RESUME TUTORIAL K BLOK 15 (NEUROSENSORIS) SKENARIO 4 : GATAL KARENA KOMESTIKA? Oleh : Kelompok K Ramzi Setyo Karyanto 172010101116 Ibrila Asfarina A. 182010101028 Nadia Unitassia H. 182010101039 Izza Amalia Putri 182010101062 Ayu Lilyana Nuridah 182010101063 Ajeng Samrotu Sa’adah 182010101071 Sofia Yusnur Rafida 182010101102 R. Ristianto Yoga Pratama 182010101116 Maureta Salsabila Dinamika 182010101129 Muhammad Aqib Husni 182010101158 Dosen Pengampu: dr. Ika Rahmwati Sutejo, M. Biotech FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2021 SKENARIO 4 Gatal karena Kosmetika? Seorang perempuan berusia 27 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan gatal di sekitar wajah yang sebelumnya diolesi dengan cream malam salah satu produk kecantikan. Pasien membeli cream yang ditawarkan pegawai salon setelah membersihkan komedo di salon tersebut. Pasien juga mengeluhkan gatal di bagian leher dan lipat siku. Pada bagian leher terdapat plak hiperpigmentasi, ekskoriasi dan likenifikasi, sedangkan di bagian lipat siku terdapat makula eritema, papul dan skuama. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien pernah masuk IGD RS karena bengkak di sekitar mata dan bibir, serta gatal di seluruh badan disertai rasa panas, setelah minum salah satu antibiotik untuk menyembuhkan batuknya saat itu. Tante pasien sering berobat karena keluhan sangat gatal di kulit siku dan lutut, yang sering kambuh meski sudah diobati, dan dikatakan pasien bahwa di siku dan lutut tantenya terdapat bercak merah bersisik tebal seperti berlapis-lapis. Dokter kemudian meresepkan obat untuk pasien. 2 LEARNING OBJECTIVE 1. Dermatitis Eksim a. Dermatitis kontak iritan b. Dermatitis kontak alergika c. Dermatitis Atopikk d. Dermatitis numularis 2. e. Liken simpleks kronik (neurodermatitis) f. Napkin eczema Lesi eritro-squamosa a. Psoriasis vulgaris b. Dermatitis seboroik c. 3. Pitiriasis rosea Kelainan kelenjar sebasea dan ekrin a. Akne vulgaris ringan b. Akne vulgaris sedang-berat c. Hidradenitis supuratif d. Dematitis perioral e. 4. Miliaria Penyakit vesikobulosa a. Toxic epidermal necrolysis (TEN) b. Sindrom Stevens-Johnson 5. Penyakit alergi kulit a. Urtikaria b. Angioedema 6. Reaksi obat a. Exanthematous drug eruption, fixed drug eruption b. Adverse drug reaction 7. Gangguan keratinisasi Ichthyosis vulgaris 8. Farmakologi kulit setiap penyakit 3 1. DERMATITIS EKSIM a. Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak adalah dermatitis (peradangan kulit epidermis dan dermis) akibat substansi yang menempel pada kulit. Terdiri atas dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergi (DKA). DKI terjadi akibat bahan-bahan yang sifatnya iritan misal nahan pelarut, deterjen, asam kuat, alkali kuat, dan serbuk kayu. Patofisiologi DKI terjadi tanpa melalui reaksi imunologik yaitu tanpa disertai pengenalan atau sensitisasi. DKI terjadi langsung menyerang lipid di kulit dan keratinosit sel. Jadi terjadi destruksi lapisan tanduk. Destruksi ini menyebabkan aktifnya as.arakidonat, aktifnya DAG, dan delipidasi. AA diubah menjadi PG dan leuotrien yang akan menginduksi vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan aktivasi selmast. Delipidasi menyebabkan kulit kering karena yang seharusnyaada yang menhan air, ini tidak terjadi. Sehingga terjadi desikasi. DKI dapat dibagi menjadi beberapa kategori berbeda tergantung pada iritan dan pola eksposurnya. DKI kumulatif kronis adalah jenis yang paling umum dilihat oleh profesional perawatan kesehatan. • Subjective Irritancy. Perih idiosinkratik dan reaksi perih yang terjadi dalam beberapa menit setelah kontak, biasanya di wajah, tanpa adanya perubahan yang terlihat. Konstituen kosmetik atau tabir surya adalah pencetus yang umum. • Dermatitis kontak iritan akut. Hal ini sering kali disebabkan oleh satu kali 4 paparan berlebihan atau beberapa paparan yang terjadi dalam waktu singkat terhadap bahan iritan kuat atau bahan kaustik. Bahan kimia kerja umum, yang menyebabkan reaksi iritan akut, meliputi: o Asam pekat, mis. asam sulfat, nitrat, hidroklorik, kromat, hidrofluorat. o Alkali kuat, mis. kalsium, natrium, kalium hidroksida, beton basah, natrium dan kalium sianida. o Garam organik dan anorganik, mis. dikromat, garam arsenik. o Pelarut / gas, mis. akrilonitril, etilen oksida, karbon disulfida, mustine. • Dermatitis kontak iritan kronis (kumulatif). Hal ini terjadi setelah paparan berulang terhadap iritan yang lebih lemah yang mungkin "basah", seperti deterjen, pelarut organik, sabun, asam lemah, dan alkali, atau "kering", seperti udara dengan kelembapan rendah, panas, serbuk, dan debu. DKI kronis disebabkan oleh kerusakan fungsi pelindung kulit secara bertahap. Biasanya timbul dengan lesi kering, bersisik, dan eksim pada jari dan tangan; lesi vesikuler memang terjadi tetapi lebih jarang dibandingkan pada dermatitis kontak alergi. Penyebab umum DKI kronis termasuk iritan lemah, mis. air, pembersih kulit, pelarut, dan cairan pemotong. Pekerjaan berisiko termasuk pekerjaan yang melibatkan pekerjaan basah, mis. koki, tukang roti, pelelangan bar, katering, pembersih, penata rambut, pekerja logam, perawat, tukang solder, nelayan, dan pekerja konstruksi. Gejala klinis DKI umumnya kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar dengan morfologi eritoedema, bula yang sirkumskrip, dan asimetris. Contoh bahan iritan kuat adalah asam sulfat, kalium hidroksida. Bahan iritan lemah misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, atau air. Fgejala klinis DKI biasanya tergantung fase. Pada fase kronis, gejala berupa kulit kering, disertai eritema, skuama yang lama-lama menebal atau hiperkeratosis, yang jika terus-terusan bisa menjadi fisura. Uji tempel dalah uji dengan memberikan antigen yang sudah terstandart untuk ditempel ke tubuh pasien, biasanya daerah punggung. Bahan ditempel selama 48 jam, pasien diminta untuk tidak mandi dan tidak melakukan aktivitas 5 berat yang sekiranya bisa menyebbakan bahan itu terlepas. Uji tempel dilakukan jika dermatitis sudah tenah dan sudah menghentikan pengobatan kortikosteroid selama minimal satu minggu. Hasilnya akan merujuk ke diagnosis DKI jika hasilnya daerah yang ditempeli itu terasa rasa terbakar, pustula, dan purpura. b. Dermatitis Kontak Alergika DKA terjadi karena hapten yaitu bahan molekul sederhana yang sifatnya lipofilik sehingga bisa masuk stratum korneum dan sampai ke bagian dalam. Patofisiologi DKA terjadi melalui proses pengenalan yaitu melalui reaksi hipersensitifitas tipe lambat/tipe IV. Gejala klinis DKA umumnya gatal dengan morfologi eritematosa berbatas tegas, papulovesikel diatasnya, bula yang dapat pecah. DKA kronis menunjukkan gejala manifestasi pada kulit yang serupa DKI kronis. Kedua ini dapat dibedakan melalui uji tempel. Uji tempel dalah uji dengan memberikan antigen yang sudah terstandart untuk ditempel ke tubuh pasien, biasanya daerah punggung. Bahan ditempel selama 48 jam, pasien diminta untuk tidak mandi dan tidak melakukan aktivitas berat yang sekiranya bisa menyebbakan bahan itu terlepas. Uji tempel dilakukan jika dermatitis sudah tenah dan sudah menghentikan pengobatan kortikosteroid selama minimal satu minggu. DKA ditegakkan jika ada eritea denganpapul, vesikel,dan bula diatasnya. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak dapat dibagi menjadi pengobatan kasus aktif dan pencegahan. Kortikosteroid topikal, pengganti sabun, dan emolien diterima secara luas sebagai pengobatan dermatitis kontak yang sudah mapan. Perawatan lini kedua seperti PUVA topikal, azathioprine, dan cyclosporin mungkin banyak digunakan untuk dermatitis tangan kronis yang resistan terhadap steroid. Ada beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan di tempat kerja. Metode penghapusan dan penggantian paparan berbahaya meliputi, dalam urutan prioritas: penggantian bahan kimia yang tidak terlalu menyebabkan iritasi atau 6 alergen; pengenalan kontrol teknik; dan organisasi kerja sedemikian rupa sehingga semua karyawan dihadapkan pada derajat yang sama. Penggunaan perlindungan pribadi, misalnya sarung tangan, bersama dengan pemilihan individu yang tidak terlalu rentan (jika dapat diidentifikasi), diyakini sebagai upaya terakhir yang memungkinkan. c. Dermatitis Atopikk Dermatitis Atopikk (DA) merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan residif yang disertai gatal serta umumnya sering terjadi pada masa bayi dan anakanak. Kelainan ini sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat Atopik pada keluarga atau penderita seperti asma bronkiale, dermatitis Atopik, ataupun rhinitis alergi. Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis penyakit ini misalnya seperti faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, dan imunologik. Pada dasarnya 7 dermatitis Atopikk terjadi melalui reaksi imunologik yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Selain itu ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam dermatitis Atopikk yang diekspresikan oleh sel TH2 dimana pada penderita DA sel TH2 lebih banyak dan sel TH1 menurun sehingga akan menimbulkan peradangan kulit. Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam patogenesis dermatitis Atopik seperti susu, telur, gandum, kedelai, dan kacang tanah sehingga menimbulkan urtikaria karena induksi alergen makanan. Gejala utama DA ialah pruritus dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Dermatitis Atopik dibagi menjadi tiga fase yaitu: • Dermatitis Atopik Infantil Dermatitis Atopik ini sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi atau pipi) berupa eritema, papulovesikel yang halus, dan muncul gatal. Apabila terus digosok makan akan pecah dan menyebabkan krusta. • Dermatitis Atopik Anak Dermatitis ini sering muncul pada anak usia 2 sampai 10 tahun dan dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri. Lesi lebih kering tidak begitu eksudatif dan lebih banyak papul serta likenifikasinya. • Dermatitis Atopik pada remaja dan dewasa Lesi kulit dermatitis atopik pada bentuk ini dapat berupa plak populareritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada dermatitis atopik remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Dermatitis Atopik ini distribusi lesi kurang karakteristik sering mengenai tangan dan pergelangan tangan. Diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada kriteria sebagai berikut : 8 • Kriteria Mayor ➢ Pruritus ➢ Dermatitis di muka atau ekstensor ➢ Dermatitis di fleksura ➢ Dermatitis kronis atau residif ➢ Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya • Kriteria Minor ➢ Xerosis ➢ Infeksi kulit ➢ Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki ➢ Iktiosis/keratosis pilaris ➢ Pitiriasis alba ➢ Keilitis ➢ Konjungtivitis berulang Tatalaksana dermatitis atopik yaitu: • Nonmedikamentosa Kulit penderita cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk misalnya sabun dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai PH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan bahan kimia serta mencuci pakian dengan deterjen harus dibilas dengan baik sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan • Medikamentosa Pengobatan medikamentosa bisa menggunakan hidrasi kulit karena kulit penderita dermatitis atopik kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak, sehingga mempermudah masuknya pathogen dan bahan iritan. Selain itu bisa diberikan kortikosteroid topikal namun apabila didapatkan lesinya basah 9 dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya permanganas kalikus 1:5000. Imunomodulator topikal juga diberikan untuk menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam dermatitis atopik seperti sel Langerhans, sel T, dan sel mast. d. Dermatitis Numularis Dermatitis numularis atau yang biasa disebut nummular eczema atau discoid eczema merupakan suatu peradangan berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul disertai vesikel (papulovesikel), biasanya mudah pecah sehingga basah dan biasanya menyerang ekstremitas. Dermatitis Numularis biasanya terjadi pada orang dewasa, lebih sering pada pria dibandingkan wanita dengan pasien paling banyak berusia antara 55 hingga 65 tahun. Pada wanita usia puncak juga terjadi pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak-anak. Bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Penyebabnya pada saat ini belum diketahui. Kemungkinan suatu varian virus dermatitis atopik dibantah, karena kadar IgE masih dalam batas normal. Diduga infeksi akut berperan dalam dermatitis numularis dengan ditemukannya peningkatan koloni Staphylococcus dan Micrococcus ditempat kelahiran walaupun secara klinis tidak ditemukan tanda infeksi.Timbulnya dermatitis numularis apakah melalui mekanisme hipersensitifitas terhadap bakteri atau Karena infeksi bakteri tersebut, belum diketahui dengan jelas. Eksaserbasi terjadi bila koloni bakteri meningkat diatas 106 kuman/cm2. Dermatitis kontak mungkin ikut memegang peranan pada berbagai kasus dermatitis numularis, misalnya alergi terhadap nikel, krom, kobal, demikian pula iritasi dengan wol dan sabun. Trauma fisik dan kimiawi mungkin juga berperan, terutama bila terjadi di tangan, dapat pula pada bekas cidera lama atau jaringan parut. 10 Patofisiologi dermatitis numularis belum diketahui secara pasti, tetapi pada kulit penderita dermatitis numularis cenderung kering, hidrasi stratum korneum, rendah. Penelitian mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamine dan mediator inflamasi lainya dari sel mast yang kemudian berinteraksi dengan sarafsaraf C yang kemudian menimbulkan gatal. Pada penderita dermatitis numularis, substansi P dan kalsitosin serat peptide meningkat pada daerah lesi dibandingkan di daerah non lesi.Neuropeptide ini dapat menstimulasi pelepasan sitokinlainnya sehingga memicu timbulnya inflamasi. Hal inimenunjukan bahwa neuropeptide berpotensi pada mekanisme proses degranulasi sel mast. Keluhan pada pasien dermatitis numularis dapat berupa gatal yang sangat hebat sehingga dapat mengganggu. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3–1 cm). kemudian membsar dengan cara berkonfluensi atau meluas kesamping membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam, eritematosa, sedikit edematosa dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecah dan terjadi eksudasi. Kemudian mongering menjadi krusta kekuningan. Ukuran lesi bisa mencapai 5cm atau lebih, jumlah lesi dapat hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetris dengan ukuran bervariasi dari miliar sampai nummular, bahkan plakat. Tempat predileksi biasanya terdapat di tungkai bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan. 11 Diagnosis Banding dari dermatitis numularis adalah: • Dermatitis kontak • Dermatitis Atopik • Neurodermatitissirkumskripta • Dermakomikosis Sedapat-dapatnya mencari penyebab atau factor yang memprovokasi. Bila kulit kering diberi pelembab atau emolien. Secara topical lesi dapat diobati dengan obat antiinflamasi, misalnya glukokortikoid, takrolimus, atau primeklolimus. Bila lesi mashi eksudatif, sebaiknya dicompres dahulu. Kalau ditemukan infeksi bacterial diberikan antibiotic secara sistemik. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan refraktor, dalam jangka pendek. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin misalnya Hidroksilin HCl. e. Liken Simpleks Kronik (Neurodermatitis) Liken Simpleks Kronik (LSK/neurodermatitis sirkumskripta) adalah suatu kelainan yang sangat gatal dan bersifat kronis dengan ditandai satu atau lebih plak yang mengalami likenifikasi yaitu penebalan pada kulit dan permukaan kulitnya seperti kulit pohon, yang disebabkan oleh respon menggosok atau menggaruk berulang. Pruritus memainkan peran sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit berupa likenifikasi dan pririgo nodularis. Hipotesis mengenai pruritus dapat oleh karena adanya penyakit yang mendasari misalnya gagal ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma Hodgkin, penyakit kulit seperti dermatitis atopik,dermatitis kontak alergik, gigitan serangga. Beberapa penelitian menghubungkan antara penyakit ini dengan faktor emosional yang sering mengakibatkan gatal yang berulang untuk memadamkan gangguan emosinya sehingga terbentuk plak. Jadi stress emosional yang menyebabkan iritasi dan keinginan untuk menggaruk kulit sering kali berupa siklus, dengan plak yang dihasilkan menyebabkan lebih banyak 12 stress dan gatal kronis, perubahan pigmentasi kulit yang terkena dan kemungkinan ke area yang lebih luas. Liken simpleks kronik terletak di area kulit yang dapat dengan mudah digaruk. Gatal memicu gesekan yang menghasilkan lesi, tetapi patofisiologi yang mendasarinya tidak diketahui. Kulit dengan dermatitis atopik kemungkinan besar mengalami likenifikasi. Terdapat hubungan di antara jaringan saraf pusat, perifer, dan mediator inflamasi dalam persepsi gatal dan berkembangnya perubahan pada liken simpleks kronik. Penderita mengeluh gatal sekali dan biasanya timbul malam hari yang dapat mengganggu tidurnya meskipun rasa gatal tidak timbul terus menerus. Rasa gatal 13 akan hilang sementara apabila penderita menggaruk hingga timbul luka pada daerah tersebut. Lesi biasanya tunggal yang awalnya berupa plak eritema dan lambat laun terjadi edema dengan bagian tengah berskuama dan menebal serta terjadi likenifikasi. Letak lesi dapat timbul dimana saja tetapi biasanya ditemukan ialah di scalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor dan paha bagian medial. Variasi klinis dapat berupa prurigo nodularis akibat garukan atau korekan tangan penderita yang berulang-ulang pada suatu tempat. Lesi berupa nodus berbentuk kubah dengan permukaan mengalami erosi tertutup krusta dan skuama yang lambat laun akan menjadi keras dan berwarna lebih gelap. Empat langkah yang dapat dilakukan untuk pengobatan LSK yaitu: mengidentifikasi penyakit yang mendasari, memperbaiki fungsi lapisan barier kulit, mengurangi inflamasi, dan memutuskan siklus gatalgaruk.Penatalaksaan pada LSK ini biasanya diberikan steroid topikal yaitu desoksimethason 0,025%. Penggunaan topikal steroid potensi tinggi lebih efektif dan aman untuk digunakan dalam jangka waktu pendek daripada penggunaan topikal steroid dosis rendah dalam jangka lama. Untuk memutuskan siklus gatal garuk maka bisa diberikan antihistamin, pemakaian antihistamin yang cukup efektif adalah yang memberikan efek sedatif agar pasiendapat istirahat dengan baik. Didapatkan penggunaan CTM dan mebhidrolin napadisilat yang mempunyai efek sedatif .Steroid sistemik dapat diberikan jika pemakain steroid topikal selama 2 minggu tidak memberikan hasil yang efektif. f. Napkin eczema Diaper dermatitis (juga dikenal sebagai napkin eczema, ruam popok, nappy rash atau dermatitis iritan karena popok) adalah istilah umum untuk meggambarkan inflamasi akut pada area terkena popok; kondisi ini umumnya terjadi pada bayi. Kata “popok” digunakan bukan karena popok menyebabkan 14 dermatitis, melainkan secara garis besar akibat faktor-faktor dalam area popok seperti urin, feses, kelembapan atau gesekan. EPIDEMIOLOGI Angka kejadian diaper dermatitis pada bayi sekitar 7% sampai 35% dengan puncak insidens antara 9 sampai 12 bulan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan ataupun kelompok etnis. Data penelitian di Inggris Raya menunjukkan insidens diaper dermatitis 25% pada 4 minggu pertama, tetapi juga dapat terjadi pada orang dewasa berbagai umur yang menggunakan popok. Pada tahun 1997 data statistik menunjukkan bahwa angka kejadian pada orang Asia adalah 4,5%, dengan 79,3% kulit putih, 15,1% kulit hitam, dan 1% orang IndianAmerika. ETIOLOGI Diaper dermatitis tidak ditemukan pada anak-anak yang tidak menggunakan popok. Etiologi dermatitis popok adalah multifaktorial. Kerusakan kulit area diaper merupakan akibat beberapa faktor yang berlangsung lama, sehingga meningkatkan kelembapan kulit. Hal tersebut meningkatkan risiko kerusakan kulit karena gesekan, penurunan fungsi barier kulit, dan meningkatkan reaktivitas iritan. Faktor etiologi lain adalah kontak dengan urin, tinja, enzim pencernaan pemecah protein dan lemak pada tinja, peningkatan pH kulit dan superinfeksi kandida, lebih jarang superinfeksi bakteri. Kulit yang memakai popok mempunyai pH lebih tinggi daripada kulit tidak menggunakan popok baik pada bayi maupun anak yang lebih tua. Peningkatan pH juga terkait dengan efek oklusi popok dan peningkatan permeabilitas kulit. Penyebab diaper dermatitis iritan adalah amoniak dalam urin ataupun tinja yang dapat menyebabkan maserasi kulit. Penyebab lain yaitu peningkatan hidrasi kulit, kulit lembap lebih mudah terluka karena gesekan popok saat anak bergerak dan lebih mudah teriritasi. Kulit basah juga memungkinkan pertumbuhan bakteri dan ragi yang dapat meningkatkan pH kulit lokal, meningkatkan aktvitas lipase 15 dan protease tinja. Diaper dermatitis juga dapat disebabkan oleh Candida albicans yang merupakan parasit sekunder. Penggunaan antibiotik juga meningkatkan kolonisasi Candida albicans. Faktor-faktor lain adalah kontak dengan iritan kulit (urin, feses, garam empedu), gesekan mekanis (kulit ke kulit, popok ke kulit), pH kulit, status gizi atau diet (komposisi feses), diare, dan kondisi medis tertentu. PATOGENESIS Diaper dermatitis secara umum disebabkan eaksi iritan pada lingkungan popok seperti friksi, oklusi, kelembapan, maserasi, urin, feses atau kimia; juga berhubungan dengan kebiasaan minum susu lewat botol dan adanya Candida albicans dalam saluran pencernaan. Sel-sel stratum korneum saling terhubung melalui desmosom; terdapat struktur lapisan lemak yang dapat melindungi kulit dari paparan air. Iritan lebih mudah menembus barier rusak. Lingkungan yang berubah karena pemakaian popok dapat mempengaruhi struktur, fungsi, dan respons penghalang kulit. Lingkungan lembap dapat menyebabkan hidrasi berlebih stratum korneum dan gangguan struktur lapisan lemak. Rusaknya integritas stratum korneum dapat menyebabkan iritasi, mudah ditembus mikroorganisme dan mengaktifkan sel Langerhans epidermis. Enzim lipase dan protease pada tinja dapat mengganggu integritas stratum korneum dan mendegradasi protein, sehingga dapat menembus sawar. Penetran atau iritan yang berinteraksi dengan keratinosit, menstimulasi pengeluaran sitokin yang kemudian berpengaruh pada pembuluh darah dermis dan menimbulkan peradangan. Iritan tersebut juga dapat meningkatkan proliferasi, metabolisme, dan diferensiasi, akibatnya epidermis mengatur ulang susunan stratum korneum dan menghasilkan struktur yang rusak, pengaturan air tidak normal, serta deskuamasi yang tidak memadai. Lesi kulit yang tertutup popok dapat terjadi apabila enzim pankreas tidak dinetralisir di usus besar dan apabila enzim pankreas bercampur garam empedu 16 akan meningkatkan oklusi, eritema, aliran darah, pH kulit, dan Trans Epidermal Water Loss (TEWL). Kulit dengan pH tinggi berhubungan dengan tingginya hidrasi kulit (kulit menjadi lebih basah). Pada pasien gangguan metabolik terjadi peningkatan enzim pencernaan, sehingga berisiko mengalami kerusakan kulit karena enzim yang tidak diserap diekskresikan lewat feses dan dapat memecah protein stratum korneum. Pada bayi dan anak-anak yang menjalani operasi usus atau dengan diare, waktu proses dan pencernaan makanan dipercepat, menghasilkan aktivitas protease dan lipase yang meningkat dan membuat kulit lebih rentan terhadap dermatitis popok. GEJALA KLINIS Gejala klinis diaper dermatitis dapat berupa diaper dermatitis iritan atau diaper dermatitis kandida. Evaluasi keparahan gejala klinis dan keberhasilan terapi secara garis besar dapat dilihat dari evaluasi eritema, ruam, dan kulit kering. Diaper dermatitis dapat memengaruhi perut bagian bawah, daerah lumbal bawah, gluteal, genitalia, paha bagian dalam, dan kulit cembung yang --paling dekat popok. Diaper Dermatitis Iritan Merupakan dermatitis eritematosa terbatas pada permukaan yang tertutup popok; bentuk diaper dermatitis paling umum, dan mengenai berbagai usia. Gambaran klinis diaper dermatitis iritan adalah patcheritematosa, lembap, dan terkadang skuama di area yang cembung di genitalia dan bokong, dimulai dari area paling dekat popok. Erosi dangkal terkadang ditemukan pada permukaan konveks yang dapat asimtomatis. Pada kasus parah didapatkan erosi dangkal 17 bahkan ulserasi, ujung penis dapat teriritasi disertai krusta, sehingga bayi sering miksi dan didapatkan bercak darah di popok. Diaper Dermatitis candida Diaper dermatitis kandida adalah dermatitis area popok yang disebabkan oleh jamur Kandida. Gejala klinisnya adalah tampak papul, patch, dan plak merah cerah pada lipatan tubuh dan pada permukaan cembung. Lesi tersebut awalnya muncul perianal kemudian menyebar ke perineum dan terkadang sampai bagian paha atas. Diaper dermatitis kandida terkadang disertai sariawan mulut yang harus segera diobati sehingga mulut bayi harus selalu diperiksa. Lesi satelit adalah tanda khas diaper dermatitis kandida. Kandida yang berasal dari flora usus sering menyebabkan dermatitis popok lebih dari 3 hari dan jumlahnya meningkat sesuai tingkat keparahan klinis.1Infeksi Candida albicans jarang terjadi pada bayi yang tidak menggunakan popok tetapi ditemukan sekitar 41% sampai 77% pada bayi yang menggunakan popok. 18 KLASIFIKASI TINGKAT KEPARAHAN Meskipun belum ada metode baku atau divalidasi universal untuk menilai tingkat keparahan diaper dermatitis, terdapat klasifikasi yang dapat menjadi panduan untuk menilai keparahan dan menentukan terapi. Klasifikasi ini membagi diaper dermatitis menjadi kriteria sangat ringan (skor 0,5), ringan (skor 1), sedang (skor 2), sedang-berat (skor 2,5), dan berat (skor 3). 19 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang terutama untuk identifikasi infeksi Kandida. Infeksi ini sering terjadi setelah diare atau penggunaan antibiotik oral. Diagnosis diaper dermatitis kandida berdasarkan karakteristik morfologi klinis kandida yang pada kerokan Kalium Hidroksida (KOH) menunjukkan adanya pseudohifa. Pemeriksaan bakteri diperlukan untuk mengetahui adanya infeksi bakteri pada lesi. Pada kasus berat dapat dilakukan kultur terhadap kuman Staphylococcus aureus. TATALAKSANA Diaper dermatitis dapat dicegah dengan menggunakan popok daya serap tinggi; cara kerjanya adalah menyerap air dari kulit yang basah dan melindungi pH tetap terjaga. Popok superabsorben lebih baik dibandingkan popok kain atau popok sekali pakai. Penggunaan popok sekali pakai dengan gel penyerap (mengandung natrium poliakrilat) dapat mengurangi dermatitis popok bayi. Pada lesi di daerah tertutup popok dapat diperiksa adakah infeksi kandida; dapat dipertimbangkan penggunaan mikonazol krim 0,25%. Pilihan agen antijamur topikal adalah nistatin, mikonazol, klotrimazol, dan siklopiroks; nistatin paling sering digunakan. Nistatin topikal sudah digunakan selama 50 tahun untuk mengobati infeksi kandida; aman dan efektif untuk terapi kandidiasis kutaneus pada bayi. Penggunaan nistatin pada diaper dermatitis menunjukkan hasil memuaskan. Klotrimazol juga efektif untuk dermatitis popok karena Candida albicans dan pada dermatomikosis resisten terhadap nistatin dan terapi anti-jamur lainnya. Jika tidak ditemukan infeksi kandida, dapat diperiksa apakah ada infeksi bakteri. Infeksi dapat diberi antibakteri topikal (pilihan utama polimiksin B sulfat dan zink basitrasin, mupirosin krim 2%, atau asam fusidat krim 2%). 20 Terapi paling utama diaper dermatitis adalah menjaga kulit tetap kering dengan mengganti popok sesering mungkin setelah terkena urin atau tinja. Bahanbahan aktif mengandung zink oksida, petrolatum, minyak hati ikan kod, dimetikon, atau lanolin dapat menjadi pilihan terapi. Zink oksida topikal 0,25% sangat baik memberikan perlindungan tahan air, sehingga mengurangi gesekan dan maserasi. Zink oksida efektif untuk pencegahan ataupun terapi diaper dermatitis tipe sedang; untuk diaper dermatitis tipe lebih parah diperlukan agen anti-jamur dan kortikosteroid potensi rendah seperti hidrokortison. Lesi yang belum membaik dapat diberi campuran salep nistatin dan hidrokortison 1% salep dengan perbandingan yang sama. Kortikosteroid topikal potensi rendah seperti hidrokortison dan hidrokortison asetat secara umum aman untuk anak-anak, direkomendasikan untuk diaper dermatitis sedang sampai parah. Terapi kombinasi antijamur dan kortikosteroid potensi sedang-tinggi tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan atrofi kulit dan lebih mudah penetrasi pada kondisi popok oklusif. Secara garis besar pencegahan dan terapi praktis diaper dermatitis dapat diringkas dengan terapi “ABCD”, yaitu: 1. Air (Udara): pada area tertutupi popok harus sesering mungkin terkena udara dengan membuka popok secara berkala. 2. Barrier (Penghalang): mengoleskan krim barrier (misalkan zink oksida atau petrolatum) ke area yang tertutup popok untuk bayi yang berisiko terkena dermatitis popok. 3. Cleansing (Pembersihan): selalu bersihkan area terkena popok dengan lembut menggunakan air setiap penggantian popok, hindari menggosok kuat. 4. Diaper (Popok): gunakan popok daya serap tinggi dan hindari popok kain. Ganti popok setiap 1 hingga 3 jam.5. Education (Edukasi): orang tua harus diberi edukasi tata cara pencegahan dan pengobatan dermatitis popok. 21 KOMPLIKASI Komplikasi diaper dermatitis termasuk punch out ulcers atau erosi dengan tepi meninggi (Jacquet erosive diaper dermatitis), papul/nodul pseudoverukosa, ataupun plak dan nodul keabuan (granuloma gluteal infantum). Jacquet erosive diaper dermatitis merupakan bentuk parah diaper dermatitis dengan gambaran klinis ulserasi parah atau erosi dengan tepi meninggi. Absorpsi topikal kortikosteroid secara signifikan meningkat pada area kulit tipis dan potensial atrofi, sehingga penggunaan di selangkangan perlu diperhatikan. Pernah dilaporkan adanya striae atrofi setelah penggunaan kombinasi produk nistatin dan triamsinolon. 22 PROGNOSIS Prognosis dermatitis popok tergantung tingkat keparahan. Kasus tanpa komplikasi mempunyai prognosis baik; jika terjadi komplikasi, membutuhkan waktu penyembuhan lebih lama. 2. LESI ERITRO-SQUAMOSA a. Psoriasis Vulgaris Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit kulit inflamasi kronis residif yang dicirikan oleh lesi berupa plak eritema yang ditutupi oleh skuama tebal, kasar, kering berwarna putih keperakan pada area predileksi seperti ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, bokong dan genitalia. Selain tempat-tempat tersebut lesi juga dapat dijumpai pada umbilikus dan ruang intergluteal. 