Uploaded by shantiayudiana0

Laporan Jurnal Reading Kelompok 6

advertisement
LAPORAN
JOURNAL READING
BLOK RESPIRASI II
“Respon Fisiologis pada Manusia yang Terpapar Secara Akut ke Ketinggian
Tinggi (3480 m): Ventilasi Menit dan Oksigenasi Merupakan Prediktif untuk
Perkembangan Penyakit Gunung Akut”
Disusun Oleh :
Kelompok 6
Niza Anggie Marlitayani Rizki
016.06.0025
Dinda Lini Ayunda
018.06.0031
Aaron Ismail Kartakusuma
019.06.0001
Baiq Fahira Mentari
019.06.0015
I Gusti Ngurah Oko Surya Wirawan
019.06.0035
Muhammad Hanif Imtiyaz
019.06.0061
Putu Shanti Ayudiana Budi
019.06.0082
Tutor : dr. M. Ashabul Kahfi Matar, S.Ked
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karenaatas rahmat-Nya penyusun dapat melaksanakan dan menyusun makalah
yang berjudul “Respon Fisiologis pada Manusia yang Terpapar Secara Akut ke
Ketinggian Tinggi (3480 m): Ventilasi Menit dan Oksigenasi Merupakan Prediktif
untuk Perkembangan Penyakit Gunung Akut” tepat pada waktunya.
Makalah ini penulis susun untuk memenuhi prasyarat sebagai syarat nilai
Journal Reading. Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :
1.
dr. M. Ashabul Kahfi Matar, S.Ked selaku tutor Journal Reading
kelompok 6.
2.
Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam pengamatan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai
pihak.
Mataram, 2 Februari 2021
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 7
1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 7
1.2
Tujuan ....................................................................................................... 7
1.3
Manfaat ..................................................................................................... 8
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 9
2.1 Introduksi ...................................................................................................... 9
2.2 Metode ........................................................................................................ 11
2.3 Hasil ............................................................................................................ 14
2.4 Diskusi ........................................................................................................ 15
BAB III PENUTUPAN ....................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19
IDENTITAS JURNAL
I.
Judul
Physiological Responses in Humans Acutely Exposed to High Altitude
(3480 m): Minute Ventilation and Oxygenation Are Predictive for the
Development of Acute Mountain Sickness
II.
Tahun terbit
2019
III.
Pengarang
Martin Burtscher, Michael Philadelphy, Hannes Gatterer, Johannes
Burtscher, Martin Faulhaber, Werner Nachbauer and Rudolf Likar.
IV.
Penerbit
High Altitude Medicine & Biology, Mary Ann Liebert, Inc.
ABSTRACT
Burtscher, Martin, Michael Philadelphy, Hannes Gatterer, Johannes
Burtscher,
Martin
Faulhaber,
Werner
Nachbauer,
and
Rudolf
Likar.
Physiological responses in humans acutely exposed to high altitude (3480 m):
Minute ventilation and oxygenation are predictive for the development of acute
mountain sickness. High Alt Med Biol. 20:192–197, 2019.—The importance of
arterial oxygen saturation for the prediction of acute mountain sickness (AMS) is
still a matter of debate. Reasons for discrepancies may result from varying
laboratory or field conditions and their interactions. Thus, we analyzed data from
our prior high-altitude studies, including participants of a broad range of age of
both sexes (20 males and 20 females, aged between 20 and 67 years) under
strictly standardized conditions of pre-exposure and acute exposure to real high
altitude (3480 m). A set of resting cardiovascular, respiratory, hematological, and
metabolic variables were recorded at high altitude (Testa Grigia, Plateau Rosa,
3480 m; Swiss-Italian boarder) after performing pretests at low altitude
(Innsbruck, 600 m, Austria). Our analyses indicate that (1) smaller changes in
resting minute ventilation (VE) and a larger decrease of peripheral oxygen
saturation (SpO2) during the first 3 hours of acute exposure to high altitude were
independent predictors for subsequent development of AMS (90% correct
prediction), (2) there are no differences of responses between sexes, and (3) there
is no association of responses with age. Considering the independent effects of
both responses (VE and SpO2) may be of clinical/practical relevance. Moreover,
the presented data derived from a broad age range of both sexes might be of
interest for comparative purposes.
