Uploaded by User89482

Filsafat-Pendidikan-Mazhab-Mazhab-Filsafat-Pendidikan-Cet-2-April-2014-1

advertisement
FILSAFAT PENDIDIKAN:
Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan
Teguh Wangsa Gandhi HW
Editor: Meita Sandra
Proofreader: Nur Hidayah
Desain Cover: TriAT
Desain Isi: Maarif
Penerbit:
AR-RUZZ MEDIA
Jl. Anggrek 126 Sambilegi, Maguwoharjo
Depok, Sleman, Jogjakarta 55282
Telp./Fax.: (0274) 488132
E-mail: [email protected]
ISBN: 978-979-25-4825-9
Cetakan II, 2014
Didistribusikan oleh:
AR-RUZZ MEDIA
Telp./Fax.: (0274) 4332044
E-mail: [email protected]
Perwakilan:
Jakarta: Telp./Fax.: (021) 7816218
Malang: Telp.Fax.: (0341) 560988
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Gandhi HW, Teguh Wangsa
Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan/Teguh Wangsa
Gandhi HW-Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014
224 hlm, 14,8 X 21 cm
ISBN: 978-979-25-4825-9
1. Pendidikan
I. Judul
II. Teguh Wangsa Gandhi HW
Pengantar Penerbit
H
ingga hari ini, pendidikan dipercaya sebagai sesuatu hal yang
penting. Semenjak memercayai pendidikan, dunia berubah
menjadi kota-kota yang dipadati gedung-gedung besar dan
panjang yang di dalamnya berisi deretan meja dan kursi. Tempat inilah
yang kemudian disebut sekolah. Bermula dari tempat itulah konon
pendidikan dimulai.
Setiap hari, anak-anak dididik di tempat tersebut agar menjadi diri
yang terdidik. Terdidik berarti hidup dalam normalisasi-normalisasi nilai
yang teratur dan rutin. Konotasi kata terdidik kerap juga diidentikkan
dengan diri yang berpengetahuan, tertib, dan tidak memberontak. Oleh
karena itu, siapa pun yang urakan dan tidak teratur akan disadari sebagai
diri yang tidak atau belum terdidik.
Pendidikan kemudian menjadi syarat untuk hidup serta status sosial
untuk diterima sebagai manusia. Semakin tinggi jenjang pendidikan
seseorang, semakin terhormat dan tinggi posisi tawar status serta
penghargaan sosial atas dirinya walaupun seseorang yang berijazah itu
begitu buruk dalam soal pengetahuan.
Mereka yang mengenyam sekolah dengan sendirinya akan memiliki
kehidupan jauh lebih layak dan mapan serta jauh lebih dihormati
ketimbang mereka yang tidak bersekolah. Sedangkan, mereka yang tak
5
sekolah karena tidak memiliki biaya untuk sekolah akan selalu hidup
dalam mata rantai kemiskinan dan hidup situasi yang sepenuhnya
tersingkirkan.
Akan tetapi, berbagai kampanye tentang pendidikan yang
mengatakan bahwa pendidikan itu penting guna membela kemanusiaan
justru berimplikasi terbalik menjadi awal muasal lahirnya ironi. Pendidikan
menjadi penyebab pertama lahirnya berbagai tindak dehumanisasi serta
berbagai reduksi kemanusiaan. Nah, di sinilah tugas filsafat pendidikan
dijalankan.
Tugas filsafat pendidikan tidak lain adalah mengantarkan para calon
guru dan para praktisi pendidikan untuk berhadapan dengan pertanyaanpertanyaan besar yang mendasari makna dan tujuan pendidikan. Untuk
itu, mereka mesti akrab dengan isu-isu, semisal hakikat realitas, makna dan
sumber pengetahuan, serta struktur nilai.
Filsafat pendidikan membawa para pelajar pada situasi ketika
mereka secara cerdas menilai tujuan-tujuan akhir alternatif, mengaitkan
dengan tujuan-tujuan yang diinginkan, dan menyeleksi metode-metode
pengajaran sesuai dengan tujuan. Secara holistis, tugas filsafat pendidikan
itu membantu para pendidik berpikir secara bermakna tentang totalitas
pendidikan dan proses hidup sehingga mereka selalu berada dalam posisi
yang tepat dan dapat mengembangkan program yang konsisten serta
menyeluruh sehingga para pelajar mampu menjadi diri manusia yang
berkualitas.
Pendeknya, filsafat pendidikan bermaksud memberi bekal kepada
para pendidik untuk menjadi paham persoalan-persoalan mendasar
pendidikan. Dengan demikian, memungkinkan mereka untuk
mengevaluasi dan terus mengembangkan pendidikan menjadi semakin
baik. Secara etis, filsafat pendidikan membekali diri untuk melakukan
pelacakan-pelacakan tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan.
6
Buku ini mengajak kita mengenal dan memahami lebih dalam filsafat
pendidikan. Dengan demikian, tujuan pendidikan yang memanusiakan
dapat terwujud. Pengajar, mahasiswa, dosen, serta siapa pun yang bergelut
dalam dunia pendidikan, kiranya dapat menjadikan buku ini sebagai
pegangan. Akhir kata, selamat membaca.
Jogjakarta, Januari 2011
Redaksi
7
Daftar Isi
Pengantar Penerbit ............................................................. 5
Daftar Isi ............................................................................... 9
Prolog .................................................................................... 11
Bab I
Filsafat dan Pendidikan ...................................... 19
A. Pendidikan yang Mengubah Dunia.............................. 19
B. Jalan dan Tujuan Filsafat ............................................. 30
C. Episteme Filsafat ....................................................... 35
D. Cabang-Cabang Filsafat .............................................
37
E. Sumber-Sumber Pengetahuan ................................... 46
F. Teori-Teori Kebenaran ................................................ 50
G. Etika .......................................................................... 52
H. Logika ........................................................................ 59
I.
Apakah Pendidikan Itu? .............................................. 60
J. Jalan dan Tujuan Pendidikan ....................................... 67
K. Hubungan Filsafat dan Pendidikan .............................. 70
Bab II
Filsafat Pendidikan .............................................. 79
A. Pengertian Filsafat Pendidikan ..................................... 79
B. Peran Filsafat Pendidikan ......................................... 84
9
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan ............................. 89
D. Metafisika Ontologi Filsafat Pendidikan ...................... 90
E. Problem Epistemologi Filsafat Pendidikan ................. 92
F. Metafisika Aksiologi Filsafat Pendidikan ..................... 105
G. Filsafat Pendidikan Socrates ...................................... 108
H. Filsafat Pendidikan Plato ............................................ 112
I.
Filsafat Pendidikan Aristoteles .................................... 114
Bab III Mazhab-Mazhab Pendidikan .............................. 117
A. Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan ...................... 117
B. Filsafat Pendidikan Idealisme ...................................... 128
C. Filsafat Pendidikan Realisme....................................... 140
D. Filsafat Pendidikan Pragmatisme ................................ 144
E. Filsafat Pendidikan Progresivisme............................... 152
F. Filsafat Pendidikan Esensialisme ................................. 159
G. Filsafat Pendidikan Perenialisme ................................. 163
H. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme ........................... 183
I.
Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme .................... 189
J. Filsafat Pendidikan Behaviorisme ............................... 194
Daftar Pustaka ..................................................................... 211
Indeks.................................................................................... 215
Biografi Penulis ................................................................... 222
10
Prolog
P
ada 1943, ketika industrialisasi dan urbanisasi di Amerika mulai
mengalami kemapanan-kemapanan yang kuat, sedangkan di sisi
yang lain pendidikan makin berjalan dengan pola yang sepenuhnya
progresif, di New York seorang pemikir bernama Reinhold Neibuhr1
meluncurkan sebuah karya berjudul The Nature and Destiny of Man
(1943). Sebagaimana judulnya, Reinhold dalam karya tersebut mengulas
sifat dasar manusia dan hidupnya serta sisi keterkaitannya dengan takdir.
Dalam mengawali pembahasan buku tersebut, Reinhold di halaman
pertama mengawali kalimat pembahasannya dengan sebuah kebingungan
yang menawan. “Manusia,” demikian kata Reinhold, “bukanlah apa
pun selain problem yang membingungkan dan problem bagi dirinya.”
Pernyataan ini Reinhold buat terutama karena ia melihat betapa baginya
manusia selalu lekat dengan berbagai kontradiksi dan paradoks.
Di satu sisi ia terlihat sama sekali bukan sekadar binatang. Ia, bahkan
jauh lebih cerdas ketimbang primata mana pun. Akan tetapi, di sisi yang
lain, manusia kerap pula terlihat betapa ia hanyalah sekadar binatang
1. Reinhold Neibuhr adalah seorang teolog Protestan yang terkenal karena penelitiannya
mengenai tugas dalam menghubungkan iman Kristen dengan realitas politik modern dan
diplomasi. Ia merupakan penyumbang penting terhadap pemikiran mengenai perang yang
legal.
11
yang dengan kesadaran yang jauh lebih tinggi. Dua sifat bertentangan ini
begitu mengendalikan hidup manusia di dunia mana pun sehingga bagi
hidupnya, manusia selalu menjadi problem.
Pandangan Reinhold di atas tentu saja sangat bisa diterima, terutama
karena kita tahu betapa tidak ada manusia yang sepenuhnya, baik dalam
makna yang mutlak ataupun buruk dalam makna yang mutlak juga.
Dalam banyak hal kita selalu menemukan betapa manusia senantiasa
hidup dalam dua nilai itu. Suatu ketika hadir dan begitu baik, meski di
hari yang lain muncul sebagai diri yang sepenuhnya buruk, bahkan begitu
mengerikan.
Hanya saja pandangan Reinhold di atas melahirkan berbagai
pertanyaan mendasar pada kita, seputar apa dan bagaimana sebenarnya
baik dan buruk bagi dan dalam diri manusia itu. Apakah manusia pada
dasarnya memang terlahir dengan sifat buruk? Atau, justru sebaliknya,
pada mulanya ia bersifat baik dan kemudian berubah menjadi buruk
sebab berbagai hal di sekitarnya? Jika memang manusia terlahir sebagai
diri yang baik, bagaimana kualitas dari sifat baik itu? Hal apakah yang
bisa mengubahnya membuat menjadi buruk serta kehilangan sama sekali
kebaikan-kebaikan yang dibawanya?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama berlaku pula ketika manusia
dipandang terlahir sebagai diri yang memang bersifat buruk. Apakah sifat
buruk dalam diri manusia itu bersifat potensial, bisa diubah, atau justru
sesuatu yang telah baku? Bagaimana sebenarnya sifat-sifat buruk yang ada
dalam diri manusia itu?
Penyataan Reinhold dan pertanyaan kita saat ini, tentu saja bukan
pernyataan dan pertanyaan pertama yang muncul untuk pertama kalinya.
Kita dan Reinhold, bahkan mungkin telah menjadi diri yang kesekian
triliun kalinya yang pernah menggelisahkan persoalan itu. Dari sejarah,
misalnya, kita mendengar kabar bahwa terdapat kisah-kisah manusia yang
baik dan kisah-kisah manusia yang buruk. Ada yang pada mulanya baik
12
kemudian berubah menjadi jahat. Terdapat pula seseorang yang mulanya
jahat kemudian berubah menjadi baik.
***
Di sini, baik buruk bagi manusia agaknya bersifat potensial dan
bukan bagian dari eksistensi manusia, terutama karena dalam hidupnya
manusia memiliki sesuatu yang bernama kebebasan. Dalam aktualitasnya,
kebebasan manusia memang bersifat terbatas, terbatasi oleh kebebasan
manusia di luar dirinya. Akan tetapi, dalam keterbatasannya, ia tetap
memungkinkan manusia untuk membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya
termasuk pada persoalan baik dan buruk.
Hanya saja, meski manusia memiliki independensi serta kebebasan
yang membuatnya bisa memilih. Bersamaan dengan itu pula, manusia
selalu menjadi makhluk yang selalu dipengaruhi oleh situasi, situasi ketika
manusia kemudian bisa berubah menjadi diri yang sebaliknya. Artinya,
dalam independensinya, manusia kemudian bisa melakukan hal-hal yang
buruk.
Pada sisi inilah pendidikan, guna meningkatkan kesadaran-kesadaran
hidup, menjadi hal yang dipandang penting oleh sejarah. Meski sejauh
upaya peningkatan dan pelestarian gagasan-gagasan nilai dan hidup yang
baik dilakukan, pendidikan kemudian lebih banyak terlihat menjadi
problem kemanusiaan ketimbang menjadi solusi bagi kemanusiaan.
Lantas, bagaimana sebenarnya kebaikan manusia itu? Bagaimana pula
dengan pendidikan?
***
Jika kita memandang bahwa manusia bisa menjadi baik sebab
pendidikan hal itu tentu saja ada benarnya karena memang menjadi
bagian dari fakta dan realita hidup. Betapa di sebagian diri kebaikan dan
13
keburukan selalu bukan diri mana pun, melainkan bagaimana kondisi
lingkungan tempat di mana masing-masing diri tinggal dan berada.
Meski pandangan tersebut agaknya akan menjadi sangat berbeda
dengan pandangan para eksistensialisme, betapa baik buruk dalam
pandangan mereka selalu bukan hal lain, selain pilihan bebas manusia. Dari
itu, meski hidup yang ada selalu menjadi hidup yang rentan dan terbatas,
sama rentan dan terbatasnya dengan kebebasan manusia. Akan tetapi,
semua problem tersebut selalu tidak cukup memadai untuk dijadikan
alasan dan pembenar bagi perbuatan buruk yang kita lakukan.
Sama tidak ada beralasannya dengan membuat keyakinan bahwa
pendidikan mampu mengubah hidup manusia menjadi baik. Sehebat
dan sebagus pendidikan dilangsungkan jika pihak terkait, yaitu subjek
manusianya tidak ingin baik, dengan sendirinya, ia tidak akan pernah
bisa menjadi diri yang sepenuhnya baik.
Lantas apa makna pernyataan Aristoteles yang berkata betapa
sepanjang waktu, manusia selalu terlihat baik, di satu sisi, dan buruk di
sisi yang lain. Apakah itu artinya manusia bisa baik dan bisa buruk? Atau,
justru sebaliknya, dalam cita-citanya yang selalu baik, manusia terkadang
justru hidup dengan cara yang begitu buruk?
Sulit memastikan apa maksud perkataan Aristoteles di atas. Hanya
saja, dari perkataan Aristoteles yang lain, kita bisa menemukan bagaimana
pandangan dan sikap Aristoteles tentang baik buruk bagi manusia.
Suatu ketika, ia berkata, “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai
kebenaran.”
***
Lantas, bagaimana sikap yang mesti kita pilih dengan adanya
pendidikan? Apakah karena baik buruk adalah pilihan bebas kehendak
manusia, pendidikan kemudian menjadi sesuatu hal yang tidak penting
untuk dilakukan? Sedangkan, sehebat apa pun seorang filsuf eksistensialis
14
dalam soal independensi, tetap saja ia diri yang belajar dan menerima
sesuatu yang bernama pendidikan?
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itulah, buku filsafat
pendidikan ini penulis tulis, terutama karena penulis memandang bahwa
walau bagaimanapun, pendidikan tetap memiliki peran yang penting
bagi hidup manusia. Hal itu sangat terkait dengan tingkat kesadaran dan
pengetahuan masing-masing diri manusia: pengetahuan akan diri, dunia
dan hidupnya, tidak selalu benar. Sebagian diri, bahkan hidup, dengan
pengetahuan-pengetahuan yang salah termasuk di dalam menyakini
tentang kebaikan.
Ini sama sekali tidak bertentangan dengan konsep independensi
yang diserukan para eksistensial, sebaliknya justru sangat selaras. Penulis
memandang terdapat banyak diri yang dengan independensinya memilih
menjadi baik. Akan tetapi, karena kurangnya pengetahuan, ia kemudian
terjebak dalam perilaku-perilaku yang sebaliknya.
Ini bisa dicontohkan dengan keinginan untuk mandiri atau kaya.
Kaya atau menjadi kaya tentu sesuatu hal yang baik. Akan tetapi, ia
akan menjadi sesuatu hal yang buruk ketika orang tidak mengerti apa
makna kaya dan kekayaan serta cara memperolehnya. Di sini pendidikan
menjadi sesuatu yang penting meski ia tidak akan membuat dunia menjadi
sepenuhnya berisi manusia yang sepenuhnya baik. Demikian semoga
bermanfaat.
Jogjakarta, Januari 2011
Teguh Wangsa Gandhi H.W.
15
“Dunia ini selalu komedi bagi mereka yang berpikir,
tragedi bagi mereka yang berperasaan, dan jawaban:
mengapa Demokritos tertawa dan Heraklitos menangis.”
(Horace Walpole)2
2. Ia adalah seorang Inggris, sejarawan seni, sastrawan, antik, dan politikus. Dia diingat untuk
karya Strawberry Hill, dan bangunan rumahnya di Twickenham, barat daya London yang
bergaya Gothic, dan dikenal sebagai penerus Victoria. Novelnya bergaya Gothic, The Castle
Otranto.
Bab I
Filsafat dan Pendidikan
A. Pendidikan yang Mengubah Dunia
Jika kita mendapat pertanyaan mengapa kita mengkaji pendidikan, tentu
saja mudah untuk kita menjawabnya bahwa hal itu terkait dengan dunia
kita yang sampai hari ini memang masih memercayai pendidikan sebagai
sesuatu hal yang penting. Hanya saja, jika kita mendapat pertanyaan,
mengapa sampai hari ini kita memercayai pendidikan, pertanyaan
seperti itu tentu saja bukan pertanyaan yang mudah dicari jawabannya.
Sebaliknya, ia selalu menjadi pertanyaan mendasar yang begitu sulit
untuk dijawab oleh siapa pun. Ini terkait, terutama karena sepanjang ini
pendidikan telah menjadi sesuatu hal yang diterima sebagai kebenaran
aksiomatis, dari waktu ke waktu.
Pendidikan, demikian ia kita namai, hingga menit-menit milenia
ketiga Masehi pecah dan dimulai, selalu kita percayai dengan pola
kepercayaan yang sama, dipandang sebagai sesuatu hal yang penting
serta mesti ada dalam keberlangsungan hidup manusia di mana pun.
Kepercayaan ini begitu klasik dari waktu ke waktu sehingga sulit bagi siapa
19
pun untuk mengetahui sejak kapan manusia mulai menaruh optimisme
dan kepercayaannya pada pendidikan.
Di Eropa, misalnya, keyakinan dan kepercayaan terhadap pendidikan
kemudian memunculkan sesuatu hal, seperti school, atau pedagogie,
education, andragogie, dan lain sebagainya. Sementara, di Timur, kita juga
akan menemukan hal yang sama dengan Barat, dengan adanya istilah
madrasah, majlis ta’lim, halaqah, pesantren, padepokan, grahavidya, dan
lain sebagainya, yang kesemua itu merujuk pada tempat atau wahana
pendidikan.
Oleh karena itu, jika diamati, dunia, terutama sejak mulai
memercayai pendidikan, berubah menjadi kota-kota yang dipadati dengan
gedung-gedung besar dan panjang, yang di dalamnya berisi deretan meja
serta kursi, yang diatur dengan pola lajur dan hitungan-hitungan tertentu.
Sementara, di hadapan deretan meja dan bangku-bangku yang ditata
dengan pola lajur tersebut terdapat papan tulis sepanjang beberapa meter,
berdiri melintang, berada tepat di samping meja seorang guru. Kita hari
ini biasa menyebut tempat aneh itu dengan nama sekolah, madrasah, atau
school—campus jika di Eropa. Bermula dari tempat itulah, sesuatu yang
bernama “pendidikan” konon dimulai.
Di sana manusia dikelompokkan ke dalam dua tipe. Pertama, anak
didik; dan kedua, guru atau pendidik. Anak didik atau siswa adalah diri
yang dipandang harus dibimbing, diarahkan, dan dibentuk agar terarah.
Sedangkan, mereka yang membimbing, mengarahkan, serta membentuk
yang disebut pendidik, guru, atau teacher. Sebab, ia adalah seorang guru
yang selalu dipandang sebagai diri yang berlimpah pemahaman dan
pengetahuan akan berbagai hal yang ada dalam hidup dan kehidupan.
Dengan demikian, dari hari ke hari, hingga tahun-tahun berganti,
setiap anak dari usianya yang begitu dini, setiap hari mesti setia duduk di
bangku-bangku itu agar konon bisa menjadi diri yang terdidik. Terdidik
berarti hidup dalam normalisasi-normalisasi nilai yang teratur dan
20
rutin. Konotasi kata terdidik kerap juga diidentikkan dengan diri yang
berpengetahuan, tertib, dan tidak memberontak. Oleh karena itu, siapa
pun yang urakan dan tidak teratur akan disadari sebagai diri yang tidak
atau belum terdidik.
Dalam pengertian ini, sekolah menjadi ruang, tempat setiap diri
diarahkan, dibentuk, atau dihabituasikan dalam keteraturan-keteraturan
nilai yang telah dibakukan agar ia patuh dan tidak menjadi pemberontak.
Pola-pola pendidikan seperti ini tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi
berlaku di berbagai negeri sehingga di mana pun, tanpa terkecuali, setiap
diri mau tidak mau harus masuk ruang pendidikan bernama “sekolah”
atau “kampus” agar konon menjadi diri yang terdidik.
Sebenarnya, tidak ada tekanan secara langsung yang memaksa
seseorang mesti masuk sekolah. Akan tetapi, bagi siapa pun yang tidak
masuk sekolah, akan terasing dan diasingkan oleh sosialnya. Sekolah
pada akhirnya menjadi suatu tempat yang mau tidak mau diniscayakan
mesti dimasuki oleh siapa pun. Sebab, tidak sekolah sama artinya akan
menerima perlakuan-perlakuan sinisme dari lingkungan karena dipandang
tidak atau belum terdidik.
Selain itu, tanpa sekolah, mereka akan sulit bertahan hidup, terutama
karena setiap tempat bekerja, selalu menjadikan sertifikasi keterdidikan
atau ijazah sekolahnya sebagai syarat formal dalam menjaring para pekerja.
Tanpa sekolah, berarti hidup tanpa ijazah, dan hidup tanpa ijazah berarti
sulit mendapat pekerjaan.
Demikian, di sini pendidikan kemudian menjadi syarat untuk hidup
serta status sosial untuk diterima sebagai manusia. Semakin tinggi jenjang
pendidikan seseorang, semakin terhormat dan tinggi posisi tawar status
serta penghargaan sosial atas dirinya walaupun seseorang yang berijazah
itu begitu buruk dalam soal pengetahuan.
Sebaliknya, sepandai apa pun seseorang, ia tetap akan sulit diterima
bekerja di mana pun jika dalam hidupnya ia tidak sekolah atau tidak
21
memiliki sertifikasi pendidikan. Oleh karena itu, hanya dalam kemujuran
yang sungguh-sungguh mujur sajalah, seseorang dengan tanpa sertifikasi
sekolah mampu bekerja dan mendapatkan penghargaan sosial sebagaimana
mereka yang terdidik (sekolah).
Gejala ini telah menjadi rahasia umum yang dari ke hari terus terjadi
di dalam realitas hidup yang ada. Di ruang sosial, kondisi-kondisi tersebut
melahirkan berbagai kesenjangan sosial mulai dari kesenangan status,
penghargaan kemanusiaan, ataupun kesejahteraan hidup.
Mereka yang mengenyam sekolah dengan sendirinya akan memiliki
kehidupan jauh lebih layak dan mapan serta jauh lebih dihormati
ketimbang mereka yang tidak bersekolah. Sedangkan, mereka yang tak
sekolah karena tidak memiliki biaya untuk sekolah akan selalu hidup
dalam mata rantai kemiskinan dan hidup situasi yang sepenuhnya
tersingkirkan.
Di sini berbagai kampanye tentang pendidikan yang mengatakan
bahwa pendidikan itu penting guna membela kemanusiaan justru
berimplikasi terbalik menjadi awal muasal lahirnya ironi. Pendidikan
menjadi penyebab pertama lahirnya berbagai tindak dehumanisasi serta
berbagai reduksi kemanusiaan. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin
diterima dan mendapatkan penghargaan secara wajar sebagai manusia
ia harus memasuki ruang pendidikan. Sebaliknya, tanpa pendidikan ia
tidak akan menjadi apa pun, selain manusia malang yang saban hari akan
menerima sinisme serta berbagai alienasi sebab diinferiorkan sebagai diri
yang tidak terdidik, kurang mengerti etika, tidak berpengetahuan, dan
martabat.
Kenyataan ini tentu saja tragedi, hanya saja hingga sejauh ini semua
kalangan nyaris tidak lagi memedulikannya. Dalam banyak kasus, orang
seolah-olah telah memaafkan hal buruk itu sebagai bagian dari keniscayaan
hidup yang tak terelakkan dan mesti terjadi. Betapa dalam hidup,
konon memang selalu mesti terdapat diri yang terlahir dan hidup dalam
22
ketidakberuntungan. Padahal, semua itu tidak muncul dengan sendirinya,
sebaliknya lahir dari sesuatu yang bernama “pendidikan”.
Sayangnya, hingga sejauh ini, tidak ada satu pun dari para pendidik
atau mereka, para diri yang disebut pakar pendidikan, yang kemudian
bersedia merefleksikan dan mengevaluasi kembali mengenai apa,
mengapa, dan bagaimana pendidikan bagi hidup manusia. Benarkah ia
sungguh-sungguh sesuatu hal yang penting sehingga dianggap mesti ada
di hidup mana pun atau justru ia sesuatu hal yang dianggap penting,
sedangkan dalam realitanya, ia bukan sesuatu yang sama sekali memang
dibutuhkan manusia?
Alih-alih “pendidikan” kemudian sebagaimana temuan Charles
E. Silberman, dalam karyanya Crisis in the Classroom: The Remarking of
American Education telah menjadi ruang padat, yang begitu sesak dengan
berbagai jawaban, namun sangat miskin pertanyaan. Sebuah situasi,
menurut George R. Knight, telah menjadi penyebab utama mengapa
makin ke belakang, mindlessnes makin menjamur di pelbagai belahan
dunia, baik Barat ataupun Timur.
Pendidikan diterima secara mapan dan tanpa kewaspadaan. Ia
telah menjadi dogma suci yang tidak perlu dipertanyakan salah benar
relevansi dan koherensinya. Dari dogma tersebut, berbagai diskursus
pendidikan selalu hanya berkutat pada ranah-ranah praksis-pragmatis dan
begitu jauh dari persoalan-persoalan mendasar pendidikan, menyangkut
onto-aksiologis pendidikan, yaitu menyangkut mengenai apa dan mengapa
pendidikan dilaksanakan.
Di stadium ini, dalam kejelasannya, pendidikan diam-diam menjadi
sesuatu hal yang paling simpang siur dan kabur makna keberadaan serta
urgensitasnya. Ibarat rahim, pendidikan yang ada tidak pernah tahu dan
mengerti, diri-diri manusia dengan kualitas seperti apakah yang akan
dilahirkan yang itu menunjukkan bahwa pendidikan berjalan sama sekali
tanpa parameter.
23
Di satu sisi, kita mungkin akan menemukan banyaknya literatur
yang menjelaskan bahwa pendidikan dimaksudkan untuk memperoleh
kemajuan serta melahirkan peradaban. Akan tetapi, sejauh itu tidak satu
pun di antara kita yang tidak pernah mendengar dengan jelas apa dan
bagaimana sebenarnya kemajuan dan peradaban yang dimaksud oleh
pendidikan. Ketidakjelasan ini terjadi pula pada makna etis pendidikan. Ini
bisa ditemukan pada pencanangan pendidikan yang selalu dimaksudkan
guna mengubah manusia menjadi baik.
Pencanangan tujuan tersebut menjadi sesuatu hal yang paling aneh
dan sulit dipahami, terutama karena sejauh ini tidak satu pun pendidikan
mampu menjelaskan apa dan bagaimana sebenarnya manusia yang
dipandang baik. Sedangkan, keyakinan pendidikan dalam memercayai
pengetahuan sebagai instrumen utama untuk membuat manusia menjadi
baik agaknya makin menegaskan betapa pendidikan sejak awal, hadir
sebagai spekulasi filsafat yang begitu simpang siur.
Kesimpangsiuran tersebut terjadi, terutama karena hingga sejauh ini
kita tidak pernah tahu, sejak kapan pengetahuan bisa membuat manusia
menjadi baik. Saat kita melakukan pembacaan-pembacaan sejarah, apa
yang diyakini pendidikan dengan pengetahuan di atas justru hadir dalam
gejala yang sebaliknya. Pengetahuan juga menjadi penyebab utama
semakin canggihnya kejahatan-kejahatan yang dilakukan manusia.
Oleh karena itu, pantas bagi kita untuk mengkritisi keyakinan di
atas. Jika pengetahuan bisa membuat manusia menjadi lebih baik, hingga
sejauh ini dunia pasti tidak lagi memiliki manusia-manusia jahat. Ini bisa
kita dasarkan dengan kenyataan sejarah tempat hidup manusia sejak lama
telah menjadi hidup yang begitu berlimpah pengetahuan.
Sosok Hitler serta orang-orang Nazi, misalnya, tentu saja adalah
orang-orang yang berlimpah dengan pengetahuan. Mereka bukanlah
diri-diri yang bodoh, yang tidak mengenal logika dan pendidikan. Hanya
saja, keberlimpahan tersebut tidak pula mengubah atau menghentikan
24
mereka menjadi diri yang baik. Sementara, di ruang lain, kita juga dapat
menghadirkan contoh yang sama terkait dengan imperialisme di dunia
ini.
Para imperium atau para negeri penjajah, tidak lain adalah
negeri-negeri yang tingkat pengetahuannya jauh maju ketimbang mereka
yang dijajah. Mereka, para negeri imperium, bahkan mampu menciptakan
alat-alat dan teknologi canggih yang tidak bisa dilakukan oleh para negeri
yang terjajah. Hanya saja, kemajuan-kemajuan pengetahuan itu pun tidak
pula mencegah mereka untuk tidak menjajah negeri-negeri lain yang
tingkat pengetahuannya jauh di bawah mereka.
Di ruang ini, pandangan pendidikan yang menyatakan bahwa
pengetahuan dapat membuat manusia menjadi baik, perlu dibahas
dan dikritisi lebih lanjut. Benarkah pengetahuan dapat membuat
manusia menjadi baik? Ataukah, hanya sekadar membawa manusia pada
pengetahuan teoretis tentang nilai-nilai yang dipandang dan disepakati
sebagai kebaikan? Jika memang pengetahuan diyakini mampu membuat
manusia menjadi baik, adakah seluruh pengetahuan memiliki sifat yang
sama atau justru terdapat pengetahuan-pengetahuan tertentu yang bisa
membuat manusia menjadi baik, dan terdapat pula jenis-jenis pengetahuan
yang berimplikasi sebaliknya?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dimunculkan atau pendidikan akan
terus jatuh dalam ilusi-ilusi nilai serta harapan-harapan yang sama sekali
tidak nyata. Seiring dengan makin kuatnya optimisme dan harapan setiap
kalangan terhadap pendidikan, pendidikan justru hanya melahirkan air
mata.
Pendidikan pada akhirnya menjadi semacam mesin raksasa yang
sepanjang waktu secara sistemastis, terus-menerus menjadi rahim dari
lahirnya dehumanisasi. Dari hari ke hari, manusia semakin mengalami
kehilangan tak terperi dengan hidup yang dialaminya sebab dalam
25
keberlimpahannya akan pengetahuan, hidup justru makin sulit disadari
sebagai hidup.
***
Sementara, mengemukanya pandangan yang menyatakan bahwa
pendidikan dipandang penting karena pendidikan dimaksudkan untuk
membimbing, mengarahkan, dan membentuk manusia agar menjadi baik,
agaknya juga sebuah pandangan sangat polemik. Sekilas, pandangan itu
memang terlihat sebagai ungkapan yang tidak bermasalah. Akan tetapi,
jika ditelusuri lebih lanjut, pandangan tersebut ternyata menyimpan
polemik filsafat yang cukup rumit, terutama di ruang ontologis.
Pandangan di atas pertama-tama akan membawa kita pada
pertanyaan masalah otoritas pendidikan sebagai pihak yang merasa
memiliki hak untuk melakukan intervensi sikap-sikap dan pilihan etika
pada setiap individu manusia. Otoritas yang pada ujungnya melahirkan
sebuah berbagai macam pertanyaan, mengapa manusia mesti diarahkan
dan dibentuk? Adakah tanpa pendidikan, manusia tidak bisa baik atau
selalu dalam kondisi jahat sehingga keberadaan pendidikan kemudian
dianggap penting bagi hidup manusia?
Dalam pelacakan lebih lanjut, permasalahan-permasalahan di atas
akan membawa pendidikan pada pemahaman secara holistik tentang
hakikat manusia, sekaligus pemahaman proporsi pendidikan-pendidikan
yang memang dibutuhkan. Dengan demikian, pendidikan tidak menjadi
kedok dari upaya penyeragaman dan pengerdilan manusia untuk tumbuh
menjadi diri yang seragam dan tidak lagi tumbuh. Sayangnya hingga
sejauh ini, sekali lagi, upaya untuk melihat lebih jauh hal-hal mendasar
pendidikan tidak pernah kita temukan. Akibatnya, pendidikan ideal yang
diimpikan selalu hanya jari yang menunjuk bulan.
Pendidikan seperti itu mungkin ada, tetapi ia begitu jauh ada di sana
dan tidak pernah ada di sini. Di sini pendidikan lebih banyak menunjuk
26
ironi dan tragedi. Ironi-ironi dan tragedi itu terus mewabah pada bidang
kehidupan sehingga belakangan lahir banyak keraguan di sebagian
kalangan: mengapa kita masih memercayai bahwa pendidikan adalah hal
yang penting dalam hidup ini, sedangkan tidak ada satu pun sejarah yang
menunjuk secara pasti bahwa terdapat suatu bangsa yang benar-benar
memperoleh hidup sempurna sebab adanya pendidikan?
***
Yunani Lama yang kerap diklaim oleh sebagian kalangan sebagai
Negeri Filsafat, tempat pemikiran berlangsung begitu subur dan
mendalam, misalnya, tetap saja sebuah negeri yang penuh dengan tragedi
dan penderitaan. Penderitaan-penderitaan dan tragedi di sana bahkan
berlangsung dengan begitu tak terbayangkan sehingga Sophocles membuat
ungkapan satir, “Betapa yang terbaik dalam hidup adalah tidak pernah
terlahirkan sama sekali.”
Sementara, Cina sebagai daratan yang juga penuh legenda, juga
memiliki wajah yang tak berbeda. Di Cina sepanjang waktu kehidupan
bahkan tidak pernah berlangsung sebagai hidup yang sungguh-sungguh
menawan dan indah. Dalam kemajuannya mengenai pengetahuan, Cina
ribuan tahun terlibat peperangan tanpa henti yang melahirkan berbagai
penderitaan yang tidak sederhana.
Eropa hari ini, di satu sisi mungkin memang terlihat megah dan
canggih dengan berbagai capaian-capaian teknologinya. Eropa bahkan
memiliki banyak tokoh pemikir yang berhasil melahirkan berbagai macam
teori tentang hidup. Akan tetapi, dalam yang seperti itu, sungguhkah
pendidikan di sana telah menjadi solusi atas berbagai persoalan hidup
yang ada? Adakah pendidikan telah membuat masyarakat Eropa mampu
memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik dan jauh lebih bahagia
ketimbang manusia di belahan dunia yang lainnya?
27
Ini tentu saja sangat relatif. Oleh karena itu, pandangan yang
mengatakan bahwa pendidikan Eropa telah berlangsung dengan jauh lebih
baik ketimbang di Timur tentu saja adalah pandangan yang sangat sempit
dan keliru. Sama kelirunya dengan pandangan yang mengatakan bahwa
Timur telah mengalami berbagai kegagalan dalam wilayah pendidikan,
terutama karena dalam lingkup apa pun, pendidikan selalu menjadi
penting—tidak lain karena pendidikan berkaitan dengan persoalan
mendasar manusia, yaitu dengan hidup.
Dalam skala tersebut, ukuran mendasar keberhasilan pendidikan
tidak lain adalah bagaimana kondisi hidup yang ada, bukan bagaimana
hidup diteorikan. Hal itu sangat terkait dengan bagaimana kondisi riil
kehidupan suatu masyarakat, yang itu terkait dengan beragam kualitas
situasi hidup, mulai dari bagaimana nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya
disadari dan dialami, kepekaan pada sesama, empatif, hingga kebutuhankebutuhan hidup lainnya yang lebih mudah diukur, seperti kesehatan fisik,
sandang pangan, hiburan, keadilan, kenyamanan berpikir, dan kebebasan
dalam memilih dan mengalami kepercayaannya.
Dalam pengertian ini, penilaian bahwa suatu bangsa yang berhasil
meningkatkan taraf ekonomi masyarakat hingga tahapan begitu
berlimpah belumlah bisa dianggap sebagai bangsa yang berhasil dalam
soal pendidikan. Terlebih, jika dalam keberlimpahan itu telah mereduksi
hidup menjadi sekadar perburuan materi, sementara hidup selalu tidak
sekadar persoalan ekonomi semata.
Kondisi sama juga berlaku bagi bangsa yang cenderung melihat
pendidikan sebagai upaya penanaman nilai-nilai hidup. Nilai-nilai itu tidak
bisa dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan. Pengarusutamaan
nilai-nilai moral yang kemudian mengabaikan perbincangan aspek-aspek
materi secara rasional akan lebih banyak melahirkan kesadaran naif dan
hanya melahirkan situasi hidup yang sarat dengan ironi—perilaku korup
menjadi penyakit yang akan diidap setiap diri.
28
Hingga di sini pendidikan seharusnya dimaknai dan disadari
secara utuh. Pendidikan tidak hanya dilihat dari satu sudut pandang
saja, sebaliknya mesti dirumuskan dengan hidup secara holistik.
Dari itu, pertanyaan tentang apa dan bagaimana pendidikan selalu
mesti dihadapkan secara lurus dengan pertanyaan apa dan bagaimana
seharusnya hidup mesti diketahui, disadari, dijalani, dan dihayati. Tanpa
itu, pendidikan hanya akan melahirkan air mata—seluruh pelaksanaan
pendidikan tidak melahirkan solusi bagi hidup siapa pun selain makin
memperburuk situasi hidup yang ada.
Sayangnya, semua itu nyaris tidak pernah kita temukan. Sepanjang
waktu, pendidikan tetap lebih banyak melahirkan persoalan ketimbang
menjadi solusi. Di Indonesia, belakangan ini, pendidikan lebih banyak
terarah pada kepentingan-kepentingan praktis hidup, yaitu melayani pasar
ketimbang membangun kehidupan. Dari itu, keberhasilan-keberhasilan
pendidikan selalu diletakkan dengan ukuran-ukuran pasar, bersifat
pragmatis, mekanistis, dan normatif.
Bertolak dari berbagai problem di atas, kita di sini agaknya perlu
mengkaji lebih lanjut mengenai apa itu pendidikan, untuk apa, mengapa,
serta bagaimana dalam perspektif filsafat. Dengan demikian, kita akan
memperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang hal
ihwal pendidikan berikut berbagai derivasinya.
***
Tugas filsafat pendidikan tidak lain adalah mengantarkan para calon
guru dan para praktisi pendidikan untuk berhadapan dengan pertanyaanpertanyaan besar yang mendasari makna dan tujuan pendidikan. Untuk
itu, mereka mesti akrab dengan isu-isu, semisal hakikat realitas, makna
dan sumber pengetahuan, serta struktur nilai.
Filsafat pendidikan membawa para pelajar pada situasi ketika
mereka secara cerdas menilai tujuan-tujuan akhir alternatif, mengaitkan
29
dengan tujuan-tujuan yang diinginkan, dan menyeleksi metode-metode
pengajaran sesuai dengan tujuan. Secara holistis, tugas filsafat pendidikan
itu membantu para pendidik berpikir secara bermakna tentang totalitas
pendidikan dan proses hidup sehingga mereka selalu berada dalam posisi
yang tepat dan dapat mengembangkan program yang konsisten serta
menyeluruh sehingga para pelajar mampu menjadi diri manusia yang
berkualitas.
Pendeknya, filsafat pendidikan bermaksud memberi bekal kepada
para pendidik untuk menjadi paham tentang persoalan-persoalan
mendasar pendidikan. Dengan demikian, memungkinkan mereka untuk
mengevaluasi dan terus mengembangkan pendidikan menjadi semakin
baik. Secara etis, filsafat pendidikan membekali diri untuk melakukan
pelacakan-pelacakan tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan.
B. Jalan dan Tujuan Filsafat
Persoalan cara atau jalan menuju filsafat masuk ke dalam diskusi filsafat
sejak era periode yang sangat klasik. Di era lama, persoalan-persoalan jalan
atau cara menuju filsafat bahkan telah pula menjadi topik yang banyak
memancing lahirnya berbagai pemikiran, mulai dari Socrates, Plato,
Aristoteles, dan sebagainya. Dari pemikiran-pemikiran itu, kita di hari ini
sekurang-kurangnya dapat menemukan konon terdapat tiga jalan untuk
menuju filsafat: skeptis,3 rasa heran,4 dan kuatnya keingintahuan.
3. Hal yang pertama, yaitu skeptis, tidak lain adalah sikap anonim dari aksiomatis. Jika
aksiomatis adalah sikap menerima segala hal tanpa sikap, skeptis justru sebaliknya menjadi
sikap yang tidak mudah dalam menerima atau meyakini sesuatu yang dikatakan sebagai
kebenaran.
4. Pandangan ini disandarkan pada perkataan Plato yang mengatakan bahwa filsafat berawal
dari rasa heran.
30
Ketiga hal di atas tentu saja sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang,
bahkan telah menjadi menu keseharian setiap diri di dunia kita hari
ini. Dunia kita hari ini begitu sarat dengan ketiga sikap tersebut. Di
satu sisi, misalnya, kita akan menemukan, betapa setiap diri yang ada
telah senantiasa hidup dalam sikap skeptis yang teramat sangat ketat
dan sama sekali tidak mudah percaya pada apa pun. Sementara, di sisi
yang lain, mereka juga terlihat begitu dikendalikan oleh rasa heran dan
rasa penasaran yang begitu berlimpah dan penuh eksplorasi. Hanya saja,
pertanyaannya dalam ketiga situasi tersebut: mengapa di hari ini nasib
filsafat justru menunjukkan situasi yang semakin tidak bijak?
Di satu sisi, buku-buku filsafat mungkin terus ditulis dan dibaca serta
dipelajari di berbagai perkuliahan. Akan tetapi, bersamaan dengan hal
itu, filsafat justru menunjuk situasi yang terus mengalami pendangkalan.
Dengan demikian, muncul sebuah kesan betapa keberadaan filsafat hari
ini hanyalah ikon tragedi yang menegaskan betapa hidup telah dijalani
dengan semangat yang justru sebaliknya. Kenyataan ini membawa kita
pada pertanyaan mendasar filsafat, khususnya tentang persoalan jalan
atau cara menuju filsafat: adakah sesuatu yang salah dari cara-cara atau
jalan yang diterapkan hari ini sehingga filsafat yang pada masa lalunya
melahirkan kedalaman justru makin membawa hidup pada kedangkalankedangkalan pikir yang menyedihkan?
Jika kita telaah dengan saksama, lahirnya berbagai gejala-gejala di atas
sesungguhnya terkait dengan dangkal pemaknaan berbagai kalangan di
dalam menyadari ketiga jalan di atas. Dalam soal skeptis, orang, misalnya
lebih banyak memaknai skeptis semata-mata sebagai sikap yang mudah
tidak percaya apa pun, tidak lebih dan tidak kurang. Padahal, skeptis yang
menjadi jalan filsafat adalah skeptis yang lahir dari pengetahuan, bukan
sebaliknya lahir dari ketidaktahuan.
Oleh karena itu, jika saat sifat filsafat dominan dengan sikap
meragukan, keraguan dalam filsafat bukan didasarkan pada ketidaktahuan,
31
sebaliknya lahir dari pengetahuan guna memperoleh pengetahuan yang
makin utuh dan mendalam. Dalam makna ini, keingintahuan dan rasa
heran yang menjadi jalan filsafat bukanlah rasa heran dan keingintahuan
yang sekadarnya, sebaliknya rasa heran dan keingintahuan yang lahir
dari pengetahuan. Oleh karenanya, saat Plato mengatakan bahwa filsafat
berawal dari rasa heran, rasa heran yang dimaksudkan Plato bukanlah rasa
heran tanpa kualitas, sebaliknya rasa heran yang lahir dari pengetahuan
untuk menuju makin menjadi berpengetahuan dengan mendalam dan
benar.
