikan salam, menyapa, menanyakan keaadaan, dan lainnya. Untuk menjalin kontak sosial, penutur menggunakan sapaan seperti ”Selamat pagi”, “Apa kabar?”, “Bagaimana keadaanmu?” f) Fungsi Metalingual Bahasa digunakan untuk membicarakan topik-topik tertentu. Jika bahasa digunakan untuk membicarakan topik bahasa itu sendiri, maka bahasa itu berfungsi metalingual. Fungsi metalingual digunakan untuk membicarakan dan menjelaskan tentang bahasa itu sendiri, misalnya pembahasan tentang fonem, morfem, kata, kalimat, dan segala hal yang terkait dengan bidang bahasa. Tentunya masih banyak fungsi bahasa yang lain yang dikemukakan oleh para ahli. Fungsi yang dikemukan oleh para ahli bahasa pada umumnya membahas fungsi umum bahasa dengan menggunakan sudut pandang yang beraneka macam. Fungsi-fungsi bahasa yang telah dijelaskan di atas dapat kita manfaatkan untuk berbagai macam tujuan, salah satunya untuk menulis karya ilmiah. 2. Fungsi Bahasa secara Khusus Pada pertemuan pertama kita sudah membahas bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang merupakan fungsi khusus bahasa Indonesia. Selain sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia juga memiliki fungsi khusus sebagai bahasa nasional. Berikut ini penjelasan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. 1) Lambang Kebanggaan Kebangsaan Bahasa Indonesia dapat dijadikan lambang kebanggan bangsa karena bahasa Indonesia mengandung nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang luhur. Sudah seharusnya kita sebagai pemilik bahasa Indonesia bangga memiliki bahasa Indonesia. Rasa bangga terhadap bahasa Indonesia dapat kita wujudkan dengan menggunakan bahasa Indonesia pada setiap kesempatan tanpa malu atau rendah diri. Selain digunakan, kita harus menjaga dan memelihara bahasa Indonesia. 2) Lambang Identitas Nasional Identitas berkaitan dengan jati diri atau ciri-ciri yang dimiliki dalam bahasa Indonesia. Di dalam ciri tersebut tercermin watak dan tingkah laku pemilik bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia dapat dijadikan lambang identitas nasional. 3) Alat Penghubung Antarwarga, Antardaerah, dan Antarbudaya Wilayah Indonesia sangat luas dengan warga masyarakatnya yang menyebar di barbagai daerah. Selain memiliki wilayah dan warga yang cukup banyak, Indonesia juga memiliki keragaman budaya. Tidak mudah untuk melakukan komunikasi dengan berbagai macam warga masyarakat yang juga begitu beragam wilayahnya. Namun, kita mempunyai alat yang dapat digunakan untuk mengubungkan antarwarga, antardaerah dan antarbudaya, yaitu bahasa Indonesia. 4) Alat Pemersatu Peristiwa yang sangat penting dalam sejarah bahasa Indonesia adalah peristiwa Sumpah Pemuda. Para pemuda pada waktu itu bertekad untuk menyatukan bangsa Indonesia. Salah satu media yang digunakan untuk menyatukan bangsa Indonesia adalah bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Pada saat ini pun di tengah arus globalisasi yang begitu pesat bahasa Indonesia masih sangat relevan sebagai alat pemersatu. B. Ragam dan Laras Bahasa Bahasa sebagai alat komunikasi sosial dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan. Seorang mahasiswa kadangkala menggunakan ragam bahasa yang berbeda dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Kadang ia menggunakan ragam tulis ketika menulis makalah dan menggunakan ragam bahasa lisan ketika presentasi. Ragam bahasa berhubungan dengan pemakaiannya di masyarakat. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan topik-topik tertentu yang sedang dibicarakan, hubungan antara penutur dan mitra tutur, dan media yang digunakan ketika berkomunikasi. Dengan demikian, ragam bahasa dapat berupa ragam bahasa lisan dan tulis. Sementara itu, laras bahasa berhubungan dengan kesesuaian antara bahasa dengan pemakainya. Dalam hal ini, seseorang dapat menggunakan bahasa sesuai dengan keperluannya. Misalnya, seorang peneliti akan menggunakan laras yang berbeda dengan seorang wartawan. Macam-macam laras bahasa antara lain laras ilmiah, sastra, jurnalistik, dan iklan. 1. Ragam Bahasa Penutur bahasa Indonesia sangat luas cakupannya, mulai dari Sabang hingga Merauke. Berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh penutur bahasa Indonesia juga sangat beragam sehingga setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat menyebabkan tejadinya keragaman bahasa. Pada dasarnya keberagaman bahasa dapat diklasifikasikan karena adanya keberagaman sosial dan fungsi bahasa di dalam sebuah masyarakat. Hartman dan Strok (melalui Chaer & Leonie Agustina, 1995: 81) mengklasifikasikan ragam bahasa berdasarkan: 1) latar belakang geografi dan sosial penutur, 2) media yang digunakan, dan 3) pokok pembicaraan. Jika kita kaitkan dengan karya tulis ilmiah, salah satu klasifikasi yang digunakan adalah ragam bahasa berdasarkan media yang digunakan, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam lisan berkaitan dengan tuturan yang diucapkan melalui alat wicara, sedangkan ragam tulis berkaitan dengan bahasa yang ditulis. Mari kita perhatikan ciri ragam lisan dan tulis berikut ini. a. Ragam Lisan Ragam ini terwujud melalui tuturan yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Ketika menggunakan ragam lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur paralinguistik, seperti titinada, tempo, tekanan, kontur, gerak tangan, anggukan kepala, ekspresi mata, dan ekspresi fisik yang lainnya. Dalam pemakaiannya, ragam bahasa lisan diklasifikasikan ragam bahasa lisan formal dan nonformal. Ragam lisan formal dapat kita gunakan untuk kegiatan ilmiah, seperti seminar, seminar proposal atau hasil penelitian. Selain itu, ragam lisan formal juga digunakan untuk pidato, pengantar dalam dunia pendidikan, khotbah, rapat resmi, dan kegiatan formal lainnya. Sementara itu, ragam bahasa lisan nonformal digunakan untuk percakapan sehari-hari antarteman, di warung kopi, angkringan, pasar, dan kegiatan nonformal lainnya. Ciri ragam lisan nonformal yaitu banyak menggunakan bentuk ujaran yang dipendekan. Pilhan kata, struktur morfologi, dan sintaksis pada ragam lisan nonformal terkadang disisipkan unsur-unsur bahasa daerah. Berikut ini beberapa ciri yang membedakan antara bahasa lisan formal dan nonformal. Perbedaan itu dapat kita lihat berdasarkan hal-hal berikut ini. 1) Pelafalan Pelafalan berkaitan dengan pengucapan kata yang dilakukan oleh penutur. Fonem dalam bahasa Indonesia keberadaanya sudah sangat jelas. Lafal bahasa Indonesia yang baik adalah lafal yang tidak lagi menampakkan unsur kedaerahan (Chaer & Leonie Agustina, 1995: 262). Contoh: tulisan lafal baku lafal tidak baku dapat [dapat] [dapət] enam [enam] [ənəm] kalau [kalaw] [kalo] 2) Penggunaan Kata Sapaan dan Kata Ganti Penggunaan sapaan dan kata ganti dalam ragam lisan formal dan nonformal merupakan ciri yang paling terlihat pemakaiannya. Dalam ragam bahasa lisan formal, kita biasa menggunakan bentuk-bentuk sapaan seperti, Ibu, Bapak, Saudara, Anda, saya, kamu, sedangkan dalam ragam bahasa lisan nonformal sapaan yang kita gunakan, seperti lu, ente, gue, ane, dan lainnya. Contoh: “Anda harus membaca buku ini!” (lisan formal). “Elu harus baca buku ini!” (lisan nonformal). “Silakan Saudara membuat kelompok!” (lisan formal). “Elu dan temen-temen buat kelompok!” (lisan nonformal). 