Karma-phala, Reinkarnasi, dan Sains Oleh: Darmayasa Ye rūpāṇi pratimuñcamānā asurāḥ santaḥ svadhayā caranti Parāpuro nipuro ye bharantyagniṣṭāṁllokāt praṇudātyasmāt (Yajur Veda 2.30) “Orang-orang yang jahat yang dengan tingkah laku jahatnya menyakiti yang lain dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan, dan demi kesenangan hidupnya mengambil hak milik orang lain, Tuhan Ῑśvara memberikan kedukaan kepadanya dan mengirimnya pada kelahirankelahiran rendahan untuk menikmati hasil dari perbuatan-perbuatan jahatnya sehingga layak kembali mendapatkan kelahiran dalam badan manusia. Sepatutnya setiap manusia patut menyelamatkan dirinya dari orang-orang jahat seperti itu dan selalu menempatkan dirinya pada jalan dharma.” Karma-phala dan punarbhava atau reinkarnasi dalam sejarah dari zaman ke zaman selalu menjadi bahan pro-kontra di masyarakat manusia. Mereka yang tidak mempercayai reinkarnasi itu ada, banyak menempuh jalan kekerasan hingga pembantaian terhadap mereka yang meyakini reinkarnasi. Sedangkan yang mempercayai reinkarnasi pada umumnya tidak ada niat mempengaruhi orang untuk mempercayai reinkarnasi. Bagi mereka yang mempercayai reinkarnasi, orang percaya atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh apa-apa pada diri mereka, baik dalam keseharian ataupun pemahaman spiritualnya. Keyakinan akan adanya reinkarnasi sangat berhubungan dengan keberadaan karma atau perbuatan. Tidak ada karma yang tidak ‘berbunyi’ alias tidak ada perbuatan yang tidak diikuti oleh akibat atau reaksi dari perbuatan. Hukum alam yang pasti adalah ada aksi, (pasti) ada reaksi. Sebuah kerikil kecil terjatuh ke atas air diikuti oleh reaksi gemericiknya bunyi air akibat sentuhan dari jatuhnya kerikil tersebut pada air. Dari hukum aksi-reaksi ini bermunculan hukum-hukum besar dalam ilmu pengetahuan dan sains. Ketika hukum karma berupa aksi-reaksi berada dalam ranah ilmu pengetahuan dan sains, orang-orang tidak mempersalahkannya. Namun ketika hukum karma berada dalam ranah agama spiritual, maka orang-orang mulai mempersalahkannya. Sedangkan ajaran Veda lebih banyak mengarahkan hukum aksi-reaksi pada tujuan akhir dari keberadaan makhluk hidup di dunia maya ini (dunia khayal). Apa itu aksi, apa itu reaksi, dan bagaimana cara menata aksi, bagaimana pula menata reaksi, semua itu dijabarkan dalam kitab suci Vedadengan sempurna, dalam arahan demi pencapaian tujuan akhir hidup, yaitu mokṣārtham, yaitu tujuan pembebasan yang kekal abadi, terpupusnya segala jenis kesengsaraan duniawi. Bagi para penganut ajaran Sanatana Dharma, Śruti Pramāṇa menjadi alasan awal dan akhir untuk menerima kebenaran. Sebab Veda Śruti merupakan wahyu langsung Tuhan yang diterima oleh orang-orang suci yang hidupnya sama sekali tidak tersentuh oleh kebohongan. Orang-orang suci seperti para Resi, Maharesi, Muni, Yati, Yogi, mereka semua sudah tidak ada kepentingan apapun dengan dunia sehingga mereka sudah terbebas penuh dari kebohongan dan iri hati. Jika beliau menyampaikan sesuatu, pastilah tidak ada tujuan pribadi atau kelompok tersembunyi dibaliknya, melainkan hanya demi kemuliaan seluruh mahluk hidup di atas muka bumi ini. Kitab suci Weda menjadi pilihan terakhir penerimaan kebenaran segala sesuatu tanpa pertimbangan dalam segala bentuk karena Weda Shruti yang merupakan sabda Brahman (sabda langsung Tuhan) sudah mengujinya. Jalan pintas menguji dan menerima sebuah kebenaran dilakukan oleh para penganut ajaran Weda dengan cara yang sangat sederhana tetapi sekaligus sempurna dalam kebenaran. Sampai sekarang pun, sangat banyak para penganut Weda menempuh jalan sederhana tetapi “powerful” ini. Jika ada sesuatu yang menjadi keraguannya, mereka akan segera bertanya “apakah ini ada dalam Weda?”