ABSTRAK
Burtscher, Martin, Michael Philadelphy, Hannes Gatterer, Johannes
Burtscher, Martin Faulhaber, Werner Nachbauer, dan Rudolf Likar. Respon
fisiologis pada manusia yang terpapar akut pada ketinggian tinggi (3480 m):
Ventilasi dan oksigenasi dalam hitungan menit merupakan prediksi untuk
perkembangan penyakit gunung akut. Berbagai Med Alt Tinggi. 20: 192–197,
2019. — Pentingnya saturasi oksigen arteri untuk prediksi penyakit gunung akut
(AMS) masih menjadi bahan perdebatan. Alasan perbedaan dapat disebabkan oleh
kondisi laboratorium atau lapangan yang berbeda-beda dan interaksinya. Dengan
demikian, kami menganalisis data dari studi ketinggian tinggi kami sebelumnya,
termasuk peserta dari berbagai usia dari kedua jenis kelamin (20 laki-laki dan 20
perempuan, berusia antara 20 dan 67 tahun) di bawah kondisi standar ketat prapajanan dan pajanan akut. ketinggian nyata (3480 m). Satu set variabel
kardiovaskular, pernapasan, hematologi, dan metabolik yang beristirahat dicatat di
ketinggian (Testa Grigia, Plateau Rosa, 3480 m; asrama Swiss-Italia) setelah
melakukan pretest di ketinggian rendah (Innsbruck, 600 m, Austria). Analisis
kami menunjukkan bahwa (1) perubahan yang lebih kecil dalam ventilasi menit
istirahat (VE) dan penurunan saturasi oksigen perifer (SpO2) yang lebih besar
selama 3 jam pertama paparan akut ke ketinggian merupakan prediktor
independen untuk perkembangan AMS selanjutnya (90% benar prediksi), (2)
tidak ada perbedaan tanggapan antar jenis kelamin, dan (3) tidak ada hubungan
tanggapan dengan usia. Mempertimbangkan efek independen dari kedua
tanggapan (VE dan SpO2) mungkin relevan secara klinis / praktis. Bahkan,
Kata kunci: penyakit gunung akut; usia; hipoksia; prediktor; jenis kelamin
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan tekanan merupakan suatu kondisi yang diakibatkan karena
terdapatnya perbedaan dari dataran baik itu dataran tinggi maupun dataran rendah.
Semakin tinggi datarannya maka tekanan semakin rendah begitu pula sebaliknya
semakin rendah dataran maka tekanan akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan
tekanan dan ketinggian berbanding terbalik yang dapat digambarkan dengan
rumus sebagai berikut :
Perbedaan tekanan ini seringkali menyebabkan terganggunya fungsi dari
system tubuh karena system tubuh diharuskan untuk beraklimatisasi atau
beradaptasi. Sehingga didapatkan suatu Altitude Sickness, adapun contoh dari
Altitude Sickness ini yang akan dibahas oleh penulis adalah mengenai AMS atau
Acute Mountain Sickness dimana gangguan ini merupakan. Materi ini sangat
penting dipahami karena keluhan ini sering dijumpai apalagi NTB merupakan
sasaran dari wisatawan, salah satu yang dicari adalah pegunungan sehingga
diperlukan pemahaman lebih terkait dengan materi AMS ini untuk keperluan
lapangan ketika sudah menjadi seorang dokter.
1.2
Tujuan
1)
Pembaca dapat memahami pengertian dari Acute Mountain Sickness
2)
Pembaca dapat memahami pathogenesis dari Acute Mountain Sickness
3)
Pembaca dapat memahami factor lain yang berhubungan dengan
Acute Mountain Sickness
1.3
Manfaat
1)
Untuk memahami pengertian dari Acute Mountain Sickness
2)
Untuk memahami pathogenesis Acute Mountain Sickness
3)
Untuk memahami factor lain yang berhubungan dengan Acute
Mountain Sickness
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Introduksi
Sebelum membahas Acute Mountain Sickness, yang pertama harus dipahami
adalah pengertian secara umum dari Altitude Sickness, dimana Altitude Sickness
merupakan suatu kondisi tidak terkompensasinya system tubuh terhadap
ketinggian sehingga menyebabkan timbulnya berbagai keluhan yang terjadi akibat
perubahan tekanan. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan tubuh untuk ber
aklimatisasi secara cepat dan sempurna sehingga ketika seseorang berada dalam
kondisi dataran tinggi yang memiliki tekanan rendah akan menyebabkan
timbulnya berbagai keluhan. High Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan
gejala paru dan otak yang terjadi pada orang yang baru pertama kali mendaki ke
ketinggian. HAI terdiri dari Acute Mountain Sickness (AMS), High Altitude
Cerebral Edema (HACE) dan High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE).
