BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anemia yang paling umum ditemukan pada masyarakat adalah anemia defisiensi besi. Diperkirakan 25% dari penduduk dunia atau setara dengan 3,5 milyar orang menderita anemia. Estimasi prevalensi secara global sekitar 51% dimana penyakit ini cenderung berlangsung pada negara yang sedang berkembang. Pada negara berkembang terdapat 36% dari total perkiraan 3800 juta penduduknya menderita anemia, sedangkan pada negara maju hanya terdapat 8% dari total perkiraan 1200 juta penduduknya. Kandungan zat besi dalam tubuh total adalah sekitar 2 gr untuk perempuan dan 6 gr untuk laki-laki. Sekitar 80% zat besi dalam tubuh fungsional terdapat dalam Hb, sisanya terdapat di mioglobin dan enzim yang mengandung zat besi. Dewasa ini wanita rentan akan penyakit ini. Hal ini dapat dikarenakan jumlah kebutuhan sel darah merah pada wanita lebih banyak bila dibandingkan dengan laki – laki. Wanita mengalami fase menstruasi dan fase kehamilan dan disaat itulah wanita banyak memerlukan pasokan sel darah merah. Prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita hamil sangatlah tinggi, yaitu sekitar 55% - 60%. Dalam suatu survei pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevalens anemia defisiensi besi sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi (Baktaet al, 2009). Dampak yang ditimbulkan akibat anemia defisiensi besi sangat kompleks. Menurut Ros dan Horton (1998), anemia defisiensi besi berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya kemampuan kognitif, 1 menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia defisiensi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas, rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat, dan seterusnya (Wulansari, 2006). 1.2.RUMUSAN MASALAH 1.) Apa anemia defisiensi besi itu? 2.) Mengapa wanita lebih rentan terkena anemia defisiensi besi? 3.) Bagaimana dampak dan cara pencegahan anemia defisiensi besi pada remaja putri dan ibu hamil? 1.3.TUJUAN 1.) Untuk menginformasikan kepada pembaca tentang definisi dari anemia defisiensi besi. 2.) Untuk memberi penjelasan kepada pembaca khususnya wanita tentang mengapa anemia defisiensi besi lebih rentan menimpa wanita. 3.) Untuk menginformasikan bagaimana dampak serta pencegahan anemia defisiensi besi pada remaja putri dan ibu hamil. 1.4.MANFAAT 1.) Agar pembaca dapat mengetahui dan mengenali apa itu anemia defisiensi besi. 2.) Agar pembaca dapat mengetahui penyebab terjadinya anemia defisiensi besi. 3.) Agar pembaca khususnya wanita lebih waspada terhadap anemia defisiensi besi dengan mengetahui berbagai gejalanya dan dapat mengetahui dampak serta pencegahannya. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyed iaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama negara-negara tropic atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi (Bakta et al,2009). 2.2. Eritropoeitin Eriptropoiesis diatur oleh hormone eritropoeitin. Hormon ini adalah suatu polipeptida yang sangat terglikosikasi yang terdiri dari 165 asam amino dengan berat molekul 30.400. Normalnya, 90% hormone ini dihasilkan di sel intertisial peritubular ginjal dan 10%-nya di hati dan tempat lain. Tidak ada cadangan yang sudah dibentuk sebelumnya dan stimulus untuk pembentukan eritropoeitin adalah tekanan oksigen (O2) dalam jaringan ginjal. Karena itu produksi eriptropeitin meningkat pada anemia, jika karena sebab metabolic dan structural, hemoglobin tidak dapat melepaskan O2 secara normal, jika O2 atmosfer rendah atau jika gangguan fungsi jantung dan paru atau kerusakan sirkulasi ginjal mempengaruhi pengiriman O2 ke ginjal. Eritropoeitin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE lanjut yang mempunyai reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi, berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin. Proporsi sel eritroid dalam sumsum tulang meningkat dan dalam keadaan kronik, terdapat ekspansi eritropoiesis secara anatomik ke dalam sumsum berlemak dan kadang-kadang ke lokasi ekstramedular. Pada bayi, rongga sumsum tulang dapat meluas ke tulang 3 kortikal sehingga menyebabkan deformitas tulang dengan penonjolan tulang frontal dan prostrusi maksila atau sel limfoma non Hodgkin menjadi pola folikular atau difus. Molekul adhesi dapat juga menentukan apakah sel bersirkulasi atau tidak dalam aliran darah, atau sel tetap dalam jaringan. Molekul adhesi tersebut sebagian juga dapat menentukan apakah sel tumor rentan terhadap pertahanan imun tubuh atau tidak (Hoffbrand et al,2005). 