Pendakian Pertama Yang Membuat Candu Sejak aku duduk di bangku SMA aku mulai aktif mengikuti kegiatan Outdoor. Entah mengapa aku sangat menyukai hal tersebut mungkiin karena banyak keseruan di dalamnya sehingga membuatku nyaman. Salah satu kegiatan yang aku suka adalah mendaki gunung. Tapi sebelum aku mengenal kegiatan ini aku terlebih dahulu ikut ekstrakulikuler pramuka, aku masuk di salah satu organisasi yang dinaungi oleh TNI AD yang ada di kabupaten majene. Di sana aku belajar lebih banyak tentang ilmu kepramukaaan. Aku mulai tertarik dengan pendakian karena mendengar cerita dari para senior yang ada di sana, dan kebetulan aku juga pernah melihat sebuah film tentang pendakian dan persahabatan, judul filmnya adalah 5 cm. Cerita pendakian pertamaku dimulai saat aku kelas 1 SMA. Sebenarnya aku tak berniat untuk ikut kegiatan satu ini karena masih sangat asing bagiku. Namun ada seorang teman yang coba mengajakku untuk mendaki gunung katanya mendaki itu seru. Aku ysng tidak tau apa-apa hanya meng-iyakan ajakannya, yah hitung-hitung liburan ke alam kan lumayan untuk menambah pengalaman sekaligus memperkaya galeri sosial media. Tepat pada hari jumat tanggal 2 maret 2019. Aku dan teman-teman dari majene berangkat pukul 16:00 WITA. Lokasi bukit tersebut berada di daerah pambusuang tepatnya di desa yang aku sendiri lupa namanya. Tidak lebih dari satu jam kami menempuh perjalanan menggunakan motor dan akhirnya kami sampai di rumah terakhir yaitu rumah kepala desa setempat. Kami berhenti sejenak untuk memastikan apakah semua barang sudah lengkap atau belum. Tak lama kemudian dua orang dari rombongan lain pun datang. Setelah packing selesai kami berdooa terlebih dahulu lalu memulai pendakian. Selama di jalur pendakian aku tidak banyak bicara karena sudah lelah, nafasku rasanya seperti mau habis maklumlah aku belum pernah naik gunung tanpa melakukan latihan fisik terlebih dahulu, jadilah di perjalanan aku sering minta berhenti. Lama kami berjalan menyusuri jalur pendakian, aku spontan bertanya “gaess puncaak masih jauh yah?”. Pertanyaanku itu dijawab oleh salah satu teman “tenang zah puncak sudah dekat di depan tinggal nanjak sedikit”. Aku bingung, kan dari tadi juga sudah nanjak dari awal kita jalan pun sudah nanjak, gerutuku dalam hati. Nama bukit itu adalah Bukit Bendera atau dalam bahasa mandar disebut Buttu Bandera dengan ketinggian 572 MDPL (Meter di atas permukaan laut). Memang tidak terlalu tinggi, tapi jalurnya cukup curam dan kebanyakan tanjakan dan cocok untuk pendaki pemula sepertiku. Aku sudah tidak kuat, kakiku gemetar tak kunjung kutemukan puncaknya, aku mulai berdecak kesal sambil berkata “Tadi katanya sudah dekat, kenapa dari tadi kita jalan tidak sampai sampai sih”. Kataku sambil berjalan dengan langkah yang sedikit lunglai.Semuanya diam, tak ada satupun yang mengubris pertanyaanku. Aku kembali fokus dengan jalur karena hari sudah semakin gelap matahari sudah setengah terbenam. “Ya Allah kenapa tadi aku ikut, kalau tau lelahnya seperti ini mana mungkin aku mau”. Keluhku dalam hati. Tak lama kemudian kami pun sampai di puncak, di atas puncak terdapat sebuah saung kecil yang terbuat dari kayu. Akupun langsung merebahkan tubuhku di atas saung itu. “Alhamdulillah sudah sampai”. Kataku sambil berbaring. Sungguh melelahkan perjalanan itu. Saat semuanya sedang sibuk membangun aku hanya duduk diam menyaksikan betapa indahnya ciptaan tuhan, langit yang penuh bintang, malam yang sejuk dan tenang sungguh membuatku hanyut dalam suasana itu, mungkin ini yang membuat para pendaki naik gunung lagi dan lagi. Entah mengapa setelah melihat pemandangan rasa lelah, haus dan lapar mendadak hilang. Setelah membangun tenda kamipun makan dan lanjut istirahat. Tak lama kami beristirahat satu kejadian yang tidak