Uploaded by sherlyra34

Sherly XII IPA2 Portofolio Artikel

advertisement
PENUGASAN PORTOFOLIO ARTIKEL
Nama : Sherly Rizki Andriani
Kelas : XII IPA2
No. Absen : 32
Topik : Vaksin COVID-19
Data dan Fakta:







Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej menyatakan,
masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 dapat dijatuhi sanksi berupa hukuman
pidana paling lama 1 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp100 juta.
Pasal 30 Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19,
ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 12 November 2020,
menyebut setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan
dan/atau vaksinasi COVID-19 dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar
Rp5.000.000.
Seorang warga bernama Happy Hayati Helmi bahkan mendaftarkan gugatan uji materi
atas peraturan tersebut ke Mahkamah Agung pada Desember lalu.
Hingga saat ini sebanyak lebih dari satu juta orang telah terinfeksi COVID-19 lebih dari
30.000 orang diantaranya meninggal dunia akibat infeksi virus tersebut.
Efektivitas vaksin Sinovac di Indonesia 65,3% dan di Brazil 50,4%
Efektivitas vaksin Pfizer 95%
Vaksinasi menimbulkan berbagai efek samping.
Opini:










Pemberlakuan sanksi pidana dan denda sepertinya terlalu berlebihan dan melanggar
HAM.
Masalah utama dari penolakan vaksinasi COVID-19 ini adalah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah.
Pemerintah Indonesia justru menganggap virus corona seolah tak terlalu berbahaya.
Di awal tahun lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, publik
mestinya tidak perlu khawatir karena penyakit flu yang biasa menjangkiti warga
Indonesia justru mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada virus corona.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat saat
pemerintah menyatakan bahwa vaksinasi akan dilakukan dengan penggunaan jenis
vaksin Sinovac.
Masyarakat mengkhawatirkan efek samping yang akan terjadi setelah vaksinasi.
Pemerintah sebaiknya berusaha untuk lebih membangun kepercayaan publik daripada
sibuk memidanakan penolak vaksin.
Kepercayaan publik terhadap vaksinasi dapat diwujudkan dengan kerja sama antara
kedua belah pihak, yaitu dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri.
Sebaiknya, pemerintah terus melakukan transparansi data selama pandemi.
Penerapan kebijakan yang tegas dan jelas juga perlu dilakukan.

