LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERPI TULANG , SISTEM INDRA, RENAL, DAN SYARAF PERCOBAAN II SISTEM INDRA DI SUSUN OLEH Kelompok 4 1. Novy Herdiana 170106033 5. Ririn Artha Mulya 170106038 2. Rama Rabiansyah 170106036 6. Riska Permatasari 170106039 3. Ramdan Aresta 170106037 7. Risnawati 4. Radita Rozak 170106035 8. Rokhimatul Maula 170106041 170106040 Dosen Pengampu : 1. Dr. apt. Dwintha Lestari, M.Si 2. Zulkaida, S.Farm., M.S.Farm. FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI PROGAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG 2020 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Panca indera memiliki peran yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia. Alat indera atau panca indera yang dimiliki manusia mempunyai kegunaan yang berbeda. Mata yang dimiliki manusia untuk pengelihatan, hidung berfungsi untuk alat penciuman atau pembau, lidah berfungsi sebagai alat pengecap, kulit untuk merasakan, dan telinga berfungsi untuk mendengar. Kesehatan panca indera merupakan syarat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera lahir batin. Hal ini tercantum pula dalam UndangUndang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Disana tertulis bahwa pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dengan demikian, apabila terjadi gangguan pada sistem indera maka menjadi salah satu masalah kesehatan yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan produktivitas seseorang yang dapat mengurangi kesejahteraan hidupnya. Gangguan pada sistem indera perlu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan sudah sejauh mana kerusakan yang terjadi pada sistem indera untuk kemudian dapat didiagnosa. Pemeriksaan ini berfungsi untuk memantau kondisi kesehatan sistem indera agar penyakit dan gangguan fungsinya dapat dideteksi sedini mungkin. Dengan demikian, langkah penanganan pun bisa segera dilakukan apabila terdapat masalah pada sistem indera. Saat menjalaninya, ada beberapa tes dan pemeriksaan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan, meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti radiologi, CT-Scan, MRI, dan lain sebagainya. Apabila telah dilakukan pemeriksaan maka dokter dapat memberikan diagnosa untuk selanjutnya dilakukan penanganan berupa terapi. Terapi dapat dilakukan melalui obat-obatan tertentu maupun tanpa melalui obatobatan. Terapi dengan obat atau terapi secara farmakologis bertujuan untuk menghilangkan keluhan yang dialami oleh penderita sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Ada lima prinsip dalam farmakologi, yaitu menggunakan dosis rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermitten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4 minggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala, memiliki efek samping yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Golongan obat-obatan yang biasa digunakan dalam terapi gangguan sistem indera adalah antibiotika dan antihistamin. Antibiotik adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengatasi dan mencegah infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan cara membunuh dan menghentikan bakteri berkembang biak di dalam tubuh. Pada dasarnya, infeksi bakteri yang tergolong ringan dapat pulih dengan sendirinya, sehingga pemberian antibiotik dirasa tidak perlu. Namun, ketika infeksi bakteri yang diderita tidak kunjung membaik, dokter dapat meresepkan antibiotik. Selain keparahan kondisi, terdapat juga beberapa pertimbangan lain sebelum akhirnya pasien diberikan antibiotik, yakni : Infeksi yang diderita adalah infeksi menular. Terasa mengganggu dan diduga membutuhkan waktu lama untuk sembuh dengan sendirinya. Terdapat risiko tinggi menyebabkan komplikasi. Penggunaan antibiotik harus dengan anjuran dokter. Dokter akan menyesuaikan dosis dengan kondisi pasien, memberitahukan hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dan saat menggunakan obat, serta efek samping yang dapat terjadi atas penggunaan antibiotik. Antihistamin adalah kelompok obat-obatan yang digunakan untuk mengobati reaksi alergi, seperti rinitis alergi, reaksi alergi akibat sengatan serangga, reaksi alergi makanan, urtikaria atau biduran. Antihistamin bekerja dengan cara memblokir zat histamin yang diproduksi tubuh. Zat histamin, pada dasarnya berfungsi melawan virus atau bakteri yang masuk ke tubuh. Ketika histamin melakukan perlawanan, tubuh akan mengalami peradangan. Adapun terapi tanpa obat-obatan atau terapi non farmakologis adalah intervensi keperawatan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas dan mengurangi gangguan yang terjadi sebagai bentuk terapi yang mendukung terapi farmakologi dengan metode yang lebih sederhana, murah, praktis, dan tanpa efek yang merugikan. 