Perekonomian Indonesia Pandemi Covid-19 hingga saat ini masih terus menggempur berbagai sektor di dunia, terutama sektor ekonomi. Dampak yang dirasakan pada perekonomian tampak menyeluruh. Penyebaran virus Corona yang telah meluas ke berbagai belahan dunia membawa dampak pada perekonomian dunia baik dari sisi perdagangan, investasi dan pariwisata. The Economist Intelligence Unit (EIU) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2020. Rata-rata ekspektasi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini jatuh dari 2,3% ke minus 2,5% di tengah pandemi virus corona. Pertumbuhan negatif dunia ini juga disebabkan oleh merosotnya penawaran dan permintaan. Imbas dari penyakit, karantina masal, dan sentimen negatif konsumsi akan menekan permintaan sehingga penghentian produksi pun tak dapat dihindari. Ini mengakibatkan terganggunya rantai pasokan. Dampak dari pandemi Covid-19 ini tentu akan memberi dampak juga pada struktur ekonomi dunia. Perubahan struktural ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti pembangunan ekonomi, pergeseran global dalam modal dan tenaga kerja, perubahan ketersediaan sumber daya karena perang atau bencana alam atau penemuan atau menipisnya sumber daya alam, atau perubahan dalam sistem politik. Saat ini, pergeseran besar terjadi pada pasar saham, terkait dengan aksi jual dan beli saham peruahaan. Hal ini bukan tidak mungkin bisa mempengaruhi investasi hingga rekening individu. FTSE, Dow Jones Industrial Average serta Nikkei seperti dilansir BBC, ke semuanya saham terlihat mengalami kejatuhan dalam sejak dimulainya wabah corona, 31 Desember lalu. Investor mengkhawatirkan penyebaran virus corona yang terus bergerak secara masif akan menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan tindakan pemerintah mungkin tidak cukup untuk menghentikan penurunan. Kemudian, Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO) mengumumkan pada Rabu 18 Maret 2020, bahwa setidaknya 24 juta orang di dunia terancam kehilangan pekerjaan akibat pandemi Virus Corona COVID-19 ini. ILO telah melakukan beberapa skenario berbeda untuk melihat dampak COVID-19 terhadap pertumbuhan GDP secara global. Hasilnya, angka pengangguran secara global dilaporkan dapat meningkat sebanyak 5,3 juta berdasarkan skenario "rendah” dan 24,3 juta berdasarkan skenario "tinggi”, kata Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO) dalam laporannya. Presiden Kelompok Bank Dunia (World Bank) David Malpass mengatakan kondisi darurat kesehatan dunia akan menyebabkan ‘resesi global yang besar’. Resesi ekonomi terutama akan menghantam negara-negara miskin dan negara yang ekonominya rentan. Tak hanya itu, Dana Moneter Internasional (IMF) menggambarkan krisise konomi yang terjadi akibat dampak pandemi Covid-19 tidak akan seperti ‘krisis seperti pada umumnya’. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut, merebaknya Covid-19 di banyak negara membuat ekonomi dunia kini memasuki resesi. Lembaga keuangan global itu meminta dunia bersatu menghadapi pandemi. Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF mengatakan, lamanya resesi ekonomi sangat tergantung semua negara dalam menyelesaikan wabah corona. Dengan berbagai permasalahan yang terjadi, mulai timbul pertanyaan dan persoalan, apakah kita harus mengharapkan perubahan ekonomi struktural sebagai hasil dari pandemi ini. Munculnya berbagai tekanan global, salah satunya adalah Covid-19 mendorong negara-negara G20 untuk meningkatkan kerja sama dengan mempererat kerja sama internasional. Negara-negara G20 juga sepakat memperkuat pemantauan terhadap risiko global khususnya yang berasal dari Covid-19, serta meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai potensi risiko dan sepakat untuk mengimplementasikan kebijakan yang efektif baik dari sisi moneter, fiskal, maupun struktural. Dampak penularan virus ini menyebabkan banyak