TELAAH KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN ANTHONY GIDDENS DALAM THE RUNAWAY WORLD1 Momon Sudarma I. PENDAHULUAN Anthony Giddens, bagi sebagian kalangan, diposisikan sebagai salah satu pemikir ilmu sosial yang handal, bahkan dapat dikategorikan pemikir teoretik untuk The Grand Theory, yang setaraf dengan –menurut pandangan Richard Bernstein-- pemikir Parsons dan Habermas di zamannya2. Bahkan bisa dikatakan, Giddens adalah pakar yang kaya dengan pelbagai keahlian. Ia seorang ilmuwan ilmu-ilmu sosial kelas dunia, administrator yang sukses, seorang entrepreneur, dan seorang yang mempunyai wawasan dan kemampuan politik dan komunikasi yang mengagumkan. Di atas itu semua, seperti dikatakan Ulrich Beck (rekan sepemikirannya di Jerman), Giddens adalah seorang sosiolog kelas wahid dari zaman ini. Dengan munculnya pemikiran segar dan orisinal dari “Jalan Ketiga” (Third Way) Giddens, Wibowo menyebutnya tengah terjadi sebuah “gempa” pemikiran dan praktis politik.3. Melalui adanya sejumlah pujian atau apresiasi yang tinggi terhadap pemikiran Giddens dari pengamat, pengagum atau akademisi tersebut di atas, menimbulkan adanya kepenasaran intelektual dari kalangan ilmuwan sosial lainnya, termasuk intelektual muda (calon ilmuwan). II. DESKRIPSI POKOK PIKIRAN GIDDENS Buku ‘Runaway World”, awalnya adalah kuliah plihan BBC (BBC Reith Lectures) untuk tahun 1999 yang disiarkan program Radio 4 dan World Service BBC. Kuliah itu dilakukannya sebagai momentum pengangkatan dirinya sebagai dosen pilihan BBC. Runaway World, adalah sebuah buku kecil yang terdiri dari 82 halaman tulisan inti (5 bab), xvii halaman berisii prakata dan pendahuluan, 12 halaman referensi yang dianjurkan Giddens untuk dikaji lebih lanjut oleh pembaca, serta 4 halaman lainnya berisi kelengkapan sebuah buku. Dalam uraian sebanyak lima bab itulah, Giddens meyakinkan pendengar (saat itu) dan pembaca (saat ini) tentang dunia yang lepas kendali akibat adanya pengaruh globalisasi. Secara lebih rinci, dapat dirumuskan pemikirannya sebagai berikut. 1 2 3 Naskah ini, merupakan perbaikan dari draft diskusi kelompok tahun 2003. Pada mulanya naskah ini, merupakan hasil kajian kelompok BKU Sosiologi-Antropologi untuk dijadikan bahan diskusi kelas. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala masukan dan pemikiran kritisnya, seluruh rekan-rekan di BKU Sosiologi-Antropologi, Administrasi dan Psikologi. Lihat Anthony Giddens. The Constitution of Society : Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Penerjemah Adi Loka Sujono. Yogyakarta : Pedati.2003. Lihat I. Wibowo. “Kata Pengantar” dalam Anthony Giddens. The Third Way : Jalan Ketiga. Pembaharuan Demokrasi Sosial. (Penerjemah Ketut Arya Mahardika). Jakarta : Gramedia. 2002. 31 I Di antara kita, apapun profesi dan di manapun tempat kita berada, kerap kali menggunakan konsep globalisasi, kendatipun mungkin tidak memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan konsep globalisasi tersebut. Namun, pengaruhnya dapat dirasakan sampai sebuah desa di Afrika Selatan. Popularitas ide globalisasi, berkaitan erat dengan tesis “kita semua sekarang hidup dalam satu dunia” (semacam global village ala McLuhan). Terhadap tesis itu, ternyata masih menyimpan sebuah keraguan yang mendasar, khususnya yang berkaitan dengan mekanisme bagaimana sistem kehidupan seperti itu bisa terbangun, dan apakah pemikiran seperti itu adalah sesuatu hal yang valid? Terdapat sejumlah pemikir yang secara tegas berlawanan dalam mengapresiasi gejala globalisasi ini. Pertama, kaum skeptis. Kelompok ini berpandangan bahwa globalisasi adalah omong kosong. Fenomena yang terjadi adalah biasa-biasa saja. Dunia hari ini, adalah kelanjutan dari era sebelumnya. Konsentrasi perkembangan ekonomi ada pada wilayah regional, bukan pada tingkat global. Kelompok ini, dapat dikelompokkan sebagai kelompok kiri lama. Kedua, kaum radikal. Kelompok ini memandang bahwa globalisasi adalah sesuatu hal yang riil dan mempengaruh seluruh dimensi kehidupan manusia. Banyak bangsa dan negara yang kehilangan batas geografis, dan batas kedaulatannya. Kaum radikal dapat dikategorikan sebagai kelompok kanan. Dengan memahami polarisasi apresiasi terhadap gejala globalisasi ini, Giddens mengatakan globalisasi ini, bukan hanya nyata, tetapi juga sangat revolusioner (5) dalam berbagai dimensi kehidupan. Oleh karena itu keliru, jika menganggap bahwa globalisasi hanya berkaitan erat dengan sistem-sistem yang besar. Globalisasi, pun mempengaruhi tatanan mikro kehidupan manusia, misalnya saja ‘keluarga’. Demikianlah globalisasi sebagai sebuah rangkaian proses yang kompleks, dan semuanya berlangsung dalam wujud yang kontradiktif. Nilai-nilai kontradiksi itu, di antaranya dapat dilihat dalam sejumlah gejala sosial saat ini. Pertama, globalisasi tidak hanya membangun tatanan baru global, tetapi juga adanya tekanan baru bagi pengembangan otonomi lokal. Kedua, membangun budaya baru global, tetapi juga merangsang menggeliatnya budaya atau nasionalisme lokal (ethno-nasionalism). Ketiga, mengarah pada tatanan ekonomi multinasional, tetapi juga membangun zona ekonomi regional dan lokal, seperti yang dilakukan regio Hongkong-Italia dan Lembah Silikon California. Perubahan-perubahan semacam itu, terjadi akibat adanya berbagai faktor, baik struktural maupun kultural, khususnya nilai historik (9). Sudah barang tentu, dampak