IDENTIFIKASI, PERILAKU DAN SIKLUS HIDUP ULAT BULU PELOMPAT ACRTORNIS SP. Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Awal tahun 2011 terjadi ledakan populasi ulat bulu pelompat di kabupaten Probolinggo. Sebanyak 14.000 pohon mangga dimakan daunnya sampai gundul (tidak berdaun) dalam waktu yang singkat. Hal ini dilaporkan terjadi pertama kali di Indonesia sehingga meresahkan masyarakat dan petani. Tanggapan dan respon dari berbagai fihak yang berkompeten baik dari kalangan akademisi, LIPI, institusi penelitian dan pengambil kebijakan bervariasi. Untuk memberikan informasi yang lebih komprehensip dan sebagai dasar tindakan pengendalian/pengelolaan serangga tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui spesies, perilaku dan siklus hidupnya. Penelitian dilaksanakan di laboratorium hama penyakit dan kebun percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur sejak April sampai September 2011. Berdasarkan uji kesukaan tanaman inang, diduga spesies ulat ini adalah Acrtornis riguata. Serangga betina dewasa mampu menghasilkan telur sebanyak 487 butir selama hidupnya. Untuk menghasilkan telur fertil serangga dewasa (imago) melakukan kopulasi/perkawinan. Masing-masing stadium hidup yaitu telur, larva (ulat), kepompong dan imago berlangsung berturut-turut 4-6 hari, 22-29 hari, 4-7 hari dan 6-12 hari. Larva merupakan stadium pemakan daun mangga, mengalami 6-7 kali ganti kulit sebelum memasuki fase prepupa. Kata Kunci: Ulat bulu pelompat, stadium, siklus hidup dan perilaku. PENDAHULUAN Sejak awal bulan Maret sampai akhir Juni 2011 kabupaten Probolinggo menjadi sorotan media cetak dan elektronik baik lokal maupun nasional karena adanya peningkatan populasi ulat bulu. Ulat bulu memakan daun-daun tua tanaman mangga dengan intensitas ringan sampai berat, menyebabkan tanaman mangga tidak berdaun (gundul). Fenomena ini mengagetkan semua pihak yang belum atau kurang memahami perilaku serangga dan tanaman, sehingga sering disebut sebagai hama dan tanaman inang. Padahal beberapa minggu setelah ta-naman mangga gundul, tanaman mangga bisa pulih kembali dan berdaun lebat. Warsito (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-LIPI) melaporkan peningkatan populasi ulat bulu diyakini karena kerusakan ekosistem lokal. Perubahan iklim dan aktifitas masyarat serta erupsi gunung Bromo ditengarahi paling berpengaruh. Keadaan ini memicu migrasi ngengat ke daerah yang lebih cocok untuk berkembang biak (Kompas 9 April 2011). Aunu Rauf, entmolog Institut Pertanian Bogor, mengemukakan spesies ulat tersebut adalah Arctornis submarginata, dan penyebab peningkatan populasi adalah adanya migrasi ngengat ke lokasi baru, dimana musuh alami hama belum siap sebagai pengendali alami. Toto Himawan, entomolog Universitas Brawijaya, juga menyatakan cuaca dan berkurangnya musuh alami menjadi pendorong peningkatan populasi ulat. Suswono, Menteri Pertanian, menambahkan bahwa perubahan kondisi lingkung-an dan menurunnya predator merupakan penyebab peledakan populasi ulat. Suputa pakar serangga dari Universitas Gajah Mada mengatakan, fenomena ulat bulu menyerang tanaman mangga pernah terjadi di Thailan pada tahun 2003. Penanganan yang hanya berdasarkan prinsip penanggulangan sesaat berdampak terhadap ekosistim, berakibat lebih merugikan dan menimbulkan masalah 361 baru. Penyemprotan insektisida kimia terlihat sangat efektif pada saat ini, namun diyakini akan memutus rantai makanan sehingga keseimbangan alam terganggu. Karena itu identifikasi dan pemahaman perilaku serta siklus hidupnya perlu dilakukan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan mulai April sampai Oktober 2011 di laboratorium Hama Penyakit dan Kebun Percobaan Karangploso Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur. Ulat bulu sebagai bahan penelitian diambil dari kec Leces kab Probolinggo. Ulat dipelihara dalam toples plastik dengan diberi pakan daun mangga sampai menjadi pupa. Sebanyak 60 pupa dipindah ke dalam sangkar kasa ukuran 100 cm x 100 cm x 175 cm dengan disediakan bibit mangga sebanyak 10 pohon dan pakan madu yang dioleskan pada kapas, masing-masing 20 pupa. Sejak imago muda muncul dari pupa sampai serangga mati diamati perilakunya, meliputi pergerakan, mencari tempat berlindung, makan, kawin dan bertelur. Untuk mengetahui perilaku ulat, sebanyak 100 ekor ulat instar satu diinvestasikan pada bibit mangga masing-masing 20 ekor. Penggantian tanaman inang dilakukan bila daundaun sudah banyak berlubang dan tanaman rusak mengering. Perilaku ulat meliputi cara berlindung, kegiatan makan dan cara bertahan. Sebagai data tambahan juga dilakukan pengamatan di lapang. Untuk mengetahui siklus hidup serangga, sebanyak 100 butir telur dimasukkan dalam toples plastik berdiameter 17,5 cm dan tinggi 30 cm sampai menetas. Sebanyak 30 ekor larva instar satu dimasukkan ke dalam toples plastik kecil/vial berdiameter 3 cm dengan tinggi 7 cm yang diberi pakan daun mangga, masing-masing satu ekor. Setiap hari dilakukan pengamatan di bawah mikroskup untuk menentukan pergantian kulit/instar, sampai ulat menjadi pupa. Di samping itu dengan cara yang sama, masing-masing vial dimasukkan 10 ulat untuk diberi pakan daun mangga, jambu mente, teh dan bambu untuk menentukan spesies. HASIL DAN PEMBAHASAN Ulat bulu yang meningkat populasinya di Probolinggo termasuk dalam famili Lymantriidae atau lebih dikenal dengan sebutan “tussock moths”. Ada sembilan spesies yang telah dilaporkan Kalshoven (1981), namun perilaku dan ciri-ciri morfologi ulat maupun serangga dewasa (ngengat) tidak ada yang sama dengan ulat yang menyerang di Probolinggo. Berdasarkan identifikasi Aunu Rauf dari IPB dikemukakan ulat bulu yang menyerang tanaman mangga di Probo-linggo adalah Arctornis submarginata kelihatannya perlu dikoreksi. Menurut Mu-khopadhyay dan Roy (2009) serangga tersebut merupakan hama potensial pada tanaman teh. Lebih lanjut Schintimeister (1994) melaporkan A. Submarginata juga menyerang tanaman bambu di timur laut Himalaya, Borneo dan Sumatra. Khewa (Subba) dan Ananda Mukhopadhyay (2010) mencoba strain Baccilus yang ditemukan untuk mengendalikan hama ini dengan hasil yang menggembi-rakan. Tetapi berdasarkan uji kesukaan yang telah dilakukan dengan tanaman inang teh dan bambu di BPTP Jawa Timur, ulat tidak melakukan aktifitas makan sampai mati. Sebaliknya ulat yang diberi pakan dengan daun mangga dan jambu mente mampu menyelesaikan siklus hidupnya sampai menjadi ngengat. Hari Sutrisno, ahli entomologi Puslit Biologi LIPI, mengatakan ulat bulu yang menye-rang tanaman mangga di Probolinggo, terdiri dari berbagai jenis. Arctornis riguata merupakan spesies yang dominan ditemukan saat 362 terjadi leda-kan populasi dan sudah pernah tercatat ditemukan di Gunung Tengger Bromo, Probolinggo tahun 1948 (Suryo, 2011). Imago spesies ini memiliki warna putih dengan sebuah titik hitam kecil yang tidak begitu