Dari itu, jika kita lacak, kita akan menemukan betapa jalan menuju
filsafat pertama-tama bukanlah ketiga hal di atas, melainkan adanya
kesadaran eksistensi. Kesadaran akan keberadaan itulah jalan pertama
menuju filsafat. Jalan ini memiliki tekanan etis karena saat seseorang
menyadari keberadaannya, ia akan dihadapkan pada keterdesakan nilai untuk
bermakna. Artinya, ia sadar kebermaknaan inilah jalan utama filsafat.
Saat seseorang menyadari bahwa keberadaannya mesti bermakna ia
kemudian mulai berusaha memahami apa dan bagaimana dirinya serta
apa dan bagaimana hal-hal yang di sekitarnya. Tanpa kesadaran akan
keberadaan rasa keingintahuan, rasa heran serta kuatnya keingintahuan
tidak akan pernah memiliki makna falsafi apa pun selain hanya pelunasan
libido intelektual yang kemudian berujung pada situasi-situasi gegar
kosmologi. Hidup kemudian tidak lagi diketahui ujung pangkal etisnya.
Dalam makna ini, berfilsafat adalah jalan untuk menuju bijak sebab
dengan bijak, kita bisa memperoleh keutamaan-keutamaan hidup yang
bermakna.
Hingga di sini, dapat kita simpulkan bahwa jalan utama filsafat
pertama-tama bukanlah rasa heran, skeptis, atau keingintahuan, melainkan
rasa cinta pada kebermaknaan keutamaan hidup. Keberadaan rasa cinta
itulah yang membuat para filsuf puluhan abad yang lalu kemudian
sepanjang waktu terus berupaya memperoleh kebijaksanaan. Meski
32
harus dipahami, cinta pada kebijaksanaan tidak selalu secara serta-merta
membuat seseorang menjadi filsuf atau menjadi seseorang bijaksana.
Hanya saja semakin besar cinta seseorang pada kebijaksanaan, semakin
jauh pula ia dimungkinkan untuk berfilsafat dan berpikir jauh lebih
bijaksana dari sebelumnya.
Keberhasilan filsafat selalu sama dengan keberhasilan cinta. Di dalam
keberhasilan cinta dibutuhkan kemurnian dan kesetiaan. Dalam ruang
pikir, kesetiaan ini akan membawa seseorang untuk secara konsisten
terus melacak persoalan-persoalan yang dihadapi sehingga ia pun mampu
menyikapi segala sesuatu dengan utuh dan bijak. Selain kesetiaan,
berfilsafat juga membutuhkan kerendahan hati.
Tanpa kerendahan hati, seseorang tidak akan sanggup menyaksikan
kebenaran lain dari yang ditemukannya, yang hal itu pasti akan
membuatnya berhenti dalam kesimpulan-kesimpulan yang dangkal.
Padahal, pemahaman yang hendak dicapai filsafat bukanlah pemahaman
yang dangkal, melainkan pemahaman yang mendalam dan utuh. Selain
setia dan rendah hati, filsafat juga menekankan kejujuran. Terdapat
ungkapan menarik Plato dalam soal jujur dalam menyadari kebenaran,
“Saya,” begitu kata Plato, “tentu saja cinta dengan Socrates, dia bahkan
guru saya. Akan tetapi, saya jauh lebih cinta pada kebenaran.”
Di sini, di masa lalunya, para filsuf selalu lahir menjadi diri
pribadi yang begitu rendah hati, pandai mendengarkan pandangan dan
pemikiran orang lain di sekitarnya. Mereka tahu dan sadar bahwa yang
mereka cari bukan apa pun, melainkan pemahaman dan kebijaksanaan
yang mendalam. Dari dan dengan pemahaman dan kebijaksanaan yang
mendalam itu, mereka kemudian mampu menyikapi segala sesuatu penuh
kebijaksanaan. Filsafat dalam pengertian teknis meliputi tiga aspek, yaitu
aspek aktivitas, serangkaian sikap, dan sebuah keterpaduan isi.
***
33
Sementara, pola kerja intelektual filsafat dengan didasarkan pada
apa yang dilakukan para filsuf, dapat kita dibedakan menjadi beberapa
tahapan, yaitu tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam beberapa literatur lain,
tiga hal ini kerap dibedakan menjadi empat istilah, yaitu sintesis, spekulasi
(merenung), preskripsi, dan menganalisis. Hanya saja, pembagian ke
dalam empat tahapan ini terlihat cenderung melahirkan berbagai tumpang
tindih dan melahirkan berbagai kebingungan-kebingungan asosiasi.
Pembedaan tahapan ke dalam empat tipe tersebut justru lebih banyak
akan melahirkan kesimpangsiuran linguistik karena ketidakmendasaran
logika asosiasi makna masing-masing istilah.
Dalam tahapan sintesis, misalnya, seseorang tidak mungkin lepas
dari kerja-kerja spekulasi, preskripsi, sekaligus analisis. Hal ini sangat
terpahami karena sebuah sintesis tidak mungkin lahir dari ruang kosong
atau nir-pengetahuan. Artinya, bersamaan ketika seseorang melakukan
sintesis, seseorang juga melakukan spekulasi-spekulasi serta preskripsipreskripsi dan analisis.
Jika demikian adanya, relevansi pembedaan, sintesis sebagai tahapan
yang berbeda dengan spekulasi, preskripsi, serta analisis menjadi hal
yang sama sekali tidak relevan, bahkan akan membuat gagasan persoalan
metode yang hendak dijabarkan justru menjadi semakin kabur. Dalam
pemikiran itu, penulis lebih memilih aktivitas intelektual filsafat lebih
tepat jika dibedakan ke dalam tiga kategori sebagaimana kita paparkan di
atas, yaitu: tesis, antitesis, dan sintesis.
Tesis adalah spekulasi awal, praduga ilmu atas sesuatu hal. Praduga
ini tentu saja lahir dari pandangan-pandangan umum yang membuat
seseorang membuat spekulasi tentang sesuatu hal. Praduga ini akan
mengalami verifikasi dan falsifikasi atau tahapan antitesis. Dari verifikasi
dan falsifikasi ini, kita kemudian membuat berbagai analisis sehingga
melahirkan sintesis atau pandangan yang lahir dari berbagai perenunganperenungan secara mendalam dan menyeluruh.
34
Dalam konteks filsafat pendidikan, pendidikan sesungguhnya
termasuk pula sesuatu yang lahir dari spekulasi atau tesis filsafat
atas hidup manusia yang telah mengalami berbagai perenungan dan
analisis atau mengalami antitesis dan sintesis berulang-ulang sehingga
ia kemudian diterima sebagai kebenaran dan melahirkan suatu premis
bahwa pendidikan penting bagi hidup manusia karena makna etisnya.
Pendidikan diyakini dapat membawa manusia menjadi baik. Hal yang
sama juga berlaku pada pandangan pengetahuan sebagai instrumen yang
digunakan pendidikan.
Dalam ruang pendidikan praksis, pandangan-pandangan di atas
tidak lagi dipersoalkan karena ia telah menjadi nilai dan landasan bagi
pelaksanaan aktivitas pendidikan yang ada. Hanya saja, dalam ruang
filsafat, pandangan-pandangan tersebut menjadi sesuatu hal yang belum
bisa diterima. Sebaliknya, ia mesti dikritisi dan dianalisis antara relevansi
transformasi pengetahuan bagi perilaku etis manusia dan berbagai sikap
kritis. Adakah terdapat hubungan yang signifikan antara perbuatan
jahat dan tidak tahu itu? Adakah pula hubungan yang signifikan antara
berpengetahuan dan berbuat baik. Sedangkan, dalam banyak kasus,
keberlimpahan pengetahuan selalu tidak mencukupi untuk mencegah
seseorang dari perbuatan yang tidak bermoral?
C. Episteme Filsafat
Kemudian, selain hal di atas, filsafat juga dibimbing tiga hal utama, yang
kerap disebut “episteme filsafat” atau tata cara dalam berfilsafat. Pertama,
ontologi; kedua, epistemologi; dan ketiga, adalah aksiologi. Ontologi kerap
disadari sebagai bidang filsafat yang membahas pertanyaan-pertanyaan
tentang hakikat realitas. Kemudian, epistemologi berkenaan dengan
hakikat kebenaran dan pengetahuan serta kajian tentang bagaimana
kebenaran dan pengetahuan itu diperoleh. Sedangkan, aksiologi mengacu
35
pada kajian tentang persoalan nilai—mulai dari pengertian baik, buruk,
dan lain sebagainya.
Dari ketiga sistematika ini, filsafat umumnya dimulai dari pertanyaan
ontologi, baru kemudian aksiologi, selanjutnya memasuki epistemologi.
Ini bisa diandaikan, misalnya, saat salah seorang di antara kita di jalan
tiba-tiba menemukan sebuah besi pipih dengan panjang 20 cm, yang
sebagian sisinya tumpul, sedangkan sisi yang lain tajam. Seketika, saat
melihat itu, kita pasti akan bertanya, benda apakah itu? Pertanyaan “benda
apakah itu” termasuk bagian dari pertanyaan ontologis.
Lalu, dari pertanyaan itu kita pun kemudian menjadi tahu bahwa
benda itu disebut pisau. Kita pasti akan bertanya kembali, apakah pisau itu?
Saat itu kita tidak mungkin menemukan jawaban apa pun mengenai pisau
kecuali kita berusaha memahami hal ihwal pisau. Maka, kita pun bertanya
secara aksiologis, “Untuk apakah pisau itu?”
Begitulah pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membawa kita
berpikir tentang bagaimana cara mengetahui hal ihwal pisau—mulai
dari hakikat entitasnya, bahan dasarnya, cara pembuatannya, hingga
fungsi-fungsinya. Gagasan tentang tata cara dalam mengetahui hal ihwal
pisau ini dalam filsafat disebut epistemologi. Sedangkan, pengetahuan
tentang hakikat entitas pisau disebut sebagai pengetahuan ontologi dan
hasil pemikiran-pemikiran tentang fungsi-fungsi kegunaan pisau masuk
dalam ruang aksiologi.
Di sini, sampailah kita pada pengetahuan filsafat pisau, yaitu
pengetahuan mulai dari apa, mengapa, dan bagaimana pisau itu. Dari
pengetahuan itu, kita pun kemudian mampu secara bijak menggunakan
pisau sesuai dengan batas-batas fungsi, hakikat, dan asal muasal serta
kapasitas pisau.
Jadi, sesederhana itulah filsafat. Filsafat tidaklah rumit dan berat,
tetapi begitu sederhana, bahkan mungkin selalu sederhana. Hanya saja,
karena dalam perkembangannya filsafat lebih banyak hanya dipahami
36
sebagai kerja pemikiran, kemajuan filsafat menjadi kemajuan alienatif
yang justru mengalienasi kesadaran para muridnya.
Sifat alienasi ini belakangan sebenarnya bukan hanya menjadi
gejala filsafat, melainkan juga telah menjadi gejala kolektif di banyak lini
kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan dinilai tidak
lagi memiliki makna apa pun bagi tata kehidupan yang ada selain hanya
memajukan secara material.
Segala sesuatu yang disadari dengan pengetahuan yang tidak utuh
(tidak falsafi) akan cenderung dialami sebagai sesuatu yang tidak utuh
pula. Itulah alienasi. Pengetahuan, harta, spiritual, dan politik adalah
berkah kehidupan yang seharusnya tidak pernah melahirkan alienasi apa
pun. Namun, karena ia dipahami secara tidak utuh (tidak falsafi), semua
itu dialami pula dengan tidak utuh.
Di sini, kemajuan pengetahuan yang pada mulanya sebagai berkah
sebab tanpa filsafat yang benar, kemudian memunculkan situasi sebaliknya,
sama dengan harta, spiritual, politik, serta berbagai hal kehidupan
lainnya, yang justru menjadi penyebab utama lahirnya keterasingan dan
kehancuran peradaban dimulai.
D. Cabang-Cabang Filsafat
Filsafat tidak lain adalah mengetahui secara utuh dan saksama, menyikapi
dengan bijak, dan mengalaminya dengan penghayatan yang benar. Dari
itulah, di dunia ini sebenarnya, tidak ada politik yang jahat, agama
yang keliru, pengetahuan yang menyengsarakan, ataupun spiritual yang
melahirkan keterasingan jika ia dipahami secara utuh dan saksama (baca:
dengan filsafat yang benar).
Sebaliknya, kitab suci, sesuatu yang bagi siapa pun selalu berkesan
suci, jika dipahami tanpa pengetahuan yang bijak, bisa menjadi menjadi
alat pembunuh yang begitu dingin dan buta. Ini tak berbeda dengan
37
agama atau sebuah sikap kebertuhanan apa pun. Di sebuah zaman,
kesadaran akan Tuhan, suatu ketika memang membawa bangsa tersebut
pada hidup yang begitu indah, maju, dan penuh surga.
Namun, di zaman yang lain, sikap kebertuhanan yang sama justru
menunjukkan situasi paling binatang di antara binatang. Atas nama
Tuhan, sekelompok manusia dengan kejam membunuhi sekelompok
manusia lainnya tak ubahnya membunuh kawanan binatang. Maka, dalam
hidup ini, filsafat selalu tidak memadai jika diartikan sebagai sesuatu yang
muncul dari rasa heran atau takjub. Sebaliknya, ia lahir dari kondisi halus
bernama cinta, yaitu cinta kebijaksanaan.
Di sini filsafat sesungguhnya bukanlah sesuatu yang hadir di tengah
zaman ketika manusia belum berpengetahuan. Sebaliknya, filsafat lahir
ketika keberlimpahan pengetahuan tidak lagi membawa manusia pada
pengetahuan, sikap, serta penghayatan yang bijaksana. Filsafat bukan
antitesis dari mitos. Ia bukanlah sesuatu yang hadirnya menjadi tanda
bagi berakhirnya mitologi. Sebaliknya, ia hadir ketika pengetahuan dan
mitologi tidak lagi memberi kesembuhan bagi hidup yang ada.
Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam
tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. “Sesuatu” di sini dapat berarti
terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Jika terbatas, filsafat
membatasi diri akan hal-hal tertentu saja. Akan tetapi, jika tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan
filsafat umum. Sementara itu, filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu,
filsafat pendidikan, filsafat seni, dan lain-lainnya.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam.
Maka, dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang
sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena
kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia
saja, sesungguhnya isi alam yang dapat dinikmati hanya sebagian kecil saja.
Ini dapat diumpamakan dengan gunung es, yaitu ruang keilmuan biasa
38
hanya akan mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Sedangkan,
filsafat menyelami hingga ke dasar gunung, bahkan mampu meraba pada
hal-hal yang ada di pikiran dan renungan yang kritis.
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan
dan sikap yang sangat kita junjung. Ini adalah arti formal berfilsafat. Dua
arti filsafat, “memiliki dan melakukan”, tidak dapat dipisahkan satu dari
lainnya. Oleh karena itu, jika kita tidak memiliki suatu filsafat dalam arti
formal dan personal, kita tidak akan dapat melakukan filsafat dalam arti
“kritik” dan “reflektif ” (reflective sense) meski memiliki filsafat saja tidak
cukup untuk melakukan filsafat. Sikap filsafat yang baik tidak lain adalah
sikap kritis dan mencari. Sikap itu adalah sikap terbuka dan toleran, serta
bersedia melihat segala sudut persoalan tanpa prasangka. Berfilsafat tidak
hanya berarti “membaca dan mengetahui filsafat”.
Filsafat juga merupakan upaya analisis logis dari bahasa serta
penjelasan tentang arti kata dan konsep. Dari upaya analisis logis
tersebut, setiap filsuf selalu menggunakan metode analisis serta berusaha
menjelaskan pemakaian bahasa yang mereka gunakan dalam filsafatnya.
Sebagian kalangan berpandangan bahwa itulah tugas pokok filsafat.
Hanya saja, dalam perkembangannya, filsafat dipahami sebagai satu
disiplin yang berusaha mengklasifikasikan kebenaran masing-masing yang
ditemukan oleh setiap disiplin. Hal ini menyangkut jenis kebenaran dalam
filsafat, termasuk salah satunya kebenaran koherensi dan korespondensi.
Sementara, dalam garis besarnya, filsafat memiliki beberapa cabang utama:
metafisika, epistemologi, logika, etika, dan estetika.
1. Metafisika
Metafisika kerap dikenal sebagai the first philosophy atau filsafat
pertama yang berusaha membicarakan prinsip-prinsip yang universal atau
hal-hal yang bersifat beyond nature. Di sini metafisika meninjau hakikat
segala sesuatu atau hakikat realitas yang terdapat di alam ini. Metafisika
39
membicarakan watak mendasar (ultima) setiap benda atau realitas yang
berada di belakang pengalaman yang langsung. Dari itu “ada” sebuah
kata yang begitu sederhana di ruang metafisika menjadi topik bahasan
yang tidak pernah sederhana. Metafisika, misalnya, akan membawa kita
dalam perenungan-perenungan tentang apa dan bagaimanakah ada itu,
apa dan bagaimanakah yang disebut ada? Apa dan bagaimanakah tidak
ada itu, apa dan bagaimanakah yang disebut tidak ada itu? Samakah ada
dan wujud? Samakah tiada dan tidak ada?
Begitulah metafisika membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan
kontemplatif: apakah sesuatu yang benar-benar ada itu? Apakah ia yang
ada secara materi atau justru ada secara ide? Pertanyaan-pertanyaan
ini menjadi dasar kajian metafisika. Sepintas, pertanyaan-pertanyaan
itu memang begitu sederhana sehingga siapa pun untuk kali pertama
akan melihat betapa persoalan ini begitu terlihat main-main dan tidak
berguna.
Hanya saja, jika direnungkan lebih jauh, akan terlihat betapa
metafisika memiliki peran fundamental yang bahkan tak tergantikan
oleh apa pun. Metafisika menjadi dasar bagi lahirnya pemikiran filsafat
apa pun, terutama karena masing-masing keberadaan selalu hadir dengan
relatif. Tuhan, misalnya, selalu diyakini oleh siapa pun sebagai sesuatu
yang ada. Lebih jauh, Dia bahkan selalu disadari ada di mana pun. Hanya
saja, adakah keberadaan Tuhan sama dengan keberadaan sebuah gelas
atau sebuah buku, misalnya. Jika Tuhan memiliki keberadaan yang sama
dengan sebuah gelas atau sebuah buku, secara serta-merta Tuhan tidak lagi
akan disadari sebagai Tuhan. Contoh kerelativitasan keberadaan adalah
saat kita hendak minum lalu terpikirkan dalam kita gagasan tentang gelas.
Bersamaan dengan pikiran kita memikirkan gelas, gelas itu tentu saja ada,
tetapi keberadaan gelas dalam pikiran tersebut memiliki sifat yang berbeda
dengan keberadaan gelas secara empiris.
40
Adapun dalam pembagiannya, pertanyaan-pertanyaan metafisika
kerap dibedakan menjadi empat tipe: pertama, terkait dengan aspek-aspek
kosmologis. Kosmologis berarti mencakup kajian tentang awal mula dan
teori-teori hakikat perkembangan kosmos sebagai satu kesatuan yang
teratur meski terdapat kalangan yang menganggap persoalan-persoalan
ini termasuk bidang kosmogoni. Sedangkan, kosmologi lebih pada makna
keberadaan alam semesta dan kehidupan yang ada secara umum. Corak
ini dapat kita temukan dalam filsafat keagamaan tertentu yang terarah
pada tujuan sejarah dan kosmos, termasuk tema-tema yang menyangkut
persoalan hakikat ruang dan waktu.
Kedua, metafisika teologis. Metafisika teologi adalah bagian dari
teori keagamaan yang memperbincangkan konsep-konsep seputar Tuhan.
Apakah Tuhan itu? Apakah ia sungguh-sungguh ada? Jika memang ada,
seperti apakah keberadaannya? Adakah keberadaan Tuhan sama dengan
keberadaan alam semesta ini, yaitu berada dalam dimensi ruang dan waktu
atau justru ia memiliki keberadaan yang berbeda?
Sementara, pertanyaan metafisika ketiga adalah metafisika
antropologis. Di sini metafisika berkaitan dengan keberadaan manusia.
Dalam Antropologi, seseorang diajak untuk bertanya dan mempertanyakan
hakikat dirinya secara umum, sebagai manusia, atau secara khusus sebagai
pribadi. Secara umum, ia mungkin akan bertanya sejak kapan makhluk
bernama manusia itu ada dan mengalami hidup di muka bumi ini?
Bagaimanakah kehidupan manusia untuk kali pertama
kemunculannya? Apakah manusia terlahir sebagai makhluk yang buruk
atau justru terlahir baik? Atau, bukan keduanya, sebaliknya netral?
Apakah manusia memiliki jiwa? Jika manusia dikatakan memiliki jiwa,
lantas apakah jiwa itu? Manusia sering dikatakan sebagai makhluk yang
memiliki akal budi, lantas apakah akal budi tersebut? Di sini berbagai
macam pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian terefleksikan ke dalam
41
berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam perencanaan dan praktik
pendidikan.
Kemudian, metafisika ketiga adalah metafisika ontologi. Ontologi
merupakan kajian tentang hakikat yang “ada” atau apa arti “ada” itu? Tugas
ontologi adalah menentukan apa yang kita maksudkan sebagai sesuatu
yang ada. Pertanyaan-pertanyaan ontologi antara lain: apakah realitas dasar
itu materi atau justru imateri? Apakah ia bersifat tetap atau justru berubah?
Apakah realitas itu bersifat independen atau justru dependen?
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling
kuno. Studi ontologi selalu terproyeksi untuk memahami apakah “ada”
itu. Di Yunani, filsuf yang begitu berlimpah dalam membahas persoalan
ontologi di antaranya adalah Thales , Plato , dan Aristoteles . Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan
dan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan
asal mula segala sesuatu. Namun, yang lebih penting ialah pendiriannya
bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka
(sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri). Hakikat
kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
i. Kuantitatif. Dalam sudut pandang kuantitatif, kita akan dibawa untuk
bertanya: apakah kenyataan itu bersifat tunggal atau jamak?
ii. Kualitatif. Sementara, dalam sudut pandang kualitatif, kita akan
diajak mempertanyakan: apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti daun yang memiliki warna kehijauan atau
bunga mawar yang berbau harum. Di sini kualitas berkaitan dengan
situasi atau kondisi.
Secara sederhana, ontologi dapat pula dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran
42
dalam bidang ontologi antara lain adalah idealisme, realisme, naturalisme,
dan empirisme.
Istilah terpenting dalam ontologi antara lain: “yang ada” (being),
“kenyataan atau realitas” (reality), “eksistensi” (existence), “esensi” (essence),
“substansi” (substance), “perubahan” (change), “tunggal” (one), dan “jamak”
(many). Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami
secara menyeluruh dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris
(misalnya, antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika,
ilmu teknik, dan sebagainya).
2. Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos
(kata, pembicaraan, ilmu). Secara umum, epistemologi adalah cabang
filsafat yang mengkaji sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,
dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering
diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu
pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya
dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan hakikat
ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian atau analogi, dasar-dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang
dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan pancaindra dengan berbagai metode, di antaranya metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis,
dan metode dialektis.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber-sumber
kebenaran, validitas pengetahuan. Dari pengertian tersebut, epistemologi
berusaha menjawab apakah itu kebenaran? Bagaimana kita mengetahuinya?
43
Di sini seseorang akan diajak memahami mungkin dan tidaknya realitas
diketahui.
Perbedaan landasan ontologi menyebabkan perbedaan dalam
menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan
yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan
pengalaman, serta intuisi merupakan sarana mencari pengetahuan
yang dimaksud dalam epistemologi sehingga dikenal model-model
epistemologi, seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi, dan sebagainya.
Epistemologi juga membahas kelebihan dan kelemahan suatu model
epistemologi beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti
teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan intersubjektif. Pengetahuan
merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya.
Pengetahuan dapat diperoleh dari akal sehat antara lain melalui
pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan
sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat
kabur dan samar. Oleh karenanya, pengetahuan yang diperoleh dari akal
sehat merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Sementara, ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis
dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan
nalar logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika, dan
statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan
induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan
teoretis dan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten
dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan
yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah, berbagai
penjelasan teoretis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan
kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari
kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain
44
yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya
teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan,
cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan
tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja
tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian
pula, apa yang kita yakini karena kita amati, belum tentu benar sebab
penglihatan kita dimungkinkan mengalami penyimpangan. Itulah
sebabnya, ilmu pengetahuan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Epistemologi terkadang juga disebut “logika”, yaitu ilmu tentang
pikiran. Logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika
mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya,
seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran,
dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
***
Dalam sejarahnya, epistemologi di Yunani dipelopori para Sophis.
Mereka itulah individu pertama yang secara sadar mempermasalahkan
segala sesuatu. Epistemologi juga kerap dikaitkan dengan suatu disiplin
yang disebut Critica. Critica adalah pengetahuan sistematis mengenai
kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan
yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya
mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang
benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme sebagai
suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada
tempatnya.
Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas tampak jelas bahwa
hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas
pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
45
E. Sumber-Sumber Pengetahuan
Sumber-sumber pengetahuan terbagi menjadi empat: akal, hati, intuisi,
serta wahyu. Indra digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik
atau lingkungan di sekitar kita. Indra ada bermacam-macam, yang
paling pokok ada lima (pancaindra), yaitu indra penglihatan atau mata
yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu
benda; indra pendengaran atau telinga yang membuat kita membedakan
macam-macam suara; indra penciuman (hidung), untuk membedakan
bermacam bau-bauan; indra perasa atau lidah yang membuat kita bisa
membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indra peraba atau kulit
yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu
benda.
Pengetahuan lewat indra disebut juga pengalaman bersifat empiris dan
terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indra sebagai sumber
pengetahuan yang utama atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan
menghasilkan aliran yang disebut “empirisme”. Tokoh yang menjadi
pelopor antara lain adalah John Locke5 (1632–1704) dan David Hume
dari Inggris.6
5. John Locke lahir 29 Agustus 1632 dan meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun.
Ia dikenal sebagai filsuf Inggris yang cukup populer, terutama dalam aliran empirisme.
Sementara, dalam filsafat politik, Locke kerap dikenal sebagai filsuf liberal. Bersama Isaac
Newton, Locke menjadi salah satu figur terpenting Era Pencerahan. Kehadirannya kerap
dianggap tanda dari lahirnya era modern dan juga era pasca-Descartes (post-Cartesian),
ketika pendekatan Descartes tidak lagi menjadi pendekatan yang dominan di dalam filsafat
waktu itu. Pemikiran Locke cenderung menekankan pentingnya pendekatan empiris serta
eksperimen dalam ilmu pengetahuan. Locke banyak melahirkan beragam karya, mulai
dari filsafat, pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis. Karya-karya terpentingnya antara
lain Essay Concerning Human Understanding, Letters of Toleration, dan Two Treatises of
Government.
6. Ia lahir di Skotlandia 26 April 1711 dan meninggal 25 Agustus 1776 pada umur 65
tahun. Hume kerap dipandang sebagai satu figur penting dalam perkembangan pemikiran
filsafat Barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun kebanyakan ketertarikan karya
46
Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis
sejati akan mengatakan indra adalah satu-satunya sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya dan pengetahuan indrawi adalah satu-satunya
pengetahuan yang benar.
Akan tetapi, jika hanya mengandalkan pengetahuan semata-mata
kepada indra, jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan
indra sering tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya, pensil yang
dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus.
Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran yang sebenarnya
ternyata jauh lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak
bisa kita dengar. Belum lagi, jika alat indra kita bermasalah, sedang sakit
atau sudah rusak. Semakin sulitlah bagi kita untuk hanya mengandalkan
indra dalam mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal atau rasio merupakan fungsi organ yang secara fisik bertempat
di dalam kepala, yaitu otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada
pada indra. Akallah yang dapat memastikan bahwa pensil dalam air itu
tetap lurus dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit.
Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya
menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu tanpa terikat pada fakta-fakta
khusus. Akal dapat mengetahui hakikat umum kucing tanpa harus
Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan
penghormatan. Karyanya The History of England merupakan karya dasar dari sejarah
Inggris untuk 60 atau 70 tahun sampai karya Macaulay. Hume merupakan filusuf
besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Filosofi ini sebagian
mengandung penolakan atas prevalensi atas konsepsi pikiran manusia sebagai miniatur
kesadaran suci; sebagaimana pernyataan Edward Craig yang dimasukkan dalam doktrin
Image of God. Doktrin ini diasosiasikan dengan kepercayaan dalam kekuatan akal manusia
dan penglihatan dalam realitas, yaitu kekuatan yang berisi seritikasi Tuhan. Hume sangat
dipengaruhi oleh empirisis John Locke dan George Berkeley, dan juga bermacam penulis
berbahasa Prancis, seperti Pierre Bayle dan bermacam figur dalam landasan intelektual
berbahasa Inggris, seperti Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith,
dan Joseph Butler.
47
mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya,
kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, tetapi melalui
kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat
bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu
itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain
substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau
masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya
atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar. Pandangan ini melahirkan apa yang dikenal sebagai aliran
rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes (1596–1650) dari
Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang
diperoleh melalui indra sebagai semu, palsu, dan menipu.
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak
diketahui dengan pasti—ada yang menyebut jantung, ada juga yang
menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa
pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran tanpa melalui
proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi
dapat muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun
tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang, ia datang saat kita tengah
jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main
catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan
intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, tampaknya ia tidak jatuh ke
sembarang orang, hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir
keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan
daya pikirnya dan mengalami kemacetan, ia lalu mengistirahatkan
pikirannya dengan tidur atau bersantai. Pada saat itulah, intuisi
berkemungkinan muncul. Oleh karena itu, intuisi sering disebut
48
supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio dan hanya
berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal, namun menemui
jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh akal,
yaitu pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal terpagari oleh
kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724–1804),
membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung
tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena.
Akal hanya dapat menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena),
sementara hati dapat mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang
apa pun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi
(meng-umum-kan) dan spasialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya
tidak akan mengerti keunikan-keunikan kejadian sehari-hari. Hati dapat
memahami pengalaman-pengalaman khusus, termasuk pengalaman yang
bersifat eksistensial, yaitu pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan
langsung, bukan melalui konsepsi akal.
Akal tidak dapat mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya.
Bagi akal, waktu dalam hidup bahkan akan dialami sebagai sesuatu yang
sama. Oleh karena itu, ukuran akal kerap bersifat general, dan ini berbeda
dengan hati. Hati juga dapat merasakan pengalaman religius, berhubungan
dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman
menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling dapat
dipercaya dibandingkan sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas
filsuf Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah
Suhrawardi dengan konsep Isyraqi atau iluminasionisme, yang kemudian
diteruskan Mulla Shadra (1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan
oleh Henry Bergson.
49
Selain indra akal dan hati, terdapat pula sumber pengetahuan lain
yang disebut “wahyu”. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari
Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama.
Namun, sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan
intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang
paling tinggi dan hanya nabi yang dapat memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran
empirisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisme masih
memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan
ilmuwan Barat. Sedangkan, dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat
terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme,
‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua.
F. Teori-Teori Kebenaran
Dalam hal ini, dikenal empat parameter kebenaran yang diterima secara
umum dalam filsafat, antara lain:
1. Korespondensi. The correspondence theory of truth. Dalam teori ini,
kebenaran dianggap sebagai kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pendapat dan fakta di lapangan. Oleh karena itu, pandangan
apa pun yang tidak memiliki pemerian dengan realita akan dianggap
salah. Sebuah pernyataan dikatakan benar jika sesuai dengan fakta atau
kenyataan. Contoh pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang
yang ditempatinya” adalah benar karena kenyataannya demikian.
“New York ada di Amerika ” adalah benar karena sesuai dengan fakta
(bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi.
2. Koherensi. The consistence theory of truth. Dalam teori ini, kebenaran
tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dan sesuatu yang
lain, seperti fakta atau realitas. Akan tetapi, atas hubungan antara
putusan-putusan. Dengan kata lain, kebenaran ditegaskan atas
50
hubungan antara yang baru itu dan putusan-putusan lainnya yang
telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu. Sebuah
pernyataan dikatakan benar apabila konsisten dengan pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Contoh pernyataan “Jackson akan
mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya bahwa “semua
manusia akan mati” dan “Jackson adalah manusia”. Terlihat di sini,
logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi.
3. Pragmatik. The pragmatic theory of truth. Teori ini mempunyai
arti benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori
tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Sebuah
pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi
praktis. Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara
koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori keilmuan yang
sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, yang diambil
adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni dapat
cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama dengan satu
pernyataannya, misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik
dalam pengertian pandangan itu menopang nilai-nilai hidup manusia
dan menjadikannya teratur, terlepas dari apakah Tuhan itu ada
dan sesuai dengan fakta atau tidak. Dari keempat teori tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan
fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut
bagi kehidupan manusia.
4. Aksiologi. Aksiologi berasal dari kata Yunani, yaitu axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan, logos berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat
nilai, aksiologi merujuk pada pemikiran atau suatu sistem, seperti
politik, sosial, dan agama.
51
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan
sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai
atau yang dapat kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free).
Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai
atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang, mana yang lebih
unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan
pada keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut paham bebas nilai, kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi karena ketiadaan
hambatan dalam melakukan penelitian, baik dalam memilih objek
penelitian, cara yang digunakan, maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan, bagi ilmuwan penganut paham nilai terikat, perkembangan
pengetahuan akan terjadi sebaliknya karena dibatasinya objek penelitian,
cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian, paham pengetahuan yang disandarkan pada teori
bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang
tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia,
ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi
manusia. Di sisi lain, menjadi hal yang tidak mengherankan jika seorang
Carl Gustav Jung membuat satu ungkapan, “Betapa bukan lagi Goethe
yang melahirkan Faust, melainkan Faust-lah yang kemudian melahirkan
Goethe.”
G. Etika
Di beberapa literatur, etika kerap dimasukkan ke dalam aksiologi, yaitu
dideretkan dengan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas
secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih
fokus pada perilaku, norma, dan adat istiadat manusia. Etika merupakan
salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya, ia telah menjadi pembahasan
52
menarik sejak masa Socrates dan para Sophis. Di situ dipersoalkan masalah
kebaikan, keutamaan, keadilan, dan sebagainya.
Etika dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis, dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi pandangan-pandangan
moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat,
wejangan, dan adat istiadat manusia.
Berbeda dengan norma, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan
atau perintah dan larangan, tetapi sebuah pemikiran yang kritis dan
mendasar. Tujuan etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Dalam perkembangan sejarah, etika terdiri dari empat teori etika
sebagai sistem filsafat moral, yaitu hedonisme, eudemonisme, utilitarisme,
dan deontologi. Hedonisme adalah pandangan moral yang menyamakan
baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme
menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan: kebahagiaan.
Selanjutnya, utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum
adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan
perintah-perintah Ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.
Selanjutnya, deontologi adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan
oleh Immanuel Kant.7
Menurut Kant, yang dapat disebut “baik” dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas
atau dengan syarat. Misalnya, kekayaan manusia akan menjadi baik
apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu,
7. Ia bernama Immanuel Kant. Ia lahir sebagai anak keempat dari seorang pembuat pelana
kuda di Kota Konigberg pada 1724 M. Konon, beberapa nenek moyangnya adalah
pendatang dari Skotlandia. Dia berkembang sebagai seorang Kristen yang saleh. Kant
identik dengan keluhan dan banyak mengkhawatirkan kematian dirinya. Namun begitu,
Kant banyak melahirkan karya-karya filsafat, khususnya yang paling populer adalah
pemikiran-pemikirannya yang mengulas persoalan etika (Abdullah, 2002).
53
cabang lain aksiologi, yaitu estetika, dibahas dalam sesi lain. Estetika
membicarakan indah dan tidak indah.
***
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos. Istilah
ini memiliki makna cukup mustarak (baca: beragam), kadang diartikan
sebagai tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, terkadang
pula diartikan sebagai adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, ataupun cara
berpikir.
Dalam bentuk jamak, istilah ini menjadi ta etha yang berarti adat
kebiasaan. Sedangkan, secara terminologis, etika memiliki tiga makna: (1)
etika sebagai kumpulan nilai-nilai atau asas tentang hak dan kewajiban
moral atau akhlak; (2) etika sebagai nilai-nilai benar salah, baik buruk
yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat; dan (3) etika sebagai
ilmu pengetahuan tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang
hak dan kewajiban moral.
Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoretis
tentang nilai, dan ilmu kesusilaan yang memuat dasar berbuat susila.
Sedangkan, moral pelaksanaannya dalam kehidupan. Jadi, etika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia, cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik. Etika merupakan filsafat
tentang perilaku manusia.
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat.
Masalah moral tidak dapat dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih
untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.
Sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali
dari nilai-nilai etika agama. Untuk itulah, kemudian terdapat rumusan
pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan
pemecahannya, yaitu dengan menggunakan pendekatan etika-moral,
54
setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang
mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru,
pemerintah, pendidik, maupun masyarakat luas.
Artinya, pendidikan diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri, dan kreatif—tidak
hanya pada siswa, tetapi juga pada seluruh komponen yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan. Terwujudnya kondisi mental-moral dan
spiritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan.
Etika adalah filsafat yang menguraikan perilaku manusia, nilai, dan
norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam
filsafat. Filsafat etika sangat besar memengaruhi pendidikan sebab tujuan
pendidikan adalah untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain
afeksi peserta didik.
Berdasarkan pemaknaan di atas, dapat disimpulkan bahwa segala
sesuatu yang memiliki sisi keterkaitan dengan nilai atau memiliki relevansi
etis dapat dipandang sebagai etika. Agama, misalnya, adalah sesuatu yang
tidak berbeda dengan hukum, adat kebiasaan, ataupun nilai-nilai yang
berlaku dalam sosial, yang kesemuanya itu dapat dikategorisasikan sebagai
etika. Itu disebabkan oleh agama, hukum, atau adat kebiasaan memiliki
unsur etis atau memuat pandangan-pandangan tentang apa yang dianggap
baik dan apa yang dianggap buruk.
Bukan hanya itu yang mengacu makna di atas, etiket agaknya pun
dapat pula dikategorisasikan sama dengan etika. Hanya saja, penyebutan
etika di sini bukan etika dalam makna ketiga, yaitu etika sebagai ilmu,
melainkan etika dalam makna pertama dan kedua, yaitu etika sebagai
kumpulan nilai-nilai atau asas tentang hak dan kewajiban moral atau
akhlak, atau etika sebagai nilai-nilai benar salah, baik buruk yang dianut
oleh suatu golongan atau masyarakat.
Pemaknaan ini akan berbeda manakala dirujukkan pada makna
etika yang ketiga, yaitu etika sebagai ilmu yang membicarakan nilai baik
55
buruk, hak, serta kewajiban moral. Dengan mengacu makna ini, tidak
semua hal yang memuat persoalan nilai baik buruk, benar salah dapat
dipandang sebagai etika.
Hukum, misalnya, sungguh pun ia adalah bidang yang juga
membicarakan persoalan nilai, perbincangan nilai dalam hukum jauh
bersifat lebih pasti dan objektif ketimbang perbincangan nilai dalam etika,
yang justru bersifat relatif dan cenderung subjektif. Kenyataan tersebut
terjadi juga dengan agama. Meski agama dibangun dan dihidupi dengan
dan dalam kerangka etis tertentu, dengan mengacu definisi yang ketiga,
agama tetap tidak bisa disebut sebagai etika.
Agama yang tidak memadai disebut etika dalam makna ketiga,
bersinggungan erat dengan sifat dan ruang lingkup keduanya yang sangat
berbeda. Jika dibandingkan, pembahasan etika bersifat jauh lebih bebas
dan lebih luas ketimbang pembahasan agama yang justru bersifat pasti.
Oleh karena itulah, ulasan-ulasan nilai dalam etika kerap dipandang
melampaui batasan asumsi-asumsi nilai baik buruk, salah-benar yang
ada dalam agama.
Meski demikian, etika tidak dapat meninggalkan agama. Hal itu
terkait manakala etika tidak pernah dapat secara mandiri menyediakan
nilai dan orientasi dasar bagi hidup manusia. Nilai dan orientasi hidup
itu justru diperoleh etika dari sumber-sumber lain: adat istiadat, tradisi,
ideologi, termasuk juga dari agama.
Pola relasi ini hampir-hampir bersifat konstan dan tak terelakkan
karena agama adalah salah satu sumber yang menyediakan orientasi dan
nilai-nilai hidup yang itu dibutuhkan etika. Hanya saja, hubungan tersebut
tidak bersifat substitutif, dalam arti bahwa yang satu dapat menggantikan
yang lainnya. Oleh karena itu, walau bagaimanapun, etika tidak dapat
menggantikan agama. Sebaliknya agama, dalam banyak hal membutuhkan
etika.
56
Kemudian, etika sebagai ilmu yang membicarakan persoalan nilai
baik buruk, salah-benar, serta hak dan kewajiban secara populer terbagi
ke dalam tiga pendekatan utama: (1) etika deskriptif, (2) etika normatif,
dan (3) metaetika.
Etika deskriptif adalah etika yang melukiskan tingkah laku moral
sebagaimana adanya tanpa berusaha menilai atau menghakimi tingkah
laku tersebut. Ini bisa dicontohkan, misalnya dengan penelitian tentang
bagaimana suatu adat kebiasaan serta bagaimana anggapan-anggapan,
tindakan yang diperbolehkan, atau yang tidak diperbolehkan berlaku
dalam suatu masyarakat.
Sebuah penelitian yang mencoba melukiskan tentang apa dan
bagaimana nilai-nilai yang menghidupi masyarakat Yogyakarta, misalnya,
adalah penelitian yang masuk dalam kategori etika ini. Hanya saja,
penelitian tersebut tidak akan lagi bisa disebut sebagai etika deskriptif
manakala penelitian tersebut telah diarahkan guna memeriksa atau
menjustifikasi pandangan-pandangan etis yang ada. Oleh karena itu, etika
deskriptif tidak lebih dan tidak kurang semata-mata hanya mempelajari dan
mendeskripsikan bagaimana moralitas individu-individu tertentu—dalam
kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur tertentu atau dalam
suatu rentang periode sejarah tertentu.
Sementara, pendekatan etika model kedua, etika normatif, adalah
etika yang tidak hanya melukiskan tingkah laku moral sebagaimana
adanya, tetapi juga menilai, menjustifikasi, dan mengevaluasi. Oleh
karena itu, dalam etika normatif, nilai baik buruk, salah-benar tidak hanya
digambarkan atau dideskripsikan, tetapi juga dievaluasi dan direfleksikan
sisi relevansi etisnya.
Kenyataan ini mau tidak mau membuat etika normatif berurusan
dengan argumentasi-argumentasi etis dari evaluasi-evaluasi nilai yang
dilahirkannya. Sebagai contoh, ketika terdapat sebuah penelitian yang
meneliti tentang masih sesuai dan tidakkah kehidupan umat Islam dengan
57
nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Maka, sudah barang tentu jenis
penelitian ini tergolong sebagai penelitian etika model normatif—sebuah
etika yang jika dilihat dari ruang lingkup serta impresi aksiologinya kerap
dibagi menjadi dua tipe: etika umum dan etika khusus.
Dalam tipe etika normatif umum, perbincangan dan refleksi
nilai-nilai etis berlangsung pada hal-hal yang bersifat umum, seperti
apakah yang disebut norma etis? Mengapa norma itu mengikat kita? Atau,
bagaimana hubungan antara tanggung jawab manusia dan kebebasannya?
Apa yang disebut hak, kewajiban, dan lain sebagainya.
Maka, perbincangan dalam etika normatif umum tidak sampai
melahirkan kesimpulan etis yang bersifat normatif. Ini berbeda dengan
tipe etika normatif khusus, yang justru diarahkan guna mematerialisasikan
pandangan-pandangan etis ke dalam wilayah perilaku keseharian manusia.
Oleh karena itu, etika normatif khusus kerap disebut sebagai etika terapan
karena dimaksudkan guna menerapkan suatu pandangan-pandangan nilai
tertentu dalam ruang kehidupan manusia. Dalam pengertian etika sosial
Islam, dapat pula dipandang sebagai etika terapan.
