LAPORAN JOURNAL READING BLOK RESPIRASI II “Respon Fisiologis pada Manusia yang Terpapar Secara Akut ke Ketinggian Tinggi (3480 m): Ventilasi Menit dan Oksigenasi Merupakan Prediktif untuk Perkembangan Penyakit Gunung Akut” Disusun Oleh : Kelompok 6 Niza Anggie Marlitayani Rizki 016.06.0025 Dinda Lini Ayunda 018.06.0031 Aaron Ismail Kartakusuma 019.06.0001 Baiq Fahira Mentari 019.06.0015 I Gusti Ngurah Oko Surya Wirawan 019.06.0035 Muhammad Hanif Imtiyaz 019.06.0061 Putu Shanti Ayudiana Budi 019.06.0082 Tutor : dr. M. Ashabul Kahfi Matar, S.Ked FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM TAHUN 2021 KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karenaatas rahmat-Nya penyusun dapat melaksanakan dan menyusun makalah yang berjudul “Respon Fisiologis pada Manusia yang Terpapar Secara Akut ke Ketinggian Tinggi (3480 m): Ventilasi Menit dan Oksigenasi Merupakan Prediktif untuk Perkembangan Penyakit Gunung Akut” tepat pada waktunya. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi prasyarat sebagai syarat nilai Journal Reading. Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. dr. M. Ashabul Kahfi Matar, S.Ked selaku tutor Journal Reading kelompok 6. 2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam pengamatan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Mataram, 2 Februari 2021 Penyusun DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 7 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 7 1.2 Tujuan ....................................................................................................... 7 1.3 Manfaat ..................................................................................................... 8 BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 9 2.1 Introduksi ...................................................................................................... 9 2.2 Metode ........................................................................................................ 11 2.3 Hasil ............................................................................................................ 14 2.4 Diskusi ........................................................................................................ 15 BAB III PENUTUPAN ....................................................................................... 18 3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19 IDENTITAS JURNAL I. Judul Physiological Responses in Humans Acutely Exposed to High Altitude (3480 m): Minute Ventilation and Oxygenation Are Predictive for the Development of Acute Mountain Sickness II. Tahun terbit 2019 III. Pengarang Martin Burtscher, Michael Philadelphy, Hannes Gatterer, Johannes Burtscher, Martin Faulhaber, Werner Nachbauer and Rudolf Likar. IV. Penerbit High Altitude Medicine & Biology, Mary Ann Liebert, Inc. ABSTRACT Burtscher, Martin, Michael Philadelphy, Hannes Gatterer, Johannes Burtscher, Martin Faulhaber, Werner Nachbauer, and Rudolf Likar. Physiological responses in humans acutely exposed to high altitude (3480 m): Minute ventilation and oxygenation are predictive for the development of acute mountain sickness. High Alt Med Biol. 20:192–197, 2019.—The importance of arterial oxygen saturation for the prediction of acute mountain sickness (AMS) is still a matter of debate. Reasons for discrepancies may result from varying laboratory or field conditions and their interactions. Thus, we analyzed data from our prior high-altitude studies, including participants of a broad range of age of both sexes (20 males and 20 females, aged between 20 and 67 years) under strictly standardized conditions of pre-exposure and acute exposure to real high altitude (3480 m). A set of resting cardiovascular, respiratory, hematological, and metabolic variables