23 Epidemiologi Psoriasis terdapat di seluruh dunia dengan prevalensi yang bervariasi dari 1% sampai 3%. Di Amerika Serikat, prevalensi berkisar antara 2,2% - 2,6%, sedangkan di Asia 0,4%. Di Eropa insiden tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark sebesar 2,9% . Insiden penyakit ini diperkirakan 60 kasus baru per 100.000 penduduk per tahun. Hal ini dipengaruhi oleh lokasi geografis, ras dan faktor lingkungan lain. Psoriasis dapat dijumpai pada laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang sama . Puncak insiden psoriasis terjadi pada usia dewasa awal (20 sampai 30 tahun) dan dewasa lanjut (50 sampai 60 tahun), psoriasis dapat dijumpai pada segala usia. Etiologi Meskipun pola pewarisan psoriasis masih belum sepenuhnya dipahami, telah banyak penelitian menemukan adanya bukti akan keterlibatan faktor genetik pada terjadinya psoriasis. Psoriasis terjadi pada 50% saudara kandung penderita psoriasis dengan kedua orang tua yang juga menderita psoriasis. Tujuh puluh satu persen penderita psoriasis usia anak memiliki riwayat keluarga positif akan 24 psoriasis. Tingginya angka prevalensi psoriasis pada kembar monozigot, yaitu 70% sementara kembar dizigot 20% juga mendukung konsep predisposisi genetik. Diduga adanya keterkaitan faktor genetik dengan beberapa lokus gen yaitu PSORS1, PSORS2, PSORS3, PSORS4, PSORS5, PSORS6, PSORS7, PSORS 8 dan PSORS 9. Diantara lokus gen suseptibel psoriasis tersebut didapatkan hubungan yang paling kuat dengan insiden psoriasis adalah PSORS1. Faktor lingkungan memegang peranan penting pada terjadinya psoriasis. Pencetus dari lingkungan antara lain infeksi (streptokokus, stapilokokus dan human immunodeficiency virus), stress, obat-obatan (litium, beta blockers, anti malaria, obat antiinflamasi non steroid, tetrasiklin, angiotensin converting enzyme inhibitors, calcium channel blockers, kalium iodida), trauma fisik, paparan sinar ultraviolet, faktor metabolik (pubertas, kehamilan), merokok, dan konsumsi alkohol yang berlebihan. Patogenesis Psoriasis vulgaris ditandai oleh hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi keratinosit epidermal, hiperaktivasi sel inflamasi seperti sel T, sel dendritik, atau neutrofil, dan peningkatan angiogenesis di dermis. Terdapat beberapa jenis sel yang terlibat pada patogenesis terjadinya psoriasis antara lain sel penyaji antigen (antigen-presenting cell/APC) termasuk sel limfosit T, sel keratinosit, sel langerhans (Langerhans cell/LC) dan makrofag. Sistem imunitas seluler alami dan didapat terutama aktivasi sel T memainkan peran utama pada terjadinya psoriasis. Pada individu dengan predisposisi genetik, rangsangan eksternal seperti trauma (dikenal sebagai fenomena Koebner), infeksi, stres, obat-obatan, dan alkohol dapat memicu episode awal psoriasis. Keratinosit yang terstimulasi melepaskan deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) yang membentuk kompleks dengan katelisidin leusin-leusin 37 (LL37) yang kemudian menginduksi produksi IFN-α oleh sel dendritik plasmasitoid (pDC), yang kemudian mengaktivasi sel dermal dendritik (dDC). Sel dDC bermigrasi ke 25 kelenjar limfe regional menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur berinteraksi dengan sel T naif dan memproduksi sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi sel seperti sel Th1, Th17 dan Th22. Sel Th1 akan menstimuli proliferasi keratinosit dengan mengekspresikan chemokine (c-x-c motif) receptor 3 (CXCR3) dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (cx-c motif) ligand 9/10/11 (CXCL9/10/11). Sel Th17, menstimuli keratinosit dalam menghasilkan kemokin penarik neutrofil yaitu chemokine (c-c motif) receptor 6 (CCR6) dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-c motif) ligand 20 (CCL20) yang akan memicu proliferasi keratinosit. Sel Th-17 mensekresikan IL- 17A dan IL-17F, juga IFN-γ dan IL-22 yang menstimulasi proliferasi keratinosit dan melepaskan β-defensin 1/2, S100A7/8/9 dan kemokin perekrut neutrofil CXCL1, CXCL3, CXCL5, dan CXCL8. Neutrofil menginfiltrasi stratum korneum dan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan α-defensin dengan aktivitas antimikrobial, seperti CXCL8, IL-6, dan CCL20. Keratinosit juga melepaskan vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), dan angiopoetin untuk meningkatkan proliferasi sel endotel dan merangsang angiogenesis . Sel Langerhans pada stratum basalis berhubungan dan berinteraksi erat dengan sel keratinosit melalui E-cadherin. Sel Langerhans berperan melalui produksi IL-22 dan akhirnya Th22. Makrofag berinteraksi dengan sel keratinosit dan mensekresikan berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IFN-α/β, IL1β, IL-6, IL-12, IL-10 dan IL-18 . Pada perbatasan dermis dan epidermis, sel T cluster of differentiation-8 (CD-8) mengekspresikan very late antigen-1 (VLA-1) berikatan kolagen tipe IV, melepaskan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-17, IL-21, IL-22 dan IFN-γ. IL-17 dan IL-22 ini meningkatkan produksi LL-37 menyebabkan aktivasi terus menerus dari sistem imunitas. Gambaran patogenesis psoriasis vulgaris dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 26 Diagnosis Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada penderita psoriasis vulgaris biasanya memperoleh adanya keluhan gatal dan bercak merah berisisik pada lokasi predileksi. Keluhan dapat bersifat akut (hitungan hari) maupun kronis (bulanan sampai tahunan), dengan ataupun tanpa riwayat rekurensi. Penyakit yang bersifat kronis dengan frekuensi rekurensi tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk karena sering dijumpai perluasan lesi yang progresif. Selain hal diatas, anamnesis juga sangat penting dalam mengetahui adanya konsumsi obat-obatan yang dapat memicu psoriasis vulgaris, onset penyakit dan adanya riwayat psoriasis pada anggota keluarga lain. Psoriasis beronset dini dengan adanya anggota keluarga lain yang menderita psoriasis telah dihubungkan dengan lesi yang lebih luas dan bersifat rekuren. Selain lesi kulit penderita psoriasis sering kali mengeluhkan adanya nyeri sendi, kerusakan kuku maupun nyeri di lidah. Psoriasis vulgaris atau psoriasis dengan lesi plak kronis merupakan presentasi klasik dan yang paling sering dijumpai pada psoriasis. Lesi klasik psoriasis berupa plak eritema berbatas tegas dan ditutupi skuama berwarna putih. 27 Skuama pada lesi tampak berwarna putih menyerupai lilin ketika dikerok (fenomena Kaarsvlek atau tetesan lilin). Ketika pengerokan dilanjutkan maka akan dijumpai bintik-bintik perdarahan berukuran kecil (pin point bleeding) yang disebut sebagai tanda Auspitz. Kulit sehat yang sebelumnya digaruk oleh penderita dapat berkembang menjadi lesi dalam jangka waktu kurang lebih dua minggu (fenomena koebner atau isomorfik). Fenomena Kaarsvlek dan tanda Auspitz merupakan ciri khas lesi psoriasis vulgaris yang sangat mudah diperiksa secara klinis (Kuchekar dkk., 2011; Gudjonsson dan Elder, 2012). Lesi psoriasis vulgaris cenderung simetris dijumpai pada bagian ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, bokong dan genitalia Selain di tempat-tempat tersebut lesi juga dapat dijumpai pada umbilikus dan celah intergluteal. Berdasarkan gambaran klinisnya psoriasis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk antara lain : • Psoriasis vulgaris Psoriasis vulgaris merupakan 90% dari seluruh kasus psoriasis yang ditemukan. Lesi khas dijumpai pada area predileksi psoriasis pada tipe ini. Meskipun demikian variasi ukuran dan bentuk lesi menyebabkan lesi ini sering kali disebut dengan nama yang berbeda-beda seperti psoriasis geografika (menyerupai peta), psoriasis girata (gabungan beberapa plak), psoriasis anularis (menyerupai cincin), psoriasis rupioid (menyerupai kerucut) dan psoriasis ostrasea (menyerupai kulit kerang). • Psoriasis gutata Dicirikan oleh munculnya plak berukuran kecil (diameter 0,5-1,5 cm) pada bagian proksimal badan dan ekstremitas yang terjadi secara akut. Psoriasis gutata umumnya dijumpai pada usia dewasa muda, dihubungkan dengan HLA-Cw6 dan didahului oleh infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh streptokokus. • Psoriasis plak kecil 28 Dibedakan dengan psoriasis gutata oleh onsetnya yang terjadi pada usia tua, sifatnya yang kronis serta ukuran lesi yang lebih besar (diameter 1 sampai 2 cm). Selain itu lesi juga lebih tebal dan lebih berskuama. • Psoriasis inversa/fleksural Sesuai namanya, lesi psoriasis inversa/fleksural umumnya dijumpai pada lipatan- lipatan utama tubuh seperti aksila, genitokrural dan leher. Skuama biasanya sangat sedikit atau tidak ada dan lesi menunjukkan eritema mengkilap berbatas jelas. • Psoriasis eritroderma Psoriasis eritroderma merupakan bentuk psoriasis generalisata yang mengenai seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas. Meskipun gejala klasik psoriasis dapat dijumpai, pada tipe ini eritema adalah gejala yang paling dominan. • Psoriasis pustulosa Gejala utama psoriasis pustulosa ialah dijumpainya pustul multipel steril yang menyebar di atas kulit yang eritema. Terdapat beberapa varian klinis psoriasis, antara lain psoriasis pustulosa generalisata (tipe von Zumbusch), psoriasis pustulosa anularis, impetigo herpetiformis dan psoriasis pustulosa lokalisata yaitu pustulosis palmaris et plantaris dan akrodermatitis kontinua Hallopeau. • Sebopsoriasis Sebopsoriasis ditandai oleh plak eritema dengan skuama berminyak terlokalisir pada daerah-daerah seboroik seperti kulit kepala, lipatan nasolabial, perioral, presternal dan intertriginosa. • Psoriasis popok Psoriasis popok biasanya terjadi pada usia 3 sampai 6 bulan. Lesi awalnya muncul pada area popok sebagai eritema multipel yang berkonfluen, kemudian 29 diikuti oleh munculnya papul eritema kecil. Papul ini memiliki skuama putih psoriasis yang tipikal. • Psoriasis linearis Bentuk ini merupakan bentuk psoriasis yang sangat jarang dijumpai. Lesi yang dijumpai berbentuk linear dan berlokasi di ekstremitas. Selain pada kulit, lesi psoriasis juga dapat dijumpai pada sendi, kuku dan lidah. Empat puluh persen penderita psoriasis mengalami artritis yang disebut dengan artritis psoriatik. Gejala yang djumpai berupa nyeri, bengkak, kaku, kemerahan dan penurunan mobilitas sendi perifer, aksial, seluruh jari, tendon maupun entesis (tempat perlekatan ligamen atau tendon ke tulang). Terdapat beberapa manifestasi psoriasis pada kuku antara lain pitting nail, oil drop atau salmon patch sign, beau lines, splinter hemorrhages, onikoreksis, leukonikia, onikolisis, penipisan lempeng kuku, hiperkeratosis subungual dan onikolisis. Meskipun tidak bersifat spesifik pada penderita psoriasis dapat dijumpai lidah geografik yang juga dikenal sebagai glositis migratori benigna atau glositis areata migrans. Kondisi ini terjadi akibat hilangnya papila filiformis lokal pada lidah (Gudjonsson dan Elder, 2012; Boehncke dkk., 2015). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis psoriasis vulgaris terdiri dari pemeriksaan darah, pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan darah lengkap bersifat tidak spesifik dan berbagai penanda inflamasi seperti C-reactive protein (CRP), makroglobulin a2 dan laju endap darah menunjukkan peningkatan. Albumin serum biasanya menurun akibat hilangnya stratum korneum sementara profil lipid menunjukkan peningkatan. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya hiperkeratosis jenis parakeratosis, akantosis, papilomatosis, dilatasi pembuluh darah, spongiform pustules of Kogoj maupun mikroabses Munro. Penilaian Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris Metode perhitungan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang digunakan adalah Psoriasis Area and Severity Index (PASI). Penilaian ini membagi tubuh 30 menjadi 4 regio, yaitu kepala (10% luas permukaan tubuh), lengan (20%), badan (30%) dan tungkai (40%). Terdapat tiga faktor yang dinilai yaitu eritema (E), indurasi (I) dan skuama (S), yang masing masing diberi angka 0 sampai 4 untuk menunjukkan tidak adanya gejala sampai kondisi yang paling berat. Luasnya permukaan kulit yang tertutup lesi kemudian diberi angka 0 sampai 6. Nilai akhir PASI diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian dari penjumlahan nilai eritema, indurasi dan deskuamasi tiap-tiap regio tubuh dengan luas permukaan tubuh yang terlibat (angka 0 sampai 6) dengan koefisien peregio tubuh (kepala 0,1, lengan 0,2, badan 0,3 dan tungkai 0,4). Nilai 0 menunjukkan tidak adanya penyakit dan 72 menunjukkan kondisi penyakit yang paling berat. Berdasarkan nilai PASI maka penderita psoriasis diklasifikasikan menjadi ringan jika PASI < 7, sedang jika PASI 7-12 dan berat jika PASI > 12. Penatalaksanaan Terdapat 3 jenis terapi yaitu terapi topikal, fototerapi dan sistemik seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Terapi pada psoriasis vulgaris diberikan berdasarkan pada luas area tubuh yang terkena. Bila area permukaan tubuh yang terkena kurang dari 10% (ringan), pilihan pengobatannya adalah pengobatan topikal dan dapat dikombinasi dengan fototerapi. Bila area yang terlibat antara 10- 30 % (sedang) dapat diberikan terapi kombinasi antara terapi topikal, fototerapi, dan pusat perawatan harian. Sementara itu untuk kategori berat dengan keterlibatan lesi lebih dari 30% area permukaan tubuh diperlukan pengobatan sistemik yang dikombinasi dengan pusat perawatan harian, fototerapi dan terapi topikal. Terapi topikal terdiri dari emolien, glukokortikoid, analog vitamin D, asam salisilat, dithranol, tazaroten dan tar. Fototerapi terdiri dari narrow-band ultraviolet B (NB-UVB), broad-band ultraviolet B (BB-UVB), psoralen yang dikombinasikan dengan sinar ultraviolet A (PUVA), laser excimer dan klimatografi. Terapi sistemik terdiri dari metotreksat, asitretin, agen biologis 31 (alefacept, etanercept, adalimumab, infliximab, ustekinumab), siklosporin A, hidroksiurea, 6-tioguanin, celcept dan sulfasalazin. Gambar 2.2 Algoritme pemilihan terapi pada psoriasis vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012). b. Dermatitis Seboroik Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulosquamous kronis umum yang mudah dikenali. Penyakit ini dapat timbul pada bayi dan dewasa dan seringkali dihubungkan dengan peningkatan produksi sebum (sebaseus atau seborrhea) kulit kepala dan daerah folikel kaya sebaseus pada wajah dan leher. Kulit yang terkena berwarna merah muda, bengkak, dan ditutupi dengan sisik berwarna kuningcoklat dan krusta. Dermatitis seboroik memiliki dua puncak usia, yang pertama pada bayi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar dekade keempat sampai ketujuh kehidupan. Tidak ada data yang tepat tersedia kejadian dermatitis 32 seboroik pada bayi, tetapi gangguan ini umum.Penyakit pada orang dewasa diyakini lebih umum daripada psoriasis.Penyakit ini mempengaruhi setidaknya 35% dari populasi di Amerika Serikat. Pria lebih sering terkena daripada wanita pada semua kelompok umur. Dermatitis seboroik ditemukan pada 85% pasien dengan infeksi HIV. Dermatitis seboroik banyak terjadi pada pasien yang menderita penyakit parkinson karena produksi sebumnya meningkat. Gambaran khas dermatitis seboroik adalah eritema dengan warnakemerahan dan ditutupi dengan sisik berminyak besar yang dapat dilepaskan dengan mudah.Pada kulit kepala, lesi dapat bervariasi dari sisik kering (ketombe) sampai sisik berminyak dengan eritema (Gambar 1.A). Pada wajah, penyakit ini sering mengenai bagian medial alis, yaitu glabella (Gambar 1.B), lipatan nasolabial (Gambar 1.C), concha dari daun telinga, dan daerah retroauricular (Gambar 1.D). Lesi dapat bervariasi dalam tingkat keparahan eritema sampai sisik halus (Gambar 1.E).Pria dengan jenggot, kumis, atau jambang, lesi mungkin melibatkan daerah yang ditumbuhi rambut (Gambar 1.F), dan lesi hilang jika daerah tersebut dicukur.Daerah dada medial pada pria terlihat petaloid yang bervariasi dan ditandai dengan bercak merah terang di pusat dan merah gelap di tepi (Gambar 1.G).Pasien yang terinfeksi HIV, lesi terlihat menyebar dengan pertanda inflamasi (Gambar 1.H). 33 Meskipun banyak teori yang ada, penyebab dermatitis seboroik masih belum diketahui secara pasti. Namun ada tiga faktor yang berkaitan dengan munculnya dermatitis seboroik, yaitu aktivitas kelenjar sebaseus, peran mikroorganisme, dan kerentanan individu. 1) Aktivitas Kelenjar Sebaseus (Seborrhea) Kelenjar sebaseus terbentuk pada minggu ke-13 sampai minggu ke-16 dari kehamilan. Kelenjar sebaseus menempel pada folikel rambut, mensekresikan sebum ke kanal folikel dan ke permukaan kulit. Kelenjar sebaseus berhubungan dengan folikel rambut di seluruh tubuh, hanya pada telapak tangan dan telapak kaki yang tidak memiliki folikel rambut dimana kelenjar sebaseus sama sekali tidak ada. Kelenjar sebaseus yang terbesar dan paling padat keberadaannya ada di wajah dan kult kepala.Rambut yang berhubungan dengan kelenjar sebaseus yang ukurannya besar, sering memiliki ukuran yang kecil.Terkadang pada daerah tersebut, tidak disebut dengan folikel rambut, tapi disebut dengan folikel sebaseus. Kelenjar sebaseus mensekresikan lipid dengan cara mengalami proses disintegrasi sel, sebuah proses yang dikenal dengan holokrin. Aktivitas metabolik sel dalam kelenjar sebaseus bergantung status differensiasi.Sel bagian luar terdiri atas sel membran basal, ukuran kecil, berinti dan tidak mengandung lipid. Lapisan ini mengandung sel yang terus membelah mengisi kelenjar sebagai sel yang dilepaskan pada proses ekskresi lipid. Selama sel ini bergerak ke bagian tengah kelenjar, sel mulai menghasilkan lipid dan membesar mengandung banyaklipid sehingga inti dan struktur sel lain hancur. Sel ini mendekati duktus sebaseus, sehingga sel akan mengalami desintegrasi dan melepaskan isi. Sebum adalah cairan kuning yang terdiri dari trigliserid, asam lemak, wax ester, sterol ester, kolesterol dan squalene. Saat disekresi, komposisi sebum terdiri dari trigliserid dan ester yang dipecah menjadi digliseid,monogliserid dan asam lemak bebas oleh mikroba komensal kulit dan enzim lipase.Sebum manusia mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh, dengan kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi. Belum diketahui secara pasti apa fungsi sebum, namun diduga sebum 34 mengurangi kehilangan air dari permukaan kulit sehingga kulit tetap halus dan lembut. Sebum juga punya efek ringan bakterisidal dan fungistatik.Hormon androgen, khususnya dihidrotestoteron menstimulai aktivitas kelenjar sebaseus. Kelenjar sebaseus manusia mengandung 5α-reductase, 3α- dan 17α- hydroxysteroid dehydrogenase, yang merubah androgen yang lebih lemah menjadi dihydrotestosteron,yang akan mengikatkan dirinya pada reseptor spesifik di kelenjar sebaseus kemudian meningkatkan sekresinya. Kelenjar sebaseus mempunyai reseptor dehidroepiandrosteron sulfas (DHEAS) yang juga berperan dalam aktivitas kelenjar sebaseus. Level DHEAS tinggi pada bayi baru lahir, rendah pada anak usia 2-4 tahun dan mulai tinggi pada saat ekskresi sebum mulai meningkat. Seborrhea merupakan faktor predisposisi dermatitis seboroik,namun tidak selalu didapatkan peningkatan produksi sebum pada semua pasien.Dermatitits seboroik lebih sering terjadi pada kulit dengan kelenjar sebaseus aktif dan berhubungan dengan produksi sebum.Insiden dermatitis seboroik juga tinggi pada bayi baru lahir karena kelenjar sebaseusyang aktif yang dipengaruhi oleh hormon androgen maternal, dan jumlah sebum menurun sampai pubertas. 2) Efek Mikroba Unna dan Sabouraud, adalah yang pertama menggambarkan penyakit dermatitis seboroik melibatkan bakteri, jamur, atau keduanya.Hipotesis ini kurang didukung, meskipun bakteri dan jamur dapat diisolasi dalam jumlah besar dari situs kulit yang terkena. Malassezia merupakan jamur yang bersifat lipofilik, dan jarang ditemukan pada manusia. Peranan malassezia sebagai faktor etiologi dermatitis seboroik masih diperdebatkan. Dermatitis seboroik hanya terjadi pada daerah yang banyak lipid sebaseusnya, lipid sebaseus merupakan sumber makanan malassezia. Malassezia bersifat komensal pada bagian tubuh yang banyak lipid. Lipid 35 sebaseus tidak dapat berdiri sendiri karena mereka saling berkaitan dalam menyebabkan dermatitis seboroik. 3) Kerentanan Individu Kerentanan atau sensitivitas individu berhubungan dengan respon pejamu abnormal dan tidak berhubungan dengan Malassezia.Kerentanan pada pasien dermatitis seboroik disebabkan berbedanya kemampuan sawar kulit untuk mrncegah asamlemak untuk penetrasi.Asam oleat yang merupakan komponen utama dari asam lemak sebum manusia dapat menstimulasi deskuamasi mirip dandruff. Penetrasi bahan dari sekresikelenjarsebaseus pada stratum korneum akan menurunkan fungsi dari sawar kulit, dan akan menyebabkan inflamasi serta squama pada kulit kepala. Hasil metabolit ini dapat menembus stratum korneum karena berat molekulnya yang cukup rendah (<1-2kDa) dan larut dalam lemak. Terapi dermatitis seboroik bertujuan menghilangkan sisik dan krusta, penghambatan kolonisasi jamur, pengendalian infeksi sekunder, dan pengurangan eritema serta gatal. Pasien dewasa harus diberitahu tentang sifat kronis penyakit dan memahami bahwa terapi bekerja dengan caramengendalikan penyakit dan bukan dengan mengobati. Prognosis dermatitis seboroik infantil sangat baik karena kondisinya yang jinak dan self-limited. 1) Bayi Pengobatan terdiri dari langkah-langkah berikut: penghapusan krusta dengan 3 sampai 5 % asam salisilat dalam minyak zaitun atau air, kompres minyak zaitun hangat, pemakaian glukokortikosteroid-potensi rendah (misalnya 1 % hidrokortison) dalam bentuk krim atau lotion selama beberapa hari, antijamur topikal seperti imidazoles dalam sampo bayi yang lembut. 2) Dewasa Karena penyakit dermatitis seboroikbersifat kronis, dianjurkan menggunakan terapi yang ringan dan hati-hati.Obat anti-inflamasi dan jika 36 diperlukan agen antimikroba atau antijamur harus digunakan. Pada kepala, sering keramas dengan shampoo yang mengandung 1-2,5% selenium sulfida, imidazoles (misalnya 2% ketokonazole), pyrithione seng, benzoil peroksida, asam salisilat, atau deterjen dianjurkan. Krusta (Remah) atau sisik dapat hilang oleh pemakaian semalam glukokortikosteroid atau asam salisilat dalam air atau bila perlu dipakai dengan caradressing (dibungkus). Tincture, agen beralkohol, tonik rambut, dan produk sejenis biasanya memperburuk peradangan dan harus dihindari. Pada wajah dan leher, pasien harus menghindari kontak dengan agen berminyak dan mengurangi atau menghilangkan penggunaan sabun.Glukokortikosteroid potensi rendah (1% hidrokortison biasanya cukup) sangat membantu di awal perjalanan penyakit.Pemakaian jangka panjang yang tidak terkontrol akan menyebabkan efek samping seperti dermatitis steroid, fenomena reboundsteroid, steroid rosacea, dan perioral dermatitis. c. Pitiriasis Rosea Pitiriasis rosea (PR) adalah kelainan papulosquamous yang pertama kali dijelaskan oleh Robert Willan pada tahun 1798 tetapi dengan terminologi lain. Selanjutnya, berbagai nama telah diberikan untuk kelainan ini seperti pityriasis circinata, roseola annulata, dan herpes tonsurans maculosus. PR biasanya dimulai dengan perkembangan plak bersisik eritematosa besar yang juga disebut patch herald di lengan atau leher, yang diikuti oleh erupsi beberapa lesi bersisik eritematosa sekunder kecil yang terletak terutama di batang dan mengikuti garis pembelahan di bagian belakang (penampilan seperti pohon Natal atau pohon cemara terbalik). Penskalaan collarette biasanya terlihat. Erupsi ini biasanya diawali dengan gejala sakit tenggorokan, gangguan gastrointestinal, demam, dan artralgia. Namun, karena prodormal mungkin ringan dan erupsi dapat terjadi beberapa saat setelah prodormal, pasien mungkin tidak memberikan anamnesis yang tepat kecuali jika diketahui. Perkiraan kejadian PR adalah 0,5-2% 37 dan mempengaruhi orang dari kedua jenis kelamin dalam kelompok usia 15-30 tahun meskipun juga terlihat umum pada orang tua dan anak-anak. Penyakit ini dapat sembuh sendiri (self-limiting disease) dan pada kebanyakan kasus, erupsi membaik dalam 2-8 minggu / waktu. Pengelompokan keluarga telah dilaporkan, dan penyakit ini lebih sering terjadi di musim dingin.Gejala klinisnya malaise nausea, demam dan nyeri kepala di awal yaitu 1-3 hari kemudian kulit terasa gatal dengan morfologi skuama halus dengan ruam berjumlah soliter (herald patch-lesi pertama) bentuk anular diameter 3 cm dengan lokasi pertama di badan yang nantinya akan ada lesi kedua dan seterusnya. Penyebab pitiriasis rosea brlum sepenuhnya diketahui, tetapi kemungkinan PR terjadi karena adanya infeksi virus herpes 7 dan 8, pasca difteri, imunisas BCG, dan karena obat. Beberapa obat yang mungkin dapat menimbulan PR tertulis pada tabel di bawah ini: 38 Diagnosis banding diantaranya adalah tinea korporis, psoriasis gutata, dan dermatitis seboroik. Tinea korporis berbeda dengan pitiriasis rosea melalui adanya gatal, dan negatifnya hasil KOSH. Psoariasis gutata ukurannya lebih kecil tersusun menyebar dan skuama lebih tebal. dermatitis seboroik tidak ditemukan herald patch dengan warna lebih gelap dna berminyak.Tatalaksana simptomatis saja dimana menggunakan pereda gatal dengan bedak asam salisilat dan mentol 12%. Prognosis baik karena sebetulnya dapat sembuh total sendiri. 3. KELAINAN KELENJAR SEBASEA DAN EKRIN a. Akne vulgaris ringan Akne vulgaris (AV) atau sering disingkat akne dan umumnya dikenal dengan nama jerawat adalah inflamasi kronis dari unit pilosebaseus yang ditandai komedo, papul, pustul, nodul dan kista pada daerah-daerah predileksi yaitu muka, punggung, dada, bahu dan lengan bagian atas. 39 Etiologi dan Patogenesis Akne vulgaris merupakan penyakit yang multifaktorial, namun terdapat empat faktor utama yang menyebabkan timbulnya akne, yaitu: (1) hiperproliferasi epidermis folikel kulit, (2) produksi sebum berlebih, (3) inflamasi, dan (4) adanya aktivitas bakteri Propionibacterium acnes. Jerawat muncul pada unit pilosebasea di lapisan dermis dimana terdapat folikel rambut dan berhubungan dengan kelenjar sebasea. Pada saat pubertas, produksi hormon androgenik dan hormon testosteron meningkat. Jika kelenjar sebasea sensitif terhadap testosteron, mereka memproduksi minyak berlebih sehingga menyebabkan kulit menjadi berminyak. Pada saat yang sama, keratin di dinding epitel folikel mengalami perubahan. Gabungan dari hiperkeratinisasi dan peningkatan sebum ini kondusif untuk kolonisasi P.acnes, mengakibatkan berbagai sitokin inflamasi dan faktor kemotaktik selanjutnya menginisiasi cascade inflamasi. Sebelum pubertas, sel-sel yang mati keluar dengan halus dari pembukaan saluran duktus, tetapi pada saat pubertas dan pada pasien akne, proses ini terganggu. Sel-sel ini mengalami perkembangan abnormal dan menutupi pembukaan di epidermis dan menurunkan pengeluaran sebum secara efektif. Minyak terjebak pada folikel rambut saat duktus tertutup. Minyak menutupi pembukaan folikel pada epidermis dan menyebabkan mereka membesar di bawah kulit. Jika mulut dari kanal folikular terbuka secara cukup, material keratin akan melewati itu dan menghasilkan komedo yang dikenal dengan komedo terbuka. Tetapi jika mulut kanal tidak cukup terbuka akan menghasilkan komedo tertutup dimana inflamasi bisa terjadi. Kebanyakan akne mengalami kombinasi antara komedo tertutup dan terbuka. 40 Gradasi Indonesian Acne Expert Meeting (IAEM) 2012 merekomendasikan penggunaan ASEAN grading Lehmann 2003 yang mengelompokkan akne menjadi 3 kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat berdasarkan jumlah komedo, papul/pustul, dan atau nodul/kista. 41 Pasien dengan tingkat gradasi ringan mempunyai komedo terbuka dan tertutup dengan jumlah lesi aktif normal pada wajah dan tidak menyebabkan bekas permanen. Terapi Akne ringan-berat: asam retinoat topikal b. Akne vulgaris sedang – berat Pasien dengan tingkat sedang mempunyai lebih banyak papula dan pustula dan mempunyai beberapa nodula. Lesi biasanya nyeri dan terdapat kemungkinan berbekas. 42 Pada pasien dengan tingkat berat mempunyai abses nodular yang cukup banyak dan biasanya akan berbekas. Pasien juga mempunyai lesi yang banyak dan luas. Tata laksana akne sedang-berat dapat diberikan antibiotik topikal (eritromisin, klindamisin; sebaiknya dikombinasi dengan benzoil peroksida yang memiliki efek anti bakterial poten untuk mencegah resistensi P. acnes) c. Hidradenitis supuratif Hidradenitis suppurativa (HS), juga disebut acne inversus, adalah kondisi peradangan kulit kronis dengan lesi termasuk nodul dan abses yang dalam, saluran pembuangan, dan bekas luka fibrotik. 43 Etiologi HS tampaknya memiliki pengaruh genetik, lingkungan, dan perilaku. Tiga puluh tiga sampai 40% individu dengan HS melaporkan kerabat tingkat pertama yang terkena, menunjukkan komponen herediter dengan pola penularan dominan autosomal. Dalam sebagian kecil keluarga yang terkena dampak, para peneliti telah mengidentifikasi mutasi jalur pensinyalan Notch sekretase gamma. Faktor lingkungan dan perilaku juga berkontribusi. Orang dengan HS lebih sering kelebihan berat badan atau obesitas. Obesitas menyebabkan luas permukaan intertriginous yang lebih besar dan gesekan kulit, peningkatan produksi dan retensi keringat, dan perubahan hormonal yang menyebabkan kelebihan androgen relatif, yang semuanya berhubungan dengan HS. Sindrom metabolik lebih sering terjadi pada individu obesitas dan dengan demikian juga terlihat lebih umum pada HS. Merokok juga lazim di antara mereka yang didiagnosis dengan HS. Penyebabnya tidak jelas; namun, nikotin dapat menyebabkan peningkatan penyumbatan folikel. Seperti obesitas; perkembangan dan keparahan penyakit lebih buruk pada mereka yang merokok. 44 Proses patologis HS dimulai ketika folikel rambut yang rusak tersumbat dan pecah, menumpahkan isinya, termasuk keratin dan bakteri, ke dalam dermis sekitarnya. Respon inflamasi kemotaktik oleh neutrofil dan limfosit di sekitarnya kemudian dapat menyebabkan pembentukan abses dan selanjutnya merusak unit pilosebasea dan struktur lain yang berdekatan. Kontributor lain yang mungkin untuk patologi termasuk peptida antimikroba abnormal, sekresi abnormal kelenjar apokrin, invaginasi epidermis abnormal yang menyebabkan pembentukan saluran, dan kekurangan jumlah kelenjar sebaceous. Karena tahap awal HS sering keliru dengan kondisi lain, keterlambatan ratarata dalam diagnosis yang benar adalah 7 tahun. Diagnosis klinis memerlukan pengenalan morfologi (dalam, meradang, nodul nyeri, saluran sinus, bekas luka), lokasi (area intertriginous, area yang mengandung kelenjar apokrin), dan kronisitas proses penyakit (perjalanan yang berkepanjangan dengan periode aktivitas dan remisi). Hampir setengah dari individu akan melaporkan sindrom prodromal yang melibatkan rasa terbakar, menyengat, nyeri, pruritus, rasa hangat, atau hiperhidrosis di area 12 hingga 48 jam sebelum munculnya lesi. Pemicunya bisa berupa menstruasi, penambahan berat badan, stres, perubahan hormonal, panas berlebih, dan keringat. Pada presentasi, individu biasanya tampak baik dan demam, kecuali ada infeksi sekunder atau penyakit lanjut. Lesi primer yang khas adalah nodul yang terletak di dalam, biasanya 0,5 sampai 2 cm yang berlangsung dari hari ke bulan. Mereka sering disalahartikan sebagai furunkel atau "bisul". Namun, sementara furunkel akan merespons dengan cepat terhadap drainase atau antibiotik, nodul HS dalam dan dapat pecah dan keluar secara subkutan. Beberapa nodul berulang di area yang sama dapat menyebabkan pembentukan saluran sinus intercommunicating yang dapat memborok atau mengering. Drainase mungkin bernanah dan berbau busuk. Lesi lain termasuk komedo terbuka (digambarkan sebagai komedo "batu nisan"), seringkali berkepala dua atau banyak. Pada tahap lanjut, bekas luka fibrotik tebal 45 dan plak dapat berkembang yang menyebabkan distorsi arsitektural pada area tersebut. Aksila adalah lokasi paling umum untuk lesi HS. Area umum lainnya adalah inguinal, paha bagian dalam, perianal dan perineal, inframammary, bokong, area kemaluan, skrotum, vulva, batang, dan lebih jarang area kulit kepala dan retroaurikuler. Riwayat terkait termasuk onset dari pubertas hingga dewasa muda dan riwayat lesi rekuren dengan perbaikan atau resolusi intermiten. HS adalah kondisi kronis. Mengidentifikasi riwayat keluarga dengan kondisi serupa juga membantu dalam menegakkan diagnosis yang tepat. Setelah riwayat dan pemeriksaan fisik lengkap selesai, sistem pementasan Hurley dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kasus. - Hurley Tahap I: Pembentukan abses tanpa saluran atau bekas luka - Hurley Tahap II: Abses berulang dengan saluran sinus dan jaringan parut; mungkin ada lesi tunggal atau terpisah jauh - Hurley Tahap III: Keterlibatan difus, beberapa saluran sinus yang saling berhubungan, dan abses di seluruh area meninggalkan sedikit atau tidak ada kulit yang tidak terlibat. Tidak ada tes diagnosis biologis atau patologis. Diagnosis tidak memerlukan biopsi. Namun, biopsi bermanfaat untuk menyingkirkan karsinoma sel skuamosa dengan adanya HS berat jika diagnosis tidak pasti. Kultur bakteri tidak menguntungkan kecuali dicurigai adanya infeksi sekunder atau diagnosis alternatif. Pencitraan biasanya tidak membantu; Namun, USG mungkin menjadi alat yang berguna sebelum operasi untuk mengidentifikasi luasnya saluran sinus. Lesi mungkin memerlukan pencitraan lebih lanjut termasuk MRI pada penyakit perianal yang parah. Tujuan keseluruhan termasuk mengobati lesi yang ada untuk meminimalkan nyeri dan drainase, mengurangi frekuensi kekambuhan, dan pencegahan perkembangan penyakit. Karena ada penelitian terbatas yang membandingkan 46 rejimen pengobatan, sebagian besar algoritme pengobatan didasarkan pada pendapat dan konsensus ahli. Pada penyakit awal tanpa komplikasi, antibiotik topikal adalah pengobatan lini pertama. Klindamisin topikal telah menjadi yang paling efektif. Kortikosteroid intralesi dapat mengurangi peradangan lokal, dan pengelupasan sebagian (punch debridement) dari lesi individu dapat memfasilitasi penyembuhan. Perawatan untuk Hurley Tahap II dan Hurley Tahap I yang resisten melibatkan antibiotik oral. Antibiotik dalam keluarga tetrasiklin adalah yang paling efektif. Jika kegagalan pengobatan berlanjut, terapi kombinasi dengan klindamisin oral plus rifampisin direkomendasikan. Terapi hormonal antiandrogenik yang mencakup Cyproterone acetate, kontrasepsi oral, spironolakton, dan finasterida juga dapat membantu. Retinoid oral telah menunjukkan responsivitas campuran. Sementara isotretinoin paling efektif untuk jerawat, acitretin tampaknya lebih efektif untuk HS. Steroid sistemik efektif untuk beberapa individu. Untuk Hurley stadium III dan stadium bawah yang resisten, diindikasikan penghambat tumor necrosis factor-alpha. Adalimumab adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk mengobati HS. d. Dermatitis perioral Dermatitis perioral, juga dikenal sebagai dermatitis periorifisial, adalah jenis ruam kulit yang umum. Dermatitis perioral juga dikenal dengan nama lain termasuk dermatosis mirip rosacea, dermatitis periorofasial, dan dermatitis periorificial. Tidak seperti rosacea yang terutama menyerang hidung dan pipi, tidak ada telangiektasia pada dermatitis perioral. Rosacea juga cenderung muncul pada orang tua. Jerawat dapat dibedakan dengan adanya komedo dan penyebarannya yang lebih luas di wajah dan dada. Tidak ada komedo pada dermatitis perioral. 