. Jika jawabannya iya, maka mereka akan langsung menerimanya dengan penuh hormat bakti karena penguji terakhir (Weda Shruti) sudah menerima dan mengesahkannya. Maka para pemuji kecil-kecil lainnya yang seringkali mempergunakan alasan kepentingan pribadi dan kelompok, -sama sekali tidak diperlukan lagi. Ṛg Veda (1.20.1) yang merupakan Veda yang paling awal dari yang tanpa awal dengan jelas menyebutkan bahwa para makhluk hidup mendapatkan kelahiran-kelahiran mereka dan juga mengalami segala suka duka hidupnya di atas muka bumi ini, semua ditentukan oleh perbuatan-perbuatan mereka. Perbuatan atau aksi secara pasti menggaungkan susulan reaksi. Apa pun di dunia ini tidak pernah bisa terjadi tanpa alasan, tanpa sebab-akibat. Tidak ada perbuatan tanpa akibat, dan tidak ada akibat tanpa sebab: “Ayaṁ devāya janmane stomo viprebhirāsayā, akāri ratna-dhātamaḥ” - sesuai dengan perbuatan yang dilakukan manusia memperoleh kelahiran dan kenikmatan hidupnya. Sedangkan Pendeta Cāṇakya dalam karyanya berjudul Cāṇakya Nῑti Śāstra mengatakan hal yang sama dengan kalimat berbeda: “svayam ātmā karotyātmā svayaṁ tat-phalam aśnute” - sendiri orang melakukan perbuatan, sendiri pula ia akan menerima pahalanya. Setiap makhluk hidup di dunia ini melakukan perbuatan dan tidak ada yang bebas dari tangkapan karma. Tidak ada makhluk hidup yang bisa diam, beku, pada yang saat yang sama berada di atas muka bumi ini. Veda menyebutkan bumi ini sebagai Karma-bhūmi atau tempat beraktivitas untuk susulan pahala; perbuatan baik menghasilkan pahala baik, perbuatan tidak baik menghasilkan pahala tidak baik pula. Pahala-pahala baik dari perbuatan yang dilakukan orang pasti mengantarkan pada pencapaian surga-surga, yaitu alam-alam indah dan mulia yang menjadi tempat bagi para makhluk hidup untuk menikmati hasil perbuatan-perbuatan baiknya. Sedangkan mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik, setelah meninggal maka alam-alam neraka akan menjadi tempat bagi mereka untuk menikmati pahala tidak baik. Śrῑ Rāma menyampaikan ratapan kesedihan melihat Lakṣmaṇa pingsan disebabkan serangan dahsyat musuh (Rāmāyaṇa Vālmiki Yuddhakāṇḍa 63.4): “pūrvaṁ mayā nūnamabhῑpsitāni, karmāṇyasakṛt kṛtāni, tatrādyāyamāpatito vipāko, duhkhena duhkhaṁ yadahaṁ viśāmi” - pastilah pada penjelmaanku yang lampau aku sudah melakukan banyak perbuatan semauku, yang hasilnya aku dapatkan sekarang, yang menyebabkan aku mengalami kedukaan demi kedukaan dalam hidupku ini. Ratapan Śrῑ Rāma tersebut merupakan bukti pula bahwa keberadaan reinkarnasi sudah menjadi kebenaran yang mendarah daging tidak hanya bagi masyarakat biasa melainkan bagi orang-orang super hebat dan terpelajar seperti contohnya pernyataan Śrῑ Rāma tersebut di atas. Śrῑ Rama sangat meyakini bahwa apapun yang orang-orang alami dalam hidupnya sekarang ini, semua merupakan gaung susulan dari perbuatan-perbuatan yang sudah dilakukan sebelumnya, baik dalam hidup ini maupun dalam penjelmaan-penjelmaan sebelumnya Pada pertemuannya dengan Hanumān di taman Aśoka di kerajaan Laṅkāpura (Vālmiki Rāmāyaṇa Yudhakāṇḍa 113.36), Dewi Sῑtā berkata kepada Hanumān: “bhāgyavaiṣamyayogena purā duścaritena ca, mayaitat prāpyate sarvaṁ, svakṛtaṁ hyupabhujyate” - apa pun perbuatan jahat yang aku lakukan pada penjelmaanku yang lampau, itulah yang menghasilkan kedukaan pada kelahiranku sekarang ini. Aku juga menikmati pahala dari perbuatan tidak baik yang aku lakukan pada kelahiran terdahulu, karena kita pasti harus menikmati pahala dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Demikian pula pada zaman Mahābhārata, begitu Duryodhana gugur dalam peperangan Kurukṣetra, ayahnya, Mahārāja Dhṛtarāṣtra meratap: “nūnaṁ vyapakṛtaṁ kiñcinmayā pūrveṣu janmasu, yena māṁ duhkha-bhāgeṣu dhātā karmasu yuktavān, pariṇāmaśca vayasaḥ sarva-bandhu-kṣayaśca me” - wahai Śrῑ Kṛṣṇa..., pastilah aku sudah melakukan banyak perbuatan jahat pada penjelmaanku yang lampau, yang menyebabkan Hyang Maha Pencipta memberikan kedukaan teramat menyakitkan. Aku sudah tua dan seluruh anggota keluargaku mengalami kematian. Seperti itu pula Gāndhārῑ (Mahābhārata Anuśāsana Parva 7) meratap: “nūnamācaritaṁ pāpaṁ mayā pūrveṣu janmasu, yā paśyāmi hatān putrān bhrātṛṁśca mādhava” - wahai Kṛṣṇa Mādhava..., aku sangat pasti bahwa pada penjelmaanku yang lampau aku sudah melakukan banyak perbuatan-perbuatan tidak baik, karena itulah aku melihat kematian putra-putraku, cucu-cucuku dan saudara-saudaraku. Veda tidak melawan sains. Sebab, Veda itu sendiri adalah sains. Para saintis tidak tinggal diam terhadap keyakinan reinkarnasi. Mereka banyak mengadakan penelitian “scientific” mengenai keberadaan reinkarnasi. Sains tidak berseberangan dengan reinkarnasi.