were recorded at high altitude (Testa Grigia, Plateau Rosa, 3480 m; Swiss-Italian boarder) after performing pretests at low altitude (Innsbruck, 600 m, Austria). Our analyses indicate that (1) smaller changes in resting minute ventilation (VE) and a larger decrease of peripheral oxygen saturation (SpO2) during the first 3 hours of acute exposure to high altitude were independent predictors for subsequent development of AMS (90% correct prediction), (2) there are no differences of responses between sexes, and (3) there is no association of responses with age. Considering the independent effects of both responses (VE and SpO2) may be of clinical/practical relevance. Moreover, the presented data derived from a broad age range of both sexes might be of interest for comparative purposes. ABSTRAK Burtscher, Martin, Michael Philadelphy, Hannes Gatterer, Johannes Burtscher, Martin Faulhaber, Werner Nachbauer, dan Rudolf Likar. Respon fisiologis pada manusia yang terpapar akut pada ketinggian tinggi (3480 m): Ventilasi dan oksigenasi dalam hitungan menit merupakan prediksi untuk perkembangan penyakit gunung akut. Berbagai Med Alt Tinggi. 20: 192–197, 2019. — Pentingnya saturasi oksigen arteri untuk prediksi penyakit gunung akut (AMS) masih menjadi bahan perdebatan. Alasan perbedaan dapat disebabkan oleh kondisi laboratorium atau lapangan yang berbeda-beda dan interaksinya. Dengan demikian, kami menganalisis data dari studi ketinggian tinggi kami sebelumnya, termasuk peserta dari berbagai usia dari kedua jenis kelamin (20 laki-laki dan 20 perempuan, berusia antara 20 dan 67 tahun) di bawah kondisi standar ketat prapajanan dan pajanan akut. ketinggian nyata (3480 m). Satu set variabel kardiovaskular, pernapasan, hematologi, dan metabolik yang beristirahat dicatat di ketinggian (Testa Grigia, Plateau Rosa, 3480 m; asrama Swiss-Italia) setelah melakukan pretest di ketinggian rendah (Innsbruck, 600 m, Austria). Analisis kami menunjukkan bahwa (1) perubahan yang lebih kecil dalam ventilasi menit istirahat (VE) dan penurunan saturasi oksigen perifer (SpO2) yang lebih besar selama 3 jam pertama paparan akut ke ketinggian merupakan prediktor independen untuk perkembangan AMS selanjutnya (90% benar prediksi), (2) tidak ada perbedaan tanggapan antar jenis kelamin, dan (3) tidak ada hubungan tanggapan dengan usia. Mempertimbangkan efek independen dari kedua tanggapan (VE dan SpO2) mungkin relevan secara klinis / praktis. Bahkan, Kata kunci: penyakit gunung akut; usia; hipoksia; prediktor; jenis kelamin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan tekanan merupakan suatu kondisi yang diakibatkan karena terdapatnya perbedaan dari dataran baik itu dataran tinggi maupun dataran rendah. Semakin tinggi datarannya maka tekanan semakin rendah begitu pula sebaliknya semakin rendah dataran maka tekanan akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan tekanan dan ketinggian berbanding terbalik yang dapat digambarkan dengan rumus sebagai berikut : Perbedaan tekanan ini seringkali menyebabkan terganggunya fungsi dari system tubuh karena system tubuh diharuskan untuk beraklimatisasi atau beradaptasi. Sehingga didapatkan suatu Altitude Sickness, adapun contoh dari Altitude Sickness ini yang akan dibahas oleh penulis adalah mengenai AMS atau Acute Mountain Sickness dimana gangguan ini merupakan. Materi ini sangat penting dipahami karena keluhan ini sering dijumpai apalagi NTB merupakan sasaran dari wisatawan, salah satu yang dicari adalah pegunungan sehingga diperlukan pemahaman lebih terkait dengan materi AMS ini untuk keperluan lapangan ketika sudah menjadi seorang dokter. 