47 Gejala termasuk beberapa benjolan kecil (1-2 mm) dan lepuh kadang-kadang dengan latar belakang kemerahan dan bersisik, terlokalisasi pada kulit di sekitar mulut dan lubang hidung. Mata dan genitalia mungkin dapat terlibat, namun sangat jarang terjadi. Penyakit ini dapat menetap atau berulang dan terutama menyerupai rosacea dan sampai batas tertentu jerawat serta dermatitis alergi. Istilah "dermatitis" adalah istilah yang keliru karena ini bukan proses eksim. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti. Steroid topikal dikaitkan dengan kondisi ini dan pelembab serta kosmetik dapat berkontribusi. Mekanisme yang mendasari mungkin melibatkan penyumbatan pada permukaan kulit yang diikuti oleh pertumbuhan flora kulit yang berlebihan. Fluoride pasta gigi dan beberapa mikro-organisme termasuk Candida juga dapat memperburuk kondisi, tetapi peran mereka dalam kondisi ini tidak jelas. Ini dianggap sebagai penyakit folikel rambut dengan sampel biopsi yang menunjukkan perubahan mikroskopis di sekitar folikel rambut. Diagnosis didasarkan pada gejala. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi 0,5-1% orang setahun di negara maju. Hingga 90% dari mereka yang terkena adalah wanita berusia antara 16 dan 45 tahun, meskipun itu juga mempengaruhi anak-anak dan orang tua, dan insidennya meningkat pada pria. Gejala Sensasi perih dan terbakar dengan ruam sering dirasakan dan diperhatikan, tetapi gatal lebih jarang. Seringkali ruam responsif terhadap steroid, awalnya 48 membaik dengan penerapan steroid topikal. Kemerahan yang disebabkan oleh dermatitis perioral telah dikaitkan dengan tingkat variabel depresi dan kecemasan. Pengobatan Tata laksana biasanya dengan menghentikan penggunaan steroid topikal, mengganti kosmetik, dan dalam kasus yang lebih parah, mengonsumsi tetrasiklin melalui mulut. Menghentikan steroid awalnya dapat memperburuk ruam. 49 - Topikal: Hindari glukokortikoid topikal; metronidazol, 0,75% gel dua kali sehari atau l% sekali sehari; eritromisin. Gel 2% dioleskan dua kali sehari. - Sistemik: Minocycline atau doxycycline, 100 mg setiap hari sampai bersih, kemudian 50 mg setiap hari selama 2 bulan lagi. (Perhatian: doksisiklin adalah obat fotosensitisasi.) Atau tetrasiklin 500 mg dua kali sehari sampai bersih, lalu 500 mg setiap hari selama 1 bulan, diikuti dengan 250 mg selama satu bulan tambahan. e. Miliaria Miliaria adalah kelainan kulit yang muncul akibat tersumbatnya saluran kelenjar keringat ekrin, ditandai dengan adanya vesikel milier. Etiologi Penyebab dari tersumbatnya kelenjar keringat bisa disebabkan oleh : • Paparan sinar ultraviolet (panas), • Mikroorganisme (tersumbatnya pori-pori kelenjar keringat oleh bakteri yang menimbulkan peradangan dan edema), • Sekresi keringat yang berulang (pakaian yang tidak menyerap keringat). 50 Prevalensi • Dapat timbul pada semua umur, • Pria dan wanita memiliki frekuensi yang sama, • Tidak berpengaruh terhadap bangsa/ras tertentu, • Cenderung pada daerah yang panas dan kelembapan tinggi. Patogenesis Klasifikasi 1) Miliaria kristalina 51 Kebocoran ductus yang paling dangkal, terjadi pada tingkat stratum korneum. • Sering terjadi pada bayi di lingkungan yang hangat, juga pada bayi dengan perawatan ICU • Gejala klinis : Terlihat vesikel-vesikel berukuran 1-2mm, menyerupai titik-titik embun. Vesikel bergerombol tanpa tanda radang pada bagian-bagian yang tertutupin pakaian. Umumnya asimtomatis. • Pada pemeriksaan histopatologi : terlihat gelembung intra/subkorneal. • Pengobatan : tidak diperlukan, cukup dengan menghindari panas yang berlebihan, mengisahakan ventilasi yang baik, pakaian tipis dan menyerap keringat. 2) Miliaria rubra Kebocoran keringat pada tingkat subcorneal (dibawah stratum korneum tetapi masih dalam lapisan epidermis). Stafilokokus diduga juga mempunyai peranan. • Gejala klinis : Terlihat papul merah atau papul vesicular ekstrafolikular yang sangat gatal dan pedih. Mudah terinfeksi sekunder menjadi impetigo dan furunkulosis, terutama pada anak. • Pemeriksaan Histopatologi : gelembung terjadi pada stratum spinosum sehingga menyebabkan peradangan pada kulit. • Terapi : pakaian yang tipis dan dapat menyerap keringat. Dapat diberikan bedak salisil 2% yang dibubuhi menthol ¼-2%. 52 3) Miliaria profunda Kebocoran keringat terjadi pada papilla dermis. Agak jarang kecuali di daerah tropis. Biasanya timbul setelah miliaria rubra. • Gejala klinis : Papul putih, keras, berukuran 1-3mm. Tidak gatal dan tidak terdapat eritema. • Pemeriksaan Histopatologi : tampak duktus kelenjar keringat ekrin yang pecah pada dermis bagian atas (papilla dermis) dengan atau tanpa infiltrasi sel radang. • Terapi : menghindari panas dan kelembapan berlebihan, mengusahakan regulasi suhu yang baik dan pakaian yang tipis. Dapat diberikan losio calamine dengan atau tanpa menthol 0,25%, dapat pula resorsin 3% dalam alkohol. 4. PENYAKIT VESIKOBULOSA a. Toxic epidermal necrolysis (TEN) Toxic epidermal necrolysis atau TEN merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Pada nekrosis epidermal toksik ini terjadi epidermolisis sebesar <30% luas permukaan badan. 53 Epidemiologi 0,4-1,2 kasus/juta penduduh/tahun dengan angka kematian 25-35%. Dapat terjadi pada semua usia dan meningkat pada usia 40 tahun. Paien perempuan > laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 Etiopatogenesis Sebagian besar disebabkan oleh alergi obat (sulfonamida, anti-konvulsan aromatik, alupurinol, anti-inflamasi non-steroid dan nevirapin). Pada lesi terjadi reaksi sitotoksik terhadap kertainosità apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Gambaran Klinis Timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat. Sebelum terjadi lesi → demam, sakit kepala, batuk/pilek dan malaise selama 1-3 hari. Kulit: makula, bula kendur, lesi target (-). Pemeriksaan Penunjang Darah tepi lengkap, analisis gas darah, kadar elektrolit, fungsi ginjal, gula darah sewaktu, foro rontgen, fungsi hepar, albumin dan protein darah. Waspada tanda-tanda sepsis → segera lakukan pemeriksaan laboratorium Diagnosis banding - Staphylococcal Scalded Skin Syndrome - Generalized Bullous Fixed Drug Eruption 54 - Acute Generalized Exanthematous Pustulosis - Graft Versus Host Disease - Lupus Eritematosus Bulosa Tata laksana Perawatan suportif : mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30 derajat C, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aseptik tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. Stabilisasi ABC → rujuk Obstruksi → injeksi epinefrin + kortikosteroid b. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) Steven Johnson Syndrome merupakan kumpulan gejala klinis yg ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium (oral, konjungtiva, anogenital), serta mata dan juga disertai dengan gejala umum yang berat. Lebih sering dijumpai pada usia dewasa. Angka mortalitas tinggi, yaitu sebesar 25% - 70% dan paling banyak pada usia tua. Penyebab pastinya sukar ditentukan karena bisa disebabkan oleh banyak faktor, bisa karena infeksi, keganasan dan sebagian besar dikaitkan dengan respon imun terhadap konsumsi obat. Timbulnya kecacatan dan kematian sering kali karena tata laksana yang tidak maksimal akibat telatnya pengenalan dari SSJ. Patogenesis Antigen yang masuk akan merangsang respon imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. kompleks imun ini beredar dan megendap di daerah kulit dan mukosa, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan bisa juga terjadi karena aktivitas sel T serta mediator yg dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat lokal dikulit bisa disertai dengan gejala sistemik. Kerusakan 55 kulit membawa beberapa implikasi, yaitu kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh, kegagalan termoregulasi, dan meningkatkan resiko infeksi. Gejala Gejala prodromal (1-14) hari ● demam ● malaise ● batuk ● koriza ● sakit menelan ● sakit kepala ● nyeri dada ● muntah ● myalgia ● atralgia ● timbul lesi pada kulit, mukosa, dan mata Ciri khas lesi Lesi pada kulit Bisa berupa eritema, papul, vesikel, bula. Keadaan lebih lanjut bisa terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas (tanda nikolsky +), pada kasus berat pengelupasan terjadi di seluruh dan terjadi pengelupasan kuku. Lesi pada mukosa Bisa bersamaan atau didahului lesi pada kulit. Bisa ditemukan vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Pada faring juga terdapat pseudoembran berwarna putih atau keabuan. Pada bibir terdapat krusta kehitaman dan disertai stomatitis berat. Lesi pada mata 56 Konjungtivitis, kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, pseudomembran pada mata, edema pad kelopak mata, secret purulent dan fotofobia. Kasus berat bisa terjadi erosi dan perforasi kornea Diagnosis Diagnosis SSJ 90% ditemukan dari gambaran klinis trias pada kulit, mukosa dan mata. Kemudian dilakukan juga anamnesis untuk mengetahui factor penyebab yang sebagain besar karena obat. Bisa juga dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, histopatologi kulit, dll untuk mengetahui hubungan dengan factor penyebab. Pemeriksaan histopatologi bisa ditemukan nekrosis pada sebagian kulit atau menyeluruh. Pemeriksaan imunofluoresen bisa diperlihatkan endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin. 57 Diagnosis banding Toxic epidermolysis necrotikans (TEN), Eritema multiform (EM), Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). TEN dibedakan dengan SSJ dari luas lesi pada kulit, TEN luas lesi >30% permukaan tubuh. Jika luas lesi <10% dianggap sebagai SSJ dan bila diantara itu dianggap sebagai SSJ/TEN. Perbedaan SSJ dan EM dari factor penyebab, infeksi herpes simpleks penyebab tersering dari EM, kemudian lesinya terbagi menjadi tiga lapisan dan gambaran ini tidak didapatkan di SSJ. Pada EM lesi mukosa sebatas di oral. Perbedaan SSJ dgn SSSS yaitu pada SSSS terdapat krusta mengelupas pada seluruh kulit dan biasanya tdk mengenai mukosa. Tatalaksana ● Diagnosis gejala secara dini ● Menghentikan atau mengatasi factor penyebab (jika karena penggunaan obat segera dihentikan) ● Pemberian terapi suportif yang adekuat (pemberian cairan elektrolit, pemenuhan kebutuhan kalori dan protein) ● Blister pada kulit bisa dikompres dengan larutan salin ● Hindari penggunaan salep kulit yang mengandung sulfa 58 ● Lesi kulit yang terbuka dirawat seperti luka bakar ● Lesi pada mulut diberi obat pencucui mulut dan salep gliserin ● Pengendalian nyeri dengan oxicam NSAID dihindari karena menjadi salah satu factor tersering penyebab SSJ ● Infeksi sekunder pada kulit diobati dgn ab spectrum luas Prognosis Pada kasus tidak berat prognosis baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Pada kasus berat atau pengobatan terlambat dan tidak adekuat bisa terjadi komplikasi, angka kematian 5-15%. 5. PENYAKIT ALERGI KULIT a. Urtikaria Urtikaria adalah erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan menimbul (bentol), berwarna merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik, atau berulang. Urtikaria akut umumnya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Urtikaria kronik adalah urtikaria yang dapat muncul terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari 6 minggu. Urtikaria akut dialami oleh 10-20% populasi. Sedangkan urtikaria kronik dialami oleh 0,1% populasi dan sekitar 20% akan mengalaminya sampai 20 tahun. Angioedema dapat mucul berupa pembengkakan jaringan dengan batas yang tidak jelas seperti daerah sekitar kelopak mata dan bibir. Patofisiologi Urtikaria merupakan bagian reaksi anafilaksis yang didasari oleh degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast ini pada urtikaria akut umumnya terjadi sekunder pada reaksi yang diperantarai oleh IgE atau oleh induksi langsung agen penyebab. Pada urtikaria kronik, penyebab yang mendasari degranulasi sel mast umumnya tidak dapat ditentukan, umumnya disimpulkan menjadi penyebab idiopatik setelah disingkirkan aneka penyebab melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan 59 pemeriksaan laboratorium. Angioedema dapat juga terjadi karena obat akibat reaksi serum sickness. Klasifikasi Berdasarkan etiologinya urtikaria dibagi menjadi: 1. Urtikaria imunologik: urtikaria autoimun, kontak alergi dan kompleks imun. 2. Urtikaria nonimunologik: urtikaria fisik, karena obat-obatandan kontak non alergi. 3. Urtikaria idiopatik. Menurut European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) tahun 2006, secara klinis urtikaria diklasifikasikan menjadi: 1. Urtikaria spontan: urtikaria akut dan urtikaria kronis. 2. Urtikaria fisik: dermografik,delayed pressure, panas, dingin, solar dan getaran. 3. Urtikaria spesifik: kolinergik, adrenergik, kontak (alergi/non alergi) dan aquagenik. 60 Diagnosis Diagnostik ditegakkan dengan mengambil data anamnesis riwayat gatal, riwayat atopi dalam keluarga, adanya faktor lingkungan seperti debu rumah, tungau debu rumah, binatang peliharaan, tanaman, karpet, sengatan binatang serta faktor makanan termasuk zat warna, zat pengawet dan sebagainya. Pemeriksaan Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan lesi khas yaitu bentol berwarna merah, berbatas tegas, gatal, dan memutih bila ditekan pada urtikaria, atau edema pada daerah yang memiliki jaringan ikat longgar (orbita, sirkum oris, genitalia). Pemeriksaan penunjang diperlukan pada urti urtikaria kronik/berulang, angioedema, tetapitidak diperlukan pada urtikaria akut. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah urinalisis, untuk mencari fokal infeksi di saluran kemih, feses rutin untuk mencari adanya parasit cacing. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan LED yang meningkat bila ada fokal infeksi kronik 61 atau kelainan sistemik, dan pada hitung jenis dapat ditemukan eosinofilia. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan kadar total IgE, total eosinofil dan sebaiknya dilakukan uji kulit alergen, dermografisme, uji tempel esatau IgE spesifik. Kadar komplemen (C3, C4) diperiksa pada pasien yang memiliki riwayat angioedema pada keluarga. Tatalaksana Tata laksana terdiri dari menghindari pencetus (yang bisa diketahui). Hatihati dengan obat opiat dan salisilat yang dapat mengaktivasi sel mast tanpa melalui IgE. Pada urtikaria generalisata mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin dilanjutkan dengan antihistamin penghambat H1 seperti CTM yang dikombinasi dengan HCL efedrin. Bila belum memadai ditambahkan kortikosteroid. Untuk urtikaria yang sering kambuh terutama pada anak sekolah, untuk menghindari efek samping obat mengantuk, dapat diberikan antihistamin penghambat H1 generasi baru misalnya setirizin, loratadin, desloratadin dan levosetirizin. 62 63 b. Angioedema Angioedema adalah pembengkakan yang seringkali terjadi akibat reaksi alergi. Kondisi ini biasanya tidak berbahaya. Namun demikian, pada kasus yang jarang, angioedema dapat menyebabkan penderitanya sulit bernapas, karena pembengkakan terjadi di saluran pernapasan. Bengkak di bawah permukaan kulit. Pembengkakan ini disebabkan penumpukan cairan di lapisan kulit bagian dalam, serta dapat terjadi pada beberapa bagian tubuh seperti area sekitar mata, bibir, lidah, tangan, kaki dan kelamin. Pada kasus yang parah, bengkak juga dapat terjadi di bagian dalam tenggorokan dan perut. Pembengkakan akibat angioedema biasanya tidak menimbulkan gatal. Namun pada idiopathic angioedema dan allergic angioedema, bengkak dapat disertai biduran atau urtikaria, yang terasa gatal. Sejumlah gejala lain yang dapat terjadi, antara lain: • Sensasi panas dan nyeri, di area yang mengalami pembengkakan. • Sesak napas, akibat pembengkakan di tenggorokan dan paru-paru. • Mata merah, akibat pembengkakan di konjungtiva (selaput bening yang melapisi bagian depan mata). Pada seseorang yang menderita angioedema akibat keturunan, gejala lain yang dapat muncul adalah: • Sulit berkemih, akibat pembengkakan di kandung kemih atau saluran lubang kencing (uretra). 64 • Sakit perut, akibat pembengkakan di lambung dan usus. Kondisi ini dapat memicu diare, mual, dan muntah. ETIOLOGI Allergic angioedema Angioedema ini terjadi akibat reaksi alergi, di antaranya: • Alergi makanan, terutama kacang, kerang, susu, dan telur. • Alergi obat, seperti antibiotik, aspirin, dan obat antiinflamasi nonsteroid. • Alergi akibat gigitan serangga, seperti lebah. • Alergi pada lateks, sejenis karet yang digunakan sebagai bahan sarung tangan karet, balon, atau kondom. Drug-induced angioedema Seseorang dapat terserang angioedema akibat penggunaan obat tertentu, meskipun tidak memiliki alergi obat. Bengkak dapat muncul sesaat setelah menggunakan obat, bisa juga muncul beberapa bulan atau bertahun-tahun setelahnya. Beberapa jenis obat tersebut adalah: • Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen. • Obat hipertensi golongan ACE inhibitor, misalnya ramipril, perindopril, dan lisinopril. • Obat hipertensi golongan ARB, di antaranya valsartan, losartan, dan irbesartan. Hereditary angioedema Angioedema jenis ini disebabkan oleh kekurangan protein penghambat C1esterase dalam darah. Protein ini ikut berperan penting dalam menjaga sistem kekebalan tubuh. Kekurangan protein tersebut, membuat sistem imun berbalik menyerang tubuh dan menimbulkan gejala angioedema. Pembengkakan dapat dipicu oleh sejumlah kondisi, seperti: • Stres • Prosedur bedah atau perawatan gigi • Penggunaan pil KB 65 • Kehamilan • Cedera atau infeksi • Seseorang yang menderita angioedema jenis ini, berisiko menurunkan penyakit ini ke anaknya. Idiopathic angioedema Di samping sejumlah faktor di atas, sebagian besar kasus angioedema tidak diketahui penyebabnya. Para ahli menduga, kondisi ini terkait dengan gangguan pada sistem kekebalan tubuh. Pembengkakan pada idiopathic angioedema dapat dipicu oleh sejumlah kondisi seperti: • Stres. • Mengenakan pakaian ketat. • Olahraga terlalu berat. • Iklim yang terlalu panas atau terlalu dingin. • Konsumsi alkohol, kafein, atau makanan pedas. • Kondisi medis, seperti lupus atau limfoma (sangat jarang) Faktor Risiko Angioedema Angioedema dapat terjadi pada siapa saja. Meskipun demikian, sejumlah faktor dapat meningkatkan risiko seseorang terserang angioedema, antara lain: • Stress atau gelisah • Perubahan temperatur yang tiba-tiba. • Riwayat angioedema pada diri sendiri atau keluarga. • Memiliki alergi, misalnya pada makanan atau obat. • Menderita kondisi medis yang berhubungan dengan angioedema, seperti lupus, limfoma, dan penyakit tiroid Pemeriksaan Tes alergi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Tes tusuk kulit. Kulit pasien akan ditusuk dengan alat yang telah diberi sedikit alergen (zat penyebab alergi), untuk melihat reaksi pasien. 66 Pemeriksaan darah. Sampel darah pasien akan diperiksa untuk melihat reaksi sistem kekebalan tubuh pasien pada alergen. Pemeriksaan sampel darah juga dilakukan pada pasien yang diduga menderita hereditary angioedema. Melalui pemeriksaan sampel darah pasien, dokter dapat mengetahui apakah pasien kekurangan protein penghambat C1 esterase. Tatalaksana Angioedema yang menimbulkan gejala ringan, cukup ditangani dengan penanganan mandiri di rumah. Beberapa langkah penanganan untuk membantu meredakan gejala, di antaranya: • Mengompres dingin area yang bengkak. • Mengenakan pakaian longgar untuk mencegah iritasi kulit. • Tidak menggaruk area yang bengkak. Penanganan allergic angioedema dan idiopathic angioedema menggunakan metode yang sama. Salah satunya adalah dengan menghindari makanan pemicu alergi. • Antihistamin dan kortikosteroid untuk meredakan bengkak. • Pasien yang mengalami gejala anafilaksis (reaksi alergi berat yang mengancam nyawa), diberikan suntikan adrenalin atau epinefrin. • Pada pasien drug-induced angioedema, diberikan danazol dan asam traneksamat. Sedangkan untuk menangani bengkak, dokter dapat meresepkan obat pengganti penghambat C1 estarase. Obat tersebut akan diberikan dalam bentuk suntik, untuk meningkatkan kadar protein C1 estarase dalam darah. 6. REAKSI OBAT a. Exanthematous drug eruption, fixed drug eruption Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa lesikulit yang muncul di tempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu. Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit yangeritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi berupamakula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat. 67 Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaanobat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Namun jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan jaringan kulitsecara patologi anatomi dimana akan didapatkan gambaran mikroskopis berupaterdapatnya makrofag-makrofag dan adanya penumpukan pigmen melanin. Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupamengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis sepertikortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal. FDE bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Jikatidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan adanya penambahan jumlah lesi Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE : - Paparan obat. Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodidengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yangspesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yangmenyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih seringditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilinmemiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi. - Waktu kejadian. Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onsetyang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah 68 pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian obatlebih dari 2 bulan tampak lebih rendah. Uji eliminasi pemakaian obat. Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian pemakaianobat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan obat jika reksiterus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat tersebut. - Pemaparan obat ulangan. Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebutmenyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi perubahan pola status imunologik pasien. b. Adverse drug reaction World Health Organization (WHO) mendefinisikan Adverse Drug Reactions (ADR) sebagai setiap efek berbahaya yang tidak diinginkan dan terjadi secara tidak sengaja dari suatu obat yang timbul pada pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan, diagnosis atau terapi, serta modifikasi fungsi fisiologis. 69 ADR diperkirakan terjadi hampir 15% dari pemberian obat. Risiko terjadinya dapat meningkat hingga dua kali lipat di rumah sakit. Reaksi obat yang dapat menimbulkan kematian dapat timbul sebesar 0,1% pada pasien medik rawat inap dan 0,01% pada penderita bedah. Hanya 5 –10% dari ADR merupakan alergi obat. ADR dapat dibagi menjadi dua kategori besar: ● Reaksi tipe A, yaitu yang dapat diperkirakan, umum terjadi dan berhubungan dengan aksi farmakologis obat. ● Reaksi tipe B, yaitu yang tidak dapat diperkirakan, jarang terjadi dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi farmakologis obat. Hampir 80% ADR adalah tipe A contohnya adalah toksisitas obat, efek samping, efek sekunder, dan interaksi obat. Reaksi alergi termasuk tipe B, timbulnya jarang, hanya 6–10% dari keseluruhan ADR. ADR dalam segi praktis klinis dapat diklasifikasikan: 1) Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang: a. Overdosis obat: efek farmakologis toksik yang timbul akibat kelebihan dosis ataupun karena gangguan ekskresi obat b. Efek samping obat: efek farmakologis yang tidak diinginkan yang timbul pada dosis terekomendasi. c. Interaksi obat: aksi farmakologis obat pada efektivitas maupun toksisitas obat yang lain. 2) Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel: a. Intoleransi obat: ambang batas yang rendah pada aksi farmakologis normal dari obat. b. Idiosinkrasi obat: respon abnormal dari obat yang berbeda dari efek farmakologisnya. Terjadi karena metabolisme obat ataupun defisiensi enzim. c. Alergi obat: Alergi obat atau hipersensitivitas terhadap obat merupakan salah satu bentuk dari ADR. Alergi obat merupakan reaksi yang sering didefinisikan sebagai reaksi yang ditimbulkan oleh mekanisme imunologis. 70 d. Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip dengan reaksi alergi tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai IgE). Faktor Risiko ● Usia = ADR terutama timbul pada usia muda ● Jenis kelamin = 2x lebih sering pada wanita ● Riwayat atopi Diagnosis - Anamnesis Hal – hal yang harus didapatkan pada saat anamnesis adalah: 1. Gejala klinis, waktu timbulnya gejala serta jarak timbul gejala dari paparan obat yang dicurigai 2. Kemungkinan onset timbulnya gejala: ● Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam dari paparan, gejala klinis yang dapat timbul adalah anafilaksis, urtica, angioudem, bronkospasme ● Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah paparan. Gejala yang mungkin didapatkan antara lain urtika dan asma ● Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. Gejala yang mungkin didapatkan antara lain sindrom mukokutan (rash, dermatitis eksfoliatif) atau tipe hematologis (anemia, trombositopenia, netropenia) - Tes Diagnosis ● Skin Prick Test (tes kulit epikutan) merupakan tes untuk mengetahui adanya IgE spesifik terhadap obat tertentu. ● Tes Provokasi oral dapat menjadi gold standar dalam menentukan adanya alergi obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan yang ketat dengan alat bantu resusitasi yang tersedia. Penatalaksanaan - Untuk reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum diberikan merupakan satusatunya hal yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping dan efek 71 sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. - Untuk reaksi tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan. Pada reaksi yang berat atau mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali. Pada reaksi yang tidak terlalu berat, tes provokasi dapat dipertimbangkan. 7. GANGGUAN KERATINISASI Ichthyosis Vulgaris Iktiosis merupakan sebuah istilah yang menggambarkan sekelompok penyakit dengan kelainan proses kornifikasi/ keratinisasi/diferensiasi epidermis. Iktiosis berasal dari bahasa Yunani “ichthys” yang berarti “ikan” karena iktiosis sendiri biasa ditandai dengan adanya sisik/scale. Empat tipe iktiosis yang penting meliputi iktiosis vulgaris, X-linked ichthyosis, iktiosis lamelar, dan hiperkeratosis epidermolitik. Iktiosis vulgaris merupakan tipe yang paling umum di berbagai populasi dengan insidens antara 1:250 dan 1:5300. Penyebab penyakit ini adalah mutasi filaggrin yang diwariskan secara autosomal semi-dominan. Iktiosis vulgaris dibedakan dari iktiosis jenis lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan histopatologis, ataupun genetik. Karakteristik khas iktiosis vulgaris meliputi spektrum klinis yang luas, seperti sisik/scale dan kulit kering yang menyisakan area fleksor, keratosis pilaris, hiperlinearitas telapak tangan dan kaki, serta kecenderungan yang kuat untuk memiliki penyakit alergi. Kerusakan sawar atau barier kulit pada iktiosis vulgaris dapat mengakibatkan konsekuensi sistemik, seperti peningkatan penetrasi alergen yang menyebabkan kejadian atopi, serta peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri terutama akibat fisura dan erosi. Pengobatan iktiosis vulgaris bersifat simptomatik, kompleks, serta dinamis. Tatalaksana utama berupa pelembap topikal dan obat-obatan untuk mengurangi sisik/scale, mendukung fungsi sawar kulit, mengurangi kehilangan air, dan mengurangi gejala. 