Kemudian, pendekatan etika yang ketiga adalah model pendekatan
metaetika. Metaetika adalah bidang etika yang sepenuhnya memiliki
pendekatan berbeda dengan dua pendekatan etika di awal. Jika etika
deskriptif bersifat semata-mata menggambarkan bagaimana nilai-nilai
etis berlaku di sebuah masyarakat, etika normatif bermaksud memeriksa
nilai-nilai etis tersebut. Maka, metaetika justru lebih tertarik membicarakan
sesuatu yang jauh lebih abstrak, yaitu pada bahasa etis. Dari bahasa etis
tersebut, perbincangan istilah-istilah etis, seperti “apa itu baik” atau “apa
itu buruk” menjadi wilayah garapan metaetika. Dalam ungkapan lain,
metaetika dapat pula diungkap sebagai bidang etika yang membicarakan
logika khusus dari ungkapan-ungkapan etis.
58
H. Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno, yaitu logos yang berarti hasil
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan
dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu,
logika disebut dengan logika episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu
logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir
secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan
rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan
akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata
logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk
akal.
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan
yang benar. Aristoteles (384–322 SM) adalah pembangun logika yang
pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad
kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan
maupun pengurangan. Aristoteles memperkenalkan dua bentuk logika
yang sekarang kita kenal dengan istilah “deduksi” dan “induksi”.
Logika deduksi dikenal juga dengan nama “silogisme”, yaitu menarik
kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh
terkenal silogisme:
Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor).
Sabri manusia (pernyataan antara, premis minor).
Sabri akan mati (kesimpulan, konklusi).
Logika induksi adalah kebalikan deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum.
Sebagai contoh:
Sabri adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
59
Tamam, Gobest, dan lain-lain adalah manusia, dan semuanya mati
(pernyataan antara)
Semua manusia akan mati (kesimpulan)
***
I. Apakah Pendidikan Itu?
Sejak kemunculannya yang pertama, manusia adalah spesies yang selalu
dilanda polemik makna. Hal ini berkaitan dengan eksistensi manusia yang
selalu bersifat labil dan tidak pernah berhenti pada satu titik. Penjelasan
paling memadai dari kondisi ini terkait dengan ketidakmampuan manusia
memanipulasi potensi dirinya sebagai spesies yang selalu mendamba
makna dan nilai keberartian dalam hidupnya, serta dunia manusia yang
selalu rentan di sisi yang lain.
Dari dan dalam dua hal itulah, manusia kemudian selalu dihadapkan
dengan hidup yang tidak bisa sekadarnya saja, tetapi selalu harus
dirumuskan dengan kode-kode tertentu, rencana-rencana, orientasi,
serta nilai-nilai yang dipandangnya bermakna dan berarti. Hanya saja,
sulitnya dalam hidupnya, makna dan keberartian hidup itu tidak bisa
muncul dengan sendiri, sebaliknya mesti diperjuangkan, terutama sekali
diketahui. Hidup manusia adalah hidup yang selalu berkaitan dengan
makna dan pergulatan mencari “kebaikan”.8 Oleh karenanya, pertanyaan
8. Kata kebaikan di sini dipahami banyak orang dengan istilah yang berbeda-beda. Salah
satu yang terpenting barangkali adalah “kebahagiaan”. Setiap orang berusaha mencari
kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Beragam falsafah hidup digariskan untuk
membantu manusia mencapainya. Lihat Russell, Menuju Hidup Bahagia (terj. C.
Woekirsari), (Jakarta: Pantja Simpati, 1986), hlm. 11. Etika Yunani, secara garis besar,
menekankan persoalan mencari kebahagiaan ini. Pembahasan yang cukup lengkap tentang
etika Yunani beserta keberpusatannya pada konsep “kebahagiaan” dapat dilihat dalam
Muhammad Abed Al-Jabiry, Al-‘Aql al-Akhlâqî al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li
60
“bagaimana saya harus hidup: mulai dari bagaimana mengalami hidup,
bagaimana menyadari hidup atau hidup mesti disadari dan bagaimana
bertindak dalam hidup” muncul menjadi pertanyaan fundamental yang
terus mengiringi hidup manusia sejak lahir hingga mati, terutama karena
hidup manusia membutuhkan orientasi dan tujuan hidup. Hidup yang
baik dan bermakna bukanlah hidup yang muspra, melainkan hidup yang
“menjanjikan” sesuatu untuk dicapai.
Sementara, manusia selalu menjadi makhluk yang yang berbeda
dengan spesies mana pun, yang secara instingtual telah terbentuk sejak
mula dilahirkan. Manusia, dalam hal ini, justru selalu menjadi makhluk
potensial, yang seluruhnya selalu belum terbentuk. Di satu sisi, ia
memiliki kecenderungan baik, namun di sisi yang lain, ia juga memiliki
kecenderungan buruk. Dalam situasi inilah, pendidikan kemudian
dipandang perlu bagi hidup manusia.
***
Secara harfiah, pendidikan berasal dari kata didik. Namun demikian, secara
istilah pendidikan kerap diartikan sebagai “upaya”. Sedangkan, menurut
W.J.S. Poerwadarminta, pendidikan secara letterlijk berasal dari kata dasar
didik dan diberi awalan men-, yaitu kata kerja yang artinya memelihara
dan memberi latihan (ajaran).
Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Istilah “pendidikan” secara
terminologi didefinisikan secara berbeda-beda oleh para ahli pendidikan.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh welthanscauung masing-masing.
Ada yang melihat dari kepentingan atau aspek yang diembannya, dari
proses ataupun dilihat dari aspek yang terkandung di dalam pendidikan,
Nudhum al-Qiyam fî al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, (Maroko: Dar al-Nasyr al-Maghribiyyah,
2001), hlm. 257–424.
61
dan dari fungsi pendidikan. Pendidikan dalam arti luas merupakan proses
pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak
manusia lahir.
***
Dalam sejarahnya, pendidikan kerap diungkap berasal dari istilah
“pedagogi” (paedagogie, bahasa Latin) yang berarti pendidikan. Kata
pedagogia (paedagogik) berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa
Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata, yaitu paedos (anak) dan agoge yang
berarti “saya membimbing”, “memimpin anak”. Sedangkan, paedagogos
ialah seorang pelayan atau pemuda pada zaman Yunani Kuno yang
pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa) ke dan dari
sekolah.
Kata paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan,
pembantu), kemudian dipakai sebagai nama pekerjaan mulia, yaitu
paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini,
pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing
dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara
optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Kemudian, dilihat dari sisi yang lain, semisal dilihat fungsinya,
pendidikan kerap dipandang sebagai upaya menyiapkan generasi
muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat
di masa mendatang. Fungsi pendidikan yang kedua, yaitu mentransfer
pengetahuan, sesuai peranan yang diharapkan; dan ketiga, mentransfer
nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat
bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
Adapun definisi pendidikan yang disandarkan pada makna dan aspek
serta ruang lingkupnya, dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh
Ahmad D. Marimba, “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
62
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadian utama.”
Kemudian, terdapat pula yang mendefinisikan pendidikan sebagai
suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya dengan fitrah
manusia. Sebagai contoh, ketika pendidikan diartikan sebagai rangkaian
bimbingan dan pengarahan hidup manusia, yaitu berupa kemampuankemampuan dasar (potensi fitrah) dan kemampuan ajar (intervensi)
sehingga terjadi perubahan di dalam kehidupan pribadinya, baik dalam
statusnya sebagai makhluk individu, sosial, maupun hubungannya dengan
alam sekitarnya tempat ia hidup.
Asy-Syaibani, misalnya, mengemukakan bahwa pendidikan adalah
proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan
dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
Sementara, menurut Ensiklopedi Pendidikan, pendidikan berarti
semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk memberikan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan keterampilannya
kepada generasi di bawahnya sebagai usaha menyiapkan mereka agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun ruhaninya.
M. Kamal Hasan berpendapat bahwa pendidikan berarti suatu
proses yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara
keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi, dan fisik sehingga
seorang Muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan-tujuan
kehadirannya oleh Tuhan sebagai hamba dan wakil-Nya di bumi.
Adapun menurut Ali Asraf, pendidikan adalah suatu upaya melatih
perasaan murid-murid sehingga dalam sikap, tindakan, keputusan, atau
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi
sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etika. Menurut
F.J. McDonald, pendidikan adalah sebuah proses atau aktivitas yang
63
menunjukkan proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku
manusia.
Perbedaan ataupun kontroversi tentang definisi pendidikan yang
dikemukakan oleh para pakar pendidikan dianggap suatu hal yang wajar
karena perbedaan tersebut dipengaruhi oleh welthanscauung masing-masing
dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pakar tersebut.
Pendidikan secara spesifik adalah pemberian bimbingan oleh orang
dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan
(Langeveld, dalam Sadulloh, 2003:54; Pidarta, 1997:10). Sedangkan,
secara umum dapat diartikan sebagai bentuk bantuan yang diberikan
kepada anak supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan tugas
hidupnya atas tanggung jawab sendiri.
Sementara itu, Brojonegoro memberi makna pendidikan secara luas
sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa
dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai tercapainya kedewasaan
dalam arti ruhani dan jasmani. Selanjutnya, menurut tokoh pendidikan
dari Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah upaya menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya (Pidarta, 1997:10).
Berpijak dari pendidikan dalam arti khusus, setelah anak menjadi
dewasa dengan segala cirinya, pendidikan dianggap selesai. Tampaknya,
pendidikan yang dimaknai khusus tersebut tecermin dalam pendidikan
di lingkungan keluarga. Orangtua yang terdiri dari ayah dan ibu menjadi
figur sentral dalam pendidikan keluarga. Mereka bertanggung jawab
memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap
anak-anaknya. Setelah sang anak menjadi dewasa atau menjadi manusia
sempurna, bantuan pendidikan yang diberikan oleh ayah dan ibu tersebut
dianggap telah selesai.
64
Dilihat dari uraian tersebut, kemunculan sekolah tidak lain karena
orangtua menganggap dirinya tidak sanggup dengan sepenuh waktu
mendampingi anak-anaknya belajar mencapai kedewasaan. Bahkan,
akhir-akhir ini ada kecenderungan seorang ibu demi sebuah kariernya,
menitipkan anak-anaknya di tempat-tempat penitipan anak. Tampaknya,
mereka tidak menyadari bahwa dampak psikologis anak akan memengaruhi
perkembangan di masa mendatang.
Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian
dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan
keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada
perkembangan iman. Perkembangan ini membuat manusia menjadi lebih
sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan
alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge, dalam
bukunya Philosophy of Education (1974), menyatakan bahwa dalam
pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman.
Namun, faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan
pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi, dan membolos, misalnya,
bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah
pengalaman. Akan tetapi, pengalaman itu tidak dapat dikatakan
pendidikan karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik di
hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan.
Banyak rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli. John
Dewey, misalnya, lebih banyak mengartikan pendidikan sebagai proses
pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional
sesama manusia. Sementara, J.J. Rousseau justru melihat pendidikan
sebagai pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada
masa kanak-kanak, tetapi kita butuhkan pada saat dewasa.
Dalam sifat yang lain, pendidikan merupakan usaha yang dilakukan
untuk memengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan agar anak
65
cekatan melaksanakan tugas hidupnya. Di sini pendidikan berlangsung
dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang
diciptakan orang dewasa, seperti sekolah, buku model, dan sebagainya)
dan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia
dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman, dan
dengan alam semesta. Terdapat pula seorang tokoh yang mendefinisikan
bahwa pendidikan adalah proses yang berbentuk secara non-fisik dari
unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh
anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa.
Mortimer J. Adler berpandangan jika pendidikan adalah proses
tempat semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang
diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik
dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau
dirinya mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
Definisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat
pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia,
dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang
bagaimana proses memengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu
pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek
pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir
yang bersangkutan. Bahkan, arahnya pun dapat dikenali juga.
Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa di kalangan
pakar pendidikan masih terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini
disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan dan kondisi
pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki
perbedaan karakter dan permasalahan.
66
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap)
dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya
menuju terbentuknva kepribadian dan akhlak mulia dengan menggunakan
media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas
hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.
Di Indonesia, secara umum, pendidikan dalam arti luas telah
tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973,
“Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang
dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup.”
Demikian pula dalam amanat Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang. Kedua hal tersebut kini menjadi landasan sistem pendidikan
di negara kita.
J. Jalan dan Tujuan Pendidikan
Jalan pendidikan dilakukan dengan pengajaran atau transformasi ilmu dan
pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan selalu akan ditemukan proses
transformasi ilmu dan pengetahuan dilakukan. Pada hakikatnya, pendidikan
mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan tersebut
dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan segala nilai.
Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi, budaya, sains dan
teknologi, seni, dan nilai keterampilan. Tujuan pentransformasian nilai
tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan dan mengembangkan.
67
Bahkan, (kalau perlu) mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat
(Sadulloh, 2003:57).
Untuk mencapai proses transformasi yang efektif, diperlukan
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksud antara lain ialah harus
ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dan terdidik. Hubungan
yang dimaksud adalah hubungan kasih sayang antara siswa dan guru
berdasarkan kewibawaan.
Kedua, harus ada metode pendidikan yang sesuai. Maksudnya
adalah terdapat kesesuaian metode dengan kemampuan pendidik, materi,
kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kondisi lingkungan
tempat pendidikan berlangsung. Ketiga, harus ada sarana dan prasarana
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, ada kesesuaian
antara nilai yang akan ditransformasikan dan sarana prasarana yang
dibutuhkan serta sarana tersebut harus didasarkan atas pengabdian pada
peserta didik. Keempat, harus ada suasana yang memadai. Suasana yang
memadai dan menyenangkan menunjang terjadinya proses transformasi
nilai agar berjalan dengan baik.
Jika berbicara tentang tujuan pendidikan, akan terkait erat dengan
sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan. Di dalam
tujuan pendidikan, ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan.
Pertama, pendidikan haruslah bersifat otonomi, yaitu memberi
kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada
individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup
bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, pendidikan haruslah
bersifat equity (adil), memberi kesempatan seluruh warga masyarakat
untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan
ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. Ketiga,
survival, artinya dengan pendidikan menjamin pewarisan kebudayaan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
68
Sebagaimana yang tersebut dalam uraian sebelumnya, pendidikan
secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang
dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan
atau pendidikan secara luas sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada
manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan
sampai tercapainya kedewasaan.
Secara umum, manusia dewasa ialah manusia yang dianggap telah
mandiri, bertanggung jawab, telah mampu memahami norma-norma serta
moral dalam kehidupan, sekaligus berkesanggupan untuk melaksanakan
norma dan moral tersebut.
Pendidikan di Indonesia terproyeksikan pada ideologi Pancasila dan
konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafahnya. Oleh karena
itu, tujuan pendidikan secara umum ditujukan untuk menghasilkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sikap dan perilakunya senantiasa
dijiwai oleh nilai-nilai pancasila.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dijelaskan, “Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan ruhani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang tumbuh dan
berkembang. Oleh karena tumbuh dan berkembang, manusia tidak pernah
stagnan dalam hidupnya, tetapi selalu dinamis. Dalam upaya mencapai
kehidupan yang lebih baik, ia selalu bereksplorasi dengan alam dan
sesamanya, serta berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidupnya.
Untuk dapat mencapai yang terbaik, manusia terus belajar. Selama itulah
pendidikan terus berjalan.
69
Sekarang orang berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya dilakukan
di bangku sekolah, tetapi dapat dilakukan di mana saja—di sekolah, di
luar sekolah (di rumah, di masyarakat), dan sebagainya. Selain itu,
kegiatan belajar juga tidak hanya berlangsung pada masa anak-anak, tetapi
merupakan kegiatan yang terus-menerus sampai mereka mati. Pendidikan
yang demikian itu disebut pendidikan seumur hidup (long life education).
Jadi, pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang berlangsung sejak
manusia lahir sampai ia mati (Natawidjaya, 1979:105).
Konsep pendidikan sepanjang hayat adalah semua kegiatan
pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Maksudnya, seluruh
sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Selain itu,
model pendidikan yang diterapkan bersifat adaptif, yaitu pendidikan yang
dilakukan selalu mengikuti perkembangan lingkungan dan disesuaikan
dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang telah
maju tentu akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat
yang belum maju.
K. Hubungan Filsafat dan Pendidikan
Setelah kita membahas pengertian, jalan, dan tujuan filsafat serta
pendidikan, apa sesungguhnya hubungan antara keduanya sehingga di
sini mesti kita bahas dalam ruang bersamaan?
Jika ditelaah lebih jauh, filsafat dan pendidikan adalah dua hal yang
tidak terpisahkan, baik dilihat dari proses, jalan, serta tujuannya. Hal
ini sangat terpahami karena pendidikan pada hakikatnya merupakan
hasil spekulasi filsafat, terutama sekali filsafat nilai, yaitu terkait dengan
ketidakmampuan manusia di dalam menghindari fitrahnya sebagai diri
yang selalu mendamba makna—kesamaan di dalam proses, ruang etika,
dan ruang pragmatis.
70
Di satu sisi, manusia selalu menjadi satu-satunya primata yang selalu
menyerukan kebaikan, cinta, dan kebenaran. Namun, bersamaan dengan
itu, manusia pula satu-satunya makhluk yang dapat membunuh diri dan
sesamanya dengan begitu tanpa alasan sama sekali, selain hanya sebuah
kesenangan.
Dalam ruang inilah pendidikan bagi hidup manusia menjadi sesuatu
hal yang penting untuk membawanya pada hidup yang bermakna. Dengan
pendidikan, manusia akan mampu menjalani hidupnya dengan baik dan
benar. Dengan demikian, ia bisa tertawa, menangis, bicara, dan diam
mengambil ukuran-ukuran yang tepat. Ini sangat berbeda dengan banyak
diri yang tidak terdidik. Hubungan ini menurut pakar merupakan ilmu
yang paling tertua dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Oleh
karena itu, mereka menyebut bahwa filsafat adalah induk semua ilmu-ilmu
pengetahuan di muka bumi ini.
Sementara, filsafat mengakui bahwa menurut substansinya yang
ada itu tunggal, dan berada di tingkat abstrak, bersifat mutlak, serta
tidak mengalami perubahan. Sedangkan, menurut eksistensinya, yang
ada itu plural, berada di tingkat konkret, bersifat relatif, dan mengalami
perubahan terus-menerus.
Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia pengalaman itu berasal mula
dari satu substansi. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menyikapi
segala pluralitas ini agar tidak terjadi benturan antara satu dan lainnya?
Misalnya, pluralitas jenis, sifat, dan bentuk manusia, binatang, tumbuhan,
dan badan-badan benda berasal dari satu substansi. Apakah yang
seharusnya dilakukan agar antara manusia satu dan lainnya tidak saling
berbenturan kepentingan sehingga dapat mengancam keteraturan sosial
dan ketertiban dunia?
Jawaban terhadap persoalan di atas adalah manusia harus bersikap
dan berperilaku adil terhadap diri sendiri, masyarakat, dan terhadap alam.
Agar dapat berbuat demikian, manusia harus berusaha mendapatkan
71
pengetahuan yang benar mengenai keberadaan segala sesuatu yang ada ini,
dari mana asalnya, bagaimana keberadaannya, dan apakah yang menjadi
tujuan akhir keberadaan tersebut. Untuk itu, manusia harus mendidik
diri dan sesamanya secara terus-menerus.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebutlah pendidikan muncul dan
memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba mendidik diri dan sesamanya
dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupan
ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi
pengetahuan umum berupa wawasan asal mula, eksistensi, dan tujuan
kehidupan. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan kehidupan menjadi
landasan bagi perilaku sehari-hari sehingga semua kegiatan eksistensi
kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.
Berdasarkan filsafat, pendidikan berkepentingan membangun
filsafat hidup agar dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Untuk selanjutnya, kehidupan sehari-hari tersebut selalu dalam
keteraturan. Jadi, terhadap pendidikan, filsafat memberikan sumbangan
berupa kesadaran menyeluruh tentang asal mula, eksistensi, dan tujuan
kehidupan manusia.
Tanpa filsafat, pendidikan tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak
tahu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filsafat
tetap berada di dalam dunia utopianya. Oleh karena itulah, seorang guru
harus memahami dan mendalami filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Melalui filsafat pendidikan, guru memahami hakikat pendidikan dan
pendidikan dapat dikembangkan melalui falsafah ontologi, epistimologi,
dan aksiologi.
Pengertian filosofi pendidikan dan bagaimana penerapannya
serta apa dampak dari pendidikan harus diketahui oleh guru karena
pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi setiap manusia,
termasuk guru di dalamnya. Jadi, seorang guru harus mempelajari filsafat
pendidikan karena dengan memahami dan memaknai filsafat itu, akan
72
dapat memberikan wawasan dan pemikiran yang luas terhadap makna
pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan filsafat lainnya, misalnya filsafat hukum, filsafat agama, filsafat
kebudayaan, dan filsafat lainnya.
Dalam pengertian tersebut, filsafat tidak lain bertujuan membawa
manusia mengalami hidup yang dimilikinya dengan pandangan,
pengalaman, pengetahuan, serta penghayatan yang baik dan benar.
Dengan pemahaman tersebut, manusia mampu menyadari hidup yang
dimilikinya dengan benar tanpa adanya.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai
dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.
Oleh karena itu, dalam filsafat, jauh sebelum persoalan-persoalan mesti
dicari jawabannya, filsafat selalu terlebih dahulu mempertanyakan sejauh
mana relevansi persoalan-persoalan tersebut. Adakah ia sungguh-sungguh
memang sebuah problem atau justru hanya diproblematikakan saja?
Di sini, filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang
mendalam. Maka, dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran
menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang
sifatnya relatif karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang dapat
diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya, isi alam yang dapat diamati
hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya
mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Sementara, filsafat
mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk meraba segala
sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Sedangkan, pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama
halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya, yaitu filsafat.
Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas
secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya, pendidikan berada
bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri
dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk
73
kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia,
dan peningkatan hidup manusia.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan ruhani
ke arah kedewasaan. Secara garis besar, pengertian pendidikan dapat dibagi
menjadi tiga. Pertama, pendidikan; kedua, teori umum pendidikan; dan
ketiga, ilmu pendidikan.
Dalam pengertian pertama, pendidikan pada umumnya mendidik
yang dilakukan oleh masyarakat umum. Pendidikan seperti ini sudah
ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Pada zaman purba, kebanyakan
manusia memerlukan anak-anaknya secara insting atau naluri, suatu sifat
pembawaan, demi kelangsungan hidup keturunannya. Tindakan yang
termasuk insting manusia antara lain sikap melindungi anak, rasa cinta
terhadap anak, bayi menangis, kemampuan menyusu air susu ibu, dan
merasakan kehangatan dekapan ibu.
Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang
bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan
fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai
kepada perkembangan iman. Kegiatan mendidik bermaksud membuat
manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan
hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Kegiatan mendidik
adalah membudayakan manusia. Dalam pengertian kedua, pendidikan
dalam teori umum, menurut John Dewey, “The general theory of education
dan Philoshophy is the general theory of education.” Dia tidak membedakan
filsafat pendidikan dengan teori pendidikan atau filsafat pendidikan sama
dengan teori pendidikan. Sebab itu, ia mengatakan pendidikan adalah
teori umum pendidikan.
Konsep di atas bersumber dari filsafat pragmatis atau filsafat
pendidikan progresif. Inti filsafat pragmatis yang berguna bagi manusia
itulah yang benar, sedangkan inti filsafat pendidikan progresif mencari
74
terus-menerus sesuatu yang paling berguna hidup dan kehidupan manusia.
Dalam pengertian ketiga, ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah cabang
ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu kesatuan.
Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori.
***
75
“Setiap orang nyaris selalu hanya memercayai
pengalamannya.”
(Empedokles, 490–435 SM)9
9. Empedokles adalah filsuf Yunani yang menyatakan bahwa kehidupan muncul dari lumpur
dan tumbuhan, kemudian berubah menjadi hewan. Baginya, makhluk hidup pertama
memiliki bentuk seperti monster. Bentuk-bentuk ini berubah dan makhluk-makhluk yang
memiliki bentuk yang paling baik bertahan hidup. Pemikiran ini adalah bentuk seleksi
alam yang merupakan mekanisme penting dalam evolusi.
Bab II
Filsafat Pendidikan
A. Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat adalah keajaiban hidup yang nyaris tak terbayangkan, bahkan oleh
imajinasi dan nalar terliar filsuf mana pun. Filsafat hadir dan meruang
dalam hidup manusia dengan cara-cara yang sepenuhnya tak terbayangkan
sehingga sejarah filsafat kerap menunjukkan betapa filsafat nyaris tak
berbeda dengan sihir, penuh kejutan dan selalu memesona. Di era yang
jauh, di sebuah negeri bernama Yunani, keindahan sihir filsafat dikisahkan
kerap merebut pemuda-pemuda gagah untuk segera meninggalkan masa
mudanya, lalu hidup dan tinggal di dunia yang sepenuhnya sunyi dan
bukan apa pun.
Sosok Thales dari Miletos, misalnya, adalah salah satu diri yang
tersentuh dan pernah disentuh oleh keajaiban filsafat. Persentuhanpersentuhan Thales dengan filsafat berlangsung dengan cara-cara
yang begitu sederhana sehingga siapa pun yang melihatnya tidak akan
menyadari bahwa hal itu adalah sesuatu yang ajaib.
Akan tetapi, sejarah memiliki bukti yang begitu kaya, yang menunjuk
betapa sejak persentuhan Thales dengan filsafat, ia hidup menjadi diri
79
yang sepenuhnya berbeda dari setiap diri yang hidup di zamannya. Ini
menjadi bukti sekaligus sejarah, betapa di waktu yang sangat lama, filsafat
selalu tidak pernah kekurangan aspek-aspek eksotis yang menunjuk bahwa
filsafat selalu menjadi hal yang ajaib di antara semua hal yang pernah
manusia temukan dalam hidupnya yang selalu rentan.
Dari periode ke periode, filsafat mampu terus tumbuh dan melewati
batasan-batasan ruang dan waktu yang rumit dan sulit dijelaskan. Filsafat
seakan selalu eksis sehingga dalam situasinya yang terburuk dan tergelap, ia
selalu mampu hadir menjadi sesuatu yang berlimpah serta mengagumkan
siapa pun memahaminya.
Manusia modern hari ini mungkin bisa berbangga dengan segala
macam capaian dan temuan-temuannya. Hanya saja jika mau jujur,
apa yang dicapai manusia modern hari ini sulit untuk dibayangkan
keberadaannya, jika ribuan tahun lalu, sesuatu yang bernama filsafat tidak
pernah lahir dan membuat berbagai keajaiban. Oleh karena itu, secara
artifisial, apa yang hari ini manusia temukan pada dasarnya tidak lebih
dari buah yang lahir dari rahim filsafat.
Kenyataan itu dibuktikan dengan genealogi historis setiap ilmu
yang seluruh nyaris lahir dari dan bermula dari filsafat. Luasnya bidang
garapan filsafat telah melahirkan berbagai macam disiplin-disiplin baru
yang mencengangkan. Dalam persoalan alam semesta, misalnya, filsafat
melahirkan sesuatu yang kita kenal sebagai “kosmologi” atau filsafat yang
membahas alam semesta; mulai dari asal-usul kejadiannya, entitas-entitas
yang melingkupinya, serta prinsip-prinsip utama keteraturannya.
Kenyataan yang sama juga terjadi pada ilmu-ilmu lainnya. Psikologi
misalnya, jauh sebelum ia menjadi keilmuan yang mandiri, merupakan
bagian dari filsafat, lahir ketika filsafat masuk dan mempersoalkan
aspek-aspek kejiwaan manusia. Hal yang sama juga berlaku pada
jenis-jenis disiplin yang dipandang modern, seperti sosiologi, politik,
80
sejarah, antropologi, linguistik, atau kedokteran, ataupun pendidikan,
yang kesemua itu lahir dan bermula dari filsafat.
***
Begitulah dari waktu ke waktu, filsafat terus-menerus berkembang
sesuai dengan perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan
yang terjadi pada dunia manusia, termasuk salah satunya sesuatu yang
begitu pragmatis bernama pendidikan. Sesuatu yang jika dilacak pun
sesungguhnya memiliki akar gen yang sama dengan berbagai bidang
lainnya, lahir dan bermula dari filsafat. Oleh karena itu, relevan jika
pendidikan tidak lain adalah spekulasi filsafat akan hidup manusia.
Tepatnya, saat filsafat menemukan satu pandangan bahwa hidup manusia
harus baik, bermakna, dan makin berkualitas.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa di periode-periode awal,
pendidikan tidak hidup secara terpisah dari filsafat. Pendidikan justru
menjadi bagian yang masuk dalam filsafat. Andaipun ia masuk dalam
sebuah bidang yang dapat disadari secara terpisah, pendidikan adalah
bidang yang pada mulanya lahir dalam ruang etika atau filsafat nilai.
Oleh karena itu, apa yang hendak dicapai oleh pendidikan selalu menjadi
hal yang tak berbeda dengan apa yang hendak dicapai oleh etika, yaitu
berupaya membangun hidup manusia baik dalam makna abstrak, yaitu
dalam ruang kesadaran ataupun makna empiris atau dalam ruang-ruang
yang bersifat mekanis.
Dalam kepentingan itulah, pendidikan kemudian lahir sebagai
proses pengajaran atau transformasi nilai-nilai keteladanan hidup di
satu sisi dan peningkatan nilai-nilai keteladanan hidup di sisi yang lain.
Makna pendidikan dalam filsafat tidak pernah menjadi sesuatu yang lain
selain sebuah upaya untuk membangun tata hidup dan berkehidupan
manusia yang ada. Makna fungsi ini memiliki kemiripan yang hampir
sama dengan makna fungsi ilmu dan pengetahuan bagi hidup manusia,
81
yaitu bermaksud membangun agar hidup manusia semakin baik dan
ideal di satu sisi, dan mampu menjaga kualitas-kualitas hidup yang telah
dicapainya di sisi yang lain.10
Dari itu, secara genealogi-historis, pendidikan pada dasarnya bukan
sesuatu hal yang baru sehingga ia dapat diklaim sebagai temuan manusia
modern, sebaliknya telah menjadi sesuatu yang tua dan klasik, setua usia
filsafat karena pendidikan merupakan bagian dari filsafat. Kenyataan ini
menjadi argumen mengapa di era klasik para filsuf tidak pernah melahirkan
istilah filsafat pendidikan, serta penjelas betapa ketika istilah pendidikan
disebutkan ia telah pula mengasosiasikan makna filsafat secara otomatis.
Dalam pengertian ini, pengungkapan bahwa filsafat pendidikan
adalah filsafat terapan, yaitu hasil ketika cara pandang filsafat masuk dan
mengambil objek pendidikan, menjadi pandangan yang keliru, terutama
jika ia dilihat secara geneologis, terutama karena hal itu melahirkan kesan
makna bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang sepenuhnya terpisah
dari filsafat atau ia berada di luar filsafat. Oleh karena itu, jika filsafat
pendidikan kita konsesi mesti didefinisikan sebagai filsafat terapan,
dasar pijakan bersifat metodis di satu sisi. Sedangkan, di sisi yang lain, ia
menegaskan bahwa pendidikan adalah sesuatu hal yang dipandang sebagai
bidang yang sepenuhnya bukan filsafat atau di luar filsafat.
Hal itu menimbulkan perdebatan panjang yang begitu polemik.
Saat pendidikan dikatakan sepenuhnya lepas dari filsafat, seseorang lebih
10. Sesuatu hal yang oleh sebagian kalangan kerap diungkap dengan istilah “utopia”. Utopia
tentu saja adalah sesuatu hal yang ideal, sesuatu yang jauh, dan sulit dicapai. Dalam
interes logika kebahasaan yang tinggi, sebagian kalangan bahkan merasionalisasikan bahwa
utopia adalah sesuatu hal tidak mungkin bisa dicapai. Menurut mereka, saat utopi-utopi
itu tercapai, ia bukan lagi disebut utopia, melainkan telah menjadi kenyataan hidup yang
ada. Menginginkan terciptanya hidup yang ideal dalam hidup manusia yang serba-tidak
ideal adalah sesuatu hal yang sulit diterima dengan logika. Namun demikian, uniknya
hal yang tidak logis ini justru telah menjadi bagian dari hidup yang ada dan melahirkan
sesuatu yang bernama pendidikan. Pendidikan selalu bermaksud membangun kehidupan
manusia yang ideal dalam makna apa pun.
82
jauhnya mungkin akan bertanya, di ruang mana sebenarnya pendidikan
pernah sungguh-sungguh terbuktikan lahir sebagai bidang yang
sepenuhnya berada luar ruang filsafat, sedangkan siapa pun mengetahui
bahwa pendidikan tidak pernah hadir selain dengan gagasan nilai serta
pandangan-pandangan yang filsafat?
Dalam pengkritisan tersebut, istilah “filsafat pendidikan” selalu
menjadi hal yang hanya bisa diterima dalam pengandaian metodis guna
menunjuk upaya-upaya cara pandang filsafat untuk mengkaji ruang
pendidikan atau tepatnya ruang upaya manusia secara umum di dalam
membangun hidup dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan
berkualitas.
Pengandaian metodis ini terpahami terutama karena proses
pelaksanaan upaya manusia secara umum di dalam membangun hidup
dan kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas lebih
sering berlangsung jauh dari nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dalam
berbagai kasus, upaya tersebut justru bermakna sebaliknya, yaitu semakin
menjauhkan hidup manusia, baik secara individu ataupun kolektif dari
tata hidup dan kehidupan yang baik dan berkualitas.
Dalam realitas lapangan, ironi-ironi kontraproduktif tersebut terjadi
dengan begitu sangat nyata sehingga ia bahkan tidak lagi membutuhkan
argumentasi apa pun untuk membuktikannya. Penyelenggaran pendidikan
menjadi penyebab utama dari lahirnya dehumanisasi. Secara ideal,
pendidikan ingin membuat manusia menjadi bermoral. Akan tetapi,
dalam praktiknya, pendidikan terisi dan berlangsung dengan cara-cara
yang justru bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dicita-citakan.
Dalam konteks problem seperti inilah dunia modern kemudian
mengenal istilah “filsafat pendidikan”, yaitu filsafat yang secara saksama
bermaksud melihat tentang apa, mengapa, dan bagaimana pendidikan
dalam pengertian-pengertian lebih mendasar dan genuine sehingga
83
proses penyelenggaraan pendidikan yang ada di lapangan dapat kembali
menemukan makna urgensitasnya dalam hidup yang ada.
Hingga di sini, secara definitif, filsafat pendidikan tidak lain adalah
penerapan upaya metodis filsafat untuk mempersoalkan konsepsi-konsepsi
yang melandasi upaya-upaya manusia di dalam membangun hidup dan
kehidupannya untuk menjadi semakin baik dan berkualitas. Sedangkan,
tujuan upaya-upaya filsafat dalam mempersoalkan adalah guna
mengarahkan penyelenggaraan pendidikan pada kondisi-kondisi etika
yang diidealkan. Dalam makna lain, filsafat pendidikan adalah falsifikasi
pendidikan, baik dalam makna teoretis konseptual maupun makna
praktis-pragmatis yang menggejala.
B. Peran Filsafat Pendidikan
Dalam dunia yang secara nyaris sepenuhnya telah berisi instituasi
pendidikan, kajian tentang filsafat pendidikan tentu saja menjadi
kajian yang begitu penting serta fundamen. Selain membantu
proses penyelenggaraan pendidikan untuk menghindari hal-hal yang
kontraproduktif, kajian tentang filsafat pendidikan akan pula membawa
kita pada temuan-temuan mengenai formula pendidikan secara holistik
tentang apa dan bagaimana sebuah pendidikan mesti dilakukan. Dengan
demikian, pendidikan benar-benar sesuatu kegiatan yang dapat dipahami
makna relevansi bagi kehidupan.
Adapun peran penting lain terkait idealisasi format pendidikan setiap
negara selalu lahir dalam konsep etis yang berbeda. Hal ini terkait dengan
perbedaan-perbedaan nilai-nilai serta kosmologi hidup masing-masing
bangsa di dalam menyadari hidupnya.
Dalam makna ini, kajian-kajian filsafat pendidikan dalam ruang
lebih khusus, yaitu terkait dengan nilai-nilai hidup menjadi pula penting
84
dilakukan guna melahirkan konsep serta penyelenggaraan pendidikan yang
sepenuhnya selaras dengan nilai filsafat hidup bangsa yang ada.
Di sini, filsafat pendidikan dapat hadir mempersiapkan konsep
falsafi sesuai dengan pandangan hidup bangsa terkait sebagai landasan
konseptual bagi pelaksanaan sistem pendidikan yang akan dilakukan.
Tanpa filsafat pendidikan, proses penyelenggaraan pendidikan bisa akan
menjadi kegiatan yang justru menghancurkan bangsa.
Setiap negara memiliki corak filsafat pendidikan masing-masing sesuai
dengan corak kehidupan yang tecermin dalam perilaku masyarakatnya.
Negara mempunyai kewenangan menentukan landasan filsafat pendidikan
sebagai arah kebijakan yang akan dicapai dalam tujuan pendidikan
yang diselenggarakan. Tidak ada satu negara pun yang memiliki filsafat
pendidikan yang sama persis kecuali negara tersebut memiliki sejarah
peradaban yang sama. Sekalipun demikian, arah dan tujuan pendidikan
yang akan dicapai tetap berbeda.
Di Indonesia, misalnya, filsafat pendidikan agaknya mesti
dirumuskan berdasarkan corak dan budaya kehidupan bangsa Indonesia.
Filsafat pendidikan di Indonesia didasarkan pada ideologi negara dan
konstitusi negara. Oleh karena itu, filsafat pendidikan di Indonesia disebut
“filsafat pendidikan Pancasila”. Artinya, segala kebijaksanaan pendidikan
harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Hasil akhir pendidikan pun
harus mampu mencerminkan perilaku yang senantiasa dijiwai oleh
nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan perbedaan filsafat pendidikan yang dianut, setiap
negara tidak seharusnya mengadopsi sistem pendidikan negara lain tanpa
mempertimbangkan kondisi masyarakat negara tersebut. Kesuksesan
negara tertentu terhadap sistem pendidikan yang diterapkan tidak selalu
cocok untuk diterapkan di negara lain. Oleh karena itu, suatu negara
harus bertindak bijaksana dalam menetapkan segala keputusan berkaitan
dengan sistem pendidikan.
85
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada
para perencana pendidikan dan orang-orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan. Hal tersebut akan mewarnai perbuatan mereka secara arif
dan bijak serta menghubungkan usaha-usaha pendidikannya sengan
falsafah umum, falsafah bangsa, dan negaranya. Pemahaman mengenai
filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba,
mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah
pendidikan.
Hingga di sini, filsafat pendidikan harus bisa menjawab tentang
pertanyaan pendidikan yang bersifat sangat mendasar; mulai dari apakah
pendidikan itu? Mengapa ia harus dianggap penting dan perlu diadakan?
Apa yang hendak dicapai? Bagaimana cara terbaik merealisasikan
tujuan-tujuan itu?
Kemudian, secara praktis, pendidikan filsafat memiliki fungsi
peranan yang sekurang-kurangnya dibedakan ke dalam empat hal utama.
Keempat hal tersebut antara lain adalah menginspirasikan, menganalisis,
mempreskriptifkan, dan menginvestigasi.
Pertama, filsafat pendidikan menjadi ruang inspirasi, khususnya bagi
para pendidik dalam melaksanakan ide-ide tertentu dalam pendidikan.
Melalui filsafat pendidikan, filsuf menjelaskan idenya mengenai pendidikan
tersebut, ke mana diarahkan, siapa saja yang patut menerima pendidikan,
bagaimana cara mendidik, serta apa peran pendidik. Sudah tentu, ide-ide
ini didasari oleh asumsi-asumsi tertentu tentang anak manusia, masyarakat
atau lingkungan, dan negara.
Kedua, peran analisis. Dalam peran ini, filsafat pendidikan berarti
memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui
secara jelas validitasnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam menyusun
konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancuan (tumpang tindih).
Di sini filsafat pendidikan memeriksa bagian-bagian pendidikan secara
saksama untuk mengetahui validisi pendidikan secara gamblang. Hal ini
86
dimaksudkan, selain untuk menghindari tumpang tindih serta kesimpangsiuran, juga guna mengarahkan tujuan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai
yang diinginkan.
Francis Bacon 11, seorang filsuf Inggris dalam bukunya The
Advencement of Learning, mengemukakan betapa kebanyakan pengetahuan
yang dimiliki manusia selalu mengandung unsur-unsur validitas yang
bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari, terlebih jika
pengetahuan itu berisi salah satu konsep yang telah berlangsung selama
bertahun-tahun. Dari itu, Bacon menggunakan logika induktif sebagai
teknik krisis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat
diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif, akan
dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan.
Ketiga, filsafat pendidikan memiliki makna preskriptif atau memberi
pengarahan kepada pendidik dalam soal apa dan mengapa pendidikan
itu. Hal yang dijelaskan dapat berupa hakikat manusia jika dibandingkan
dengan makhluk lain atau aspek-aspek peserta didik yang memungkinkan
untuk dikembangkan. Proses perkembangan tersebut tergantung pada batas
bantuan yang diberikan, batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan, target
pendidikan, perbedaan arah pendidikan, dan bakat serta minat anak.
Hal ini, misalnya, bisa dicontohkan dengan apa yang idealisasi
John Herbart dalam soal guru. Dalam karyanya berjudul Scence of
11. Viscount St. Alban pertama (lahir 22 Januari 1561, wafat 9 April 1626) adalah seorang
filsuf, negarawan, dan penulis Inggris. Ia juga dikenal sebagai pendukung Revolusi
Sains. Bahkan, menurut John Aubrey, dedikasinya menggabungkannya ke dalam sebuah
kelompok ilmuwan yang bersejarah yang meninggal dunia akibat eksperimen mereka
sendiri. Karya-karyanya membangun dan memopulerkan metodologi induksi untuk
penelitian ilmiah, sering disebut metode Baconian atau, secara sederhana, metode ilmiah.
Dalam masanya, metode-metode tersebut dihubung-hubungkan dengan tren kepercayaan
Hermes dan Alchemy. Walaupun demikian, kebutuhannya terhadap sebuah prosedur
yang terencana untuk meneliti semua hal yang alami menandai sebuah pembaruan dalam
kerangka retoris dan teoretis untuk ilmu pengetahuan. Kebanyakan dari kerangka-kerangka
penelitian ilmiah ini masih menjadi dasar lahirnya metodologi yang lebih baik hari ini.
87
Education, John Herbart memandang bahwa guru harus memiliki
informasi yang dapat diandalkan mengenai tujuan pendidikan yang
dapat dicapai dan proses belajar sebelum guru memasuki kelas. Di sini,
John Herbart, dalam makna lebih umum memandang bahwa pendidikan
seharusnya dikonstruksi di atas asumsi yang valid—suatu informasi yang
direkonstruksi dari atau secara ilmiah.
Sementara, peran yang keempat adalah peran investigatif. Di sini filsafat
pendidikan memeriksa atau mengkaji kebenaran suatu teori pendidikan.
Pendidik seharusnya mencari sendiri konsep-konsep pendidikan di lapangan
atau melalui penelitian-penelitian. Konsep yang dipraktikkan tersebut
merupakan hasil penelitian yang dilakukan, sedangkan posisi filsafat hanya
sebagai latar pengetahuan saja.
Peran-peran di atas tentu saja peran yang bersifat masih jauh dari
apa yang diidealkan. Terutama, karena peran filsafat pendidikan di sana
masih bersifat pasif. Sedangkan, peran filsafat pendidikan yang bersifat
aktif adalah diharapkan kajian-kajian filsuf pendidikan akan melahirkan
pendidikan yang sepenuhnya falsafi serta berisi para pendidik yang juga
seorang filsuf pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan selalu bereksplorasi
menemukan sebuah format pendidikan yang ideal untuk diterapkan di
suatu negara. Format pendidikan yang dimaksud harus sejalan dengan
keadaan masyarakat tempat pendidikan itu dilaksanakan.
