MAKALAH STASE INTEGUMENT PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS ULKUS DEKUBITUS NAMA : ARUM HIDAYATI NIM : 1910306109 PROGRAM STUDI FISIOTERAPI PROFESI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA 2020-2021 HALAMAN PENGESAHAN PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS ULKUS DEKUBITUS MAKALAH STASE INTEGUMENT Disusun oleh : Arum Hidayati 1910306109 Makalah Ini Dibuat Guna Menyelesaikan Tugas Stase Integument Program Studi Profesi Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Yogyakarta, Juni 2020 Telah Disetujui Oleh : Clinial Educator ------------------------------------------NIP/NIK : KATA PENGANTAR Assalammualaikum Wr. Wb Alhamdulillah puji syukur kehadirat allah swt atas rahmat hidayah dan inayah nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini guna melengkapi tugas ‘Stase Integument Program Studi Fisioterapi Profesi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta’. Terlepas dari semua ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya, oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala kritik dan saran. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca. Wassalammualaikum wr.wb Yogyakarta, Juni 2020 Penulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat bergantung pada lokasi tubuh. (Djuanda, 2011) Dekubitus merupakan lesi yang disebabkan oleh adanya tekanan (kekuatan yang menekan permukaan tubuh) yang terjadi secara terusmenerus sehingga merusak jaringan yang berada di bawahnya (Kozier, 2010). Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu yang biasa. Gangguan ini terjadi pada individu yang berada di atas kursi atau di atas tempat tidur, seringkali pada inkontenensia, dan malnutrisi ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran (Potter, 2010). Insufisien Ada banyak faktor pemicu pembentukan ulkus. faktor instrinsik termasuk sensorik, otonom, gangguan motorik, kegemukan, kurang gizi dan diabetes. Faktor ekstrinsik termasuk tidak lega tekanan, gesekan, trauma langsung, dan kebersihan kulit (Ganvir, 2016). Luka dekubitus disebabkan oleh beberapa faktor yaitu imobilisasi, gaya gesek, kelembaban kulit (Kozier, 2010). Imobilisasi dan gaya gesek mengakibatkan tekanan terutama pada area penonjolan tulang. Tekanan menyebabkan iskemia dan hipoksemia pada jaringan yang terkena mengingat aliran darah ke tempat tersebut berkurang (Kowalak, 2014). Sedangkan kelembaban meningkatkan maserasi kulit (pelunakan akibat basah) dan menyebabkan epidermis lebih mudah terkikis dan menghambat aliran darah (Kozier, 2010). Terhambatnya aliran darah akan menghalangi oksigenisasi dan nutrisi ke jaringan yang mengkontribusi untuk terjadi nekrosis pada jaringan kulit (Potter, 2010). Nekrosis pada jaringan kulit yang tidak segera ditangani akan berkembang secara bertahap hingga ke jaringan otot dan tulang. Apabila sudah terjadi nekrosis pada otot dan tulang dapat pula bertahap pada bagian tendon dan sendi. Alih baring adalah tindakan yang dilakukan untuk mengubah posisi pasien yang mengalami tirah baring total untuk mencegah kejadian luka tekan pada kulit pasien. Tujuan alih baring adalah untuk mendistribusikan tekanan baik dalam posisi duduk atau berbaring serta memberikan kenyamanan pada pasien. Pada dasarnya alih baring dilakukan sebagai bagian dari prosedur baku dalam intervensi keperawatan untuk mengurangi resiko dekubitus pada pasien dengan imobilisasi (Potter, 2010). Alih baring memiliki manfaat mengganti titik tumpu berat badan yang tertekan pada area tubuh yang lain, mempertahankan sirkulasi darah pada daerah yang tertekan, dan dapat menurunkan tekanan pada tonjolan tulang (Kozier, 2011). Alih baring dapat mencegah dekubitus pada daerah tulang yang menonjol. Hal ini dikarenakan alih baring mengurangi penekanan akibat tertahannya pasien pada satu posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek kulit. Menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadinya dekubitus akibat gaya gesek (Potter, 2010) Komplikasi ulkus dekubitus bisa menghambat penyembuhan atau bahkan mengancam nyawa.11 Pasien yang berisiko untuk mengalami ulkus dekubitus mempunyai kemungkinan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, karena komplikasi utamanya berupa infeksi, baik berupa kondisi sepsis ataupun osteomyelitis. (Citra, 2010) B. Rumusan masalah 1. Pengertian Ulkus Dekubitus ? 