2.3. ETIOLOGI Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau pengunan elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika bukan pada anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana merupakan masa terbanyak pengunan zat besi untuk pertumbuhan. Neonatal yang lahir dari perempuan dengan defisiensi besi jarang sekali anemis tetapi memang memilki cadangan zat besi yang rendah. Bayi tidak memilki cadangan yang diperlukan untuk pertumbuhan setelah lahir. ASI merupakan sumber zat besi yang akurat secara marginal. Berdasarkan data dari “The Third National Health and Nutriton Examination Survey” ( NHANES II ), defisiensi besi ditentukan oleh ukuran yang abnormal dari serum feritn, transfering saturation, dan/atau erythrocyte protophorphyrin. Kebutuhan zat besi yang sangat tinggi pada laki-laki dalam masa pubertas dikarenakan peningkatan volume darah, masa otot dan myoglobin. Pada wanita kebutuhan zat besi setelah menstruasi sangat tinggi karena jumlah darah yang hilang, rata-rata 20 mg zat besi tiap bulan, akan tetapi pada beberapa individu ada yang mencapai 58 mg. Pengunan obat kontrasepsi oral menurunkan jumlah darah yang hilang selama menstruasi, sementara itu alat-alat intrauterin meningkatkan jumlah darah yang hilang selama menstruasi. Tambahan beban akibat kehilangan darah karena parasit seperti cacing tambang menjadikan defisiensi zat besi suatu masalah dengan proporsi yang mengejutkan. Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadan klinis. Setelah gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan tergangu, terutama 3 akibat peningkatan motiltas dan by pas usus halus proximal, yang menjadi tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus 4 halus juga dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dari radang usus non tropical (celiac sprue ). Kehilangan zat besi, dapat erjadi secara fisiologis atau patologis. a. Secara Fisiologis : - Menstruasi - Kehamilan, pada kehamilan aterm, sekitar 90 mg zat besi hilang dari ibu kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus. b. Secara Patologis : Perdarahan saluran makan merupakan penyebab paling sering dan selanjutnya anemia defisiensi besi. Prosesnya sering tiba-tiba. Selain itu dapat juga karena cacing tambang, pasien dengan telangiektasis herediter sehinga mudah berdarah, perdarahan traktus gastrourinarius, perdarahan paru akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru idiopatik. Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi: - Wanita menstruasi.. - Wanita menyusui/hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi. - Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang cepat. - Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi, jarang makan daging dan telur selama bertahun-tahun. - Menderita penyakit maag. - Penggunaan aspirin jangka panjang. - Colon cancer. - Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan dengan brokoli dan bayam. 2.4. Gejala Anemia Defisiensi Besi Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan mengalami seluruh gejala dan apabila anemianya sangat ringan, gejalanya 5 mungkin tidak tampak. Beberapa gejalanya antara lain; warna kulit yang pucat, mudah lelah, peka terhadap cahaya, pusing, lemah, nafas pendek, lidah kotor, kuku sendok, selera makan turun, sakit kepala (biasanya bagian frontal). Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Yang utama adalah sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran makan. Akibatnya banyak tanda dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada sistem organ ini: - Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. - Stomatitis angularis (cheilosis); adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan - Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklhloridia. - Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; kesulitan dalam menelan, pada defisiensi zat besi jangka panjang. - Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari lapisan kuku. - Koilonychia; kuku sendok (spoon nail), karena pertumbuhan lambat dari lapisan kuku, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok. - Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi. - Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. 