Uploaded by User89543

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM INDERA KELOMPOK 4(1)

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERPI TULANG , SISTEM INDRA,
RENAL, DAN SYARAF
PERCOBAAN II
SISTEM INDRA
DI SUSUN OLEH
Kelompok 4
1. Novy Herdiana
170106033
5. Ririn Artha Mulya 170106038
2. Rama Rabiansyah 170106036
6. Riska Permatasari 170106039
3. Ramdan Aresta
170106037
7. Risnawati
4. Radita Rozak
170106035
8. Rokhimatul Maula 170106041
170106040
Dosen Pengampu : 1. Dr. apt. Dwintha Lestari, M.Si
2. Zulkaida, S.Farm., M.S.Farm.
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
PROGAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Panca indera memiliki peran yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh
pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia. Alat
indera atau panca indera yang dimiliki manusia mempunyai kegunaan yang
berbeda. Mata yang dimiliki manusia untuk pengelihatan, hidung berfungsi
untuk alat penciuman atau pembau, lidah berfungsi sebagai alat pengecap,
kulit untuk merasakan, dan telinga berfungsi untuk mendengar.
Kesehatan
panca
indera
merupakan
syarat
penting
untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, produktif, maju,
mandiri dan sejahtera lahir batin. Hal ini tercantum pula dalam UndangUndang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Disana tertulis bahwa
pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dengan demikian, apabila
terjadi gangguan pada sistem indera maka menjadi salah satu masalah
kesehatan yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan produktivitas
seseorang yang dapat mengurangi kesejahteraan hidupnya.
Gangguan pada sistem indera perlu dilakukan pemeriksaan untuk
memastikan sudah sejauh mana kerusakan yang terjadi pada sistem indera
untuk kemudian dapat didiagnosa. Pemeriksaan ini berfungsi untuk
memantau kondisi kesehatan sistem indera agar penyakit dan gangguan
fungsinya dapat dideteksi sedini mungkin. Dengan demikian, langkah
penanganan pun bisa segera dilakukan apabila terdapat masalah pada sistem
indera. Saat menjalaninya, ada beberapa tes dan pemeriksaan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan, meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang seperti radiologi, CT-Scan, MRI, dan lain sebagainya.
Apabila telah dilakukan pemeriksaan maka dokter dapat memberikan
diagnosa untuk selanjutnya dilakukan penanganan berupa terapi. Terapi
dapat dilakukan melalui obat-obatan tertentu maupun tanpa melalui obatobatan. Terapi dengan obat atau terapi secara farmakologis bertujuan untuk
menghilangkan keluhan yang dialami oleh penderita sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup. Ada lima prinsip dalam farmakologi, yaitu
menggunakan dosis rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat
intermitten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4
minggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala,
memiliki efek samping yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari.
Golongan obat-obatan yang biasa digunakan dalam terapi gangguan
sistem indera adalah antibiotika dan antihistamin. Antibiotik adalah
kelompok obat yang digunakan untuk mengatasi dan mencegah infeksi
bakteri. Obat ini bekerja dengan cara membunuh dan menghentikan bakteri
berkembang biak di dalam tubuh. Pada dasarnya, infeksi bakteri yang
tergolong ringan dapat pulih dengan sendirinya, sehingga pemberian
antibiotik dirasa tidak perlu. Namun, ketika infeksi bakteri yang diderita
tidak kunjung membaik, dokter dapat meresepkan antibiotik. Selain
keparahan kondisi, terdapat juga beberapa pertimbangan lain sebelum
akhirnya pasien diberikan antibiotik, yakni : Infeksi yang diderita adalah
infeksi menular. Terasa mengganggu dan diduga membutuhkan waktu lama
untuk sembuh dengan sendirinya. Terdapat risiko tinggi menyebabkan
komplikasi. Penggunaan antibiotik harus dengan anjuran dokter. Dokter
akan menyesuaikan dosis dengan kondisi pasien, memberitahukan hal-hal
yang harus diperhatikan sebelum dan saat menggunakan obat, serta efek
samping yang dapat terjadi atas penggunaan antibiotik.
Antihistamin adalah kelompok obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati reaksi alergi, seperti rinitis alergi, reaksi alergi akibat sengatan
serangga, reaksi alergi makanan, urtikaria atau biduran. Antihistamin
bekerja dengan cara memblokir zat histamin yang diproduksi tubuh. Zat
histamin, pada dasarnya berfungsi melawan virus atau bakteri yang masuk
ke tubuh. Ketika histamin melakukan perlawanan, tubuh akan mengalami
peradangan.
Adapun terapi tanpa obat-obatan atau terapi non farmakologis adalah
intervensi keperawatan yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas
dan mengurangi gangguan yang terjadi sebagai bentuk terapi yang
mendukung terapi farmakologi dengan metode yang lebih sederhana,
murah, praktis, dan tanpa efek yang merugikan.
1.2. Tujuan Praktikum
1.1.1. Memahami patofisiologi sistem indera (hidung, mata, telinga)
1.1.2. Menganamnesis pasien dengan gejala (simptom) yang ada pada
gangguan sistem indera (hidung, mata, telinga)
1.1.3. Memahami
berbagai
pemeriksaan
yang
dilakukan
untuk
mendiagnosa gangguan sistem indera (hidung, mata, telinga)
1.1.4. Memberikan saran terapi terbaik secara farmakologis maupun nonfarmakologis pada gangguan sistem indera (hidung, mata, telinga)
1.3. Prinsip
1.2.1. Berdasarkan fisiologis dan patofisiologis sistem indera (hidung,
mata, telinga)
BAB II
TEORI DASAR
Alat indera manusia adalah alat-alat tubuh yang berfungsi mengetahui