2. Klasifikasi Ulkus Dekubitus ? 3. Gambaran Klinis Ulkus Dekubitus ? 4. Fase Proses Penyembuhan Luka ? 5. Etiologi Ulkus Dekubitus ? 6. Patofisiologi Ulkus Dekubitus ? 7. Intervensi fisioterapi pada Ulkus Dekubitus ? C. Tujuan 1. Pengertian Ulkus Dekubitus ? 2. Klasifikasi Ulkus Dekubitus ? 3. Gambaran Klinis Ulkus Dekubitus ? 4. Fase Proses Penyembuhan Luka ? 5. Etiologi Ulkus Dekubitus ? 6. Patofisiologi Ulkus Dekubitus ? 7. Intervensi fisioterapi pada Ulkus Dekubitus ? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Dekubitus adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan karena adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama. Kompresi jaringan akan menyebabkan gangguan suplai darah pada daerah yang tertekan. Apabila berlangsung lama, hal ini akan menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemia jaringan dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel. Walaupun semua bagian tubuh bisa mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Ulkus dekubitus merupakan ulserasi yang disebabkan oleh tekanan yang berlangsung lama pada pasien yang dibiarkan berbaring diam di tempat tidur. Daerah yang paling sering terkena ulkus dekubitus adalah sacrum, trochanter, tuberositas ischium. Distribusi lokasi terjadinya ulkus sangat tergantung pada status fungsional, struktur anatomi sacrum, trochanter, tuberositas ischium pasien. Pada pasien yang hanya bisa duduk, lokasi yang paling sering terkena adalah ischium. Pada pasien yang tidak mampu melakukan apapun, maka ulkus dapat timbul di lutut, tumit, malleoli, scapula, occiput dan daerah tulang belakang (spina). (Citra, 2010) B. Klasifikasi Ulkus Dekubitus Berdasarkan luas dan beratnya kerusakan jaringan yang terkena, maka sesuai dengan ketentuan National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) dan AHCPR ulkus dekubitus terbagi menjadi 4 derajat : 1. Derajat 1 : Lesi ulkus dekubitus masih tetap berwarna merah pada kulit terang dan berwarna merah, kebiruan atau keunguan pada kulit yang lebih gelap. Indikasi lain adalah perubahan temperatur, konsistensi dan sensasi di kulit 2. Derajat 2 : Fase ini ditandai dengan hilangnya ketebalan kulit secara parsial melibatkan epidermis, dermis atau keduanya sekaligus. Ulkus yang timbul masih superfisial, hanya berbentuk lecet, lepuhan atau berupa kawah dangka. 3. Derajat 3 : Ulkus mulai berkembang menjadi luka yang lebih besar (fullthickness wound) yang penetrasinya mencapai jaringan subkutaneus, bisa meluas tapi belum melalui fasia dasar . Ulkus menyerupai kawah yang dalam dan mungkin merusak jaringan di sekitarnya. 4. Derajat 4 : Ulkus meluas menembus kulit, seiring dengan destruksi luas, nekrosis jaringan atau rusaknya otot, tulang dan jaringan penyokong lainnya (seperti tendon dan kapsul sendi). C. Gambaran Klinis Ulkus Dekubitus Ulkus dekubitus mempunyai gambaran klinis di mana tanda cedera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan oleh ujung jari (non-blanching). Pada cedera yang lebih berat dijumpai ulkus di kulit, timbul rasa nyeri, tandatanda iskemik termasuk demam dan peningkatan sel darah putih.13 Lokasinya ialah daerah ekstremitas dan bokong, juga daerah yang sering mendapat tekanan secara terusmenerus. Pada tempat tersebut, ulkus berisi jaringan nekrotik dan di sekelilingnya terdapat daerah yang eritematosa (Citra, 2010). D. Proses Penyembuhan Luka 1. Fase aktif (± 1 minggu) Leukosit secara aktif akan memutus kematian jaringan, khususnya monosit akan memutus pembentukan kolagen dan protein lainnya. Proses ini berlangsung hingga mencapai jaringan yang masih bagus. Underminededge dianggap sebagai tanda khas ulkus yang masih aktif. Di samping itu juga, terdapat transudat yang creamy, kotor, dengan aroma tersendiri. Kemudian saat terikut pula debris dalam cairan tersebut, maka disebut eksudat. Pada fase aktif, eksudat bersifat steril. Selanjutnya, sel dan partikel plasma berikatan membentuk necrotix coagulum yang jika mengeras dinamakan eschar. 