globalisasi, tidak bersifat linear. Satu sisi ada yang diuntungkan, dan di sisi lainnya ada yang dirugikan. Merebaknya perusahan multinasional dari Amerika Serikat, kian memperkuat sinyalemen adanya westernisasi terhadap dunia ketiga, dengan kedok globalsiasi. Oleh karena itu, 32 alih-alih dapat membangun desa global (global village), yang terjadi malahan global pillage (penjarahan global). Seiring dengan itu, krisis lingkungan, kesenjangan antarnegara, kian tampak. Hal demikian, disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan pengaruh antara negara maju dengan negara miskin (11-12). Oleh karena itu, solusi pemikiran terhadap perdebatan dan kontradiksi apresiasi dan dampak dari globalisasi tersebut, membutuhkan adanya pemahamanpemahaman baru tentang negara-bangsa untuk saat ini. Giddens mengajak untuk membangun masyarakat kosmopolitan global (global cosmopolitan society). Pemikiran ini, dilandasi oleh adanya ‘lembaga-lembaga kulit luar’ (institusi sosial yang ada) tidak relevan lagi dengan konteks perkembangan dan perubahan zaman (tanda-tanda zaman). Masyarakat dunia, perlu merekonstruksi lembagalembaga yang ada, dan (kalau dipandang perlu) membangun lembaga yang baru (15). II Perubahan kualitas lingkungan terjadi hampir setiap penjuru dunia. Kenaikan suhu permukaan bumi, menjadi salah satu perhatian kengerian masyarakat dunia. Perubahan lingkungan ini, mungkin disebabkan oleh ulah manusia, mungkin pula ada gejala yang lainnya. Kendatipun demikian, itu semua akan membawa risiko bagi kehidupan manusia. Gagasan tentang risiko, ada kaitannya dengan konsep lainnya, yaitu probabilitas dan ketidakpastian. Konsep risiko tidak sama dengan ancaman atau bahaya, sebab sebuah risiko memiliki nilai kemungkinan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang berani mengambil resiko, jika tingkat kepastiannya mencapai 100 %. Dalam pandangan Giddens, budaya tradisional tidak memiliki konsep risiko. Konsep takdir, nasib, pasrah, keberuntungan merupakan nilai-nilai tradisional yang masih tumbuh di zaman modern ini, namun kerap menjadi ‘tahayul’, yang digunakan orang dengan malu-malu (19). Konsep risiko (dengan aspek negatif dan positif), muncul di awal masyarakat industri modern, yang ingin menentukan masa depannya sendiri ketimbang menyerahkan kepada agama, tradisi atau perlakuan alam. Dalam perkembanganya, Giddens menyebut ada dua jenis risiko, yaitu risiko eksternal dan risiko buatan (manufactured risk). Risiko eksternal, disebabkan oleh adanya faktor luar, misalnya alam atau tradisi. Sedangkan, risiko buatan yaitu yang tercipta sebagai dampak perkembangan pengetahuan kita tentang dunia. Misalnya polusi udara, polusi air, polusi suara, dan segala macam polusi plus bahaya nuklir. Ide tentang back to nature, pengembangan prinsip pencegahan dan mengembangkan nilai-nilai tanggung jawab sosial, belum dapat menyelesaikan masalah risiko buatan. Kita tidak mungkin mengambil sikap yang negatif terhadap risiko4. Risiko selalu perlu dikendalikan, namun aktif mengabil 4 Giddens memang membayangkan empat macam reaksi terhadap risiko buatan. (1) pragmatic acceptance. Tekanan sikap ini adalah survival. Kebanyakan hal yang terjadi berada di luar kontrol individu. Jadi lebih 33 unsur pokok perekonomian yang dinamis dan masyarakat yang inovatif (32). Keberanian untuk mengembangkan kemampuan manajemen risiko itulah yang akan menjadi penyelesaian masalah kehidupan modern saat ini. III Tradisi dan adat istiadat – keduanya telah menjadi bagian penting kehidupan sebagian besar orang hampir sepanjang sejarah umat manusia. Nilai-nilai yang kita anggap tradisional, pada dasarnya merupakan sebuah produk dari maksimal dua abad sebelumnya (34); dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tradisi sebagai produk dari modernitas itu sendiri (36). Namun demikian, para akademisi jarang mau memperhatikan masalah tradisi dengan saksama. Bahkan ada anggapan, bahwa tradisi merupakan sisi gelap modernitas dan gagasan yang tidak masuk akal (36). Dalam pandangan Giddens, tradisi adalah sesuatu yang diciptakan, dan tidak terlepas dari adanya kepentingan kekuasaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Tidak ada masyarakat yang sepenuhnya tradisional. Hanya sebuah mitos yang menganggap, bahwa tradisi tahan terhadap perubahan, bahkan dapat dikatakan bahwa tradisi itu diciptakan dan diciptakan kembali. Kendatipun tidak menutup kemungkinan adanya nilai-nilai dasar yang tetap dipertahankan. Secara prinsipil, kesinambungan apapun yang ada dalam doktrin itu akan tetap diiringi oleh adanya perubahan, bahkan perubahan revolusioner dalam penafsiran dan pengamalannya. Pada sisi yang lainnya, simbol tradisional juga tidak mesti terjadi sejak asali. Simbol-simbol tradisi dapat dikembangkan dan berkembang sesuai dengan perkembangannya, misalnya saja pidato kenegaraan, ternyata telah menjadi sebuah tradisi. Oleh karena itu, kemampuan bertahan lama, bukanlah sebuah ciri tradisi. Menurut Giddens, ada lima unsur yang perlu diperhatikan dalam tradisi. (1) memori, seperti halnya tradisimerupakan pengoraginsasian masa lalu dalam hubungannya dengan masa kini. Dalam hal itu, tradisi dapat dikatakan sebagai sebuah medium pengorganisasian memori kolektif. (2) tradisi selalu melibatkan tindakan ritual; dan tindakan ritual itu menjamin terpeliharanya tradisi. (3) tradisi mengandung “formulaic truth”, di