keadaan luar. Alat indra manusia sering disebut panca indra, karena terdiri dari
lima indra yaitu indra penglihat (mata), indra pendengar (telinga), indra
pembau/ pencium (hidung), indra pengecap (lidah) dan indra peraba (kulit)
(Campbell, 2004)
Mata terdiri dari otot mata, bola mata dan saraf mata serta alat
tambahan mata yaitu alis, kelopak mata, dan bulu mata. Alat tambahan mata ini
berfungsi melindungi mata dari gangguan lingkungan. Alis mata berfungsi
untuk melindungi mata dari keringat, kelopak mata melindungi mata dari
benturan dan bulu mata melindungi mata dari cahaya yang kuat, debu dan
kotoran (Campbell, 2004)
Selain indera penglihatan manusia juga memiliki indera pendengar
yaitu telinga yang terdiri dari beberapa bagian diantaranya adalah; Telinga
bagian luar yaitu daun telinga, lubang telinga dan liang pendengaran; Telinga
bagian tengah terdiri dari gendang telinga, 3 tulang pendengar (martil, landasan
dan sanggurdi) dan saluran eustach ius; Telinga bagian dalam terdiri dari alat
keseimbangan tubuh, tiga saluran setengah lingkaran, tingkap jorong, tingkap
bundar dan rumah siput (koklea) (Campbell, 2004).
Lidah adalah indera pengecap yang dapat merasakan semua makanan
atau minuman yang masuk kedalam mulut. Semua makanan atau minuman
yang memiliki rasa dapat dirasakan oleh lidah misalnya pahit, asin dan manis.
Bagian lidah yang berbintil-bintil disebut papila adalah ujung saraf pengecap.
Setiap bintil-bintil saraf pengecap tersebut mempunyai kepekaan terhadap rasa
tertentu berdasarkan letaknya pada lidah. Pangkal lidah dapat mengecap rasa
pahit, tepi lidah mengecap rasa asin dan asam serta ujung lidah dapat
mengecap rasa manis (Campbell, 2004)
Kulit memiliki fungsi sebagai alat peraba (sentuhan), alat pelindung
tubuh dari luar (proteksi), dan alatpengatur suhu tubuh. Kulit tersusun atas 2
lapisan, yaitu: epidermis dan dermis. Kulit manusia terdapat beberapa reseptor
yang memiliki fungsi berbeda (Mashudi, 2011)
Sinusitis merupakan salah satu penyakit hidung yang sering terjadi
dimasyarakat, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
kesehatantersering di seluruh dunia. Sinusitis itu sendiri merupakan inflamasi
pada mukosasinus paranasal. Penyebarannya dapat diawali dengan infeksi
virus, yang selanjutnyadapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikatakan
multisinusitis bila mengenai beberapa sinus, dan pansinusitis jika mengenai
hampir semua sinus. Sinusitis paling sering terjadi pada sinus maksilaris,
disebabkan karenamerupakan sinus paranasalis yang paling besar. Sinus
maksila terletak dekat akar gigirahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar
ke sinus yang disebut sinusitisdentogen. Sinusitis cukup berbahaya karena
dapat terjadi beberapa komplikasi (Soepardi,dkk, 2007).
Sinusitis memiliki beberapa gejala dimana biasanya penderita
yangmengalami
sinusitis akut akan mengeluh hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang seringkali turun ke
tenggorokan, selain itupula dapat disertai dengan gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Jika penderitaterkena sinusitis maksilaris maka akan
merasakan nyeri pada daerah pipi, padasinusitis etmoidalis nyeri dirasakan
dibelakang kedua bola mata, jika pada sinusitisfrontalis penderita biasanya
mengeluh nyeri pada dahi dan penderita yang menderitasinusitis sphenoidalis
nyeri yang dirasakan pada bagian vertex, dan sering kali pada rahang serta
telinga.
Beberapa
gejala
lain
dari
sinusitis
adalah
sakit
kepala,
hiposmia/anosmia,halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak. Pada sinusitis kronik sangat sulit untuk didiagnosis karena
gejalanya tidak khas, paling sering akan terjadi sakit kepala kronik, batuk
kronik, gangguan tenggorokan dan gangguan akibat sumbatan kronik muara
tuba Eustachius (Soepardi, dkk,2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam praktikum kedua ini dilakukan analisis case terhadap gangguan
panca indera yaitu Sinusitis, Sinusitis merupakan sebuah penyakit peradangan
yang terjadi pada selaput lendir sinus yaitu rongga yang berisi udara dan
letaknya dalam rongga kepala sekitar hidung. Tak banyak yang menyadari
akan hadirnya penyakit ini pada seseorang dikarenakan dengan gejala- gejala
yang biasa saja seperti hidung sering mengeluarkan cairan air dan berwarna
kuning, juga ingus yang bau amis, sering sakit kepala, tidak bisa berkonsentrasi
dan tidak bersemangat. Apabila dibiarkan terus menerus akan berdampak pada
keseriusan sehingga dapat menyerang tubuh pasien dan membuat pasien tidak
bersemangat dan membawa rasa sakit yang berlipat ganda (Laili Hafni &
Magdalena, 2018).
Pada praktikum ini kami diberikan sebuah case sebagai berikut. Mr JC,
age 21, who has recently changed his job to become a painter and decorator,
comes into your pharmacy and complains of severe nasal congestion,
headache and blurred vision for 3 days. His has recently suffered cold
symptoms. He took two paracetamol tablets which helped briefly. A friend has
advised that he takes an antihistamine to treat these symptoms. And he asks for
your advice and recommendations. Mr JC tells you he had childhood asthma
and is allergic to penicillin.
Dengan adanya case tersebut kita sebagai seorang farmasis harus bisa
menganalisis atau meanamnesis bagaimana keadaan pasien dengan gejala –
gejala yang pasien alami, ada beberapa pertanyaan yang harus diselesaikan
oleh seorang farmasis ketika mendapatkan kasus seperti ini. Dimulai dari
memberikan beberapa pertanyann kepada pasien tersebut tentang :

