Laporan Kasus KEHAMILAN POST TERM Oleh: Dani Gemilang Kusuma, S.ked 04084821820113 Regina Astra Kirana, S.ked 04054821820114 Thiarini Rahmawati, S.Ked 04054821820115 M Ikbar Fauzan, S.Ked 04084821921000 Hadia Ubee Sulo F G 04084821921046 Pembimbing: dr. Hj. Fatimah Usman, Sp.OG(K). BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019 i HALAMAN PENGESAHAN Laporan Kasus KEHAMILAN POST TERM Oleh : Dani Gemilang Kusuma, S.ked 04084821820113 Regina Astra Kirana, S.ked 04054821820114 Thiarini Rahmawati, S.Ked 04054821820115 M Ikbar Fauzan, S.Ked 04084821921000 Hadia Ubee Sulo F G 04084821921046 Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohamad Hoesin Palembang Periode 11 Maret 2019 – 20 Mei 2019. Palembang, April 2019 dr.Hj.Fatimah Usman, Sp.OG(K). ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Kehamilan Post Term”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP DR. Moh.Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Fatimah Usman, Sp.OG(K)., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Tak lupa ucapan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca. Palembang, April 2019 Penulis iii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 BAB I LAPORAN KASUS ............................................................................. 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 12 Definisi ................................................................................................. 12 Epidemiologi ........................................................................................ 12 Faktor Resiko ........................................................................................ 12 Patofisiologi .......................................................................................... 13 Diagnosis .............................................................................................. 15 Komplikasi ........................................................................................... 18 Tata Laksana ......................................................................................... 21 BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 30 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34 iv BAB I PENDAHULUAN Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).1 Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan.1 Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan merupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat.1Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen.2 Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6-11 minggu.1 Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim.2 Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu, didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih 1 menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil dilakukan pemantauan kesejahteraan janin.2 2 BAB II STATUS PASIEN 2.1 2.2 Identifikasi Nama : Ny. L Umur : 34 tahun Tanggal lahir : 29 Januari 1985 Alamat : Jl. Sejahtera, Bukit Siguntang, Kota Palembang Suku Bangsa : Sumatera, Indonesia Agama : Islam Pendidikan : SMP Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT) MRS : 14 Maret 2019 pukul 18.00 WIB No. RM : 0000990818 Anamnesis (14 Maret 2019 pukul 19.00) Keluhan Utama Mau melahirkan dengan usia kehamilan lewat waktu Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang ke RSMH Palembang dengan keluhan mau melahirkan dengan usia kehamilan lewat bulan. Riwayat perut mules menjalar ke pinggang disangkal oleh pasien. Riwayat keluar air-air disangkal oleh pasien. Riwayat keluar darah lendir disangkal oleh pasien. Gerakan janin masih dirasakan oleh pasien. Pasien tidak mengalami trauma dalam kehamilannya, pasien juga tidak ada riwayat demam tinggi dan alergi selama hamil, riwayat minum alkohol dan merokok, minum obat-obatan lama disangkal. 3 Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Darah Tinggi : disangkal Riwayat Kencing Manis : disangkal Riwayat Alergi : disangkal Riwayat Operasi : disangkal Penyakit Dalam Keluarga Riwayat Darah Tinggi : disangkal Riwayat Kencing Manis : disangkal Riwayat Pengobatan Riwayat minum jamu dan obat-obatan disangkal Riwayat operasi disangkal Riwayat Pasien: Riwayat Sosial Ekonomi : Menengah ke bawah Status Reproduksi : Menarche usia 13 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lamanya 5-7 hari. HPHT 15 Mei 2018. Riwayat Perkawinan : Sudah menikah, 1 kali, lama 14 tahun. Riwayat Obstetri : 1. 2007, perempuan, 2900 gram, aterm pervaginam spontan, tidak ada penyulit, bidan, sehat 2. 2012, laki-laki, 3000 gram, aterm pervaginam spontan, tidak ada penyulit, bidan, bidan, sehat 3. Hamil ini Riwayat KB : Pasien pernah menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR/IUD) Riwayat ANC Kontrol ke puskesmas 4x selama kehamilan, tidak rutin. 