Dalam bukunya Democracy and Education, John Dewey memandang
bahwa pengalaman adalah tes terakhir dari segala hal. Mereka memandang
pengalaman sebagai panji-panji semua filsafat pendidikan yang
mempunyai komitmen terhadap inquiry atau penyelidik. Filsuf berfungsi
memilih pengalaman-pengalaman yang cocok untuk memajukan efisiensi
sosial. Filsafat pendidikan berusaha menafsirkan proses belajar mengajar
menurut prosedur pengujian ilmiah dan kemudian memberi komentar
tentang nilai atau kemanfaatannya.
88
Para filsuf melalui filsafat pendidikannya, menggali ide-ide baru
tentang pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari
kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau dari
latar geografis, sosologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut pandang
keberadaan manusia, filsafat pendidikan akan menimbulkan aliran
Perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan,
dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya, akan menimbulkan aliran
Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan Rekontruksionis.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas memberikan
dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang
beragam. Masing-masing konsep tersebut mendukung filsafat pendidikan.
Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga
mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas kebenaran
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Pendeknya, teori-teori pendidikan
harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Sebagaimana telah kita bahas di depan, filsafat pendidikan adalah filsafat
yang secara khusus mengambil bidang garapan pendidikan sebagai objek
bahasannya. Di situ filsafat pendidikan berurusan dengan konsep-konsep
serta gagasan, baik menjadi landasan ataupun panduan pelaksanaan
upaya-upaya penyelenggaraan pendidikan. Atau, mengulas tentang apa,
mengapa, dan bagaimana pendidikan secara mendasar. Dalam makna
ini, ruang lingkup filsafat terbagi ke dalam tiga ruang, yaitu (1) ruang
ontologi pendidikan; (2) ruang epistemologi pendidikan; serta (3) ruang
aksiologi pendidikan.
Dalam ruang ontologi, filsafat pendidikan akan mengulas tentang
apa itu hakikat pendidikan. Kemudian, dalam ruang epistemologi, filsafat
pendidikan akan mempersoalkan mengapa dan bagaimananya pendidikan
89
itu karena pertanyaan mengapa pendidikan dianggap penting dan mesti
ada dalam kehidupan manusia adalah pertanyaan-pertanyaan yang masuk
dalam ruang epistemologi.
Adapun yang ketiga, yaitu dalam ruang aksiologi. Dalam ruang
aksiologi ini, filsafat pendidikan akan mengulas makna keberadaan
pendidikan dalam ruang kehidupan. Di sini filsafat pendidikan akan
mempersoalkan validitasi urgenisasi umum yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah sesuatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.
Lebih jauhnya, filsafat pendidikan akan membawa kita pada
ulasan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pendidikan serta makna yang
mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Ruang lingkup ini akan
kita ulas dalam sub-subbab tersendiri, yang kesemuanya masuk dalam
ruang metafisika filsafat pendidikan—mulai dari metafisika ontologis,
metafisika epistemologi, serta metafisika aksiologi.
D. Metafisika Ontologi Filsafat Pendidikan
Metafisika ontologi filsafat pendidikan berkaitan dengan persoalanpersoalan mendasar tentang hal ihwal hakikat pendidikan dalam ruang
filsafat. Oleh karena itu, di sini pendidikan akan dikritisi dan pertanyaan
secara mendasar; Apa sesungguhnya pendidikan? Mengapa pula ia dinilai
sebagai sesuatu hal yang penting bagi hidup manusia? Suatu ketika,
pendidikan diartikan sebagai proses pembimbingan, pengarahan, dan
pembentukan hidup agar manusia menjadi makin baik dan berkualitas.
Jika ia diartikan sebagai pembimbingan , pengarahan, dan
pembentukan, lalu pengarahan serta pembimbingan seperti apakah
pendidikan itu? Adakah setiap pembimbingan dan pengarahan dapat
diartikan sebagai pendidikan? Atau, justru terdapat kriteria-kriteria
tertentu ketika pengarahan, pembimbingan, dan pembentukan dapat
disebut sebagai pendidikan?
90
Sementara, di waktu yang lain, juga dijelaskan bahwa pendidikan
tidak lain merupakan upaya membentuk manusia agar bermoral dan
berperadaban. Hanya saja, benarkah semua pandangan itu? Benarkah
pendidikan adalah sesuatu hal yang sungguh-sungguh penting atau
justru hanya sesuatu hal dianggap penting, padahal pada dasarnya ia
sesungguhnya tidak penting sama sekali?
Pandangan yang mengatakan bahwa pendidikan tidak lain sebagai
pengarahan, pembimbingan, dan pembentukan hidup agar manusia
bermoral serta memperoleh hidup yang berkualitas, sekilas memang
sangatlah logis, bahkan terdengar begitu sangat pas menawan. Akan
tetapi, jika dikritisi lebih jauh, pernyataan tersebut sesungguhnya memiliki
problem filosofis yang cukup serius, bahkan mencakup seluruh aspek
filsafat—mulai dari sisi ontologis, epistemologis, hingga aksiologis.
Di wilayah ontologis, misalnya, kita akan dihadapkan dengan
problem-problem asumsi dasar atau landasan-landasan etis: mengapa
manusia harus diarahkan dan dibimbing untuk menjadi baik? Benarkah
untuk menjadi baik manusia mesti diarahkan? Adakah jika tidak diarahkan
dan dibimbing, manusia tidak akan mampu “menjadi” baik atau belum
baik atau telah selalu menjadi jahat? Ataukah, karena sejak mula manusia
terlahir sebagai diri yang jahat, kemudian butuh diarahkan dan dibimbing
(dididik) agar bisa menjadi baik? Jika memang benar bahwa pada dasarnya
manusia itu terlahir jahat dan untuk menjadi baik, ia butuh diarahkan
atau dididik, kualitas jahat seperti apakah itu yang hendak dijinakkan
oleh pendidikan?
Anggapan manusia sebagai spesies yang terlahir jahat dan perlu
dibimbing dan diarahkan untuk menjadi baik adalah pandangan yang sulit
diterima, bahkan sangat bermasalah dalam pengertian apa pun. Dalam
ruang etika, misalnya, pandangan ini jelas bertentangan dengan fakta
primordial manusia yang dalam kenyataannya tidak pernah lahir dengan
sebagai “yang jahat” semata, sebaliknya sebagai “yang bisa jahat”.
91
Di sini ungkapan “yang jahat” dan “yang bisa jahat” jelas merupakan
dua ungkapan yang berbeda. Dalam ungkapan yang kedua, kejahatan
tidak pernah menjadi milik manusia secara mutlak. Kebaikan dan
kejahatan atau keburukan bagi diri manusia tidak lain adalah dua hal
yang bersifat potensial. Dua hal itu telah menjadi sesuatu yang terberikan
sejak kemunculannya yang pertama. Oleh karena itu, tidak ada satu pun
manusia yang terlahir sebagai yang jahat, atau sebaliknya sebagai yang
baik. Sebaliknya, ia selalu diri yang ada dalam dua potensi tersebut, yaitu
sebagai yang bisa jahat dan sebagai yang bisa baik.
Jika demikian adanya, di sini kita agaknya kembali pada pertanyaan
awal di atas: apakah pendidikan itu sebenarnya? Dengan kepentingan
mendesak seperti apakah pendidikan mesti diadakan dan diyakini
sebagai sesuatu hal yang dianggap penting bagi keberlangsungan hidup
manusia?
E. Problem Epistemologi Filsafat Pendidikan
Dunia manusia nyaris selalu menjadi dunia pendidikan. Dalam pengertian
ini, dunia yang senantiasa mengakui pendidikan adalah sesuatu hal yang
penting. Hal itu didasarkan pada beragam tujuan nilai, termasuk salah
satunya yang utama adalah adalah tujuan-tujuan etis: untuk membuat
manusia menjadi baik. Pandangan ini kemudian dilengkapi dengan
berbagai penjelasan bahwa pendidikan kemudian memercayai pengetahuan
sebagai instrumen utama guna mendidik manusia. Pendidikan memercayai
bahwa dengan membuat manusia menjadi berpengetahuan manusia akan
menjadi baik.
Pandangan ini telah menjadi common sense yang diterima secara
meluas di berbagai tradisi dan bangsa, bahkan juga mendapat berbagai
legitimasi ortodoksial dari berbagai kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam
tradisi Islam, misalnya, kita bahkan dapat menemukan bahwa mereka
92
memiliki kitab suci yang selalu menyeru para pemeluknya agar selalu
hidup sebagai manusia yang terus mencari ilmu.
Ini bisa kita temukan, misalnya dengan adanya postulasi mencari
ilmu dimulai dari ayunan hingga menjelang kematian. Sementara,
dalam tradisi lainnya, Hindu, misalnya juga memiliki semangat dan
optimisme yang sama dalam meyakini bahwa pengetahuan bisa membuat
manusia menjadi baik. Vedantik bahkan menjadi kitab yang bermakna
pengetahuan. Oleh karena itu, jika sepakat bahwa jalan Hindu adalah
jalan Veda, agama Hindu adalah agama yang menjadikan pengetahuan
sebagai jalan utama untuk seorang Hindu yang baik.
Di periode lama, keyakinan terhadap pengetahuan menjadi
keyakinan umum umat manusia. Manusia di setiap periode, bahkan
selalu memiliki suara yang sama di dalam memercayai pengetahuan.
Pengetahuan dipandang sebagai kunci kebaikan hidup.
Dari pendapat tersebut, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa
tanpa pengetahuan, dunia manusia tidak akan pernah sungguh-sungguh
mampu berdiri menjadi dunia. Sebaliknya, ia akan menjadi ruang lengang,
tempat ribuan pasang mata hidup dalam situasi yang begitu mati dan
tanpa nyala apa pun.
Hanya saja, sepanjang itu kita nyaris tidak pernah menelisik lebih
jauh dan mencoba kritis, dengan bertanya benarkah pengetahuan
dapat membuat manusia menjadi baik? Benarkah pengetahuan dapat
membentuk manusia menjadi spesies yang bermoral? Jika memang
pengetahuan mampu melakukan keajaiban itu, apa sebenarnya yang
dimiliki pengetahuan hingga ia dapat mengubah manusia yang jahat
menjadi manusia baru yang baik?
***
Dalam sejarahnya, siapa pun memang tidak dapat mengingkari
betapa dunia manusia selalu dunia yang lahir dari sesuatu yang oleh dunia
93
disebut sebagai pengetahuan. Cina berabad lampau, misalnya, tanpa
pengetahuan sepanjang waktu tidak lebih akan menjadi kisah primata
berkulit kuning, yang lahir dan hidup di atas endapan sedimen lumpur
berwarna. Hal yang sama juga akan terjadi pada tradisi Indus, Mesir,
Asyiria, Persia, serta Yunani. Tanpa pengetahuan, mereka bukanlah apa
pun selain deretan kisah tentang bagaimana manusia, yang terus berupaya
mempertahankan kehidupan fisiknya dengan pola yang begitu alami dan
instingtual.
Dengan tipe kecerdasan instingnya yang dinamis, manusia mungkin
tetap mampu mempertahankan kelestarian spesiesnya sampai kapan pun.
Akan tetapi, tanpa pengetahuan, semua pelestarian itu tidak akan berarti
apa pun. Sepanjang waktu, manusia akan hidup sebagaimana kawanan
burung atau sekumpulan bison yang hidup dan bertahan berdasarkan
kesadaran-kesadaran insting serta kelompoknya. Tanpa pengetahuan,
kehidupan manusia tidak akan pernah bergerak ke mana pun selain
berputar-putar menjadi hewan yang sepanjang waktu tidak pernah
mengalami ketersadaran apa pun.
Manusia kemudian akan hidup dalam situasi yang paling primordial,
yang berjalan dalam keteraturan waktu tubuh serta instingtualnya.
Pengetahuan demikian tak ubahnya tangan halus yang ajaib. Tangan
halus yang dengan diam-diam datang lalu memberi ruh bagi hidup
yang sepenuhnya beku dan tidak bergeming. Pengetahuan mengubah
kehidupan, tidak lagi hanya sekadar “udara”, tetapi “napas” yang hidup.
Manusia yang pada mulanya hidup dengan pola apa adanya, karena
pengetahuan, kemudian memulai hidupnya dengan cara serta kesadarankesadaran baru. Meskipun di era-era awal, peran pengetahuan berkisar pada
aspek-aspek yang begitu pragmatis, terkait dengan berbagai pengubahan
sisi praksis keberlangsungan hidup semata, lahirnya pengetahuan telah
menjadi era baru yang menandai betapa gerak sejarah perjalanan manusia
telah dimulai dalam pola yang sepenuhnya berbeda dari sebelumnya.
94
Dalam fashion, misalnya, manusia yang pada mulanya hidup seperti
binatang, tanpa pakaian apa pun, di era ini mulai mengalami gejala fashion,
tertarik menggunakan pakaian-pakaian ala kadarnya. Dalam soal pangan,
manusia yang mulanya hidup dalam pola berburu, mulai melakukan
kerja-kerja produksi, termasuk salah satunya mulai mengenal cara hidup
bercocok tanam. Pendeknya, sejak pengetahuan itu tiba, manusia terlahir
menjadi subjek yang tumbuh dan terus mengalami perkembangan
kesadaran dan terus-menerus melakukan berbagai pengubahan pada
keberlangsungan hidup yang ada.
Pengetahuan telah membuat manusia berubah tidak lagi sekadar
primata atau hewan berkaki dua yang mampu berjalan tegak. Pengetahuan
telah mengubah manusia menjadi makhluk yang juga mengenal seni
tata cara menjalani hidup dengan cara yang jauh lebih baik, termasuk
salah satunya berkaitan dengan soal pemenuhan kebutuhan makanan,
minuman, serta hal-hal praktis lainnya.
Secara kreatif, dalam berhubungan dengan sesamanya, pada periode
itu manusia juga mengalami perkembangan signifikan. Manusia mulai
menciptakan simbol-simbol verbal ataupun simbol-simbol non-verbal.
Meskipun simbol-simbol itu masih begitu sangat sederhana, hal itu
menjadi tanda bahwa periode hidup baru telah dimulai dengan semangat
dan tatapan yang jauh lebih memiliki ruh.
Kelak, di kemudian hari, gejala ini akan diungkap sebagai gejala
awal manusia dalam berbahasa—era ketika untuk kali pertama manusia
mulai menggunakan sistem kode atau fase pertama, tempat embrio bahasa
ditemukan serta berkembang ke dalam bentuk baku yang paling secara
sederhana. Pengetahuan menjadi hal yang ajaib, yang selalu berhasil
mengubah manusia dari spesies yang begitu sangat hewan menjadi
makhluk kreatif yang hidup dalam berbagai penciptaan.
Di sini, menjadi hal yang tepat jika seorang Hegel kemudian
menyadari pengetahuan sebagai wujud teoretis dari adanya ruh kehidupan
95
serta wujud abstrak dari sesuatu yang bernama “peradaban” dimulai.
Pengetahuan adalah berkah yang membuat hidup manusia makin menjadi
baik—hidup yang pada mulanya bukan apa pun. Pengetahuan kemudian
mengalami pemaknaan menjadi keberlangsungan yang memiliki nilai,
makna-makna, dan tujuan.
Manusia kemudian hidup dalam visi atau penglihatan baru, ketika
hidup tidak lagi dialami secara sekadarnya, semata-mata hanya sebagai
gerak insting dan gejala tubuh. Sebaliknya, ruang aktual, tempat hidup
selalu terarah pada proyeksi, makin pasti dan terang. Di titik inilah, untuk
kali pertamanya, manusia mulai mengalami kesadaran falsafi yang paling
sederhana. Maka, jika ditanyakan filsafat apa yang pertama kali lahir,
jawabannya adalah pengetahuan. Pengetahuan itulah filsafat yang pertama
kali manusia temukan. Pengetahuan membuat manusia menjadi bijak,
baik di sisi pragmatis ataupun kesadaran.
Hingga di sini pengetahuan terlihat memiliki peran yang begitu
penting. Sebab, pengetahuan manusia bahkan mulai mengalami
kebernapasannya dengan berbagai pertanyaan serta kegelisahankegelisahan elementer akan diri pribadi serta keberadaannya sebagai salah
satu primata yang menghuni tatanan alam biosfera ini. Maka, pada periode
ini, kegelisahan-kegelisahan tentang siapakah aku, dari mana, bagaimana,
dan mengapa aku hadir meruang dengan begitu berlimpah, tidak ubahnya
hamparan air di setiap sungai. Dengan pola yang sederhana, diam-diam
serta nyaris tanpa suara, kegelisahan-kegelisahan itu terus membanjir
dan menjangkiti benak setiap pribadi. Manusia mulai berpikir tentang
keberadaan asal kedatangannya, arah kepulangan, dan tujuan keberadaan
yang mereka alami.
Perlahan dan pasti, di periode itulah manusia mulai menyadari
dirinya sebagai sosok yang berbeda dari spesies lain. Mereka sampai pada
perenungan-perenungan: betapa hidup yang mereka miliki bukanlah
hidup yang sama dengan hidup makhluk mana pun. Manusia mulai
96
terbuka pada gagasan-gagasan baru tentang hidup. Meski bersamaan
dengan tumbuhnya keterbukaan-keterbukaan itu, masa lalu masih
menjadi ingatan-ingatan yang terus hidup dan tak sungguh-sungguh
terlepaskan.
Jauh sebelum mereka berpengetahuan, di situasi-situasi tertentu,
mereka kerap bersikap seperti serigala. Mereka mendesis seperti ular,
memukul-mukul dada sebagaimana gorila, atau meraung-raung
sebagaimana kera. Saat makan, mereka bahkan makan dengan cara yang tak
berbeda. Mereka memetik buah-buahan di hutan seperti kera, memakan
daging seperti halnya serigala, harimau, singa, ataupun kucing.
Di hari-hari yang lain, saat mereka tidak lagi menemukan binatang
yang bisa diburu, mereka pun mengunyah rumput seperti rusa serta
hewan herbivora lainnya. Namun, belakangan hal alami itu berubah.
Sejak pengetahuan menghampiri, mereka tidak lagi bisa melakukan cara
hidup seperti di atas. Uniknya, itu bukan karena mereka tidak mampu
melakukannya, melainkan karena kesadaran-kesadaran diri mereka
melarang hal itu. Kesadaran pola hidup baru telah merebut mereka untuk
tinggal dan hidup dalam cara pandang yang lain.
Di sebagian diri, kesadaran-kesadaran tersebut terkadang tumbuh
dengan begitu kuat meski tidak selalu sama di sebagian diri yang lain.
Maka, saat kenangan serta ingatan-ingatan masa lalu menyergap, mereka
dilanda kegelisahan dingin dan yang tak terkatakan.
Ingatan-ingatan itu tak ubahnya mimpi buruk yang terus hadir
dalam tidur ataupun dalam keterjagaan. Di waktu-waktu tertentu, ketika
mereka tengah mengalami diri mereka, ingatan-ingatan itu berpengaruh
sedemikian kuat sehingga sebagian diam-diam memutuskan kembali
dengan pola pengaturan lama. Mereka hidup dalam ketelanjangan bebas,
bergerak dalam kebebasan, serta keliaran-keliaran murni.
Mereka rindu situasi-situasi saat sepanjang waktu berdiri di atas
tebing, lalu berteriak dan mengeluarkan suara lolongan seperti serigala.
97
Atau, situasi-situasi ketika mereka mengunyah daging dari tubuh binatang
buruan meski kerinduan-kerinduan itu selalu pupus dengan sendirinya,
terutama ketika kesadaran mereka berbenturan dengan kenyataan hidup,
betapa mereka bukan lagi diri yang sama seperti di era masa lalu.
Dalam berbagai hal, mereka mungkin masih mengenal dengan baik
setiap inci kehidupan lampau yang pernah dilewati. Mereka mengingat
dengan baik bagaimana cara memakan burung tanpa membunuhnya
terlebih dahulu atau menggali tanah dengan jari jemari, untuk
mendapatkan seekor ular guna diminum darahnya.
Akan tetapi, kesadaran hidup yang disentuh tangan pengetahuan
benar-benar telah menjadi koma juga spasi, yang membuat mereka tidak
lagi sanggup melakukan pola pengintegrasian diri dengan cara yang sama,
sebagaimana saat mereka masih hidup di masa lampau.
Oleh karena itu, seluruh ingatan juga kenangan-kenangan hidup
masa lampau kemudian hidup dalam ruang-ruang tersembunyi,
terpendam di alam bawah sadar. Kelak, di masa-masa berikutnya, ketika
mereka mulai mengalami periode-periode falsafi di fase lebih jauh, tanpa
mereka sadari, ingatan-ingatan itu akan kembali hadir, meruang, serta
memberikan pengaruhnya secara berlimpah, termasuk dalam upaya-upaya
mereka dalam melakukan pencarian atas kegelisahan-kegelisahan hidup
yang menimpa.
Pengaruh itu salah satunya terekspresikan secara khas dengan
adanya kebiasaan baru di antara mereka, yang tiba-tiba gemar melakukan
pemujaan terhadap berbagai binatang. Ada yang mengultuskan jenis-jenis
burung tertentu, ular, ada pula yang mengultuskan serigala serta hewan
lainnya. Kultus atau pemujaan seperti ini menjadi gejala umum yang biasa
terjadi di masyarakat kuno, di ruang ketika hidup masih berlangsung
dengan cara-cara yang begitu alami dan penuh kesahajaan.
Di Mesir, misalnya, terdapat pemujaan terhadap beragam jenis
hewan, mulai dari kucing, ular, anjing, serta burung. Hal yang sama
98
juga terjadi di Yunani. Orang-orang Yunani memandang burung sebagai
hewan yang memiliki kecerdasan tertentu. Pola-pola pemujaan seperti ini
memiliki tipologi yang berbeda-beda di setiap tradisi. Di Mesir, pemujaan
binatang terlihat lebih terarah pada hewan-hewan yang dipandang
berkekuatan fisik, seperti buaya, ular, ataupun serigala.
Periode ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga kemudian
digantikan dengan hadirnya sosok adikodrati baru yang dikenal sebagai
dewa atau titan. Kemunculan para dewa atau para titan ini tidak melahirkan
tatanan dunia baru sama sekali. Sebaliknya, meneruskan hidup yang ada.
Perpaduan unik antara sosok adikodrati itu dan binatang-binatang yang
disucikan ini melahirkan gejala yang oleh G.W.E. Hegel, disebut zoolatry
atau semacam pemujaan para dewa yang digambarkan bertubuh setengah
manusia dan setengah binatang.
Di periode awal, kemunculan para titan atau dewa-dewa zoolatry
ini semakin menguatkan posisi pentingnya pengetahuan. Pengetahuan
bahkan diinsyafi sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Ini bisa ditemukan
di berbagai peradaban tua dunia yang selalu menjadi tradisi yang sarat
dengan kearifan serta perhatiannya yang begitu berlimpah pada sesuatu,
yang oleh kita di hari ini, dikenal sebagai pengetahuan.
Indus, misalnya, pada periode itu, tumbuh menjadi negeri tempat
pengetahuan disadari dengan pola transendensi menakjubkan, disadari
sebagai kunci menuju Tuhan. Maka, di Indus, Vidya atau Veda, yang
berarti pengetahuan menjadi kitab suci yang disucikan.12 Vidya atau
Veda di sini dianggap sebagai sesuatu yang suci karena dianggap sebagai
perkataan Tuhan. Gambaran tidak berbeda juga terjadi di Cina, Mesir,
Babilonia, Asyiria, dan Persia, tempat perhatian dan kepedulian akan
pengetahuan berlangsung dengan sama berlimpahnya. Di Mesir Lama,
kita akan menemukan sosok adikodrati bernama Thoth.
12. Kata ini kerap dilawankan dengan kata Avidya yang berarti tanpa pengetahuan.
99
Thoth adalah sosok menawan yang dipandang sebagai dewa
pengetahuan. Ia tak berbeda dengan Ganesha atau Saraswati di dalam
tradisi Indus. Thoth ini pula yang konon melahirkan tulisan untuk pertama
kalinya. Selain itu, Thoth juga dipandang sebagai penemu ilmu hitung,
ilmu astronomi, ilmu musik, kedokteran, hukum, olahraga, bahasa, serta
semua hal yang teratribusikan ke dalam sistem pengetahuan.
Di antara negeri-negeri itu, Yunani ternyata bukan negeri berbeda.
Di sana kita akan menemukan adanya sosok adikodrati yang tidak berbeda
dengan Thoth di Mesir atau Ganesha di India. Kesemua itu menunjukkan
betapa jauh di waktu yang begitu lampau, Yunani telah pula hidup dalam
kesadaran logos atau pengagungan dan penyucian pada pengetahuan.
Apollo adalah titan pengetahuan, yang disadari tak berbeda dengan Thoth
di Mesir atau Ganesha di Indus.
***
Begitulah dunia manusia lahir dan terbangun, dari dan dengan
pengetahuan. Pengetahuan telah membawa manusia pada berbagai
keajaiban yang terus berkembang tanpa ada habisnya. Dalam lindungan
dan sentuhan pengetahuan, kehidupan tumbuh menjadi keajaiban yang
sarat dengan berbagai kesenangan serta kepuasan. Meski sayangnya,
periode-periode menyenangkan ini tidak sanggup berlangsung lebih lama,
dari waktu yang diharapkan. Bersamaan dengan tumbuhnya kelimpahankelimpahan itu, pengetahuan pun kemudian mulai tercemar berbagai hal
yang begitu gelap.
Tanpa manusia sadari, bersamaan dengan tumbuhnya pohon
pengetahuan, diam-diam, sesuatu yang begitu gelap dan pekat lahir serta
berkembang hingga berlimpah. Sesuatu yang gelap ini, bahkan memiliki
sistem jauh lebih canggih dari capaian yang telah pengetahuan temukan.
Ini terlihat manakala hal gelap ini selalu mampu mengadaptasikan diri
100
pada seluruh sistem pengetahuan-pengetahuan yang ada sehingga mereka
menjadi begitu berkuasa dalam kehidupan yang ada.
Di kemudian hari, “hal gelap” ini dikenal sebagai sesuatu yang
bernama “hasrat”. Para sarjana modern membuat analisis betapa di era ini
manusia mulai dikendalikan oleh hasrat-hasrat baru, yang tidak mereka
pahami, dan belum pernah mereka rasakan, di kehidupan sebelumnya.
Hasrat-hasrat itu menguat, menguasai dari segala sisi, dari sisi
yang tersembunyi hingga sisi yang terlihat. Pengetahuan, sesuatu yang
pada mulanya menjadi hal suci serta mampu membawa manusia dalam
keselarasan-keselarasan hidup menawan, seketika berubah menjadi bengis,
mengerikan, dan melahirkan hal-hal yang bersifat ilusif.
Mulanya, rasio memang menjadi berkah. Namun, saat ia tumbuh
menjadi besar, rasio kemudian melahirkan dilema sebab ia selalu membawa
manusia pada dua medan energi kuat, yang terus saling bertentangan,
antara satu sama lainnya. Secara potensial, manusia sebenarnya memiliki
kebebasan memilih salah satu dari dua energi itu sehingga pengetahuan
bisa diselamatkan dari berbagai pencemaran-pencemaran.
Akan tetapi, sejarah sepertinya memiliki takdir yang sulit diterka
centang perenangnya. Dalam hidupnya, manusia tampaknya lebih
sering membuat pilihan yang salah sehingga yang dihidupinya justru
energi-energi gelap yang membuat pengetahuan terus mengalami
pencemaran. Pencemaran yang membuat pengetahuan kemudian
kehilangan berkah dan kesembuhannya.
Pengetahuan, sesuatu yang pada mulanya, tumbuh, selaras dengan
semangat kehidupan yang murni, pada perkembangannya justru
memunggungi kehidupan meski di beberapa negeri hal itu tidak selalu
menunjuk indikasi yang sama. Namun, di banyak negeri, tumbuhnya
pengetahuan selalu nyaris menjadi awal berkuasanya kekuatan gelap
yang jahat dan mengerikan—kekuatan gelap yang membuat kehidupan
menjadi tragedi yang penuh dengan kepedihan dan ratapan.
101
Pencemaran itu terus berlangsung hingga membawa manusia pada
puncak kehidupan yang sarat dengan berbagai kekacauan. Tanda tidak lagi
menunjuk pada arah yang benar. Pengetahuan berkembang di ruang-ruang
yang sepenuhnya berpisah dari kehidupan yang ada.
Kenyataan itu mengundang sebuah refleksi: betapa kepercayaan
lama akan pengetahuan yang ajaib tidak lagi memadai untuk digunakan
sebagai pijakan hidup. Pengetahuan ternyata tidak selalu menunjuk arah
yang terang. Suatu ketika, dengan tanpa terduga, pengetahuan bahkan
sanggup mengarah pada berbagai hal yang berlawanan. Berlimpahnya
pengetahuan menjadi awal, berlangsung, dan dimulainya zaman yang
sepenuhnya gelap.
Di sebagian dunia yang lain, gejala ini membawa beberapa diri pada
beberapa perenungan (kontemplasi) seputar pengetahuan-pengetahuan
yang melahirkan kekacauan hidup atau sebaliknya. Di sini, diri-diri itu
melakukan pelacakan mendasar tentang pengetahuan serta keterkaitannya
dengan hidup yang ada.
Sayangnya, sejauh itu kegelisahan-kegelisahan yang muncul selalu
menjadi anak panah yang membentur kerasnya dinding batu. Meski di
satu sisi mereka memang telah menemukan betapa pengetahuan yang
tercemar itulah yang menjadikan hidup penuh dengan kekacauan, sejauh
itu mereka tetap tidak sanggup menemukan akar penyebab yang membuat
pengetahuan-pengetahuan itu bisa mengalami ketercemaran.
Dunia mungkin butuh sesuatu hal yang baru, sesuatu hal yang bisa
membawa manusia pada pemahaman hidup yang benar. Akan tetapi,
apakah itu? Seseorang mengatakan bahwa “sesuatu itu” adalah sesuatu
yang sanggup memberitahukan manusia, dalam membedakan, mana
pengetahuan ilusi dan mana pengetahuan yang senyatanya.
Tanpa itu, tumbuhnya pengetahuan akan terus-menerus melahirkan
tragedi secara berulang dari waktu ke waktu, sejak awal kali pertama
102
manusia mulai memercayai dan menemukan pengetahuan hingga ketika
manusia mulai kehilangan kepercayaan pada pengetahuan.
Pengetahuan telah sedemikian tercemar sehingga kepedihan demi
kepedihan tumbuh dan berkarat di setiap diri, bahkan pada setiap bocah,
bersamaan dengan makin majunya perkembangan pengetahuan. Ini
memang ironi yang kuat. Sesuatu hal yang menunjuk betapa sesuatu yang
suci dan hangat dapat membawa manusia pada kehidupan yang agung,
suatu ketika juga bisa berubah menjadi sesuatu yang begitu dingin, bengis,
dan tanpa mata. Maka, hidup sepenuhnya merupakan kebuntungankebuntungan perih nan busuk. Pengetahuan memang ajaib. Namun,
keajaibannya senantiasa bersifat potensial. Oleh karena itu, keberlimpahan
pengetahuan kerap menjadi keberlimpahan terburuk yang bisa membawa
hidup jauh dari berkah dan kesembuhan.
Di tengah-tengah zaman, ketika keberlimpahan pengetahuan
kehilangan daya sembuhnya, filsafat untuk kali pertamanya lahir dan
memulai perjalanannya dengan cara yang begitu marginal. Oleh karena
itu, Yunani sesungguhnya bukanlah rahim pertama tempat filsafat lahir
dan dimulai. Yunani adalah akumulasi kepedihan dan keprihatinan zaman,
ketika keberlimpahan pengetahuan telah memunggungi kehidupan.
Filsafat tidak muncul ketika dunia hampa pengetahuan. Filsafat
justru terlahir ketika keberlimpahan pengetahuan tidak lagi memiliki
kesembuhan hidup. Filsafat selalu tidak lain adalah falsifikasi dan
pencarian dasar untuk menjadi bijaksana dan sembuh, serta landasan
mengapa kita, manusia, mesti menyakini bahwa pengetahuan adalah
kunci dari segala kebaikan hidup.
Di sini jika filsafat dipandang lahir di Yunani, filsafat di Yunani
tidak lahir sebagai fase pengetahuan pertama, ketika pemikiran manusia
baru memasuki tahapan how to know atau ketika hidup manusia baru
mengalami ketersadaran hidup di wilayah teknis pragmatis. Sebaliknya,
filsafat di Yunani lahir pada fase pengetahuan kedua, yaitu masuk di
103
tahapan how to act—tahapan ketika di satu sisi dunia manusia telah
sarat dengan pengetahuan, sedangkan di sisi yang lain pengetahuan telah
kehilangan visi kosmologisnya.
Dalam pengertian inilah, kegelisahan-kegelisahan filsafat di Yunani
tidak muncul sebagai gejala filsafat yang bersifat mekanistis yang mengulas
persoalan-persoalan teknis pragmatis hidup, sebaliknya bersifat abstrak
teoretis, sarat dengan kosmologi dan problem-problem etika. Kenyataan
ini memiliki bukti dan penggambaran banyak hal.
Yunani di era-era itu, sepertinya cukup memahami betapa
pengetahuan tidak pernah berimplikasi tunggal. Sebaliknya, selalu menjadi
hal yang potensial. Yunani dengan kejeliannya memahami hal ihwal sejarah
pengetahuan. Betapa di negeri-negeri di masa lalu, pengetahuan, selalu
menjadi Dewa Janus,13 yang di satu sisi, membangkitkan hidup. Akan
tetapi, di waktu yang lain, pengetahuan sanggup pula menghancurkan
peradaban yang paling agung.
Di Indus, pencarian-pencarian pengetahuan itu melahirkan para
Rishi—sosok pelihat yang mampu mendengar suara-suara suci dan
mengalami ingatan-ingatan suci. Sedangkan, di kaki Himalaya, pencarianpencarian itu melahirkan Aria Sangha atau orang yang dipandang duduk
di atas garis kesempurnaan hidup.
Di Cina, pencarian itu melahirkan Kong fu Tze dan Lao Tze serta
berderet-deret nama tokoh yang kemudian dikenal dengan sebutan para
Junzi. Junzi adalah sosok pemberani, sama pemberaninya dengan para
filsuf di Yunani—meski para filsuf Yunani lebih banyak dikenal sebagai
“Docta Ignoratia” atau sekumpulan orang-orang bodoh yang bijak.
13. Janus adalah nama dewa yang memiliki dua wajah. Di satu sisi, wajahnya terlihat begitu
baik, tapi di sisi yang lain, wajahnya begitu menyeramkan, dan bengis. Janus ada dalam
mitologi Romawi Kuno, dikenal sebagai dewa berwajah dua. Satu menghadap ke depan
dan satunya ke belakang. Janus yang juga berarti pintu, gerbang, gapura, porta, lorong
masuk, dewa yang penguasa segala pintu, dan pelindung segala karya.
104
F. Metafisika Aksiologi Filsafat Pendidikan
Ungkapan bahwa pendidikan adalah proses pembimbingan dan
pembentukan yang dapat membawa manusia menjadi baik dan
memiliki hidup berkualitas sesungguhnya juga sangat berpolemik.
Sebab, ungkapan itu memiliki kesan superior yang negatif. Ungkapan
ini bahkan memiliki kesan makna yang bersifat sangat politis. Dengan
embel-embel serta legitimasi-legitimasi tertentu, sekelompok orang
kemudian menginferiorkan sekelompok orang yang lain sebagai diri
yang tidak berarah serta belum bermoral sehingga harus diselamatkan,
diarahkan, dan dibentuk agar menjadi baik.
Di sini, pendidikan menjadi ruang kesewenang-wenangan yang
paling mengerikan, ruang tempat humanisasi dan pelestarian dehumanisasi
dilakukan dengan cara begitu terselubung. Ini disebabkan ketika proses
pembentukan dan pengarahan itu secara otomatis akan mematikan
independensi masing-masing diri. Di sini, baik buruk telah ditetapkan
secara baku dan tanpa pilihan. Lebih jauh, hidup setiap diri bahkan telah
diformat dan dipilihkan sedemikian rupa oleh diri-diri yang lain.
Kenyataan ini tentu saja menjadi hal yang sangat menggelikan dan
konyol. Dalam sebuah analogi, misalnya, pendidikan seperti ini sama
halnya dengan membuat aturan bahwa setiap pohon tanpa terkecuali
harus tumbuh, berakar, memiliki batang, berdahan, beranting, berdaun
dengan cara yang sama, serta menghasilkan buah yang sama.
Sedangkan, dalam kenyataannya, tidak setiap pohon sama meskipun
mereka memiliki kesamaan-kesamaan tipikal. Itu tidak berarti membuat
bahwa setiap pohon dapat disamakan secara membabi buta, misalnya
semua pohon mesti tumbuh dan berbuah sama seperti halnya anggur.
Oleh karena itu, tanpa terkecuali, setiap pohon kemudian “dianggurkan”
(dipaksa menjadi anggur) meskipun ia sama sekali bukan pohon
anggur.
105
Pola-pola seperti ini jelas hal yang sangat tidak masuk akal. Sama
tidak masuk akalnya dengan memaksa setiap diri menjadi yang lain
dan menjalani hidup yang bukan hidupnya. Bisa dibayangkan betapa
menggelikannya jika di rimba seluruh pohon tumbuhnya dibatasi.
Dalam ruang ini, pendidikan menjadi ruang pembatasan
humanitas yang diproduksi secara rapi dan sistematis, yaitu setiap orang
dihomogenitaskan menjadi diri yang sama dan begitu membabi buta.
Memberi label “penting” pada sesuatu hal tentu saja bukan sesuatu
hal yang sulit untuk dilakukan, terutama jika pemberian itu dilakukan
tanpa pertimbangan etika. Kita bahkan dapat memberi label “penting”
pada hal yang paling sepele dan paling remeh atau sebaliknya memberi
label pada sesuatu hal yang teremeh sebagai sesuatu hal yang kemudian
dianggap penting.
Dalam pertimbangan apa pun, pemberian label seperti itu bukanlah
hal yang dibenarkan sebab ia menjadi kebohongan yang begitu sesat dan
menyesatkan. Dalam pertimbangan ini, kualifikasi apa pun sesungguhnya
tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau tanpa didasarkan pada
pemahaman-pemahaman menyeluruh dan mendasar pada kualitas-kualitas
atau situasi-situasi yang meliputi sesuatu yang dikualifikasikan tersebut.
Dalam pengertian ini, jika kita menganggap sesuatu hal sebagai
sesuatu yang demikian, secara serta-merta kita mesti pula telah memahami
dengan baik apa, mengapa, dan bagaimananya sesuatu hal tersebut dapat
kita anggap sebagai sesuatu hal yang begitu penting. Hal ini tidak hanya
berlaku pada satu hal, tetapi berlaku pada apa pun, termasuk salah satunya
pada pendidikan.
Di sini, anggapan pendidikan sebagai sesuatu yang penting bagi hidup
manusia pada akhirnya menjadi sesuatu hal yang tidak pernah sederhana,
sebaliknya menjadi sesuatu hal yang serius dan membutuhkan pemahamanpemahaman yang utuh meliputi aspek ontologis, epistemologis, serta
aksiologis pendidikan. Meski demikian, pertama-tama kita agaknya harus
106
memahami sisi aksiologis pendidikan bagi hidup manusia atau tujuan
dan fungsi mendasar yang menjadi landasan mengapa pendidikan dinilai
penting dan dipandang mesti diadakan di dalam kehidupan?
Fungsi yang tidak jelas itu tentu saja merupakan sebuah kekonyolan
yang paling tidak termaafkan. Bagaimana bisa sesuatu hal dinilai sebagai
sesuatu yang penting, sedangkan kadar fungsi serta kegunaan sesuatu hal
tersebut belum diketahui? Andaipun ia masuk kategori penting, kita juga
perlu mempertanyakan lebih jauh, seberapa jauh tingkat urgensitasnya?
Apakah ia layak dikategorisasikan sebagai sesuatu hal yang begitu teramat
penting atau justru hanya pantas dianggap sedikit penting saja?
***
Sementara itu, secara praksis, berdasarkan problem-problem di atas,
perlu agaknya merumuskan ulang apa, mengapa, dan bagaimananya
pendidikan itu. Hal ini bisa dimulai dengan pertanyaan yang bertalian
dengan apakah pendidikan itu, bagaimanakah sifat pendidikan itu?
Apakah pendidikan merupakan sosialisasi? Apakah pendidikan sebagai
pengembangan individu? Bagaimana mendefinisikan pendidikan?
Apakah pendidikan berperan penting dalam membina perkembangan
atau mengarahkan perkembangan siswa? Apakah perlu membedakan
pendidikan teori dengan pendidikan praktik?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang hendak
dicapai oleh pendidikan, mulai bagaimana proporsi pendidikan yang
bersifat umum? Bagaimana proporsi pendidikan khusus yang disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing individu? Apakah peserta didik
diperbolehkan berkembang bebas? Apakah perkembangan peserta didik
diarahkan ke nilai tertentu? Bagaimana sifat manusia? Dapatkah manusia
diperbaiki? Apakah manusia itu sama atau unik? Apakah ilmu dan teknologi
satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi? Apakah tidak ada
kebenaran lain yang dapat dianut pada perkembangan manusia?
107
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan cara terbaik
perealiasasian tujuan pendidikan, antara lain, apakah pendidikan harus
berpusat pada mata pelajaran atau peserta didik? Apakah kurikulum
ditentukan lebih dahulu atau berupa pilihan bebas? Ataukah, peserta didik
menentukan kurikulumnya sendiri? Apakah lembaga pendidikan permanen
atau bersifat tentatif? Apakah proses pendidikan berbaur pada masyarakat
yang sedang berubah cepat? Apakah diperlukan kondisi-kondisi tertentu
dalam membina perkembangan anak? Siapa saja yang perlu dilibatkan
dalam mendidik anak-anak? Perkembangan apa saja yang diperlukan
dalam proses pendidikan? Apakah diperlukan nilai-nilai penuntun dalam
proses pendidikan? Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu: otoriter,
primitif, atau demokratis? Belajar menekan prestasi atau terpusat pada
pengembangan cara belajar dan kepuasan akan hasil belajar?
G. Filsafat Pendidikan Socrates
“Kalau boleh kusarankan, sedikitlah berpikir tentang Socrates, tapi
banyaklah berpikir tentang kebenaran.” (Socrates)
***
Siapa yang tidak kenal Socrates? Socrates nyaris menjadi nama yang
terus hidup dan populer di sepanjang periode sejarah, terutama sejak
tahun-tahun pertama periode Masehi dimulai. Dalam popularitasnya
yang begitu luar biasa, Socrates tetap menjadi sosok tersembunyi yang
sesungguhnya tidak banyak dipahami oleh berbagai kalangan, baik dalam
makna umum dalam ruang filsafat maupun makna khusus sebagai seorang
manusia yang memiliki kehidupan yang tentu saja sangat pula tidak sama
dengan individu lainnya.
Hingga sejauh ini, siapa pun tidak akan menemukan literatur
yang mengungkap makna historis Socrates dalam dunia filsafat dalam
108
penjabaran yang jauh lebih jujur. Kebanyakan literatur selalu hanya
menyanjung-nyanjung Socrates sebagai filsuf besar tanpa pernah mampu
mengungkapkan bagaimana sesungguhnya posisi Socrates dalam konstelasi
pemikiran filsafat yang berkembang di Yunani pada waktu itu? Kenyataan
tersebut selain sangat memprihatinkan, juga menjadi ironi terbesar
kesejarahan kajian filsafat, terutama jika kita kaitkan dengan kenyataan
filsafat sebagai bidang kajian yang berusia sangat tua. Paling tidak, hal
ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagaimana bisa sebuah bidang
kajian yang berusia begitu tua, gagal menjelaskan konfigurasi-konfigurasi
perkembangannya secara jelas. Kenyataan menjadi sebab yang membuat
mengapa hingga sampai hari ungkapan Socrates yang berkata bahwa hidup
yang tidak dimengerti tidak layak dijalani kerap menjadi pemikiran filsafat
yang dipandang genuine. Kenyataan tersebut akan menjadi lain kisahnya
jika orang mengerti betapa dua abad sebelum Socrates mengatakan hal
itu, telah terdapat tujuh manusia sophis yang hidup dalam prinsip-prinsip
Delphian. Salah satu prinsip Delphi ini adalah ajaran yang menyeru pada
siapa pun untuk mengenali diri: kenalilah dirimu.
Mengenai hal ini, Nietzsche dalam karyanya Twilight of Idols and the
Anti-Christ, agaknya menjadi diri yang paling jujur dalam melihat Socrates.