Sudah berapa lama Tn. JC mengalami batuk?

Apakah Tn. Belakangan ini melakukan aktivitas yang cukup padat
sehingga mengalami kelelahan?

Kapan terakhir kali asma Tn. Kambuh? Dan apakah selama ini Tn
mengonsumsi obat – obatan asma?

Apakah ada riwayat sinusitis sebelumnya?

Apakah Tn. Merasakan nyeri pada tenggorokan?

Apakah pada gigi Tn terutama pada gigi bagian atas merasa sakit?

Apakah Tn perokok aktif?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut ditanyakan untuk mendukung
diagnosis penyakit dari gejala – gejala yang Mr. JC rasakan. Dengan
menanyakan beberapa hal tersebut kita bisa mengetahui apa yang dirasakan
Mr. Jc dimana dengan gejala seperti mengeluarkan cairan berwarna kuning
kehijauan selama 3 hari terakhir disertai dengan nyeri wajah di sekitar mata
dan hidung, hilangnya indra perasa dan mengalami pilek dimana gejala -gejala
ini dapat dikatakan merupakan gejala dari penyakit sinusitis akut. Karena
adanya sejumlah gejala di atas, dapat dikatakan diagnosis Tuan JC menderita
sinusitis akut. Apa saja faktor predisposisi sinusitis akut ini diantaranya :

Polip hidung, yaitu jaringan yang tumbuh dan membentuk massa di
dalam hidung.

Tulang hidung bengkok.

Alergi, misalnya rinitis alergi atau asma. Kondisi ini dapat
menyebabkan terhambatnya saluran sinus.

Cystic fibrosis, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan lendir
mengental, kemudian menumpuk dan menyumbat berbagai saluran di
dalam tubuh, terutama pernapasan dan pencernaan.

Kondisi lain, seperti melemahnya sistem kekebalan tubuh.
Sesuai dengan kondisi Mr. JC dimana beliau mempunyai riwayat asma,
asma ini juga merupakan faktor pendorong sinusitis bisa terjadi pada pasien.
Dimana Sinusitis atau secara medis juga dikenal sebagai kemunculan Nasal
Polipus merupakan penyakit yang cukup mengganggu dan sangat membuat
menderita. Bagi siapa saja yang sudah menderita asma ditambah penyakit ini,
tentunya seolah mengganggu seluruh hidup mereka. Penyakit sinusitis ini
biasanya disebabkan oleh luka atau infeksi yang terjadi pada saluran pernafasan
tepatnya pada sinus. Sehingga dikenal juga dengan infeksi sinus. Hubungannya
dengan asma adalah pada saat sinus menyerang maka bakteri tumbuh menyebar
pad lendir yang dihasilkan. aat sinus datang menyerang, saluran pernafasan akan
dipenuhi dengan lendir. Disananlah bakteri-bakteri akan tumbuh dan berkembang.
disaat itu datang, biasanya juga ada infeksi yang menyebabkan asma.
Untuk pemgobatan sinusitis ini ada beberapa terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Untuk terapi farmakologi biasanya penderita penyakit sinusitis
diberikan antibiotik seperti dalam tabel berikut ini:
Gambar 3.1 Tabel Pengobatan Antibiotik untuk Sinusitis Akut
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/ kgbb/hari) yang
merupakan first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat
diberikan amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-14
hari. Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan
klindamisin dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.
Atau dengan adanya terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin,
dekongestan, dan steroid.
1. Antihistamin: antihistamin merupakan kontra indikasi pada sinusitis,
kecuali jelas adanya etiologi alergi. Pemberian antihistamin dapat
mengentalkan sekret sehingga menimbulkan penumpukan sekret di sinus,
dan memperberat sinusitis.
2. Dekongestan: dekongestan topikal seperti oksimeta- zolin, penileprin akan
menguntungkan jika diberikan pada awal tata laksana sinusitis.
Aktifitasnya akan mengurangi edem atau inflamasi yang mengakibatkan
obstruksi ostium, meningkatkan drainase sekret dan memperbaiki ventilasi
sinus. Pemberian dekongestan dibatasi sampai 3-5 hari untuk mencegah
ketergan- tungan dan rebound nasal decongestan. Pemberian dekongestan
sistemik, seperti penilpropanolamin, pseudoefedrin dapat menormalkan
ventilasi sinus dan mengembalikan fungsi pembersih mukosilia. Dekongestan sistemik dapat diberikan sampai 10-14 hari.
3. Steroid : steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan
mengurangi edem dan inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki
drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan pemberiannya dalam jangka
pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul
Selain dengan menggunakan terpai farmakologi untuk pengobatan sinusitis
bisa dilakukan dengan pengobatan non-farmakologi juga diantaranya Terapi non
farmakologis antara lain dengan terapi uap, menambah asupan cairan seperti
memperbanyak minum, istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi dan
minum minuman yang hangat (Tieze, 2004).
Namun pada kasus ini Mr. JC diberikan berupa semprotan hidung
beclometasone, karena sinusitis disebabkan oleh pembengkakan dinding dalam
hidung akibat virus atau reaksi alergi yang masuk dari saluran pernapasan atas.
Virus tersebut memicu sinus untuk menghasilkan lendir lebih banyak, sehingga
terjadi penumpukan dan penyumbatan pada saluran hidung. Kondisi ini
mendorong bakteri atau kuman semakin berkembang di rongga sinus dan
menyebabkan
infeksi.
Semprotan
hidung
beclometasone
merupakan
Kostikosteroid hidung, untuk mencegah dan mengobati peradangan pada sinus.
Namun saat MR. Jc konsultasi kepada dokter, dokter meresepkan obat
doksisiklin 100 mg 2 kali 1 hari selama 7 hari. Kita sebagai seorang farmasis
harus memberikan informasi obat doksisiklin 100 mg ini diantaranya :

Doksisiklin bisa dikonsumsi sebelum atau sesudah makan. Konsumsi
obat
sesudah
makan
dianjurkan
bila
mengalami
mual
saat
mengonsumsinya sebelum makan. Minum obat ini dengan segelas air
putih.

Minum obat dalam posisi tegak (duduk atau berdiri) dan jangan
berbaring setidaknya 10 menit setelah mengonsumsi obat. Hal ini
dilakukan untuk mencegah iritasi pada saluran cerna.

Makanan yang mengandung kalsium, seperti susu dan keju, bisa
mengurangi penyerapan doxycycline. Oleh karena itu, beri jeda
setidaknya 1 jam antar konsumsi obat dan makanan tersebut.
Jika gangguan dinusitis ini masih berlangsung dan tidak kunjung sembuh
maka Mr. JC bisa melakukan pemeriksaan berupa ;

Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pemeriksaan
yang
diperhatikan
ialah
adanya
pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai
kelopak
mata bawah yang
berwarna kemerah-merahan
mungkin menunjukan sinusitis maksilaris akut.
b. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan
adanya sinusitis maksilaris.

Pemeriksaan Penunjang
a. Transiluminasi, Pemeriksaan ini menunjukan adanya
perbedaan sinus kanan dan kiri. Sinus yang sakit akan
tampak lebih gelap.
b. Pemeriksaan radiologi, Foto posisi waters tampak adanya
edema mukosa dan cairan dalam sinus. Jika cairan tidak
penuh akan tampak gambaran air fluid level.
c. Pemeriksaan Laboratorium, Tes sedimentasi, leukosit, dan
C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut.
Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada
sinusitis
akut,
tapi
harus
dilakukan
pada
pasien
immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada
anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak
adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan
sinusitis
d. CT scan, Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat
kelainan sinus maksilaris adalah pemeriksaan CT scan.
Potongan CT scan yang rutin dipakai adalah koronal.
Dengan Gambaran Klinis (Rinaldi dkk, 2006).
1.
Batuk
2.
Pilek
3.
Hidung tersumbat
4.
Nyeri kepala
5.
Nyeri sinus
6.
Demam
7.
Nyeri tenggorok
Sesuai dengan Case yang diberikan tentang Sinusitis adalah gangguan dari
penyakit panca indera. Selain sinusitis ada beberapa penyakit gangguan panca
indera juga diantaranya:
1. Otitis Media
a. Terminologi
Otitis media (OM) merupakan suatu keadaan kompleks dari infeksi
dan inflamasi yang menyerang telinga tengah (Yusi dkk, 2016).
Otitis media supuratif kronik adalah peradangan kronik telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya
sekret dari telinga lebih dari dua bulan, baik terus-menerus maupun
hilang timbul. Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK tipe aman
(tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma) (Yusi
dkk, 2016).
b. Faktor Predisposisi Kronisitas Otitis Media (Utami Dkk., 2010)
o Disfungsi tuba auditoria kronik, Infeksi fokal seperti
sinusitis kronik, Adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik
yang menyebabkan infeksi kronik atau berulang saluran
napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta
obstruksi tuba auditoria.
o Perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan
mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara
luar. Bakteri yang berasal dari kanalis auditorius eksterna
atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah
menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga.
o Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus
merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB,
sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang
lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak
adekuat menyebabkan kronisitas infeksi.
o Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor
konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas
c. Karakteristik Otitis Media (Putri, 2020)
o Sekret kental atau gelatin dengan eosinophil
o Mukosa membran menebal dengan banyak eosinophil
o Masa penyembuhan yang panjang
o Terjadi cenderung pada rhinitis alergi
o Besar kemungkinan memberikan respon terhadap terapi
anti alergi
d. Penyebab Otitis Media
o Otitis Media Akut (Yusi dkk, 2016)
1) Streptococcus pneumonia
2) Haemophilus influenza
3) Moraxella catarrhalis
o Otitis Media Sub Kronik (Yusi dkk, 2016).
1) Pseudomonas aeruginosa
2) Staphylococcus aureus
3) Proteus vulgaris
4) Klebsiella pneumonia
o Penyebab Otitis Media(Jenny Dkk, 2018)
1) Demam,
menandakan
terjadinya
proses
infeksi
intrakranial atau selulitis ekstrakranial
2) Edema dan kemerahan di belakang telinga, menandakan
terjadinya mastoiditis yang berhubungan dengan abses
subperiosteal
3) Nyeri retroorbita berhubungan dengan petrositis
4) Vertigo dan nistagmus mengindikasikan terjadinya
labirintitis atau fistula labirin
5) Paresis nervus fasialis perifer biasanya ipsilateral
dengan telinga yang terinfeksi yang disebabkan oleh
OMSK dengan kolesteatom.
e. Terapi Otitis Media
o Terapi Farmakologi (Jacky dkk, 2015)
a. Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium
penyakit yaitu:
1) Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL
efedrin 0,5%, dan pemberian antibiotik.
2) Stadium
Presupurasi
:
analgetika,
antibiotika
(biasanya golongan ampicillin atau penisilin) dan
obat tetes hidung.
3) Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obatobat
simptomatik.
Dapat
juga
dilakukan
miringotomi bila membran timpani menonjol dan
masih utuh untuk mencegah perforasi.
4) Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5
hari dan diberikan antibiotika yang adekuat
b. Terapi Antibiotik

Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di
bawah 6 bulan, 6 bulan – 2 tahun jika diagnosis
pasti, dan untuk semua anak besar dari dua tahun
dengan infeksi berat (otalgia sedang atau berat atau
suhu tubuh lebih dari 39°C ) (Jacky dkk, 2015).

Jika diputuskan perlunya pemberian antibiotik, lini
pertama adalah amoksisilin dengan dosis 80-90
mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit berat dan
bila
mendapat
infeksi
β-laktamase
positif
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis
terapi dimulai dengan amoksisilin-klavulanat dosis
tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4
mg/kg/hari klavulanat dibagi 2 dosis) (Jacky dkk,
2015).

Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi alergi
bukan
reaksi
hipersensitifitas
(urtikaria
atau
anafilaksis), dapat diberi cefdinir (14 mg/kg/hari
dalam 1 atau 2 dosis), cefpodoksim (10 mg/kg/hari
1 kali/hari) atau cefuroksim (20 mg/kg/hari dibagi 2
dosis). Pada kasus reaksi tipe I (hipersensitifitas),
azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5
mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal
harian) atau klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2
dosis terbagi). Obat lain yang bisa digunakan
eritromisin-sulfisoksazol
(50
mg/kg/hari
eritromisin) atau sulfametoksazol-trimetoprim (6-10
mg/kg/hari trimethoprim (Jacky dkk, 2015).
o Terapi Non-farmakologi (Anggaraini D, 2013)
a. Edukasi untuk menjaga telinga supaya tetap kering
agar pengobatan optimal dan dapat mencegah
infeksi berulang.
b. Konseling mengenai keluarnya cairan dari telinga
c. Pemeriksaan dan perawatan telinga secara berkala
d. Konseling
mencegah
penyakit
saluran
nafas
berulang
e. Memakan-makanan bergizi terutama sayur dan buah
f. Konseling
oral
hygiene
yang
buruk
dapat
menyebabkan infeksi kuman dan penjalaran kuman
ke telinga sehingga diajarkan cara sikat gigi yang
benar
g. Memotivasi untuk melakukan perawatan gigi di
dokter gigi, memotivasi orangtua
2. Tinitus
a. Terminologi
Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran berupa keluhan
perasaan pada saat mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi
atau suara dari luar. Adapun keluhan yang dialami ini seperti bunyi
mendengung, mendesis, menderu, atau berbagai variasi bunyi yang
lain (Dewi, 2016).
b. Penyebab Tinnitus (Dewi, 2016)
Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya tinitus. Beberapa
diantaranya adalah:
1. Kelainan vaskular baik pada arteri atau vena.
2. Kelainan muskular: klonus otot palatum atau tensor timpani.
3. Lesi pada saluran telinga dalam: Tumor saraf kedelapan.
4. Gangguan kokhlea: trauma akibat bising, trauma tulang temporal,
penyakit Meniere’s, presbikusis, tuli saraf mendadak, emisi
otoakustik.
5. Ototoksisitas:
aspirin,
kuinin,
dan
antibiotika
tertentu
(aminoglikosida).
6. Kelainan telinga tengah: infeksi, sklerosis, gangguan tuba eustachi.
7. Lain-lain: serumen, benda asing pada saluran telinga luar dan
penyakit sistemik seperti anemia.
c. Gejala Tinitus
Gejala-gejala tinnitus, vertigo, mual, muntah dan ataksia
bermula secara akut, ditandari degan adanya nystagmus dan tanda
Romberg positif. Ketidakseimbangan ini lebih buruk dalam situasi
gelap atau di dalam tempat pijakan yang tidakmantaop (benda lunak).
Gejala-gejala visual yaitu oscilopsia hanya muncul bila ada pergerakan
kepala
d. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya tinitus karena aktivitas elektrik di sekitar
auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, tetapi impuls
yang terjadi bukan berasal dari bunyi eksternal atau dari luar yang
ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls yang
abnormal di dalam tubuh penderita sendir. Impuls abnormal itu dapat
ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam
berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah seperti bergemuruh
atau nada tinggi seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau
hilang timbul terdengar (Dewi, 2016).
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan
dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan
oleh gangguan konduksi, biasanya berupa bunyi dengan nada rendah.
Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa berdenyut atau
pulsasi tinitus. Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan
konduksi, biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga karena serumen
atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis, dan lain-lain. Tinitus
dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa gangguan pendengaran
merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus jugulare
(Dewi, 2016).
e. Pemeriksaan Tinnitus
A. Annanemsia Meliputi (Dewi, 2016) :
1. Riwayat pengobatan
2. Riwayat penyakit dan dilakukan pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan di bidang psikologi juga diperlukan karena ada
kasus tinnitus yang juga berkaitan dengan keadaan depresi
dan cemas.
Tujuan utama adalah untuk menemukan penyebab
tinitus. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
anamnesis adalah: lama serangan tinitus, bila berlangsung
dalam waktu 1 menit biasanya akan hilang sendiri, hal ini
bukan keadaan patologik. Bila berlangsung dalam 5 menit
merupakan keadaan patologik. Tinitus subjektif unilateral
disertai gangguan pendengaran perlu dicurigai kemungkinan
tumor neuroma akustik atau trauma kepala. Bila tinitus
bilateral kemungkinan terjadi pada intoksikasi obat yang
bersifat ototoksik seperti aspirin, kinine, streptomisin dan
lain-lain, trauma bising, dan penyakit sistemik lain.
B. Pemeriksaan Fisik (Dewi, 2016).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu mulai dari melihat
keadaan rongga mulutnya, telinga luar, membran timpani,
cranial nerve V, VII dan VII, temporalnya, dll.
C. Pemeriksaan Laboratorium (Dewi, 2016).
1. Dilakukan otoskopi untuk melihat ada atau tidaknya penyakit
di telinga luar dan tengah, mengetahui ada tidaknya infeksi
cerumen, serta melihat kondisinya normal atau abnormal.
2. Pemeriksaan audiologi yang wajib dilakukan, diantaranya
PTA (Pure Tone Audiometry), BERA, Speech Test, Tone
Decay Audiometry, dan Tone Decay Refleks.
3. Pemeriksaan vestibuler untuk mengetahui keadaan sistem
vestibulernya.
f. Terapi Tinnitus
A. Farmakologi (Dewi, 2016).
a. Vitamin B dan derivatnya: nicotinamide (vasodilator) yang
secara empiris telah digunakan secara luas untuk kelainan
kokhlea (contoh: penyakit Meniere’s)
b. Trimetazidine: obat anti iskemia dengan antioksidan
c. Vitamin A: pada dosis tinggi dilaporkan memperbaiki ambang
persepsi dan mencegah tinnitus. Namun perhatian terhadap
toksisitasnya dapat membatasi vitamin A dalam penggunaan
praktis.
d. Lidokain intravena: suatu golongan anestetik local amide
dengan aktivitas system saraf pusat, dilaporkan berguna dalam
mengontrol tinnitus.
e. Tocainine: merupakan lidokain oral dengan waktu paruh yang
panjang.
f. Trisiklik trimipramine: suatu anti depresan
B. Terapi Non-farmakologi (Dewi, 2016).
1. Elektrofisiologik yaitu dengan membuat
stimulus
elektro akustik dengan intensitas suara yang lebih keras
dari tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau
tinitus masker.
2. Psikologik, dengan memberikan konsultasi psikologik
untuk meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak
membahayakan dan dengan mengajarkan relaksasi
setiap hari.
3. Pembedahan juga berperan dalam penanganan tinnitus
jika diaplikasikan untuk mengoreksi sumber penyebab.
Misalnya: stapedektomi untuk kelainan otosklerotik,
lainnya adalah koklear implant.
3. Rinitis
Rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh
reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig
E), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan
Comb). Gejala klinik rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang
dilepaskan oleh sel mast, basofi l dan eosinofi l akibat reaksi alergen
dengan Ig E spesifik yang melekat di permukaannya. Mediator yang
paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin akan
menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung tersumbat
(Utami dkk, 2010
Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat
menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa
dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa
selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria
sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria.17
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia belum diketahui pasti, namun data
dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi rinitis alergi
berkisar 10 – 26% (Utami dkk, 2010).
Rinitis alergi merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik pada rinitis
alergi dapat dilihat dari hubungan fenotip yang erat antara pilek alergi dan
asma bronkial (penyakit diturunkan). Penyakit alergi bersifat diturunkan
dalam keluarga. Jika hanya salah satu orang tuanya menderita alergi, maka
risiko anaknya terkena alergi adalah 50 %. Dan jika kedua orang tua
memiliki alergi, risiko anaknya terkena alergi adalah 75 %. Penelitian
dengan imigran sebagai subyek, menunjukkan bahwa terdapat faktor
genetik yang mempengaruhi pola IgE yang diturunkan dari orang tua,
khususnya dari ibu (Pawankar R, 2011).
Faktor risiko rinitis alergi dari lingkungan berupa paparan alergen.
Berdasarkan penelitian di RSCM, diperoleh data 59 % sensitivitas
terhadap alergen inhalan dan 49 % terhadap alergen makanan. Aeroalergen
yang tersering dengan hasil uji cukit kulit positif pada penelitian di klinik
THT – KL RSUP Dr Kariadi adalah kecoa (44,6 %), disusul mite culture
(40,5 %), house dust (25,7 %), cat dander (16,2 %) dan dog dander (5,4
%). Penelitian menunjukkan bahwa odd ratio rinitis alergi lebih tinggi
pada anak yang memelihara hewan, terutama anjing (Wright A L. et al,
2012). Reaksi hipersensitivitas pada mukosa hidung yang memicu
bermacam-macam respon hidung terhadap paparan alergen merupakan
proses dinamis yang disebabkan oleh alergen yang spesifik. Pada proses
ini terlibat berbagai macam tipe sel, mediator, dan mekanisme yang
berbeda pada setiap jenjang dan level yang berbeda (Pelikan Z, 1994).
Tata laksana Rinitis alergi, Rinitis alergi dapat dibagi menjadi
rinitis alergi intermiten dan persisten. Pembagian ini menggantikan
klasifikasi yang lama yaitu RA musiman (seasonal) dan sepanjang tahun
(perenial) yang masih banyak dipakai. Berdasarkan keparahan gejala, RA
intermiten dan persisten dibagi ringan dan sedang-berat. Pilihan
pengobatan pada anak sama seperti pada dewasa. Pengendalian
lingkungan untuk menghindari alergen sangat penting, namun tidak
selamanya dapat dilakukan dengan sempurna. Pemberian obat-obatan
selalu
diperlukan,
antara
lain
antihistamin,
dekongestan,
dan
kortikosteroid. Pada RA persisten, pemberian imunoterapi dapat
dipertimbangkan. Terapi farmakologis RA didasarkan pada berat
ringannya penyakit. Pada RA intermiten ringan dapat diberikan
antihistamin, sedangkan pada RA intermiten sedang-berat, pilihan
pengobatan meliputi pemberian antihistamin ditambah kortikosteroid
intranasal (KSIN), yang dihentikan bila gejala menghilang. Pada RA
persisten, pengobatan utama adalah dengan menggunakan KSIN, bila
perlu ditambahkan antihistamin atau kortikosteroid oral (Simbolon dkk,
2006).
Penggunaan kortikosteroid intranasal Glukokortikoid adalah obat
yang paling poten dalam pengobatan RA. Oleh karena pemberiannya
secara sistemik menimbulkan berbagai efek samping, saat ini telah
dikembangkan pemberian topikal secara intranasal. Kortikosteroid
intranasal memiliki keunggulan yang nyata dalam pengobatan RA. Obat
ini lebih unggul dibandingkan dengan antihistamin oral dan kromolin
intranasal. Satu studi metaanalisis mendapatkan penggunaan KSIN sebagai
pengobatan utama pada RA lebih unggul dibandingkan antihistamin oral
(Simbolon dkk, 2006).
Obat ini efektif untuk menghilangkan gejala bersin, rasa gatal,
hidung berair dan hidung tersumbat. Pemberian kortikosteroid intranasal
kadangkala dapat menimbulkan efek samping lokal seperti rasa kering,
krusta dan epistaksis, namun hal ini biasanya ringan dan dapat hilang
sendiri. Efek samping sistemik dapat timbul jika diberikan bersamaan
dengan kortikosteroid topikal lain (Simbolon dkk, 2006).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
Dapat memahami patofisiologi dari beberapa gannguan penyakit sistem
indera meliputi sinusitis, otitis media, rinithis alergi dan tinitus.
2. Dapat menganamnesis pasien dengan gejala – gejala yang (simptom) yang
dirasakan pasien seperti dari gejala asma yang kambuh, keluarnya cairan
kuning kehijauan serta merasakan nyeri pada wajah.
3. Dapat
memahami
berbagai
pemeriksaan
yang
dilakukan
untuk
mendiagnosa gangguan penyakit dari sinusitis, otitis media, rinithis alergi
dan tinitus.
4. Dapat memberikan saran terapi terbaik secara farmakologis maupun non
farmakologis pada gangguan penyakit sistem indera sinusitis, otitis media,
rinithis alergi dan tinitus. yaitu dengan pemberiaan obat seperti antibiotik,
antihistamin dan obat golongan koryikosteroid juga.
DAFTAR PUSTAKA
Agus W & Soeproyadi, 2008, Diagnosis Otitis Media, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
Anggraini D, 2013, Otitis Media Supuratif Kronis Dan Tonsilitis Kronis Serta
Karies Dentis Dan Perilaku Kuratif Ibu, Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung.
Campbell, N.A., J.B. Reece, & L.G. Mitchel. 2004. Biologi. Jakarta: Erlangga
Dewi
Purwita
Agustini,
2016,
Mengenali
Gejala
Tinitus
dan
Penatalaksanaannya. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
Jenny Tri Yuspita Sari, Yan Edward, Rossy Rosalinda, 2018, Otitis Media
Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan
Paresis Nervus Fasialis Perifer, Jurnal Kesehatan Universitas Andalas.
Laili Hafni & Magdalena Simanjuntak, 2018, Sistem Pakar Diagnosa Penyakit
Sinusitis Menggunakan Metode Bayes Berbasis Web. Program Studi
Teknik Informatika, STMIK Kaputama Binjai.
Mahle ME, Schreiber CP 2005. Sinus headache, migraine, and the
otolaryngologist. Otolaryngology--head and neck surgery: official
journal of American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery 133 (4)
Mashudi, Sugeng. 2011. Anatomi dan Fisiologi Dasar Aplikasi Model
Pembelajaran Peta Konsep. Jakarta: Salemba Medika
Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF. 2011. Allergic rhinitis,
allergic
conjunctivitis,
and
rhinosinusitis.
In :
World
Allergy
Organization White Book On Allergy. United Kingdom: World Allergy
Organization;. p 27.
Sari Ivanny, Effy Huriyati, Yan Edward, 2020, Eosinofilik Otitis Media,
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala
dan Leher Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang
Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(6).
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.
Rinaldi, Helmi M. Lubis, Ridwan M. Daulay, Gabriel Panggabean, 2006,
Sinusitis pada Anak, Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Rizka Dwi Lestari, Zulhafis Mandala, Marni, 2018, Distribusi Usia Dan Jenis
Kelamin Pada Angka Kejadian Otitis Media Akut Di Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2016, Jurnal Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan, Volume 5, Nomor 1, Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati
Simbolon, Benry P, Sjabaroeddin Loebis dan Lily Irsa. 2006. Penggunaan
Kortoksteroid Intranasal Dalam Tatalaksana Rinitis Alergi Pada Anak.
SariPediatri.
Tietze, K. J. 2004, Disolder Related to Cold and Allergy, Handbook of non
prescription Drugs, 14nd editions, APhA, Wasingthon
Utami TF, Bambang U, Kartono S. 2010.Rinitis alergi sebagai factor risiko
otitis media supuratif kronis. Cermin Dunia Kedokteran.179(428):9.
Wright A L. et al. 2012 Epidemiology of physician diagnosed allergic rhinitis
in childhood. 94:895 – 901. Di akses pada tanggal 14 November 2020
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/7971008
Download