2.5. Dampak Anemia Defisiensi Besi a. Anak – anak : Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar. Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak. Meningkatkan resiko menderita penyakit infeksi karena d aya tahan tubuh menurun. 6 b. Remaja : Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal. Menurunkan kemampuan fisik dan kebugaran. Menakibatkan muka pucat. c. Ibu hamil : Menimbulkan pendarahan sebelum atau saat persalinan. Meningkatkan resiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah atau BBLR (<2,5 kg) Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ibu dan/atau bayinya. 2.6. Terapi Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral seperti garam besi (misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat besi (misalnya polimaltosa ferosus). Terapi zat besi yang dikombinasikan dengan diit yang benar untuk meningkatkan penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif untuk mengatasi anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah hemoglobin dan cadangan zat besi. CDC merekomendasikan penggunaan elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2 kali perhari bagi remaja yang menderita anemia. Contoh dari suplemen yang mengandung zat besi dan kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. supplement Total iron (mg) Elemental Iron (mg) Ferrous sulfate 324 66 Ferrous gluconate 325 36 Feostat chewable 100 33 Feostat liquid 100 33/5 ml Slow Fe 160 50 Fe 50 extended release 160 50 Ferro-Sequels timed release 50 50 Feosol caplets 50 50 7 Sumber: Drug facts and comparisons. St. Louis, MO: Facts and Comparisons, 1998. Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan. Sayangnya, ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung, rasa penuh dan rasa sakit yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan sediaan besi ini. Tetapi resiko efek samping ini dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis secara bertahap, menggunakan zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat yang mengandung elemen besi yang rendah, salah satunya glukonat ferosus. Kompleks polisakarida zat besi seringkali lebih berhasil dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun kenyataannya tablet tersebut mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin yang mengandung zat besi biasanya harus dihindari, karena sediaan ini mahal dan mengandung jumblah zat besi yang suboptimal. Retikulositosis dimulai 3-4 hari setelah inisiasi terapi zat besi, dengan puncaknya sekitar 10 hari. Pasien dapat tidak berespon dengan penggantian zat besi sebagai akibat dari: - Diagnosis yang tidak benar. - Ketidak patuhan konsumsi tablet besi (Fe). - Kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian. - Supresi sum-sum tulang oleh tumor, radang kronik, dll. - Malabsorpsi, sangat jarang akan tetapi jika terjadi, diperlukan penggantian zat besi parenteral. Kompleks dekstran-zat besi dapat digunakan melalui suntikan im setelah tes dengan dosis 25 mg untuk reaksi alergi. - 100 mg dekstran-zat besi, per sesi terapi. Pemberian dapat diulang setiap minggu sampai cadangan zat besi terpenuhi. Traktus Z sebaiknya digunakan pada suntikan untuk mencegah mengembunnya gabungan tersebut kedalam dermis, yang dapat menghasilkan pewarnaan kulit yang tidak dapat dihilangkan. 