Meski dalam sisi yang lain, obsesi filsafatnya akan sosok ubbermench telah
membuatnya tidak melihat jauh lebih saksama betapa dalam apa pun
Socrates, khususnya kemartiran dalam dunia filsafat, melahirkan beragam
kebijaksanaan baru yang tidak begitu menjelaskan betapa Socrates nyaris
layak dikatakan sebagai filsuf. Kematiannya seakan menjadi pintu yang
membuka dan menjelaskan pada khalayak betapa filsafat bukan sekadar
intelektualitas atau mengerti secara logis, melainkan sebuah keteladanan
akan hidup yang benar-benar mengerti dan mendalam.
***
109
Socrates adalah seorang pemikir besar kuno (470–399 SM).
Gagasan-gagasan filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukkan
untuk memberikan pengaruh yang mendalam dan abadi pada teori dan
praktik pendidikan di seluruh dunia Barat. Socrates yang dilahirkan di
Athena adalah putra seorang pemahat dan seorang bidan yang hanya
sedikit dikenal kecuali nama mereka, yaitu Sophonicus dan Phaenarete.
Sepanjang hidupnya, Socrates tidak pernah menuliskan pemikiran
apa pun. Dalam banyak hal Socrates lebih banyak bekerja sebagaimana
para nabi, langsung terjun serta memberi contoh secara langsung akan
hal-hal serta hidup yang ia maksud. Contoh itu tidak hanya ia buktikan
dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan yang sungguh-sungguh
hidup.
Menurut Socrates, hidup yang sebenarnya tidak lain adalah hidup
mengatasi jasad. Dengan mengerti hidup, menurut Socrates, setiap diri
akan tahu bahwa dalam hidup segala sesuatu sesungguhnya senantiasa
berlangsung dengan sederhana, namun tidak pernah menjadi sesuatu yang
sederhana. Misalnya, bisa dicontohkan dengan perilaku minum-minum
manusia dalam hidup.
Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah
metode dialektis. Metode ini digunakan oleh Socrates sebagai dasar
teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seorang belajar
agar dapat berpikir secara cermat, untuk menguji coba diri, dan untuk
memperbaiki pengetahuannya.
Seorang guru tidak memaksakan wibawa, gagasan, atau
pengetahuannya kepada seorang siswa karena seorang siswa dituntut
mengembangkan pemikirannya dengan berpikir secara kritis. Ini adalah
suatu metode untuk meneruskan intelektualitasnya dan mengembangkan
kebiasaan serta kekuatan mentalnya.
Tujuan pendidikan yang sebenarnya menurut Socrates adalah
untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan
110
menghasilkan perkembangan intelektual terus-menerus dan standar moral
yang tinggi (Smith, 1986:25).
Dengan menggunakan metode mengajar yang dialektis ini, Socrates
menunjukkan bahwa jawaban-jawaban terbaik atas pertanyaan moral
menurut pendapatnya adalah cita-cita yang diajarkan oleh para pendiri
agama, cita-cita yang melekat pada ketuhanan, cinta pada umat manusia,
keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan,
hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan
hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan segala kebajikan lama.
Salah satu pendirian Socrates yang terkenal: pengetahuan adalah
kekuatan. Socrates yang terkenal dengan ungkapan bahwa pendidikan
membuktikan bahwa keutamaan tidak dapat diajarkan dan pendidikan
tidak mungkin dijalankan.
Seruan alternatif Socrates ditujukan pada kemampuan manusia
untuk berpikir menertibkan, meningkatkan, dan mengubah dirinya.
Pengetahuan menyatakan kebajikan. Dengan demikian, lahirlah orang
yang sekadar tidak berpura-pura saja terhadap cita-cita teoretis, tetapi
sungguh-sungguh mengetahui dan mengerti apa yang benar karena ia
telah mengalami dan menyadari konsekuensi-konsekuensi perbuatan
apa yang benar.
Cara Socrates pada dasarnya disebut “dialekta”. Di dalam pengajaran
itu, dialog memegang peranan penting. Berbeda dengan seperti Plato, di
sini Socrates tidak membangun sistem filsafat yang luas, ia bahkan tidak
menggali secara mendalam bidang psikologi, emosi, motivasi, kebiasaan,
dan aspek-aspek proses pengetahuan tersebut.
Socrates telah memulai sesuatu hal yang jauh lebih besar
dari konsep-konsep yang bisa dituliskan. Socrates membangun
konsepsi-konsepsi dan metode-metode yang lebih luas, sungguh-sungguh,
dan efektif. Dalam pendidikan, Socrates mengemukakan sistem atau
cara berpikir yang bersifat induktif, yaitu menyimpan pengetahuan yang
111
bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal
khusus.
H. Filsafat Pendidikan Plato
“Filsafat Barat tidak lain hanyalah catatan kaki dari filsafat Plato.”
(Issac Newton)
Plato adalah murid Socrates yang terkemuka. Ia menyerap ajaran-ajaran
pendidikan Socrates serta mengembangkan ke dalam sistem filsafatnya
sendiri secara lengkap. Plato ini pulalah yang mendirikan sebuah akademi,
suatu pusat untuk studi. Uniknya, biaya pendirian kampus ini adalah hasil
uang yang dikumpulkan teman-teman Plato di Athena untuk mengganti
uang tebusan yang digunakan pedagang Mesir saat menebus Plato ketika
ia jatuh dalam perbudakan.
Plato lahir di keluarga aristokrat kaya. Plato kehilangan ayahnya,
Ariston, yang mengaku keturunan Cadmus yang pernah berkuasa abad
ke-7 SM sebagai raja terakhir Athena. Ibu Plato, Perictiones, adalah
keturunan keluarga Solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, dan
pemimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri terkemuka demokrasi
Athena.
Bagi Plato, pendidikan suatu bangsa harus dilaksanakan untuk
kepentingan negara dan perorangan. Pendidikan harus memberikan
kesempatan kepadanya untuk tampil menunjukkan kesanggupan diri
pribadinya. Bagi negara, pendidikan bertanggung jawab memberikan
perkembangan kepada warga negaranya agar dapat berlatih, terdidik, dan
merasakan bahagia dalam menjalankan peranannya saat melaksanakan
kehidupan kemasyarakatan.
Di sebuah negara, idealnya pendidikan memperoleh tempat yang
diutamakan serta mendapat perhatian yang paling khusus sebab ia adalah
panggilan mulia yang harus diselenggarakan oleh negara. Pendidikan
112
sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu
ketidaktahuan dan ketidakbenaran.
Sebab, dengan pendidikan orang-orang akan mengetahui apa yang
benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang
akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat. Orang-orang juga akan
menyadari mana yang patut dan mana yang tidak patut, dan yang paling
dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan akan lahir kembali
(they shall be born again).
Dengan demikian, jelaslah pula bahwa peranan pendidikan yang
paling utama bagi manusia adalah membebaskan dan memperbarui.
Pembebasan dan pembaruan itu akan membentuk manusia utuh, yaitu
manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa
mengantarnya ke ide yang tinggi, yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Cita-cita Plato yang paling agung terus digenggamnya sampai akhir
hayatnya.
Maksud pendidikan menurut Plato tidak lain adalah menemukan
kemampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga
ia menjadi seorang warga negara yang baik. Di sini Plato membuat tekanan
bahwa pendidikan perlu direncanakan dan diprogramkan sebaik-baiknya
agar mampu mencapai sasaran yang diidamkan.
Dengan pengertian lain, pendidikan yang baik haruslah direncanakan
dan diprogramkan dengan baik pula, guna berhasil menunjang rencana
propaganda dan sensor. Propaganda perlu untuk menanamkan program
pendidikan. Pemerintah harus mengadakan motivasi, semangat loyalitas,
kebersamaan, dan kesatuan cinta akan kebaikan dan keadilan.
Adapun hal yang terlewatkan oleh Plato dalam bidang pendidikan
terlihat pada pendidikan dasar dan pendidikan untuk kelas penghasil yang
merupakan satu-satunya kelas dalam golongan karya yang sebenarnya
merupakan golongan terbesar dalam negara.
113
Bagi Plato, pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi
tiga tahap berdasarkan tingkat usia. Tahap pertama adalah pendidikan
yang diberikan kepada remaja hingga sampai dua puluh tahun. Tahap
kedua, pendidikan dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun.
Sedangkan, tahap ketiga, pendidikan dari tiga puluh tahun sampai usia
empat puluh tahun.
I. Filsafat Pendidikan Aristoteles
“Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran.”
(Aristoteles)
Manusia dalam satu sisi baik, namun buruk dalam banyak sisi. Dante
mengatakan bahwa Aristoteles adalah guru semua orang pandai. Orang
yang lemah selalu meresahkan keadilan dan kesetaraan. Orang kuat tak
menghiraukan semua itu. Berbicara seperti orang biasa dan berpikirlah
seperti orang bijak. Hanya dengan cara demikianlah setiap orang bisa
memahaminya.
Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan
dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah
berutang budi padanya karena banyaknya kemajuan dalam filsafat dan
ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya Logika, Metafisika, Politik, Etika,
Biologi, dan Psikologi.
Aristoteles dilahirkan pada 394 SM di Stagira, sebuah kota kecil
di Semenanjung Chalcidice yang menonjol di sebelah barat laut Egea.
Ayahnya, Nichomachus, dokter yang merawat Amyntas II, Raja
Macedonia, mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan yang lengkap
pada awal masa kanak-kanak dan mungkin kemudian mengajar dalam
pengamatan gejala-gejala penyakit dan teknik-teknik pembedahan. Baik
ayah maupun ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka.
114
Aristoteles juga menganggap penting pembentukan kebiasaan pada
tingkat pendidikan rendah, sebagaimana pada tingkat pendidikan usia
muda perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Baginya, untuk
memperoleh pengetahuan, manusia harus lebih dari binatang-binatang
lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati, dan secara
hati-hati menganalisis struktur-struktur, fungsi organisme itu, dan segala
yang ada dalam alam.
Aristoteles memandang agar orang dapat hidup baik, ia harus
mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata,
melainkan juga soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang
lebih tinggi supaya mengarah kepada akal sehingga dapat dipakai akal
guna mengatur nafsu-nafsu.
Jika akal berdiri sendiri, tidak berdaya. Sebaliknya, akal memerlukan
dukungan-dukungan perasaan lebih tinggi yang diberikan seni yang
benar. Di titik inilah, Aristoteles kemudian mengemukakan bahwa tujuan
pendidikan yang baik adalah untuk kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi
adalah hidup spekulatif.
Oleh karena itu, pokok pendidikan bagi Aristoteles adalah
pengumpulan serta penelitian fakta-fakta belajar induktif, pencarian
objektif akan kebenaran sebagai dasar dari semua ilmu pengetahuan.
Di sini sebaiknya pendidikan memberikan pendidikan yang baik bagi
semua anak-anak, mempunyai suatu sistem sekolah negeri yang wajib
bagi putra-putrinya, bagi semua warga negara. Akan tetapi, sistem tersebut
terdiri dari pendidikan fisik dan latihan militer.
Dalam pengertian pendidikan yang lebih tinggi, ia tampak setuju
dengan Plato tentang nilai-nilai matematika, fisika, astronomi, dan
filsafat. Putra-putri semua warga negara sebaiknya diajar sesuai dengan
kemampuan mereka, suatu pandangan mereka yang sama dengan doktrin
Plato tentang keberadaan individual. Disiplin merupakan hal esensial
yang digunakan untuk mengajarkan para pemuda dan kaum laki-laki
115
muda agar patuh dengan perintah-perintah dan mengendalikan gerakan
hati mereka.
116
Bab III
Mazhab-Mazhab Pendidikan
A. Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan
Saat kemunculannya yang pertama, filsafat tidak memiliki definisi
lain selain sebagai cara atau seni menuju bijak. Dalam konseptualisasi
ekstrem, filsafat pada periode pertama saat mulai disadari bahkan tidak,
belum memiliki nama apa pun, termasuk nama filsafat. Akan tetapi, pada
perkembangannya, saat minat manusia pada bahasa meningkat, filsafat
kemudian mengalami fenomena kebahasaan, dan terkontroversikan dalam
berbagai istilah sehingga pada akhirnya secara alami, sejarah menentukan
takdirnya dengan memilih istilah filsafat sebagai nama untuk menyebut
cara menuju bijak. Beberapa literatur menyebutkan penamaan tersebut
mengacu paparan Plato dalam karyanya Paidros. Meski terdapat pula yang
mengatakan istilah filsafat lahir pertama kali dari Pythagoras (532 SM).14
14. Pythagoras lahir di Pulau Samos. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai anak
dari salah seorang warga terkemuka bernama Mnesarchos. Terdapat pula versi yang
mengatakan bahwa ia adalah putra Dewa Apollo. Samos waktu itu adalah kota pulau
yang dipimpin seorang bandit tua yang kaya raya serta memiliki pasukan laut yang
kuat, bernama Polycrates. Sebagai kota, Samos juga memiliki beberapa kesamaan cara
dalam mempertahankan hidup yaitu selalu berdagang dengan bangsa lain. Kenyataan itu
117
Versi ini kerap menyakini penjelasan Plato tentang filsafat dalam Paidros
adalah mengutip pada Pythagoras. Sebab, Pythagoras itulah pemikir yang
untuk pertama kalinya mencetuskan istilah filsafat dan menolak kata
Sophis sebab dipandangnya terlalu suci. Pandangan ini, misalnya salah
satunya bisa kita temukan pada paparan Betrand Russell dalam karyanya
The History of Western Philosophy an its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earlist Times to Present Day (1949). Russell dalam
karya tersebut bahkan menulis:
“Pythagoras adalah salah seorang tokoh yang paling menarik
dan membingungkan sejarah. Bukan saja tradisi yang terkait
dengan dirinya adalah adonan menarik, bahkan nyaris sempurna
antara kebenaran dan kekeliruannya, akan tetapi bahkan dalam
bentuknya yang polos dan amat gamblang dalam tradisi itu tetap
menampilkan sutu latar kejiwaan yang sulit dimengerti.”15
Lepas dari kontroversi tersebut, siapa pun agaknya mengetahui bahwa
di periode-periode awal sebelum masehi, dunia filsafat belum terpetakan
dalam matriks-matriks sebagaimana sekarang ini, hadir dalam aneka ragam
corak dan aliran. Meski kemajemukan pemikiran filsafat telah dimulai di
waktu yang lama, tetapi dalam pada itu, tidak ditemukan satu indikasi
betapa kemajemukan-kemajemukan tersebut kemudian melahirkan
berbagai aliran-aliran atau mazhab-mazhab dari pemikiran-pemikiran
filsafat aliran lain yang eksklusif.
Dalam beberapa literatur tua, kita mungkin akan menemukan
adanya penyebutan-penyebutan atau penamaan pada filsafat secara khusus.
Akan tetapi, jika ditelaah secara saksama, hal itu tidak menunjuk pada
membawa Samos selalu berhadap-hadapan dengan para penduduak kota Miletos yang
juga hidup dengan cara sama yaitu berdagang.
15. Betrand Russell, The History of Western Philosophy an its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earlist Times to Present Day, (London: George Allen, UNWIN,
LTD. 1949), hlm. 41
118
kekhasan sisi-sisi pemikiran filsafat. Penamaan itu lebih bersifat fungsional,
semata-mata guna membedakan, antara satu pemikiran filsafat dengan
pemikiran filsafat lainnya. Misalnya adanya penyebutan “filsafat Milesian”,
untuk menyebut pemikiran-pemikiran yang lahir di Pulau Miletos.
Penamaan ini memiliki makna yang begitu fungsional semata hanya
menunjuk pada faktor tempat, ketimbang unsur yang berkait dengan
kekhasan pada metode atau pemikiran filsafat yang dibawa.
Dari itu jika kita melacak sejak kapan pemetaan dan munculnya
aliran-aliran filsafat, dalam prediksi, pemetaan-pemetaan pemikiran
filsafat dengan makna metodis sehingga melahirkan aliran-aliran dan
mazhab-mazhab filsafat terpisah itu, besar kemungkinan pertama-tama
dimulai di era Pythagoras.16 Hal ini terkait dengan sejarah Pythagoras
yang sebab pemikiran-pemikiran filsafatnya, mesti terusir dari negerinya
hingga ia tinggal di daerah sekitar Croton. Kelak, di daerah ini terbentuk
perkumpulan-perkumpulan eksklusif penganut pemikiran Pythagoras.
Kasus pythagorean inilah yang agaknya kemudian menstimulasi
lahirnya berbagai “isme” atau aliran-aliran dalam filsafat. Meski beberapa
kalangan berpandangan bahwa lahirnya aliran-aliran dalam filsafat lebih
disebabkan oleh keadaan yang kondusif serta bebasnya ruang pemikiran
di Yunani pada periode itu. Pandangan terakhir ini meski terasa logis,
sangat bertentangan dengan berbagai fakta sejarah Yunani; mulai dari
Tragedi Socrates hingga pengusiran Pythagoras. Artinya, teori yang
mengungkapkan bahwa pengusiran Pythagoras yang menstimulasi lahirnya
aliran-aliran dalam filsafat jauh lebih bisa diterima ketimbang persoalan
kondisi Yunani sebagai negeri yang kondusif. Meski sejauh dugaan itu,
kita tidak bisa memastikan secara pasti periodisasi munculnya pemetaan
16. Pythagoras memiliki reputasi perjalanan yang panjang. Sejak ia pergi dan terusir dari
Samos, ia pergi dari Miletos lalu ke Mesir, daerah Sybaris, serta menyusuri daerah Italia
Selatan, baru kemudian ia menetap di Croton.
119
pemikiran filsafat dalam kategori aliran-aliran atau mazhab-mazhab
sebagaimana sekarang ini.
Meskipun di abad pertengahan gejala-gejala penamaan aliran-aliran
telah dimulai, tetap saja kita sulit memastikan secara pasti, siapa dan sejak
kapan, pemetaan pemikiran filsafat dalam mazhab-mazhab itu dimulai.
Sejauh ini, kajian-kajian yang mempersoalkan aliran-aliran dalam filsafat
selalu hanya mengungkapkan, tentang apa dan bagaimana sejarah aliran
tanpa pernah mempersoalkan sejak kapan dan siapa yang pertama kali
memulai pemetaan-pemetaan aliran-aliran dalam filsafat.
***
Sementara itu, aliran dalam filsafat pendidikan di berbagai literatur
selalu disandarkan dengan penyadaran tipologi aliran dalam filsafat secara
umum. Terlihat betapa penamaan aliran-aliran tersebut kemudian tidak
sepenuhnya didasarkan pada konsistensi metodis yang jelas. Satu sisi,
misalnya, kita akan menemukan adanya aliran filsafat yang penyebutannya
didasarkan pada aspek-aspek ontologisnya, sedangkan di sisi yang lain
kita akan pula menemukan nama aliran filsafat yang disandarkan pada
aspek-aspek epistemologinya.
Ketidakkonsistenan ini kerap menjadi problem tersendiri, yang
memperumit upaya-upaya pengkajian pemikiran-pemikiran filsafat
yang dilakukan. Semakin ke belakang, penamaan-penamaan tersebut
berlangsung semakin arbiter sehingga muncul satu kesan betapa dunia
filsafat, mengalami demam kebahasaan euforia peristilahan.
Seiring dengan waktu, istilah-istilah tersebut pun terus bertambah
jumlahnya. Gejala ini kerap diungkap sebagai gejala yang menandai
bahwa filsafat makin menjadi ruang permainan bahasa dan asosiasi
makna semata. Sesuatu yang belakangan oleh Heidegger kerap diratapi
sebagai indikasi terkuat dari runtuhnya filsafat. Filsafat hanya bergerak
pada ruang eksplorasi epistemik yang sepenuhnya tanpa ontologi serta
120
begitu positivistik. Kenyataan-kenyataan tersebut memiliki implikasi
tak terhindarkan: etika selalu bermuara pada sikap nihilistik yang begitu
antah berantah.
Di satu sisi, manusia memang masih memiliki berbagai referensi
literatur dan sejarah tentang etika. Akan tetapi, etika di sini tidak lagi
memiliki perdebatan sebab ia telah berhenti pada satu pola pikir: betapa
yang paling jelas dari hidup tidak lain adalah ketidakjelasan.
Belakangan, filsafat seakan selalu hanya mampu bergerak pada
hidup, yang dalam pengertian apa pun, selalu tidak mungkin dipastikan
kemungkinannya, selain berkutat pada pandangan Heraklitus, bahwa
yang ada pasti selain perubahan. Sayangnya, perubahan tersebut bukan
perubahan situasi yang menyenangkan, dari buruk menjadi baik, atau dari
baik menjadi lebih baik, sebaliknya selalu menjadi perubahan-perubahan
konstan yang tragis, murung dan begitu tak pasti. Lahirnya Derrida
dengan gagasan dekonstruksi makin menjadi penegas betapa filsafat dan
hidup makin hari makin tanpa arah proyeksi yang pasti.
Sementara, bersamaan dengan itu problem-problem moral dan
etika manusia semakin menjadi blunder tak terpecahkan dan berlangsung
dalam situasi-situasi yang begitu paradoks. Di satu sisi, dengan makin
menjamurnya institusi-institusi pendidikan, dunia mungkin terkesan
tengah menuju hidup yang jauh lebih baik. Akan tetapi, di balik semua
itu, dunia agaknya terus sekarat, bahkan terus menuju situasi yang jauh
lebih buruk. Kemerosotan-kemerosotan hidup terus mewabah hingga
tahapan-tahapan yang berlebihan sehingga membuat siapa pun yang
menyadari seketika akan kehilangan harapan betapa hidup akan berubah
dan bergerak pada kondisi-kondisi yang jauh lebih baik.
Dalam periode hidup yang terus membusuk, pendidikan sebenarnya
bisa menjadi tumpuan dan harapan, ketika perubahan situasi hidup bisa
berlangsung dan dimulai. Hanya saja, harapan-harapan akan perubahan
itu agaknya menjadi sesuatu hal sulit untuk kita percayai lebih jauh,
121
terutama karena realitanya pendidikan yang ada mengidap sakit serta
kemerosotan yang sama dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Belakangan, pendidikan makin jauh dari makna etis pendidikan.
Pendidikan bahkan telah berubah fungsi menjadi industri yang
sepenuhnya hidup dan dihidupi dengan dan dalam hukum-hukum
ekonomis. Oleh karena itu, kerap dikatakan betapa di kampus-kampus
dan sekolah-sekolah seseorang tidak akan bertemu dengan guru, sebaliknya
hanya bertemu dengan seseorang pekerja yang diatur dan dilatarbelakangi
dalam hukum serta motif ekonomi semata. “Guru”, demikian kita bisa
menyebutnya, makin jauh dari makna guru. Hari ini guru tidak lebih
hanya komponen kecil dari industri wacana bernama pendidikan. Oleh
karena itu, pertemuan dengan para mahasiswa dan siswa tidak lagi
memiliki sisi keterkaitan apa pun selain hanya pertemuan dengan klien
yang mesti diberi layanan jasa.
Kenyataan-kenyataan menjadi ironi terburuk dalam sejarah
pendidikan. Di satu sisi, pendidikan dalam kampanyenya selalu
mengklaim dirinya sebagai agen kemanusiaan. Namun, bersamaan dengan
itu, pendidikan tidak lain adalah agen dehumanisasi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika dalam jumlahnya begitu luar biasa ribuan institusiinstitusi pendidikan tersebut tidak memberikan siginifikansi perubahan
apa pun pada tata kehidupan yang ada, selain makin secara pasti membawa
situasi hidup untuk meniti tangga-tangga kehancuran-kehancuran dengan
pola-pola yang canggih dan sulit diatasi.
Di sini, kita agaknya perlu mengkaji ulang apa dan bagaimana
pendidikan, terutama hal-hal yang mendasari lahirnya berbagai problem
filosofis pendidikan yang ada. Semisal, ketika pendidikan belakangan
telah menjadi industri tenaga-tenaga kerja. Pendidikan tidak lebih hanya
perusahaan yang melayani kebutuhan pasar. Sedangkan, pasar tidak pernah
memiliki visi lain selain visi ekonomi, peningkatan materialisme, citra,
serta kesenangan.
122
Tanpa ekonomi, pendidikan dalam pengertian sesederhana apa pun
memang akan mustahil untuk sanggup berjalan. Akan tetapi, sebaliknya
jika pendidikan sepenuhnya terproyeksikan pada kepentingan-kepentingan
ekonomi belaka, pendidikan dengan sendirinya telah mereduksi makna etis
sendiri. Sebuah sikap yang tentu akan melahirkan berbagai keterasingan
hidup serta sikap apatis pada pendidikan, terutama karena situasi-situasi
akan membawa seseorang cepat atau lambat untuk bertanya, “Untuk
apakah pendidikan itu jika hidup yang ada sepenuhnya tetap berlangsung
dengan hukum rimba, menang-kalah dan kuat-lemah?”
***
Filsafat adalah hal paling mendasar dalam hidup. Oleh karena
itu, filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan,
termasuk dalam dunia pendidikan. Di halaman depan telah kita ulas
betapa pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk praksis yang lahir
dari spekulasi-spekulasi etis filsafat atas hidup dan kehidupan manusia.
Akan tetapi, tidak selalu spekulasi-spekulasi filsafat bisa diterima sebab
tidak sedikit pula spekulasi filsafat yang sama sekali tidak relevan untuk
diterapkan.
Barat, khususnya Amerika di tahun 1930-an model pendidikan
tradisional ketika guru menjadi diri yang otoritatif mungkin dipandang
sebagai model pendidikan yang sama sekali tidak humanis. Terlebih,
ketika siswa diposisikan sebagai subjek yang selalu dipandang tidak
memiliki inisiatif, pemikiran, atau gagasan sehingga mereka selalu harus
diindoktrinisasi. Pola-pola pendidikan seperti itu dipandang buruk sebab
telah merebut kebebasan serta hidup para siswa itu sendiri. Dengan
demikian, muncullah pendidikan model baru yang kita kenal dengan
istilah “progresif ”.
Teori pendidikan ini sempat mengubah wajah situasi pendidikan
Amerika dalam makna yang sama sekali baru. Meskipun pada tahapan
123
perkembangannya teori model pendidikan ini juga menuai kritik yang
sama kerasnya sebagaimana teori pendidikan tradisional. Kalangan
progresif banyak menuai penentangan tajam dari kalangan esensialis. Para
esensialis menuding bahwa kedangkalan spiritualitas sosial disebabkan oleh
teori pendidikan progresif. Teori pendidikan yang selalu memprioritaskan
subjek didik sebagai diri independen yang mesti selalu dalam kondisi
senang saat belajar.
Kesenangan (fun) dalam satu sisi memang penting bagi hidup. Siapa
pun bahkan tahu tidak ada satu pun manusia yang mau memperoleh
penderitaan. Akan tetapi, dalam suatu situasi, kesenangan-kesenangan itu
bisa menjadi senjata pembunuh yang dengan diam-diam melumpuhkan
sisi kedalaman manusia sebagai makhluk yang spiritual. Dalam pemikiran
itulah, para esensialis mengecam kalangan progresif. Kenyataan ini
menunjukkan betapa di Barat, pendidikan adalah sesuatu hal yang ketat
dan begitu diperhatikan.
***
Sementara itu, di Indonesia, pendidikan agaknya berjalan jauh lebih
lamban dan terseok-seok. Dalam berbagai pengamatan, kita bahkan
dengan mudah akan menemukan satu kenyataan betapa pendidikan di
Indonesia nyaris bisa diungkap tanpa dasar landasan filsafat pendidikan
yang disadari.
Di satu sisi, kita belakangan dengan munculnya LSM, kita akan
melihat betapa teori-teori pendidikan progresif diterapkan. Di berbagai
wilayah yang terkena bencana, misalnya, kita akan menemukan
ruang-ruang pembelajaran non-permanen yang kerap disebut Children
Center. Ruang pengajaran tempat anak sepenuhnya dilibatkan secara aktif
dan guru semata-mata hanya menjadi fasilitator. Pola-pola penerapan ini
memiliki implikasi positif di satu sisi yang implikasi negatif di sisi yang
lain, terutama karena pembebasan kebebasan dalam ruang belajar tersebut
124
akan mengalami refleksi dengan konsep kebebasan yang ada dalam
lingkungan sosial mereka yang pada umumnya masih begitu normatif.
Adapun dalam ruang pendidikan formal, pola pengajaran yang
berlaku di Indonesia agaknya masih bersifat tradisional. Beberapa kampus
mungkin telah terlihat begitu modern, bahkan memiliki fasilitas-fasilitas
pendidikan mahal yang canggih. Akan tetapi, pola pendidikan yang
ditetapkan masih sangat tradisional. Ini terindikasi dalam di berbagai
kampus dan sekolah, tempat dosen atau guru tetap menjadi pemegang
otoritas mutlak saat proses pengajaran berlangsung di kelas.
Anehnya, dalam penerapan pola pengajaran yang begitu tradisional,
pola penyelenggaraan pendidikan, terutama secara administratif, telah
dilakukan dengan cara-cara sebagaimana pendidikan yang ada di
negara-negara industrialisme yang maju. Makna profesi guru oleh para
guru disadari dengan pola ganda. Di satu sisi sebab bayang-bayang alam
bawah sadar normatif mereka, mereka selalu ingin tetap berdiri pada posisi
guru dalam pola pendidikan tradisional. Akan tetapi, motif dan semangat
yang dalam melakukan pengajaran justru lebih bersifat sangat industri,
yaitu lebih banyak dikendalikan oleh motif-motif ekonomi.
Kerancuan, ketumpangtindihan, serta ketidakjelasan pola pendidikan
agaknya telah menjadi penyebab utama tempat setiap institusi pendidikan
selalu melahirkan situasi-situasi kontraproduktif. Hal yang juga fenomenal
melanda dunia pendidikan berlatar belakangkan agama, termasuk salah
satunya pesantren. Betapa terlihat sebab kuatnya tekanan-tekanan negara
akan formalisme pendidikan telah membuat pendidikan pesantren hari
ini terus-menerus menyamakan dirinya menjadi tak berbeda dengan
pendidikan formal non-agama, dengan kepentingan mereka bisa
memperoleh formalisme yang sama dengan yang diperoleh pendidikan
umum non-pesantren. Tentu saja, semua formalisme itu mudah ditebak
muaranya, yaitu terarah untuk melayani formalisasi yang ada dalam ruang
industrialisasi.
125
Kenyataan-kenyataan itu tentu saja sangat buruk. Namun demikian,
hingga sejauh ini kita tidak menemukan kalangan yang mampu menguak
karut-marut problem yang ada. Hal ini disebabkan oleh kajian tentang
filsafat pendidikan di Indonesia masih menjadi kajian yang sangat
lemah.
Padahal, upaya pengkajian filsafat pendidikan yang baik akan
membantu di dalam melihat lebih jauh kenyataan sebenarnya yang terjadi
di lapangan. Dengan demikian, kita merumuskan format-format tepat
pola pendidikan yang mesti dilakukan berikut berbagai pembahasan
tentang kelemahan-kelemahan dari penerapan teori itu.
***
Diskursus filsafat pendidikan penting dilakukan guna mengevalusi
problem-problem filosofis yang ada dalam pendidikan. Artinya,
meski semua pendidikan selalu dapat dipastikan berjalan dengan
landasan-landasan filosofis, tidak selalu landasan-landasan itu valid dan
tepat dengan situasi pendidikan serta tujuan yang hendak dicapai.
Dari itulah, kita perlu mengkaji lebih jauh jenis dan ragam
pandangan konsep pendidikan di berbagai aliran filsafat pendidikan.
Karena dengan mendalami filsafat pendidikan itulah, pendidikan akan
mampu benar-benar terevaluasi, baik dalam ranah konseptual teoretis
ataupun ranah praksis pragmatis.
***
Filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat.
Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pewarisan
nilai-nilai filsafat yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya.
Dalam pendidikan, diperlukan filsafat pendidikan.
126
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi,
ketika ditemui masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang
bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan
menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang
terus-menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta
pandangan hidupnya sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga
di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan
yang menjadi dasar suatu bangsa berpikir, berperasaan, dan berkelakuan,
yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Sedangkan, proses pendidikan
dilakukan secara terus-menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara
sadar dan penuh keinsafan.
Ajaran filsafat merupakan hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli
filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Pemecahan masalah-masalah
itu kerap melahirkan perbedaan terkait perbedaan filsafat yang digunakan
sehingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan berbeda meskipun masalah
yang dihadapi sama. Perbedaan tersebut dapat pula disebabkan oleh
faktor-faktor lain, seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut,
pengaruh zaman, kondisi, dan alam pikiran manusia di suatu tempat. Dari
pemikiran filsafat yang berbeda-beda inilah, kemudian lahir sistematika
yang didasarkan dengan kategori tertentu dan menghasilkan suatu
klasifikasi. Dari itulah, kita kemudian menemukan sesuatu yang disebut
“aliran (sistem)” suatu filsafat.
Pengklasifikasian itu pun kerap berbeda-beda dan tidak sama, terkait
dengan kriteria-kriteria yang digunakan. Seorang pemikir mungkin
akan kita temukan membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan ke
dalam beberapa jenis tertentu dengan menyisikan beberapa jenis aliran.
Sebaliknya, terdapat pula seseorang yang justru memasukkan aliran-aliran
yang disisihkan itu ke dalam klasifikasinya dan mengeluarkan aliran
127
yang lain. Seorang Brubracher, misalnya, membagi aliran dalam filsafat
pendidikan ke dalam beberapa bagian. Mulai dari pragmatis-naturalis,
rekonstruksionisme, romantis naturalis, eksistensialisme, idealisme,
realisme, rasional humanisme, skolastik realisme, fasisme, komunisme,
dan demokrasi.
Sebagian kalangan memuji pengklasifikasian yang dilakukan
oleh Brubracher termasuk sangat teliti karena konon dilakukan untuk
menghindari overlapping dari masing-masing aliran. Namun demikian,
dalam amatan yang lain, kita justru banyak melihat betapa pengklasifikasian
yang dilakukan oleh Brubracher memiliki beberapa kerancuan, terutama
dalam tipe-tipe aliran yang ia masukkan kita akan menemukan betapa
penetapan itu didasarkan dengan kriteria-kriteria ideologis.
Sementara, dalam buku ini, kita akan mengkaji sembilan aliran utama
filsafat pendidikan, yaitu (1) idealisme; (2) realisme; (3) pragmatisme; (4)
eksistensialisme; (5) progresivisme; (6) esensialisme; (7) perenialisme; (8)
rekonstruksionisme; dan (9) behaviorisme. Pemilihan jenis-jenis aliran
penulis dasarkan pada kriteria aliran filsafat pendidikan yang memiliki
efek metodis secara langsung pada praktik pendidikan.
***
B. Filsafat Pendidikan Idealisme
Istilah “idealisme” tentu saja telah menjadi istilah atau frase yang sering
kita dengar, bahkan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi,
istilah “idealis” dalam filsafat, selalu mempunyai arti berbeda dari kata
idealis dalam bahasa sehari-hari. Secara umum, kata itu dapat kita artikan
sebagai seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, atau
agama dan menghayatinya. Sementara, di sisi yang lain, idealis dapat pula
bermakna seseorang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu
128
rencana atau program yang belum ada. Seseorang yang tergerak untuk
melakukan perubahan-perubahan dan pembaruan hidup di negerinya
dapat pula dikategorikan sebagai idealis.
Idealisme terkadang digunakan untuk menyanjung atau bermakna
peyoratif sebagai bentuk cemoohan kepada seseorang yang memperjuangkan
tujuan-tujuan yang dipandang mustahil dan utopis dicapai. Sementara,
dalam arti filosofis, istilah “idealisme” memiliki kedekatan dengan kata
ide dari kata ideal. Hal ini sesuai dengan dengan kata dasarnya, yaitu idea
yang berarti abadi. Terkadang, idealisme kerap juga disebut dengan istilah
lain, dengan nama mentalisme atau imaterialisme.
***
Idealisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran filsafat yang kental
dengan corak metafisik. Idealisme memandang bahwa realitas itu tidak
lain adalah ide-ide, akal, pikiran, atau jiwa, bukan benda-benda material
ataupun kekuasaan. Gagasan tertua filsafat idealisme telah dimulai jauh
sebelum periode Masehi bergulir, tepatnya di era Plato. Plato inilah
pencetus pertama filsafat idealisme.
Hanya saja, penamaan idealisme baru di awal abad ke-18, dikenalkan
seorang pemikir Jerman, bernama Leibniz,17 pada awal abad ke-18. Leibniz
17. Nama lengkapnya adalah Gottfried Wilhelm Leibniz. Ia adalah seorang ilmuwan
terkemuka Jerman. Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga yang terdidik. Ayahnya bahkan
seorang guru besar di Universitas Leipzig. Di Jerman, ia dianggap sebagai pemikir besar
yang memiliki pengetahuan sangat luas dalam bidang Filsafat, Matematika, Sains,
Sejarah, dan Teologi. Ia dan Isaac Newton dinyatakan sebagai ahli yang mengembangkan
pembedaan kalkulus. Pemikiran filsafatnya kerap disebut Monadologi. Monadologi
memiliki prinsip dasar bahwa segala sesuatu merupakan satu kesatuan tak terpisah atau
monad, yang eksistensinya ditegakkan oleh Tuhan, dengan begitu terdapat kontinuitas
dan tak ada yang terputus dalam alam. Tak ada yang mati karena segala sesuatu adalah
aktivitas-aktivitas, yang berbeda hanya derajatnya.
129
memakai dan menerapkan istilah itu untuk menyebut pemikiran Plato
yang bertolak belakang dengan Materialisme Epikuros.18
Idealisme memandang bahwa realitas terdiri atas ide-ide,
pikiran-pikiran, akal (mind), atau jiwa, bukan benda material. Idealisme
menekankan idea jauh terlebih dulu ada ketimbang materi. Jika
materialisme mengasumsikan bahwa materi adalah riil dan akal adalah
fenomena yang menyertainya, idealisme memiliki pandangan sebaliknya:
memandang bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk
sampingannya. Dari pengertian itulah, idealisme kerap dipandang sebagai
filsafat yang menegasikan dunia ini sebagai realitas yang sesungguhnya
dan memandang idea itulah realitas esensi yang fundamental.
Dalam perkembangannya, idealisme tumbuh menjadi pandangan
dunia atau metafisika yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atau
sangat berhubungan dengan ide, pikiran, dan jiwa. Dunia mempunyai arti
yang berlainan dari apa yang tampak pada permukaannya. Dunia dipahami
dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan
kesadaran, tidak hanya oleh metode ilmu objektif semata-mata.
Kecenderungan-kecenderungan pemikiran idealisme ini lebih banyak
muncul dan berkembang di belahan dunia Barat yang dimulai dengan
masa pencerahan dan renaissans. Perdebatan-perdebatan filosofis telah
18. Epikuros lahir pada 341 SM dan meninggal pada 271 SM. Ia adalah adalah seorang filsuf
yang mendirikan Mazhab Epikuros. Mazhab tersebut didirikan bersama teman-temannya,
Metrodoros, Hermarkhos, dan Polyaenos. Mazhab Epikuros termasuk dalam salah satu
mazhab yang berkembang di masa Filsafat Helenistik. Inti ajaran Epikuros adalah mengenai
etika bahwa kebahagiaan hidup adalah kenikmatan. Kenikmatan adalah satu-satunya yang
baik, serta menjadi awal dan tujuan hidup yang bahagia. Segala macam keutamaan, moral,
misalnya, hanya memiliki arti sejauh membawa manusia pada rasa nikmat. Sementara,
kenikmatan didefinisikan Epikuros sebagai keadaan negatif, yaitu tidak adanya rasa sakit
dan kegelisahan hidup Menurutnya, kenikmatan indrawi memang diperlukan, namun
kenikmatan yang jauh lebih penting adalah ketenangan jiwa (dalam bahasa Yunani disebut
ataraxia). Cara untuk mencapai ataraxia ini adalah dengan mengalahkan rasa takut kepada
kematian.
130
muncul ke permukaan sebagai aliran rasionalisme dan juga empirisme
yang keduanya pada tahap tertentu telah memunculkan pandangan
idealisme.
1. Idealisme Subjektif George Barkeley
Pandangan ini dipelopori salah satunya oleh George Berkeley, dengan
pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan bahwa keberadaan
ide harus bersandar pada akal kita. George Berkeley adalah seorang filsuf
Irlandia yang juga menjabat uskup di Gereja Anglikan. Ia dilahirkan
pada 1685 dan meninggal pada 1753. Berkeley mengembangkan suatu
pandangan pengenalan visual tentang jarak dan ruang. Selain itu, ia juga
mengembangkan sistem metafisika yang serupa dengan idealisme untuk
melawan pandangan skeptisisme.
Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang pengenalan. Menurut
Berkeley, pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek
yang mengamati dan objek yang diamati. Sebaliknya, justru terjadi
karena hubungan pengamatan antara pengamatan indra yang satu dan
pengamatan indra yang lain.
Oleh karena itu, baginya, jika seseorang mengamati meja, hal itu
dimungkinkan karena ada hubungan antara indra pelihat dan indra
peraba. Indra penglihatan hanya mampu menunjukkan ada warna meja,
sedangkan bentuk meja didapat dari indra peraba. Kedua indra tersebut
juga tidak menunjukkan jarak antara meja dan orang itu sebab yang
memungkinkan pengenalan jarak adalah indra lain dan juga pengalaman.
Dengan demikian, Berkeley mengatakan bahwa pengenalan hanya
mungkin terjadi pada sesuatu yang konkret.
***
Pandangan-pandangan Berkeley dipandang sebagai idealisme
pertama dalam pengertian modern abad 18 yang menolak eksistensi
131
independen benda-benda walaupun sebelumnya kecenderungan ini
telah ada dalam pemikiran Descartes tentang dunia fisik sehingga lahir
sesuatu disebut sebagai rasionalisme. Namun demikian, Descartes berbeda
dengan Berkeley. Dalam pada itu, Descartes lebih banyak terlihat berada
pada posisinya antara rasionalisme dan empirisme, mengatakan bahwa
dia mengakui realitas materi yang ada adalah sebagai apa yang kita
pikirkan.
Untuk itulah, selain disebut idealis, ia juga sering disebut dengan
imateralis. Hal itu tampak dalam keyakinannya bahwa dunia material
tidak dapat memiliki realitas independen dari pikiran kita kecuali dengan
memersepsikan dunia luar yang kita lihat melalui indra kita.
Baginya, jika sebuah pohon hanya berisi kumpulan sensasi dan ide,
konsep pohon secara otomatis terbebas dari pohon sebagai hasil proses
sensasi selanjutnya. Dari itu, Berkeley menekankan pada pandangan
subjektifnya ketimbang pada dunia fisik. Sebab, baginya materi hanyalah
sebagaimana yang dipahami (dipersepsi) manusia.
Beberapa argumen Berkeley dalam idealisme subjektif terlihat dalam
pandangannya tentang pikiran (knowledge). Dalam hal ini, ia meyakini:
pertama, apa yang diketahui haruslah “ada di dalam pikiran” atau
berhubungan dengan pikiran (mind); kedua, kita tidak dapat mengatakan
secara positif bahwa materi yang dipahami berada bebas dari pemahaman;
dan ketiga, sifat objek fisik selalu bergantung pada pengalaman dan
pikiran.
Ketiga pandangan ini tampak dalam kedekatannya dengan
pandangannya sebagai seorang empiris. Dia berpendapat bahwa ide
dihasilkan di dalam pikiran dengan sesuatu yang kita terima (kita cerap).
Berkeley nyaris selalu setuju bahwa ide harus di dalam pikiran meski dia
selalu menolak bahwa mereka dapat dihasilkan dari sesuatu yang material
di luar kita.
132
Menurut Berkeley, kita tidak dapat mempunyai pengetahuan
tentang sesuatu yang fisik kecuali dengan jalan ide, dan di sini kita dapat
mempunyai pengetahuan yang bebas tentang sesuatu, yaitu bagian dari ide
tersebut. Ketika memersepsi, kita memiliki alasan untuk percaya bahwa
hanya dengan apa yang kita cerap, semua persepsi yang ada dalam ide
dapat kita percayai sebagai kebenaran di dalam keberadaannya.
Konon menurutnya, kita tidak mempunyai pembenaran untuk
memercayai adanya substansi materi yang berada di belakang ide tersebut.
Tentang keberadaan ide, Berkeley memandang bahwa materi itu ada jika
kita memersepsikan atau mencerap. Inilah yang kemudian dikenal dengan
teori esse is percipi. Definisi bahwa suatu ide akan eksis (ada) jika kita
persepsi dan cerap, tidak selalu sesuatu yang substansinya materi.