Negara membuat kebijakan baru yaitu pembatasan arus lalu lintas orang yang masuk ke berbagai Negara. Ini berakibat pada menurunnya sektor pariwisata mancanegara. Dampak berikutnya terjadi secara makro pada lalu lintas barang di pasar internasional karena virus diduga dapat menyebar melalui barangbarang yang diperdagangkan. Terjadi pergeseran sisi permintaan agregat yang menurunkan keseimbangan makro di pasar internasional. Pasar modal dan turunannya akan menerima imbas seperti menurunnya indeks saham dipasar bursa. Oleh karena itu, kejutan eksternal karena virus corona akan memberikan pengaruh menurunnya sektor kepariwisataan, kemudian terjadinya ketidakseimbangan makro seperti menurunnya ekspor dan impor. Menurunnya pengurangan ekspor sebagai salah satu bentuk penerimaan dalam negeri akan mengalami gangguan yang berakibat pada terganggunya produktivitas secara nasional. Di Indonesia yang menjadi korban utama dalam krisis ini adalah perekonomian riil atau perekonomian rakyat sehari-hari. Dalam kategorisasi sektor, yang paling terdampak kuat adalah sektor UMKM. Memang terdapat juga dampak yang kuat juga pada sektor pariwisata perhotelan transportasi dan sektor lainnya, namun hal tersebut juga berdampak pada sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kebanyakan menderita sangat berat. Menurut Andi Rahmat yaitu mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI beranggapan bahwa inilah saat yang tepat untuk mereposisi struktur perekonomian nasional dan mendorong keseimbangan baru di mana peran perekonomian UMKM menjadi lebih kuat. Sektor sektor produktif ekonomi rakyat kebanyakan itu yang harus diperkuat. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia cukup terhantam keras dengan penyebaran virus Corona. Tidak hanya kesehatan manusia, virus ini juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut BI, OJK, LPS, dan KSSK memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk, bisa mencapai negatif 0,4 persen. Kondisi ini akan berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan 3,2 persen hingga 1,2 persen. Lebih dari itu, investasi pun akan merosot tajam. Sebelumnya, pemerintah cukup optimistis bahwa investasi akan tumbuh enam persen. Namun, dengan adanya COVID-19, diprediksi investasi akan merosot ke level satu persen atau terburuk bisa mencapai minus empat persen. Sri Mulyani mengatakan, sektor rumah tangga merupakan bagian perekonomian yang paling terkena dampak pandemi corona. Ini karena dari sisi konsumsi mereka tidak melakukan aktivitas ekonomi. Selain sektor rumah tangga, Sri Mulyani juga menyebut, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga merupakan sektor yang terpukul. Tak hanya itu, korporasi juga akan mengalami tekanan dari sisi rantai pasokan dan perdagangan. Hal ini kemudian akan merembet ke sektor keuangan. Selanjutnya, konsumsi swasta diperkirakan menurun pada 2020 dalam kisaran 4,65,0%. Kekhawatiran terhadap Covid-19, himbauan pemerintah untuk mengurangi mobilitas, dan penurunan keyakinan pertumbuhan ekonomi ke depan mempengaruhi pola perilaku konsumsi masyarakat. Masyarakat cenderung meningkatkan konsumsi kebutuhan pokok (basic need) dan menunda konsumsi lainnya. Konsumsi seperti pakaian, transportasi, perlengkapan rumah tangga, dan leisure diperkirakan berdampak negatif. Sementara itu, konsumsi barang kebutuhan pokok, terutama sembako, diprakirakan tetap terjaga di tengah kekhawatiran merebaknya Covid-19. Meskipun pertumbuhan sedikit tertahan, pertumbuhan konsumsi cukup resilien. Konsumsi pemerintah diperkirakan tetap tumbuh positif dengan kualitas belanja yang lebih baik di tengah penerimaan pemerintah yang diperkirakan melambat. Konsumsi pemerintah pada 2020 diperkirakan tumbuh pada kisaran 2,1-2,5%, dengan kebijakan fiskal akan lebih diarahkan untuk akselerasi daya saing melalui inovasi dan penguatan kualitas sumber daya manusia.