3) Penggunaan Afiksasi Penggunaan afiksasi pada bahasa lisan formal, seperti prefiks (awalan), sufiks (akhiran), dan simulfiks (gabungan awalan dan akhiran) cenderung lengkap, sedangkan pada bahasa lisan nonformal sebaliknya. Contoh: “Adik bermain sepak bola” (lisan formal). “Adik main sepak bola” (lisan nonformal). “Tolong bukakan pintu itu!” (lisan formal). “Tolong bukain pintu itu!” (lisan nonformal). “Kamu harus segera menyelesaikan tugas ini!” (lisan formal) “Kamu selesein tugas ini!” (lisan nonformal) 4) Penggunaan Unsur Fatik Unsur fatik (persuasi) sering muncul pada ragam lisan nonformal, misalnya sih, deh, ops, kok, gitu, yoi, ye, aw dan lainnya, sedangkan dalam ragam lisan formal hal semacam itu tidak digunakan. Contoh: “Kok gitu, ya?” (lisan nonformal). “Yoi dong” (lisan nonformal). “Saya sih nggak setuju” (lisan nonformal). 5) Fungtor Kalimat Tidak Lengkap Salah satu ciri bahasa lisan adalah ketidaklengkapan fungtor-fungtor kalimat, misalnya tidak munculnya subjek (S) atau predikat (P). Hal ini terjadi karena bahasa lisan cenderung singkat, cepat, dan ketika terjadi kesalahan dapat langsung diperbaiki. Berikut ini contoh kalimat tidak lengkap ragam lisan. Rara : “Kamu sedang menulis apa?” Aim : “Menulis surat.” (terjadi penghilangan subjek saya) Naya : “Ibu sedang memasak apa?” Luna : “Nasi goreng.” (terjadi penghilangan subjek ibu dan predikat sedang memasak) b. Ragam Tulis Pada paparan di awal sudah dijelaskan mengenai ragam lisan dengan segala macam cirinya. Berdasarkan ciri tersebut, dapat dibedakan antara ragam lisan dan ragam tulis. Perbedan yang paling menonjol adalah pada media yang digunakan. Bahasa pada ragam lisan terealisasi melalui alat wicara si penutur, sedangkan bahasa pada ragam tulis terealisasi melalui sebuah tulisan. Dalam ragam lisan, kesalahan berbahasa dapat segera direvisi, sedangkan dalam ragam tulis (jika tulisan sudah dipublikasikan), diperlukan waktu yang relatif lebih lama untuk memperbaikinya. Hal lain yang sangat menonjol dalam ragam tulis adalah keterbacaan. Oleh karena itu, di dalam ragam tulis persoalan pilihan kata (diksi), susunan kalimat, ejaan, dan tanda sangatlah penting. Penglasifikasian ragam tulis berdasarkan pemakaiannya pada dasarnya sama seperti ragam lisan. Ragam tulis diklasifikasikan menjadi ragam tulis formal dan ragam tulis nonformal. Ragam tulis formal digunakan untuk menulis skripsi, tesis, disertasi, makalah, surat resmi, artikel ilmiah, dan tulisan-tulisan formal lainnya. Sementara itu, ragam tulis nonformal digunakan untuk menulis sms, status di facebook atau twitter, surat pribadi, catatan harian, karya sastra, dan sebagainya. Ciri ragam tulis formal dan nonformal juga hampir sama dengan ciri ragam lisan formal dan nonformal. Dalam ragam tulis, terutama ragam tulis formal, kita harus tepat menggunakan bentuk sapaan, afiksasi, dan struktur kalimat. Perbaikan dalam ragam lisan dengan ragam tulis juga berbeda. Jika terjadi kesalahan pada ragam lisan, kita seketika bisa memperbaikinya. Kesalahan dalam ragam tulis nonformal agak sedikit longgar jika dibandingkan dengan ragam tulis formal. Kesalahan penulisan pada ragam tulis nonformal memang biasa terjadi karena digunakan pada situasi informal. Tulisan untuk situasi informal cenderung singkat, tidak lengkap, banyak terjadi singkatan, penyisipan unsur-unsur kedaerahan, dan sebagainya. Hal itu akan sangat berbeda dengan ragam tulis formal. Ketepatan menggunakan diksi, ejaan dan tanda baca, struktur kalimat, dan kohesi dan koherensi harus benar-benar diperhatikan. Mari kita perhatikan pengunaan diksi, ejaan dan tanda baca, fungtor kalimat, dan kohesi dan koherensi pada ragam tulis formal. 1) Diksi Diksi berkaitan dengan pilihan kata. Dalam ragam tulis formal, kosakata yang kita gunakan adalah kosakata baku. Kesalahan penulisan kosakata kadang dipengaruhi oleh ragam lisan. Karena hampir setiap hari kita menggunakan ragam lisan, peggunaan ragam ini kadangkala membawa dampak terhadap pilihan kata dalam ragam tulis. Misalnya, kata antri (lisan-ragam tulis tidak baku) seharusnya ditulis menjadi antre (tulis baku), apotik (lisan- ragam tulis tidak baku) seharusanya ditulis menjadi apotek (tulis baku), sholat (lisan-ragam tulis tidak baku) seharusnya ditulis menjadi salat (tulis baku), sate (tulis tidak baku) seharusnya ditulis satai (tulis baku), dan masih banyak yang lainnya. Kosakata bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia juga menjadi penyebab kesalahan penulisan kosakata. Dalam karya tulis ilmiah yang berbahasa Indonesia, penulis terkadang menulis kosakata asing sesuai dengan aslinya. Padahal, kosakata asing tersebut sebenarnya sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia baku, misalnya, photocopy seharusnya ditulis fotokopi (baku), reality seharusnya ditulis realitas (baku), extreme seharusnya ditulis ekstrem (baku), mall (tulis tidak baku) seharusnya ditulis mal (tulis baku). 2) Ejaan dan Tanda Baca Ketepatan menggunakan ejaan dan tanda baca sangat penting ketika kita menulis karya ilmiah. Ejaan berkaitan dengan pelambangan bunyi bahasa dalam bentuk tulisan, seperti penggunaan huruf vokal dan konsonan, penggunaan huruf kapital, penulisan kosakata, penulisan istilah asing dan unsur serapan, dan penggunaan tanda baca. 3) Penggunaan Fungtor Kalimat Fungtor kalimat berkaitan dengan fungsi kalimat, seperti subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (Ket), dan pelengkap (Pel). Dalam kalimat sederhana (ragam tulis formal), fungsi subjek (S) dan predikat (P) harus muncul. Hal tersebut sangat berbeda dalam ragam tulis informal karena ada beberapa fungsi yang biasanya dihilangkan. Contoh: Tolong kamu hapus tulisan itu! (tulis formal) Hapus tulisan itu! (tulis nonformal, terjadi penghilangan subjek kamu). Saya memesan segelas es teh. (tulis formal) Saya es teh. (tulis nonformal, terjadi penghilangan predikat memesan). Adik sedang membaca buku di kamar. (tulis formal) Adik membaca di kamar. (tulis nonformal, terjadi penghilangan objek buku). Dosen itu sedang mengajar ilmu bahasa. (tulis formal) Dosen itu sedang mengajar. (terjadi penghilangan pelengkap ilmu bahasa) 4) Kohesi dan Koherensi Sebuah kalimat memerlukan unsur-unsur pembentuk teks yang berupa alat kohesi. Alat ini merupakan aspek formal bahasa dan menjadi pemarkah hubungan antarkalimat dalam wacana yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan kalimat, paragraf, dan wacana yang baik. Alwi, dkk., (2014: 427) menyatakan bahwa kohesi merupakan hubungan antarproposisi yang ditulis secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam wacana baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu. Sementara