Dikaitkan dengan kardiologi, Altitude Sickness dapat menyerang system
kardiovaskular karena perubahan tekanan erat kaitannya dengan keberadaan O2
dimana zat ini sangat penting dalam tubuh utamanya dalam system
kardiovaskular. Altitude sickness salah satu contohnya adalah Acute Mountain
Sickness atau AMS dimana penyakit ini akan berhubungan dengan kenaikan level
dimana semakin tinggi dataran akan diikuti dengan perubahan tekanan yang
semakin rendah. Munculnya gangguan di dalam perjalanan udara, secara umum
disebabkan oleh perubahan tekanan, suhu dan kelembaban atmosfir akibat
ketinggian. Dimana tekanan udara yang normal sebesar 760 mmHg pada
permukaan laut akan menurun menjadi 180 mmHg hingga 120 mmHg, dan
penurunan tekanan udara ini akan menurunkan juga tekanan parsial oksigen
sekitar 20% dari seluruh tekanan udara. Selain itu, penurunan tekanan udara juga
mengakibatkan penurunan suhu udara 2° Celcius untuk setiap kenaikan 1000 kaki,
hingga mencapai ketinggian dengan suhu konstan yaitu pada suhu -55° Celcius.
Ketinggian juga mengakibatkan semakin keringnya udara sekitar. Kondisi inilah
yang akhirnya akan memberikan dampak negatif dan gangguan bagi fungsi
fisiologis tubuh.
Sejumlah besar penelitian mencoba menemukan perbedaan dalam respon
fisiologis antara mata pelajaran yang berkembang penyakit gunung akut (AMS)
dan subjek tetap sehat saat terpapar secara akut ke ketinggian. Berbagai fisiologis
parameter telah disarankan sebagai berpotensi menjelaskan kerentanan terhadap
AMS, yaitu, ventilasi, parameter kardiovaskular, hematologi, dan metabolic.
Arteri atau saturasi oksigen perifer (SaO2, SpO2) telah ditekankan sebagai
variabel prediktor yang paling menjanjikan. Alasan perbedaan mungkin
disebabkan oleh berbagai laboratorium kondisi pidato atau lapangan dan
interaksinya, waktu pengukuran, pra-eksposur ke ketinggian, studi yang dipilih
populasi, dll. Diantara poin-poinnya terdaftar, waktu pengukuran karena sirkadian
ritme SpO2, dan tingkat aklimatisasi yang berbeda subjek adalah penyebab
kesalahan yang kami percaya bahwa pengukuran tidak standard SpO2 dan situasi
studi yang tidak konsisten merupakan penyebab utama kesalahan. Karena
pernapasan berkala, pengukuran SpO2 pada dataran tinggi jauh lebih kompleks
daripada di permukaan laut. Studi oleh Grant et al. (2002) dan O'Conner et al.
(2004) adalah contoh bagaimana penentuan SpO2 yang terbatas dan bermasalah di
dataran tinggi dapat terjadi. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk
melakukannya mengatur sampel unik dari studi ketinggian tinggi kami
sebelumnya, termasuk peserta dari berbagai usia dari kedua jenis kelamin,
menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat, dan kondisi homogen prapajanan dan pajanan akut secara nyata ketinggian tinggi (3480 m) (Burtscher et
al., 2018). Berdasarkan ketersediaan kumpulan data fisiologis yang relatif besar
dikumpulkan di ketinggian rendah dan tinggi, kami berharap mendapatkan
gambaran yang lebih jelas tentang pentingnya prediksi SpO2 untuk AMS
pengembangan dan variabel lain yang berpotensi menjelaskan. Selain itu, data
tersebut berasal dari rentang usia yang luas dari keduanya jenis kelamin mungkin
menarik untuk tujuan perbandingan.
2.2 Metode
Partisipan
Kumpulan data dari 40 subjek dewasa (20 laki-laki dan 20 perempuan,
berusia antara 20 dan 67 tahun) yang berpartisipasi dalam penelitian. Untuk studi
tersebut, peserta yang aktif secara fisik dan sehat dengan riwayat sakit kepala di
ketinggian, yang tidak minum obat apapun, dan yang tidak terkena ketinggian
lebih dari 2000 m, setidaknya 1 bulan sebelum percobaan direkrut oleh katarekomendasi dari mulut ke mulut terutama di sekitar Innsbruck (600 m), Austria.
Eksperimen telah dilakukan diketinggian dan dilokasi yang sama setelah
melakukan hal serupa pretest di ketinggian rendah. Dalam penelitian ini, hanya
subjects tanpa treatment farmakologis sebelumnya telah dimasukkan. Kumpulan
data 20 peserta dari 27 yang ditugaskan.
Peserta studi itu diangkut dengan bus dan kereta gantung ke ketinggian tempat
mereka tinggal setidaknya selama 24 jam. Tes latihan submaksimal tadi dilakukan
antara 2 sampai 5 jam setelah tiba di dataran tinggi. Skor AMS dinilai pada
malam hari kedatangan dan keesokan paginya. Semua subjek mendapat makanan
ringan sebelumnya naik kereta gantung, makan malam yang sama setelah
berolahraga pengujian di ketinggian, dan tidur selama sekitar 8 jam. Tanpa
minuman alkoho (terutama teh dan air) tersedia secara gratis. Peserta memberikan
persetujuan tertulis, dan semua studi telah disetujui.
Pengolahan Data (Measurement)
Selain pemeriksaan rutin medis, riwayat kesehatan, karakteristik gaya hidup,
dan data antropometri, kardiovaskular, pernapasan, hematologi, dan metabolik
yang beristirahat juga dicatat. Pengukuran dilakukan usai pemeriksaan rutin medis
pada sore hari di dataran rendah dan 2-3 hari kemudian di dataran tinggi dan juga
dilakukan pada sore hari sekitar 3 jam setelah kedatangan. Kemudian pada saat
beristirahat, pengukuran diikuti dengan tes latihan submaksimal, dan hasil yang
terakhir telah dilaporkan baru-baru ini (Burtscher et al., 2018). pasien disarankan
untuk tidak tampil latihan intens selama 2 hari sebelum pengukuran dan hindari
makan berat setidaknya selama 4 jam sebelum penilaian. Saturasi oksigen perifer
(SpO2), detak jantung (HR)(dengan pulsoximetry; Onyx, NONIN), dan sistolik
dan diastolik tekanan darah sistemik (BP; OMRON R3, Jepang) dicatat setelah 10
menit dalam posisi duduk. Nilai SpO2 dicatat selama 2-3 menit sampai
pengukuran nilai stabil. Oksigen dan tekanan parsial arteri karbon dioksida (PaO2,
PaCO2) dan pH (AVL OPTI, AVL Scientific Corporation) diukur dari
arterialisasi darah kapiler (cuping telinga), nilai hemoglobin (Hb), dan darah
glukosa (BG) dari sampel darah vena. Pada menit istirahat ventilasi (VE) dan
rasio pertukaran pernapasan (RER)(Oxycon Alpha, Jaeger, Jerman) diukur selama
10–15 menit dalam posisi duduk, dan nilai yang dilaporkan mewakili rata-rata 3
menit diambil saat VE telah stabil. Produk Ratepressure dihitung sebagai HR · TD
sistolik dan kandungan oksigen arteri (CaO2) sebagai (Hb · 1,34 · SpO2) +
(0,0031 · paO2). Perbedaan oksigen alveolo-arterial (A-a O2 diff) dihitung
sebagai (FiO2 · (pB - pH2O)) - (pCO2 / RER) + (pCO2 · FiO2 · (1 - RER) / RER)
- paO2. (FiO2: fraksi oksigen inspirasi; pB: tekanan barometrik). Lake-LouiseScore (LLS) adalah kuesioner penilaian diri yang mempertimbangkan lima gejala
utama yaitu seperti sakit kepala, mual, pusing, lelah, dan sulit tidur, masingmasing dinilai dengan skor dari 0 sampai 3 (0 untuk ketidaknyamanan, 1 untuk
gejala ringan, 2untuk gejala sedang, dan 3 untuk gejala berat). LLS dicatat pada
malam hari dan keesokan paginya sebelum sarapan. LLS tertinggi digunakan
untuk diagnosis AMS. AMS didiagnosis dengan gejala sakit kepala bersama
dengansatu gejala lain dengan total skornya adalah 3 atau lebih tinggi.
Statistik
Data ditunjukkan dalam rata-rata (standar deviasi, SD) atau frekuensi. Uji
chi kuadrat (chi square) digunakan untuk membandingkan perbedaan frekuensi
yang ada dan uji sampel berpasangan (paired sample t test) digunakan untuk
membandingkan perbedaan dari karateristik dan respon fisiologis terhadap dataran
tinggi pada jenis kelamin. Desain campuran ANOVA (analysis of variance) telah
dilakukan untuk menganalisis perbedaan dari respon fisiologis terhadap paparan
suatu ketinggian diantara jenis kelamin. Koefesien korelasi momen-produk
Pearson (Pearson correlation coefficient) juga dihitung untuk hubungan antara
variable. Stepwise regression digunakan untuk mendeteksi prediktor potensial
pada perkembangan AMS. Karateristik antropometrik dan semua variable
fisiologis juga dipertimbangkan prediktor potensial.
2.3 Hasil
Data fisiologis ini diambil di dataran rendah dan acute high altitudeyang
berasal dari sampel yang cocok dengan jenis kelamin dari rentang usia yang luas
(20-67 tahun). Yang berhubungan dengan karakteristik dasar, ada perbedaan jenis
kelamin untuk tinggi badan, massa tubuh, dan indeks massa tubuh (BMI).
Perubahan respon fisiologis dari ketinggian rendah ke ketinggian tidak
berbeda antara jenis kelamin. Informasi tentang waktu siklus menstruasi hanya
tersedia untuk sekitar setengah dari semua wanita, tetapi tidak ada indikasi
pengaruh potensial siklus menstruasi terhadap ventilation (VE). Pengamatan ini
sejalan dengan yang dilaporkan dari Muza et al. (2001). Perubahan signifikan dari
ketinggian rendah ke tinggi pada kedua jenis kelamin terjadi pada HR, VE, SpO2,
paO2, paCO2. Perubahan TD sistolik dan pH hanya berbeda di antara pria, dan
perubahan Hb dan A-a O2 hanya berbeda di antara wanita. Tidak ada hubungan
yang ditemukan antara usia dan variabel apa pun yang dinilai.
Tiga belas (7 laki-laki dan 6 perempuan) dari 40 peserta mengembangkan
AMS (AMS +), dan 27 orang tetap bebas AMS (AMS-). Pada ketinggian tertentu
(3480 m), nilai SpO2 87% adalah nilai prediksi terbaik untuk mengidentifikasi
kerentanan AMS; 92% subjek AMS (+) memiliki nilai SpO2 di bawah 87%, dan
85% subjek AMS (-) memiliki nilai SpO2 di atas 86%. Perubahan yang berbeda
secara signifikan antara subkelompok ini ditemukan untuk HR, TD diastolik, VE,
SpO2, CaO2, dan paCO2. Dibandingkan dengan AMS (-), subjek AMS (+)
menunjukkan peningkatan HR yang lebih jelas, penurunan BP diastolik,
peningkatan VE yang lebih rendah, penurunan SpO2 dan CaO2 yang lebih jelas,
dan penurunan nilai paCO2 yang berkurang saat terpapar secara akut ke
ketinggian. .
Analisis korelasi mengungkapkan hubungan yang signifikan antara
perubahan (low vs. high altitude) Hb dan CaO2 (r = 0,9), SpO2 dan CaO2 (r =
0,6), VE dan SpO2 (0,4), VE dan paCO2 (-0,3), SpO2 dan TD sistolik (0,4) dan
TD diastolik (0,5), Aa O2 dan paO2 (-0,7), dan paO2 dan paCO2 (-0,4). Analisis
regresi logistik multivariat mengungkapkan bahwa perubahan VE yang lebih kecil
(OR 1,9; 95% CI 1,1–3,7) dan penurunan SpO2 yang lebih besar (OR 2,5; 95% CI
1,2–5,4) ketika terpapar secara akut ke ketinggian sangat prediktif (90% benar
prediksi) untuk pengembangan AMS (Tabel 4).