72 Epidemiologi Sekitar 95% iktiosis merupakan iktiosis vulgaris dan setidaknya 1% populasi mengidap penyakit ini. Insidens iktiosis secara keseluruhan di India adalah 1: 300.000. Insidens iktiosis vulgaris mencapai 1/100, lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan X-linked ichthyosis (1/2000 pria). Onset iktiosis vulgaris pada usia 3 hingga 12 bulan dengan insidens yang sama antara laki-laki dan perempuan. Estimasi prevalensi iktiosis vulgaris antara 4,0%-7,7% di Eropa dan 2,29%- 3,0% di Asia. Mutasi filaggrin dikatakan rendah pada populasi berkulit gelap. Sekitar dua pertiga pasien memiliki mutasi alel ganda dan menyebabkan penyakit yang relatif serius, sedangkan sepertiga sisanya memiliki mutasi alel tunggal dengan penyakit yang lebih ringan. Etiologi dan Patofisiologi Iktiosis vulgaris merupakan penyakit yang ditransmisikan secara genetik dengan pola autosomal semidominan dan menunjukkan mutasi filaggrin yang bervariasi. Individu dengan mutasi heterozigot memiliki manifestasi klinis yang lebih ringan daripada individu dengan mutasi homozigot. Pembawa homozigot memiliki tingkat kelembapan kulit lebih rendah dan transepidermal water loss (TEWL) yang lebih tinggi. Gen filaggrin terletak di kompleks diferensiasi epidermis pada kromosom 1q21. Sebenarnya semua jenis iktiosis menunjukkan abnormalitas pada dua lapisan kulit terluar, yakni stratum granulosum dan stratum korneum, menyebabkan gangguan fungsi barier kulit. Fungsi paling penting kulit lainnya adalah sebagai penghalang terhadap transepidermal water loss (TEWL) tidak terbatas dan terhadap paparan berbagai faktor lingkungan yang berbahaya. Epidermis pasien iktiosis vulgaris menunjukkan berkurangnya ukuran dan jumlah granula keratohialin pada stratum granulosum atau bahkan tidak ada sama sekali. Pada lapisan granular/stratum granulosum epidermis, granula keratohialin paling dominan disusun oleh poliprotein profilaggrin besar (>400 kDa). Setelah diferensiasi terminal keratinosit, profilaggrin dipecah oleh protease spesifik 73 menjadi 10-12 peptida filaggrin (37 kDa) yang pada dasarnya identik. Filaggrin tersebut berikatan dengan keratin dan menghasilkan kompresi sitoskeleton serta selanjutnya mengalami degradasi menjadi urocanic acid dan histidin yang memberikan perlindungan dari sinar ultraviolet serta hidrasi (natural moisturizing factors). Produk degradasi filaggrin selain berperan sebagai natural moisturizing factors, juga berperan sebagai pemelihara keasaman pH pada stratum korneum, kedua hal tersebut berperan penting untuk homeostasis barier epidermis dengan meregulasi aktivitas beberapa enzim yang mengontrol deskuamasi, sintesis lipid, serta inflamasi. Berdasarkan peran filaggrin tersebut maka hilangnya atau berkurangnya ekspresi filaggrin akan mengakibatkan kulit yang sangat kering serta terganggunya fungsi barier, yang menghasilkan manifestasi klinis iktiosis vulgaris. Defek barier kulit juga mengakibatkan mudahnya penetrasi allergen, sehingga pada pasien iktiosis vulgaris bisa disertai penyakit penyerta alergi. Selain itu, pasien iktiosis vulgaris juga cenderung lebih mudah mengalami infeksi bakteri karena adanya fisura dan erosi pada kulit. Manifestasi Klinis Gejala klinis mulai terlihat pada tahun pertama kehidupan, yaitu antara usia 3 hingga 12 bulan. Klinis terlihat lebih berat pada pasien dengan mutasi alel ganda (homozigot) dan lebih ringan pada mutasi alel tunggal (heterozigot). Diperkirakan sekitar 30% pasien iktiosis vulgaris yang berkonsultasi dengan dokter adalah pembawa heterozigot dan 70% adalah pembawa homozigot. Manifestasi klinis khas iktiosis vulgaris meliputi sisik/ scale serta kulit kering yang lebih prominen di bagian ekstensor (daerah tulang kering, lengan, punggung, bokong, dan bagian lateral paha) dan menyisakan daerah fleksor/ flexural sparing (aksila, fossa antecubiti, fossa popliteal). Daerah wajah biasanya tidak terkena, pipi dan dahi bisa terlibat. Sisik pada iktiosis vulgaris berkarakteristik halus, putih, dan melekat, mungkin lebih kasar pada ekstremitas bawah. 74 Presentasi klinis pada daerah tangan dan kaki menunjukkan garis palmoplantar yang lebih terlihat menonjol disebut hiperlinearitas palmoplantar.3 Beberapa pasien juga dapat mengalami penebalan palmar atau plantar mendekati keratoderma. Manifestasi klinis lain adalah keratosis pilaris, yaitu berupa papul hiperkeratotik folikular yang berukuran kecil dan sewarna kulit, baik berkelompok maupun tersebar, sebagian besar pada permukaan ekstensor, terutama pada lengan, paha, dan bokong. Pada anak-anak, keratosis pilaris juga bisa tampak pada pipi. Atopi juga sering diamati pada pasien iktiosis vulgaris dan dapat bermanifestasi sebagai hay fever atau alergi serbuk sari bunga, eksim atau dermatitis, dan asma. Namun, perlu diperhatikan bahwa hiperlinearitas palmoplantar dan keratosis pilaris bisa tampak pada individu atopik yang tidak memiliki iktiosis vulgaris. Individu iktiosis vulgaris juga bisa mengalami hipohidrosis dengan intoleransi panas, meskipun jarang. Ada variasi besar dalam manifestasi klinis iktiosis vulgaris antar individu dalam keluarga yang sama. Secara umum, manifestasi klinis tipikal iktiosis vulgaris meliputi spektrum klinis yang luas, termasuk adanya sisik/scale dan kulit kering yang menyisakan daerah fleksor, hiperlinearitas palmoplantar, keratosis pilaris, serta kecenderungan kuat untuk penyakit penyerta alergi. 75 Diagnosis Diagnosis iktiosis vulgaris melalui anamnesis menyeluruh mengenai riwayat keluarga, kelahiran, dan presentasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan dermatologi untuk melihat karakteristik dan distribusi sisik/scale, keterlibatan telapak tangan dan kaki, serta keberadaan keratosis pilaris. Dalam kasus iktiosis vulgaris yang jelas secara klinis, tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan. Pada beberapa kasus yang kurang jelas, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan histopatologi, imunohistokimia, hingga pemeriksaan genetik. Pemeriksaan histopatologi di bawah mikroskop cahaya menunjukkan stratum korneum yang orthohyperkeratotic, stratum korneum lebih tebal dari normal, tetapi lebih tipis dibandingkan kelainan hiperkeratotik lainnya seperti psoriasis atau iktiosis lamelar. Selain itu, terlihat juga kelainan berkurangnya atau tidak adanya lapisan granular. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan granula keratohialin yang rapuh atau bahkan tidak ada sama sekali. Pada pemeriksaan lebih detail terlihat retraksi perinuclear keratin dalam sel granular akibat mutasi filaggrin yang menyebabkan perubahan organisasi filamen intermediat keratin, sehingga menghasilkan kelainan sitoskeletal yang khas. Secara ultrastruktur defisiensi filaggrin menghasilkan defek keratohialin khas dengan granula yang rapuh dan kecil. Mikroskop elektron juga dapat membedakan antara pembawa heterozigot dan homozigot. Pada pembawa heterozigot, granula keratohialin bisa masih ada namun tampak kecil. 76 Pemeriksaan imunohistokimia dapat pula menunjukkan berkurangnya atau bahkan tidak ada filaggrin. Imunohistokimia dapat membantu diagnosis asalkan tersedia antibodi terhadap protein yang dicurigai; mutasi pada pasien menyebabkan delesi atau ekspresi protein abnormal pada epidermis. Metode sekuensing Sanger sudah lebih dari 30 tahun menjadi gold standard untuk analisis genetik. Pada metode ini coding part gen yang diduga menyebabkan penyakit dianalisis ekson demi ekson. Metode ini mahal dan memakan waktu dibandingkan metode Next-Generation Sequencing (NGS). Sejak awal tahun 2000-an, teknologi sekuensing paralel masif telah dikembangkan dan diterapkan untuk diagnosis genetik skala besar. Metode NGS memungkinkan analisis coding portion dari suatu genom atau bahkan keseluruhan genom hanya dalam beberapa hari. Metode ini menjanjikan biaya lebih murah, lebih cepat, dan sensitivitas lebih tinggi dalam deteksi mutasi. Pemeriksaan genetik bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan memungkinkan konseling genetik, namun tidak dapat menggantikan anamnesis dan pemeriksaan klinis terperinci. Dari segi genetik telah diketahui bahwa mutasi gen filaggrin (FLG) menyebabkan munculnya klinis iktiosis vulgaris. Namun, pada pasien iktiosis sangat ringan ditemukan adanya mutasi gen caspase 14 (CASP14). Caspase 14 77 terlibat dalam degradasi proteolitik filaggrin. Pasien-pasien tersebut lahir tanpa membran kolodion dan tumbuh dengan fenotipe kulit yang bersisik berwana keputihan serta halus di seluruh tubuh, tanpa disertai eritema ataupun gejala lain pada kulit. Fenotipe kulit pasien dengan mutasi CASP14 berada pada zona abuabu antara klinis iktiosis vulgaris dan klinis Autosomal Recessive Congenital Ichthyosis (ARCI) tipe ringan. Terapi Tatalaksana bersifat simptomatik, kompleks, dan dinamis. Secara umum, terapi meliputi pelembap topikal dan obat-obat untuk mengurangi sisik/scale, mendukung fungsi barier kulit, mengurangi water loss, dan mengurangi gejala. Mengurangi sisik/scale, memberikan hidrasi dan kelembapan dapat dicapai dengan emolien, agen keratolitik, dan retinoid. Jika ada infeksi bakteri (stafilokokus atau streptokokus) diterapi dengan mupirocin atau bacitracin topikal. Saat ini para peneliti juga mengembangkan farmakologi genetik untuk meningkatkan produksi filaggrin normal dari tubuh sendiri. 1. Hidrasi stratum korneum Glycerol, urea (2-10%), dan propylene glycol (10-25%) dalam formulasi krim merupakan agen hidrasi yang paling sering digunakan. Hidrasi dapat dicapai dengan baik apabila krim diaplikasikan pada kulit yang basah sekitar 3 menit setelah mandi. Hal tersebut dimaksudkan agar kelembapan dari kulit yang masih basah/lembap sesudah mandi dapat diperangkap oleh krim. Krim tidak memasukkan air kembali ke kulit secara eksternal, tetapi bekerja dengan mencoba menghentikan transepidermal water loss (TEWL). Krim berbahan dasar urea atau glycerol dapat diaplikasikan pada kulit dua kali sehari. 2. Agen keratolitik Salicylic acid, a-hydroxy acid berupa lactic acid atau glycolic acid (5-15%), serta ammonium lactate (12%) berguna untuk menghilangkan sisik/scale. Salicylic acid 6% di dalam propylene glycol dan alkohol bisa digunakan dalam plastic occlusion. Krim yang efektif dapat diperoleh dengan mencampurkan agen 78 hidrasi dengan keratolitik. Namun, risiko penyerapan sistemik terutama pada bayi yang dirawat seluruh tubuhnya harus selalu dipertimbangkan. 3. Retinoid oral Mekanisme kerja retinoid bersifat simptomatis dengan memberikan efek antikeratinisasi yang tidak spesifik pada kulit hiperkeratotik. Retinoid mengikat faktor transkripsi yang membantu mengatur banyak gen dan oleh karena itu, memodulasi proliferasi dan diferensiasi epidermis serta inflamasi. Perlu diingat bahwa retinoid bersifat teratogen dan memiliki efek samping jangka panjang berupa kalsifikasi ligamen, fusi lempeng pertumbuhan, dan diffuse skeletal hyperostosis. Berdasarkan hal tersebut, maka sebaiknya retinoid oral diberikan pada pasien yang lempeng pertumbuhannya sudah menutup, yaitu pada usia 16 tahun ke atas. Isotretinoin dan acitretin merupakan retinoid oral yang sangat efektif, tetapi diperlukan pemantauan toksisitas. Hanya kasus parah yang memerlukan terapi intermiten. 4. Terapi lain Studi kasus tahun 2015 menunjukkan perbaikan gejala iktiosis vulgaris dengan perubahan pola makan berdasarkan hasil uji sensitivitas makanan disertai suplementasi minyak ikan, vitamin D, dan probiotik. Telah diketahui bahwa pasien iktiosis vulgaris cenderung mengalami penyakit penyerta alergi, seperti dermatitis atopik, rinitis alergi, serta asma bronkial. Studi klinis menunjukkan bahwa 30%-40% pasien dermatitis atopik memiliki alergi makanan dan dua pertiga gejala dermatitis atopik tersebut membaik setelah menghindari makanan tertentu dari diet sehari-hari. Terapi retinoid oral termasuk salah satu bagian terapi iktiosis vulgaris. Namun, studi kasus terbaru menyatakan bahwa konsumsi retinoid oral pada iktiosis dapat mencetuskan defisiensi vitamin D pada anak iktiosis. Anak- anak tersebut mengalami rakitis setelah terapi retinoid oral selama beberapa bulan. Dengan demikian, sangat disarankan untuk memulai pemberian suplemen vitamin D bersamaan dengan dimulainya terapi retinoid oral. Efek vitamin D pada 79 iktiosis bisa karena efek langsung pada keratinosit (mengekspresikan reseptor vitamin D) atau merupakan bagian dari perbaikan kesehatan secara umum. Prognosis Gejala membaik pada musim panas, iklim lembap, dan pada usia dewasa. Gejala memburuk pada cuaca dingin dan kering karena penurunan kelembapan mengakibatkan hidrolisis lebih lanjut filaggrin tersisa pada pembawa heterozigot. Dermatitis atopik terjadi pada 50% pasien iktiosis vulgaris, dan sekitar 20% pasien mengalami rinitis alergi dan asma bronkial. 8. FARMAKOLOGI DERMATOTERAPI A. Golongan Obat untuk kulit Berbagai gangguan/penyakit kulit dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi bakteri, virus, jamur, alergi, lesi bekas garukan dan lain-lain. Beberapa golongan obat yang sering digunakan pada penyakit kulit yakni : 1. Antihistamin Histamin merupakan mediator alergi yang merangsang serabut saraf-C dan menimbulkan sensasi gatal. Antihistamine H-1: • generasi 1 (sedating): chlorphenon, diphenhydramine, promethazine,cyproheptadine, doxepine untuk pruritus berat; • generasi 2 (non-sedating): cetirizine, loratadine, desloratadine,fexofenadine. Antihistamine H-2: cimetidine, ranitidine, famotidine,nizatidine. 2. Antibiotika Banyak digunakan untuk infeksi kulit superfisial (pyoderma) dan acne vulgaris.Bakteri penyebab pyoderma adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Impetigo (infeksi pada kulit paling luar) dapat diobati 80 dengan antibiotik topikal. Infeksi kulit lebih dalam seperti folicullitis, erisipelas,cellulitis, fasciitis diobati dengan penicillin atau makrolid sistemik. Proprioni bacterium acnes adalah bakteri penyebab terbentuknya micro comedo. Acne sederhana diobati dengan antibiotik topikal. Antibiotika sistemik digunakan bila topikal tak responsif yakni dapat menggunakan tetrasiklin atau makrolid. Untuk akne vulgaris dikombinasi dengan asam retinoid. 3. Antifungus o Azole atau allylamine (terbinafine) topikal untuk tinea corporis lokal. o Tinea capitis diobat dengan griseofulvin atau terbinafine oral. o Tinea pedis, berdasarkan keparahannya dapat diobati topikal atau sistemik dengan griseofulvin, terbinafine, atau azole. o Onichomycosis diobati dengan griseofulvin selama 12-18 bulan bila penyebabnya tercampur dengan candida berikan azole atau terbinafine minimal 3 bulan. 4. Glukokortikoid Topikal Glukokortikoid merupakan imunosupresan dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya beragam: apoptosis limfosit, menghambat kaskade asam arakidonat, menekan produksi sitokin yang berefek terhadap sel radang. Berdasarkan potensinya menimbulkan vasokonstriksi, steroid topikal terbagi atas 7 kelompok, dari yang terkuat sampai yang lemah. Steroid kuat adalah betamethasone dan yang mengandung fluor sedangkan yang paling lemah adalah hidrokortison. Pemakaian maksimal dua kali sehari. Efek samping: atrofi, striae, telangi ectasia, purpura,erupsi acneiform. Senyawaan berfluor tidak digunakan pada kulit muka karena dapat menimbulkan dermatitis perioral dan rosacea. 5. Glukokortikoid Sistemik Digunakan untuk penyakit kulit berat: dermatitis kontak alergika terhadap tanaman, dermatitis vesicobulosa (pemphigoid,pemphigus vulgaris). Efek 81 samping penggunaan steroid oral jangka lama yakni gangguan psikis, katarak, myopati, osteoporosis, nekrosis tulang avaskular, hiperglikemia/diabetes, hipertensi. Pulse-therapy yang menggunakan metilprednisolon IV dosis tinggi merupakan pilihan pyoderma gangrenosum yang berat dan resisten, pemphigus vulgaris, SLE yang multisitem, dan dermatomyositis. 6. Antivirus dan Antiscabies o Acyclovir dan turunannya untuk herpes simplex dan varicella. Gunakan cidofovir bila acyclovir resisten. o Podophylline dan podofilox untuk condyloma acuminata. o Gamma-benzene hexachloride (lindane) adalah insektisida ectoparasite (scabies dan pediculosis). o Permethrine untuk scabies dan lice. o Ivermectine untuk pengobatan masal scabies. 7. Retinoid Adalah senyawaan alami atau sintetik turnan retinol yang berkhasiat seperti vitamin A. Fungsi retinoid yakni dalam penglihatan, pengaturan proliferasi dan diferensiasi sel dan pertumbuhan tulang, pertahanan imun, dan supresi tumor. Vitamin A pengaruhi diferensiasi epitel, hendak digunakan untuk obati penyakit kulit, namun banyak memiliki efek samping. Defisiensi Vit. A menimbulkan metaplasia squamosa. Beta- carotene: precursor vit A dari sayur, antioksidan, mengurangi fotosensitivitas pada protoporfiria eritropoetik. Modifikasi molekuler lahirkan senyawaan dengan marginof safety yang lebar: retininol, tretinoin (all-trans-retinoic acid), isotretinoin (13-cis-retinoic acid), alitretinoin (9-cis-retinoic acid); aromatic retinoid(acitrecin); arotinoid (tarazotene, bexarotene); adapalene (turunan naphtoic acid) 82 Asam retinoid mengaktifkan 2 jenis reseptor, yaitu retinoicacid receptors (RARs) dan retinoic X receptors (RXRs). Kompleks ligand-receptor ini ikat promotor region gen target dan mengatur ekspresi gen. Produk yang dihasilkan oleh ekspresi gen ini memberi efek farmakologik dan efek samping obat ini. Terdapat 3 isoform reseptor (α,β,γ), kulit berisi RARα dan RARβ. Generasi 1 dan 2 retinoid tak selektif ikat reseptor, hingga menimbulkan banyak efek samping. Generasi 3 lebih selektif,lebih disukai. Efek samping: kulit kering, mimisan karena mukosa menjadi kering,konjungtivitis, dan rambut rontok. ES yang ringan: nyeri otot,pseudo tumor cerebri, perubahan suasana perasaan. Retinoid adalah bersifat teratogenik dan tidak dianjurkan untuk wanita usia subur. Indikasi: penyakit radang kulit, kanker kulit, kulit hiperproliferatif, photo-ageing Berikut obat-obat golongan retinoid : • Tretinoin: untuk acne vulgaris, kurangi hiper keratinisasi yang akan membentuk mikro komedo untuk kulit photoaging(keriput, kasar, dan hiperpigmentasi), diberikan topikal. • Adepalene: indikasi sama dengan tretinoin; stabil disinar matahari, kurang meradang. • Tazarotene (generasi 3): untuk psoriasis dan acne vulgaris, ikat ketiga jenis RAR, berikan topikal 1 kali sehari, untuk psoriasis dapat dicampur dengan steroid. • Alitretinoin: ikat semua jenis reseptor retinoid, untuk kelainan kulit pada sindrom Kaposi; Efek Samping adalah eritema, desquamasi, terbakar, stinging, fototoksik. Dikontraindikasikan pada wanita hamil. • Isotretinoin: untuk acne vulgaris nodul okistik berat dan acne nodular recal citrant yang berat ; dosis adalah 0.5-2.0mg/kgBW selama 15-20 minggu; indikasi lain untuk acnerosacea, hidradenitis suppurativa, dan gram-negativefolliculitis. Efek samping: cheilitis, kukosa kering, mimisan, mata kering, blepharo conjunctivitis, erupsi eritematous, xerosis,rambut rontok, fotosensitivitas, dislipidemia, myalgia danartralgia, hiperostosis, teratogenik bila diminum 1 bulan pertama kehamilan. 