1.2. Tujuan Praktikum 1.1.1. Memahami patofisiologi sistem indera (hidung, mata, telinga) 1.1.2. Menganamnesis pasien dengan gejala (simptom) yang ada pada gangguan sistem indera (hidung, mata, telinga) 1.1.3. Memahami berbagai pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa gangguan sistem indera (hidung, mata, telinga) 1.1.4. Memberikan saran terapi terbaik secara farmakologis maupun nonfarmakologis pada gangguan sistem indera (hidung, mata, telinga) 1.3. Prinsip 1.2.1. Berdasarkan fisiologis dan patofisiologis sistem indera (hidung, mata, telinga) BAB II TEORI DASAR Alat indera manusia adalah alat-alat tubuh yang berfungsi mengetahui keadaan luar. Alat indra manusia sering disebut panca indra, karena terdiri dari lima indra yaitu indra penglihat (mata), indra pendengar (telinga), indra pembau/ pencium (hidung), indra pengecap (lidah) dan indra peraba (kulit) (Campbell, 2004) Mata terdiri dari otot mata, bola mata dan saraf mata serta alat tambahan mata yaitu alis, kelopak mata, dan bulu mata. Alat tambahan mata ini berfungsi melindungi mata dari gangguan lingkungan. Alis mata berfungsi untuk melindungi mata dari keringat, kelopak mata melindungi mata dari benturan dan bulu mata melindungi mata dari cahaya yang kuat, debu dan kotoran (Campbell, 2004) Selain indera penglihatan manusia juga memiliki indera pendengar yaitu telinga yang terdiri dari beberapa bagian diantaranya adalah; Telinga bagian luar yaitu daun telinga, lubang telinga dan liang pendengaran; Telinga bagian tengah terdiri dari gendang telinga, 3 tulang pendengar (martil, landasan dan sanggurdi) dan saluran eustach ius; Telinga bagian dalam terdiri dari alat keseimbangan tubuh, tiga saluran setengah lingkaran, tingkap jorong, tingkap bundar dan rumah siput (koklea) (Campbell, 2004). Lidah adalah indera pengecap yang dapat merasakan semua makanan atau minuman yang masuk kedalam mulut. Semua makanan atau minuman yang memiliki rasa dapat dirasakan oleh lidah misalnya pahit, asin dan manis. Bagian lidah yang berbintil-bintil disebut papila adalah ujung saraf pengecap. Setiap bintil-bintil saraf pengecap tersebut mempunyai kepekaan terhadap rasa tertentu berdasarkan letaknya pada lidah. Pangkal lidah dapat mengecap rasa pahit, tepi lidah mengecap rasa asin dan asam serta ujung lidah dapat mengecap rasa manis (Campbell, 2004) Kulit memiliki fungsi sebagai alat peraba (sentuhan), alat pelindung tubuh dari luar (proteksi), dan alatpengatur suhu tubuh. Kulit tersusun atas 2 lapisan, yaitu: epidermis dan dermis. Kulit manusia terdapat beberapa reseptor yang memiliki fungsi berbeda (Mashudi, 2011) Sinusitis merupakan salah satu penyakit hidung yang sering terjadi dimasyarakat, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatantersering di seluruh dunia. Sinusitis itu sendiri merupakan inflamasi pada mukosasinus paranasal. Penyebarannya dapat diawali dengan infeksi virus, yang selanjutnyadapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikatakan multisinusitis bila mengenai beberapa sinus, dan pansinusitis jika mengenai hampir semua sinus. Sinusitis paling sering terjadi pada sinus maksilaris, disebabkan karenamerupakan sinus paranasalis yang paling besar. Sinus maksila terletak dekat akar gigirahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus yang disebut sinusitisdentogen. Sinusitis cukup berbahaya karena dapat terjadi beberapa komplikasi (Soepardi,dkk, 2007). Sinusitis memiliki beberapa gejala dimana biasanya penderita yangmengalami sinusitis akut akan mengeluh hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorokan, selain itupula dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu. Jika penderitaterkena sinusitis maksilaris maka akan merasakan nyeri pada daerah pipi, padasinusitis etmoidalis nyeri dirasakan dibelakang kedua bola mata, jika pada sinusitisfrontalis penderita biasanya mengeluh nyeri pada dahi dan penderita yang menderitasinusitis sphenoidalis nyeri yang dirasakan pada bagian vertex, dan sering kali pada rahang serta telinga. Beberapa gejala lain dari sinusitis adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia,halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Pada sinusitis kronik sangat sulit untuk didiagnosis karena gejalanya tidak khas, paling sering akan terjadi sakit kepala kronik, batuk kronik, gangguan tenggorokan dan gangguan akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius (Soepardi, dkk,2007). BAB III PEMBAHASAN Dalam praktikum kedua ini dilakukan analisis case terhadap gangguan panca indera yaitu Sinusitis, Sinusitis merupakan sebuah penyakit peradangan yang terjadi pada selaput lendir sinus yaitu rongga yang berisi udara dan letaknya dalam rongga kepala sekitar hidung. Tak banyak yang menyadari akan hadirnya penyakit ini pada seseorang dikarenakan dengan gejala- gejala yang biasa saja seperti hidung sering mengeluarkan cairan air dan berwarna kuning, juga ingus yang bau amis, sering sakit kepala, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bersemangat. Apabila dibiarkan terus menerus akan berdampak pada keseriusan sehingga dapat menyerang tubuh pasien dan membuat pasien tidak bersemangat dan membawa rasa sakit yang berlipat ganda (Laili Hafni & Magdalena, 2018). Pada praktikum ini kami diberikan sebuah case sebagai berikut. Mr JC, age 21, who has recently changed his job to become a painter and decorator, comes into your pharmacy and complains of severe nasal congestion, headache and blurred vision for 3 days. His has recently suffered cold symptoms. He took two paracetamol tablets which helped briefly. A friend has advised that he takes an antihistamine to treat these symptoms. And he asks for your advice and recommendations. Mr JC tells you he had childhood asthma and is allergic to penicillin. Dengan adanya case tersebut kita sebagai seorang farmasis harus bisa menganalisis atau meanamnesis bagaimana keadaan pasien dengan gejala – gejala yang pasien alami, ada beberapa pertanyaan yang harus diselesaikan oleh seorang farmasis ketika mendapatkan kasus seperti ini. Dimulai dari memberikan beberapa pertanyann kepada pasien tersebut tentang : Sudah berapa lama Tn. JC mengalami batuk? Apakah Tn. Belakangan ini melakukan aktivitas yang cukup padat sehingga mengalami kelelahan? Kapan terakhir kali asma Tn. Kambuh? Dan apakah selama ini Tn mengonsumsi obat – obatan asma? Apakah ada riwayat sinusitis sebelumnya? Apakah Tn. Merasakan nyeri pada tenggorokan? Apakah pada gigi Tn terutama pada gigi bagian atas merasa sakit? Apakah Tn perokok aktif? Pertanyaan – pertanyaan tersebut ditanyakan untuk mendukung diagnosis penyakit dari gejala – gejala yang Mr. JC rasakan. Dengan menanyakan beberapa hal tersebut kita bisa mengetahui apa yang dirasakan Mr. Jc dimana dengan gejala seperti mengeluarkan cairan berwarna kuning kehijauan selama 3 hari terakhir disertai dengan nyeri wajah di sekitar mata dan hidung, hilangnya indra perasa dan mengalami pilek dimana gejala -gejala ini dapat dikatakan merupakan gejala dari penyakit sinusitis akut. Karena adanya sejumlah gejala di atas, dapat dikatakan diagnosis Tuan JC menderita sinusitis akut. Apa saja faktor predisposisi sinusitis akut ini diantaranya : Polip hidung, yaitu jaringan yang tumbuh dan membentuk massa di dalam hidung. Tulang hidung bengkok. Alergi, misalnya rinitis alergi atau asma. Kondisi ini dapat menyebabkan terhambatnya saluran sinus. Cystic fibrosis, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan lendir mengental, kemudian menumpuk dan menyumbat berbagai saluran di dalam tubuh, terutama pernapasan dan pencernaan. Kondisi lain, seperti melemahnya sistem kekebalan tubuh. Sesuai dengan kondisi Mr. JC dimana beliau mempunyai riwayat asma, asma ini juga merupakan faktor pendorong sinusitis bisa terjadi pada pasien. Dimana Sinusitis atau secara medis juga dikenal sebagai kemunculan Nasal Polipus merupakan penyakit yang cukup mengganggu dan sangat membuat menderita. Bagi siapa saja yang sudah menderita asma ditambah penyakit ini, tentunya seolah mengganggu seluruh hidup mereka. Penyakit sinusitis ini biasanya disebabkan oleh luka atau infeksi yang terjadi pada saluran pernafasan tepatnya pada sinus. Sehingga dikenal juga dengan infeksi sinus. Hubungannya dengan asma adalah pada saat sinus menyerang maka bakteri tumbuh menyebar pad lendir yang dihasilkan. aat sinus datang menyerang, saluran pernafasan akan dipenuhi dengan lendir. Disananlah bakteri-bakteri akan tumbuh dan berkembang. disaat itu datang, biasanya juga ada infeksi yang menyebabkan asma. Untuk pemgobatan sinusitis ini ada beberapa terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Untuk terapi farmakologi biasanya penderita penyakit sinusitis diberikan antibiotik seperti dalam tabel berikut ini: Gambar 3.1 Tabel Pengobatan Antibiotik untuk Sinusitis Akut Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/ kgbb/hari) yang merupakan first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14 hari. Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90 mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten. Atau dengan adanya terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin, dekongestan, dan steroid. 1. Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis, kecuali jelas adanya etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat mengentalkan sekret sehingga menimbulkan penumpukan sekret di sinus, dan memperberat sinusitis. 2. Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimeta- zolin, penileprin akan menguntungkan jika diberikan pada awal tata laksana sinusitis. Aktifitasnya akan mengurangi edem atau inflamasi yang mengakibatkan obstruksi ostium, meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki ventilasi sinus. Pemberian dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah ketergan- tungan dan rebound nasal decongestan. Pemberian dekongestan sistemik, seperti penilpropanolamin, pseudoefedrin dapat menormalkan ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi pembersih mukosilia. Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari. 3. Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan mengurangi edem dan inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul Selain dengan menggunakan terpai farmakologi untuk pengobatan sinusitis bisa dilakukan dengan pengobatan non-farmakologi juga diantaranya Terapi non farmakologis antara lain dengan terapi uap, menambah asupan cairan seperti memperbanyak minum, istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi dan minum minuman yang hangat (Tieze, 2004). Namun pada kasus ini Mr. JC diberikan berupa semprotan hidung beclometasone, karena sinusitis disebabkan oleh pembengkakan dinding dalam hidung akibat virus atau reaksi alergi yang masuk dari saluran pernapasan atas. Virus tersebut memicu sinus untuk menghasilkan lendir lebih banyak, sehingga terjadi penumpukan dan penyumbatan pada saluran hidung. Kondisi ini mendorong bakteri atau kuman semakin berkembang di rongga sinus dan menyebabkan infeksi. Semprotan hidung beclometasone merupakan Kostikosteroid hidung, untuk mencegah dan mengobati peradangan pada sinus. Namun saat MR. Jc konsultasi kepada dokter, dokter meresepkan obat doksisiklin 100 mg 2 kali 1 hari selama 7 hari. Kita sebagai seorang farmasis harus memberikan informasi obat doksisiklin 100 mg ini diantaranya : Doksisiklin bisa dikonsumsi sebelum atau sesudah makan. Konsumsi obat sesudah makan dianjurkan bila mengalami mual saat mengonsumsinya sebelum makan. Minum obat ini dengan segelas air putih. Minum obat dalam posisi tegak (duduk atau berdiri) dan jangan berbaring setidaknya 10 menit setelah mengonsumsi obat. Hal ini dilakukan untuk mencegah iritasi pada saluran cerna. Makanan yang mengandung kalsium, seperti susu dan keju, bisa mengurangi penyerapan doxycycline. Oleh karena itu, beri jeda setidaknya 1 jam antar konsumsi obat dan makanan tersebut. Jika gangguan dinusitis ini masih berlangsung dan tidak kunjung sembuh maka Mr. JC bisa melakukan pemeriksaan berupa ; Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi Pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukan sinusitis maksilaris akut. b. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksilaris. Pemeriksaan Penunjang a. Transiluminasi, Pemeriksaan ini menunjukan adanya perbedaan sinus kanan dan kiri. Sinus yang sakit akan tampak lebih gelap. b. Pemeriksaan radiologi, Foto posisi waters tampak adanya edema mukosa dan cairan dalam sinus. Jika cairan tidak penuh akan tampak gambaran air fluid level. c. Pemeriksaan Laboratorium, Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis d. CT scan, Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus maksilaris adalah pemeriksaan CT scan. Potongan CT scan yang rutin dipakai adalah koronal. Dengan Gambaran Klinis (Rinaldi dkk, 2006). 1. Batuk 2. Pilek 3. Hidung tersumbat 4. Nyeri kepala 5. Nyeri sinus 6. Demam 7. Nyeri tenggorok Sesuai dengan Case yang diberikan tentang Sinusitis adalah gangguan dari penyakit panca indera. Selain sinusitis ada beberapa penyakit gangguan panca indera juga diantaranya: 1. Otitis Media a. Terminologi Otitis media (OM) merupakan suatu keadaan kompleks dari infeksi dan inflamasi yang menyerang telinga tengah (Yusi dkk, 2016). Otitis media supuratif kronik adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga lebih dari dua bulan, baik terus-menerus maupun hilang timbul. Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK tipe aman (tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma) (Yusi dkk, 2016). b. Faktor Predisposisi Kronisitas Otitis Media (Utami Dkk., 2010) o Disfungsi tuba auditoria kronik, Infeksi fokal seperti sinusitis kronik, Adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan infeksi kronik atau berulang saluran napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta obstruksi tuba auditoria. o Perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari kanalis auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga. o Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan kronisitas infeksi. o Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas c. Karakteristik Otitis Media (Putri, 2020) o Sekret kental atau gelatin dengan eosinophil o Mukosa membran menebal dengan banyak eosinophil o Masa penyembuhan yang panjang o Terjadi cenderung pada rhinitis alergi o Besar kemungkinan memberikan respon terhadap terapi anti alergi d. Penyebab Otitis Media o Otitis Media Akut (Yusi dkk, 2016) 1) Streptococcus pneumonia 2) Haemophilus influenza 3) Moraxella catarrhalis o Otitis Media Sub Kronik (Yusi dkk, 2016). 1) Pseudomonas aeruginosa 2) Staphylococcus aureus 3) Proteus vulgaris 4) Klebsiella pneumonia o Penyebab Otitis Media(Jenny Dkk, 2018) 1) Demam, menandakan terjadinya proses infeksi intrakranial atau selulitis ekstrakranial 2) Edema dan kemerahan di belakang telinga, menandakan terjadinya mastoiditis yang berhubungan dengan abses subperiosteal 3) Nyeri retroorbita berhubungan dengan petrositis 4) Vertigo dan nistagmus mengindikasikan terjadinya labirintitis atau fistula labirin 5) Paresis nervus fasialis perifer biasanya ipsilateral dengan telinga yang terinfeksi yang disebabkan oleh OMSK dengan kolesteatom. e. Terapi Otitis Media o Terapi Farmakologi (Jacky dkk, 2015) a. Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakit yaitu: 1) Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%, dan pemberian antibiotik. 2) Stadium Presupurasi : analgetika, antibiotika (biasanya golongan ampicillin atau penisilin) dan obat tetes hidung. 3) Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obatobat simptomatik. Dapat juga dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol dan masih utuh untuk mencegah perforasi. 4) Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan diberikan antibiotika yang adekuat b. Terapi Antibiotik Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6 bulan, 6 bulan – 2 tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak besar dari dua tahun dengan infeksi berat (otalgia sedang atau berat atau suhu tubuh lebih dari 39°C ) (Jacky dkk, 2015). Jika diputuskan perlunya pemberian antibiotik, lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit berat dan bila mendapat infeksi β-laktamase positif Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis terapi dimulai dengan amoksisilin-klavulanat dosis tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari klavulanat dibagi 2 dosis) (Jacky dkk, 2015). Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi alergi bukan reaksi hipersensitifitas (urtikaria atau anafilaksis), dapat diberi cefdinir (14 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis), cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari) atau cefuroksim (20 mg/kg/hari dibagi 2 dosis). Pada kasus reaksi tipe I (hipersensitifitas), azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal harian) atau klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain yang bisa digunakan eritromisin-sulfisoksazol (50 mg/kg/hari eritromisin) atau sulfametoksazol-trimetoprim (6-10 mg/kg/hari trimethoprim (Jacky dkk, 2015). o Terapi Non-farmakologi (Anggaraini D, 2013) a. Edukasi untuk menjaga telinga supaya tetap kering agar pengobatan optimal dan dapat mencegah infeksi berulang. b. Konseling mengenai keluarnya cairan dari telinga c. Pemeriksaan dan perawatan telinga secara berkala d. Konseling mencegah penyakit saluran nafas berulang e. Memakan-makanan bergizi terutama sayur dan buah f. Konseling oral hygiene yang buruk dapat menyebabkan infeksi kuman dan penjalaran kuman ke telinga sehingga diajarkan cara sikat gigi yang benar g. Memotivasi untuk melakukan perawatan gigi di dokter gigi, memotivasi orangtua 2. Tinitus a. Terminologi Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran berupa keluhan perasaan pada saat mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi atau suara dari luar. Adapun keluhan yang dialami ini seperti bunyi mendengung, mendesis, menderu, atau berbagai variasi bunyi yang lain (Dewi, 2016). b. Penyebab Tinnitus (Dewi, 2016) Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya tinitus. Beberapa diantaranya adalah: 1. Kelainan vaskular baik pada arteri atau vena. 2. Kelainan muskular: klonus otot palatum atau tensor timpani. 3. Lesi pada saluran telinga dalam: Tumor saraf kedelapan. 4. Gangguan kokhlea: trauma akibat bising, trauma tulang temporal, penyakit Meniere’s, presbikusis, tuli saraf mendadak, emisi otoakustik. 5. Ototoksisitas: aspirin, kuinin, dan antibiotika tertentu (aminoglikosida). 6. Kelainan telinga tengah: infeksi, sklerosis, gangguan tuba eustachi. 7. Lain-lain: serumen, benda asing pada saluran telinga luar dan penyakit sistemik seperti anemia. c. Gejala Tinitus Gejala-gejala tinnitus, vertigo, mual, muntah dan ataksia bermula secara akut, ditandari degan adanya nystagmus dan tanda Romberg positif. Ketidakseimbangan ini lebih buruk dalam situasi gelap atau di dalam tempat pijakan yang tidakmantaop (benda lunak). Gejala-gejala visual yaitu oscilopsia hanya muncul bila ada pergerakan kepala d. Patofisiologi Mekanisme terjadinya tinitus karena aktivitas elektrik di sekitar auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, tetapi impuls yang terjadi bukan berasal dari bunyi eksternal atau dari luar yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls yang abnormal di dalam tubuh penderita sendir. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah seperti bergemuruh atau nada tinggi seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar (Dewi, 2016). Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi, biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa berdenyut atau pulsasi tinitus. Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis, dan lain-lain. Tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa gangguan pendengaran merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus jugulare (Dewi, 2016). e. Pemeriksaan Tinnitus A. Annanemsia Meliputi (Dewi, 2016) : 1. Riwayat pengobatan 2. Riwayat penyakit dan dilakukan pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan di bidang psikologi juga diperlukan karena ada kasus tinnitus yang juga berkaitan dengan keadaan depresi dan cemas. Tujuan utama adalah untuk menemukan penyebab tinitus. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam anamnesis adalah: lama serangan tinitus, bila berlangsung dalam waktu 1 menit biasanya akan hilang sendiri, hal ini bukan keadaan patologik. Bila berlangsung dalam 5 menit merupakan keadaan patologik. Tinitus subjektif unilateral disertai gangguan pendengaran perlu dicurigai kemungkinan tumor neuroma akustik atau trauma kepala. Bila tinitus bilateral kemungkinan terjadi pada intoksikasi obat yang bersifat ototoksik seperti aspirin, kinine, streptomisin dan lain-lain, trauma bising, dan penyakit sistemik lain. B. Pemeriksaan Fisik (Dewi, 2016). Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu mulai dari melihat keadaan rongga mulutnya, telinga luar, membran timpani, cranial nerve V, VII dan VII, temporalnya, dll. C. Pemeriksaan Laboratorium (Dewi, 2016). 1. Dilakukan otoskopi untuk melihat ada atau tidaknya penyakit di telinga luar dan tengah, mengetahui ada tidaknya infeksi cerumen, serta melihat kondisinya normal atau abnormal. 2. Pemeriksaan audiologi yang wajib dilakukan, diantaranya PTA (Pure Tone Audiometry), BERA, Speech Test, Tone Decay Audiometry, dan Tone Decay Refleks. 