2.4 Diskusi
Penurunan oksigen akan meningkat ventilasi baik dalam volume tidal dan
frekuensi. Dengan hiperventilasi, kehilangan berlebih karbon dioksida dari darah
menimbulkan pH menjadi alkali, pada gilirannya, mengurangi stimulasi pusat
pernapasan menyebabkan penurunan ventilasi dan penyerapan oksigen. Hasil ini
umpan balik positif dalam siklus peningkatan dan penurunan respirasi.
Pada proses untuk mengadaptasi kondisi yang telah terjadi tubuh berusaha
untuk
mempertahankan
keadaan
homeostasis
atau
keseimbangan
untuk
memastikan lingkungan operasi yang optimal untuk sistem kimia kompleks.
Setiap perubahan dari homeostasis ini adalah perubahan dari lingkungan yang
optimal. Tubuh berusaha untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini. Salah satu
ketidakseimbangan
tersebut
adalah
efek
meningkatkan
ketinggian
pada
kemampuan tubuh untuk memberikan oksigen yang cukup untuk dimanfaatkan
dalam respirasi selular. Sistem pernapasan menarik udara awalnya baik melalui
mulut atau hidung. Kedua bagian ini bergabung di belakang palatum untuk
membentuk faring. Di dasar faring terdapat dua rongga. Kerongkongan menuju ke
sistem pencernaan sementara yang lain, glotis, mengarah ke paru-paru. Epiglotis
mencakup glottis ketika menelan sehingga makanan tidak masuk paru-paru.
Ketika epiglotis tidak menutupi pembukaan ke paru-paru, udara bisa lewat dengan
bebas masuk dan keluar dari trakea. Cabang-cabang trakea menjadi dua bronkus
yang menuju paru-paru. Setelah di paru-paru bronkus bercabang berkali-kali ke
bronkiolus yang lebih kecil yang akhirnya berakhir pada kantung kecil yang
disebut alveoli. Di alveoli transfer oksigen ke darah berlangsung. Alveoli yang
berbentuk seperti kantung meningkat dan gas pertukaran melalui membran.
Bagian oksigen ke dalam darah dan karbon dioksida dari darah tergantung pada
tiga faktor utama tekanan parsial gas, area permukaan paru, ketebalan membrane.
Membran dalam alveoli memberikan area permukaan besar untuk
pertukaran gas bebas. Ketebalan khas dari membran paru kurang dari ketebalan
dari sel darah merah. Permukaan paru dan ketebalan selaput alveolar tidak
langsung terpengaruh oleh perubahan ketinggian. Tekanan parsial oksigen,
bagaimanapun, langsung berhubungan dengan ketinggian dan mempengaruhi
transfer gas di alveoli.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa High
Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan gejala otak dan paru yang terjadi
pada orang yang mendaki ke ketinggian tanpa menjalani aklimatisasi. Salah satu
contoh dari HAI yaitu Acute Mountain Sickness (AMS), Hipoksia paru dan proses
inflamasi serta adanya faktor genetik diduga berperan dalam patofisiologi
terjadinya high-altitude illness pada manusia. Selama aklimatisasi, ginjal
mengekskresikan bikarbonat ke dalam urin yang kemudian diserap dalam darah
untuk mempertahankan pH normal pada rendahnya tekanan parsial karbon
dioksida yang terjadi 24-48 jam setelah onset dari hiperventilasi. Dengan
meningkatnya denyut jantung, oksigen diangkut dari alveoli melalui sistem
peredaran darah ke jaringan pada tingkat yang lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, et al. 2017. Acute high-altitude sickness. Series Sports-Related Lung
Disease.
Eur
Respir
Rev
2017;
26:
160096.
https://err.ersjournals.com/content/errev/26/143/160096.full.pdf
(Dikutip
pada tanggal 13 Januari 2021)
Ariyanto, Yuri., dkk. 2017. Diagnosa AMS: Sistem Pakar Untuk Pendaki Gunung.
Jurnal Simantec. Vol. 6, No. 2. ISSN 2088-2130;e-ISSN 2502-4884.
https://journal.trunojoyo.ac.id/simantec/article/download/3706/2710
(Dikutip pada tanggal 13 Januari 2021)
Elvira, Dwitya. 2015. High-Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/304/286
(Dikutip
pada tanggal 13 Januari 2021)
Timothy,
et
al.
2020.
Acute
Mountain
Sickness.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430716/. (Dikutip pada tanggal
13 Januari 2021)
Download