2. Fase proliferasi Fase ini ditandai dengan adanya granulasi dan reepitelisasi. Jaringan granulasi merupakan kumpulan vaskular (nutrisi untuk makrofag danfibroblast) dan saluran getah bening (mencegah edema dan sebagaidrainase) yang membentuk matriks granulasi yang turut menjadi lini pertahanan terhadap infeksi. Pada fase ini tampak epitelisasi di mana terbentuk tepi luka yang semakin landai. 3. Fase maturasi atau remodelling Saat inilah jaringan ikat (skar) mulai terbentuk. E. Etiologi 1. Mobilitas dan aktivitas Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi berisiko tinggi untuk terkena luka tekan. Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka teka. 2. Penurunan sensori persepsi Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan di atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasiyang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. 3. Kelembaban Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalamierosi. Selain itu kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit. 4. Tenaga yang merobek (shear) Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jaringan, pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam yang berdekatan dengan tulang yang menonjol. Contoh yang paling sering dari tenaga yang merobek ini adalah ketika pasien diposisikan dalam posisi semi fowler yang melebihi 30 derajat. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit. 5. Pergesekan ( friction) Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati-hati. 6. Nutrisi Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagaifaktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. 7. Usia Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek. 8. Tekanan arteriolar yang rendah Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit terhadap tekanan sehinggadengan aplikasi tekanan yang rendah sudah mampu mengakibatkan jaringan menjadiiskemia. Studi yang dilakukan menemukan bahwa tekanan sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada perkembangan luka tekan. 9. Stress emosional Depresi dan stress emosional kronik misalnya pada pasien psikiatrik juga merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari luka tekan. 10. Merokok Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh. Beberapa penelitian menunjukkan adahubungan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan. 11. Temperatur kulit Peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan risiko terjadinya luka tekan. F. Patofisiologi Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring bermingguminggu tidak akan mengalami dekubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjamnya. Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus yaitu : 1. Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi setengah berbaring 2. Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya. 3. Faktor teregangnya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat. Keadaan ini terjadi bila penderita immobilisasi, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. G. Intervensi Fisioterapi 1. Therapeutic Ultrasound Unit ultrasonografi India medico dengan frekuensi 3 MHz digunakan. Dosis dihitung sesuai dengan luas permukaan dan kondisi ulkus. Untuk memulai dengan 0,8 W / cm 2 intensitas, mode berdenyut diberikan. Metode kantung air digunakan untuk perawatan karena PU adalah luka terbuka. Kantong air yang dibuat khusus dengan sarung tangan plastik yang diisi dengan air digunakan. Untuk menghindari infeksi, sarung tangan yang disterilkan digunakan untuk setiap aplikasi dan ditempatkan langsung di atas PU. Gel digunakan sebagai media untuk pergerakan kepala ultrasound yang halus. Kepala dipindahkan ke segala arah