8 - Pemberian secara iv dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat menerima suntikan im atau yang memerlukan koreksi defisiensi zat besi lebih cepat. Pendekatan yang paling nyaman adalah dengan mengencerkan 500 mg campuran tersebut kedalam 100 ml cairan salin steril dan memasukkan dosis percobaan sebanyak 1 ml. jika tidak terjadi reaksi alergi, sisa solusi dapat diberikan dalam 2 jam. Pemberian iv sampai 4 g zat besi dalam satu keadaan memungkinkan koreksi defisiensi zat besi dalam satu sesi. Sekitar 20% dari pasien mengalami artralgia, menggigil dan demam yang tergantung dari dosis yang diberikan dan dapat berlangsung sampai beberapa hari setelah infus. Zat besi-dekstran harus digunakan secara hemat, jika perlu, pada semua pasien dengan artritis reumatoid, karena gejala tersebut secara nyata dipacu oleh penyakit ini. Obat anti inflamasi non steroid biasanya mengatur gejala tersebut. Anafilaksis, komplikasi serius penggunaan zat besi-dekstran, jarang muncul. Jika gejala awal muncul, infus dihentikan dan perbaikan keadaan dengan benadril dan epinefrin dapat dimulai. Jumblah zat besi yang diperlukan untuk penggantian dapat dihitung dari defisit massa sel darah merah, dengan tambahan 1000 mg untuk mengganti cadangan tubuh. Transfusi darah jarang diperlukan kecuali untuk pasien dengan anemia defisiensi zat besi yang berat yang mengancam fungsi kardiovaskular atau cerebrovaskular. 9 BAB III METODE PENELITIAN 10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB V PENUTUP 5.1. KESIMPULAN 1.) Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyed iaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Kurangnya besi berakibat pada kurangnya pasokan sel darah merah yang ada dalam tubuh, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan klinik serta kelainan. 2.) Wanita lebih rentan terkena anemia defisiensi besi karena kebutuhan akan zat besi yang lebih banyak daripada pria. Wanita mengalami menstruasi yang mengakibatkan darah menghilang rata – rata 20 mg zat besi tiap bulannya, bahkan ada yang mencapai 58 mg. Pada ibu hamil, memberikan nutrisi pada fetus, sehingga jumlah Fe berkurang. Terlebih lagi bagi ibu melahirkan yang mengeluarkan banyak darah, sehingga asupan Fe perlu ditambah untuk mengurangi resiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR). 3.) Dampak yang timbul dari anemia defisiensi besi bagi remaja putri dan ibu hamil dapat menakibatkan penurunan aktifitas fisik, pucat dan lemas dan gangguan kesehatan serta berbagai kelainan. Pada ibu hamil dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan dibawah normal bahkan dapat meningkatkan angka kematian bayi dan ibu atau salah satu diantaranya saat proses persalinan. Namun, hal tersebut dapat dicegah dan dihindari dengan mengatur pola makan yang seimbang, mencukupi kebutuhan Fe dengan tablet besi (Fe) ataupun tablet penambah darah. 12 5.1. SARAN 1.) Sebaiknya wanita perlu memahami dan memerhatikan serta memperluas pengetahuannya tentang anemia defisiensi besi. Karena wanita menjadi subyek utama penderita anemia defisiensi besi. Dengan mempelajari beberapa dampak dan cara pencegahannya serta beberapa terapi yang dapat dilakukan, diharapkan kasus anemia defisiensi besi pada wanita dapat berkurang dan dapat melahirkan masyarakat yang sehat. 2.) Sebaiknya para wanita tidak perlu terlalu cemas dengan anemia defisiensi besi, karena dapat dicegah dan dihindari, bahkan bisa diobati dengan berbagai terapi. Namun juga tetap harus waspada apabila terdapat beberapa kelainan, karena memungkinkan menderita ADB yang berkepanjangan dan sudah termasuk parah. 3.) Sebaiknya mencegah anemia defisiensi besi dengan menjaga pola makan yang benar, istirahat yang cukup dan memenuhi kebutuhan besi (Fe) serta mengkonsumsi tablet besi (Fe) secara teratur sesuai kebutuhan yang dianjurkan. 13 DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia, 2009. Bakta, I Made.,Suega,Ketut.,Dharmayuda, Tjokro Gde., 2009. “Anemia Defisiensi Besi,” Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta : Internal Publising FK UI., Edisi ke-4., hal. 1127-1135., 2009. Wijaya, Yoppy. Anemia Defisiensi Zat Besi. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 2007. Available from : http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/anemia-defisiensi-zatbesi.pdf (akses 7 Desember 2014) Kartamihardja, Emmy., 2008. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.Available from: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/AN EMIA%20DEFISIENSI%20BESI.pdf. (akses 7 Desember 2014) Muhammad,Adang.,Sianipar, Osman., 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory,Vol.12,No.1,Nov 2005:915. Wijaya, Andre Tjie. Anemia Defisiensi Besi. (online) http://www.kerjanya.net/faq/4477-anemia-defisiensi-besi.html. 1 Maret 2014. 14