diinginkan terjadi tiba tiba salah satu temanku kerasukan, aku mulai takut tapi temanku yang lain mencoba untuk menenangkanku. Setelah keadaan sudah mulai membaik semuanya kembali melanjutkan istirahat. Entah itu hanya perasaanku saja tiba tiba seperti ada yang menarik kakiku dari luar tenda seketika aku menjerit sehingga membuat semua orang kaget, tapi sekali lagi temanku kembali menenangkanku agar tidak panik dan takut lagi. Aku melanjutkan tidur karena sudah mengantuk. Pagi pun menyapa dengan mentari dan sedikit embun. Suasana pagi di bukit itu sangat sejuk, masih asri tanpa polusi seperti di kota. Aku bangun agak terlambat karena tak ada yang membangunkan. Semuanya sudah siap-siap untuk turun aku pun ikut bersiap. Kami pun mulai menuruni bukit, jujur saja aku tak suka dengan mereka yang terlalu terburu-buru dan tidak memperdulikan anggota lain yang tertinggal di belakang kalau terjadi sesuatu yang tidak tidak bagaimana? Siapa yang mau menolong?. Katanya pendaki senior di mana fikirannya? Di mana sikap dewasanya? Kalau memang masih mementingkan diri sendiri mengapa tidak mendaki sendiri saja kan gampang tidak perlu memikirkan orang lain, begitulah yang ada di pikiranku saat itu . Emosi melihat mereka yang terlalu berambisi sampai lupa dengan temannya sendiri. Tidak butuh waktu lama kami semua sampai di rumah kepala desa tempat kami memarkirkan motor. Lelah, satu kata untuk perjalanan ini. Sebelum pulang kami istirahat sejenak mengembalikan sedikit tenaga. Kami semua pun pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah aku langsung melanjutkan tidur. Aku sampai di rumah pukul 11:30 dan tertidur hingga sore. Rasanya semua tulangku menjadi lembek, kakiku terasa nyeri sampai mau jalan saja sudah susah. Keesokan harinya, kakiku masih terasa sakit namun tak sesakit sebelumnya. Aku kembali bersekolah seperti biasa. Hari itu hari senin aku bangun agak terlambat dan jadilah aku harus super cepat agar tidak terlambat mengikuti upacara. Aku bersekolah di salah satu sekolah yang ada di kabupaten majene yaitu SMAN 1 MEJENE. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku hanya cukup naik transportasi umum beberapa menit saja, aku berangkat menggunakan becak. Sesampainya aku di seklah aku langsung berlari memasuki gerbang sekolah dan langsung ke kelas. Untung saja upacaranya belum mulai, aku langsung duduk di bangkuku dan meletakkan tas. Usai duduk dan meletakkan tas kami disuruh berkumpul di lapangan untuk melaksanakan upacara. Upacaranya memag seperti biasa dengan susunan acara yang sama, tapi rasanya kakiku ingin patah mungkin karena pendakian kemarin. Selesai upacara aku langsung masuk ke dalam kelas dan duduk. Salah satu teman sebangkuku menanyakan tentan pendakianku kemarin. “Zah bagaimana pendakiannya kemarin? Seru tidak?” tanyanya padaku. “Iya seru tapi aku sangat kelelahan sampai hari ini saja kakiku masih sakit”. Kataku padanya. Dia hanya menganggukkan kepala dan melanjutkan aktivitasnya. Bel pun berbunyi tanda pelajaran akan dimulai. Aku pulang sekolah pukul 16:00 karena sekolah menerapkan sistem full day school atau sekolah sehari penuh. Aku pulang ke rumah menggunakan becak juga, sesampainya di rumah aku mengganti pakaian dan langsung makan. Hari berganti hari, aku menjalani hidupku yang begitu begitu saja tapi aku bersyukur karena masih diberi kesehatan dan nyawa untuk hidup serta memperbaiki kesalahan yang pernah kulakukan. Sudah lima bulan aku tidak bertualang di alam, rasanya aku sangat rindu suasana alam yang damai dan tanpa kepura-puraan. Sepertinya aku sudah terkena candu pendakian. Aku pernah membaca salah satu postongan di instagram katanya ada dua tipe orang saat naik gunung, yang pertama dia yang kapok dan mau lagi untuk naik gunung dan yang kedua adalah dia yang