mana hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai akses dalam truth itu. Biasanya adalah guardians. Dalam tardisi, hampir tidak ada ruang untuk tidak setuju atau berbeda. (4) guardians mempunyai peran dalam memelihara tradisi. Guardians mempunyai otoritas dan lebih ditonjolkan adalah sisi status mereka, bukan kompetensinya seperti expertise dalam masyarakat modern. (5) semua mbaik memusatkan perhatian pada apa yang sedang dikerjakan; (2) suitained optimism. Sebagai kelanjutan ide Aufklarung, sikap ini percaya bahwa pasti ada solusi social dan teknologis untuk semua persoalan; (3) cynical pessimism. Sikap ini ragu-ragu terhadap masa depan (pesimis) sambil berupaya menetralisasi emosi-emosi negatif yang mungkin muncul (sinis); (4) radikacl engagement. Sikap ini sadar bahwa hidup manusia dikepung oleh persoalan-persoalan besar. Kendati demikian, orang tetap dapat dan hendaknya berbuat sesuatu untuk mengurangi atau mentransendensaikan konsekuensi dari bahayabahaya yang dihadapinya. Bdk. Anthony Giddens, The Consequences of Modernity. Stanford, CA: Stanford University Press, 1993, pp.134-137 34 tradisi mengandung atau mempunyai nilai-nilai moral dan norma-norma yang mengikat anggotanya. Nilai-nilai dan norma-norma itu, biasanya ditentukan oleh guardians yang menawarkan dan memberikan kenyamanan ontologis bagi para anggotanya. Abad pencerahan, sangat berkeinginan untuk menghancurkan otoritas tradisi, baik itu melalui penghapusan lembaga maupun nilai kulturalnya sehingga masyarakat mengalami detradisionalisasi. Kalangan modern, menganggap bahwa tradisi merupakan akar masalah dari gerakan konservatisme. Namun demikian, dengan adanya globalisasi dan modernisasi, ternyata tidak melenyapkan nilai tradisi, dan malahan membangkitkan kegairahan nilai-nilai tradisi di era modern dan global. Sebagian masyarakat dunia, menganggap bahwa nilai tradisional dapat mengisi ruang-kosong akibat adanya modernsiasi saat ini. Oleh karena itu, menurut Giddens, sangat rasional jika kita mengakui bahwa tradisi dibutuhkan dalam masyarakat, karena dapat membangun kesinambungan dan memberi bentuk pada kehidupan (42). Dialektika dan konfrontasi antara tradisi dan modernitas, fundamentalisme dan kosmopolitan, kebebasan dan otonomi, perlu diselesaikan dengan pendekatan terbuka dan dialogis yang dipandu dengan nilai-nilai universal. Kita semua membutuhkan adanya komitmen moral, di atas percekcokan dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya komitmen moral itu, ditekankan kembali oleh Giddens dengan kalimat “tidak seorang pun dari kita dapat menemukan makna dalam hidupnya, jika tidak mempunyai sesuatu yang bernilai untuk diperjuangkan mati-matian” (48). IV Kebanyakkan dari kita, acapkali mampu melepaskan diri dari persoalan yang lebih besar, namun mengalami kesulitan melepaskan diri dari pusaran perubahan yang merambah hingga ke pusat kehidupan emosi kita. Dalam konteks itulah, globalisasi telah mempengaruhi perilaku manusia untuk segera melakukan pewacanaan tentang kesetaraan seksual, regulasi seksualitas dan masa depan keluarga (50). Terhadap gejala semacam itu, ada perbedaan reaksi dari masyarakat atau negara. Misalnya saja di China, negara mempertimbangkan tentang pentingnya mempersulit perceraian. Di negara tersebut, memang tingkat perceraian masih rendah, namun trend-nya sedang mulai meningkat. Di daerah perkotaan, bukan hanya tingkat perceraian, masalah kumpul kebo pun meningkat. Sementara itu, di daerah perdesaan, masih ada keluarga tradisional. Giddens mengatakan bahwa keluarga tradisional memiliki ciri yang khas. Pertama, keluarga sebagai unit ekonomi. Kedua, Ketidaksetaraan antara laki dengan perempuan. Ketiga, perempuan dan anak-anak kehilangan sejumlah hak-haknya. Keempat, masalah seksualitas sangat ditentukan oleh reproduksi. Mengenai hal-hal yang bersifat mendetail, akan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. (56). 35 Selain itu, ada standar ganda tentang seksualitas ini. Avonturisme laki-laki (James Bond) dianggap sebagai seorang heroisme dalam bidang seksual, sedangkan avonturisme seksual dari perempuan menjadi citra negatif. Termasuk dalam masalah homoseksual. Pembelaan terhadap keluarga tradisional, bagi Giddens merupakan era transisi dalam perkembangan keluarga tahun 1950-an. Pendukungnya, waktu itu perempuan belum banyak berkiprah di luar sektor domestik. Namun, perkembangan berikutnya, bentuk keluarga ini terus berkembang. Perkawinan (lembaga perkawinan) saat ini telah menjadi shell institution (lembaga kulit luar). Namun sebagian besar telah berubah dengan munculnya pasangan (couple) dan hidup berpasangan (coupiedom). Pasangan, dicontohkan dengan lembaga perkawinan, hidup berpasangan tidak mesti adanya lembaga perkawinan, keduanya merupakan bentuk dari keluarga. Perkawinan di masa lalu, tidak dibentuk oleh adanya keintiman (komunikasi emosional), kadantg-kadang ada yang bersifat paksaan. Ada tiga wilayah komunikasi emosional ini, yaitu hubungan seksual dan cinta, hubungan orangtua-anak, dan juga dalam persahabatan. Untuk menganalisis masalah tersebut, Giddens menggunakan konsep ‘pure relationship’ (hubungan murni), yaitu hubungan yang dilandaskan pada komunikasi emosional sebagai dasar utama keberlangsungan hubungan tersebut. Hubungan itu, tergantung pada proses kepercayaan aktif (active trust), atau membuka diri pada orang lain (60). Keterbukaan, jiwa terbuka, dialog terbuka, kesetaraan, persamaan hak, dan rasa saling menghormati, merupakan contoh lain sifat-sifat keluarga demokratis. Untuk menegaskan pendiriannya itu, Giddens dengan tegas mengatakan demokrasi emosi sama pentingnya dengan demokrasi publik dalam meningkatkan kualitas hidup kita (61). Dalam keluarga yang demokratis, kewenangan orangtua harus didasari oleh perjanjanjian yang implisit. Oleh karena itu, kita perlu memosisikan homoseksual dan gay sebagai salah satu bentuk keluarga yang didasari oleh demokrasi emosi atau komunikasi emosi. Demokrasi emosi, merupakan landasan untuk membangun pijakan yang berbeda dalam mendudukkan persoalan. Dengan demokrasi emosi, tidak memestikan lemahnya disiplin atau hilangnya rasa hormat, atau melelehnya kewajiban keluarga. Justru dengan demokrasi ini, setiap individu harus menerima hak dan kewajibannya yang diatur oleh hukum. Dengan paparan tersebut, dengan tegas Giddens mengatakan bahwa yang mengkhawatirkan itu bukanlah merosotnya keluarga tradisional, namun bertahannya keluarga tradisional. Karena hal demikian akan menghambat proses demokratisasi (64), dan implikasinya akan menghambat adanya kesetaraan seksual dan menghambat kebahagiaan. V Kendatipun belum ada definisi atau batasan yang jelas, barangkali gagasan tentang demokrasi merupakan satu tema pembicaraan yang paling 36 menggairahkan di abad ke – 20 ini. Hampir setiap orang, ingin menyebutnya sebagai negara demokrasi. Oleh karena itu, gejala sosial yang lahir adalah adanya fenomena keanekaragaman budaya demokrasi di berbagai belahan bumi. Di Barat, demokrasi berkembang sepenuhnya baru pada abad ke-20. Kemudian, beberapa dekade berikutnya, terjadi gelombang demokratisasi yang pesat di berbagai negara di dunia. Di balik itu semua, muncul pula adanya gejala paradok demokrasi (71), hal itu akibat adanya kekecewaan sekelompok orang terhadap proses demokratisasi. Di Barat, tengah terjadi kemerosotan kepercayaan kepada para politisi. Politisi saat ini, kerap kali hanya menggunakan kekuasaan yang keras (hard power) dan mekanisme top-down. Oleh karena itu, perlu ada upaya lain, dalam memperbaiki kondisi tersebut. Giddens menyebutnya dengan ‘perlunya pendalaman demokrasi (a deepening of democracy) atau demokratisasi atas demokrasi (democtratising democracy) (74). Demokratisasi atas demokrasi, dilakukan dengan cara berbeda antarnegara. Implementasi pemikiran ini, ditandai dengan (a) adanya pelimpahan kewenangan di tingkat pusat; (b) adanya reformasi konstitusional, dan (c) keterbukaan. Selain itu, para politisi harus membangun kerjasama dengan kelompok berisu tunggal (single-issu group), misalnya kelompok pencinta lingkungan dan gerakan perempuan. Demokratisasi atas demokrasi juga bergantung pada pengembangan budaya kewarganegaraan (civic culture). Dalam proses ini, dikembangkan pula demokrasi ekonomi. Pendekatan ini dapat bermanfaat bagi proses pembangunan demokrasi di negara-negara yang masih lemah nilai demokrasinya. Sebuah negara bertatanan demokratis diibaratkan bangku berkaki tiga, yaitu pemerintah, ekonomi dan masyarakat madani. Namun, demikian, Giddens pun menegaskan bahwa demokrasi ini, harus bersifat transnasional. III. KERANGKA PIKIR Sebelum melakukan kajian terhadap bukunya Giddens ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu kerangka pikir yang digunakan dalam kajian ini. Hal ini berguna sebagai sebuah kejelasan dan ketegasan pola pikir dalam proses kritikan ini. Pertama, perlu memahami konteks pemikiran Giddens dalam buku Runaway World sebagai satu kesatuan yang utuh. Tak ada jarak pemisah antara bab pertama dengan bab-bab yang lainnya. Kendatipun memiliki topik pembahasan yang berbeda, namun perlu dipahami sebagai sebuah keutuhan pemikiran. Kedua, keterkaitan antarkarya Giddens. Buku Runaway World yang diterbitkan tahun 1999, merupakan lanjutan pemikiran yang dirintis 5 sebelumnya. Oleh karena itu, kejernihan pola pikir ini, akan mempermudah untuk melakukan pemetaan konsepsional dan argumentasi Giddens. 5 Membaca buku Runaway World, mengandaikan kita telah membaca buku-buku Giddens yang diterbitkan sebelumnya, seperti Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics (1994) dan The Third Way: 37 Ketiga, konteks perkembangan sosial-politik kontemporer, khususnya yang menjadi kajian Giddens selama ini. Dengan memahami realitas kontemporer ini, maka pembaca akan dapat memahami setting sosial dari kemunculannya pemikiran-pemikiran Giddens. Konteks perkembangan sosial, perubahan sosial dan konteks pembicaraan Giddens, merupakan bagin tak terpisahkan dari prosesi aktualisasi dan fokus perhatian Giddens saat itu. Berdasarkan ketiga hal tersebut, diharapkan setiap pengkaji dapat menarik keutuhan pemikiran dan pelajaran pemikiran dari Giddens bagi pengkaji ilmu sosial saat ini. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum, pemikiran yang dikemukakan oleh Giddens merupakan sebuah pemikiran yang menarik, segar dan mencairkan kebekuan intelektual sosial selama ini. Dalam tataran normatifnya, obsesi Giddens adalah memecahkan kebekuan diametralnya pemikiran ‘kiri-kanan’, melalui “Jalan Ketiga”. Kendatipun konsep ini bukan orisinal-konsepnya, namun Giddens mampu menempatkannya pada pokok persoalan yang baru dan aktual6. Kemampuan Giddens dalam membaca, mengklasifikasi, merumuskan dan mencuatkan formasi dan kecenderungan fenomena sosial ini, terbukti dengan kemampuannya dalam merumuskan “Teori Strukturasi” atau “Jalan Ketiga” dalam membaca trend perubahan dan perkembangan sosial saat ini. Tanpa harus terjebak oleh adanya kemampuan Giddens dalam mewacanakan masalah-masalah teoretik, dapat dikemukakan dalam wacana ini, mengenai sejumlah persoalan yang masih meliputi pemikiran Giddens. Pertama, perlu ada penjelasan dan penegasan yang lebih luas mengenai penggunaan konsep lepas kendali (runaway world). Konsep ini, dalam tataran konseptualnya memiliki makna ganda. Minimal kita menemukan ada dua makna dari konsep lepas kendali. Pertama, lepas kendali karena tidak disiplinnya pemilik kendali dalam menjalankan perjalanan sejarah. Ibarat seorang penggembala seekor kuda liar, yang tak mampu mengendalikan keliaran “sang Kuda”. Akibatnya, yaitu kuda tersebut lepas dari kekangan sang majikan. Sementara pemahaman yang kedua, lepas kendali dimaknai sebagai sebuah dampak lanjutan dari ketidakmampuan manusia dalam memprediksi perkembangan lanjutan sejarah. Mungkin, ternak-ternak itu sudah jinak. Tapi karena sangat banyaknya jumlah ternak, dan setiap ternak memiliki keinginan yang berbeda maka ternah-ternak itu bergerak ke arah yang bercabang. Akibat fatalnya pun, adalah sang majikan tidak mampu mengendalikan gerak-liar ternak yang dilepasnya itu sendiri. 6 The Renewal of Social Democracy (1998). Dan yang tak kalah pentingnya adalah buku Giddens yang bertajuk “The Third Way and Its Critics” (2000). Buku yang disebut terakhir merangkum kritik-kritik tajam atas konsep Jalan Ketiga dan tanggapan Giddens atas kritik-kritik tersebut. Dalam buku itu, Giddens menegaskan kembali apa yang ditulisnya dalam buku The Third Way dan Runaway World. Op.cit. I. Wibowo. Kata Pengantar……….ix. 38 Jika kita mengartikan ternak itu sebagai akal manusia, atau lebih tepatnya ideologi (pemikiran) maka hal demikian dengan menjernihkan dan menjelaskan probelma dwimaknanya dari konsep lepas kendali tersebut. Artinya, lepas kendali atau lepas kontrol ini, bisa disebabkan oleh adanya liberalitas ideologi yang mengantarkan pada orientasi kehidupan manusia yang bercabang, beranekaragam, bahkan kerap kali saling berbenturan. Konflik kepentingan (sesaat dan sekelompok sendiri), menjadi pewarna dari liberalitas pemikiran ini. Kasus Irak – AS dan sekutunya, konflik semenanjung Korea, merupakan bagian konflik kepentingan yang berkelanjutan dari adanya perkembangan ideologikepentingan yang berbeda7. Sisi lainnya yang ingin ditegaskan di sini, yaitu lepas kendali karena ketidakmampuan manusia dalam mengontrol ‘ternaknya sendiri’. Ternak yang kita maksudkan di sini, bisa dimaknai ilmu pengetahuan, teknologi atau sistem nilai (ideologi) itu sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada gejala ‘pagar makan tanaman’. Dalam kehidupan modern saat ini, manusia dikenal sebagai pihak yang memproduk teknologi, namun pada perjalanan berikutnya teknologi itulah yang memproduk manusia. Ingat kasus, teknologi klonning. Fenomena ini, memancing kritikan ilmuwan terhadap dehumanisasi oleh teknologi8. Tampaknya, perlu diakui, bahwa munculnya sejumlah risiko (termasuk risiko buatan), merupakan bentuk nyata dan fakta aktual bahwa pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia saai ini, adalah tidak utuh dan tidak sempurna. Michael Polanyi, menyebutnya ada “segi tak terungkap ilmu pengetahuan”9, dalam istilah postmodernist, ada bagian yang ‘tak terpikirkan’.10 Gejala seperti itulah yang menjadi (salah satu) penyebab ketidakterkendaliannya gerak sejarah kehidupan manusia. Kedua, tesis yang dikemukakan dalam lembaran pertama, Giddens mengatakan “kehidupan zaman kita berkembang di bawah pengaruh ilmu, teknologi, dan pemikiran rasional yang berasal dari abad ke –17 dan ke-18’. Secara sederhananya, tesis pemikiran itu, tampak bersifat struktural-material. Giddens tidak menjelaskan tentang bagaimana pengaruh ideologi terhadap perkembangan zaman itu sendiri. Artinya, perkembangan globalisasi, kuatnya nilai tradisi, perkembangan keluarga yang mengarah pada membudayanya homoseks atau lunturnya lembaga perkwainan tradisional, perlu diposisikan Penjelasan tentang kebebasan ini, dapat dilihat John Stuart Mill. On Liberty : Perihal Kebebasan. Jakarta : YOB. 1996. Khususnya yang berkaitan antara kewenangan individu dan kewenangan masyarakat. Dalam konteks ini, Mill dalam bab 4, menjelaskan tentang adanya kewenangan pada masyarakat untuk memaksa tindakan individu yang tidak menepati kewajibannya dan atau undang-undang. 8 Kajian lebih lanjut, tentang hubungan teknologi dan dampak kebudayaannya dalam kehidupan manusia, dapat dilihat YB. Mangunwijaya (ed.). Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jakarta : YOB.1983. Jilid I dan II. T. Jacob. Manusia, Ilmu dan Teknologi. Yogyakarta : Tiara Wacana. 1988. 9 Michael Polanyi. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan (Penerjemah: Mikhael Dua). Jakarta : Gramedia, 1996. 10 Untuk mengenali masalah ini, lihat kajian Mohamad Arkoun. Membongkar Wacana Hegemoni. Surabaya : al-Fikr. 1999. 7 39 sebagai salah satu gejala penguatan sebuah “ideologi” atau kepentingan lainnya (selain perkembangan Iptek dan rasionalitas manusia). Gejala-gejala tersebut, dapat dikonfirmasi pada sejarah. Misalnya saja, penjelajahan dunia, awalnya dipengaruhi kepentingan ekonomi. Bahkan, globalisasi pun, memiliki fungsi laten sebagai perluasan pasar oleh negara maju. Oleh karena itu, globalisasi, perlu pula diposisikan sebagai produk dari kepentingan ekonomi negara maju. Dengan kata lain, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan pikiran rasional manusia, hanyalah alat bantu dalam mengembangkan kepentingan ekonomi (ideologi kapitalisme) manusia. Ketiga, nilai kejujuran Giddens dalam mengemukakan kesadaran historisnya, khususnya ketika dia menyatakan, “kita tidak akan pernah dapat menjadi tuan atas sejarah kita sendiri, tetapi kita dapat dan harus menemukan cara untuk mengendalikan dunia kita yang tengah lepas kendali”11. Jika yang dimaksudkan dengan kata “kita” itu adalah kita semua, sebagaimana yang dikemukakannya pada halaman 23, maka konsekuensinya yaitu perlu melakukan pencarian tentang ‘oknum’ potensial yang dapat mengambil posisi sebagai salah satu teman-tuan dalam sejarah ini. Apakah hal ini adalah ketidakpastian? risiko alam? atau unsur lain? Pernyataan ini, memberikan adanya sejumlah implikasi praktis dan teoretis. Pertama, Giddens seolah-olah mengatakan bahwa penyelesaian masalah dunia ini perlu dilakukan secara kolektif oleh seluruh elemen dunia. Kedua, yang lebih substansial dari yang pertama, adalah dapat dimaknai ‘pendekatan kita’. Jika analisis mengenai tradisi dalam buku ini, dijadikan contoh kasus, maka dapat dengan jelas, dikemukakan bahwa pendekatan kita (modernisme), tidak dapat menyelesaikan kehidupan dunia. Dengan kata lain, pendekatan ‘selain kita’ (maksudnya yaitu pendekatan tradisi) harus pula dijadikan sebagai bagian dari warna pendekatan dalam menyelesaikan masalah kehidupan ini. Hal demikian, layaknya pendekatan kanan, tidak bisa mengurus dunia tanpa adanya warna pendekatan kiri. Pada kesadaran terakhir inilah, yang dapat kita baca dari kekritisannya Giddens terhadap pusara sosialisme dan kapitalisme12. Keempat, konsep risiko, khususnya risiko buatan. Giddens dengan jeli dapat melihat adanya risiko yang bersifat buatan (manufactured risk). Pikiran ini, dapat membantu dalam memberikan penyadaran dan pencerahan bagi manusia modern saat ini. Pemahaman terhadap konsep risiko buatan ini, tampaknya perlu dipertegas, dan bahkan perlu diklasifikasi ulang ke dalam dua bentuk risiko buatan. Satu sisi, risiko buatan yang disadari, dan sisi lainnya risiko buatan yang tidak disadari. Hal ini penting untuk memperjelas posisi dan kesadaran kita semua. Risiko buatan yang disadari, lebih banyak ditentukan oleh dominannya kepentingan sesaat manusia. Dominasi kepentingan manusia ini, di satu sisi, 11 12 ibid. Giddens. Run…halaman xvii. Anthony Giddens. Beyond Left and Rigth : Tarian “Ideologi Alternatif” di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme” (Penerjemah: Imam Khoiri. Yogyakarta : IRCiSoD.2003. 40 dilandasi oleh keyakinan dirinya untuk mampu mengontrol dan memelihara ulang hasil tindakannya. Pada sisi yang lainnya, yaitu adanya kepentingan sesaat dari kelompok manusia itu sendiri. Kasus penggunaan senjata massal atau penghancur, adalah contoh nyata dalam masalah ini. AS dan sekutunya, dengan begitu yakin mampu merekonstruksi Irak pascaperang. Dengan optimisme terhadap kemampuan teknologi dan ekonomi yang dimilikinya, AS dan Sekutunya meyakini bahwa risiko buatannya di Irak (kerusakan sumber ekonomi, lingkungan, dan mental rakyat Irak) dapat diatasi. Kendatipun hasilnya belum dapat dilihat, namun gejala atau mental seperti itu, menjadi salah satu fenomena empirik dalam melahirkan risiko-risiko buatan yang disadari dalam kehidupan ini. Kasus yang kedua, adalah risiko buatan yang tidak disadari. Konsep ini, mungkin tidak masuk dalam kategori konsep risiko dari Giddens. Namun, kita dapat melihatnya sebagai sebuah ‘ketidaklengkapan’ analisis manusia terhadap risiko yang dirumuskannya sendiri. Dengan kata lain, awal mulanya -mungkin dianggap sebagai- sebuah risiko yang direkayasa, namun ternyata melahirkan efek yang tidak terkendali. Upaya manusia memodernisasi pola hidup, telahmelahirkan konsep dan tata nilai yang baru, misalnya saja konsep rasionalisasi dan birokrasi Weberian. Namun, ternyata proyek modernisasi ini, melahirkan kerangkeng besi bagi kemanusiaan itu sendiri. Fenomena McDonaldisasi, melahirkan rasionalisasi yang irrasional, yang ujung-unjungnya terjadi proses dehumanisasi13. Gejala ini, dalam pandangan kita dapat dikategorikan sebagai ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan dampak lanjutan atau jangka panjang (sequensial), karena ketidaklengkapan (atau mungkin ketidakmampuan) analisis-perencanaan manusia dalam melakukan proyek modernisasi. Kelima, Giddens mengatakan bahwa tradisi tidaklah hilang dalam masyarakat post-tradisional sekarang ini. Tentulah itu jelas bagi semua orang ketika melihat misalnya, agama-agama tidaklah lenyap sekarang ini seperti diperkirakan oleh Marx dan orang-orang yang getol dalam membela lahirnya dan berlangsungnya Aufklarung. Menurut Giddens, tidak mungkin kita hidup dalam suatu dunia yang sama sekali tidak ada unsur-unsur sakralnya lagi yang biasanya diperjuangkan oleh kaum fundamentalis. “Can we live in a world where nothing is sacred? I have to say, in conclusion, that I don’t think we can”, tegas Giddens. Masalahnya adalah dalam setiap tradisi yang masih dipegang dan dipelihara oleh orang-orang di era post-tradisional ini, katakanlah dalam agama, siapa yang menentukan tardisi itu? Dalam agama, Giddens akan menjawab, penentu tradisi adalah para guardians. Siapa para guardians itu dalam agama? Dalam agama Kristen, mereka adalah para pendeta dan pastor. Dalam Islam, para uztad dan kyai 13 Lihat. George Ritzer. Ketika Kapitalisme Berjingkrak : Telaah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi. (Penerjemah: Solichin dan Didik P. Yuwono). Yogyarakarta : 2002. 