BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT) A. DEFINISI ECT adalah tindakan terapiutik dalam keperawatan jiwa yang menggunakan media aliran listrik untuk menimbulkan kejang baik tonik maupun klonik. Arus listrik ini dialirkan dalam waktu singkat dan jumlah yang terkontrol melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis. Aktivitas kejang yang ditimbulkan bertujuan untuk mengubah biokimia tertentu di saraf pusat yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala secara cepat daripada terapi dengan obat-obatan. (Sujono, 2009) Gambar 1. Diagram of Electrode Placement Terapi elektro konvulsi merupakan salah satu pengobatan yang sudah digunakan sejak lama untuk mengobati berbagai gangguan jiwa dan masih terus digunakan hingga saat ini. Untuk mencapai manfaat yang maksimal dengan risiko minimal, terapi ini terus berkembang lebih baik yaitu dengan pemberian anestesi dan aliran arus listrik yang telah diperhitungkan secara medis serta tetap menghormati hak – hak, privasi, dan martabat pasien. (Saddock, 2007) B. INDIKASI Indikasi pemberian tindakan ECT yaitu:(Tomb, 2004) 1. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juga memberikan respon yang baik setelah ECT, terutama jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase akut. 2. Pasien bunuh diri aktif yang tidak menerima pengobatan untuk mencapai efek terapeutik ataupun yang menerima obat tetapi tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja. 3. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi. Namun pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu berdampak. 4. Efek samping ECT yang lebih kecil dibandingkan psikofarmako yang berhubungan dengan blok jantung dan kondisi kehamilan. 5. Adanya riwayat respon positif terhadap ECT di pengobatan sebelumnya. C. KONTRAINDIKASI Tidak ada kontraindikasi yang mutlak pada terapi elektro konvulsi. Namun beberapa kondisi di bawah ini dapat menimbulkan risiko yang relatif tinggi. (Tomb, 2004) 1. Resiko sangat tinggi a) Peningkatan tekanan intrakranial karena tumor otak ataupun infeksi sistem saraf pusat. ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. b) Infark miokard. ECT sering menyebabkan aritmia yang berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung. 2. Resiko sedang a) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru. b) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia). c) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptik akut, feokromasitoma. D. EFEK SAMPING Tidak ada pengobatan yang tidak mempunyai risiko dan efek samping. ECT juga mempunyai beberapa risiko seperti halnya penanganan medis lain yang terbagi dalam tiga kategori risiko yaitu: (Dawkins, 2012) 1. Kategori pertama adalah risiko kesehatan dan fisik, termasuk reaksi negatif terhadap obat anestesi dan obat relaksasi otot, komplikasi kardiovaskular, trauma fisik, nyeri, ketidaknyamanan, kejang berkepanjangan dan kematian. 2. Kategori kedua adalah risiko disfungsi kognitif dan memori karena aliran listrik ECT diberikan pada area medial temporal yang berhubungan dengan memori termasuk hipokampus yang merupakan area dengan ambang kejang rendah. Pasien harus diperingatkan akan risiko amnesia menetap dan kemungkinan gangguan kognitif lainnya. 3. Kategori ketiga adalah risiko kerusakan pada alat ECT karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan penggunaannya. Oleh karena itu, kualitas alat ECT yang digunakan harus memenuhi Standard International Electro Technical Commission. E. EFEKTIVITAS Berdasarkan penelitian, penggunaan kombinasi ECT dengan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia mempunyai respon yang baik. ECT lebih unggul untuk pengobatan lanjutan daripada monoterapi (dengan obat antipsikotik saja) dalam mencegah kekambuhan. Pasien dengan gambaran prognosis yang baik akan membutuhkan frekuensi ECT yang lebih sedikit. ECT efektif dalam meningkatkan fungsi sosial dan kualitas hidup pada pasien dengan Treatment Resistant Schizophrenia (TRS) yang memiliki riwayat respon baik terhadap ECT sebelumnya. (Chanpattana, 2007) Selain itu, penggunaan kombinasi ECT dengan obat antidepresan pada pasien depresi yang mempunyai respon yang baik terhadap ECT sebelumnya mempunyai angka kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan monoterapi antidepresan saja ataupun placebo saja. Pemberian ECT tiga kali seminggu responnya lebih cepat daripada ECT dua kali seminggu. (Chanpattana, 2007) F. PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT 1. Sebelum Prosedur Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT. Siapkan surat persetujuan tindakan (informed consent). Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan atau mulai dari tengah malam. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang dipakai klien. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi terlebih dahulu. Jika ada tanda ansietas berat, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik. (Riyadi, 2009) 2. Persiapan Alat Mesin ECT, gel elektroda, alkohol, elektroda elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik. Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) beserta elektroda. Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi. Peralatan untuk akses intravena. Penahan gigitan (mouth guard). Peralatan penghisap lendir. Peralatan ventilasi, termasuk selang, masker, ambu bag, peralatan jalan nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf anastesi. 3. Selama Prosedur Setelah alat disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras serta kendorkan pakaian. Berikan obat bius dan pelemas otot melalui IV. Kepala bagian temporal dibersihkan dengan alcohol untuk tempat elektroda. Klien diminta membuka mulut dan dipasang spatel/karet yang dibungkus kain lalu diminta untuk menggigit. Pasang elektroda di pelipis kemudian tekan tombol on sampai timer berhenti kemudian lepas. Persendian ditahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang (menahan tidak boleh terlalu kuat) Bila berhenti nafas maka berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma. 4. Setelah Prosedur Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan. Pantau tanda-tanda vital. Setelah pernapasan pulih, atur posisi miring pada pasien sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten. Jika pasien berespon, orientasikan pasien sesuai kebutuhan. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi postural. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkan. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan. Menurut (Townsend, 1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum, hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang perlu dilakukan adalah: Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut hanya sementara. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat. Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya. DAFTAR PUSTAKA Chanpattana, 2007. Electroconvulsive Therapy of Schizophrenia. Psychiatry Reviews, 3(1), pp. 15-24. Dawkins, 2012. Refinements in ECT Techniques. Psychiatric Times, pp. 42-44. Riyadi, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Saddock, 2007. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Science. USA: Lippincott Williams. Sujono, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graham Ilmu. Tomb, 2004. Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC. Townsend, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC.