BAB I PENDAHULUAN Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT merupakan penyakit yang sulit didiagnosa, kesalahan diagnosis dengan diagnosa klinis saja mencapai 50%. DVT dapat berlanjut menjadi emboli paru, separuh dari penyakit ini tidak menimbulkan gejala sehingga menyebabkan penderita menuju kematian bila tidak dikenali dan diterapi secara efektif. Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100.000 atau sekitar 398.000 pertahun, sedangkan insiden DVT pada pasien tanpa profilaksis adalah: stroke (56%), elective hip replacement (51%), trauma multipel (50%), total knee replacemet (47%), fraktur panggul (45%), cidera medulla spinalis (35%), operasi umum (25%), infark miokard (22%), operasi bedah saraf (22%), operasi ginekologi (14-22%), dan kondisi medis umum (17%). Insiden DVT pasca operasi orthopedi tanpa profilaksis pada pasien Asia adalah: pada total knee replacement (76,5%), total hip replacement (64,3%) dan fiksasi fraktur femur proksimal (50%).1,2,3 Insiden DVT dimulai saat operasi namun pada umumnya thrombus terbentuk pada tiga hingga tujuh hari pasca operasi. Tatalaksan profilaksis DVT dibagi menjadi dua yaitu dengan cara inaktifasi koagulasi darah (profilaksis farmakologis) atau pencegahan stasis vena (profilaksis mekanis). Profilaksis farmakologis (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH) secara nyata menurunkan insiden DVT pada bedah ortopedi sebesar 71%. Diagnosa DVT dapat ditegakkan baik secara klinis maupun radiologis dengan menggunakan doppler ultrasound atau Venografi. Dengan diberikan terapi LMWH, gejala-gejala DVT sebagian besar akan berkurang sejak hari ke 4 dan bebas gejala sama sekali pada hari ke 10. Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan penatalaksanaan profilasis yang tepat sangat diperlukan. 3,4 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi DVT Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT terjadi terutama di tungkai bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah dari tungkai bawah kembali ke jantung. Thrombus adalah bekuan abnormal didalam pembuluh darah yang terbentuk walaupun tidak ada kebocoran, proses pembentukan thrombus dinamakan thrombosis. Thrombus vena merupakan deposit intra vaskuler yang tersusun dari fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen trombosit dan leukosit. 1,4,5 2.2 Patogenesis DVT DVT biasanya terbentuk pada daerah dengan aliran darah lambat atau terganggu di sinus vena besar dan kantung ujung katup di vena dalam tungkai bawah atau segmen vena yang terpapar oleh trauma langsung. Pembentukkan dan perkembangan thrombus vena menggambarkan keseimbangan antara efek rangsangan trombogenik dan berbagai mekanisme protektif. Faktor yang mempengaruhi keseimbangan dan berimplikasi pada patogenesis thrombosis vena, dikenal dengan Trias Virchow’s, yaitu: 1). Cedera Vaskuler (kerusakan endothelial); 2). Stasis Vena; 3). Aktivasi koagulasi darah (hiperkoagulabilitas).1,5 1.Cedera Vaskular Kerusakan vaskular memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan thrombosis vena melalui trauma langsung atau aktivasi sel endotel melalui sitokinin (interleukin-1 dan tumor necrosis factor) yang dilepaskan dari hasil cidera 2 jaringan dan inflamasi. Koagulasi darah dapat diaktifkan melalui rangsangan intravaskuler yang dilepaskan dari tempat jauh (misal kerusakan vena femoralis saat operasi panggul) atau oleh sitokin yang terinduksi rangsangan endotel yang utuh. Sitokinin ini merangsang sel endotel untuk mensintesis tissue factor dan plasminogen activator inhibitor-1 dan mengakibatkan reduksi trombodulin, sehingga membalikkan kemampuan protektif endotel yang normal. Trombodulin (TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk thrombin. Bila thrombin terikat pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen menurun. Sebaliknya kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat. Protein C dengan kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor prokoagulan, faktor Va dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan fibrinolisis. 1,5 Endotel vena mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke plasmin kemudian plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistem fibrinolisis akan dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih berkurang dibanding dengan ekstremitas atas. 1,5 2. Stasis Vena Statis vena sering pada usia tua, tirah baring lebih dari tiga hari dan operasi yang memakan waktu lama. Stasis vena memberikan predisposisi thrombosis lokal. Stasis menggangu pembersihan faktor koagulasi aktif dan membatasi aksesbilitas thrombin di vena kemudian menempel ke trombomodulin. Protein ini terdapat dalam densitas terbesar di pembuluh darah kapiler. 1,5 Penelitian ultrastruktural menunjukkan bahwa setelah trauma ditempat jauh, leukosit melekat diantara intercellular junction endotel pada daerah statis vena. Hal ini menjadi nidus untuk pembentukkan thrombus. Bila nidus thrombus mulai terdapat di daerah statis, maka substansi yang dapat meningkatkan agregasi trombosit, yaitu factor X teraktivasi, thrombin, fibrin dan katekolamin tetap dalam konsentrasi tinggi di daerah tersebut. Stasis juga memberikan kontribusi tambahan, yaitu membentuk thrombin dengan cara merusak katup vena yang 3 avaskuler. Sebaliknya katup tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi dan nutrisi, sedangkan aliran darah stasis. Mekanisme thrombosis adalah aktivitas faktor koagulasi aktif melalui darah yang mengalir, inhibisi trombomodulin pada aktivitas koagulan dari thrombin, pengaruh trombomodulin aktivitas antikoagulan dari thrombin melalui aktivasi protein C dan disolusi fibrin oleh sistem fibrinolitik. 1,5 3. Hiperkoagulabilitas Keadaan hirepkoagulabilitas adalah suatu perubahan keadaan darah membantu pembentukan thrombus vena. Perubahannya meliputi peningkatan konsentrasi faktor koagulasi normal maupun teraktivasi, penurunan kadar inhibitors dalam sirkulasi, gangguan fungsi sistem fibrinolitik, adanya trombosit hiperaktif, faktor hiperkoagulabilitas dan statis bekerjasama membentuk thrombus vena. Dari ketiga factor penyebab DVT yang terpenting adalah faktor statis dan hirepkoagulabilitas. 1,5 Faktor risiko penyakit DVT digolongkan faktor patogenesis pembentukan DVT (Trias Virchow’s) dan faktor umum yang mendukung, berhubungan dengan pembentukan DVT atau kombinasi dari faktor trias Virchow’s. 1,5 Gambar 2.1 Trias Virchow’s 4 2.3 Epidemiologi DVT DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit jantung koroner dan stroke. DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100.000 atau sekitar 398.000 pertahun, sedangkan insiden DVT pada pasien tanpa profilaksis adalah: stroke (56%), elective hip replacement (51%), trauma multipel (50%), total knee replacemet (47%), hip fracture (45%), cidera medulla spinalis (35%), operasi umum (25%), infark miokard (22%), operasi bedah saraf (22%), operasi ginekologi (14-22%), kondisi medis umum (17%). Insiden DVT pasca operasi orthopedi tanpa profilaksis pada pasien Asia adalah: pada total knee replacement (76,5%), total hip replacement (64,3%) dan fiksasi fraktur femur proksimal (50%).1,2,3,4 2.4 Faktor Resiko DVT Berdasarkan konferensi ketujuh American College of Chest Physicians (ACCP), pasien yang melakukan operasi diklasifikasikan menjadi 4 tingkat menjadi resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Klasifikasi dibuat berdasarkan umur, jenis operasi, durasi operasi, durasi immobilisasi dan faktor resiko lainnya. 6,7 Resiko rendah: Durasi operasi kurang dari 30 menit, umur lebih dari 40 tahun, perbaikan dari fraktur kecil. Resiko sedang: Umur 40 – 60 tahun, arthroscopy atau perbaikan fraktur tunkai bagian bawah, penggunaan plaster cast post-operasi. Resiko tinggi: Umur lebih dari 60 tahun, atau umur 40 – 60 tahun dengan adanya faktor resiko tambahan, immobilisasi lebih dari 4 hari Resiko sangat tinggi: Operasi arthroplasty lutut dan panggul, operasi fraktur panggul, operasi open fracture pada tungkai bawah, trauma pada spinal cord, berbagai resiko tambahan (umur lebih dari 40 tahun, sebelumnya ada riwayat mengalami DVT, kanker, dan hypercoagulable state). 5 2.5 Diagnosis DVT Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh nyeri, bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak. Bengkak dan nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat nyeri biasanya terus menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan meningkatnya aktivitas atau jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik manifestasi DVT dapat berupa tungkai bengkak unilateral, gambaran eritrosianotik, dilatasi vena superficial, suhu kulit meningkat atau nyeri tekan pada paha atau betis. Tanda klinis ini hanya ditemukan pada 23-50% pasien DVT. Tanda klinis yang negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tungkai bawah yang bengkak, lunak disertai dengan cord vena yang dapat dipalpasi mengarahkan pada DVT popliteal. Perbedaan ukuran lingkaran tungkai yang bermakna mendukung diagnosis DVT. Namun sebagian besar pasien tidak menunjukkan bengkak yang jelas. Kepastian diagnosis DVT secara klinis hanya 50%, sehingga tes diagnosik diharuskan bila ada kecurigaan DVT. Kematian dapat terjadi bila thrombus vena pecah dan membentuk emboli pulmoner yang akan mengobstruksi arteri pada paru. 1,3,4 Pemeriksaan klinis tanda Homans dengan cara lutut dalam posisi fleksi, pergelangan kaki didorsofleksikan dengan kuat. Bila pasien merasa nyeri pada daerah betis atau poplitea, maka tanda Homans positif. Tanda ini tidak dapat di percaya, tanda ini dapat negative walaupun DVT positif, dan dapat positif meskipun seluruh vena bebas dari bekuan darah. Berbagai gangguan otot betis dapat berhubungan dengan tanda Homans yang positif.3,4 Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang terdiri dari pemeriksaan laboratories dan radiologis. Tes laboratories adalah Simplie-red D-dimer. Konsentrasi plasma D-dimer merupakan hasil pencernaan fibrin oleh plasmin. Kadarnya meningkat pada pasien thrombosis vena atau emboli pulmoner. Pengukuran dilakukan dengan cara pengambilan darah dari jari 6 tangan pasien diperiksa secara ELISA atau dengan Simpli RED agent. Tes ini hasil sensitifitas 97%. Tes D-dimer sering menghasilkan positif semu pada pasien pasca bedah atau trauma. Pemeriksaan radiologis menggunakan Venous compression duplex ultrasonography, merupakan teknik noninvasif yang memiliki sensitifitas 95% untuk mendiagnosis DVT.3,4 2.6 Komplikasi DVT Komplikasi utama dari DVT adalah Pulmonary Embolism (PE). PE muncul ditandai dengan dispnea, nyeri dada pleuritik, batuk, takikardi, takipnea, ronki, sinkop dan hipoksia. PE merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa pasien. Post-phlebitic syndrome dapat terjadi setelah deep vein thrombosis. Kaki yang terpengaruh dapat menjadi bengkak dan nyeri secara kronis dengan perubahan-perubahan warna kulit dan pembentukan borok-borok (ulkus) disekitar kaki dan pergelangan kaki. Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan profilasis yang tepat sangat diperlukan.3,4,5 2.7 Tatalaksana Profilaksis DVT Profilaksis dapat dilakukan dengan cara aktivasi koagulasi darah (profilaksis farmakologis) dan pencegahan statis vena (profilaksis mekanis). Konferensi ketujuh ACCP telah membuat rekomendasi yang dibagi menjadi beberapa grade tentang tatalaksan profilaksis DVT berdasarkan faktor resiko yang berpengaruh menyebabkan DVT. Rekomendasi profilaksis berdasarkan faktor resiko dapat dilihat pada tabel 2.1.7,8,9 7 Tabel 2.1 Rekomendasi profilaksis DVT berdasarkan faktor resiko.7 RISK GROUP Rekomendasi Profilkasis Resiko Rendah Profilasis Mobilisasi Persisten Operasi minor usia < 40 tahun; tidak ada tambahan faktor resiko lainnya Resiko Sedang LDUH (5,000 U bid) Tidak ada operasi mayor pada pasien usia 40 sampai 60 tahun, adanya tambahan faktor resiko atau LMWH (≤ 3,400 U/qd) Operasi mayor pada pasien usia < 40 tahun; tidak ada tambahan faktor resiko lainnya Resiko Lebih Tinggi Tidak ada operasi mayor pada usia > 60 tahun atau adanya tambahan faktor resiko LDUH (5,000 U tid) atau LMWH (> 3,400 U/d) Operasi mayor pada pasien usia > 40 tahun, atau dengan tambahan faktor resiko lainnya Resiko Tinggi dan Faktor Resiko Multipel LDUH tid atau LMWH > 3,400 U/d, dengan GCS dan atau alat IPC 8 Resiko Perdarahan Tinggi GCS dan atau alat IPC di awal, sampai resiko perdarahan berkurang Pasien Resiko Tinggi Pilihan Setelah LMWH Contohnya, setelah operasi kanker 2.7.1 Profilaksis Farmakologis 1.Heparin. Heparin adalah antikoagulan yang diberikan secara parental, mekanisme kerjanya adalah meningkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan thrombin dan protease serum lainnya. Heparin dosis rendah di berikan subkutan dengan dosis 5000 U. diberikan sebelum operasi dan setelah operasi (setiap 8-12 jam). Cara ini merupakan pilihan bagi pasien sedang terhadap DVT. Dapat menurunkan resiko DVT 50-70%. Cara ini tidak memerlukan pemantauan dengan laboratorium, sederhana, tidak mahal, aman. Cara ini kurang efektif bagi penderita yang memerlukan bedah orthopedic mayor. Heparin menginduksi terjadinya trombositopenia karena ikatan antara Heparin dengan faktor IV trombosit dapat menyebabkan terbentuknya antibodi IgG yang nantinya menginduksi terjadinya trombositopenia.3,5,6 2.Warfarin Warfarin dosis sedang, efektif untuk mencegah DVT pada semua kategori resiko. Dapat mulai diberikan 5 atau 10 mg malam sebelum operasi atau malam setelah operasi, efek antikoagulan terukur baru dapat dicapai pada 3-4 hari pasca operasi, namum bila terapi dimulai saat operasi atau sesaat setelah operasi maka warfarin 9 masih efektif bagi penderita resiko tinggi DVT, termasuk pasien fraktur tulang panggul. Lama profilaksis menurut rekomendasi ACPP adalah minimal 7-10 hari. Regimen ini kurang menyenangkan karena memerlukan monitoring laboratorium.3,5 3.Low-dose Unfractionated Heparin (UFH) Diberikan secara subkutan 3 kali 3500 U sehari, dimulai sejak dua hari sebelum operasi. Lebih efektif dari heparin dosis rendah bila diberikan pada pasien operasi panggul elektif. Bila dibanding LMWH efektifnya lebih rendah dalam mencegah thrombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Membutuhkan monitoring laboratorium yang teliti.5,6 4. Low Molecular Weight heparin (LMWH) LMWH lebih efektif dibanding yang lainnya, sediaan ini juga lebih efektif mencegah thrombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan aktivitas efek antitrombin III, anti factor Xa dan anti factor IIa. Secara subkutan, LMWH/enoxaparin diberikan sehingga profilaksi dengan dosis 40 mg satu kali sehari, pada pasien yang menjalani pembedahan berisiko tinggi DVT. Dosis pertama diberika 12 jam sebelum pebedahan dan dilanjutkan sehari sekali selama tujuh hari. Selain tidak memerlukan pemantauan komplikasi pendarahan kecil terjadi. Pada operasi orthopedic mayor, terapi LMWH/enoxaparin menurut adalah injeksi 40 mg secara sub kutan 12 jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sehari sekali selama 12-14 hari. Sebaliknya Turpie memberika 30 mg LMWH/enoxaparin sub kutab 12-14 jam sesudah pembedahan dan dilanjutkan 30 mg dua kali sehari 10-15 hari.3,6 5.Obat antiplatelet Aspirin telah diteliti sebagai profilaksi terhadap DVT (dosis >100 mh/hari) dapat menurunkan DVT proksimal dan distal sebesar 30-40% pada pasien pembedahan general, orthopedi. Tetapi proteksinya lebih rendah dibandingkan antikoagulan. Dextran yang merupakan polisakarida meningkatkan aliran mikrosirkulasi melalui 10 berbagai mekanisme dan mampu mencegah DVR. Reaksi alergi termasuk anafilaksi (pada intra vena) dan mahal membatasi penggunaanya. Rekombinasi herudin, hirugol dan argatroban adalah inhibitor thrombin langsung.3,6 2.7.2 Profilaksis Mekanis Bentuk profilaksi mekanis dalah mobilisasi dini, mesin continous passive moyion, pressure vascular stocking, dan alat kompresi pneumatik bergradasi secara elevasi tungkai 15-22 cm. Statis vena, proses patologi yang mendasari terjadinya thrombosis, dicegah dengan kontraksi atau kompresi otot betis yang dapat menghindari penumpukan darah vena di ekstremitas bawah. Stoking elastis dapat digunakan untuk tujuan di atas. Pemakaian stoking elastis meningkatkan aliran dara vena hingga 1,5 kali aliran basalnya sehingga memacu sirkulasi darah, mencegah statis darah pada aneurisma (pelebaran vena dan dilatasi sakuler) yang sering pada usia lanjut dan penderita DVT. Tekanan pada mata kaki 18mmHg, 14mmHg pada betis, 10mmHg pada lutut dan 8mmHg pertengahan paha. Penggunaannya merupakan pilihan pertama untuk mencegah DVT pada pasien yang dirawat. Alat kompresi pneumatik merangsang pengosongan vena ekstremitas bawah dengan cara menurunkan statis dan menstimuli sistem fibrinolik.3,8,9 11 BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama : NWM CM : 01.55.56.23 Umur : 50 tahun Jenis kelamin : Perempuan Agama : Hindu Suku : Bali Pendidikan terakhir : SD Pekerjaan : Pedagang Status : Sudah menikah MRS : 6 April 2012 Diagnosa : - Fraktur Terbuka dan Dislokasi Ankel Dextra - Lesi Vaskular Ruptur Arteri Dorsalis Pedis Dextra Ruptur Arteri Tibialis Posterior Dextra 3.2 Anamnesis Keluhan utama: Nyeri Pergelangan Kaki Kanan Riwayat penyakit sekarang: Pasien merupakan rujukan dari BIMC Hospital dengan diagnosis fraktur terbuka dan dislokasi ankel kanan Pasien datang sadar, mengeluh nyeri pada pergelangan kaki kanan setelah megalami kecelakaan lalu-lintas 8 jam sebelum masuk Rumah Sakit (6 April 2012). Saat kejadian, pasien sedang menumpang mobil, kemudian mobil yang ditumpanginya menabrak truk yang parkir. Saat kejadian tersebut pasien mengatakan sedang tidur, kemudian pasien sadar setelah kejadian. 12 Setelah di Rumah Sakit Sanglah, pasien telah menjalani operasi eksternal fiksasi untuk Fraktur terbuka dan dislokasi ankel pada kaki kanannya kemudian dilanjutkan dengan repair vaskular (Arteri Dorsalis Pedis Dextra dan Arteri Tibialis Posterior Dextra) pada tanggal 6 April 2012. Setelah itu, pasien melanjutkan operasi anastomose end to end pada rupture arteri posterior dextra dengan graft dari vena saphena pada tanggal 7 April 2012. Setelah menjalani operasi tersebut pasien kemudian dirawat di MS. Riwayat penyakit dahulu: Pasien mengatakan alergi terhadap penisilin. Pasien menyangkal memiliki penyakit diabetes mellitus, jantung, hipertensi, asma. Pasien menyangkal pernah mengalami operasi sebelumnya. Riwayat penyakit keluarga: Pasien menyangkal ada anggota keluarga yang memiliki penyakit diabetes mellitus, jantung, hipertensi, asma. Riwayat sosial: Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. 3.3 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Fisik Saat di UGD (6 April 2012) Status Present Kesadaran : CM (E5V5M6) Tekanan darah : 90/60 mmHg Nadi : 72 x/menit 13 Respiratorius : 15 x/menit Temperatur axila : 36,5 BB : 52 kg TB : 160 cm BMI : 20,31 VAS :0–1 Primary Survey Airway : lapang Breathing : Spontan Circulation : TD 90/60 mmHg, Nadi = 72x/menit Dissability : Alert Status General SSP : CM, anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor Resp : RR = 15x / menit, vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- K.V : TD = 90/60 mmHg, Nadi = 72x/ menit, S1S2tunggal reguler murmur (-) GIT : BU (+) Normal, Distensi (-) UG : BAK (+) spontan MS : Fleksi Defleksi Leher normal, Malapati I, Gigi Palsu di rahang atas Ext : Akral hangat (+),Fraktur Terbuka dan Dislokasi Ankel Dextra Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi Debridemen, Eksternal Fiksasi, Repair Vaskular (6 April 2012) Status Present TD : 90/60 mmHg Nadi : 72 x / menit Respirasi : 15 x / menit 14 Temperatur Axilla : 36,5 0C Berat Badan : 52 kg Tinggi Badan : 160 cm VAS :1–2 Status General SSP : CM, anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor Resp : RR = 22-24x / menit, vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- K.V : TD = 110/70 mmHg, Nadi = 88x/ menit, S1S2tunggal reguler murmur (-) GIT : BU (+) Normal, Distensi (-) UG : BAK (+) spontan MS : Fleksi Defleksi Leher normal, Malapati I, Gigi Palsu di rahang atas Ext : Akral hangat (+), Fraktur Ankel Dextra Kesimpulan : Status Fisik ASA 3 Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi Anastomose End to End (7 April 2012) Status Present TD : 100 / 70 mmHg Nadi : 88 x / menit Respirasi : 16 x / menit Temperatur Axilla : 36,5 0C Berat Badan : 52 kg Tinggi Badan : 160 cm VAS :1–2 Status General SSP : CM, anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor Resp : RR = 16x / menit, vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- K.V : TD = 110/80 mmHg, Nadi = 88x/ menit, S1S2tunggal reguler murmur (-) 15 GIT : BU (+) Normal, Distensi (-) UG : BAK (+) spontan MS : Fleksi Defleksi Leher normal, Malapati I, Gigi Palsu di rahang atas Ext : Akral hangat (+), Eksternal fiksasi ankle (+) Kesimpulan : Status Fisik ASA 3 Pemeriksaan Fisik Saat di Ruangan MS (10 April 2012) Status present: KU : Lemah Kesadaran : Composmentis Tekanan darah : 120/80mmHg Nadi : 84 x/menit Respirasi : 20 x/ menit Suhu axilla : 36.5 ° C Pemeriksaan fisik umum : SSP : Somnolen, RP+/+ isokor, anemia -/-, ikterus -/- Respirasi : RR 20 x/ menit, vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing-/Sirkulasi : Tekanan darah 120/80 mmHg , Nadi 84 x/menit Cor: S1S2 tunggal , regular, murmur (-) Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal nyeri tekan (-) Hepar/lien tidak teraba Urogenital : BAK (+) normal Musculoskeletal : Regio Ankel Dextra Look : Luka post operasi terawat, edema (-), eritema (+), pelebaran pembuluh darah vena (-) 16 Feel : teraba hangat (+), nyeri tekan (+) Move : ROM distal (-) 3.4 Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap Tgl 6/4/12 8/4/12 10/4/12 WBC (4,1 – 11,0 x 10 /µL) 9,76 10,50 12,20 RBC (4,0 – 5,2 x 106/µL) 3,98 2,22 2,81 HGB (12 – 16 g/dl) 11,70 6,80 8,70 HCT ( 36 – 46 %) 35,50 19,90 25,10 PLT ( 140 – 440 x 103/µL) 164,70 109,0 129,90 3 Kimia Darah Tgl 7/4/12 8/4/12 BUN (8 – 23 mg/L) 9,75 9,15 Creatinin (0,5 – 0,9 mg/L) 0,50 0,55 Estimati Clearance Creatinine dengan rumus cockroft-gault: 𝐶𝑐𝑟 = 𝐶𝑐𝑟 = (140−𝑢𝑚𝑢𝑟)×52 72 ×𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝐶𝑟 (140−𝑢𝑚𝑢𝑟)×52 72 ×𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝐶𝑟 x 0,85 = x 0,85 = (140−50)×52 72 ×0,50 (140−50)×52 72 ×0,55 x 0,85 = 110,50 ml/menit (7/4/12) x 0,85 = 100,45 ml/menit (8/4/12) AGD Tgl 6/4/12 AGD pH pCO2 pO2 HCO3 BE 7,41 40,00 214,00 25,40 0,80 SO2 (%) 100 Na K 139,00 3,40 17 3.5 Diagnosis Fraktur terbuka dan Dislokasi Ankel Dextra Grade III post debridement dan Eksternal Fiksasi Ruptur Arteri Dorsalis Pedis Dextra post repair vaskular Ruptur Arteri Tibialis Posterior Dextra post repair vascular 3.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Operasi Ekternal Fiksasi dan Repair Vaskular (6/4/12) Pembedahan : Dedridement dan Eksternal Fiksasi untuk Open Fracture dan Dislokasi Ankle Dextra. Teknik Anastesi : GA – OTT Pre-Medikasi : - Midazolam 2 mg - Ondansentron 4 mg Induksi : - Propofol 100 mg (Intravena) Jumlah Cairan Selama Pembedahan : I : RL 500cc II : NaCl 0,9% 500cc III: RL 500cc IV: RL 500cc Analgetik : - Drip Fentanyl 300 mcg dalam 24 jam - Paracetamol 4 x 500 mg (per oral) Penatalaksanaan Operasi Anastomose End to End (7/4/12) Pembedahan : Anastomose End to End untuk Rupture Arteri Posterior Dextra dengan graft dari Vena Saphena Teknik Anastesi : GA – OTT Pre-Medikasi : - Midazolam 2 mg - Ondansentron 4 mg Induksi : - Propofol 100 mg (Intravena) Jumlah Cairan Selama Pembedahan : I : RL 500cc II : RL 500cc 18 III: RL 500cc IV: HES 6% 500cc V : RL 500 cc VI : RL 500 cc Analgetik : - Drip Fentanyl 300 mcg dalam 24 jam (bila nyeri) - Paracetamol 500 mg 3 x 1 (per oral) Penatalaksanaan profilaksis DVT (7/4/12 – 13/4/12) Pasien Diberikan Lovenox (Enoxaparin Sodium injection) 2 x 40 mg pemberian secara sub kutan 3.7 Follow up pasien Tanggal Perjalanan penyakit 6-04-12 7-04-12 Pengobatan/instruksi S: Nyeri pada kaki kanan dengan P: - Ceftriaxon 2 g IV selama skala nyeri 6 12 jam O:Wajah pasien meringis, luka pada - Gentamycin 2 x 80 mg angkle kaki kanan (+), terpasang - Drip Fentanyl 300 mcg cairan RL, TD: 100/70, RR : dalam 24 jam 16x/ment, - Parasetamol 4 x 500 A: Masalah vaskular belum teratasi mg Post-operasi debridement - Observasi vital sign +external fiksasi - Distraksi relaksasi S: Pasien mengeluh nyeri pada Kaki kanan dengan skala nyeri 6 O: TD : 100/70, N: 88; RR: 16x/menit L: eksternal fiksasi (+), dressing kering; F: Nyeri (+), CRT > 2, SnO2 87%; M: ROM distal terbatas A: ankle kanan post desbridement + Ext fiksasi, lesi vaskular post P: - Ceftriaxon 2 g IV selama 12 jam - Gentamycin 2 x 80 mg - Lovenox 2 x 40 mg sub kutan - Paracetamol 4 x 500 mg - Observasi vital sign - Distraksi relaksasi - Observasi tanda-tanda pendarahan dan hematum 19 repair vaskular 8-04-12 9-04-12 10-0412 S: Nyeri pada kaki kanan pasien P: - Ceftriaxon 2 g IV selama berkurang, dgn VAS 1-2 12 jam O: sadar, kedaan stabil, TD: 120/80 - Gentamycin 2 x 80 mg mmHg, N 88x, Respirasi : - Lovenox 2 x 40 mg sub 18x/menit, SpO2 98%, kutan L: luka(+)terawat,pucat(+) - Parasetamol 4 x 500 mg F: CRT ≥ 3, - Bila Hb ≤ 18 kg/dL M : Rom distal (-), HGB: 6,80 transfuse PRC 2x/hari Post repair arteri dorsalis pedis dekstra - Vit C 1x1 ampul A: Open fracture dan dislokasi ankle dextra grade III post debridement + repair vaskuler + eksternal fiksasi S: Kel Nyeri pada kaki kanan pasien P: - IVFD ( RL : Aminofusin berkurang, VAS 1 - 2 →2:2) O: Sadar, Ekstremitas lemah, Tax : 39,5 ºC, TD : 110/80, N :88x, RR: - Ceftriaxon 2 g IV selama 18x/ menit, Crunis Angkle dextra 12 jam L : external fiksasi (+), luka - Gentamycin 2 x 80 mg terawat (+); - Lovenox 2 x 40 mg sub F : Hangat, arteri dorsalis pedis kutan teraba lemah, arteri tibialis - Parasetamol 4 x 500 mg posterior teraba lemah CRT < 2; Transfuse PCR s/d Hb ≥ M : ROM distal (-) 10 g/dL A: Open fracture dan dislokasi ankle dextra grade III post debridement - Vit C 1x1 ampul + repair vaskuler + eksternal fiksasi S: Kel. Nyeri pada kaki kanan, VAS 77 mm O: KU sedang, Tax : 39,5 ºC L : eksternal fiksasi (+), akral kemerahan, luka terawat(+), F : akral hangat, CRT < 2, sensory(-), M : ROM distal(-) A: Open fracture dan dislokasi ankle dextra grade III post debridement P: - Ceftriaxon 2 g IV selama 12 jam - Gentamycin 2 x 80 mg - Lovenox 2 x 40 mg sub kutan - Parasetamol 4 x 500 mg Transfuse PCR s/d Hb ≥ 10 g/dL 20 + repair vaskuler + eksternal fiksasi 11-0412 S: Kel. Nyeri pada kaki kanan, VAS P: - Ceftriaxon 2 g IV selama 77 mm 12 jam O: Tax : 39ºC, TD: 100/70, N: 80, - Gentamycin 2 x 80 mg RR: 28, anemis +/+, urine - Lovenox 2 x 40 mg sub 2000/24 jam kutan A: Open fracture dan dislokasi ankle - Parasetamol 4 x 500 mg dextra grade III post debridement - Transfuse PCR s/d Hb ≥ + repair vaskuler + eksternal 10 g/dL fiksasi - Ketorolac 3 x 30 mg - Elevasi tungkai bawah 1 1 bantal 12-0412 13-0412 S: nyeri dengan skala nyeri 5, tidak P: - Ciprofloxacin 2x500 mg merasakan sentuhan pada kaki - IVFD ( RL: Aminofusin kanan O: TD: 100/70 mmHg, Nadi: →2:2) 80x/menit, RR: 20x/menit, Tax: - Ceftriaxon 2 g IV selama 36,5ºC, skala nyeri 5 mata anemia 12 jam +/+, edema palpebra inferior, - Lovenox 2 x 40 mg sub L: luka terawat(+), dressing kutan kering, skeletal traksi(+), - Parasetamol 4 x 500 mg F: NT(+), CRT < 2 pulpasi arteri - Ketorolac 3 x 30 mg tibialis posterior (+) teraba M: ROM distal (-) - Transfuse PCR s/d Hb ≥ A: Open fracture dan dislokasi ankle 10 g/dL dextra grade III post debridement + repair vaskuler + eksternal fiksasi S: Nyeri pada kaki kanan pasien, berkurang, VAS 1 – 2 O: TD: 100/70 mmHg, Nadi: P: - Asam mefenamat 5x500 mg - Ciprofloxacin 2x500 mg 21 80x/menit, RR: 20x/menit, Tax: 36,5ºC, skala nyeri 5 mata anemia +/+, edema palpebra inferior, ankle dextra, L: luka terawat(+), dressing kering, skeletal traksi(+), - Ceftriaxon 2 g IV selama 12 jam - Lovenox 2 x 40 mg sub kutan - Parasetamol 4 x 500 mg - Ketorolac 3 x 30 mg - Transfuse PCR s/d Hb ≥ 10 g/dL F: NT(+), CRT < 2 pulsasi arteri tibialis posterior (+) teraba M: ROM distal (+) N A: Open fracture dan dislokasi ankle dextra grade III post debridement + repair vaskuler + eksternal fiksasi 22 BAB IV PEMBAHASAN Pasien pada laporan kasus ini merupakan pasien rujukan dari BIMC Hospital. Pasien wanita, usia 50 tahun, datang ke rumah sakit pada tanggal 6 April 2012 dengan diagnosis fraktur terbuka dan dislokasi ankel dextra grade III, yang telah menjalani operasi eksternal fiksasi pada kaki kanannya kemudian dilanjutkan dengan repair vaskular arteri dorsalis pedis dextra dan arteri tibialis posterior dextra pada tanggal 6 April 2012 setelah itu melanjutkan lagi operasi anastomosis end to end pada ruptur arteri posterior dextra dengan graft dari vena saphena pada tanggal 7 April 2012. Dari anamnesis pasien setelah operasi didapatkan pasien masih mengeluh nyeri pada kaki kanan kemudian dari pemeriksaan fisik tgl 13 April 2012 pada inspeksi dapat dilihat luka post operasi terawat, tidak ditemukan edema, ditemukan eritema, tidak ditemukan pelebaran pembuluh darah vena; pada palpasi teraba hangat dan terdapat nyeri tekan; pergerakan ROM distal pada pasien masih bisa dilakukan, sehingga secara klinis diagnosis DVT pada pasien ini belum bisa ditegakkan. Berdasarkan teori, diagnosis DVT secara klinis bisa ditegakkan jika ditemukan gejala klinis seperti edema, teraba hangat dan eritema yang terlokalisasi serta adanya nyeri tekan pada vena yang mengalami flebitis, dan terabanya deep venous cord. 1,4 Menurut konferensi ketujuh ACCP pasien ini merupakan beresiko sedang terjadi DVT, sehingga diperlukan profilaksis untuk mencegah terjadinya DVT. Berdasarkan konferensi ketujuh ACCP tersebut disebutkan bahwa pasien dengan faktor resiko sedang sebaiknya memang direkomendasikan pemberian profilaksis DVT berupa Low Molecular Weight Heparin.6,7 Pasien ini dikatakan telah mendapatkan pengobatan profilaksis DVT berupa pemberian Lovenox (Enoxaparin Sodium injection) yang diberikan 40 mg setiap 12 jam pemberian secara sub kutan.10 Profilkasis yg diberikan ini dikatakan bisa menurunkan angka kejadian DVT sekitar 63%, ini merupakan hasil studi dari Samama dkk, dengan penelitian double-blind 23 study, pada 1102 sampel yang beresiko DVT, secara acak sampel diberikan Lovenox 20 mg atau 40 mg sub kutan sekali sehari dimana sampel yang lain diberikan placebo selama 6 – 14 hari.9 Pasien ini telah diberikan lavenox selama 7 hari, berdasarkan teori pemberian lavenox untuk profilaksis DVT diberikan selama 7 -10 hari dan dapat diteruskan sampai 14 hari.10 Sebelum pemberian profilaksis harus dilakukan pemeriksaan penunjang tes fungsi ginjal untuk mengukur clearance cretinine (CCr), berdasarkan teori, lavenox tidak bisa digunakan pada pasien dengan CCr < 30 ml/menit11, Pada pasien ini didapatkan CCr 110,50 ml/menit pada tanggal 7 April 2012 dan 100,45 ml/menit pada tanggal 8 April 2012, sehingga bisa diberikan lavenox. Pemeriksaan penunjang yang lain yang juga dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah lengkap dan analisa gas darah. Berdasarkan teori disebutkan bahwa pemeriksaan kadar INR, PTT, dan APTT dalam darah tidak diperlukan pada pemberian LMWH, sehingga pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut.11 24 BAB V PENUTUP Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit jantung koroner dan stroke. DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh nyeri, bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak. Bengkak dan nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat nyeri biasanya terus menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan meningkatnya aktivitas atau jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik manifestasi DVT dapat berupa tungkai bengkak unilateral, gambaran eritrosianotik, dilatasi vena superficial, suhu kulit meningkat atau nyeri tekan pada paha atau betis. Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang terdiri dari pemeriksaan laboratories dan radiologis. Tes laboratories adalah Simplie-red D-dimer. Pemeriksaan radiologis menggunakan Venous compression duplex ultrasonography. Profilaksis dapat dilakukan dengan cara aktivasi koagulasi darah (profilaksis farmakologis) dan pencegahan statis vena (profilaksis mekanis).1,3,4,5 25 DAFTAR PUSTAKA 1. Patel, Kaushal et al. deep Venous Thrombosis. Avalible in: www.medscape.com. ( Accessed 15 April 2012 ). 2. Hetcher, John et al. Prevention of Venous Thromboembolism.Australia.2008 3. Ennis,Robert et al. deep venous Thrombosis Propylaxis in Orthopedic Surgery. Avalaible in : www.medscape.com ( Accessed 15 April 2012 ) 4. Lilly, Leonard. Pathopysiology of Hearth Disease 5th Edition. London: Lippincott; 2011 5. Baksa, I Made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006 6. Deitelzweig, Steven et al. prevention of venous Thromboembolism in The Orthopedic Surgery Patient. Cleveland clinic journal of Medicine. 2008; 75 (3) : 27-36 7. Kearon, Clive et al. antithrombotic Therapy for Venous Thromboemboli Disease : American College of Chest Physicians Evidence-Based Practice Guidline ( 8th Edition). Journal of American Colleg of Chest Physicians. 2008; 133 (10) : 475-510 8. Tosadak, Uddin et al. aetiology and Prevention of Venous Thromboembolism. National Journal Medicine. 2007; 331 (24): 70-81 9. David, Samam. Management of Prevention of Deep Vein Thrombosis in General Practice.2006; 25 (3): 1-19 10. Proven Outcome in Acutely III Medical Patient from Landmark MENDENOX Trial. Avalaible in : www.lovenox.com. ( Accessed 15 April 2012 ) 11. Ketz, Jelf. Enoxaparin Clinical Pearl. Avalaible in: www.clevelandclinicmeded.com. (Accessed 15 April 2012) 26 27