41 Sebenarnya kami sepakat saja dengan Giddens yang melihat bahwa tradisi, dalam hal ini agama, masih penting dalam kehidupan orang-orang sekarang. Yang membuat kami agak gerah dengan tardisi yang bernama agama itu adalah ketika di dalamnya tidak ada ruang yang memadai, katakanlah, bagi para perempuan misalnya. Apakah itu dalam agama Islam atau Kristen, situasinya kurang lebih sama. Memang agama adalah tradisi, great tradition, yang bagi Giddens, tafsir dan ajaran-ajarannya bergantung pada guardians. Apakah karena sentralnya peran guardians yang didominasi laki-laki dalam tradisi sehingga sulit bagi agama untuk mempersilakan seorang perempuan menjadi pemimpin agama? Menurut kami, dalam konteks agama, mesti ada ruang untuk diperbaharui unsur-unsur yang melekat dalam tradisi itu. Ada ruang untuk memperbaharui, terutama dalam peran guardians dan formulaic truth-nya. Giddens, sejauh yang kami lihat saat menyinggung agama sebagai great tradition tidak melihat sisi siapa yang dirugikan dan diuntungkan dalam pelestarian tradisi itu. Sekali lagi, bagi kami, harus ada ruang pembaharuan dalam great tradition ini. Masalanya, relakah para pewaris penjaga tradisi ini –para guardians- untuk memberi ruang bagi yang lain? Kami kira, agama tidak akan kehilangan “ketradisiannya” dan agama tidak akan lenyap hanya karena perempuan mendapat ruang partisipasi yang sama dengan laki-laki. Agama akan tetap menjadi tradisi yang dipegang oleh banyak orang. Menurut kami, agama akan kelihatan lebih manusiawi kalau peran guardians-nya dapat diperluas, tidak hanya di tangan orang-orang tertentu saja, apalagi hanya di tangan laki-laki, tetapi juga di tangan para perempuan. Keenam, perkembangan zaman ini telah melahirkan adanya pencairan kekuatan lembaga-lembaga sosial yang tradisional, termasuk lunturnya lembaga keluarga. Keluarga, dalam pandangan Giddens, yang relevan untuk saat ini, adalah keluarga yang demokratis. Namun, demikian, dengan mengizinkannya homoseksual atau kelompok gay, pembaca akan dibawa ke daerah ‘hilangnya’ definisi keluarga. Mungkin benar, hal demikian termasuk masalah yang sangat pribadi dan pusat emosi kita, sebagaimana dikemukakan oleh Giddens14. Dalam konteks kajian ini, dapat kita buat sebuah sketsa perbandingan bentuk keluarga yang ada saat ini15. 14 15 Op.cit. Giddens. Run….hlm. 49. Juga, Giddens. Jalan Ketiga…… hlm. 102-113. Bentuk-bentuk keluarga di jaman sekarang, istilah Alvin Tofler (gelombang ketiga), sangat banyak dan beranekaragam. Dalam kajian ini, kita mengambil contoh sebagian saja. Untuk lebih lanjut, dapat dikaji Alvin Toffler. Gelombang Ketiga (Bagian Kedua). Penerjemah. Sri Koesdiyantinah. Jakarta : Panca Simpati. 1990. Bab. XVII. 42 Tabel 1 Perbandingan Karakter Bentuk Keluarga No. Indikator Keluarga Tradisional Kumpul Kebo Homoseks Persahabatan Pelacuran 1. Hubungan seks Ada Ada SemuTidak Ada Tidak Ada Ada Ada Ada-Kr Ada Semu- Ada Tidak ada Ada (Kr) Ada Ada Ada Tidak ada Ada Ada Tidak ada Ada Ada Semu Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak ada Ada – tidak ada Tidak ada 2. 3. 4. 5. 6. Tanggungjawab ekonomi Hubungan emosi Kerja sama Perlindungan hukum Reproduksi Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Diolah : penulis. 2002 Dengan asumsi, pemikiran Giddens ini kita dukung maka kelompok homoseksual itu akan memiliki karakter adanya rasa tanggung jawab, hubungan atau komunikasi emosi dan kerjasama antar pelaku. Namun, hubungan “seks primordial” tidak ada, dan keberlanjutan keturunan pun menjadi tidak jelas. Kemudian, untuk perlindungan hukum terhadap para pelaku, masih bisa diusahakan, karena hukum (khususnya hukum positif) sangat bersifat kontrak dan konstruk sosial.. Sementara dalam keluarga tradisional, unsur yang disusun itu akan muncul di dalam kehidupan sehari-harinya. Walaupun, nilai hubungan murni atau komunikasi emosi menjadi titik kritikan Giddens. Namun demikian, melalui pendidikan dan internalisasi nilai, maka kualitas hubungan murni ini dapat dibangun dalam sistem keluarga tradisional. Ketujuh, konsep demokratisasi atas demokrasi, adalah sebuah konsep yang bersifat kontradiktif dalam konsep. Secara akademik, ketegasan akademik dan analisis ini perlu dikedepankan. Untuk memahami masalah ini, ada dua pendekatan dasar yang perlu dikembangkan. Pertama, jika diasumsikan ada nilai standar demokrasi yang normatif dan universal. Dengan memiliki acuan atau panduan ini maka sebuah tatanan sosial-politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi, dapat dikatakan tidak demokratis. Kondisi itulah yang telah melahirkan sikap kritisnya, John Markoff dengan mengemukakan konsep demokrasi pura-pura (pseudo democracy), dan semi-demokrasi16. Sudut pandang yang kedua, yaitu adanya pluralitas demokrasi17. Kesadaran ini, pada dasarnya dikemukakan pula oleh Giddens, dengan pernyataan bahwa perkembangan demokrasi di dunia ini berkembang sangat 16 17 John Markoff. Gelombang Demokrasi Dunia : Gerakan Sosial dan Perubahan Politik . Penerjemah: Ari Setyaningrum. Yogyakarta : 2002. Konsep mengenai demokrasi pluralis ini, menjadi salah satu perhatian intensif Robert Dahl. Misalnya, lihat A Preface To Democracy Theory. The Universitty of Chicago Press. 1956. Dalam bukunya ini, Dahl mengajukan konsep polyarchy, sebagai wacana „identitas‟ demokrasi saat ini. 43 beragam. Demokrasi di Inggeris, berbeda dari Amerika Serikat18. Bahkan, bisa jadi ada demokrasi-demokrasi berkarakter lainnya lagi. Dengan pemikiran seperti ini maka perlu adanya penegasan ke arah mana gerakan demokratisasi ini dikembangkan. Dan bila hal demikian tidak ada penjelasannya maka gerakan demokratisasi atas demokrasi Giddens hanya akan menjadi ‘retorika’ belaka. Demokrasi dialogis (berbeda dengan Fukuyama yang memandang demokrasi liberal sebagai pemenang perjalanan sejarah manusia), sebagaimana dikemukakan oleh Giddens, belum mampu menjelaskan arah normatif mana yang akan dijadikan acuan. Kasus aktual di awal millenium III ini, adalah adanya standar ganda dari si pemilik ‘demokrasi’. AS dan Sekutunya, memandang Irak sebagai sebuah negara yang tidak demokratis. Sementara itu, kejadian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Israel, miskin kritik sebagai sebuah pelanggaran HAM. AS, kerap memposisikan diri sebagai polisi kedemokrasian negara-negara dunia. Inilah, problema ketidakjelasan arah demokratisasi yang diajukan Giddens. Problem dan kajian kritis terhadap pemikiran Giddens, perlu mendapat respons dari semua pihak, minimal dalam level kajian akademik. Kegagalan praktik demokratisasi di berbagai negara, bisa melahirkan sebuah pertanyaan, apakah demokrasi itu perlu diperbaiki, atau justru dirumuskannya sistem politik yang baru (selain demokrasi) ? adakah jalan ketiga yang lain (kalau mungin Jalan Keempat ?), sebagai pemecahan masalah terhadap dilematika masalah ini ? hilangnya lembaga-lembaga sosial kulit luar, dapatkah kita menemukan rumusan lembaga baru, atau perlunya melakukan tradisionalisasi terhadap nilai tradisi, layaknya demokratisasi atas demokrasi ? V. SIMPULAN KAJIAN Berdasarkan kajian ini maka dapat disimpulkan dalam dua poin. Pertama, sumbangan pemikiran Giddens dalam mengembangkan ilmu sosial sudah tampak dalam upayanya untuk mengembangan nilai teoretik ilmu sosial dan analisis sosial. Kedua, Giddens mengajak masyarakat manusia untuk melakukan kajian ulang, atau mungkin reinterpretasi, rekritik dan reorientasi terhadap sejumlah kesadaran masyarakat manusia saat ini. Konsep kanan-kiri, globalisasi, tradisi-modern, dan juga konsep-konsep lainnya, telah bergeser atau mungkin mencair, seiring dengan arus perkembangan jaman. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan baru dalam memahami gelombang perubahan jaman ini.. Kendatipun demikian, untuk penajaman ide dan pemikirannya, analisisanalisisnya perlu mendapat perhatian yang lebih saksama dari setiap pengkajinya itu sendiri. Sebab, buku-buku Giddens, termasuk Runaway World, memang sarat dengan rumusan yang secara normatif sangat baik, indah, dan mulia, tapi secara praktis agak sulit dipraktikkan. --o0o— 18 Op. cit. Giddens. Run… Hlm. 68. 44 DAFTAR RUJUKAN Arkoun, Mohammad. 1999. Membongkar Wacana Hegemoni. Djauhari, dkk. Surabaya : al-Fikr. Penerjemah Dahl, Robert. 1956..A Preface To Democracy Theory. The Universitty of Chicago Press. Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Society : Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Penerjemah Adi Loka Sujono. Yogyakarta : Pedati. ------------. 1993. The Consequences of Modernity. Stanford, CA: Stanford University Press. Edisi Bahasa Indonesia, berjudul “Tumbal Modernitas : Ambruknya pilar-pilar Keimanan”, Penerjemah : Muhammad Yamin. Yogyakarta : Ircisod. 2001. ------------.1994. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics . Edisi Bahasa Indonesia, berjudul “Beyond Left and Rigth : Tarian “Ideologi Alternatif” di Atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme”. Penerjemah : Imam Khoiri. Yogykarta : Ircisod. 2003. ------------.1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Edisi Bahasa Indonesia, berjudul “The Third Way : Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasii Sosial”. Penerjemah : Ketut Arya Mahardika. Cetakan keempat : 2002. ------------.2002. “The Third Way and Its Critics”. Jacob, T. 1988. Manusia, Ilmu dan Teknologi. Yogyakarta : Tiara Wacana. Mangunwijaya, YB. (ed.). 1983. Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jakarta : YOB. Jilid I dan II. Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia : Gerakan Sosial dan Perubahan Politik..Penerjemah : Ari Setyaningrum. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mill, John Stuart. 1996. On Liberty : Perihal Kebebasan. Penerjemah Alex Lanur. Jakarta : YOB. Polanyi. Michael. 1996. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan.Penerjemah : Mikhael Dua). Jakarta : Gramedia. 45 Ritzer, George. 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrak : Telaah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi. Penerjemah : Solichin dan Didik P. Yuwono. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Toffler, Alvin . 1990. Gelombang Ketiga (Bagian Kedua). Koesdiyantinah. Jakarta : Panca Simpati. Bab. XVII. Penerjemah. Sri Wibowo, I. 2002. “Kata Pengantar” dalam Anthony Giddens. The Third Way : Jalan Ketiga. Pembaharuan Demokrasi Sosial. 46