4 2.3 Pemeriksaan Fisik Umum (tanggal 14 Maret 2019 pukul 19.00) Keadaan Umum : tampak sakit sedang Kesadaran : compos mentis Tekanan darah : 120/70 mmHg Nadi : 84 x/m, reguler, isi dan tegangan cukup Laju nafas : 20 x/m, teratur Suhu : 36,70C Berat Badan : 69 kg Tinggi Badan : 150 cm 2.4 Pemeriksaan Spesifik Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra (-), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+). Hidung : Sekret (-), perdarahan (-) Telinga : Liang telinga lapang Mulut : Perdarahan di gusi (-), sianosis sirkumoral (-), mukosa mulut dan bibir kering (-), fisura (-), cheilitis (-). Lidah : Atropi papil (-). Faring/Tonsil : Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-T1, tonsil tidak hiperemis, detritus (-). Kulit : CRT < 3 detik Leher Inspeksi : Tidak ada kelainan Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, JVP (52) cmH2O 5 Thorax Paru Inspeksi : Simetris, retraksi intercostal, subkostal, suprasternal (-) Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru Auskultasi : Vesikuler normal di kedua lapangan paru, ronkhi (-), wheezing (-). Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, tidak ada thrill Perkusi : Jantung dalam batas normal Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-). Abdomen Lihat pemeriksaan obstetrik Ekstremitas Akral hangat (+), edema pretibial (-), varises (-), refleks fisiologis (+)/(+), refleks patologis (-)/(-) 2.5 Status Obstetrik Pemeriksaan Luar Inspeksi : Perut tampak buncit, striae gravidarum (+), linea nigra (+), luka bekas SC (-) Palpasi : Leopold I: TFU 2 jbpx (34 cm), teraba satu bagian besar, lunak, bokong Leopold II: Kanan : teraba bagian keras melebar seperti papan. Kiri : teraba bagian-bagian kecil janin Leopold III: teraba satu bagian besar, bulat, keras, kepala Leopold IV: bagian terbawah janin masih floating (belum masuk PAP) 6 Kesan :Tinggi fundus uteri 2 jari bawah processus xyphoideus (34cm), letak memanjang, punggung kanan, penurunan 5/5, His (-), DJJ 156 x/menit, TBJ 3255 gr, JTH, presentasi kepala Pemeriksaan Genitalia Inspeksi : Vulva : hematoma (-), edema (-), varises (-), hiperemis (-) Uretra : muara (+), hematoma (-), edema (-) Vaginal toucher Portio : Tebal Pendataran : 0% Pembukaan :- Ketuban : belum bisa dinilai Bagian terendah : Kepala 2.6 Penurunan :- Penunjuk : belum bisa dinilai Posisi : Posterior Pemeriksaan Penunjang (14 Maret 2019) Laboratorium Pemeriksaan Hasil Nilai Normal 11,7 g/dl 11,4-15,0 mg/dl RBC 4,38 108/mm3 4,0-5,7 juta/m3 WBC 8,6 103/mm3 4,73-10,89 x 103/m3 35 % 35-45 % Trombosit 230x103/µL 189-436 x 103/m3 Diff. Count Basofil Eosinofil Netrofil Limfosit Monosit 0 1 60 22 5 0-1% 1-6% 50-70% 20-40% 2-8% Hematologi Hb Ht 7 USG (14 Maret 2019) - Tampak JTH presentasi kepala - Biometri : BPD: 10 cm HC :35,1 cm AC : 37,1 cm FL : 7,9 cm - Plasenta di corpus posterior, kalsifikasi plasenta - Cairan ketuban sedikit Kesimpulan: hamil 43 minggu JTH Preskep + oligohidramnion 2.7 Diagnosis Kerja G3P2A0 hamil 43-44 minggu belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala + oligohidramnion 2.8 2.9 Penatalaksanaan - Observasi tanda vital, HIS, DJJ dan tanda inpartu - IVFD RL gtt XX/menit - Rencana terminasi (SC) Prognosis Prognosis Ibu : dubia ad bonam Prognosis Janin : dubia ad bonam 8 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kehamilan Postterm Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). 1 B. Epidemiologi Insidensi kehamilan postterm umumnya dilaporkan sekitar 7% dari semua kehamilan.3 Di Eropa, perkiraan insidensi berkisar dari 0,8% menjadi 8,1%.4 Sekitar 6% dari 4 juta bayi yang lahir di Amerika Serikat selama tahun 2006 diperkirakan telah dilahirkan pada usia kehamilan 42 minggu atau lebih.5 Di Indonesia, sekitar 3,4-14% atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung sampai 42 minggu atau lebih.6 Prevalensi kejadian ini bervariasi tergantung pada beberapa karakteristik populasi, antara lain persentasi primigravida, obesitas, kehamilan postterm sebelumnya, dan predisposisi genetik.3 Penentuan usia kehamilan berdasarkan USG lebih akurat jika dibandingkan dengan HPHT, dan periksaan rutin menggunakan USG secara signifikan dapat menurunkan angka kehamilan postterm.4 C. Faktor Resiko Faktor risiko kehamilan postterm secara umum mencakup primiparitas, riwayat kehamilan postterm sebelumnya, obesitas, faktor hormonal, dan predisposisi genetik.3 Telah diketahui bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) berpengaruh terhadap durasi kehamilan dan waktu persalinan. Wanita obesitas memiliki insidensi lebih tinggi terjadinya kehamilan postterm. Karena jaringan lemak bersifat aktif secara hormonal, dan pada wanita obesitas mengalami perubahan 9 status metabolik, maka memungkinkan jika faktor endrokin yang berperan dalam terjadinya inisiasi persalinan mengalami perubahan pada wanita obesitas.7 Perubahan kadar hormon diketahui memiliki peran dalam terjadinya persalinan spontan dan juga kemungkinan memiliki peranan terhadap kejadian kehamilan postterm. Sebagai contoh defisiensi sulfatase plasenta, merupakan salah satu kelainan X-linkedresesif yang jarang, yang dapat mencegah terjadinya persalinan spontan akibat defek pada aktivitas sulfatase plasenta dan menyebabkan penurunan kadar estriol (E3). Insufisiensi adrenal dan hipoplasia adrenal pada