Idealisme subjektif model Berkeley memandang bahwa walau
bagaimanapun pikiran hanya dapat bekerja melalui tubuh. Secara tidak
langsung, hal ini terlihat telah meninggalkan idealisme klasik yang
memandang bahwa tubuh selalu menjadi varian sekunder setelah akal.
Sejak awal, dia percaya bahwa dunia material tidak mungkin memiliki
keberadaan independen kecuali dalam pikiran (subjektif idealisme)
atau di dalam prosesnya. Lebih jauh lagi, hal ini mengisyaratkan bahwa
realitas manusia dan nilai-nilai tujuan atau dasar dari realitas alam hanya
ada dalam pikiran. Inilah yang menjadi tujuan idealisme subjektif, yaitu
konsep realitas lebih ditentukan oleh pikiran daripada dunia material.
Berkeley berpandangan bahwa terdapat kesatuan organik dunia
yang lebih dari sekadar sebuah mesin yang dijalankan Tuhan. Berkeley
memercayai ide sebagai proses atau capaian persepsi benda material, dan
di sisi lain ia juga melihat Tuhan berperan dalam memberikan kebebasan.
Tuhan dipandang Berkeley sebagai suatu substansi yang independen dan
terbebas dari pikiran dalam diri manusia. Dia percaya bahwa substansi
material tergantung pada kebebasan kita dalam memersepsi sesuatu adalah
dapat dipikirkan.
133
Jika dibandingkan, Leibniz dengan monadologinya berpendapat
bahwa materi adalah terkomposisi, dibuat dari sesuatu persepsi yang tidak
terkomposisi, sebuah satuan kekuatan, yang disebutnya dengan “monad”.
Menurutnya, “monad-monad” ini masing-masing bersifat unik. Sebagai
sudut pandang atau perspektif di alam semesta, “monad-monad” ini
hierarki ke dalam tubuh, jiwa “monad”, dan “monad Allah”, substansi
spiritual yang tertinggi.
Dalam keunikannya, “monad-monad” ini terbebas dan membentuk
harmoni dalam diri mereka. Jika dibandingkan dengan Berkeley,
pandangan idealisme Leibniz agaknya lebih bersifat empiris. Misalnya,
terlihat dalam pandangan Leibniz, ketika ia lebih menyakini bahwa
“apa yang kita tahu adalah apa yang kita rasa”. Hal ini dapat kita lihat
pandangannya tentang jiwa dan juga ide yang terbentuk tanpa kontak
langsung dengan dunia luar, seperti imajinasi.
Menurut Berkeley, ide tidak selalu berkaitan dengan sesuatu. Kita
melihat bahwa beberapa ide disebut, sebagai imajinasi, merupakan subjek
bagi kehendak kita, dan di sini mungkin dapat dikatakan untuk menjadi
ide. Maka, ide itu dihasilkan oleh kita.
Untuk itu, kita dapat melihat pemikiran Berkeley bahwa ide
dihasilkan oleh pikiran atau jiwa. Jiwa itulah yang kita bangun. Ide
persepsi tidak dihasilkan oleh diri kita, tetapi harus dihasilkan di dalam
pikiran kita dengan beberapa jiwa lainnya, yaitu Tuhan. Jiwa adalah
satu-satunya sumber ide. Mereka satu-satunya sesuatu yang aktif. Ide
selalu dicatat, menjadi pasif karena definisi. Akan tetapi, menurutnya, kita
tidak mempunyai ide tentang jiwa (Tuhan). Kita mempunyai beberapa
pandangan tentang mereka. Kita dapat memahami apa yang kita maksud
dengan kata jiwa karena kita mengetahui bahwa kita adalah sumber dari
beberapa ide.
134
2. Idealisme Immanuel Kant
Pandangan Barkeley di atas berpengaruh besar bagi pendidikan
modern dan memancing munculnya idealisme baru seorang Immanuel
Kant (1724–1804). Pemikiran Kant muncul sebagai pemicu wisata
intelektual yang paling berpengaruh dalam filsafat. Konsep idealismenya
didasarkan pada pemikirannya yang rapi dan terarah dan relevan dengan
idealisme.
Dalam hal ini, Kant mengembangkan dualisme. Dia memercayai
keberadaan realitas eksternal. Akan tetapi, di sisi lain dia berpendapat
bahwa pikiran memberikan keunggulan dalam memahami itu. Lebih
khusus lagi, ia berpendapat bahwa, baik pikiran maupun pancaindra,
akan menghasilkan pengetahuan.
Menurutnya, apa yang kita dapatkan melalui indra sebenarnya kita
sendirilah yang menentukan keberadaannya sebagai sebuah pikiran (ide)
atau hanya sekadar sensasi. Untuk itulah, pemikiran kosong dengan
sendirinya, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang diri kita
atau kenyataan.
Untuk lebih gamblang, Kant menjelaskan bahwa persepsi harus
didasari dengan pengetahuan a priori—sebuah intuisi, serta adanya konsep
ruang dan waktu dan juga sebab dan akibat. Karena alasan itulah, kita
harus menggunakan indra. Selain itu, karena asumsi bahwa realitas ada di
luar pikiran, Kant mengatakan bahwa perlu adanya pembagian kategori
pada objek realitas tersebut.
Karena terdapat hubungan yang sangat khusus (intim) antara akal
dan pancaindra, antara pikiran dan tubuh, “pikiran” dianggap Kant
sebagai suatu kegiatan. Pendapat tersebut membawa kita pada realitas
kategori “pengertian” dan tidak hanya mencerminkan realitas atau cermin
dengan pikiran kita, bukan hanya prasangka sebagaimana argumentasi
Descartes.
135
Namun, sesuai keterbatasan yang disusun oleh sebuah kategori
a priori ini, kita belajar dari kenyataan. Kita dapat meningkatkan
pengetahuan kita melalui eksperimentasi dan tes. Dengan demikian, untuk
mendapatkan pengetahuan, kita harus dapat mencari dan belajar. Kita
harus memiliki kebebasan. Karena sifat moral, Kant berpendapat bahwa
determinisme materialistis merupakan rantai alasan yang menyebabkan
fisik dan hukum harus palsu.
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak
akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra. Akan tetapi,
bila pengetahuan ini datang dari luar melalui akal murni, yang tidak
bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indra,
yang kebenarannya a priori, menurutnya dari sinilah kita mendapatkan
pengetahuan yang mutlak yang dapat dipegang kebenarannya, bahkan
menjadi pengetahuan yang absolut.
Di sinilah letak transenden idealisme Kant: jika kita lihat lebih jauh,
pendapatnya ini mengisyaratkan akan adanya objektivitas dalam diri
objek walaupun manusia tidak mampu mendapatkannya hanya dengan
pancaindra dan hal tersebut hanya dapat dimengerti oleh akal murni,
dengan kategori kategori a priori.
Kemudian, setelah Kant, pada tahap berikutnya, Hegel terlihat
menyintesis dua kecenderungan antara subjektif dan objektif idealisme
sehingga muncullah sesuatu yang kelak oleh sejarah dikenal dengan
istilah idealisme absolut. Menurutnya, realitas dunia tidak lain hanyalah
refleksi sebuah pikiran, yang segala sesuatunya dinisbahkan pada ide dan
maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak.
Idealisme mencakup pula beberapa pengertian antara lain adanya
suatu teori tentang alam semesta beserta isinya adalah suatu penjelmaan
pikiran. Kemudian, idealisme juga digunakan untuk menyebut eksistensi
realitas, yang dipandang bergantung pada pikiran dan aktivitas-aktivitas
pikiran.
136
Sementara, realitas dalam idealisme selalu disadari sebagai gejala-gejala
psikis, seperti pikiran-pikiran, diri, ruh, ide-ide, pikiran mutlak, dan lain
sebagainya, bukan hal yang berkenaan dengan materi. Oleh karena itu,
dalam idealisme, seluruh realitas bersifat mental (spiritual, psikis). Materi
dalam bentuk fisik tidak ada. Sebaliknya, yang ada tidak lain adalah
aktivitas pikiran dan isi pikiran, dunia eksternal tidak bersifat fisik.
Pandangan beberapa filsuf tentang idealisme salah satunya dapat
ditemukan pada Schelling yang memberikan nama idealisme subjektif
pada filsafat Fichte, dengan alasan bahwa dalam filsafat Fichte, dunia
merupakan postulat subjek yang memutuskan.
Ia menyebut pemikiran filsafatnya dengan istilah idealisme objektif.
Konon, menurutnya, alam tidak lain adalah inteligensi yang terlihat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa semua filsafat yang mengindentikkan
realitas dengan ide, akal, atau ruh. Sementara itu, Hegel terlihat menerima
klasifikasi Schelling dan mengubahnya menjadi idealisme absolut
sebagai sintesis dari pandangan idealisme subjektif (tesis) dan objektif
(antitesis).
Idealisme lain dapat kita temukan dengan adanya istilah idealisme
transendental. Istilah ini digunakan untuk menyebut pemikiran-pemikiran
Immanuel Kant meski di ruang lain filsafat Kant kerap pula disebut
sebagai idealisme kritis. Pandangan ini mempunyai alternatif, yaitu isi
dari pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya,
sedangkan ruang dan waktu merupakan forma intuisi diri kita.
3. Idealisme Epistemologis
Kemudian, dikenal pula istilah “idealisme epistemologis”. Idealisme
epistemologis memandang bahwa kita membuat kontak hanya dengan
ide-ide atau pada peristiwa mana pun dengan entitas-entitas psikis.
Idealisme personal terlihat digunakan untuk menyebut sistem filsafat
Howison dan Bowne. Idealisme voluntarisme dikembangkan oleh Fouille
137
dalam suatu sistem yang melibatkan tenaga pemikiran: idealisme teistik
pandangan dan sistem filsafat dari Ward.
Idealisme monistik merupakan penyebutan sistem filsafat Paulsen.
Sedangkan, idealisme etis adalah pandangan filsafat yang dianut oleh
Sorley dan Messer. Idealisme Jerman pemicunya adalah Immanuel Kant
dan dikembangkan oleh penerus-penerusnya.
Idealisme merupakan pembaruan paham platonis karena para
pemikir melakukan terobosan-terobosan filosofis yang sangat penting
dalam sejarah manusia, hanya dalam tempo yang sangat singkat, yaitu 40
tahun (1790–1830) dan gerakan intelektual ini mempunyai kedalaman
dan kekayaan berpikir yang tiada bandingnya.
4. Pendidikan bagi Para Idealis
Menurut para filsuf idealisme, pendidikan bertujuan membantu
perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa. Karena bakat manusia
berbeda-beda, pendidikan yang diberikan kepada setiap orang harus
sesuai dengan bakatnya masing-masing. Kurikulum pendidikan idealisme
berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional atau praktis.
Pendidikan liberal dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuankemampuan rasional dan moral.
Pendidikan vokasional dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan suatu kehidupan atau pekerjaan. Kurikulum yang digunakan
dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada
isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran
yang textbook agar pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
Tidak cukup mengajar siswa mengenai cara berpikir. Penting bahwa
apa yang siswa pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan. Metode
mengajar hendaknya mendorong siswa untuk memperluas cakrawala,
mendorong berpikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan moral pribadi,
memberikan keterampilan-keterampilan berpikir logis, memberikan
138
kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral
dan sosial, meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, dan
mendorong siswa menerima nilai-nilai peradaban manusia.
Para filsuf idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para
guru. Keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral maupun
intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam
sistem sekolah selain guru. Guru hendaknya bekerja sama dengan alam
dalam proses menggabungkan manusia, bertanggung jawab menciptakan
lingkungan pendidikan bagi para siswa. Sedangkan, siswa berperan bebas
mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme
berfungsi sebagai personifikasi kenyataan si anak didik; harus menjadi
spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; haruslah menguasai
teknik mengajar secara baik; haruslah menjadi pribadi terbaik sehingga
disegani oleh para murid; dan menjadi teman para muridnya.
Guru dipandang harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan
gairah murid untuk belajar; harus bisa menjadi idola para siswa; rajin
beribadah sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para
siswanya; menjadi pribadi yang komunikatif; mampu mengapresiasi
subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; harus ikut belajar
sebagaimana para siswa; merasa bahagia jika muridnya berhasil; bersikap
demokratis serta mengembangkan demokrasi; dan mampu belajar
bagaimanapun keadaannya.
Idealisme memandang bahwa pendidikan bagi kehidupan sosial
bertujuan membentuk persaudaraan antar-sesama manusia karena dalam
semangat persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada
yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntut hak pribadinya, namun
hubungan manusia satu dengan lainnya terbingkai dalam hubungan
kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi.
Sedangkan, tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara
139
tujuan individual dan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam
kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
C. Filsafat Pendidikan Realisme
“Gunung yang menjulang itu memang benar-benar sebuah gunung
yang nyata dan ada. Ia bukanlah konsep atau ide yang ada dalam
pikiran. Oleh karena itu, ia akan tetap ada meski tidak ada satu pun
manusia yang memikirkannya.”
Realisme demikian aliran filsafat ini kerap dipandang sebagai sisi keping
yang berbeda dari idealisme, hadir menjadi reaksi corak idealisme yang
cenderung abstrak dan metafisik. Instrumen utama realisme adalah indra
dan terlepas dari asumsi pengetahuan yang dikonstruksi akal pikir. Ini
menjadi pembeda yang begitu tegas dengan idealisme yang justru lebih
berpegang pada kondisi-kondisi mental akal pikiran.
Gagasan filsafat realisme terlacak dimulai sebelum periode abad
masehi dimulai, yaitu dalam pemikiran murid Plato bernama Aristoteles
(384–322 SM). Sebagai murid Plato, sedikit banyak Aristoteles tentu
saja memiliki pemikiran yang sangat dipengaruhi Plato dalam berfilsafat.
Dalam keterpengaruhannya, Aristoteles memiliki sesuatu perbedaan
pemikiran yang membuatnya menjadi berbeda dengan Plato.
Ibarat Plato memulai filsafatnya dari di sebelah selatan, Aristoteles
justru memulai dari sebelah utara. Filsafat Aristoteles tampak seperti
antitesis filsafat Plato yang justru memiliki corak idealisme. Oleh karena
itu, jika Plato meyakini bahwa apa yang sungguh-sungguh ada adalah yang
ada dalam alam idea, Aristoteles justru memandang bahwa apa yang di
luar alam ide, termasuk benda-benda yang terlihat indra bukanlah idea
yang lahir dari replikasi yang ada dalam pikiran atau mental.
Bagi Aristoteles, benda-benda itu sungguh pun tidak ada yang
memikirkannya ia tetaplah ada. Keberadaannya tersebut tidak ditentukan
140
oleh akal. Di sini fokus perhatian Aristoteles terhadap kemungkinan sampai
pada konsepsi-konsepsi tentang bentuk universal melalui kajian-kajian atas
objek-objek material. Kelak, ini akan menjadi dasar-dasar pertama bagi
lahirnya fisika modern serta sains.
Selanjutnya, realisme agaknya dipengaruhi dua filsuf terkemuka, yaitu
Francis Bacon (1561–1626)19 dengan pemikirannya tentang metodologi
19. Francis Bacon lahir di London pada 1561 dalam keluarga elite yang kaya. Ayahnya adalah
pegawai eselon tinggi di masa Ratu Elizabeth. Di usia 13 tahun ia belajar di Trinity College
di Cambridge, namun baru tiga tahun ia keluar dan tidak menyelesaikan studinya. Di
usia 16 tahun ia sempat bekerja di staf kedubes Inggris di Paris meski mesti pulang sebab
kematian ayahnya. Bacon tidak memiliki warisan harta yang berlimpah. Sejak ayahnya
meninggal, ia bahkan mesti mempertahankan hidupnya sebagai pengacara. Hidup mewah
membuatnya terbelit utang. Beruntunglah, ia memiliki kedekatan khusus, seorang
bangsawan muda yang penuh ambisi politik: Pangeran Essex. Sementara, karier Bacon
dimulai sejak menjadi penulis. Kemampuan menulisnya yang memang bagus didukung
kemampuan berpolitik membuatnya populer, bahkan pada 1662 dianggap sebagai
sumber inspirasi oleh sekelompok elite yang tergabung dalam Royal Society of London
yang berupaya menggalakkan ilmu pengetahuan. Di sana Bacon disebutkan sebagai
pendiri. Dengan demikian, saat Encyclopedie yang besar itu ditulis, “Pembaruan Perancis”,
para penyumbang tulisan utama, seperti Diderot dan d’Alembert, juga menyampaikan
pujiannya kepada Bacon yang memberikan inspirasi terhadap kerjanya. Tulisan Bacon
terpenting menyangkut filsafat ilmu pengetahuan. Di sana ia membuat pemetaan
kerja besar Instauratio Magna atau Great Renewal dalam enam bagian: peninjauan ilmu
pengetahuan, penjabaran sistem baru telaah ilmu, kumpulan data empiris, ilustrasi sistem
baru ilmiahnya dalam praktik, kesimpulan, serta sintesis ilmu pengetahuan yang diperoleh
dari metode barunya. Skema fantastis ini kerap dinilai sebagai pekerjaan terambisius sejak
Aristoteles, yang tak pernah terselesaikan. Karya The Advancement of Learning (1605)
dan Novum Organum (1620) dianggap penyelesaian kedua bagian dari kerja raksasanya.
Novum Organum atau New Instrument menjadi buku Bacon terpenting, yang berisi metode
empiris tentang penyelidikan serta kritik pada logika deduksi Aristoteles yang dipandang
merosot. Dari itu, Bacon mengenalkan metode baru yang disebutnya induktif. Buku
terakhir Bacon, The New Atlantis, berisi penjelasan negeri utopis yang terletak di pulau
khayalan di Pasifik. Konon, buku ini terinspirasi dari gagasan utopia Sir Thomas More
meski keseluruhan pokok masalah di dalamnya berbeda. Dalam buku itu, kemakmuran
dan keadilan dalam negara idealnya, Bacon ungkapkan sangat terkait hasil pada hasil-hasil
penyelidikan ilmiah. Sesuatu yang secara implisit ditangkap banyak kalangan sebagai
pemberitahuan Bacon bahwa penggunaan inteligensia dalam penyelidikan ilmiah dapat
141
induktif serta John Locke tentang konsep akal-pikir jiwa manusia yang
disebutnya sebagai “tabula rasa”, ruang kosong tak ubahnya kertas putih
kemudian menerima impresi dari lingkungan. Kelak, di abad ke-20, pada
1960-an kita akan menemukan Harry S. Boudy sebagai seorang pemikir
realisme modern yang selalu penuh antusias. Ini bisa kita temukan dengan
karyanya yang berjudul, Building a Philosohy of Education (1961).
1. Metafisika Realisme
Sebagaimana sedikit telah kita ulas, realitas merupakan sisi lain
idealisme. Jika ontologis idealisme selalu merujuk bahwa yang ada adalah
yang ideal atau sesuatu yang ada dan bisa dipikirkan, sebaliknya realisme
justru meyakini bahwa yang ada adalah sesuatu yang bisa teramati oleh indra.
Dalam pandangan tersebut, realisme menjadikan indra atau pengamatan
sebagai instrumen atau epistemologi dalam memperoleh pengetahuan
serta kebenaran. Para realis, termasuk Bacon, memandang bahwa ilmu
pengetahuan bukanlah sesuatu titik tempat bertolak dan mengambil
kesimpulan darinya, melainkan ilmu pengetahuan adalah sesuatu tempat
sampai ke tujuan. Untuk memahami dunia, orang mesti “mengamati”-nya.
Kemudian, mengumpulkan fakta, lalu membuat kesimpulan berdasar pada
fakta-fakta itu dengan cara membuat argumentasi induktif yang logis.
Di sini bagi seorang realis, seribu kali sekalipun, akal memiliki ide
tentang sesuatu hal. Akan tetapi, jika ia tidak bisa teramati oleh indra,
sesuatu itu bukanlah sesuatu yang ada. Dalam banyak pengamatan,
common sense menjadi epistemologi filsafat realisme. Cerapan indrawi
menjadi sarana utama untuk memperolehnya.
membuat Eropa makmur dan bahagia seperti halnya penduduk yang hidup di pulau
khayalan itu. Gagasan ini membuat Francis Bacon kerap dinilai sebagai filsuf modern
pertama yang sekuler, empiris, dan realis dalam soal politik. Hari ini andaikata Novum
Organum dan The New Atlantis agak kurang dibaca adalah karena gagasan-gagasan di
dalamnya telah diterima begitu luas.
142
Seorang W.E. Hocking dengan nada sarkastiknya membuat
pernyataan, betapa sebagai watak umum dari akal, realisme adalah sebuah
kecenderungan untuk menjaga diri dan preferensi hidup agar seseorang
tidak mencampuri putusan tentang segala sesuatu dan membiarkan
objek-objek berbicara untuk dirinya. 20
2. Realisme dan Pendidikan
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan
pandangan John Locke bahwa akal-pikir jiwa manusia tidak lain adalah
tabula rasa, ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima
impresi dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan dipandang
dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka
menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik. Dengan demikian,
pendidikan dalam realisme kerap indentikkan sebagai upaya pelaksanaan
psikologi behaviorisme ke dalam ruang pengajaran.
Murid adalah sosok yang mengalami inferiorisasi secara berlebih
sebab ia dipandang sama sekali tidak mengetahui apa pun kecuali apa-apa
yang telah pendidikan berikan. Di sini dalam pengajaran setiap siswa
akan subjek didik tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan patuh
sepatuh-patuhnya untuk diprogram dan mengerti materi-materi yang
telah ditetapkan sedemikian rupa.
Pada ujung pendidikan, realisme memiliki proyeksi ketika manusia
akan dibentuk untuk hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi
common sense sehingga mereka mampu beradaptasi dengan lingkunganlingkungan yang ada. Sisi buruk pendidikan model ini kemudian
cenderung lebih banyak dikendalikan skeptisisme positivistik, ketika
mereka dalam hal apa pun akan meminta bukti dalam bentuk-bentuk
yang bisa didemonstrasikan secara indrawi.
20. Hocking, Types of Philosophy, hlm. 225.
143
Realisme memiliki pula jasa bagi perkembangan dunia pendidikan.
Salah satunya adalah dengan temuan gagasan Crezh, salah seorang
pendidik di Mosenius pada abad ke-17 dengan karya Orbic Pictus-nya.21
Pada periode itu, temuan Orbic Pictus sempat mengejutkan dunia
pendidikan dan dipandang sebagai gagasan baru. Ini disebabkan oleh
paling tidak pada periode tersebut, belum ada satu pun yang memiliki
pemikiran untuk memasukkan alat bantu visual seperti gambar-gambar
perlu digunakan dalam pengajaran anak, terutama dalam mempelajari
bahasa. Di abad selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang abad 19, gagasan
Moravi ini menginspirasi seorang Pestalozzi. Ia menghadirkan objek-objek
peraga fisik dalam ruang pengajaran di dalam kelas.
Corak lain kecenderungan lain pendidikan realisme adalah
tekanan-tekanan hidup yang terarah ke dalam pengaturan-pengaturan
serta keteraturan yang bersifat mekanistik. Meskipun tidak semua
pengaturan yang bersifat mekanistik buruk, apa yang diterapkan realisme
dalam ruang pendidikan melahirkan berbagai hal yang kemudian
menuai banyak kecaman sebab dinilai telah menjadi penyebab berbagai
dehumanisasi.
D. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme22 adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika
akhir abad 19 hingga awal abad 20. Filsafat ini cenderung lebih banyak
mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisik tradisional dan lebih banyak
21. Orbic Pictus atau Orbis Sensualium Pictus (dunia dilihat dari gambar) adalah sebuah buku
untuk anak-anak yang ditulis Crezh, seorang guru di Comenius, yang terpublikasikan
pada 1658. Buku ini dianggap sebagai ensiklopedi bergambar untuk anak.
22. Sebuah versi menyebutkan jauh istilah “pragmatis” pernah pula digunakan Kant
“pragmatich” guna menunjuk pemikiran-pemikitan yang sedang berlaku dan ditetapkan
dengan maksud-maksud serta rencana-rencana. Menurut Kant, prinsip tentang akal praktis
telah menjadi merintis jalan bagi pragmatisme.
144
terarah pada hal-hal yang pragmatis kehidupan. Pragmatisme lahir di
tengah-tengah situasi sosial Amerika yang dilanda berbagai problem terkiat
dengan kuat dan masifnya urbanisasi dan industrialisasi. Berakhirnya
Perang Dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak langsung
telah melahirkan dampak psikologis yang begitu meluas dan memicu
terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa, khususnya para filsuf di
dalam menyadari hidup dan kehidupan yang ada. Eropa abad pertengahan
kehilangan utopia hidupnya mulai dari moralitas serta spiritual. Atas
nama nasionalisme dan demi mengejar keuntungan-keuntungan serta
kebanggaan semu, dunia yang selama ini beradab telah membuktikan diri
hadir menjadi dunia yang sepenuhnya irasional, horor, dan buta terhadap
gagasan-gagasan nilai yang dibangunnya.
Dalam kondisi seperti itulah, pragmatisme kemudian lahir
di Amerika. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup
berpengaruh mulai Charles S. Pierce 23 (1839–1914), William
23. Charles Sanders Peirce (1839–1914) dikenal sebagai pendiri pragmatisme Amerika. Oleh
karena itu, terdapat istilah “Piercian” untuk menyebut pemikiran pragmatisme Charles
Sanders Peirce membedakan pandangan-pandangannya dari para pragmatis lainnya.
Peirce adalah seorang ahli teori logika, bahasa, komunikasi, dan teori umum tanda-tanda,
sesuatu yang oleh Peirce disebut sebagai semiotika. Selain itu, ia juga mendalami logika
matematika produktif luar biasa dan matematika umum dan merupakan pengembang
dari psiko, fisik monistik metafisik sistem evolusi. Ia lahir dalam keluarga kelas menengah
yang terpelajar. Ayahnya bahkan seorang profesor Matematika di Universitas Harvard.
Pierce mulanya seseorang yang tertarik persoalan kimia dan geodesi dengan antusiasme
yang cukup berlebih. Di sepanjang usianya, ia bahkan tidak selalu terlibat dalam berbagai
penelitian-penelitian kimia. Persentuhannya dengan filsafat dimulai di usia 17 tahun,
saat ia masih duduk sebagai salah seorang mahasiswa di Universitas Harvard. Ia tertarik
dengan tulisan-tulisan Schiller tentang Pendidikan Estetis Manusia dan karya Immanuel
Kant, Critique of Pure Reason. Bagi Kant, Pierce bahkan menghabiskan waktu tiga tahun
dan membuat kesimpulan jika efektivitas sistem Kant disebabkan oleh apa yang disebut
“logika kekanak-kanakan”. Pengalaman ini memengaruhinya dan mengerakkan dirinya
untuk mengabdikan hidupnya dalam studi dan penelitian logika. Dari tahun 1860-an
sampai kematiannya pada 1914, ia melahirkan berbagai karya logika yang cukup tebal
dan bervariasi. Pemikiran logikanya bahkan menjadi dasar pijakan utama Schroeder
145
James24 (1842–1910), John Dewey, dan seseorang pemikir yang
juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead 25(1863–
1931).
dalam melahirkan karya Vorlesungen ueber die Algebra der Logik. Peirce dianggap sebagai
ahli logika terbesar pada zamannya. Oleh semua orang yang akrab dengan karyanya, ia
dianggap sebagai salah satu ahli logika terbesar yang pernah hidup.
24. William James adalah seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal sebagai salah seorang
pendiri pragmatisme. Selain sebagai filsuf, James juga terkenal sebagai seorang psikolog. Ia
dilahirkan di New York pada 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di Universitas Harvard,
ia belajar psikologi di Jerman dan Prancis. Kemudian ia mengajar di Universitas Harvard
untuk bidang Anatomi, Fisiologi dan Psikologi, dan filsafat, hingga tahun 1907. Pada 1910,
ia meninggal dunia. Kedekatannya dengan persoalan psikologi di satu sisi dan fisiologi
di sisi yang lain agaknya menjadi penyebab utama William James bersinggungan dengan
tema-tema filsafat, serta membawanya pada karier puncak bahkan dikenal sebagai seorang
filsuf modern Eropa abad ke-19. Filsafat James terlihat lebih banyak bermain di ruang
antitesis. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran filsafatnya lebih banyak berupa refleksi
pemikiran filsafat sebelumnya. Dalam soal kesadaran, misalnya, gagasan James terlihat
sebagai upaya perlawanan dari adanya pandangan yang menyatakan bahwa kesadaran tidak
bersatu dengan aspek-aspek fisis. Di sini ia justru menyatakan kesadaran selalu terikat
dengan aspek-aspek fisis, dari itulah pengalaman selalu menjadi sumber pengetahuan
termurni manusia. Dalam pengalaman kehidupan yang terus berubah, manusia kesadaran
manusia pun berubah serta mengalami relativitas. Dalam pemikiran ini, James menolak
adanya kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, serta bersifat berdiri sendiri. Bagi
James, kebenaran selalu dapat diubah dan direvisi oleh pengalaman murni.
25. Mead atau George Herbert Mead memiliki periode kehidupan yang tak jauh berbeda
dengan William James atau Pierce. Ia juga dikenal sebagai filsuf Amerika yang berpengaruh,
khususnya dalam aliran pragmatisme. Mead lebih banyak terlihat sebagai seseorang pakar
teori sosial ketimbang seorang filsuf, terutama karena ketertarikan yang berlebih pada
teori-teori sosial. Mead lahir di daerah Hadley Selatan, Massachusetts. Ia adalah anak
seorang pendeta dari gereja Kongregasional yang kemudian pada 1869 pindah ke Ohio
untuk bergabung dengan The Oberlin Theological Seminary untuk mengajar homiletik.
Karena kepindahan itu, Mead belajar di Oberlin dari tahun 1879–1883. Kemudian,
di tahun 1887–1888 ia belajar di Harvard pada seorang filsuf bernama Josiah Royce,
seseorang yang begitu mendalami pemikiran Hegel dan cukup berpengaruh pada diri
Mead. Selama tahun-tahun di kampus, Mead menjadi sosok seorang naturalis yang
mengagumi pemikiran Darwin di satu sisi, dan Hegel di sisi yang lain. Meski selain itu, ia
juga memerankan sebagai seorang Kristen yang baik, yang percaya bahwa bahwa kesaksian
Kristen selalu mesti dilahirkan dalam sikap-sikap pelayanan pada kepentingan umum.
146
1. Metafisika Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi
pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis
antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat
yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai
ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan
William James tentang pragmatisme agaknya mewakili pertanyaan kita
tentang pragmatisme tersebut. Pragmatisme adalah sikap memandang jauh
terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori
yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda
terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.26
Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa
filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan
pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat
sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai
upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains
modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan
begitu menentukan.
Dalam perkembangannya, pragmatisme ini akan memengaruhi
teori-teori pendidikan yang lahir setelahnya, mulai dari progresivisme,
rekonstruksionisme, futurisme, serta humanisme pendidikan. Meskipun
di antara aliran-aliran itu dua aliran pendidikan, yaitu progresivisme dan
humanisme, pengaruh pragmatisme terlihat menggejala sangat kuat.
***
Salah satu pemikiran Mead yang kerap menjadi perhatian adalah konsepnya tentang
gesture. Dalam hal ini, ia menulis, “Gestures become significant symbols when they implicitly
arouse in the individual making them the same responses which the explicitly arouse, or are
supposed to arouse, in other individuals.”
26. William James, Pragmatism, (New York: Longmans, Green, 1907), hlm. 54–55.
147
Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan
berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional
yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang
bersifat absolut dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman
empiris. Dari itu, bagi mereka, seandainya pun realitas adikodrati memang
ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui
hal itu.
Pemikiran ini menunjuk bahwa epistemologi pragmatisme
sepenuhnya berbasis pendekatan empiris: apa yang bisa dirasakan itulah
yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak
dapat dipisahkan. Sebab, hanya dengan mengalamilah pengetahuan
itu dapat dicerap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat
diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris
pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman
yang mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun
berubah.
Realitas bukanlah sesuatu yang abstrak. Sebaliknya, ia hanya sebuah
pengalaman transaksional yang secara konstan akan terus-menerus
berubah. Di titik inilah seorang William James kemudian berujar betapa
manusia selalu hidup dalam dunia dengan tutup yang terbuka. Pandangan
James ini sama dengan Dewey tentang konsep kebenaran. Bagi Dewey,
kebenaran tidak lebih hanya opini yang ditakdirkan sebagai sesuatu
yang dipandang benar sehingga semua orang pun kemudian berupaya
menyelidikinya untuk kemudian meyakini atau menolak otoritasnya.
Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran
tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih
ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik.
Maka, dalam pragmatisme, pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan
dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah.
Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para
148
pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat personal atau pribadi dan itu
tidak perlu dikabarkan pada publik. Sedangkan, hal-hal yang dianggap
perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada
pengamat yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada
dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan
siapa pun di banyak pengetahuan.
Pandangan-pandangan itu semuannya terangkai oleh konsep
kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap
mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan
sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep
kegunaan, apa yang kita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang
mesti kita ketahui. Sebab, konsep kegunaan dan fungsi kebenaran dalam
pragmatisme selalu hadir menjadi relatif dan kasuistik. Sebuah kebenaran
yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa
menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.
Sementara, pandangan aksiologi pragmatisme tentu saja memiliki
sisi keterkaitan erat dengan corak epistemologi mereka yang cenderung
berbasis empiris serta menegaskan bahwa manusia bertanggung
jawab sepenuhnya atas kebenaran dan pengetahuan serta nilai-nilai
yang diakibatkannya. Keberadaan konsep kegunaan dan fungsi bagi
pragmatisme tidak membuat bahwa nilai-nilai etika menjadi relatif dan
batal. Sebaliknya, dipandang bahwa tidak ada konsep etika yang mengikat
manusia secara universal.
Sementara, dalam pengamatan lebih jauh, prinsip dasar etika
pragmatisme selalu didasarkan pada fungsi dan kegunaan yang dalam
hal ini didasarkan pada fungsi dasar bagi sosial. Hal ini kerap membuat
satu penilaian bahwa etika pragmatisme dipandang memiliki kesamaan
dengan konsep “etika tradisional Eropa” meski dalam pragmatisme
pembedaan baik buruk dalam makna individu dan kolektif sosial agaknya
memiliki pemisahan secara sangat tersadari. Ini sangat berbeda dengan
149
etika tradisional Eropa yang nyaris tidak memiliki pemilahan ruang etis
antara ruang-ruang privat dan ruang publik karena semua hal semua hal
telah tereksternalisasikan ke dalam ruang publik secara sepenuhnya.
2. Pendidikan Bagi Pragmatisme
Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan
bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki
pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah individu yang
mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki inisiatif dalam
mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar
subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar
sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai
bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk
menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda
dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi
problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran
yang reflektif. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan
dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan
dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana
keberhasilan.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai
pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang
pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah
dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan
untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada.
Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan
situasi-situasi sosial yang ada.
Guru, di sini sama sekali berbeda dengan para guru dalam
pendidikan tradisional yang otoritatif dan mesti menekankan kepatuhan
150
pada siswa. Dalam pendidikan pragmatisme, guru menjadi pendamping
subjek didik yang dipandang jauh lebih memiliki pengalaman dalam
menghadapi berbagai problem. Ia menjadi pengarah atau pemandu
aktivitas-akitivitas subjek didik di luar hal-hal yang dibutuhkan mereka,
dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman yang lebih luas.
Para guru juga tidak melakukan aktivitas-aktivitas kelas pada apa yang ia
merasa ia dibutuhkan.
Oleh karena itu, pengajaran pragmatisme kerap sangat berbeda
dengan pengajaran tradisional yang selalu mesti di ruangan, memiliki
kesan begitu formal dan kaku. Pengajaran-pengajaran itu justru sering
dilakukan di luar, di alam terbuka, dan berbagai tempat yang memang
disukai siswa didik. Metode pengajaran pragmatis sekali lagi selalu
menekankan pengalaman sebagai sesuatu yang utama. Oleh karena itu,
upaya pengajaran dilakukan selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan
hidup. Seseorang yang hendak belajar tentang pertanian, misalnya,
dalam pendidikan pragmatisme akan dibawa langsung di area tempat
kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan. Dalam keterlibatan langsung
itu, guru akan menjadi pendamping atau pemandu yang sesekali akan
menjelaskan dan memberi nasihat bagi para subjek didik. Metode ini
populer dengan nama metode eksperimental.
***
Sementara, untuk soal kurikulum, menurut Dewey dan kalangan
pragmatis lainnya, tidak boleh dibagi dalam bidang materi yang membatasi
dan tidak alamiah. Di sini kurikulum dibangun atas dasar unit-unit
alamiah, tidak menimbulkan persoalan, serta melahirkan pengalaman yang
menekan subjek didik. Materi-materi kurikulum pendidikan pragmatisme
meliputi beberapa materi yang juga digunakan dalam pendidikan
tradisional. Mulai dari seni, sejarah, hitung, dan membaca.
151
Kebijakan-kebijakan sekolah selalu menjadi kebijakan liberalisme
dalam artian mereka tidak pernah khawatir dengan perubahan-perubahan
sosial. Bagi mereka, perubahan adalah kenyataan yang hidup tidak mungkin
dibendung. Maka, pendidikan mesti mengajarkan pada generasi di dalam
mengelola perubahan dengan cara yang sehat. Sekolah di sini tidak perlu
mengharuskan subjek didik dengan beban-beban yang tidak produktif,
seperti menghafal serta memberikan keharusan-keharusan tertentu yang
membuat mereka kehilangan sisi aktifnya sebagai subjek. Dalam banyak
hal, pendidikan justru lebih banyak mengajarkan cara belajar sehingga
mereka mampu menyesuaikan dengan perubahan-perubahan hidup yang
terus-menerus menimpa dunia mereka. Di sini kurikulum pendidikan
pragmatis lebih banyak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
proses ketimbang muatan materi.
E. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Aliran progresivisme lahir di Amerika, akhir abad 19 menjelang awal
abad 20. Mula-mula, istilah ini bersifat sosiologi guna menyebut gerakan
sosial politik di Amerika, ketika proses industrialisasi dan urbanisasi
menjadi gejala yang begitu masif.
Dalam ruang politik, gerakan-gerakan progresivisme ini di antaranya
dipelopori dua tokoh, yaitu Robert La Follete27 dan Woodrow Wilson yang
27. Robert La Follette (1855–1925) mulanya bukanlah siapa pun. Di daerah tempat
kelahirannya, yaitu Dane County Wisconsin, orang-orang hanya mengenalnya sebagai
seorang anak yang lahir dalam keluarga petani kecil yang hidup dalam situasi ekonomi
pas-pasan. Situasi hidup yang seperti itu membawa Robert La Follette meski bekerja sebagai
buruh untuk kemudian bisa duduk di bangku perkuliahan Universitas Wisconcin 1875.
Uniknya, sejak kecil hingga dewasa ia bukan sosok menonjol dalam makna apa pun selain
hanya seorang pekerja keras yang tak mengenal lelah. Sebuah psikis yang cukup terpahami
sebagai ciri dasar dari seseorang yang lahir dalam keluarga petani kecil. Namun demikian,
sesuatu hal terjadi dan membuatnya lahir menjadi diri yang sepenuhnya baru. Pada 1876,
152
sepanjang waktu keduanya terus melakukan upaya-upaya pleasure pada
kekuasaan-kekuasaan politik yang dipandang kontraproduktif dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat umum. Sementara, di sisi yang lain,
gerakan ini berupaya pula menghilangkan monopoli-monopoli ekonomi,
termasuk berbagai pengupayaan pada hunian-hunian masyarakat
pinggiran.
Dari itulah awal mula istilah lahirnya progresivisme . Dalam
perkembangannya, istilah ini kemudian digunakan pula dalam ruang
pendidikan untuk menyebut aliran pendidikan yang mencoba mengkritisi
pendidikan tradisional. Elaborasi mengenai hal ini salah satunya bisa
temukan dalam karya Lawrence A. Cremin, dalam karyanya berjudul
The Transformation of the School: Progresivism in American Education
(1876–1957).
John Dewey (1859–1952) adalah satu tokoh yang kerap dipandang
menjadi pelopor lahirnya aliran progresivisme. Sementara, Dewey tidak
lain adalah filsuf beraliran pragmatisme. Dari itu bisa dikatakan bahwa
pemikiran-pemikiran yang melandasi progresivisme sangat dipengaruhi
pemikiran aliran filsafat pragmatisme. Sementara, pemikir lain yang
memengaruhi lahirnya progresivisme antara lain Sigmund Freud,28
La Follette bertemu seseorang bernama Robert G. Ingersoll. Pertemuan itu mengubah
sepenuhnya diri La Follette. “Ingersoll”, begitu La Follette biasa menyebutnya, adalah
pribadi yang tepat bagi seorang pemuda yang sunyi, hidup dalam berbagai keterbatasan,
dan terbelenggu pemikirannya. Pertemuannya dengan Ingersoll membuka cakrawala yang
selama ini terkungkung oleh banyak hal. Sejak itu, La Follette terlibat dalam kegiatan
politik yang selanjutnya membawa dirinya sebagai seorang senator yang dikenal populis.
Hal yang memesona dari La Follette adalah ketika ia dan istrinya Belle La Follette, tahun
1909 membuat jurnal mingguan yang dinamainya La Follette. Jurnal mingguan ini
menyuarakan ide-ide humanisme modern, mulai dari kesetaraan perempuan dan laki-laki,
hak pilih bagi perempuan (www.spartacus.schoolnet.co.uk).
28. Sigmund Freud (1856–1939) lahir di sebuah daerah bernama Moravia. Namun, sepanjang
hidupnya, ia tinggal di Wina. Mulanya, Freud adalah seorang yang mendapat gelar sarjana
dalam ilmu bidang kedokteran. Karenanya, karier pertama yang ia geluti tidak lain
adalah ilmu kedokteran. Kariernya mulai menanjak saat ia memulai penelitian tentang
153
khususnya pemikirannya tentang psikoanalisis serta pemikiran Jean
Jacques Rousseau, khususnya pemikiran Rousseau yang tertuang dalam
karyanya Emile (1762).
Karya tersebut merebut hati kalangan progresif yang menentang
campur tangan orang-orang dewasa dalam menetapkan tujuan pendidikan
serta kurikulum-kurikulum subjek didik. Maka, munculnya konsep belajar
Children Center lebih banyak memiliki kesesuaian dengan pemikiran
Rousseau dan Freud ketimbang pemikiran John Dewey.
Di Amerika pengembangan-pengembangan teori pendidikan
progresivisme mencantumkan nama-nama praktisi pendidikan, seperti
Charleton Whasburne, William H. Kilpatrick, Harold Rugg, dan
seseorang bernama John L. Childs. Pengembangan ini memiliki pengaruh
cukup kuat paling tidak berkisar mulai sejak dekade 1920-an hingga
1950-an.
Adapun di tahun-tahun berikutnya ketika pendidikan yang telah
mengubah wajah pendidikan Amerika ini mulai mengalami keruntuhan,
terutama ketika lembaga organisasi yang menjadi motor penggerak
progresif ini mati. Meskipun beberapa kalangan menilai hal itu disebabkan
konsep-konsep pendidikan progresif telah diadopsi oleh nyaris seluruh
institusi pendidikan di Amerika, dicampur dengan metode-metode lain
dalam corak yang eklektif.
penggunaan hipnotis untuk mengobati penyakit histeria. Penyelidikan itu menjadi awal
kelahiran gagasan-gagasan psikoanalisisnya. Terutama, ketika ia menemukan tanda-tanda
trauma pada setiap pasien histeria yang ia tangani. Salahnya, antara lain adalah tidak
tersalurkannya emosi. Freud melahirkan beberapa karya yang membuatnya menjadi makin
berpengaruh, yaitu The Intepretation of Dreams (1900), The Psychopathology of Erveryday
Life (1904). Saat Nazi menduduki Austria, Freud mengungsi ke Inggris hingga meninggal
di sana. Sebelum meninggal, ia sempat melahirkan karya-karya baru yang bersifat filosofis,
yaitu Totem and Taboo (1913), Civilization and Its Discontens (1929), dan Moses and
Monotheism (1939).