di atas PU untuk menghindari pembentukan gelombang berdiri. (Ganvir, 2016) 2. Terapi LASER Diberikan oleh Fisioterapis di Unit neurofisioterapi dengan menggunakan LASER Aluminium-Gallium-Indium-Fosfor (AlGaInP), dengan panjang gelombang 660 nm (Po-30 W puncak) merek Technomed dengan emisi cahaya terus menerus dan berdenyut sekali sehari, enam kali seminggu selama dua belas minggu berturut-turut , dengan total 30 aplikasi. Di tepi PU, itu diterapkan dengan 4 J / cm 2 untuk waktu yang tetap dan jarak antara titik 1 cm. (Ganvir, 2016) 3. Posisi Mengurangi/meratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah, yaitu : alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Kelemahan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan. (Mahmuda, 2019) 4. Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya, kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur(keterbatasan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendiri harus baik dan dapat rusak). (Mahmuda, 2019) 5. Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore), tetapi dapat lebih sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan sendiri, dengan bantuan penderita lain ataupun keluarganya. (Mahmuda, 2019) 6. Meminimalkan terjadinya tekanan Hindari menggunakan kassa yang berbentuk donat di tumit. Perawat rumah sakit di Indonesia masih sering menggunakan donat yang dibuat dari kasa atau balon untuk mencegah luka tekan. Menurut hasil penelitian Sanada (1998) ini justru dapat mengakibatkan region yang kontak dengan kasa donat menjadi iskemia. Mengkaji dan meminimalkan terhadap pergesekan (friction) dan tenaga yang merobek(shear). (Mahmuda, 2019) 7. Mengkaji inkontinensia Kelembaban yang disebabkan oleh inkontinensia dapat menyebabkan maserasi. Lakukanlah latihan untuk melatih kandung kemih (bladder training) pada pasien yang mengalami inkontinesia. (Mahmuda, 2019) BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Luka tekan yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan masa perawatan pasien menjadi panjang dan peningkatan biaya rumah sakit. Upaya pencegahan dekubitus meliputi mobilisasi, perawatan kulit, pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi yang adekuat. B. Saran 1. Untuk tercapainya keberhasilan perlu adanya keterlibatan dan dukungan dari pasien maupun keluarganya pada kondisi perawatan. motivasi yang kuat akan psikis pasien. memberikan support emosional merupakan bagian dari proses rehabilitasi. 2. Dengan disusunnya makalah ini diharapkan kepada semua pembaca agar dapat mengerti dan memahami apa yang telah ditulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak bisa menambah pengetahuan pembaca dan juga agar makalah ini dapat membantu pembaca mengetahui proses fisioterapi pada luka akar. DAFTAR PUSTAKA Bevi Dewi Citra, Hermes C. Sitompul2 , Tuti Restuastuti Efektivitas Alih Baring Tiap 2 Jam Terhadap Pencegahan Ulkus Dekubitus pada Pasien Pasca Stroke dengan Tirah Baring Lama di Bangsal Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. JIK, Jilid 4, Nomor 2, September 2010, Hal. 133-140 Djuanda. (2011). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Jakarta: FKUI Ganvir S, Agrawal M, Harishchandre M. (2016). Combined Effect of Ultrasound and Laser Therapy (LLLT) for the Treatment of Pressure Ulcer in a Patient with Spinal Cord Injury. Physiother Rehabil 1: 114. doi:10.4172/2573- 0312.1000114. Volume 1 • Issue 3 • 1000114 Kowalak, J., Welsh, W., & Mayer, B. (2014). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, & dan praktik. Edisi 7. Jakarta: EGC Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Synder S.J. (2010). Buku ajar praktik keperawatan klinis. Edisi 5. Jakarta: EGC Mahmuda, I, N, N. (2019). Pencegahan Dan Tatalaksana Dekubitus Pada Geriatri. Permalink/DOI: 10.23917/biomedika.v11i1.5966 Biomedika, ISSN 20858345. https://journals.ums.ac.id/index.php/biomedika Potter, P. A., & Perry, A. G., (2010). Fundamental Keperawatan.Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika