STUDI KASUS PSIKOLOGI PENDIDIKAN BASED ON A TRUE STORY “FROM THE HEART” Dosen Pengampu: Fachri Hakim, M.Pd Disusun: Nama : Chairani Widya Putri NIM : 1808076004 Kelas : Pendidikan Kimia 6A PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2021 FROM THE HEART https://youtu.be/3rgmVjrkdUc Pada video tersebut diangkat berdasarkan dari kisah nyata di Negara Thailand. Ada seorang murid pindahan yang memiliki berkebutuhan khusus (autisme), bernama Chao. Ia pindah ke sekolah biasa dengan anak-anak yang pada umumnya. Dikarenakan Chao berbeda dari teman-teman yang lain, sehingga Chao dibully yang menyebabkan gurunya mencari solusi bagaimana mengajar anak yang berkebutuhan khusus (autisme) ini. Pada suatu hari, gurunya ke perpustakaan mencari buku khusus yang membahas autisme, lalu ia membaca salah satu paragraph yang ada di buku tersebut bahwa “anak autisme memiliki perilaku yang berulang-ulang, seperti suka melihat sesuatu yang bergerak memutar, contohnya baling-baling kipas”. Pada video tersebut ditampilkan ketika gurunya ingin mengajak berbicara ke Chao, tetapi ia hanya fokus kepada balingbaling kipas yang berputar. Lalu diambil baling-baling kipas tersebut oleh gurunya, sehingga Chao bisa melihat dan berfokus kepada gurunya. Guru Chao pun berkata “kau sudah meilhatku kan? itu berarti kita telah bertemu satu sama lain”. Yang memiliki arti bahwa gurunya sudah bisa masuk ke dalam dunia fokus si Chao. Setelah itu baru Chao bisa diajarkan oleh gurunya. Paragraph lain pada buku tersebut menjelaskan bahwa “ada terapi seni untuk anak autis seperti garis, warna, bentuk”. Sehingga gurunya membuat baling-baling kipas yang berasal dari kertas berwarna-warni, digunakan sebagai petunjuk papan tulis ketika ia sedang mengajar dan menulis dengan kapur warna-warni di papan tulis, yang membuat Chao dapat fokus dan memperhatikan gurunya. Paragraph berikutnya menjelaskan bahwa “meningkatkan kemampuan dalam melatih pengucapan, seperti belajar bagaimana cara mengucapkan sebuah kata, meniup karet gelang, meniup peluit”. Ketika Chao berhasil melewati itu semua, gurunya memberi apresiasi dengan memberi cap ke tangan yang bertuliskan “very good”. Ciri-ciri anak autis juga tidak menatap wajah, menghindari kontak mata, tanpa ekspresi. Seminar psikologi siswa diadakan pada sekolah tersebut, dan guru Chao ikut menghadiri. Pada seminar tersebut menjelaskan bahwa kualitas pendidikan juga dapat meliputi program pengembangan guru sejak Sekolah Dasar. Sehingga di kelas, Chao diajarkan oleh guru lain yang tidak tahu bagaimana cara mengajar kepada anak yang spesial ini (autisme). Tiba-tiba Chao mengamuk dan terus mengelilingi meja guru tanpa henti. Pada paragraph di buku tersebut menjelaskan bahwa “anak autis dikatakan seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan anak dari lingkunganya”. Sehingga ia hanya nangis sambil menyendiri. Guru Chao pun diminta untuk datang ke kelas dan mengatasi Chao lalu langsung memeluk Chao, seperti yang dijelaskan di buku tersebut bahwa “memeluk anak autis sebagai mengekspresikan rasa sayang”. Keesokan harinya, guru Chao ini mengajar di kelas dan bertanya “menurut kalender mana kita menghitung hari sebagai hari ke-13 setelah bulan purnama?” lalu anak-anak kelas menjawab “kalender Lunar”. Guru pun menanyakan lagi “bagaimana dengan 14 januari 1999?” tiba-tiba Chao pun menjawab “hari kamis” dan ia ditertawakan oleh anak sekelas. Lalu gurunya langsung membuka kalender dan benar yang dikatakan Chao bahwa 14 januari 1999 adalah hari kamis. Gurunya pun membaca salah satu buku lagi di perpustakaan dengan judul “anak autis yang jenius”, disitu dijelaskan bahwa “anak autis dapat menghitung penanggalan dengan sangat cepat dan tepat, dapat menyebutkan hari pada tanggal tersebut dengan cepat”. Chao pun tiba-tiba diganggu dan dibuli oleh teman sekelasnya, yang membuat ia menjadi ngamuk dan memukul teman yang mengganggunya ini. Pada salah satu paragraph buku tersebut menjelaskan bahwa “jika anak autis tersebut marah dan ngamuk, sulit untuk menenangkannya”. Datanglah gurunya Chao langsung memeluknya dan menyuruh untuk menarik napas perlahan-lahan dengan hitungan 1.. 2.. 3… dan Chao pun tenang. Dari insiden tersebut orang tua dari pembuli datang ke sekolah dan protes dengan mengatakan “bagaimana mungkin kalian bisa membiarkan anak berkebutuhan khusus ini belajar di kelas biasa? untuk apa dia belajar! anak cacat seperti ini!”. Lalu ibu guru Chao membuktikan bahwa Chao bukanlah anak yang cacat, dengan memberi pertanyaan kepada Chao sambil membuktikannya dengan kalender. “Chao jawab, hari apakah tanggal 14 september 1999?”. Chao pun menjawab “hari selasa”. “Hari apakah tanggal 22 oktober 1999?”. Chao pun menjawab “hari jum’at”. Dari situ orang tua pun tercengang seperti tidak percaya bahwa Chao menjawab dengan cepat dan tepat. Tiba-tiba Chao pun berlutut dan meminta maaf kepada orangtua dari pembuli ini sambil berkata “izinkan aku bersekolah”. Yang membuat ibu gurunya meneteskan air mata sembari memeluk Chao. Pada kelas berikutnya, diberi tugas menuliskan cita-cita dan Chao pun ingin menjadi seorang guru di masa depan, sehingga ibu gurunya tersenyum membaca cita-cita dari Chao tersebut. Pada kisah nyata pun memang terjadi demikian, bahwa anak yang berkebutuhan khusus tersebut menjadi guru di masa depan, seperti yang ditampilkan di video, foto-foto dari anak berkebutuhan khusus yang sudah mencapai cita-citanya masing-masing. Hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bahwa “guru merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan istimewa, yang membuat berbeda dari pekerjaan yang lainnya. Selain itu seorang guru pun tidak berharap pada gelar, kesejahteraan, ataupun uang sebagai imbalannya. Yang terpenting adalah kepuasan batin yang membuat dirinya bahagia dan bangga ketika mengajarkan dengan tulus kepada anak muridnya dan mengetahui serta mempelajari potensi anak muridnya masingmasing sehingga anak murid tersebut berhasil mencapai cita-cita yang mereka inginkan”.