1.2 Tujuan 1) Pembaca dapat memahami pengertian dari Acute Mountain Sickness 2) Pembaca dapat memahami pathogenesis dari Acute Mountain Sickness 3) Pembaca dapat memahami factor lain yang berhubungan dengan Acute Mountain Sickness 1.3 Manfaat 1) Untuk memahami pengertian dari Acute Mountain Sickness 2) Untuk memahami pathogenesis Acute Mountain Sickness 3) Untuk memahami factor lain yang berhubungan dengan Acute Mountain Sickness BAB II PEMBAHASAN 2.1 Introduksi Sebelum membahas Acute Mountain Sickness, yang pertama harus dipahami adalah pengertian secara umum dari Altitude Sickness, dimana Altitude Sickness merupakan suatu kondisi tidak terkompensasinya system tubuh terhadap ketinggian sehingga menyebabkan timbulnya berbagai keluhan yang terjadi akibat perubahan tekanan. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan tubuh untuk ber aklimatisasi secara cepat dan sempurna sehingga ketika seseorang berada dalam kondisi dataran tinggi yang memiliki tekanan rendah akan menyebabkan timbulnya berbagai keluhan. High Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan gejala paru dan otak yang terjadi pada orang yang baru pertama kali mendaki ke ketinggian. HAI terdiri dari Acute Mountain Sickness (AMS), High Altitude Cerebral Edema (HACE) dan High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE). Dikaitkan dengan kardiologi, Altitude Sickness dapat menyerang system kardiovaskular karena perubahan tekanan erat kaitannya dengan keberadaan O2 dimana zat ini sangat penting dalam tubuh utamanya dalam system kardiovaskular. Altitude sickness salah satu contohnya adalah Acute Mountain Sickness atau AMS dimana penyakit ini akan berhubungan dengan kenaikan level dimana semakin tinggi dataran akan diikuti dengan perubahan tekanan yang semakin rendah. Munculnya gangguan di dalam perjalanan udara, secara umum disebabkan oleh perubahan tekanan, suhu dan kelembaban atmosfir akibat ketinggian. Dimana tekanan udara yang normal sebesar 760 mmHg pada permukaan laut akan menurun menjadi 180 mmHg hingga 120 mmHg, dan penurunan tekanan udara ini akan menurunkan juga tekanan parsial oksigen sekitar 20% dari seluruh tekanan udara. Selain itu, penurunan tekanan udara juga mengakibatkan penurunan suhu udara 2° Celcius untuk setiap kenaikan 1000 kaki, hingga mencapai ketinggian dengan suhu konstan yaitu pada suhu -55° Celcius. Ketinggian juga mengakibatkan semakin keringnya udara sekitar. Kondisi inilah yang akhirnya akan memberikan dampak negatif dan gangguan bagi fungsi fisiologis tubuh. Sejumlah besar penelitian mencoba menemukan perbedaan dalam respon fisiologis antara mata pelajaran yang berkembang penyakit gunung akut (AMS) dan subjek tetap sehat saat terpapar secara akut ke ketinggian. Berbagai fisiologis parameter telah disarankan sebagai berpotensi menjelaskan kerentanan terhadap AMS, yaitu, ventilasi, parameter kardiovaskular, hematologi, dan metabolic. Arteri atau saturasi oksigen perifer (SaO2, SpO2) telah ditekankan sebagai variabel prediktor yang paling menjanjikan. Alasan perbedaan mungkin disebabkan oleh berbagai laboratorium kondisi pidato atau lapangan dan interaksinya, waktu pengukuran, pra-eksposur ke ketinggian, studi yang dipilih populasi, dll. Diantara poin-poinnya terdaftar, waktu pengukuran karena sirkadian ritme SpO2, dan tingkat aklimatisasi yang berbeda subjek adalah penyebab kesalahan yang kami percaya bahwa pengukuran tidak standard SpO2 dan situasi studi yang tidak konsisten merupakan penyebab utama kesalahan. Karena pernapasan berkala, pengukuran SpO2 pada dataran tinggi jauh lebih kompleks daripada di permukaan laut. Studi oleh Grant et al. (2002) dan O'Conner et al. (2004) adalah contoh bagaimana penentuan SpO2 yang terbatas dan bermasalah di dataran tinggi dapat terjadi. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk melakukannya mengatur sampel unik dari studi ketinggian tinggi kami sebelumnya, termasuk peserta dari berbagai usia dari kedua jenis kelamin, menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat, dan kondisi homogen prapajanan dan pajanan akut secara nyata ketinggian tinggi (3480 m) (Burtscher et al., 2018). Berdasarkan ketersediaan kumpulan data fisiologis yang relatif besar dikumpulkan di ketinggian rendah dan tinggi, kami berharap mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pentingnya prediksi SpO2 untuk AMS pengembangan dan variabel lain yang berpotensi menjelaskan. Selain itu, data tersebut berasal dari rentang usia yang luas dari keduanya jenis kelamin mungkin menarik untuk tujuan perbandingan. 2.2 Metode Partisipan Kumpulan data dari 40 subjek dewasa (20 laki-laki dan 20 perempuan, berusia antara 20 dan 67 tahun) yang berpartisipasi dalam penelitian. Untuk studi tersebut, peserta yang aktif secara fisik dan sehat dengan riwayat sakit kepala di ketinggian, yang tidak minum obat apapun, dan yang tidak terkena ketinggian lebih dari 2000 m, setidaknya 1 bulan sebelum percobaan direkrut oleh katarekomendasi dari mulut ke mulut terutama di sekitar Innsbruck (600 m), Austria. Eksperimen telah dilakukan diketinggian dan dilokasi yang sama setelah melakukan hal serupa pretest di ketinggian rendah. Dalam penelitian ini, hanya subjects tanpa treatment farmakologis sebelumnya telah dimasukkan. Kumpulan data 20 peserta dari 27 yang ditugaskan. Peserta studi itu diangkut dengan bus dan kereta gantung ke ketinggian tempat mereka tinggal setidaknya selama 24 jam. Tes latihan submaksimal tadi dilakukan antara 2 sampai 5 jam setelah tiba di dataran tinggi. Skor AMS dinilai pada malam hari kedatangan dan keesokan paginya. Semua subjek mendapat makanan ringan sebelumnya naik kereta gantung, makan malam yang sama setelah berolahraga pengujian di ketinggian, dan tidur selama sekitar 8 jam. Tanpa minuman alkoho (terutama teh dan air) tersedia secara gratis. Peserta memberikan persetujuan tertulis, dan semua studi telah disetujui. Pengolahan Data (Measurement) Selain pemeriksaan rutin medis, riwayat kesehatan, karakteristik gaya hidup, dan data antropometri, kardiovaskular, pernapasan, hematologi, dan metabolik yang beristirahat juga dicatat. Pengukuran dilakukan usai pemeriksaan rutin medis pada sore hari di dataran rendah dan 2-3 hari kemudian di dataran tinggi dan juga dilakukan pada sore hari sekitar 3 jam setelah kedatangan. Kemudian pada saat beristirahat, pengukuran diikuti dengan tes latihan submaksimal, dan hasil yang terakhir telah dilaporkan baru-baru ini (Burtscher et al., 2018). pasien disarankan untuk tidak tampil latihan intens selama 2 hari sebelum pengukuran dan hindari makan berat setidaknya selama 4 jam sebelum penilaian. Saturasi oksigen perifer (SpO2), detak jantung (HR)(dengan pulsoximetry; Onyx, NONIN), dan sistolik dan diastolik tekanan darah sistemik (BP; OMRON R3, Jepang) dicatat setelah 10 menit dalam posisi duduk. Nilai SpO2 dicatat selama 2-3 menit sampai pengukuran nilai stabil. Oksigen dan tekanan parsial arteri karbon dioksida (PaO2, PaCO2) dan pH (AVL OPTI, AVL Scientific Corporation) diukur dari arterialisasi darah kapiler (cuping telinga), nilai hemoglobin (Hb), dan darah glukosa (BG) dari sampel darah vena. Pada menit istirahat ventilasi (VE) dan rasio pertukaran pernapasan (RER)(Oxycon Alpha, Jaeger, Jerman) diukur selama 10–15 menit dalam posisi duduk, dan nilai yang dilaporkan mewakili rata-rata 3 menit diambil saat VE telah stabil. Produk Ratepressure dihitung sebagai HR · TD sistolik dan kandungan oksigen arteri (CaO2) sebagai (Hb · 1,34 · SpO2) + (0,0031 · paO2). Perbedaan oksigen alveolo-arterial (A-a O2 diff) dihitung sebagai (FiO2 · (pB - pH2O)) - (pCO2 / RER) + (pCO2 · FiO2 · (1 - RER) / RER) - paO2. (FiO2: fraksi oksigen inspirasi; pB: tekanan barometrik). Lake-LouiseScore (LLS) adalah kuesioner penilaian diri yang mempertimbangkan lima gejala utama yaitu seperti sakit kepala, mual, pusing, lelah, dan sulit tidur, masingmasing dinilai dengan skor dari 0 sampai 3 (0 untuk ketidaknyamanan, 1 untuk gejala ringan, 2untuk gejala sedang, dan 3 untuk gejala berat). LLS dicatat pada malam hari dan keesokan paginya sebelum sarapan. LLS tertinggi digunakan untuk diagnosis AMS. AMS didiagnosis dengan gejala sakit kepala bersama dengansatu gejala lain dengan total skornya adalah 3 atau lebih tinggi. Statistik Data ditunjukkan dalam rata-rata (standar deviasi, SD) atau frekuensi. Uji chi kuadrat (chi square) digunakan untuk membandingkan perbedaan frekuensi yang ada dan uji sampel berpasangan (paired sample t test) digunakan untuk membandingkan perbedaan dari karateristik dan respon fisiologis terhadap dataran tinggi pada jenis kelamin. Desain campuran ANOVA (analysis of variance) telah dilakukan untuk menganalisis perbedaan dari respon fisiologis terhadap paparan suatu ketinggian diantara jenis kelamin. Koefesien korelasi momen-produk Pearson (Pearson correlation coefficient) juga dihitung untuk hubungan antara variable. Stepwise regression digunakan untuk mendeteksi prediktor potensial pada perkembangan AMS. Karateristik antropometrik dan semua variable fisiologis juga dipertimbangkan prediktor potensial. 2.3 Hasil Data fisiologis ini diambil di dataran rendah dan acute high altitudeyang berasal dari sampel yang cocok dengan jenis kelamin dari rentang usia yang luas (20-67 tahun). Yang berhubungan dengan karakteristik dasar, ada perbedaan jenis kelamin untuk tinggi badan, massa tubuh, dan indeks massa tubuh (BMI). Perubahan respon fisiologis dari ketinggian rendah ke ketinggian tidak berbeda antara jenis kelamin. Informasi tentang waktu siklus menstruasi hanya tersedia untuk sekitar setengah dari semua wanita, tetapi tidak ada indikasi pengaruh potensial siklus menstruasi terhadap ventilation (VE). Pengamatan ini sejalan dengan yang dilaporkan dari Muza et al. (2001). Perubahan signifikan dari ketinggian rendah ke tinggi pada kedua jenis kelamin terjadi pada HR, VE, SpO2, paO2, paCO2. Perubahan TD sistolik dan pH hanya berbeda di antara pria, dan perubahan Hb dan A-a O2 hanya berbeda di antara wanita. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara usia dan variabel apa pun yang dinilai. Tiga belas (7 laki-laki dan 6 perempuan) dari 40 peserta mengembangkan AMS (AMS +), dan 27 orang tetap bebas AMS (AMS-). Pada ketinggian tertentu (3480 m), nilai SpO2 87% adalah nilai prediksi terbaik untuk mengidentifikasi kerentanan AMS; 92% subjek AMS (+) memiliki nilai SpO2 di bawah 87%, dan 85% subjek AMS (-) memiliki nilai SpO2 di atas 86%. Perubahan yang berbeda secara signifikan antara subkelompok ini ditemukan untuk HR, TD diastolik, VE, SpO2, CaO2, dan paCO2. Dibandingkan dengan AMS (-), subjek AMS (+) menunjukkan peningkatan HR yang lebih jelas, penurunan BP diastolik, peningkatan VE yang lebih rendah, penurunan SpO2 dan CaO2 yang lebih jelas, dan penurunan nilai paCO2 yang berkurang saat terpapar secara akut ke ketinggian. . Analisis korelasi mengungkapkan hubungan yang signifikan antara perubahan (low vs. high altitude) Hb dan CaO2 (r = 0,9), SpO2 dan CaO2 (r = 0,6), VE dan SpO2 (0,4), VE dan paCO2 (-0,3), SpO2 dan TD sistolik (0,4) dan TD diastolik (0,5), Aa O2 dan paO2 (-0,7), dan paO2 dan paCO2 (-0,4). Analisis regresi logistik multivariat mengungkapkan bahwa perubahan VE yang lebih kecil (OR 1,9; 95% CI 1,1–3,7) dan penurunan SpO2 yang lebih besar (OR 2,5; 95% CI 1,2–5,4) ketika terpapar secara akut ke ketinggian sangat prediktif (90% benar prediksi) untuk pengembangan AMS (Tabel 4). 2.4 Diskusi Penurunan oksigen akan meningkat ventilasi baik dalam volume tidal dan frekuensi. Dengan hiperventilasi, kehilangan berlebih karbon dioksida dari darah menimbulkan pH menjadi alkali, pada gilirannya, mengurangi stimulasi pusat pernapasan menyebabkan penurunan ventilasi dan penyerapan oksigen. Hasil ini umpan balik positif dalam siklus peningkatan dan penurunan respirasi. Pada proses untuk mengadaptasi kondisi yang telah terjadi tubuh berusaha untuk mempertahankan keadaan homeostasis atau keseimbangan untuk memastikan lingkungan operasi yang optimal untuk sistem kimia kompleks. Setiap perubahan dari homeostasis ini adalah perubahan dari lingkungan yang optimal. Tubuh berusaha untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini. Salah satu ketidakseimbangan tersebut adalah efek meningkatkan ketinggian pada kemampuan tubuh untuk memberikan oksigen yang cukup untuk dimanfaatkan dalam respirasi selular. Sistem pernapasan menarik udara awalnya baik melalui mulut atau hidung. Kedua bagian ini bergabung di belakang palatum untuk membentuk faring. Di dasar faring terdapat dua rongga. Kerongkongan menuju ke sistem pencernaan sementara yang lain, glotis, mengarah ke paru-paru. Epiglotis mencakup glottis ketika menelan sehingga makanan tidak masuk paru-paru. Ketika epiglotis tidak menutupi pembukaan ke paru-paru, udara bisa lewat dengan bebas masuk dan keluar dari trakea. Cabang-cabang trakea menjadi dua bronkus yang menuju paru-paru. Setelah di paru-paru bronkus bercabang berkali-kali ke bronkiolus yang lebih kecil yang akhirnya berakhir pada kantung kecil yang disebut alveoli. Di alveoli transfer oksigen ke darah berlangsung. Alveoli yang berbentuk seperti kantung meningkat dan gas pertukaran melalui membran. Bagian oksigen ke dalam darah dan karbon dioksida dari darah tergantung pada tiga faktor utama tekanan parsial gas, area permukaan paru, ketebalan membrane. Membran dalam alveoli memberikan area permukaan besar untuk pertukaran gas bebas. Ketebalan khas dari membran paru kurang dari ketebalan dari sel darah merah. Permukaan paru dan ketebalan selaput alveolar tidak langsung terpengaruh oleh perubahan ketinggian. Tekanan parsial oksigen, bagaimanapun, langsung berhubungan dengan ketinggian dan mempengaruhi transfer gas di alveoli. BAB III PENUTUPAN 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa High Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan gejala otak dan paru yang terjadi pada orang yang mendaki ke ketinggian tanpa menjalani aklimatisasi. Salah satu contoh dari HAI yaitu Acute Mountain Sickness (AMS), Hipoksia paru dan proses inflamasi serta adanya faktor genetik diduga berperan dalam patofisiologi terjadinya high-altitude illness pada manusia. Selama aklimatisasi, ginjal mengekskresikan bikarbonat ke dalam urin yang kemudian diserap dalam darah untuk mempertahankan pH normal pada rendahnya tekanan parsial karbon dioksida yang terjadi 24-48 jam setelah onset dari hiperventilasi. Dengan meningkatnya denyut jantung, oksigen diangkut dari alveoli melalui sistem peredaran darah ke jaringan pada tingkat yang lebih cepat. DAFTAR PUSTAKA Andrew, et al. 2017. Acute high-altitude sickness. Series Sports-Related Lung Disease. Eur Respir Rev 2017; 26: 160096. https://err.ersjournals.com/content/errev/26/143/160096.full.pdf (Dikutip pada tanggal 13 Januari 2021) Ariyanto, Yuri., dkk. 2017. Diagnosa AMS: Sistem Pakar Untuk Pendaki Gunung. Jurnal Simantec. Vol. 6, No. 2. ISSN 2088-2130;e-ISSN 2502-4884. https://journal.trunojoyo.ac.id/simantec/article/download/3706/2710 (Dikutip pada tanggal 13 Januari 2021) Elvira, Dwitya. 2015. High-Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/304/286 (Dikutip pada tanggal 13 Januari 2021) Timothy, et al. 2020. Acute Mountain Sickness. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430716/. (Dikutip pada tanggal 13 Januari 2021)