jelas pada discocellular sayap depan. Peryataan ini diperkuat oleh Suputa (Entomologis UGM), yang menyebut-kan tanaman inang A. riguata adalah tamanan mangga dan jambu mente. Serangga dewasa ulat bulu lebih dikenal dengan sebutan ngengat atau kupukupu malam. Sesuai dengan namanya, ngengat lebih senang beraktivitas pada malam hari. Satu jam setelah matahari terbenam, pergerakan ngengat mulai kelihatan. Ngengat betina mulai melakukan gerakan pada bagian genetalianya. Genetalia (ujung abdomen) dibuka sempurna dengan diarahkan ke atas (menungging). Bagian tersebut mengeluarkan cairan berlendir yang berupa sek peromon untuk menarik dan membangkitkan gairah sek ngengat jantan. Ngengat betina pasif tetap pada posisinya, menungging berjam-jam menunggu ngengat jantan datang. Ngengat jantan yang menerima sinyal dari ngengat betina birahi melakukan penerbangan mencari sumber bau tersebut. Gaya terbang ngengat jantan dengan menggepakgepakan sayapnya, terbang dengan kecepatan rendah dan naik turun untuk menentukan pasangan yang cocok. Pada saat menemukan pasangan yang dicari, ngengat jantan mendarat untuk kawin. Perkawinan berlangsung cukup lama, sejak sesaat setelah matahari terbenam hingga tengah malam (bisa sampai 5 jam). Posisi jantan dan betina saling berlawanan arah, dengan bagian genitalia melekat satu dengan lainnya. Setelah perkawinan selesai, baik ngengat jantan maupun ngengat betina tetap berada di tempat atau terbang ke tempat istirahat, dekat dari tempat semula. Ngengat betina hanya sekali kawin selama hidupnya, sedangkan ngengat jantan bisa kawin dengan betina yang lain. Tidak ada aktivitas lainnya yang dilakukan oleh ngengat jantan setelah perkawinan, hanya sekali-kali terbang dengan tujuan yang belum jelas. Saat menjelang pagi sudah ada ngengat betina yang bertelur. Telur-telur diletakkan secara tunggal pada permukaan bawah dan atas daun. Namun pada sangkar pemeliharaan, telur kebanyakan diletakkan pada dinding-dinding yang terbuat dari kain kasa atau plastik berwarna putih transparan. Puncak peletakan telur terjadi pada hari ketiga sampai keempat dengan jumlah 485 butir. Semakin besar tubuh induk kemampuan menghasilkan telur semakin banyak. Lama hidup ngengat 6-12 hari tanpa makan. Oleh karena tidak ada tambahan asupan energi, ngengat membatasi diri untuk tidak beraktifitas pada siang hari. Bila ada gangguan, ngengat terbang zigzag dengan kecepatan tinggi dan segera menyelinap tidak jauh dari tempat semula. Telur hasil perkawinan mulai menetas pada hari keempat, sedangkan telur yang tidak dibuahi tidak menetas. Ulat instar pertama tetap berada di tempat, menggerek dari bagian bawah daun, merusak lapisan epidermis dan memakan jaringan palisade dan bunga karang. Lapisan epidermis atas daun tidak ikut dirusak, sehingga daun-daun menjadi transparan. Sejak ulat menjadi instar empat, pola makan berubah, menggerek daun dari bagian tepi dan tidak menyisakan lapisan epidermis. Aktifitas makan kebanyakan pada malam hari, pada siang hari ulat istirahat di bawah daun. Sebagian besar ulat sejak awal menetas sampai dewasa tetap berada pada tajuk tanaman, sepanjang makanan masih mencukupi. Saat daun-daun mangga habis, ulat pindah tempat dengan cara menggantungkan diri dengan benang sutra sehingga tertiup angin untuk mencapai inang lainnya atau langsung menjatuhkan diri. Hanya sebagian kecil yang turun menyusuri da- 363 han dan batang tanaman. Ada 1-2 hari ulat tidak makan, tetapi belum diketahui berhubungan dengan peristiwa tertentu selain persiapan ganti kulit. Aktivitas makan berlangsung sejak baru menetas sampai menjelang pre pupa. Perilaku ulat yang cukup menarik adalah kemampuannya melompat, yang tidak dimiliki jenis ulat lainnya. Saat mendapat gangguan, ulat bisa melompat lebih dari 10 cm. Karena itu untuk mengingat ulat ini, sebaiknya disebut ulat pelompat, bukan ulat bulu yang merujuk pada beberapa spesies. Kemampuan melompat ini diyakini sebagai cara bela diri, selain melakukan kamuflase dengan cara tinggal pada dahan yang serupa dengan tubuh ulat dan melipat bulu-bulunya pada saat tidak aktif. Bulu sebelah atas tengah berwarna hitam yang menyerupai antena apabila dilipat membentuk seperti ekor. Di lingkungan bersuhu 24-28˚C, ulat cukup dewasa untuk berkepompong pada umur 22 hari, dengan sebagian besar pada umur 23-24 hari. Sebaliknya pada lingkungan bersuhu 41˚C, waktu berkepompong tertunda hingga berumur 26 hari. Sebelum berkepompong, ulat mencari tempat berteduh dan berlindung pada tanaman lain yang masih rimbun atau pada bangunan terdekat. Pada saat mengawali fase pre pupa (sehari sebelum menjadi pupa), ulat membentuk formasi melengkung, bagian depan/kepala dan bagian belakang/abdomen ulat ditempelkan pada permukaan tempat menggantung. Kepompong keluar dan lepas dari kulit ulat dengan menggeliat-geliat sehingga bagian abdomen robek, sedangkan torak tetap utuh dan kepala pecah. Empat sampai tujuh hari setelah kepompong terbentuk, ngengat muda muncul dengan sayap yang masih terlipat. Ngengat yang baru muncul berjalan-jalan untuk mengaktifkan saraf dan aliran darah sampai sanyap mampu mengembang. Bila saat ngengat muncul ada gangguan sehingga gerakannya terbatas, akan menjadi ngengat yang cacat dengan sayap tidak sempurna, tidak mampu terbang dan melakukan perkawinan, walaupun masih mampu menghasilkan telur. Sayap membuka sempurna dan siap untuk terbang setelah kurang lebih 20 menit. Bila ngengat muncul pada sore hari, dua setengah jam berikutnya sudah siap kawin. PUSTAKA Arianto, Gesit dkk., 2011. Ulat Bulu Rusak Ribuan Pohon. Kompas Sabtu 9 April 2011. Jakarta. Anonim, 2011. LIPI: Ulat Bulu di Probolinggo Fenomena Langka. Situs LIPI (ISSN 20865309). http://www.lipi.go.id. 19 April 2011. BN/ OL/YK/N-1, 2011. Ulat Bulu di Probolinggo Dominan Arctornis Riguata. Media Indonesia. http://bataviase.co.id/node/645028 Kalshoven, 1981. The Pest Of Crop In Indonesia. Resived and Transleted by Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru. Jakarta. 701 hal. Khewa (Subba), Sangita and Ananda Mukhopadhyay, 2010. Biological Potential of a Newly Isolated Bacterial Agent Against Arctornis submarginata (Walker) (Lepidoptera: Lymantriidae) Occuring in Darjeeling Terai Region. Journal of Biopestices. 3(1 Special Issue): 114 – 116. Mukhopadhyay, A. and Roy S., 2009. Changing Dimentions of IPM in the Tea Plantations on the Northeastern Sub Himalayan Region. In: Prociding National Shymposium IPM Strategies to Combat Emerging Pest in the Current Scenario of Climate Change (Ramamutthy, V.V. and Gupta G.P. eds). January 28 – 30, 2009. Central Agricultural University, Pasighat, ArumachalPradesh, India. 290 – 302 pp. Schintimeister, L.K., 1994. The Moths of Borneo. http//: WWW. Mothsofborneo. Com/ part – 5/ arctornithini. Suryo, Bagus, 2011. Identifikasi Jenis Ulat Bulu di Yogyakarta. MALANG – MICOM. http://www.minangforum.com. 21 April 2011. 364