154
Sebagaimana kita jelaskan di atas, teori pendidikan progresivisme
secara umum dipengaruhi filsafat pragmatisme, khususnya pemikiran
yang dilahirkan John Dewey. Itulah ciri khas teori pendidikan ini. Ia
tidak pernah menjadi sistem pemikiran yang sistematis dan konsisten,
tetapi lebih banyak terpusat pada eksperimentasi-eksperimentasi yang
berdasarkan investigasi-investigasi ilmiah sains modern. Hal ini sangat
identik dengan pemikiran filsafat Dewey yang memandang betapa
pengalaman selalu menjadi hal yang pokok dan utama.
Salah satu karya Dewey yang cukup berpengaruh adalah buku
berjudul The School and Society (1899). Karya ini pula yang paling
banyak menjadi rujukan dalam aliran pendidikan progresivisme .
Dewey29 bahkan menyadari bahwa pengalaman adalah sesuatu hal yang
pokok, sebagai hasil dari pengaruh timbal balik antara organisme dan
lingkungan. Dari itulah, Dewey memandang bahwa kebenaran sebagai
opini yang ditakdirkan untuk disepakati dan pada akhirnya semua orang
menyelidikinya. Pandangan ini membiarkan penyelidik dalam kegelapan
total sehingga untuk membuktikannya ia mesti terlibat dalam mengalami
dalam pengalamannya.
Hanya saja, meski mereka tidak memiliki konsep pemikiran
yang sistematis, kalangan progresif selalu serempak, khususnya dalam
menentang penerapan pendidikan tradisional di berbagai instituasi
pendidikan. Allan Ornstein, misalnya, membuat kesaksian betapa
29. John Dewey (1859–1952) lahir di Burlinton, Vermont, sebagai seorang pemuda pemalu.
Namun demikian, setelah ia selesai menamatkan pendidikannya di University of Vermont,
ia menjadi tokoh paling berpengaruh di Amerika. Ia mulanya mengajar sastra klasik, sains,
dan matematika untuk waktu yang singkat di sekolah kelas menengah. Kemudian, ia
melanjutkan sekolahnya hingga memperoleh gelar doktor di The John Hopkins University.
Dari itu, selama sepuluh tahun ia mengajar di Universitas Michigan, sebentar kemudian
di University of Minnesota dan selama sepuluh tahun lagi di University of Chicago. Dari
situ ia kemudian pada 1904 mengajar di Columbia University hingga tahun 1930 dan
menumpahkan pemikiran-pemikirannya pada persoalan praksis pendidikan.
155
kalangan progresif selalu gatal dalam mencerca teknik pendidikan yang di
dalamnya menempatkan guru sebagai subjek utama tunggal pendidikan,
sedangkan subjek didik sendiri, yaitu para siswa selalu menjadi objek
yang dipandang tidak memiliki pengetahuan apa pun. Kalangan progresif
juga menentang pola pengajaran yang bertumpu pada metode textbook
atau metode pengajaran yang sepenuhnya terproyeksikan ke dalam
buku-buku. Hal lain yang ditentang para progresif adalah kebiasaan
pendidikan tradisional yang selalu melakukan proses belajar pasif, yaitu
subjek didik meski dibebani dengan berbagai informasi-informasi yang
harus mereka hafalkan. Penerapan hukuman-hukuman fisik sebagai
bentuk pendisiplinan bagi kalangan progresif dinilai tidak tepat, sama
tidak tepatnya dengan konvensi pendidikan bahwa proses pengajaran
selalu dikesankan mesti dilakukan di dalam ruangan yang membuat setiap
subjek didik secara otomatis akan mengalami keterasingan-keterasingan
serta terjauhkan dari realitas sosial hidup yang ada.
Tahun 1950 sejak runtuhnya kelembagaan yang menjadi motor bagi
pengeraknya, kalangan progresif tampak tidak lagi terdengar gaungnya.
Pada 1970, muncul gerakan baru yang mencoba mendaur ulang ide
gagasan progresif dalam humanisme pendidikan. Mulai dari prinsip
pengajaran yang terpusat pada anak, peran guru yang tidak otoritatif,
pelibatan subjek didik secara aktif, serta keberlangsungan pengajaran yang
sepenuhnya demokratis.
Pendaurulangan metode pendidikan progresif oleh humanisme ini
agaknya memiliki tekanan tujuan yang berbeda dengan progresivisme
di era awal. Hal ini tekait karena di periode itu gerakan pendidikan
humanisme tidak hanya menyumberkan diri pada teori pendidikan
progresivisme, tetapi juga pada pemikiran eksistensialisme. Oleh karena
itu, tekanan-tekanan nilai-nilai eksistensialisme, seperti pencarian
makna-makna personal dalam eksistensi manusia terlihat sangat
156
memengaruhi corak dan metode pengajaran diterapkan para kalangan
humanis ini.
Di ruang ini, pemikiran Abraham Maslow, Arthur Combs, serta Carls
Roger mendapatkan apresiasi lebih, terutama terkait dengan pemikiran
mereka pada konsep-konsep humanisasi yang hendak dibangun para
humanis tersebut. Kerap diungkap bahwa upaya pendidikan tidak lain
adalah upaya yang terhumanisasikan secara perorangan guna menuju dan
menemukan serta membangun kedirian yang sejatinya.
Jika ditilik secara umum, pendidikan humanisme ini memiliki
kesamaan yang begitu mirip dengan pendidikan progresivisme .
Perbedaannya, humanisme di sini terlihat mendasarkan teori-teori
pendidikannya pada aspek-aspek pembelaan subjek diri dari berbagai
tindakan-tindakan pendidikan yang oleh mereka dipandang represif
dan tidak manusia. Maka, pendidikan humanisme agaknya lebih terarah
pada pembebasan psikologi ketika subjek didik tidak terkungkung oleh
apa pun, termasuk perasaan-perasaan traumatis sebab tersingkir dalam
kompetisi serta takut gagal.
Proyeksi-proyeksi tersebut terkait dengan pandangan para humanis
di dalam memandang apa dan bagaimana makhluk bernama manusia itu.
Bagi mereka, setiap manusia selalu terlahir sebagai diri yang sempurna,
pintar, energik, penuh dengan keingintahuan, dan menyukai belajar
sehingga mereka tidak perlu diancam, disuap, atau ditekan agar mereka
mau belajar. Manusia secara umum, khususnya subjek didik, akan belajar
saat situasi pengajaran yang ada memang nyaman dan mambuat mereka
benar-benar merasa senang dan nyaman. Sebaliknya, subjek didik tidak
akan mau belajar jika mereka merasa bahwa ruang pengajaran yang ada
sama sekali tidak menyenangkan dan tidak nyaman.
Di sini, para humanis agaknya memandang betapa pendidikan
tradisional tak ubahnya ruang penjara yang mencekam dan mengerikan
sehingga dalam gerakan pendidikannya, para humanis seakan-akan tengah
157
melakukan pembebasan para narapidana setelah hidup sepanjang tahun
dalam pola yang sepenuhnya penuh dengan berbagai kungkungan.
Di titik ini, posisi guru sangat berbeda dengan pendidikan tradisional
yang selalu otoritatif, akan lebih pada berperan sebagai fasilitator atau
orang yang membantu mengantarkan siswa untuk membuat keputusan
dan memperoleh apa yang mereka sukai. Dalam ruang pengajaran seperti
kelas, para siswa lebih banyak bertindak dengan keinginannya sendiri
ketimbang sebagaimana hal yang diinginkan guru. Dalam proses lebih
jauh, guru mesti bersikap moderat dan harus mampu menerima berbagai
perbedaan-perbedaan.
Dalam gerakan pendidikan ini, sekolah-sekolah menjadi ruang
yang benar-benar bebas gejala-gejala indoktrinisasi dan praktik-praktik
otoritatif. Kurikulum-kurikulum pengajaran di dalamnya bahkan
mengalami berbagai penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan siswa.
Pendeknya, pendidikan berubah menjadi ruang pembebasan anak dalam
upaya menuju pribadi-pribadi yang independen dan pemberani serta
tangguh dalam menghadapi hidup di dunia modern yang sarat dengan
berbagai problem serta senantiasa berjalan dengan situasi labil yang
konstan.
Di sini, metode pendidikan humanisme menjadi pendidikan yang
seratus delapan puluh derajat berlawanan dengan pendidikan tradisional:
pengajaran -pengajaran yang ada selalu gagal dalam membangun
hubungan-hubungan interpersonal yang hangat, penuh cinta, serta rasa
harga diri yang terpuaskan. Sebaliknya, pendidikan humanisme justru
diarahkan pada terciptanya hubungan-hubungan interpersonal dalam
landasan cinta dan penghargaan atas perbedaan masing-masing diri.
Gerakan pendidikan ini melahirkan semangat dan atmosfer yang begitu
signifikan bagi perkembangan pendidikan di Amerika. Misalnya, bisa
kita temukan dengan munculnya gagasan School without Failurei, yaitu
sekolah terbuka tanpa kegagalan.
158
F. Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme kerap diungkap sebagai reaksi kedua terhadap progresivisme
tahun 1930-an. Dengan alasan yang hampir sama dengan kalangan
perenialis, kalangan esensialis menilai praktik progresivisme telah
melahirkan pendidikan yang gagal, terutama karena upaya progresivisme
di dalam menjadikan pendidikan sebagai usaha belajar tanpa penderitaan.
Hal itu membuat manusia menjadi makin tumpul dan dangkal. Meski para
esensialis juga kurang sependapat dengan perenialisme yang dipandang
cenderung aristokratis dan antidemokrasi.
Sebagai aliran yang berbeda dengan kontra-progresivisme ,
esensialisme tentu saja berbeda dengan progresivisme. Perbedaan
tersebut terlihat pada dasar pijakan mereka pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, terbuka pada perubahan, toleran, dan tidak ada terkait dengan
doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang
jelas. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak
esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme,
tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama
pada dirinya masing-masing.
Sementara, istilah “esensi” oleh para esensialis diartikan sebagai
ciri tetap yang ada pada setiap sesuatu yang ada. Ia adalah sesuatu
yang bersifat konstan, tidak bisa berubah, kekal, dan akan selalu abadi.
Pandangan ini banyak mendapat kritik dari para eksistensialis, mulai
dari Nietzsche, Sartre, dan terutama sekali Stimer. Meski jika kita lacak,
embrio dasar pemikiran Aristoteles memaknai esensi sebagai kata yang
memiliki kedekatan makna dengan morphe yang berarti bentuk. Ada pula
yang menyamakan dengan kata hyle atau model, rencana, dan ide dasar.
Sementara, Karl Popper memaknai esensi sebagai lawan dari kata nominal.
159
Oleh karena itu, baginya esensialisme adalah sisi lain dari nominalisme.
Dalam hal ini, Karl Popper tidak sepakat jika esensialisme dianggap
sebagai lawan dari realisme. Baginya, realisme adalah sisi lain idealisme.
Sementara, esensialisme dalam arti luas selalu menjadi filsafat yang
mengakui keunggulan zat. Pandangan ini berbeda dengan eksistensialisme
yang menyatakan “menjadi (to be)” sebagai realitas mendasar.
Dalam prinsipnya, esensialisme selalu menjadi filsafat yang memang
berbeda dengan perenialisme. Dasar filosofi esensialisme terutama
memandang bahwa setiap jenis tertentu tidak lain adalah entitas yang
memiliki seperangkat karakteristik dan sifat yang bersifat (given) atau
terberikan sejak keberadaannya yang pertama kalinya. Di sini para
esensialis selalu memandang bahwa segala sesuatu selalu dapat dijelaskan
dengan tepat.
Esensialisme selalu identik dengan generalisasi yang begitu sangat
berlebih. Ini bisa dicontohkan dengan pemikiran mereka tentang manusia,
bahwa sebagian sifat-sifat tertentu manusia selalu bersifat universal dan
dimiliki oleh manusia lainnya tanpa dipengaruhi oleh konteks. Esensi
adalah entitas dasar, bukan keberadaan yang “mengada”. Para penganut
esensialis selalu meyakini bahwa esensi selalu sesuatu hal mendahului
keberadaan. Pandangan itu mereka analogikakan dengan mengatakan
bahwa jauh sebelum kita membuat pertanyaan tentang apa itu (latin:
quit sit)? Adakah itu (an sit)? Pertanyaan pertama apakah itu pasti selalu
menjadi pertanyaan yang mengarah pada esensi atau tentang keapaan
(whatness).
Para esensialis memandang bahwa seseorang mungkin telah bisa
lahir sebagai individu yang sepenuhnya memiliki karakteristik yang
berbeda dengan individu lainnya sehingga ia menjadi diri yang terpisah.
Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka menjadi bukan bagian
dari sosial karena esensinya setiap individu selalu menjadi makhluk
160
sosial. Esensialisme memandang bahwa dunia dan kehidupan ini selalu
berlangsung dalam kesempurnaan.
Menurut mereka, jika terdapat kesempurnaan, hal itu selalu
disebabkan keterbatasan cara pandang manusia dalam memahami dunia
dan kehidupan ini. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang
mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat
manusia berada.
Pandangan ini didukung aliran idealisme subjektif yang berpendapat
bahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, sedangkan
segala sesuatu yang ada selalu nyata dalam makna spiritual. Hal ini
bertentangan dengan realisme yang justru berpendapat bahwa kualitas
nilai selalu ditentukan pada apa dan bagaimana keadaannya, termasuk
apa, siapa, dan bagaimana kualitas subjek yang mengalaminya.
***
Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi individu dengan menitikberatkan pada “aku”. Menurut idealisme,
bila seorang itu belajar pada taraf permulaan, ia memahami “akunya”
sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia objektif.
Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Belajar dapat
didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang sebagai substansi spiritual.
Jiwa membina dan menciptakan diri. Esensialisme memandang kurikulum
hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat.
Menurut para penganut esensialisme, tugas pendidikan tidak lain
adalah mengajarkan pengetahuan dasar dan keterampilan-keterampilan
dasar yang berkaitan dengan pemerolehan materi dalam hidup. Dalam
praktiknya, para esensialisme cenderung menekankan sesuatu yang dikenal
3 R; mulai dari reading, writing, dan arithmetic (membaca, menulis, dan
berhitung). Tiga hal ini dipandang sebagai pengetahuan dasar yang begitu
ditekankan dalam esensialisme.
161
Dalam esensialisme, biasanya akan diajarkan beberapa mata pelajaran
yang diatur mirip dengan Membaca, Menulis, Sastra, Bahasa Asing,
Sejarah, Matematika, Sains, Seni, dan Musik. Peran guru di kalangan
esensialis sangat berbeda dengan di kalangan progresif yang sama sekali
tidak otoritatif bahkan hanya menjadi fasilitator, sebaliknya berupaya
untuk kembali menjadi menjadi otoritatif. Oleh karena itu, sikap-sikap
yang ditanamkan adalah menanamkan rasa hormat terhadap otoritas,
ketekunan, tugas, pertimbangan, dan kepraktisan.
Esensialisme berupaya untuk mengajar siswa dengan berbagai
pengetahuan sejarah melalui mata kuliah inti dalam disiplin akademis
tradisional. Esensialisme juga bermaksud menanamkan pengetahuan
akademis, patriotisme, dan pengembangan karakter. Pendekatan
tradisional ini dimaksudkan untuk melatih pikiran, mempromosikan
penalaran, dan menjamin budaya umum.
George Wilhelm Friedrich Hegel30 (1770–1831) mengemukakan
adanya sintesis antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu
pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. George Santayana
memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu
sintesis dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan
suatu konsep tunggal karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang
menentukan adanya kualitas tertentu.
30. George Wilhelm Friedrich Hegel (27 Agustus 1770–14 November 1831) lahir di Stuttgart,
dalam lingkungan keluarga yang begitu peduli dengan pengetahuan. Oleh karena itu, di
usianya yang begitu dini, Hegel telah memiliki tradisi literanik yang kuat, mulai dari surat
kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan dalam topik lainnya. Kelak, ia akan dikenal sebagai
filsuf yang identik dengan metode dialektika. Sesuatu yang dalam pandangannya berada
dalam situasi antara setuju dan tidak setuju, konsesi dan negasi. Namun demikian, negasi
itu bagi Hegel adalah konsesi dalam pengertian yang lain. Hegel dikenal pula sebagai filsuf
idealis yang berpengaruh, di antara nama-nama filsuf yang terpengaruhi pemikiran Hegel
antara lain adalah Karl Marx, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, dan Max Stimer.
162
Salah satu tokoh seorang esensialis yang cukup berpengaruh adalah
William Bagley (1874–1946). Bagley memandang bahwa esensialisme
selalu terkait dengan budaya gerakan literasi, yang oleh para esensialis
dipandang sebagai nilai-nilai kebudayaan penting yang membawa manusia
menjadi beradab.
G. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Meski pemikiran-pemikiran teori pendidikan perenialisme telah muncul
jauh di periode pertengahan, pengakuan secara resmi mengenai teori-teori
pendidikan yang dihasilkan filsafat pendidikan perenialisme baru
berlangsung sekitar tahun 1930-an. Terutama, ketika filsafat ini hadir
sebagai bentuk reaksi keras terhadap kalangan progresif, yang dinilai
telah membuat pendidikan menjadi semakin jauh dari visi hidup yang
sebenarnya.
Istilah “perenialisme” berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata
perenis atau perenial (bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus melalui
waktu, hidup terus dari waktu ke waktu atau abadi. Maka, pandangan
selalu memercayai mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat
abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar itu, perenialis memandang pola
perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan
dari apa yang ada sebelumnya sehingga perenialisme sering disebut sebagai
dengan istilah “tradisionalisme”.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan
progresif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai
krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Perenialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah
dengan jalan mundur, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau
163
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat,
kukuh pada zaman kuno, dan abad pertengahan.
Kaum perenialis melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi
dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada kepercayaankepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik mengenai
hakikat realitas, pengetahuan, maupun nilai, yang telah memberi dasar
fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Perenialisme mempunyai kesamaan dengan esensialisme dalam hal
menentang progresivisme, tetapi penerialisme juga memiliki perbedaan
dengan esenialisme antara lain dalam hal prinsip perenialisme yang religius
(tyheologis), yang berorientasi pada agama.
1. Pendidikan Perenialisme
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak
menentu dan penuh kekacauan, serta membahayakan yang ditimbulkan
akibat terjadinya krisis di berbagai dimensi kehidupan manusia (dalam
pendidikan khususnya), tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada
kepastian tujuan pendidikan serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
Dalam pemikiran itu, untuk mengatasi dan mengembalikan keadaan
krisis yang terjadi sekarang ini, perenialisme memandang bahwa jalan
keluar tidak lain adalah kembali pada kebudayaan masa lampau yang
dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Untuk itulah, pendidikan sekarang harus lebih banyak mengarahkan
pusat perhatiannya kepada kebudayaan masa lampau yang ideal serta telah
teruji dan tangguh. Dengan kata lain, perenialisme memiliki pandangan
yang bertolak (anti-) terhadap modernistik yang telah menjauh dari
tradisi (kebiasaan-kebiasaan yang telah teruji ketangguhannya) dan
terlalu mengedepankan logika dan rasio modernistik daripada sumber
pengetahuan lainnya serta terlalu memandang sesuatu berdasarkan materi
(materialistik).
164
Jelaslah jika dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini
perlu kembali kepada masa lampau karena dengan mengembalikan
keapaan (apa yang ada, apa yang terjadi, serta apa yang menjadi tujuan)
pada masa lampau, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi
melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya
pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
2. Teori Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Maka, dapat dikatakan
bahwa perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali,
yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman
modern atau modernistik) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini
perlu dikembalikan kebudayaan pada masa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang mendasarkan pada
kesatuan, bukan mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan,
bukan membanding-bandingkan; serta memahami isi, bukan melihat
luar atas berbagai aliran dan pemikiran. Maka dari itu, dapat dikatakan
bahwa perenialisme merupakan filsafat yang susunannya mempunyai
kesatuan. Susunan tersebut merupakan hasil pikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Oleh
karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya
filsafat pendidikan.
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik
industri yang cukup berat, timbullah usaha untuk bangkit kembali dan
perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita-cita
filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu asas yang komprehensif.
165
Perenialisme dalam makna filsafat dianggap sebagai satu pandangan hidup
yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Filsafat perenialisme (Philosophia Perenis) memandang bahwa
kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno (tradisi dan kebudayaan
masa lampau yang ideal) dan abad pertengahan (berdasarkan penyatuan,
penyamaan pemikiran) perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat
pendidikan zaman sekarang.
Sikap ini bukan merupakan nostalgia (rindu akan hal-hal yang
sudah lampau semata-mata), melainkan telah berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi, sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi
perenialisme. Dengan kata lain, ia menganggap pentingnya pembentukan
kebiasaan dalam pendidikan sekarang yang didasarkan pada kebiasaan
dan kebudayaan pada masa lampau yang memiliki nilai dan idealitas
serta berguna.
3. Pandangan Plato
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan
yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang teologis yang ada
dalam pengayoman supremasi gereja Katolik, khususnya menurut ajaran
dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular, yaitu yang
berpegang kepada ide dan cita-cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B.
Hamdani Ali dalam bukunya, Filsafat Pendidikan, bahwa Aristoteles
sebagai pengembang philosophia perenis, yaitu sejauh mana seseorang dapat
menelusuri jalan pemikiran manusia.
St. Thomas Aquinas31 telah mengadakan beberapa perubahan sesuai
dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian, lahir
31. Filsuf Italia Thomas Aquinas masyhur karena tulisan-tulisan teologinya, khususnya tulisan
Summa Theologia-nya yang mungkin mempunyai bobot pernyataan kuasa terbesar dalam
166
apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme
masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke
tingkat kebijaksanaan, ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar
dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian pula pandangan-pandangan
aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Selain
itu, semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha menyesuaikan
ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad kedua puluh.
Misalnya, mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti
dan disadari adanya. Namun, semua yang bersendikan empiris dan
eksperimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal.
Maka, metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting.
Hakikat pengertian manusia ditekankan pada sifat spiritualnya.
Simbol sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat
mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun
yang bersendikan religi.
Jadi, aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang
didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan St. Thomas Aquinas.
Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini muncul dari lingkungan agama
Katolik atau di luarnya. Dengan kata lain, ia berpandangan bahwa tujuan
pendidikan yang utama adalah membina pemimpin yang sadar akan asas
normatif dan melaksanakannya dalam segala aspek kehidupan.
Filsafat perenialis memandang pendidikan sebagai proses menuntun
kemampuan-kemampuan yang tertidur (bakat terpendam) yang dimiliki
doktrin teologi Katolik yang pernah ada. Ia terutama menjadi terkenal karena dapat
membuat sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Sintesisnya ini termuat
dalam karya utamanya, Summa Theologiae (1273). Ia disebut sebagai “Ahli teologi utama
orang Kristen”. Bahkan, ia dianggap sebagai orang suci oleh Gereja Katolik dan memiliki
gelar santo.
167
seseorang menjadi aktif atau nyata (real, berwujud, aplicated) tergantung
pada kesadaran tiap-tiap individu yang memiliki kemampuan tersebut.
Perenialis berpendapat bahwa siswa (murid, anak didik) adalah
subjek sekaligus inti dalam pelaksanaan pendidikan, dan guru hanya
bertugas menolong membangkitkan potensi yang dimiliki anak didik yang
masih tersembunyi agar menjadi aktif dan nyata, bukan membentuk atau
memberi kemampuan kepada anak didik.
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat
manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad. Jadi,
gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman. Selain itu,
filsafat perenialisme juga menekankan kemampuan-kemampuan berpikir
rasional (logis, masuk akal) manusia sehingga membedakan dapat menjadi
ciri yang membedakan manusia dengan binatang-binatang lain.
Salah satu kajian teori kependidikan perenialis mencuat sebagai
sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk
reaksi terhadap kalangan progresif. Pada saat itu, kalangan perenialis
merasakan runyamnya bangunan intelektual kehidupan bangsa karena
penekanan di sekolah-sekolah terhadap keterpusatan pada subjek didik,
paham kekinian, dan penyesuaian hidup.
Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan
besar-besaran terhadap cara pandang progresif. Bagi kalangan perenialis,
permanensi (keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial
yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) daripada konsep perubahan
kalangan pragmatis. Dengan demikian, kalangan perenialis memelopori
gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan
yang luhur-menyejarah dari budaya manusia. Ide-gagasan semacam ini
telah tebukti kebasahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari
ujian waktu.
168
Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar, dan
karya-karya besar pemikir masa lalu. Perenialisme adalah pendidikan klasik
dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbarui dan lebih spesifik
dalam formulasi teoretis karena kemunculannya dilatari oleh “musuh”
yang nyata progresivis terhadap pendidikan.
Kunci memahami protes kalangan perenialis dalam pendidikan
adalah konsep pendidikan liberal. Pendidikan liberal (bebas) dalam tradisi
klasik berkisar di seputar kajian yang menjadikan orang-orang (baca:
subjek didik) bebas dan manusia sejati sebagai lawan dari pelatihan yang
menerima (begitu saja) untuk melakukan tugas-tugas khusus dalam dunia
kerja.
Perenialis memandang education as cultural regression atau pendidikan
sebagai jalan kembali, perjalanan mundur ke belakang, atau proses
pengembalian keadaan dan kebudayaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan masa lamapu dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat,
kukuh, dan ideal pada masa kuno juga pada abad pertengahan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa tugas pendidikan adalah memberikan
pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi
yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai
kebudayaan ideal tersebut.
Selain itu, filsafat perenialis juga berpandangan bahwa ilmu
pengetahuan (science, knowledge) merupakan filsafat yang tertinggi karena
dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang
bersifat analisis. Jadi, dengan berpikir, kebenaran itu akan dapat dihasilkan
melalui akal pikiran.
Dalam kaitannya dengan pengetahuan filsafat, perenialisme
menjadikan kepercayaan sebagai pangkal tolak mengenai kenyataan
pengetahuan. Artinya, sesuatu itu ada kesesuaian antara pikir (kepercayaan)
dan benda-benda. Sedangkan, yang dimaksud benda adalah hal-hal yang
169
adanya bersendikan atas prinsip keabadian. Oleh karena itu, menurut
perenialisme, perlu adanya dalil yang logis, sehingga sulit untuk diubah
atau ditolak kebenarannya.
Menurut Aristoteles, prinsip-prinsip tersebut dapat dirinci secara
garis besar menjadi:
a. Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu.
b. Principium contradiksionis, yaitu hukum kontradiksi (perlawanan,
pertentangan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung kebenaran
dan kesalahan sekaligus, tetapi hanya mengandung satu kenyataan,
yaitu salah atau benar.
c. Principium exelusi tertii, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa tidak
ada kemungkinan ketiga dalam satu dalil. Apabila pernyataan atau
kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar, sebaliknya
apabila pernyataan pertama benar, pernyataan yang berikutnya tidak
benar.
d. Principium rationis sufisientis, yaitu prinsip yang mengetengahkan jika
sesuatu dapat diketahui asal muasalnya, pasti dapat dicari tujuan dan
akibatnya.
Menurut epistemologi Thomisme, sebagian besarnya berpusat pada
pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu
bermula dalam keadaan potensialitas, dia dapat dipergunakan untuk
menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi, epistemologi perenialisme harus memiliki pengetahuan
tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki,
yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan
menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode deduksi.
Metode tersebut merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran
hakiki. Kemudian tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis
170
mayor dan metode induktifnya harus sesuai dengan ontologi tentang
realitas khusus.
Menurut perenialisme, penguasaan pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip pertama merupakan modal bagi seseorang untuk
mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu
mempunyai pemahaman sedemikian karena telah memiliki evidensi diri
sendiri.
Dengan pengetahuan dan bahan penerangan yang cukup, orang akan
mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing,
kemudian memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha
untuk mengadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian, ia telah
mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah anak didik
yang mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi
landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan
buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran
mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang,
seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya telah banyak yang mampu
memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli
yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya, anak didik akan
mempunyai dua keuntungan: di satu sisi mampu mengetahui apa yang
terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar,
sedangkan di sisi lain mereka mampu memikirkan peristiwa-peristiwa
penting dan karya-karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai
bahan pertimbangan (referensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran
karya-karya buah pikiran para ahli tersebut, anak didik dapat mengetahui
bagaimana pemikiran para ahli dalam bidangnya masing-masing dan
171
dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau sehingga dapat
berguna bagi diri mereka dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran
mereka pada zaman sekarang. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat
perenialisme.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah
kemasakan atau kematangan. Masak dalam arti hidup ranah akalnya.
Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan
tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan
serba-dasar. Dengan pengetahuan tradisional, seperti membaca, menulis,
dan berhitung (calistung) anak didik memperoleh dasar penting bagi
pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah menjadi tempat utama dalam pendidikan yang
mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan
memberikan pengetahuan. Sedangkan, tugas utama dalam pendidikan
adalah di tangan guru-guru, yaitu memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya
sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik
dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins
mengutarakan lebih lanjut bahwa jika pada abad pendidikan, sekarang
seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya
adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa
karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting, perguruan tinggi tidak
seyogianya bersifat utilistis.
Kemudian, Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena
manusia pada hakikatnya sama, perlulah dikembangkan pendidikan yang
sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education).
Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu
disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itu
terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.
172
4. Tujuan Pendidikan Perenialisme
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi.
Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Oleh karena itu,
tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan
menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai
kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Sekolah pada dasarnya adalah sebuah tatanan artifisial (buatan),
yaitu tempat intelek-intelek yang belum matang berkenalan dengan
capaian-capaian terbesar manusia. Sekolah, seperti pandangan progresif,
bukanlah miniatur masyarakat yang lebih luas. Kehidupan manusia, dalam
pengertian utuhnya, dapat dijalani hanya setelah aspek rasional manusia
dikembangkan.
Sekolah adalah sebuah institusi khusus yang berupaya mencapai
misi yang amat penting ini. Sekolah tidak terlalu berkepentingan dengan
persoalan semacam pekerjaan, hiburan, dan rekreasi manusia. Ketiga hal
tersebut mempunyai tempat dalam kehidupan manusia, tetapi berada di
luar lingkup aktivitas pendidikan.
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang
mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada
generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan
mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam
kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang
artifisial tempat peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik
dari warisan sosial budaya.
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi
pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat seragam, universal, dan abadi.
Selain itu, materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan
rasionalitas manusia sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran
yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai
173
“rational content” yang lebih besar. Oleh karena itu, titik berat kurikulum
diletakkan pada pelajaran sastra, matematika, bahasa, dan humonaria,
termasuk sejarah (liberal art). Sedangkan, sumber dan cara mempelajari
seni liberal tersebut adalah dengan cara mempelajari The Greats Book.
5. Metode Pendidikan Perenialisme
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan
oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan
mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam The Greats Book dalam
rangka mendisiplinkan pikiran.
Peranan guru bukan sebagai perantara antara dunia dan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar
sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery.
Ia juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya
karena ia seorang profesional yang qualified dan superior dibandingkan
dengan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan
pengetahuan yang sempurna (Syam, 1984).
6. Pandangan Secara Ontologi Perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian, seperti
benda individual, esensi, aksiden, dan substansi. Perenialisme membedakan
realitas dalam aspek-aspek perwujudannya dalam tipologi istilah ini.
Benda individual di sini adalah benda sebagaimana tampak di
hadapan manusia dan dapat ditangkap pancaindra, seperti batu, lembu,
rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu,
seperti manusia jika ditilik dari esensinya yang tidak lain adalah makhluk
berpikir.
Adapun aksiden selalu dimaknai sebagai keadaan-keadaan khusus
yang berubah-ubah dan dipandang bersifat kurang penting jika
dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu
174
roda atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan
dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan universal, material, dan
spiritual.
Dalam pengertian ini, segala yang ada di alam seperti halnya manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya, menampakkan hal logis
dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan padu
padan antara zat atau benda, tetapi juga merupakan unsur potensial yang
aktual sebagaimana yang diutarakan Aristoteles sekaligus sesuatu yang
datang bersama-sama dari sesuatu yang terkandung dalam inti (essence)
dan potensialitas ini memungkinkan sesuatu menjadi ada.
Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan Ir. Poedjawijatna
bahwa esensi kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas sehingga
makin lama makin jauh dari patensialitasnya. Jika dihubungkan dengan
manusia, setiap waktu manusia selalu bersifat potensial dan berubah
menuju aktual.
Misalnya, meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai
oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal,
perasaan, dan kemauannya, schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang
bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka,
dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini, manusia dapat makin
mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan
bentuk terakhir dari segalanya.
Dengan demikian, segala yang ada di alam ini terdiri dari materi
dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi. Bila
dihubungkan dengan manusia, manusia itu adalah patensialitas yang di
dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan,
tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan, dan kemauannya semua ini
dapat diatasi.
Dengan suasana ini, manusia dapat bergerak untuk menuju tujuan
(teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural
175
(Tuhan) yang merupakan pencipta manusia dan merupakan tujuan akhir.
Dengan keputusan yang bersifat ontologisme ini, kita akan sampai pada
pengertian pengertian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian
benda individual, esensi, aksiden, dan substansi.
a. Benda individual adalah benda yang sebagaimana tampak di hadapan
manusia yang dapat ditangkap oleh indra kita, seperti batu, kayu, dan
lain-lain.
b. Esensi sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda
itu lebih baik intrinsik daripada halnya, misalnya manusia ditinjau
dari esensinya adalah berpikir.
c. Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya
kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang
suka barang-barang antik.
d. Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal individu dari yang
khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.
e. Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan
ada empat kausa:
• Kausa materialis, yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu
benda, misalnya telur, tepung, dan gula untuk roti.
• Kausa formalis, yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya,
atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dan lain-lain.
• Kausa efisien, yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan
sesuatu cepat, lambat, atau tergesa-gesa.
• Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu, katakanlah
tujuan pembuatan sebuah patung.
7. Epistemologis Perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui
dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan.
Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikiran
176
dan benda-benda. Benda-benda di sini maksudnya adalah hal-hal yang
adanya bersendikan prinsip-prinsip keabadian.
Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian
mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan
terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa
pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan
pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika.
Sebab sains sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang
bersifat analisis empiris kebenarannya terbatas, relatif, atau kebenaran
probabilitas. Akan tetapi, filsafat dengan metode deduktif bersifat
anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence
universal.
Ia berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal
pada hukum pertama, yaitu kesimpulannya bersifat mutlak asasi. Oleh
karena itu, menurut perenialisme, perlu adanya dalil-dalil yang logis,
nalar sehingga sulit diubah atau ditolak kebenarannya, seperti pada
prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas.
8. Aksiologi Perenialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas
supernatural, yaitu menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu,
tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi
dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Khususnya, dalam tingkah laku
manusia, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan
sesuai dengan kodratnya. Di samping itu, ada pula kecenderungankecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme karena
berdasarkan pada asas-asas supernatural, yaitu menerima universal yang
177
abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat manusia itu yang
pertama-tama adalah pada jiwanya.
Oleh karena itulah, hakikat manusia itu juga menentukan hakikat
perbuatan-perbuatannya dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual.
Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara
etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang
manusia karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi, manusia sebagai subjek dalam bertingkah laku telah memiliki potensi
kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping ada pula kecenderungankecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah yang tidak baik.
Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional
(pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama tecermin
dari jiwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang
membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan atau menjauhi
Tuhan. Dengan kata lain, melakukan kebaikan atau kejahatan, dan
kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan
ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi
oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.
Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi, yaitu nafsu,
kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi
itu dan kepada masyarakat agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan
masyarakat bisa terpenuhi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perenialisme itu menghendaki
agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai
nafsu, kemauan, dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat.
Dengan memerhatikan hal ini, pendidikan yang berorientasi pada
potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi. Ide-ide Plato ini kemudian
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia
kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah kebahagiaan.
178
Untuk mencapai pendidikan itu, aspek jasmani, emosi, dan intelek
harus dikembangkan secara seimbang. Aristoteles juga mengemukakan,
kebajikan dapat dibedakan, yaitu yang moral dan yang intelektual.
Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan
kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi,
kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran.
Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan
akal. Oleh perenialisme, estetika digolongkan ke dalam filsafat praktis.
Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu
kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa
di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar
dasar teologis, ketuhanan.
Zuhairini Arikunto di sini juga berpendapat dalam bukunya Filsafat
Pendidikan Islam, betapa tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh
Thomas Aquinas tidak lain dimaksudkan sebagai usaha mewujudkan
kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif, dan
nyata. Dalam hal ini, peranan guru pada anak didik adalah untuk
mengembangkan potensi-potensi dipandang dan menentukan.
Simplifikasi yang lain diberikan Robert Hutchkins dengan
mengatakan bahwa sebab manusia adalah animal rasionale, pendidikan
harus diarahkan guna mengembangkan akal budi agar manusia dapat
dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup. Oleh karenanya,
tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di
atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat.
Di sini dapatlah disimpulkan bahwa tujuan pendidikan yang hendak
dicapai oleh perenialis bermaksud mewujudkan agar anak didik hidup
bahagia demi kebaikan hidupnya. Pengembangan akal diharapkan mampu
membekali anak didik dalam mempertinggi kemampuan akal pikirannya.
Prinsip ini sangat berpengaruh bagi sistem pendidikan modern, ketika
179
kecerdasan nalar kerap menjadi hal yang begitu mendapat perhatian
lebih.
9. Teori Dasar Perenialisme
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan
berpikir (mental disiplin) merupakan bagian dari salah satu kewajiban
tertinggi dalam belajar atau keutamaan dalam proses belajar. Oleh
karena itu, teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan
kepada pembinaan kemampuan berpikir dan disiplin. Asas berpikir dan
kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan. Otoritas berpikir
harus disempurnakan sesempurna mungkin.
Di sini, makna kemerdekaan pendidikan berarti membantu manusia
menjadi dirinya, sebagai essensial self yang berbeda dari spesies mana pun.
Sementara, fungsi belajar diabdikan guna mendukung aktualitas manusia
sebagai makhluk rasional dan indedepen.
“Learning to reason” demikian menurut istilah para perenialis.
Pendidikan tidak lain adalah belajar dalam berpikir. Perenialisme percaya
bahwa asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak.
Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan
dasar. Berdasarkan penahapan itu, learning to reason menjadi hal pokok
pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.
Selain belajar berpikir, pendidikan menurut para perenialis, juga
sebagai persiapan hidup. Pandangan ini kerap disandarkan pada pemikiran
Thomisme yang menyadari bahwa belajar untuk berpikir dan belajar
demi persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan
yang sama dalam memperoleh kesempurnaan hidup, baik dunia ataupun
surgawi.
Kerap dikatakan bahwa pendidikan tidak lain adalah learning through
teaching (belajar melalui pengajaran). Adler membedakan antara learning
by instruction dan learning by discovery, penyelidikan tanpa bantuan guru.
180
Sebenarnya, learning by instructions menuju learning by discovery digunakan
sebagai pembelajaran diri.
Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia
dan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami
proses belajar selama mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi
self discovery dan ia melakukan moral authority atas murid-muridnya
karena ia adalah seorang profesional. Menurut perenialisme, memang
kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme
berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual sebab
hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu yang dinilai indah haruslah
dipandang baik.
***
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir
pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir menjadi suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh dengan
kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam
kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultual. Oleh karena itu, perlu ada
usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat, dan teruji. Beberapa tokoh
pendukung gagasan ini antara lain adalah Robert Maynard Hutchins dan
Ortimer Adler.
Di Amerika, misalnya, penekanan pendidikan pada subjek didik,
paham kekinian, dan penyesuaian hidup telah membuat manusia
terkendalikan oleh hal-hal yang bersifat pragmatis dan temporal. Hidup
kemudian bergerak menjadi patahan-patahan kesadaran yang berlangsung
dengan begitu pendek dan singkat. Menurut para perenialis, progresivisme
181
telah membawa manusia pada pola kehidupan dangkal dan bersifat remeh.
Manusia semakin jauh dari penghayatan-penghayatan nilai hidup yang
subtil dan mendalam.
Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler yang menggulirkan
kampanye mereka dari Universitas Chicago, tempat Hutchins menjabat
sebagai rektor pada 1929 di usia ketiga puluh tahun. Pada waktu itu,
keduanya adalah dosen muda yang aktif dan juga penulis produktif yang
berjuang membuat opini publik agar sejalan dengan perenialisme selama
lebih dari empat puluh tahun.
Hutchins dan Adler telah memberikan pengaruh yang besar bagi
kalangan perenialis ketika mereka bekerja mengedit karangan yang dikenal
sebagai Great Books of Western World. Kumpulan karangan itu memuat
seratus tulisan tentang dunia Barat yang berisi ide-ide pemikiran terbaik.
Pemikiran pendidikan ini secara murni diimplementasikan di perguruan
tinggi St. John di Annapolis, Marland, ketika Presiden Stringfellow Barr
menjadikan karya besar tersebut sebagai referensi utama tingkat sarjana.
Perenialisme pada dasarnya berakar pada pemikiran neoskolastik.
Oleh karena itu, ia cenderung bersifat aristotelian. Meski di Amerika,
perenialisme umumnya dikembangkan dalam pendidikan sekuler,
bersamaan ketika pemikiran Thomas Aquinas tereksplorasi secara berlimpah
ke dalam berbagai sekolah dan perguruan tinggi. John Maritain termasuk
di dalamnya yang kemudian mengembangkan perenialisme dalam konteks
khusus pengembangan pendidikan yang bersifat gerejawi.
10. Manusia dalam Perenialisme
Dalam perenialisme, manusia adalah hewan rasional. Manusia
dipandang memiliki kesamaan-kesamaan tipikal dengan hewan. Mereka
suka dengan kesenangan dan juga suka bermain. Hal yang membedakan
adalah manusia dalam hal ini memiliki kecerdasan rasional sehingga
membuatnya memiliki kehidupan jauh lebih variatif ketimbang binatang
182
yang justru selalu monoton. Dengan kecerdasannya, manusia menjadi
spesies yang belajar dan berkembang.
***
H. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme termasuk filsafat pendatang baru. Eksistensialisme32pertama
kali dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman, Martin Heidegger (1889–1976).
Eksistensialisme merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal
dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859–1938).
Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan
Nietzche. Kiergaard (1813–1855) menjawab pertanyaan “Bagaimanakah
aku menjadi seorang diri?”
Kegelisahan-kegelisahan tersebut tentu saja bukan sesuatu yang
muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia yang
mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan individualitasnya.
Kiergaard adalah satu diri yang berusaha menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari Kiergaard kemudian diteruskan oleh Nitzsche (1844–1900),
filsuf Jerman. Pemikiran filsafat Nitzsche terarah pada upaya melahirkan
32. Eksistensi membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis.
Oleh eksistensi, kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh,
dan berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup,
bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih
bereksistensi, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, dan hadir. Namun, ketika eksistensi
meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, dan tidak
hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai.
Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensi. Olehnya, segalanya dapat nyata
ada, hidup, tampil, dan berperan.
183
narasi yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan
filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”.
Jawabannya: manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian
untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pendatang baru, filsafat eksistensialisme merupakan
filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman
manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada.
Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme.
Pendapat materialisme terhadap manusia: manusia merupakan benda
dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa
menjadi subjek. Pandangan manusia menurut idealisme: manusia hanya
sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga
aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Di sini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang
benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis
sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, karenanya masing-masing individu
bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontologi , eksistensialisme banyak
mempersoalkan makna keber-ada-an manusia yang diyakini mesti
dihadirkan lewat kebebasan . Oleh karenanya, pertanyaan utama
eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan;
mulai dari apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu?
Eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap
kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
***
184
Sementara, di Prancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul
Sartre, dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia,
demikian menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya
itulah, kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang
sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasan eksistensialis:
sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah
dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang
bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini kebebasan
adalah satu-satunya universalitas manusia. Maka, batasan kebebasan setiap
individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seorang
yang lain-daripada-yang-lain, sebaliknya menjadi sadar betapa keberadaan
dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski
hal itu bukan bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang
baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan
tanggung jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai
contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter,
desainer, insinyur, pebisnis, dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh
eksistensialisme: apakah kita menjadi dokter atas keinginan orangtua atau
keinginan sendiri.
Eksistensialisme memiliki banyak tokoh antara lain Søren
Kierkegaard tentunya, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Albert Camus, Martin
Heidegger, ada yang mengatakan Friedrich Nietzsche juga, Franz Kafka,
Miguel de Unamuno, Fydor Dostoievsky, dan tentu Jean Paul Sartre.