janin, begitu juga dengan anensefali janin (tanpa adanya polihidramnion), walaupun jarang terjadi, tetapi memiliki hubungan dengan terjadinya kehamilan postterm.3 Adanya kelainan janin seperti anensefalus juga dapat menyebabkan kehamilan postterm. Hal ini dapat terjadi karena ketiadaan tulang kranial yang menyebabkan tidak adanya penekanan pada pleksus frankenhauser sehingga tidak adanya rangsangan untuk uterus berkontraksi.3 Faktor genetik juga berperan dalam pemanjangan usia kehamilan, wanita yang lahir dari ibu dengan riwayat kehamilan postterm memiliki risiko lebih tinggi untuk kejadian kehamilan postterm dan wanita dengan riwayat kehamilan postterm pada kehamilan sebelumnya memiliki risiko 27% jika memiliki riwayat postterm 1 kali, dan 39% jika memiliki riwayat postterm 2 kali.8 D. Patogenesis Kehamilan Postterm Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain: 1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya. 2 10 2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya kehamilan postterm.2 3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.2 4. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.2 5. Teori herediter. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2010) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengalami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. 8 Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini menyebabkan 11 tertundanya proses cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan. 9 E. Diagnosis Kehamilan Postterm Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.1 Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin. 1. Riwayat haid Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). 1 Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir.2 Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi 12 yang terlambat.10 Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir.1 Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi.11 Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu.12 4. Riwayat pemeriksaan antenatal Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:13 a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec 5. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT. 13 Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu.12 Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan.2 Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. 12 6. Pemeriksaan cairan amnion a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.2 b. Amnioskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya.2 c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 4565 detik sedangkan pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA 14 <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.2 d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan.2 F. Komplikasi Kehamilan Postterm Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm. 1. Disfungsi plasenta Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut sebagai dismatur.1 Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut:6 a. Penimbunan/deposit kalsium: pada kehamilan postterm terjadi peningkatan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gawat janin bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningatkan 2-4 kali lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai dengan progesivitas degenerasi plasenta. b. Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkn mekanisme transpor plasenta. 15 c. Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili. d. Adanya perubahan biokimiawi (insufisiensi plasenta) menyebabkan protein plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA meningkat. Transpor kalsium tidak terganggu, aliran natrium, kalium, dan glukosa menurun. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi mengalami gangguan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin. 2. Oligohidramnion Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. 1 Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion.14 Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra partum. 2 Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paruparu janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan 16 mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. 1 Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan amnion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. 1 3. Perubahan pada janin Bayi postterm lebih besar dari bayi aterm dan memiliki insiden janin makrosomia yang lebih tinggi (2,5-10% di postterm dibandingkan 0,8-1% pada jangka). Makrosomia janin didefinisikan sebagai berat janin ≥ 4,5 kg, terkait dengan persalinan lama, disproporsi kepala panggul, dan distosia bahu. Distosia bahu dikaitkan dengan risiko cedera ortopedi (misalnya fraktur pada humerus dan klavikula) dan juga cedera syaraf seperti cedera pleksus brakialis dan cerebral palsy.3 Janin pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: 2 Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas. 17 Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat. 4. Komplikasi pada ibu Kehamilan postterm dikaitkan dengan risiko signifikan terhadap ibu.Terdapat peningkatan risiko: 1) distosia persalinan (9-12% dibandingkan 2-7% pada aterm); 2) laserasi perineum yang beratterkait dengan makrosomia (3,3% dibandingkan 2,6% pada aterm); 3) peningkatan seksio sesaria (14% dibandingkan 7% aterm). Persalinan sesar dikaitkan dengan peningkatan risiko endometritis dan perdarahan.Morbiditas ibu juga meningkat pada kehamilan setelah 42 minggu. Komplikasi seperti korioamnionitis, laserasi perineum yang parah, persalinan sesar, perdarahan postpartum, dan endomiometritis meningkat progresif setelah 39 minggu kehamilan.8 G. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.2 1. Pemantauan kesejahteraan janin Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini 18 memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (nonstress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil biofisiknya.1 a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST) Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipengaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan.1 Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. 1 b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing) Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan 19 kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk.1 Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. 1 c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements) Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus.1 Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. 1 20 Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ketiga. 1 d. Pemeriksaan volume cairan amnion Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. 14 Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. 1 Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.1 21 Gambar 1. Amniotic Fluid Index 1 Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraannya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10. Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik 1 Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan. 22 Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik 1 2. Induksi persalinan Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998.15 Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.15 Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi 23 serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin. Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. 1 Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).1 Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan dalam bidang obstetri.14Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.00020.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL.1 Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi. 24 Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. 1 Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih (200 Montevidio).1 3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. 15 Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor 25 APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium.1 Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion.1 Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal yang memadai. Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm mencakup:2 a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat. b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan. c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas 26 BAB IV ANALISIS KASUS Pasien wanita usia 34 tahun masuk ke poli RSMH dengan diagnosa G3P2A0 hamil 43-44 minggu belum inpartu JTH Preskep + oligohidramnion. Berdasarkan anamnesa, HPHT pasien adalah tanggal 15 Mei 2018 dengan siklus haid teratur tiap 28 hari. Dilakukan pemeriksaan USG pada tanggal 14 Maret 2019 dengan hasil Tampak JTH presentasi kepala Biometri : BPD: 10 cm; AC: 37,1 cm; HC:35,1 cm; FL: 7,9 cm, plasenta di corpus posterior, kalsifikasi plasenta, cairan ketuban sedikit. Sehingga disimpulkan pasien hamil 43 minggu JTH Preskep + oligohidramnion. Kemudian direncanakan terminasi kehamilan yaitu sectio caesarea. Pada kasus ini, penegakkan diagnosa kehamilan postterm didasarkan kepada penghitungan usia kehamilan berdasarkan HPHT. Usia kehamilan pasien menurut HPHT adalah 43-44 minggu. Usia tersebut sudah termasuk ke dalam definisi kehamilan postterm yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir/HPHT. (Cunningham, et al., 2010) Mochtar, et al (2004) menyatakan bahwa riwayat HPHT yang dapat dipercaya untuk menentukan usia kehamilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu; ibu yakin betul dengan HPHT-nya, siklus haid 28 hari dan teratur, serta pasien tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. Pada kasus ini, jika didasarkan kepada kriteria HPHT yang dapat dipercaya, diagnosa kehamilan postterm sudah bisa ditegakkan. Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik plasenta, air ketuban, maupun janin yang akan mempengaruhi kesejahteraan janin intrauterin. Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. 27 Selain itu, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh akibat pelepasan vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid yang dikenal dengan sebutan perwarnaan mekonium (mekonium staining). (Cunningham, et al., 2010) Menurut Mochtar, et al (2004), tidak seluruh bayi yang dilahirkan dari kehamilan postterm menunjukkan tanda-tanda postmaturitas sebab hal tersebut tergantung pada fungsi plasenta. Pada kehamilan postterm, umumnya hanya didapatkan sekitar 12-20% neonatus dengan tanda postmaturitas. (Mochtar, et al., 2004) Menurut (Cunningham, et al., 2010), meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataannya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Kesalahan dalam perkiraan usia kehamilan biasanya diakibatkan karena ibu lupa/tidak yakin dengan HPHT-nya, siklus haid yang tidak teratur, atau akibat ovulasi yang terlambat. (Savitz, et al., 2002) Pada kasus ini, selain dari HPHT, informasi mengenai usia kehamilan sebenarnya juga bisa didapatkan dari hasil pemeriksaan USG. Namun demikian, sayangnya pasien baru melakukan pemeriksaan USG untuk pertama kali setelah kehamilan memasuki usia trimester III sehingga akurasi usia kehamilan yang didapatkan tidak setinggi apabila seandainya USG dilakukan pada trimester I atau II. Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan 28 melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010) Namun pemeriksaan ini tidak pernah dilakukan. Permasalahan lainnya adalah mengenai diagnosa dan penatalaksanaan komplikasi kehamilan yang terjadi pada kasus ini, yaitu oligohidramnion. Setelah didiagnosa dengan kehamilan postterm, keesokan harinya dilakukan pemeriksaan USG dan terdapat oligohidramnion dan kalsifikasi plasenta sehingga direncanakan untuk terminasi kehamilan dengan sectio caesarea. Penanganan kehamilan postterm sampai saat ini masih menjadi kontroversi antara sikap ekspektatif atau aktif. Penanganan secara ekspektatif biasanya dilakukan dengan pengawasan ketat terhadap kesejahteraan janin intrauterin menggunakan penentuan profil biofisik. Menurut Cunningham, et al (2010), skor profil biofisik 10 memiliki interpretasi bahwa janin dalam keadaan normal tanpa asfiksia. (Cunningham, et al., 2010) Berbeda dengan sifat penanganan ekspektatif, pada penanganan aktif dilakukan terminasi kehamilan. Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. (Heimstad, 2007) Tindakan operasi sectio caesarea dapat dipertimbangkan pada insufiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang, pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama, terjadi tanda gawat janin, primigravida tua, kematian dalam kandungan, preeklamsi, hipertensi, infertilitas dan kesalahan letak janin (Taufan, 2012). Pada kasus ini direncanakan untuk dilakukan terminasi kehamilan berupa sectio caesarea karena adanya oligohidramnion. 29 DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII, Chapter 37. 2. Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. [penyunt.] R. Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal. 384-391. 3. Galal, M., et al. 2012. Postterm Pregnancy. FVV in Obgyn. Volume 4 Nomor 3. Pp:175-187. 4. Mandruzzato G., et al. 2010. Guidelines for the Management of Postterm Pregnancy. J. Perinal. Med. Volume 38. Pp: 111-119 5. Martin, J.A., et al. 2009. Births: Final Data for 2006. Nasional Center for Health Statistics. Volume 57 Nomor 1. 6. Mochtar, A.B., Kristanto, H. 2010. Kehamilan Postterm. Dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi 4. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 7. Baranova, A., et al. 2006. Gene Expression of leptin, Resistin, and Adiponectin in the White Adipose Tissue of Obese Patients with NonAlcoholic Fatty Liver Disease and insulin Resistance. Obes Surg. Volume 16. Pp: 1118-1125. 8. Kistka, Z.A., et al. 2010. Risk of Postterm Delivery after Previous Postterm Delivery. Am J Obstet Gynecol. Volume 196 Nomor 3. Pp: 214e1-214e6. 9. Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically mediated? American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol. 202, 3, hal. 268. 10. Savitz, DA, et al. 2002. Comparison of pregnancy dating by last menstrual period, ultrasound scanning, and their combination. Am J Obstet Gynecol. Desember 2002, Vol. 187, 6, hal. 1660-1666. 11. Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester ultrasound screening is effective in reducing postterm labor induction rates: A 30 randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 107781. 12. Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and third trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10. 13. Pernoll, M L dan Roman, A S. 2007. Late Pregnancy Complication. [penyunt.] A H DeCherney, et al. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2007, Chapter 15. 14. Oz, AU, et al. 2002. Renal Artery Doppler Investigation of the Etiology of Oligohydramnios in Postterm Pregnancy. Am J Obstet Gynecol. October 2002, Vol. 100, hal. 715-8. 15. Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine Norwegian University of Science and Technology, 2007. 31