Jika kepercayaan telah diwujudkan, pandemi COVID-19 ini pasti dapat ditangani
dengan baik.
Struktur Artikel
Tesis
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej menyatakan,
masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 dapat dijatuhi sanksi berupa hukuman pidana
paling lama 1 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp100 juta.
Argumentasi
Pemberin sanksi denda dan pidana dinilai terlaku berlebihan. Alasan penolakan vaksinasi
adalah karena ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah dan pada jenis vaksin yang
digunakan. Masyarakat juga takut pada efek samping vaksin yang akan terjadi.
Penegasan Ulang
Pemberian sanksi denda dan pidana kurang tepat. Pemerintah harusnya meningkatkan
kepercayaan publik. Jika kepercayaan sudah terbangun antara pemerintah dan masyarakat,
pandemi ini akan dapat diatasi dengan baik.
*Artikel yang dibuat ada pada lembar selanjutnya.
VAKSINASI DEMI ATASI PANDEMI
Oleh : Sherly Rizki Andriani
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej menyatakan,
masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 dapat dijatuhi sanksi berupa hukuman pidana
paling lama 1 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp100 juta.
Bahkan, pemberlakuan sanksi bagi penolak vaksinasi telah tercantum dalam peraturan
daerah provinsi DKI Jakarta. Pasal 30 Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan
COVID-19, ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 12 November
2020, menyebut setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan
dan/atau vaksinasi COVID-19 dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar
Rp5.000.000.jip
Pernyataan tersebut sontak menuai berbagai kritik dari para ahli maupun masyarakat
yang tidak menyetujui hal tersebut. Pemberlakuan sanksi pidana dan denda sepertinya terlalu
berlebihan dan melanggar HAM.
Seorang warga bernama Happy Hayati Helmi bahkan mendaftarkan gugatan uji materi
atas peraturan tersebut ke Mahkamah Agung pada Desember lalu. Viktor Santoso Tandiasa,
kuasa hukum Happy, menyatakan ketentuan itu dinilai bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memberikan hak kepada
setiap orang secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan
yang diperlukan bagi dirinya. Pengenaan sanksi denda juga ia anggap bertentangan dengan
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Masalah utama dari penolakan vaksinasi COVID-19 ini adalah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah. Di awal merebaknya COVID-19 tahun lalu, banyak negaranegara yang cepat tanggap dalam mencegah COVID-19 dengan cara segera menutup
penerbangan dari luar negaranya dan pemberlakuan lockdown yang segera dilakukan.
Sementara itu, alih-alih segera mengambil tindakan untuk mengantisipasi masuknya virus ke
Indonesia, pemerintah Indonesia justru menganggap virus corona seolah tak terlalu berbahaya.
Di awal tahun lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, publik
mestinya tidak perlu khawatir karena penyakit flu yang biasa menjangkiti warga Indonesia
justru mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada virus corona.
Faktanya, hingga saat ini sebanyak lebih dari satu juta orang telah terinfeksi COVID19 lebih dari 30.000 orang diantaranya meninggal dunia akibat infeksi virus tersebut. Kasus
harian COVID-19 pun semakin bertambah.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat saat
pemerintah menyatakan bahwa vaksinasi akan dilakukan dengan penggunaan jenis vaksin
Sinovac hasil produksi negeri Tiongkok. Banyak masyarakat yang meragukan efektivitas
vaksin tersebut karena dinyatakan bahwa efektivitas vaksin Sinovac hanya 65,3%, bahkan di
Brazil efektivitasnya hanya mencapai 50,4%. Nilai tersebut lebih kecil dari tingkat efektivitas
jenis vaksin lain, seperti Pfizer dengan efektivitas 95%. Sampai saat ini, jenis vaksin yang telah
mendapat izin dan digunakan untuk vaksinasi di Indonesia adalah vaksin Sinovac.
Selain dari efektivitas vaksin, masyarakat juga mengkhawatirkan efek samping yang
akan terjadi setelah vaksinasi. Memang sudah menjadi rahasia umum, setiap vaksin pasti
memiliki efek samping tersendiri, baik itu ringan maupun berat.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, secara keseluruhan menunjukkan vaksin
aman dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan ringan hingga sedang, yaitu efek
samping lokal berupa nyeri, iritasi, pembengkakan, serta efek samping sistemik berupa nyeri
otot, fatigue, dan demam.
Hal-hal tersebut menjadikan masyarakat ragu dan berujung pada penolakan vaksin.
Apalagi, setelah adanya pemberlakuan sanksi pidana dan denda. Pemerintah sebaiknya
berusaha untuk lebih membangun kepercayaan publik daripada menerapkan kebijakan yang
dinilai kurang tepat seperti pemberian sanksi pidana dan denda bagi penolak vaksin.
Kepercayaan publik terhadap vaksinasi dapat diwujudkan dengan kerja sama antara
kedua belah pihak, yaitu dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Sebaiknya, pemerintah
terus melakukan transparansi data selama pandemi, baik itu dalam jumlah kasus terinfeksi,
tingkat keberhasilan vaksin yang digunakan, dan efek samping yang terjadi setelah vaksinasi.
Penerapan kebijakan yang tegas dan jelas juga perlu dilakukan agar masyarakat tidak
kebingungan dan patuh dalam melaksanakan kebijakan tersebut.
Dengan adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, rasa saling percaya akan
timbul. Jika kepercayaan telah diwujudkan, pandemi COVID-19 ini pasti dapat ditangani
dengan baik. Angka kasus terinfeksi dapat segera menurun. Dan dengan vaksinasi, dapat
membentuk kekebalan tubuh masyarakat untuk mencegah infeksi COVID-19 agar kehidupan
normal seperti sebelum pandemi dapat segera kembali.
Download