3. Pemeriksaan vestibuler untuk mengetahui keadaan sistem vestibulernya. f. Terapi Tinnitus A. Farmakologi (Dewi, 2016). a. Vitamin B dan derivatnya: nicotinamide (vasodilator) yang secara empiris telah digunakan secara luas untuk kelainan kokhlea (contoh: penyakit Meniere’s) b. Trimetazidine: obat anti iskemia dengan antioksidan c. Vitamin A: pada dosis tinggi dilaporkan memperbaiki ambang persepsi dan mencegah tinnitus. Namun perhatian terhadap toksisitasnya dapat membatasi vitamin A dalam penggunaan praktis. d. Lidokain intravena: suatu golongan anestetik local amide dengan aktivitas system saraf pusat, dilaporkan berguna dalam mengontrol tinnitus. e. Tocainine: merupakan lidokain oral dengan waktu paruh yang panjang. f. Trisiklik trimipramine: suatu anti depresan B. Terapi Non-farmakologi (Dewi, 2016). 1. Elektrofisiologik yaitu dengan membuat stimulus elektro akustik dengan intensitas suara yang lebih keras dari tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau tinitus masker. 2. Psikologik, dengan memberikan konsultasi psikologik untuk meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak membahayakan dan dengan mengajarkan relaksasi setiap hari. 3. Pembedahan juga berperan dalam penanganan tinnitus jika diaplikasikan untuk mengoreksi sumber penyebab. Misalnya: stapedektomi untuk kelainan otosklerotik, lainnya adalah koklear implant. 3. Rinitis Rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Gejala klinik rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast, basofi l dan eosinofi l akibat reaksi alergen dengan Ig E spesifik yang melekat di permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung tersumbat (Utami dkk, 2010 Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria.17 Prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui pasti, namun data dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi rinitis alergi berkisar 10 – 26% (Utami dkk, 2010). Rinitis alergi merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik pada rinitis alergi dapat dilihat dari hubungan fenotip yang erat antara pilek alergi dan asma bronkial (penyakit diturunkan). Penyakit alergi bersifat diturunkan dalam keluarga. Jika hanya salah satu orang tuanya menderita alergi, maka risiko anaknya terkena alergi adalah 50 %. Dan jika kedua orang tua memiliki alergi, risiko anaknya terkena alergi adalah 75 %. Penelitian dengan imigran sebagai subyek, menunjukkan bahwa terdapat faktor genetik yang mempengaruhi pola IgE yang diturunkan dari orang tua, khususnya dari ibu (Pawankar R, 2011). Faktor risiko rinitis alergi dari lingkungan berupa paparan alergen. Berdasarkan penelitian di RSCM, diperoleh data 59 % sensitivitas terhadap alergen inhalan dan 49 % terhadap alergen makanan. Aeroalergen yang tersering dengan hasil uji cukit kulit positif pada penelitian di klinik THT – KL RSUP Dr Kariadi adalah kecoa (44,6 %), disusul mite culture (40,5 %), house dust (25,7 %), cat dander (16,2 %) dan dog dander (5,4 %). Penelitian menunjukkan bahwa odd ratio rinitis alergi lebih tinggi pada anak yang memelihara hewan, terutama anjing (Wright A L. et al, 2012). Reaksi hipersensitivitas pada mukosa hidung yang memicu bermacam-macam respon hidung terhadap paparan alergen merupakan proses dinamis yang disebabkan oleh alergen yang spesifik. Pada proses ini terlibat berbagai macam tipe sel, mediator, dan mekanisme yang berbeda pada setiap jenjang dan level yang berbeda (Pelikan Z, 1994). Tata laksana Rinitis alergi, Rinitis alergi dapat dibagi menjadi rinitis alergi intermiten dan persisten. Pembagian ini menggantikan klasifikasi yang lama yaitu RA musiman (seasonal) dan sepanjang tahun (perenial) yang masih banyak dipakai. Berdasarkan keparahan gejala, RA intermiten dan persisten dibagi ringan dan sedang-berat. Pilihan pengobatan pada anak sama seperti pada dewasa. Pengendalian lingkungan untuk menghindari alergen sangat penting, namun tidak selamanya dapat dilakukan dengan sempurna. Pemberian obat-obatan selalu diperlukan, antara lain antihistamin, dekongestan, dan kortikosteroid. Pada RA persisten, pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan. Terapi farmakologis RA didasarkan pada berat ringannya penyakit. Pada RA intermiten ringan dapat diberikan antihistamin, sedangkan pada RA intermiten sedang-berat, pilihan pengobatan meliputi pemberian antihistamin ditambah kortikosteroid intranasal (KSIN), yang dihentikan bila gejala menghilang. Pada RA persisten, pengobatan utama adalah dengan menggunakan KSIN, bila perlu ditambahkan antihistamin atau kortikosteroid oral (Simbolon dkk, 2006). Penggunaan kortikosteroid intranasal Glukokortikoid adalah obat yang paling poten dalam pengobatan RA. Oleh karena pemberiannya secara sistemik menimbulkan berbagai efek samping, saat ini telah dikembangkan pemberian topikal secara intranasal. Kortikosteroid intranasal memiliki keunggulan yang nyata dalam pengobatan RA. Obat ini lebih unggul dibandingkan dengan antihistamin oral dan kromolin intranasal. Satu studi metaanalisis mendapatkan penggunaan KSIN sebagai pengobatan utama pada RA lebih unggul dibandingkan antihistamin oral (Simbolon dkk, 2006). Obat ini efektif untuk menghilangkan gejala bersin, rasa gatal, hidung berair dan hidung tersumbat. Pemberian kortikosteroid intranasal kadangkala dapat menimbulkan efek samping lokal seperti rasa kering, krusta dan epistaksis, namun hal ini biasanya ringan dan dapat hilang sendiri. Efek samping sistemik dapat timbul jika diberikan bersamaan dengan kortikosteroid topikal lain (Simbolon dkk, 2006). BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Dapat memahami patofisiologi dari beberapa gannguan penyakit sistem indera meliputi sinusitis, otitis media, rinithis alergi dan tinitus. 2. Dapat menganamnesis pasien dengan gejala – gejala yang (simptom) yang dirasakan pasien seperti dari gejala asma yang kambuh, keluarnya cairan kuning kehijauan serta merasakan nyeri pada wajah. 3. Dapat memahami berbagai pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa gangguan penyakit dari sinusitis, otitis media, rinithis alergi dan tinitus. 4. Dapat memberikan saran terapi terbaik secara farmakologis maupun non farmakologis pada gangguan penyakit sistem indera sinusitis, otitis media, rinithis alergi dan tinitus. yaitu dengan pemberiaan obat seperti antibiotik, antihistamin dan obat golongan koryikosteroid juga. DAFTAR PUSTAKA Agus W & Soeproyadi, 2008, Diagnosis Otitis Media, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Anggraini D, 2013, Otitis Media Supuratif Kronis Dan Tonsilitis Kronis Serta Karies Dentis Dan Perilaku Kuratif Ibu, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Campbell, N.A., J.B. Reece, & L.G. Mitchel. 2004. Biologi. Jakarta: Erlangga Dewi Purwita Agustini, 2016, Mengenali Gejala Tinitus dan Penatalaksanaannya. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jenny Tri Yuspita Sari, Yan Edward, Rossy Rosalinda, 2018, Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan Paresis Nervus Fasialis Perifer, Jurnal Kesehatan Universitas Andalas. Laili Hafni & Magdalena Simanjuntak, 2018, Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Sinusitis Menggunakan Metode Bayes Berbasis Web. Program Studi Teknik Informatika, STMIK Kaputama Binjai. Mahle ME, Schreiber CP 2005. Sinus headache, migraine, and the otolaryngologist. Otolaryngology--head and neck surgery: official journal of American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery 133 (4) Mashudi, Sugeng. 2011. Anatomi dan Fisiologi Dasar Aplikasi Model Pembelajaran Peta Konsep. Jakarta: Salemba Medika Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF. 2011. Allergic rhinitis, allergic conjunctivitis, and rhinosinusitis. In : World Allergy Organization White Book On Allergy. United Kingdom: World Allergy Organization;. p 27. Sari Ivanny, Effy Huriyati, Yan Edward, 2020, Eosinofilik Otitis Media, Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(6). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Rinaldi, Helmi M. Lubis, Ridwan M. Daulay, Gabriel Panggabean, 2006, Sinusitis pada Anak, Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Rizka Dwi Lestari, Zulhafis Mandala, Marni, 2018, Distribusi Usia Dan Jenis Kelamin Pada Angka Kejadian Otitis Media Akut Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2016, Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Volume 5, Nomor 1, Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Simbolon, Benry P, Sjabaroeddin Loebis dan Lily Irsa. 2006. Penggunaan Kortoksteroid Intranasal Dalam Tatalaksana Rinitis Alergi Pada Anak. SariPediatri. Tietze, K. J. 2004, Disolder Related to Cold and Allergy, Handbook of non prescription Drugs, 14nd editions, APhA, Wasingthon Utami TF, Bambang U, Kartono S. 2010.Rinitis alergi sebagai factor risiko otitis media supuratif kronis. Cermin Dunia Kedokteran.179(428):9. Wright A L. et al. 2012 Epidemiology of physician diagnosed allergic rhinitis in childhood. 94:895 – 901. Di akses pada tanggal 14 November 2020 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/7971008