itu, Halliday & Hasan (1976: 4) mengatakan “The concept of cohesion as a semantic one, it refers to relations of meaning that exist within the text, and that define it is a text.” Konsep kohesi merupakan konsep semantik yang mengacu pada relasi makna yang ada dalam teks dan memberi definisi pada sebuah teks. Sebagai salah satu unsur pembentuk teks, kohesi dapat berupa penggunaan unsur bahasa sebagai pemarkah hubungan antarbagian dalam teks. Penggunaan pemarkah dalam ragam tulis haruslah tepat. Pemarkah hubungan itu antara lain seperti berikut ini. a) Hubungan yang menandakan tambahan kepada sesuatu yang sudah disebutkan sebelumnya, misalnya: lebih-lebih lagi, tambahan, selanjutnya, di samping itu, lalu, seperti halnya, juga, lagi pula, berikutnya, kedua, ketiga, akhirnya, tambahan pula, demikian juga. b) Hubungan yang menyatakan perbandingan, misalnya: lain halnya, seperti, dalam hal yang sama, dalam hal yang demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun, meskipun. c) Hubungan yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang sudah disebutkan sebelumnya; misalnya: tetapi, namun, bagaimanapun, walaupun demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun, meskipun. d) Hubungan yang menyatakan akibat/hasil; misal: sebab itu, oleh sebab itu, karena itu, jadi, maka, akibatnya. e) Hubungan yang menyatakan tujuan, misalnya: sementara itu, segera, beberapa saat kemudian, sesudah itu, kemudian. f) Hubungan yang menyatakan singkatan, misal: pendeknya, ringkasnya, secara singkat, pada umumnya, seperti sudah dikatakan, dengan kata lain, misalnya, yakni, sesungguhnya. g) Hubungan yang menyatakan tempat, misalnya: di sini, di sana, dekat, di seberang, berdekatan, berdampingan dengan. Koherensi merupakan pertalian antarkata atau kalimat dalam teks. Beberapa kalimat yang memiliki informasi berbeda dapat dihubungkan sehingga menjadi kalimat yang padu. Sebagai bagian dari sebuah teks, koherensi berfungsi untuk melihat bagaimana seorang penulis dapat menjelaskan sebuah fakta atau peristiwa melalui tulisan. Kita dapat memanfaatkan piranti kohesi untuk mewujudkan sebuah tulisan yang koheren. Proposisi “Sikap kritis mahasiswa Indonesia” dan “Kehidupan politik di Timur Tengah” merupakan dua hal yang berbeda. Dua hal yang berbeda tersebut dapat dihubungkan dalam satu pernyataan yang berupa sebab-akibat sehingga kalimatnya menjadi “Sikap kritis mahasiswa Indonesia tidak memengaruhi kehidupan politik di Timur Tengah”. Dengan demikian, makna kalimat dapat dipahami melalui proposisiproposisi yang dibangun secara utuh dan padu. Keutuhan dan kepaduan ini oleh penulis/pembicara dimanfaatkan untuk memudahkan penafsiran informasi bagi pembaca. C. Laras Bahasa Pada bagian atas, kita sudah membahas ragam bahasa. Penentuan ragam bahasa ini dapat dilakukan berdasarkan media yang digunakan (lisan dan tulis). Hal tersebut berbeda dengan laras bahasa. Jika ragam bahasa ditentukan beradasarkan media yang digunakan, penentuan laras bahasa dapat dilihat dari segi pemakainya. Dalam praktiknya, seorang penutur/penulis selain dapat memilih media yang digunakan (ragam), ia juga dapat menggunakan bahasa sesuai dengan keperluannya (laras). Seorang wartawan dengan seorang peneliti akan menggunakan laras bahasa yang berbeda karena perbedaan bidang mereka. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh penutur/penulis harus disesuaikan dengan bidang-bidang tertentu yang menjadi pokok pembicaraan. Kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya memunculkan berbagai macam laras bahasa, seperti: 1) laras ilmiah, 2) sastra, 3) jurnalistik, dan4) iklan. Mari kita perhatikan berbagai macam laras bahasa tersebut. a. Laras Ilmiah Karya ilmiah adalah sebuah karangan yang membahas permasalahan tertentu, atas dasar konsepsi keilmuan tertentu, dan ditulis dengan menggunakan metode-metode tertentu (Syamsudin, 1994). Karya ilmiah dapat berisi hasil pemikiran seorang penulis atas sebuah permasalahan, peristiwa, gejala, dan bisa juga pendapat. Berdasarkan hasil pemikirannya, penulis karya ilmiah menyusun berbagai informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Penulis karya ilmiah disebut sebagai penulis bukan pengarang (Soeseno,1993: 1). Karya ilmiah dapat berupa hasil penelitian, buku, modul, dan artikel ilmiah. Agar isi karya ilmiah dapat dipahami oleh para pembacanya, maka aspek kebahasaan dalam karya ilmiah harus diperhatikan. Oleh karena itu, karya ilmiah ditulis dengan menggunakan laras ilmiah. Perhatikan ciri-ciri laras ilmiah berikut ini (Soeparno, dkk., 2001: 11). 1) Menggunakan kalimat efektif a) Bentuk gramatikal singkat, tetapi memuat pesan yang padat. Contoh: Kalimat tidak singkat: Kakak laki-laki ibu akan berangkat ke Singapura pada bulan Desember yang akan datang. Kalimat singkat: Paman akan berangkat ke Singapura bulan Desember. b) Tidak menggunakan bentuk-bentuk yang berlebihan (redundan). Contoh: Kalimat berlebihan: Penelitian ini dilakukan agar supaya proses pembelajaran lebih baik. Kalimat tidak berlebihan: Penelitian ini dilakukan agar proses pembelajaran lebih baik. Kalimat berlebihan: Banyak para guru telah melaksanakan kurikulum 2013. Kalimat tidak berlebihan: Para guru telah melaksanakan kurikulum 2013. c) Memiliki kesepadanan struktur gramatik dan pola pikir. Contoh: Kalimat tidak sepadan: Guru mengambil data di lapangan, kemudian dianalisis sesuai dengan metode yang digunakan. Kalimat sepadan: Guru mengambil data di lapangan, kemudian menganalisis sesuai dengan metode yang digunakan. 2) Tidak menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang ambigu (bermakna ganda). Contoh: Kalimat ambigu: Mobil pegawai baru sedang diperbaiki (yang baru mobilnya atau pegawainya). Kalimat tidak ambigu: Mobil-pegawai yang baru itu itu sedang diperbaiki (mobilnya yang baru). Mobil pegawai baru itu sedsang diperbaiki (pegawainya yang baru). 3) Tidak menggunakan bahasa figuratif. Contoh: Kalimat dengan bahasa figuratif: Hasil penelitian ini bagaikan langit dengan bumi dengan penelitian yang terdahulu. Kalimat tanpa bahasa figuratif: Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang terdahulu. 4) Tidak menggunakan bentuk-bentuk persona. Contoh: Kalimat bentuk persona: Kita harus menjaga nilai-nilai budaya Jawa. Kalimat tanpa bentuk persona: Nilai-nilai budaya Jawa harus dijaga. 5) Memiliki keselarasan antarproposisi dan antarparagraf. Contoh: Kalimat yang tidak selaras: Banyak permasalahan dalam proses pembelajaran. Guru dan penelitian tindakan kelas (PTK). Kalimat yang selaras: Banyak permasalahan dalam proses pembelajaran. Para guru dianjurkan untuk melakukan Penelitian tindakan kelas untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain menggunakan laras ilmiah, bahasa dalam karya tulis ilmiah juga menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Berikut ini ciri-ciri bahasa Indonesia ragam baku. a) Menggunakan awalan me- dan ber-secara eksplisit. Contoh: Awalan -me dan ber- tidak eksplisit: Mahasiswa baca buku referensi dan kemudian diskusi dengan teman-temannya. Awalan -me dan ber- tidak eksplisit: Mahasiswa membaca buku referensi dan kemudian berdiskusi dengan temantemannya. b) Menggunakan kata tugas secara eksplisit. Contoh: Kata tugas tidak eksplisit: Data dianalisis sesuai metode yang digunakan. Kata tugas eksplisit: Data dianalisis sesuai dengan metode yang digunakan. c) Menggunakan kata tugas secara tepat. Contoh: Kata tugas tidak tepat: Pada instrumen penelitian ini adalah human instrument. (seharusnya tidak menggunakan kata pada) Kata tugas tepat: Instrumen penelitian ini adalah human instrument. Kami berdiskusi tentang sastra Indonesia. Kami mendiskusikan sastra Indonesia. d) Tidak menggunakan struktur logika yang rancu. Contoh: Struktur logika rancu: Kami tidak berkomunikasi dalam perjalanan antara Jakarta menuju Bali. Struktur logika tidak rancu: Kami tidak berkomunikasi dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bali. Kami tidak berkomunikasi dalam perjalanan antara Jakarta dan Bali. e) Menggunakan fungsi kalimat (subjek dan predikat) secara eksplisit. Contoh: Kalimat tanpa subjek: Mempunyai beberapa tujuan. Kalimat tersebut seharusnya menjadi: Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan. Kalimat tanpa predikat: Kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua wali. Kalimat tersebut seharusnya menjadi: Kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua wali akan bertemu siang ini. f) Menggunakan bentuk-bentuk gramatikal yang tidak berlebihan. Contoh: Bentuk gramatikal berlebihan: Kepada para segenap tamu undangan dimohon berdiri. Bentuk gramatikal tidak berlebihan: Segenap tamu undangan dimohon berdiri. g) Menghindari bentuk-bentuk singkatan. Contoh: Bentuk singkatan: Gimana cara menggunakan kartu permainan ini? Tidak disingkat: Bagiamana cara menggunakan kartu permainan ini? (baku) h) Menghindari bentuk-bentuk kosakata daerah. Contoh: Kalimat dengan kosakata daerah: Berape jumlah mahasiswe yang dijadikan sampel? Kalimat tanpa kosakata daerah: Berapa jumlah mahasiswa yang dijadikan sampel? i) Menggunakan bentuk terpadu (sintetik). Contoh: Bentuk tidak sintetik: Kejadian itu membuat tentram penduduk kampung. Bentuk sintetik: Kejadian itu menentramkan penduduk kampung. b. Laras Sastra Setiap kegiatan yang diekspresikan melalui bahasa mempunyai ciri bahasa yang khusus atau berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pilihan kata (diksi), morfologi, dan sintaksis yang digunakan. Penggunaan bahasa pada laras sastra salah satunya untuk mencapai nilai estetis. Untuk mendapatkan keindahan kata atau bunyi, kaidah formal bahasa kadang dikesampingkan. Jika bahasa pada umumnya bermakna lugas, bahasa pada laras sastra tidak demikian, misalnya, pernyataan “kesedihan seseorang saat orang yang dicintainya meninggal”, jika diungkapkan dengan laras sastra menjadi seperti berikut ini. Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta. (Chairil Anwar) Aturan-aturan kebahasaan pada laras sastra cenderung longgar. Kaidah kebahasaan formal kadang tidak digunakan. Hal ini dilakukan untuk mencapai nilai estetis karya sastra. c. Laras Jurnalistik Laras jurnalistik digunakan oleh para wartawan ketika menulis berita di media cetak, seperti koran, majalah, dan tabloid. Sebagai salah satu ragam bahasa, laras jurnalistik patuh kepada kaidah dan etika bahasa baku (Sumadiria, 2006: 53). Ciri utama bahasa jurnalistik adalah sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, dan