83 • Acitrecin: untuk psoriasis, namun telah ditarik karena bersifat toksik. • Bexarotene: selektif ikat RXR, digunakan untuk limfoma kulitset T, dimetabolisisme oleh CYP3A4. Efek samping: hipotiroidism,dislipidemia, leukopenia, pankreatitis. 8. Biological Agents Merupakan terapi sistemik yg khusus ditujukan pada mediator tertentu dari reaksiimonologik/peradanganyang berperan dalam patofisiologi dan manifestasi k linik penyakit limfoma set T, psoriasis, artritis psoriatik,autoimun, dan keganasan. Psoriasis dikenal saat ini sebagi penyakit autoimun yang diperantarai oleh limfosit-T yang bereaksi dengan keratinosit epidermis. Pengobatan psoriasis dapat diarahkan pada salah satuatau lebih dari 4 mekanisme: 1. kurangi sel-T patogenik 2. hambat aktivasi sel-T 3. deviasi imun dari TH1 ke TH2 4. hambat aktivitas sitolon inflamasi. Kelebihan agen biologik adalah pengobatan tertuju pada sel-T dan sitokin, hingga Efek sampingnya lebih ringan. • Alefacept: untuk psoriasis sedang sampai berat, hambat aktifasi sel-T dengan cara ikat CD2 pada permukaan sel-Tdan tingkatkan apoptosis memory-effector T cells. • Efalizumab: ikat CD11a pada set-T hambat aktivasidan sel-T dan fungsi set-T yg sitotoksik; indikasi untukpsoriasis sedang sampai berat. Disuntikkan1X/minggu sc. • Etanercept: ikat dan hambat kerja TNF. Indikasi:psoriasis, artritis psoriatik, RA, juvenile RA, danankylosing spondylitis. • Infliximab: ikat TNF- α, perkuat kigrasi lekosit.Indikasi: penyakit Crohn, RA, dan psoriasis. 84 • IV Imunoglobulin: untuk toxic epidermal necrolysis hilangkan blistering kulit dan mulosa dan perbailisurvival. 9. Sitotoksik dan Imunospresan • Methotrexate untuk psoriasis sedang dan berat. Tidak diberikan bersama obat yang ikatan proteinnya tinggi karena menimbulkan depresi SST. • Azathiprin adalah steroid sparring agent untuk dermatosis autoimun dan radang termasuk pemphigus vulgaris,pemphigoid bullosa, dermatomyositis, dermatitis Atopikk, LE, psoriasis, dll. Diberikan oral 1-2 mg/hari. • 5-FU ganggu sintesis DNA, gunakan topikal/intralesional untuk pertumbuhan sel ganas dan jinak pada kulit. • Cyclophosphamide dan mechlorethamine, oral/iv, untuklimfoma kutaneus sel-T, dll. • Cyclosporin oral, tacrolimus oral dan topikal untuk psoriasisdan radang kulit imunologik lainnya. • Mycophenolate mofetil adalah steroid sparring agent,dengan indikasi seperti azathioprin. • Imiquimode, immunomodulatory agent, untuk wart dan supeficial basal cell carcinoma. Obat Kulit Lainnya • Sunscreen: lindungi kulit dari sinar UV • Azelaic acid: untuk acne, melasma, dan hiperpigmentasi pasca radang. • Calcipotriene (analog Vit.D): untuk psoriasis dengan cara modulasi transkripsi gen yg berkaitan dengan proliferasi dan diferensiasi. • Keratolitik (salisilat, ure, sulfur, asam glikolat) untuk hiperkeratosis. • Minoxidil dan finasteride: untuk alopecia. • Hydroquinone: untuk bleaching kulit hiperpigmentasi,timbulkan reversible depigmentation. • Capsaicin: neuralgia pasca herpes. 85 • Podophyllin: untuk anogenital warts. B. Penggunaan obat kulit secara Topikal Secara umum perjalanan sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yaitu: permukaan kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian. Unsur vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi, selanjutnya zat aktif berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis, dermis. Pada kondisi tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis. Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada dermis dan hipodermis. Saat sediaan topikal diaplikasikan pada kulit, terjadi 3 interaksi: 1. Solute vehicle interaction: interaksi bahan aktif terlarut dalam vehikulum. Idealnya zat aktif terlarut dalam vehikulum tetap stabil dan mudah dilepaskan. Interaksi ini telah ada dalam sediaan. 2. Vehicle skin interaction: merupakan interaksi vehikulum dengan kulit. Saat awal aplikasi fungsi reservoir kulit terhadap vehikulum. 3. Solute Skin interaction: interaksi bahan aktif terlarut dengan kulit (lag phase, rising phase, falling phase). a. Penetrasi secara trans-epidermal Penetrasi trans-epidermal dapat secara interseluler dan intraseluler. Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan menembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein dari stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan menembus 86 lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke pembuluh kapiler. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat menembus dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi matriks lipid protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang berada di lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis dan berdifusi ke kapiler. b. Penetrasi secara trans-folikular Analisis penetrasi secara folikular muncul setelah percobaan in vivo. Percobaan tersebut memperlihatkan bahwa molekul kecil seperti kafein dapat berpenetrasi tidak hanya melewati sel-sel korneum, tetapi juga melalui rute folikular. Obat berdifusi melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea untuk kemudian berdifusi ke kapiler. C. Absorpsi sediaan topikal secara umum Saat suatu sediaan dioleskan ke kulit, absorpsinya akan melalui beberapa fase: 1. Lag phase Periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati stratum korneum, se-hingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif obat dalam pembuluh darah. 2. Rising phase Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum, kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam pembuluh darah. 3. Falling phase Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis. D. Zat pembawa pada obat Topikal 87 Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersihkan,tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu, bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan. Untuk mendapatkan sifat zat pembawa yang demikian, maka ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam memaksimalkan fungsi dari zat pembawa. Bahan pembawa yang banyak dipakai: 1. Lanolin Disebut juga adeps lanae, merupakan lemak bulu domba. Banyak digunakan pada produk kosmetik dan pelumas. Sebagai bahan dasar salep lanolin bersifat hipoalergik diserap oleh kulit, memfasilitasi bahan aktif obat yang dibawa. 2. Paraben Paraben (para-hidroksibenzoat) banyak digunakan sebagai pengawet sediaan topikal. Paraben dapat juga bersifat fungisid dan bakterisid lemah. Paraben banyak dipakai pada shampo, sediaan pelembab, gel, pelumas, pasta gigi. 3. Petrolatum Merupakan sediaan semisolid yang terdiri dari hidrokarbon (jumlah karbon lebih dari 25). Petrolatum (vaselin), misalnya vaselin album, diperoleh dari minyak bumi. Titik cair 10-50°C,dapat mengikat kira-kira 30% air. 4. Gliserin Berupa senyawa cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau. Gliserin memiliki 3 kelompok hidroksil hidrofi lik yang berperan sebagai pelarut dalam air. 88 Secara umum, zat pembawa dibagi atas 3 kelompok, cairan, bedak, dan salep. Ketiga pembagian tersebut merupakan bentuk dasar zat pembawa yang disebut juga sebagai bentuk monofase. Kombinasi bentuk monofase ini berupa krim, pasta, bedak kocok dan pasta pendingin. Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik. Penyerapan sediaan topikal secara umum dipengaruhi oleh berbagai faktor: 1. Bahan aktif yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus menyatu pada permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup. 2. Konsentrasi bahan aktif merupakan faktor penting, jumlah obat yang diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa. 3. Penggunaan bahan obat pada permukaan yang lebih luas akan menambah jumlah obat yang diabsorpsi. 4. Absorpsi bahan aktif akan meningkat jika pembawa mudah menyebar ke permukaan kulit. 5. Ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya saat sediaan diaplikasikan. 6. Pada umumnya, menggosokkan sediaan akan meningkatkan jumlah bahan aktif yang diabsorpsi. 7. Absorpsi perkutan akan lebih besar bila sediaan topikal dipakai pada kulit yang lapisan tanduknya tipis. 8. Pada umumnya, makin lama sediaan menempel pada kulit, makin banyak kemungkinan diabsorpsi. Pada kulit utuh, cara utama penetrasi sediaan melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat, karena luas permukaan folikel dan kelenjar keringat lebih kecil dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini. Stratum korneum sebagai 89 jaringan keratin akan berlaku sebagai membran semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif. Prinsip pemilihan obat topikal pada kulit yakni : 1. Pada kulit tidak berambut, secara umum dapat dipakai sediaan salep, krim, emulsi. Krim dipakai pada lesi kulit yang kering dan superfisial, salep dipakai pada lesi yang tebal (kronis). 2. Pada daerah berambut, losion dan gel merupakan pilihan yang cocok. 3. Pada lipatan kulit, formulasi bersifat oklusif seperti salep, emulsi W/O dapat menyebabkan maserasi sehingga harus dihindari. 4. Pada daerah yang mengalami ekskoriasi, formulasi berisi alkohol dan asam salisilat sering mengiritasi sehingga harus dihindari. 5. Sediaan cairan dipakai untuk kompres pada lesi basah, mengandung pus, berkrusta. E. Mekanisme kerja sediaan topikal 1. Cairan Pada saat diaplikasikan di permukaan kulit, efek dominan cairan akan berperan melunakkan karena difusi cairan tersebut ke masa asing yang terdapat di atas permukaan kulit; sebagian kecil akan mengalami evaporasi. Dibandingkan dengan solusio, penetrasi tingtura jauh lebih kuat. Namun sediaan tingtura telah jarang dipakai karena efeknya mengiritasi kulit. Bentuk sediaan yang pernah ada antara lain tingtura iodi dan tingtura spiritosa. 2. Bedak Oxydum zincicum sebagai komponen bedak bekerja menyerap air, sehingga memberi efek mendinginkan. Komponen talcum mempunyai daya lekat dan daya slip yang cukup besar. 90 Bedak tidak dapat berpenetrasi ke lapisan kulit karena komposisinya yang terdiri dari partikel padat, sehingga digunakan sebagai penutup permukaan kulit, mencegah dan mengurangi pergeseran pada daerah intertriginosa. 3. Salep Salep dengan bahan dasar hidrokarbon seperti vaselin, berada lama di atas permukaan kulit dan kemudian berpenetrasi. Oleh karena itu salep berbahan dasar hidrokarbon digunakan sebagai penutup. Salep berbahan dasar salep serap (salep absorpsi) kerjanya terutama untuk mempercepat penetrasi karena komponen airnya yang besar. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan dasar salep larut dalam air mampu berpenetrasi jauh ke hipodermis sehingga banyak dipakai pada kondisi yang memerlukan penetrasi yang dalam. 4. Krim Penetrasi krim jenis W/O jauh lebih kuat dibandingkan dengan O/W karena komponen minyak menjadikan bentuk sediaan bertahan lama di atas permukaan kulit dan mampu menembus lapisan kulit lebih jauh. Namun krim W/O kurang disukai secara kosmetik karena komponen minyak yang lama tertinggal di atas permukaan kulit. Krim O/W memiliki daya pendingin lebih baik dari krim W/O, sementara daya emolien W/O lebih besar dari O/W. 5. Pasta Sediaan berbentuk pasta berpenetrasi ke lapisan kulit. Bentuk sediaan ini lebih dominan sebagai pelindung karena sifatnya yang tidak meleleh pada suhu tubuh. Pasta berlemak saat diaplikasikan di atas lesi mampu menyerap lesi yang basah seperti serum. 6. Bedak kocok 91 Mekanisme kerja bedak kocok ini lebih utama pada permukaan kulit. Penambahan komponen cairan dan gliserin bertujuan agar komponen bedak melekat lama di atas permukaan kulit dan efek zat aktif dapat maksimal. 7. Pasta pendingin Sedikit berbeda dengan pasta, penambahan komponen cairan membuat sediaan ini lebih mudah berpenetrasi ke dalam lapisan kulit, namun bentuknya yang lengket menjadikan sediaan ini tidak nyaman digunakan dan telah jarang dipakai. 8. Gel Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan pada kondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Rute difusi jalur transfolikuler gel juga baik, disebabkan kemampuan gel membentuk lapisan absorpsi. F. Cara aplikasi obat Topikal Cara aplikasi sediaan obat topikal pada umumnya disesuaikan dengan lesi pada permukaan kulit. Beberapa cara aplikasi sediaan topikal yaitu: 1. Oles Pengolesan pada lokasi lesi merupakan cara pakai sediaan topikal yang umum dilakukan. Cara ini dilakukan untuk hampir semua bentuk sediaan. Banyaknya sediaan yang dioleskan disesuaikan dengan luas kelainan kulit. Penambahan cara oles sediaan dengan menggosok dan menekan juga dilakukan pada obat topikal dengan tujuan memperluas daerah aplikasi namun juga meningkatkan suplai darah pada area lokal, memperbesar absorpsi sistemik. Penggosokan ini mengakibatkan efek eksfoliatif lokal yang meningkatkan penetrasi obat. 2. Kompres 92 Cara kompres digunakan untuk sediaan solusio. Komponen cairan yang dominan menjadikan kompres efektif untuk lesi basah dan lesi berkrusta. Dua cara kompres yaitu kompres terbuka dan tertutup. Pada kompres terbuka diharapkan ada proses penguapan. Caranya dengan menggunakan kain kasa tidak tebal cukup 3 lapis, tidak perlu steril, jangan terlampau erat. Pembalut atau kain kasa dicelupkan ke dalam cairan kompres, sedikit diperas, lalu dibalutkan pada kulit lebih kurang 30 menit. Pada kompres tertutup tidak diharapkan terjadi penguapan, namun cara ini jarang digunakan karena efeknya memperberat nyeri pada lokasi kompres. 3. Penggunaan oklusif pada aplikasi Cara oklusi ditujukan untuk meningkatkan penetrasi sediaan; namun cara ini tidak banyak digunakan. Berbagai teknik oklusi menggunakan balutan hampa udara seperti penggunaan sarung tangan vinyl, membungkus dengan plastik. Teknik oklusi mampu meningkatkan hantaran obat 10-100 kali dibandingkan tanpa oklusi, namun lebih cepat menimbulkan efek samping obat, seperti efek atrofi kulit akibat kortikosteroid. 4. Mandi Mandi atau berendam dianggap lebih disukai daripada kompres pada pasien dengan lesi kulit luas seperti pada penderita lesi vesiko bulosa. Contoh zat aktif yang pernah digunakan untuk mandi seperti potassium permanganate. Namun cara ini sudah tidak dianjurkan lagi mengingat efek maserasi yang ditimbulkan. 93 REFERENSI English JSC. Current concepts of irritant contact dermatitis. Occupational and Environmental Medicine 2004; 61:722-726. Goldsmith LA. KaiZ Sl, Gilchrest BA, et al, eds. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2012. Mahajan, K., Relhan, V., Relhan, A. K., & Garg, V. K. (2016). Pityriasis Rosea: An Update on Etiopathogenesis and Management of Difficult Aspects. Indian journal of dermatology, 61(4), 375–384. https://doi.org/10.4103/0019- 5154.185699 Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, et al. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 8th ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2017. 94