Masing-masing tokoh di atas sebenarnya memiliki ide masing-masing
tentang eksistensialisme. Maka, mustahil merumuskan suatu gambaran
umum tentang eksistensialisme yang mencakup seluruh tokoh di atas.
Di beberapa kasus, tokoh yang satu memiliki pangaruh pada tokoh yang
185
lain. Akan tetapi, akan menjadi lebih jelas jika kita melihat pemikiran
masing-masing tokoh.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat
menjadi empat masalah filosofis: eksistensi manusia, bagaimana
bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka
dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Sedangkan, Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme
kristiani dan eksistensialisme ateis. Sartre menyatakan diri sebagai seorang
eksistensialis ateis.
Filsafat eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya
manusia. Sesuatu yang oleh Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre-ensoi (ada-dalam-diri) dan l’etre-pour-soi (berada-untuk-diri). L’etre-en-soi
selalu menjadi keberadaan yang an sich, ada yang bulat, padat, beku, dan
tertutup. Entre-en-soi menaati prinsip what it is.
Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh
sebab-sebab yang telah ditentukan oleh adanya. Maka, benda etre-en-soi
terdeterminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant).
Benda yang berada-dalam diri ada di sana tanpa alasan apa pun, tanpa
alasan yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre-pour-soi (mengada-untuk-diri) adalah cara ada
yang sadar. Satu-satunya makhluk yang mengada secara sadar adalah
manusia. Etre-pour-soi tidak memiliki prinsip identitas karena adanya
terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Di sini, manusia
mesti bertanggung jawab atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah frater,
bukan bruder; bahwa “aku” imam tarekat, bukan imam diosesan; bahwa
“aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa;
bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia
bereksistensi.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi
dua, yaitu kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran
186
prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak
ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah
kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami
kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang
mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar
bahwa akan realitas hidupnya menurut Sartre seseorang akan dibawa
pada sesuatu yang dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah
kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang terkutuk.
***
Pendeknya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat
yang berupaya untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami
individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sebagai diri sendiri. Menurut
Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Existenz.” Da-sein
tersusun dari dad dan sein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Artinya,
manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre, adanya manusia itu
bukanlah etre, melainkan a etre–manusia itu tidak hanya ada, tetapi dia
selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan
tidak henti-hentinya.
Menurut Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat,
yaitu teistik (bertuhan) dan ateistik. Menurut eksistensialisme, ada dua
jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat
spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh
pada individu. Filsafat skeptif manyatakan bahwa semua pengalaman itu
adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut
mereka, konsep metafisika adalah sementara.
***
187
1. Ontologi Pendidikan Eksistensialisme
Pemikiran filsafat eksistensialisme menyebutkan bahwa manusia
memiliki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara manusia
satu dan manusia lainnya. Dalam hal ini, telaah manusia diarahkan pada
individualitas manusia sebagai unit analisisnya, dengan berfokus pada
pengalaman-pengalaman individu yang di antaranya.
1. Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya
manusia tahu serta menyadari sepenuhnya tentang dunia tempat
mereka tinggal dan hidup.
2. Menekankan data fakta dengan kurikulum bercorak vokasional.
3. Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional, seperti
membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains,
seni, dan musik.
4. Pola orientasinya adalah keterampilan dasar menuju keterampilan
yang bersifat semakin kompleks.
5. Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien.
6. Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan.
7. Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar
tentang dunia yang dialami.
8. Secara umum, eksistensialisme menekankan pada kreativitas,
subjektivitas pengalaman manusia, dan tindakan konkret dari
keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia
atau realita.
Eksistensialisme lebih memerhatikan pemahaman makna dan tujuan
hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian
ilmiah dan metafisika tentang alam semesta. Kebebasan individu sebagai
milik manusia adalah sesuatu yang paling utama karena individu memiliki
sikap hidup, tujuan hidup, dan cara hidup sendiri. Jadi, filsafat pendidikan
eksistensialisme adalah filsafat yang memberikan kebebasan kepada setiap
188
individu untuk mendapatkan pendidikan secara autentik yang artinya
setiap manusia mempunyai tanggung jawab dan kesadaran diri untuk
mereka.
2. Pendidikan Eksistensialis
Eksistensialisme berhubungan erat dengan pendidikan karena pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan
pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Pendidikan menurut
pandangan eksistensialisme diarahkan untuk mendorong setiap individu
agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.
Pendidikan eksistensialis berusaha memberikan bekal pengalaman yang
luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
Di sini anak didik disadari sebagai makhluk rasional dengan pilihan
bebas dan tanggung jawab atau pilihan suatu komitmen terhadap
pemenuhan tujuan pendidikan. Kurikulum eksistensialis cenderung
bersifat liberal, membawa manusia pada kebebasan manusia. Oleh karena
itu, di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajarkan rasa
hormat terhadap kebebasan, serta privasi masing-masing individu. Proses
belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan, tetapi ditawarkan agar
hubungan antara guru dan siswa direalisasikan sebagai suatu dialog.
I. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan , aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata
susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold
Rugg pada 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru,
masyarakat yang dipandang pantas dan adil.
189
Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran
progresif Dewey, dan ini menjelaskan mengapa aliran rekonstruksionisme
memiliki landasan filsafat pragmatisme. Meskipun mereka banyak
terinspirasi pemikiran Theodore Brameld, khususnya dengan beberapa
karya filsafat pendidikannya, mulai dari Pattern of Educational Philosophy
(1950), Toward a reconstructed Philosophy of Education (1956), dan
Education as Power (1965).
Pada prinsipnya, rekonstruksionisme sepaham dengan aliran
perenialisme, khususnya keprihatinan mereka pada kehidupan manusia
modern. Kedua aliran tersebut memandang jika kehidupan manusia
modern adalah zaman ketika manusia hidup dalam kebudayaan yang
terganggu, sakit, penuh kebingungan, serta kesimpangsiuran proses.
Menurut pandangan rekonstruksionisme, pendidikan perlu merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerja sama
antarumat manusia.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan
dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh
karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat
akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai
dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang
akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat
manusia.
Aliran ini memersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan
suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan
dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Nilai-nilai demokrasi yang
sungguh bukan hanya teori, melainkan mesti menjadi kenyataan sehingga
dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran, serta
190
keamanan masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme,
agama (kepercayaan), dan masyarakat yang bersangkutan.
1. Prinsip-Prinsip Rekonstruksionisme
Para rekonstruksionis dikenal sebagai pembela dunia yang militan.
Gagasan-gagasan mereka selalu menunjukkan kepedulian moral mereka
pada situasi kehidupan yang tengah berlangsung. Ini, misalnya bisa
kita temukan dengan pandangan dan keprihatian mereka tentang
bagaimana situasi hidup manusia modern yang menurut mereka menuju
keruntuhan.
Hidup, khususnya pendidikan, telah diselenggarakan dengan
cara dan pemikiran yang salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan
kehidupan bukannya bertambah baik, justru malah bertambah buruk.
Dunia bahkan mengalami sesuatu yang mereka sebut dalam situasi krisis
yang sekarat. Satu-satunya solusi untuk keluar dari semua itu menurut
mereka tidak lain adalah dengan mengubah praktik pendidikan yang ada
ke dalam konstruksi-konstruksi baru.
Pandangan rekonstruksionis memang memiliki banyak pemerian.
Mulai dari persoalan kependudukan. Semakin menipisnya sumber
daya alam, meningkatnya kesenjangan-kesenjangan global, baik secara
teknologi ataupun kekayaan, proliferasi nuklir, rasisme, terorisme,
nasionalisme sempit, serta berbagai perilaku amoral, jelas mengancam
kehidupan manusia dalam pengertian apa pun.
Persoalan-persoalan yang mengerikan tersebut makin hari bukannya
makin tersembuhkan atau makin berkurang, sebaliknya justru makin
meningkat, baik dalam persentase kuantitatif ataupun dalam persentase
kualitatif sehingga melahirkan sesuatu yang mereka sebut sebagai
totalitarianisme modern, yaitu situasi ketika nilai-nilai kemanusiaan
dalam sosial secara meluas hilang. Pendeknya, dunia berada di tengah
kebangkrutan mengerikan.
191
Dalam ruang inilah, pada 1970-an seorang Alvin Toffler dalam
merespons ledakan pengetahuan serta teknologi yang begitu sangat cepat,
mengemukakan dimensi teori pendidikan baru dalam karyanya: Future
Shock. Alvin Toffler merupakan salah seorang futuris yang mencoba
memberikan suatu penjelasan mengenai konsep manusia di masa
datang.
Konsep pemikiran Alvin Toffler ini diawali dari artikelnya yang
merupakan karya monumental yang dirumuskan dengan istilah “future
shock (kejutan masa depan)”. Artikel ini melukiskan tentang tekanan
dan disorientasi hebat yang dialami oleh manusia jika terlampau banyak
dibebani perubahan dalam waktu terlampau singkat. Jelasnya, kejutan
masa depan bukan lagi merupakan bahaya potensial yang masih jauh,
melainkan merupakan penyakit nyata yang diderita oleh semakin
banyaknya manusia. Kondisi psikologis-biologis ini dapat digambarkan
dengan terminologi medis dan psikiatri. Penyakit ini ialah penyakit
perubahan.
Hal ini membawa kita pada sebuah kesadaran reflektif. Dalam karya
tersebut, Toffler menulis, “Apa sebenarnya yang dilakukan pendidikan hari
ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan.” Pendidikan berjalan
hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya
melayani era industri, sedangkan situasi sosial telah memasuki periode
superindustri.
Akibatnya, sekolah-sekolah kita limbung. Di satu sisi mereka terus
dihadapkan pada satu kenyataan bahwa masa adalah hal yang tidak
mungkin untuk ditinggalkan, sedangkan di sisi yang lain, hidup telah
bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan, berubah dan terus
berubah. Di sini hitungan lima menit tidak lagi menjadi waktu yang
pendek, sebaliknya telah menjadi waktu yang begitu panjang, ketika
sebuah ingatan dan kesadaran luruh karena cepatnya gerak perubahan
hidup yang ada.
192
Sekolah-sekolah kita lebih sibuk mengurusi sistem yang mati
daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh. Energi
besarnya dipergunakan untuk mencetak manusia industrial, yaitu manusia
yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang akan mati sebelum
mereka eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa depan
yang akan datang, kita harus menciptakan sebuah sistem pendidikan
superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan
pendidikan dan metode-metode di masa akan datang, bukan justru di
masa lalu (Toffler, 1970:353).
George Knight melihat betapa Toffler menegaskan perlunya sistem
pendidikan yang mampu melahirkan harapan akan hidup di masa
depan sehingga peserta didik dan guru mesti mengarahkan perhatian
mereka bukan pada kenyataan hari ini, sebaliknya pada nilai-nilai dan
tujuan-tujuan masa depan yang hendak diraihnya. Di sini pendidikan
perlu mengkaji secara serius berbagai modal sosial, potensi, dan resistensi
mereka serta mampu mengembangkan konsep-konsep terpadu yang
memungkinkan mereka melahirkan sistem pendidikan masa depan.
Gagasan Toffler di sini banyak menginspirasi para rekonstruksionis.
Meskipun ia lebih kerap dikategorikan bukan sebagai seorang
rekonstruksionis, sebaliknya hanya seorang futuris. Dalam perbedaan
itulah, Toffler tidak pernah memiliki keyakinan yang sama dengan para
rekonstruksionis, terutama dalam optimismenya pada pendidikan. Ini
sangat berbeda dengan rekonstruksionis yang selalu meyakini bahwa
perubahan bisa dimulai dari pendidikan.
Toffler justru memandang betapa pendidikan hanya memberikan
bekal pada masyarakat dunia untuk merespons perubahan-perubahan
hidup yang ada sehingga mereka bisa membuat pilihan-pilihan hidup
yang cerdas. Dalam pemikiran ini, para futuris banyak melakukan berbagai
pengkajian akan situasi sosial yang ada; mulai dari tatanan ekonomi,
193
politik, sosial, hingga hal-hal yang secara dekat bersinggungan dengan
persoalan pendidikan.
J. Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku (juga disebut ‘perspektif belajar’) adalah
filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang
dilakukan organisme, termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan, dapat
dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa
perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat
peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran.
Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar
yang bisa diamati, tetapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat
diamati secara publik (seperti tindakan) dan proses yang diamati secara
pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responsnya
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku semakin kuat jika diberikan
penguatan dan akan menghilang jika dikenai hukuman.
Tidak jauh dari empirisme radikal James, psikologi sebagai sains yang
baru lahir juga diwakili oleh behaviorisme, diilhami “anjing Pavlov”-nya
yang terkenal: eksperimen Ivan Pavlov yang mengganti stimulus daging
194
dengan bunyi lonceng sehingga ketika mendengar bunyi bel, anjing
langsung meneteskan liur.
Di Amerika, pelopornya adalah Burrhis Skinner, tokoh empirisme
radikal, istilah yang tolong jangan dikacaukan dengan empirisme Inggris
karena pandangan psikologis ini lebih berarti keutamaan pembelajaran
atau pengondisian di atas elemen bawaan. Jika fokusnya perilaku, kita
dapat menemukan behaviorisme radikal, tidak sekadar behaviorisme
metodologis. Hal yang terakhir ini menyebutkan bahwa sumber informasi
yang berharga secara saintifik hanya perilaku.
Lewat fatalisme Skinner, behaviorisme mendasarkan ontologisnya
pada pandangan bahwa tidak ada sama sekali keadaan mental, yang ada
hanya perilaku. Mentalis, misalnya, seorang psikolog sosial, bisa memakai
metode behavioral karena hanya menginginkan respons jawaban dari
stimulus pertanyaan kuesioner, dan keadaan mental masih ada, tetapi
dianggap tidak bisa diakses. Skinner memandang bahwa berupaya
memahami di balik kulit adalah sesuatu hal yang sia-sia belaka.
Hal yang diubah dari rumus lama Anton Pavlov hanyalah menggeser
classical conditioning menjadi operant conditioning—dari satu stimulus
tertentu menghasilkan satu respons secara proporsional atau linear,
menjadi satu atau lebih stimulus, dan menghasilkan satu atau lebih respons
dengan perbedaan derajat.
Psikologi seperti ini kerap disebut dengan istilah “kotak hitam” karena
dibangun dengan anggapan: percuma, buang waktu, dan dijamin tidak
maju-maju jika ada yang mencoba membuka kotaknya. Jadi, lebih baik
mengamati apa yang keluar dan masuk kotak. Kotak hitam ini menjadi
teori standar hingga pertengahan abad 20, yakin bahwa orang tidak perlu
memperhitungkan aktivitas atau keadaan mental sama sekali.
Akan tetapi, suatu ketika, seorang behavioris Edward Tolman,
menemukan bahwa tikus yang disuruh mencari jalan keluar pada sebuah
maze tidak sekadar memakai stimulus-respons untuk navigasi. Tikus
195
Tolman ternyata memakai semacam representasi mental yang kompleks,
semacam peta kognitif untuk mencari pintu keluar ketika tikus ditaruh
di tempat yang baru dalam maze.
Pada dekade 1970-an, ketika sains kognitif mulai membuka diri
pada neurosains, peta kognitif tikus Tolman ditemukan oleh O’Keefe
dan Dostrovsky. Caranya, dengan mengukur aksi potensial neuron di
hipokampus tikus. Ada kelompok sel yang ternyata hanya teraktivasi bila
tikus sedang berada di lokasi tertentu di maze. Bukan berarti hipokampus
adalah lokasi peta kognitif untuk navigasi spasial (interpretasi semacam
ini biasa disebut ‘teori identitas tipe’), melainkan yang bisa secara aman
disimpulkan, otak ikut berperan, dan bagian bawah kulit menjadi penting
dalam membangkitkan perilaku. Itu yang terjadi pada seekor tikus. Nah!
Apalagi manusia!
Behaviorisme dengan usulan radikalnya seperti perilaku verbal
Skinner yang digunakan untuk mengukur kemampuan berbahasa
manusia, mulai terasa tidak memadai, bahkan naif. “Makna” yang
dijelaskan James dengan empirisme radikal memerlukan ruang penjelasan
baru. Ruang ini berbentuk representasi mental yang pada perkembangan
selanjutnya akan menentukan bentuk arsitektur kognitif suatu organisme,
termasuk pada homo sapiens.
Belajar merupakan akibat interaksi antara stimulus dan respons
(Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pemelajar,
sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan pemelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respons tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respons. Oleh karena itu, apa yang
196
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pemelajar
(respons) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah
faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement), respons akan semakin kuat. Begitu pula, bila respons
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement), respons juga semakin
kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik: (1) Reinforcement
and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules
of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; dan (6) The Elimination of Responses.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya
dalam pembelajaran.
1. Teori Belajar Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus
dan respons untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun, dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya
teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat, terutama untuk
menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu, Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis
(drive reduction) penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia sehingga stimulus (dorongan) dalam belajar pun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis walaupun respons yang akan
muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
197
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi
biologis.
2. Teori Belajar Edwin Guthrie
Asas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguitas, yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu
timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell dan
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus
dan respons untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Proses belajar
terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus,
sedangkan tidak ada respons lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekadar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang, dengan jalan mencegah perolehan respons yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respons bersifat sementara karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respons bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie
juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan
mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama teori ini: guru harus dapat mengasosiasi stimulusrespons secara tepat. Pemelajar harus dibimbing melakukan apa yang
harus dipelajari. Dalam mengelola kelas, guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.
3. Teori Belajar Skinner
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner
mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku.
Pada 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of
Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori
operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi
198
tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah The Experimental an
Analysis of Behavior. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal
of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di
Amerika.
B.F. Skinner33 berkebangsaan Amerika. Ia dikenal sebagai tokoh
behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini
bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Dengan
proses ini, seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui
pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar.
Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada
pengondisian klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru
secara searah dan dikontrol melalui pengulangan dan latihan. Manajemen
Kelas menurut Skinner merupakan usaha memodifikasi perilaku antara
lain dengan proses penguatan, yaitu memberi penghargaan pada perilaku
yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apa pun pada perilaku
yanag tidak tepat. Operant conditioning adalah suatu proses perilaku
operant ( penguatan positif atau negatif ) yang dapat mengakibatkan
perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan. Hal tersebut merupakan kesimpulan dari percobaan yang
dilakukannya.
Di laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dibuat
lapar dalam kotak yang disebut skinner box, yang sudah dilengkapi
dengan berbagai peralatan: tombol, alat pemberi makanan, penampung
makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat
dialir listrik. Karena dorongan rasa lapar, tikus berusaha keluar untuk
mencari makanan. Selama tikus bergerak ke sana kemari untuk keluar dari
33. Burrhus Frederic Skinner lahir 20 Maret 1904, di kota kecil Pennsylvania Susquehanna.
Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya yang kuat dan cerdas adalah seorang ibu
rumah tangga.
199
box, tidak sengaja tikus menekan tombol, makanan pun keluar. Secara
terjadwal, tikus diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan
perilaku yang ditunjukkan si tikus. Proses ini disebut shaping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati,
Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah
penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui
ikatan stimulus respons akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif
dan penguatan negatif. Bentuk-bentuk penguatan positif berupa hadiah,
perilaku, atau penghargaan. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain
menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan,
atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang proses belajar
lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
sebelumnya.
Menurutnya, respons yang diterima seseorang tidak sesederhana
itu karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan
interaksi antarstimulus itu akan memengaruhi respons yang dihasilkan.
Respons yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya
perilaku (Slavin, 2000).
Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar, harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dan
lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-
200
perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku, hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku, ketika reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pemelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian,
bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai
yang kompleks.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun, dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran, seperti teaching machine, pembelajaran
berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skinner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat
diubah menjadi sekadar hubungan stimulus-respons. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
hubungan stimulus dan respons.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi pemelajar walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga
201
dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respons yang dapat
diamati. Mereka tidak memerhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pemelajar untuk
berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa pemelajar menuju atau mencapai target tertentu sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal,
banyak faktor yang memengaruhi proses belajar. Proses belajar tidak
sekadar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun, apa yang mereka sebut dengan penguat negatif
(negative reinforcement) cenderung membatasi pemelajar untuk berpikir
dan berimajinasi.
Menurut Guthrie, hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun, ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu pengaruh hukuman terhadap perubahan
tingkah laku sangat bersifat sementara. Dampak psikologis yang buruk
mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila
hukuman berlangsung lama.
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata
lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang
kadang lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respons
yang muncul berbeda dengan respons yang sudah ada, sedangkan penguat
202
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respons yang sama menjadi
semakin kuat.
Misalnya, seorang pemelajar perlu dihukum karena melakukan
kesalahan. Jika pemelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan,
hukuman harus ditambahkan. Akan tetapi, jika sesuatu tidak mengenakkan
pemelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pemelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respons. Namun, bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar
memperkuat respons.
4. Teori Belajar Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov (14 September 1849–27 Februari 1936)
dilahirkan di sebuah desa kecil di Rusia tengah. Pada mulanya, ia adalah
seorang fisiolog, psikolog, dan dokter Rusia. Padahal, keluarganya
mengharapkannya menjadi pendeta.
Ia bersekolah di Seminari Teologi dan membaca Charles Darwin,
yang membuatnya menyadari bahwa ia lebih cocok hidup dalam ruang
ilmiah ketimbang agama. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan seminari
ke Universitas St. Petersburg. Di sana, pada 1879, ia belajar kimia dan
fisiologi, dan menerima gelar doktor. Sejak itu, ia kemudian melanjutkan
studinya dan memulai risetnya dalam topik yang menariknya: sistem
pencernaan dan peredaran darah. Karyanya pun terkenal dan diangkat
sebagai profesor fisiologi di Akademi Kedokteran Kekaisaran Rusia.
Reputasi Pavlov memiliki bermula dari studinya dalam soal
pencernaan. Ia mencari proses pencernaan pada anjing, khususnya
keterkaitan antara air ludah dan kerja perut. Ia berpikir bahwa kedua hal
203
itu saling berkaitan erat dengan refleks dalam sistem saraf otonom. Tanpa
air liur, perut tidak membawa pesan untuk memulai pencernaan.
Pavlov menemukan bahwa rangsangan luar dapat memengaruhi
proses ini. Maka, ia membunyikan metronom dan di saat yang sama, ia
mengadakan percobaan makanan anjing. Setelah beberapa saat, anjing
itu—yang hanya sebelum mengeluarkan liur saat mereka melihat dan
memakan makanannya—akan mulai mengeluarkan air liur saat metronom
itu bersuara, malahan jika tiada makanan ada.
Pada 1903, Pavlov menerbitkan hasil eksperimennya dan
menyebutnya sebagai “refleks terkondisi”, berbeda dari refleks halus.
Pavlov menyebut proses pembelajaran ini (sebagai contoh, saat sistem
saraf anjing menghubungkan suara metronom dengan makanan) dengan
“pengondisian”. Ia juga menemukan bahwa refleks terkondisi akan
tertekan bila rangsangan ternyata terlalu sering “salah”. Jika metronom
bersuara berulang-ulang dan tidak ada makanan, anjing akan berhenti
mengeluarkan ludah.
Pavlov lebih tertarik pada fisiologi ketimbang psikologi. Ia melihat
pada ilmu psikiatri yang masih baru saat itu sedikit meragukan. Namun,
ia sungguh-sungguh berpikir bahwa refleks terkondisi dapat menjelaskan
perilaku orang gila. Sebagai contoh, ia mengusulkan jika mereka yang
menarik diri dari dunia bisa menghubungkan semua rangsangan dengan
luka atau ancaman yang mungkin. Gagasannya memainkan peran besar
dalam teori psikologi behavioris. Teori ini diperkenalkan oleh John Watson
sekitar 1913.
Pavlov amat dihormati di negerinya—baik di Kekaisaran Rusia
maupun Uni Soviet—dan di seluruh dunia. Pada 1904, ia memenangkan
Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran dalam penelitiannya
tentang pencernaan. Ia adalah orang yang terang-terangan dan sering
bersilang pendapat dengan pemerintah Soviet dalam hidupnya. Namun,
karena reputasinya, dan juga karena bangganya penduduk negeri
204
kepadanya, membuatnya terjaga dari penganiayaan. Ia aktif bekerja di
laboratorium sampai kematiannya dalam usia 86.
5. Teori Belajar Edward Lee Thorndike
Edward Lee Thorndike pada mulanya seorang fungsionalis. Namun,
ketertarikannya pada persoalan riset ilmiah membawanya menjadi pelopor
tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874–1949)
mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut
pada 1895, dan gelar master dari Harvard pada 1897. Ketika di sana, dia
mengikuti kelas Williams James dan mereka pun cepat menjadi akrab.
Dia menerima beasiswa di Colombia dan mendapatkan gelar Ph.D pada
1898. Kemudian, dia tinggal dan mengajar di Colombia hingga pensiun
pada 1940.
Dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Animal Intelligence, An
Experimental Study of Associationprocess in Animal. Buku ini merupakan
hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan,
seperti kucing, anjing, dan burung. Prinsip dasar proses belajar yang
dianut oleh Thorndike mencerminkan dasar belajar (learning) tidak lain
sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu
respons tertentu.
Teori ini disebut dengan teori S-R. Dalam teori S-R, dikatakan
bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (hewan, orang)
belajar dengan cara “coba-salah (trial end error)”. Jika organisme berada
dalam suatu situasi yang mengandung masalah, organisme tersebut akan
mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang
ada padanya untuk memecahkan masalah itu.
Berdasarkan pengalaman itulah, pada saat menghadapi masalah
yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus
dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu
masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing,
205
misalnya, yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak,
berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu saat secara
kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang
itu terbuka. Sejak saat itu, kucing akan langsung menginjak pedal jika ia
dimasukkan dalam kandang yang sama.
Ciri-ciri belajar dengan metode trial and error:
1. Ada motif pendorong aktivitas.
2. Adanya berbagai respons terhadap situasi.
3. Adanya aliminasi respons-respons yang gagal atau salah.
4. Adaya kemajuan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan penelitiannya
itu.
Berikut ini adalah Hukum Edward Lee Therndike.
a. Hukum Latihan
Hukum ini pada dasarnya sama dengan hukum frekuensi milik
Aristoteles: jika asosiasi (atau koneksi neural) lebih sering digunakan,
koneksinya akan lebih kuat. Sedangkan, yang paling kurang penggunaannya,
paling lemahlah koneksinya, dua hal inilah yang berturut-turut disebut
dengan hukum kegunaan dan ketidak bergunaan.
b. Hukum Efek
Ketika sebuah asosiasi kemudian diikuti dengan keadaan yang
memuaskan, hasilnya menguat. Begitu juga sebaliknya, ketika sebua
asosiasi diikuti dengan keadaan yang memuaskan, koneksinya melemah,
kecuali untuk bahasa “mentalistik” (kepuasan bukanlah perilaku) karena
hal itu sama dengan pengondisian operasi milik Skinner.
Pada 1929, penelitiannya telah membawanya keluar dari semua
hal di atas kecuali apa yang yang kita sebut sekarang dengan “penguatan
(reinforcement)”.
206
Thorndike yang dikenal karena kajiannya tentang transfer pelatihan
(transfer or training), kemudian ia percaya (dan masih sering percaya)
bahwa mengkaji subjek-subjek sulit meskipun Anda tidak akan pernah
menggunakannya. Hal itu bagus buat Anda karena hal itu memperkuat
pikiran Anda. Hal ini adalah sejenis latihan yang bisa memperkuat otot-otot
Anda. Hal itu kemudian digunakan kembali untuk membenarkan cara
anak belajar bahasa Latin, seperti halnya yang digunakan saat ini, untuk
membenarkan cara anak belajar kalkulus. Namun, dia menyatakan bahwa
hanya keserupaan objek kedua dengan yang pertama sama saja yang dapat
mengarah pada pembelajaran yang meningkat hasilnya dalam subjek
kedua. Jadi, bahasa Latin mungkin membantu Anda belajar bahasa Italia
atau belajar aljabar mungkin membantu Anda belajar kalkulus, tetapi
bahasa Latin tidak akan pernah membantu Anda belajar kalkulus atau
hal-hal lain yang berbeda.
6. Teori Belajar John B. Watson
Watson mendefinisikan proses belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respons. Namun, stimulus dan respons yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi, walaupun dia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang
tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah
seorang behavioris murni karena kajiannya tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain, seperti fisika atau biologi yang berorientasi
pada pengalaman empiris semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan
diukur.
7. Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga
207
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik, dengan
model hubungan stimulus responsnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung
dari beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pemelajar, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak
berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi sehingga proses belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pemelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan
yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pemelajar diharapkan
akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah
yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pemelajar dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum
yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pemelajar. Begitu juga
dalam proses evaluasi belajar, pemelajar diukur hanya pada hal-hal yang
208
nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan
kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pemelajar untuk
berkreasi, bereksperimentasi, dan mengembangkan kemampuannya.
Sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respons sehingga terkesan seperti kinerja
mesin atau robot. Akibatnya, pemelajar kurang mampu berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, pemelajar atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar
sehingga proses pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan
belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang
sebagai penentu keberhasilan belajar. Pemelajar atau peserta didik adalah
objek yang berperilaku sesuai dengan aturan sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pemelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic,
yang menuntut pemelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Sementara, proses pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/
209
buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan
kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respons pasif, keterampilan secara terpisah,
dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar
menuntut jawaban yang benar. Maksudnya, bila pemelajar menjawab
secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
pemelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran dan biasanya
dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan pemelajar secara individual.
***
210
Daftar Pustaka
Arifin, Syamsul. 1994. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban.
Yogyakarta: Aditya Media.
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta:
CV. Rajawali.
Bertens, K. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel.
Jakarta: Depdikbud.
Drost, J.I.G.M. 1997. Sekolah: Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta:
Kanisius.
Durrant, Will. 1959. The Story of Philosophy. New York: Garden City
Publishing.
Falckenberg, Richard. History Of Modern Philosophy [E-Book #11100].
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gage, N.L. dan Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand Mc. Nally.
211
Gagne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston,
Toronto: Little, Brown and Company.
Hadiwijono, Harun, 2010, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Kanisius.
Hegel, GWF. 1999. Lectures on The History of Philosophy Vol.III. Virginia:
Thoemmes Press.
HW. Gandhi, Wangsa Teguh. 2010. Tujuh Cahaya Yunani. Yogyakarta:
Lukita Media.
Ismaun. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
_____. 2007. Kapita Selekta Filsafat Administrasi Pendidikan (Serahan
Perkuliahan). Bandung : UPI.
Jalaluddin dan Abdulloh Idi. 1997. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat
dan Pendidikan. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama.
Kartanegara, Mulyadhi. 2002. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat
Islam. Bandung: Mizan.
Kattsof, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara
Wacana.
Kneller, George F. 1971. Introduction to Philosophy of Education. New
York: Jhon Willey Sons Inc.
Lavine, T.Z. 2002. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Yogjakarta:
Jendela.
Light, G. dan Cox, R. 2001. Learning and Teaching Learning and Teaching
in Higher Education. London: Paul Chapman Publising.
Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre,
Camus. Terj. Taufiqurrohman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moersaleh. 1987. Filsafat Administrasi. Jakarta: Univesitas Terbuka.
212
Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications
and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: University
Press.
Munawwaroh, Djunaidatul dan Tanenji. 2003. Filsafat Pendidikan
(Perspektif Islam dan Umum). Jakarta: UIN Jakarta Press.
Natawidjaya, Rochman. 1979. Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Kurnia
Esa.
Palmer, Donald D. 2007. Sartre untuk Pemula. Terj. B. Dwianta Edi
Prakosa dan Stepanus Wakidi. Yogyakarta: Kanisius.
Parkinson, G.H.R. (ed.). 1993. History of Philosophy The Renaissance and
Seventeenth Century Rationalism. Volume IV. London: Routledge.
Pidarta, Made. 1994. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Power, Edward J. 1982. Philosophy of Education. New Jersey: Prentice-Hall.
Inc.
Prasetya. 1997. Filsafat Pendidikan Untuk IAIN, STAIN,PTAIS. Bandung:
Penerbit Pustaka Setia.
Russel, Betrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (alih Bahasa Sigit
jatmiko, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Saifullah, Ali. 1997. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Sartre, Jean-Paul, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi
Murtanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Antara Islam Modernisme dan Posmodernisme:
Telah Kritis atas Pemikiran hasssan Hanafi. Yogyakarta: LKiS.
Sindhunata, 2000. Menggagas Paradigma Pendidikan Baru Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.
213
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan bermutu.
Jakarta: Balai Pustaka.
Subangun, Immanuel. 1994. Dari Saminisme ke Posmodernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Syaripudin, Tatang. 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Percikan Ilmu.
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra. Bandung: Rosda Karya.
Titus, H. Harold dan S Marilyn Smith. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat.
Jakarta: Bulan Bintang.
Wibisono, Koento. 1997. Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: PT Bayu
Indra Grafika.
SUMBER LAIN
www.wikipedia.com
www.episentrum.com
www.wikimu.com
www.marxists.org
www.thersa.org
214
Indeks
A
Adler
Mortimer J. 66
Ortimer 181
agama 37, 38, 50, 51, 54, 55,
56, 73, 93, 111, 125, 128,
162, 164, 166, 167, 191,
203
aksiologi 35, 36, 51, 52, 54, 72,
89, 90, 105, 149, 177, 178
anak didik 20, 139, 168, 171,
172, 179, 189
andragogie 20
antitesis 34, 35, 38, 137, 140,
146
antropologi 43
a priori 135, 136
Aquinas, St. Thomas 166, 167
Aristoteles 14, 30, 42, 59, 114,
115, 140, 141, 159, 166,
167, 170, 175, 177, 178,
179, 206
asosiasi 34, 120, 205, 206
B
Bacon, Francis 87, 141, 142
Bagley, William 163
behaviorisme 194, 196
behavioristik 194, 197, 198,
201, 202, 208, 209
Bergson, Henry 49
Berkeley, George 47, 131
beyond nature 39
Brameld, Theodore 190
C
Camus, Albert 185
Childs, John L. 154
classical conditioning 195
Combs, Arthur 157
Critica 45
D
das ding an sich 49
215
deduksi 51, 59, 141, 170
dehumanisasi 6, 22, 25, 83, 105,
122, 144
dekontruksi 121
demokratis 108, 139, 156, 190
deontologi 53
Descartes, Rene 48
de Unamuno, Miguel 185
Dewey, John 65, 74, 88, 146,
153, 154, 155
Dostoievsky, Fydor 185
E
education 20, 70, 74, 169, 172
eksistensi 13, 32, 43, 60, 72,
131, 136, 156, 175, 183,
184, 186
Eksistensialis 89, 189
Empiris 89
empirisme 43, 44, 46, 50, 131,
132, 147, 194, 195, 196
Epikuros 130
episteme filsafat 35
epistemologi 35, 36, 39, 43, 44,
45, 89, 142, 148, 149,
170, 177
equity 68
esensi 43, 47, 130, 159, 160,
174, 175, 176, 177, 185
Esensialis 89
esensialis 124, 159, 160, 162,
163
estetika 39, 52, 54, 128, 179
etika 22, 26, 39, 52, 53, 54, 55,
216
56, 57, 58, 60, 63, 70,
81, 84, 91, 104, 106, 121,
130, 149, 178
etika deskriptif 57, 58
etika normatif 57, 58
eudemonisme 53
F
falsafi 32, 37, 85, 88, 96, 98
fatalisme 195
fenoumena 49
filsafat pendidikan 6, 15, 29, 30,
35, 38, 66, 72, 74, 82, 83,
84, 85, 86, 87, 88, 89, 90,
120, 124, 126, 127, 128,
163, 165, 166, 167, 188,
189
filsafat pendidikan Pancasila 85
filsafat terapan 82
filsuf 14, 32, 33, 34, 39, 42, 46,
77, 79, 82, 86, 87, 88,
104, 109, 130, 131, 137,
138, 139, 141, 145, 146,
153, 162, 183
fisika 43, 141, 176
Freud, Sigmund 153
futurisme 147
G
generalisasi 49, 160
grahavidya 20
guru 6, 20, 29, 33, 55, 62, 68,
72, 87, 110, 114, 122,
123, 124, 125, 129, 139,
144, 150, 151, 156, 158,
162, 168, 172, 174, 179,
180, 181, 189, 193, 196,
197, 198, 199, 208, 210
Guthrie, Edwin 197, 198
H
halaqah 20
hedonisme 53
Hegel 95, 99, 136, 137, 146,
162, 212
George Wilhelm Friedrich 162
Heidegger, Martin 183, 185
Herbart, John 87, 88
hukum frekuensi 206
hukum latihan 206
Hull, Clark 197
humanisasi 105, 157
humanisme 128, 147, 153, 156,
157, 158
Hume, David 46
Hussel 183
Hutchins, Robert Maynard 181,
182
Hutchkins, Robert 172, 179
I
idealisme 43, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 138, 139, 140,
142, 147, 160, 161, 162,
184
idealisme epistemologis 137
idealisme personal 137
idealisme voluntarisme 137
ijazah 21
ilmu budaya 43
ilmu kedokteran 43, 146, 153
ilmu pengetahuan 43, 44, 45,
46, 52, 54, 59, 71, 87,
114, 115, 139, 141, 142,
162, 167, 169, 171, 177
iluminasionisme 49, 50
indra penciuman 46
indra pendengaran 46
indra penglihatan 46
indra peraba 46, 131
indra perasa 46
induksi 50, 59, 87
induktif 44, 87, 111, 115, 141,
142, 169
industrialisasi 11, 125, 145, 152
intersubjektif 44
intuisi 44, 46, 48, 50, 135, 137
intuisionisme 49, 50
Isyraqi 49
J
James
William 146, 147, 148
Williyams 205
Jaspers, Karl 185
jenjang pendidikan 5, 21
K
Kafka, Franz 185
Kant, Immanuel 49, 53, 59, 135,
137, 138, 145
217
kebebasan 13, 14, 28, 52, 97,
101, 123, 124, 133, 136,
184, 185, 187, 188, 189
Kieggard 183
Kierkegaard, S‫ﹼ‬ren 185
Kilpatrick, William H. 154
Knight
George 193
George R. 23
koherensi 39, 44, 50, 51
kontemplasi 102
korespondensi 44, 50
kosmologi 32, 41, 80, 84, 104
kosmos 41
kurikulum 138, 158, 173, 189
L
La Follete, Robert 152
Lee Thorndike, Edward 205, 206
Leibniz, Gottfried Wilhelm 129
Locke
John 46, 47, 142, 143
logika 24, 34, 39, 45, 50, 51, 58,
59, 82, 141, 145, 164, 170
logika episteme 59
logika mayor 45
logika minor 45
M
madrasah 20
majlis ta’lim 20
Marcel, Gabriel 185
Maslow, materi pelajaran 173
Mead, George Herbert 146
218
metafisika 39, 40, 41, 42, 90,
130, 131, 148, 167, 172,
177, 187, 188
metafisika aksiologi 90
metafisika epistemologi 90
metafisika ontologis 90
metode deduktif 43, 177
metode dialektis 43, 110
metode ilmiah 44, 87
metode induktif 43, 177
metode kontemplatis 43
metode positivisme 43
Miletos 79, 118, 119
monad 129, 134
Monadologi 129
moral 28, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 69, 83, 111, 115, 121,
128, 130, 136, 138, 139,
174, 179, 181, 191
N
Naturalis 89
naturalisme 43
Neibuhr, Reinhold 11
Neo-Scholastisisme 167
Neo-Thomisme 167
Newton, Isaac 46, 47, 129
Nietzsche 109, 159, 185
noumena 49
O
ontologi 35, 36, 42, 43, 44, 89,
90, 120, 171, 177, 184
operant conditioning 195, 198,
199
otonomi 68
otoriter 108
P
padepokan 20
Pavlov
Anton 195
Ivan Petrovich 203
pedagogi 62
pedagogie 20
pembelajar 197, 201, 202, 203,
208, 209, 210
pembimbingan 90, 91, 105
pendidik 6, 20, 23, 30, 55, 62,
63, 68, 86, 87, 88, 89,
144, 164, 201, 208
pendidikan liberal 138, 169
pendidikan praksis 35
pengajaran 6, 30, 61, 63, 67, 81,
111, 124, 125, 138, 139,
143, 144, 151, 156, 157,
158, 172, 179, 180
perenialis 159, 163, 164, 167,
168, 169, 173, 174, 179,
180, 181, 182
perenialisme modern 168
Perennialis 89
pesantren 20, 125
peserta didik 55, 63, 67, 68, 87,
89, 107, 108, 173, 193,
198, 202, 209
Pierce, Charles S. 145
Plato 14, 30, 32, 33, 42, 111,
112, 113, 114, 115, 117,
129, 130, 140, 166, 167,
176, 178
pragmatik 51
pragmatis 23, 29, 44, 70, 74, 81,
84, 94, 96, 103, 104, 126,
128, 144, 145, 148, 149,
151, 152, 168, 181
pragmatisme 128, 144, 145,
146, 147, 148, 149, 150,
151, 153, 155, 190
primitif 108
progresif 11, 74, 123, 124, 154,
155, 156, 162, 163, 168,
173, 181, 190
Progresivis 89
progresivisme 128, 147, 152,
153, 154, 155, 156, 157,
159, 163, 164, 181
psikologi behaviorisme 143
psikologi belajar 194, 198, 207
punishment 198, 201
Pythagoras 117, 118, 119
R
rasionalisme 44, 48, 50, 131,
132
Realis 89
realisme 43, 128, 140, 141, 142,
143, 144, 159, 160, 161,
162
realitas 6, 11, 22, 29, 35, 39, 42,
43, 44, 47, 50, 83, 129,
130, 132, 133, 135, 136,
219
137, 142, 148, 156, 160,
164, 170, 174, 187
reinforcement 197, 199, 201,
202, 203, 206
rekonstruksionisme 128, 147,
189, 190, 191
Rekontruksionis 89
renaissans 130
respons 195, 196, 197, 198, 200,
201, 202, 203, 205, 206,
207, 209, 210
Roger, Carls 157
Rouseau, J.J. 65
Rousseau, Jean Jacques 154
Rugg, Harold 154, 189
Russell, Betrand 118
S
Sartre, Jean Paul 185
Schelling 137
school 20
schula 175
sekolah 5, 20, 21, 22, 62, 65,
66, 67, 70, 115, 122, 125,
139, 150, 152, 155, 158,
168, 179, 182, 189, 192,
193
Silberman, Charles E. 23
silogisme 45, 59
Sinclair, John 51
sintesis 34, 35, 137, 139, 141,
147, 162, 167
Skinner, Burrhis 195
Socrates 30, 33, 53, 108, 109,
220
110, 111, 119
Solon 112
sophis 109
Sophocles 27
sosiologi 43, 152
stimulus 194, 195, 196, 197,
198, 200, 201, 202, 205,
207, 208, 209
substansi 42, 43, 48, 71, 133,
161, 174, 175, 176
survival 68
T
teori belajar behavioristik 197,
201
teori pendidikan 74, 88, 89, 124,
147, 154, 155, 156, 163,
192
tesis 34, 35, 137
Thales 42, 79, 214
Toffler, Alvin 192
Tolman, Edward 195
Tradisionalis 89
tradisionalisme 163
tragedi 17, 22, 27, 31, 101, 102,
164
transfer pelatihan 207
transformasi ilmu 67
trial and error 206
U
ultima 40
urbanisasi 11, 145, 152
utiliterisme 53
W
wahyu 46, 50
Walpole, Horace 17
Whasburne, Charleton 154
Wilson, Woodrow 152
221
Biografi Penulis
T
eguh Wangsa Gandhi H.W. lahir di Gombong pada 12 Maret
1978, menempuh pendidikan di MA Al-Iman Bulus, Gebang
Purworejo. Kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Jurusan Tafsir Hadits
serta Theologi dan Filsafat. Buku-buku yang pernah ditulis antara lain
The Sun Tzu`s Art Of Loving: Seni Mencinta ala Sun Tzu (Neobooks);
Menjadi Manusia: Kitab Hidup Patah Hati dan Kepedihan; Rahasia Angka
Tujuh; Tujuh Cahaya Yunani (Lukita Media); Get Ur love (Grafindo); dan
Michael Jackson: Legenda Superstar (Global Oceans). Sekarang tengah
menyelesaikan antologi Gita Paradjati dan novel Suluk Bonang.
222
Download