menghindari kata-kata teknis. Laras jurnalistik memiliki ciri yang khas yang disebut sebagai gaya selingkung. Namun, dengan adanya gaya selingkung tersebut bukan berarti ragam bahasa jurnalistik tidak tunduk pada kaidah dan etika bahasa baku. Salah satu pedoman pemakaian bahasa pers yang diterbitkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berbunyi: ”Wartawan hendaknya selalu ingat bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang komunikatif dan bersifat spesifik. Tulisan yang baik dinilai dari tiga aspek, yaitu: isi, bahasa, dan teknik persembahan (Sumadiria, 2006). Berdasarkan pedoman di atas, ragam bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa yang bersifat kreatif yang patuh pada kaidah bahasa baku. Salah satu hal yang harus mendapatkan perhatian bahwa bahasa yang digunakan dapat menentukan baik dan tidaknya sebuah tulisan. Ini berarti bahwa ragam bahasa jurnalistik harus memperhatikan kaidah yang ada dalam EYD dan juga harus santun. d. Laras Iklan Iklan merupakan alat untuk mempromosikan suatu produk. Iklan mempunyai tujuan agar konsumen membeli produk yang ditawarkan. Salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam iklan adalah penggunan bahasa yang tepat. Bahasa iklan merupakan bentuk komunikasi satu arah. Hal ini juga dijelaskan oleh Lewis (melalui Ihza, 2013: 70), ia memperkenalkan konsep AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Melalui bahasa, konsep ini bertujuan membangkitkan perhatian, daya tarik, minat atau hasrat, dan tindakan. Konsep AIDA jika ditinjau dari perspektif komunikasi cenderung satu arah (linear) karena produsen atau pengiklan memiliki peran sebagai komunikator. Laras iklan merupakan salah satu wujud ragam bahasa jurnalistik yang digunakan oleh insan pers yang kreatif. Iklan harus memiliki daya informatif persuasif yang kuat. Oleh karena itu, pembuat iklan harus memilih kata-kata yang menarik untuk para konsumen. Dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain, bahasa iklan merupakan bahasa yang khas dan unik. Iklan bertugas meyakinkan orang, menciptakan keinginan, dan akhirnya memotivasi orang untuk bertindak (Bovee, 19: 301). Hal ini terealisasi dalam penggunaan bahasa iklan yang tendensius, menawan, ramah, dikemas secara sederhana dan semenarik mungkin sehingga konsumen akan menjatuhkan pilihan pada produk yang ditawarkan. Bahkan, ada orang membeli barang bukan karena benar-benar membutuhkan, melainkan karena terpengaruh sebuah iklan yang dilihatnya. Referensi Berikut adalah referensi yang dapat Anda gunakan sebagai bahan pengayaan. a. Alwi, Hasan dkk. 2014. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. b. Bovee, Arens. 1996. Contemporary Advertising. USA: Richard D. Irivin. Inc. c. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Rineka Cipta. d. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1976. Bahasa, Konteks, dan Teks (terjemahan Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press e. Ihza, Yustiman. 2013. Bujuk Rayu Konsumerisme. Depok: Linea Pustaka. f. Soeparno, dkk. 2001. Bahasa Indonesia untuk Ekonomi. Yogyakarta: Ekonosia, UII Yogyakarta. g. Soeseno, Slamet. 1993. Teknik Penulisan Ilmiah-Populer: Kiat Menulis Nonfiksi untuk Majalah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. h. Sumadiria, A.S. Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. i. Syamsudin, Munawar. 1994. Dasar-Dasar dan Metode Penulisan Ilmiah. Surakarta: Sebelas Maret Press.