terkena candu dan selalu ingin naik gunung, namun sayangnya aku masuk dalam tipe kedua. Tepat pada tanggal 15 agustus 2019 aku dihubugi oleh salah satu teman yang ingin mengajakku merayakan hari kemerdekaan di atas gunung. Aku bertanya padanya “kita mendakinya di mana?” dia bilang kita akan mmendaki di bukit bendera. Ya tempat sama lagi, jujur aku merasa bosan tapi ya sudahlah rinduku pada alam harus terbayarkan. Keesokan harinya aku dan teman teman lainnya berangkat ke lokasi. Singkat cerita, di jalur pendakian tak ada yang menarik sama sekali aku hanya sekedar mendaki dan tidak tertarik dengan apapun yang aku lewati. Kami melakukan pendakian setelah sholat maghrib, ini terbilang cukup bahaya apalagi kami hanya membawa satu senter saja tapi Alhamdulillah kami semua sampai di puncak dengan selamat. Sesampainya di puncak aku bingung kenapa teman temanku tak ada yang membangun tenda, ternyata tak ada satupun yang membawa tenda mereka hanya satu matras yang hanya muat dua orang, sungguh aku merasa kesal bisa bisanya mereka mengajakku tanpa peralatan yang lengkap, kompor minipun mereka tak membawa terus kita mau makan apa?. Untung saja aku selalu membawa botol yang ukurannya lumayan besar yang cukup untuk diriku pribadi aku juga membawa satu cemilan. Alhasil kami tidur beralaskan rerumputan bukit dan beratapkan langi malam. Aku tidak terlalu kedinginan saat itu tapi temanku sudah menggigil dan sempat tak sadarkan diri, betapa kesalnya diriku melihat situasi itu. Pagi pun datang menyambut semua pendaki yang ada di bukit itu. Jujur aku sangat malu dengan pendaki lain, mereka memakai tenda dan membawa makanan sedangkan kami? Jangankan makanan tenda pun kami tak punya. Aku merasa kesal dan lapar, perpaduan yang sangat sempurna. Aku berfoto hanya beberapa kali karena aku sudah sangat ingin pulang ke rumah dan tidur dengan tenang dan nyaman. Sungguh itu adalah pengalaman yang paling ku benci, sampai mengingatnya saja sudah membuatku naik pitam. Aku pulang ke rumah tanpa membawa kenangan yang baik, aku tak mau lagi pergi bersama mereka yang tak bertanggung jawab. Hari berganti dan aku melanjutkan hidupku dengan normal sampai pada suatu hari aku teman sekampungku mengabariku bahwa ia kan mendaki salah satu gunung yang ada di majene yaitu puncak sigitung tepatnya di daerah baruga ketinggiannya 743 MDPL. Aku sangat bersemangat kali ini karena aku akan mendapat teman baru dan cerita baru lagi. Aku mempersiapkan semuanya dengan matang karena aku tak maau kejadian yang sama terulang kembali. Sampai pada hari yang telah ditentukan aku dan teman teman satu rombongan lainnya berangkat menggunakan mobil pick up. Di jalur pendakian aku hanya diam karena aku tak mengenal siapapun kecuali teman sekampungku itu, tapi untungnya mereka semua ramah kepadaku dan aku tak merasa terkucilkan. Pendakian saat itu cukup membuatku senang dan mengembalikan semangatku untuk mendaki kembali di lain waktu. Itulah pendakian terakhirku di tahun 2019 bukan karena malas tapi aku harus fokus pada pendidikanku juga dan hobiku ini kurang direstui oleh keluarga. “Selamat menikmati hari-hari penuh rindu, mungkin kau tak akan rindu padaku tapi percayalah rinduku padamu tak akan pernah habis” Kataku seraya memandangi pemandangan gunung yang sempat ku abadikan dengan kamera ponselku. Memasuki tahun 2020, menurutku tahun ini adalah tahun yang cukup menjengkelkan karena adanya wabah virus yaitu covid 19 atau corona. Akibat dari virus ini sekolahpun ditutup entah sampai kapan. Semua siswa belajar dari rumah secara online, menurutku ini cukup rumit. Tapi mau bagaimana lagi pembelajaran harus tetap terlaksana. Sejak ada virus ini yang mengharuskan kita semua tetap di rumah aja aku mulai merasa jenuh, sampai pada akhirnya temanku mengajakku untuk mendaki lagi. Di tengah pandemi virus ini? Yah itulah pertanyaan yang sempat muncul di kepalaku tapi karena ada rindu yang harus dibayar aku memberanikan diri utuk pergi keluar. Kali ini gunung yang jadi target adalah puncak karampuanna dengan ketinggian 808 MDPL. Pendakian kali ini juga terbilang menyebalkan karena sekali lagi ada saja orang orang egois yang ikut. Aku dan teman setendaku merasa sangat kesal karena ada salah anggota yang selalu mencari perhatian dengan berpura-pura sakit dan kerasukan. Melihatnya seperti itu malah membuatku merasa jijik dan tidak iba sama sekali. Karena di atas puncak tidak boleh membangun tenda akhirnya kami camp di lahan kosong yang ada di gunung itu. Besoknya barulah kami Summit (muncak). Kami naik ke puncak sekitar pukul 06:00 pagi ternyata jaraknya cukup jauh. Sebelum memasuki area puncak ada sebuah tulisan berupa peraturan jika ingin naik ke puncak harus melepas alas kaki, entah untuk apa tapi peraturan harus ditaati. Karena merasa masih mengantuk aku tak ikut naik, aku berhenti dan tidur di sebuah saung kecil sambil menunggu mereka kembali turun. Beberapa menit kemudian mereka pun turun dan kami kembali ke tenda bersama sama. Sesampainya di tenda kami semua berkemas dan segera turun dari gunung. Kami kembali ke rumah masing-masing dengan selamat karena sejatinya suatu pendakian dikatakan berhasil bukan saat kita sampai ke puncak, tetapi saat kita bisa sampai ke rumah dengan selamat Dua bulan sudah berlalu rinduku pun sudah menumpuk hingga ke ubun-ubun. Tepat pada tanggal 3 agustus 2020 aku kembali menjelajah bersama sahabat dan teman teman yang lain. Gunung yang akan kami daki adalah puncak batu sumandilo 1130 MDPL. Tepatnya di desa kaleok, kecamatan binuang, kabupaten polewali mandar. Kami berangkat menggunakan sepeda motor. Motor kami parker di salah satu rumah warga setempat, tapi jalur pendakian masih sangat jauh kami harus melewati jalur motor trail dan beberapa rumah warga hingga sampailah kami di sebuah sungai. Kami mengisi jergen dan botol untuk dibawa ke atas gunung. Di sinilah pendakian yang sebenarnya tanjakan dengan kemiringan 85 derajat dan jalur yang licin karena dibasahi oleh hujan membuat kami harus ekstra hati-hati. Tumbuhan berduri banyak tumbuh di sekitar jalur, aku memegang tumbuhan itu dan hampir terjatuh ke jurang. Untung saja aku berhasil memegang ranting salah satu ranting kayu. Kami sampai di puncak pukul 19:15. Cukup lama kami berjalan jika dihitung sekitar 8 jam barulah kami sampai. Sesampainya di puncak kami membagi tugas ada yang memasak dan ada yang membangun tenda agar adil, aku mendapat tugas memasak. Setelah memasak aku langsung pergi mengambil air untuk wudhu dan sholat di dalam tenda, Setelah sholat kami semua makan bersama. Malam itu cukup berkesan bagiku karena baru kali ini aku mendaki di ketinggian 1000 lebih. Keesokan paginya kami semua berfoto dengan berbagai pose dan berbagai latar, aku sendiri sangat puas karena sudah banyak megambil foto. Setelah puas berfoto kamu bergegas mengemasi barang dan kembali turun. Satu perjalanan yang semakin membuatku jatuh hati pada hobi ini, banyak yang bertanya padaku “kenapa naik gunung?”. Entahlah aku tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana aku begitu mencintai pendakian. Tapi satu yang bisa aku berikan kepada mereka yang bertanya “Di gunung aku bisa lebih menghargai ciptaan tuhan dan bisa lebih bersyukur, jika kalian mau tahu lebih banyak maka ikutlah bersamaku maka kalian tahu apa dan bagaimana yang aku rasakan saat naik gunung. Aku punya satu gunung impian yang sangat ingin aku jelajahi yaitu gunung prau yang berada di jawa tengah, selama ini aku hanya melihat keindahannya dari sosial media tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa sampai ke sana.