UNIVERSITAS ESA UNGGUL SELF-EFFICACY PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 TERHADAP SELF MANAGEMENT : LITERATURE REVIEW SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S1 keperawatan NAMA : HASNI NURHASANAH NIM : 20160303020 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2020 Universitas Esa Unggul HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Hasni Nurhasanah NIM : 20160303020 Tanda Tangan : Tanggal : Agustus 2020 i Universitas Esa Unggul ii Universitas Esa Unggul HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, katas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan proposal ini. Proposal ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan pada Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, cukup sulit bagi saya untuk menyelesaikan Proposal ini. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Arief Kusuma Among Praja, M.B.A selaku rektor Universitas Esa Unggul 2. Ibu Dr. Aprilita Rina Yanti Eff., M.Biomed, Apt selaku dekan Fakultas Ilmu – Ilmu Kesehatan. 3. Ibu Ety Nurhayati, S.Kp.,M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Mat selaku Ketua Prodi Jurusan Keperawatan. 4. Bapak Dr. Rian Adi Pamungkas., S.Kep., Ns., M.N.S., P.H.N selaku dosen pembimbing skripsi. 5. Ibu, Bapak, Teteh Risma, Uni Vina dan seluruh keluarga saya yang telah memberikan dukungan moril dan material sehingga saya dapat menuntaskan tugas akhir. 6. Seluruh sahabat saya Istiqomah Sejati, Evi Debora Munthe, Barokatus Salamiyah, Eka Septiani, Setyami Wanudya Dharmmika, Mala Nurwita, Syahna Qurratu’ain, Ainiyatul Maghfiroh, Alya Labibah, Dita Rizkia Liandi, Ulya Ardlillah, Kezia Clarita dan Meyssy Arsita yang selalu mensupport sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Teman – teman keperawatan 2016 yang telah saling membantu dalam kelancaran proses tugas akhir ini. Jakarta, 8 Septembet 2020 iii Universitas Esa Unggul (Hasni Nurhasanah) HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika Universitas Esa Unggul, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi Fakultas Jenis Karya Ilmiah : Hasni Nurhasanah : 20160303020 : Ilmu Keperawatan : Ilmu-Ilmu Kesehatan : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Esa Unggul Hak Bebas Royalti Noneksklusif atas karya ilmiah saya yang berjudul: Self-Efficacy Pasien Diabetes Melitus Terhadap Self Management : Literature Review beserta perangkat yang ada (apabila diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Esa Unggul berhak menyimpan, mengalihmediakan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Pada tanggal Yang menyatakan : Jakarta : 8 September 2020 (Hasni Nurhasanah) iv Universitas Esa Unggul ABSTRAK Judul :Self-Efficacy Pasien Diabetes Melitus Terhadap Self Management : Literature Review Nama : Hasni Nurhasanah Program Studi : Ilmu Keperawatan Latar belakang: Diabetes yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai komplikasi bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pasien DM harus menjalankan manajemen diri dengan baik agar resiko terjadinya komplikasi dapat dikurangi. Untuk melakukan segala kegiatan manajemen diri diperlukannya sebuah keyakinan penderita DM akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan perilaku yang mendukung kesehatannya berdasarkan tujuan dan harapan yang diinginkannya, yang disebut dengan efikasi diri (Self-Efficacy). Tujuan: menganalisis dan mensintesis penelitian sebelumnya terkait self-efficacy pada pasien diabetes melitus terhadap self management , dan metode peningkatan selfefficacy terhadap self management. Metode: Literature review dilakukan pada beberapa artikel yang dipublikasikan di PubMed, Science Direct, dan Google Scoolar, antara tahun 2012 - 2020. Pembahasannya berhubungan dengan selfefficacy pada manajemen diri pasien DM terdiri dari diet, aktifitas fisik, kontrol glikemik, pengobatan, serta perawatan kaki; dan peningkatan self-efficacy dalam manajemen diri DM. Hasil: Manajemen diri suatu hal yang mutlak yang harus dilakukan oleh pasien DM yang terdiri dari kontrol gula darah, pengaturan diet, pengobatan, aktivitas fisik dan perawatan kaki. Salah satu faktor yang mendukung efektifitas pelaksanaan self management tersebut adalah self-efficacy. Hal ini juga akan mendukung tercapainya hasil yang baik dalam pelaksanaan perawatan diri pada berbagai domain. Meningkatkan self-efficacy merupakan tindakan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi mengenai perawatan diri pasien DM yang sebelumnya telah dikaji tingkat self-efficacy nya. Hal ini merupakan intervensi yang dapat dilakukan dan diintegrasikan pada layanan kesehatan. Kata Kunci : Self Efficacy, Diabetes Melitus, Self Management. v Universitas Esa Unggul ABSTRACT Tittle Name Study Program : Self-Efficacy of Diabetes Mellitus Patients Against Self Management: Literature Review :Hasni Nurhasanah :Nursing Department Background: Diabetes that is not managed properly can cause various complications and even lead to death. DM patients must carry out self-management well so that the risk of complications can be reduced. To carry out all selfmanagement activities, it is necessary to have a belief in DM sufferers in their ability to regulate and carry out behaviors that support their health based on the goals and expectations they want, which is called self-efficacy. Purpose: to analyze and synthesize previous research related to self-efficacy in diabetes mellitus patients on self-management, and methods of increasing self-efficacy for selfmanagement. Methods: Literature reviews were conducted on several articles published in PubMed, Science Direct, and Google Scoolar, between 2012 - 2020. The discussion related to self-efficacy in DM patient self-management consists of diet, physical activity, glycemic control, medication, and foot care; and increased self-efficacy in DM self-management. Results: Self-management is an absolute thing that must be done by DM patients which consists of blood sugar control, diet management, medication, physical activity and foot care. One of the factors that support the effectiveness of the implementation of self-management is self-efficacy. This will also support the achievement of good results in the implementation of selfcare in various domains. Increasing self-efficacy is an independent action that can be done by nurses. One way that can be done is to provide education about selfcare for DM patients who have previously assessed their level of self-efficacy. This is an intervention that can be carried out and integrated into health services. Keywords: Self Efficacy, Diabetes Mellitus, Self Management. vi Universitas Esa Unggul DAFTAR ISI HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................... i HALAMAN PENGESAHAN .............................. Error! Bookmark not defined. HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................... iv ABSTRAK ............................................................................................................. v ABSTRACT .......................................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ................................................................................................. x BAB I ...................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2 1.3 Tujuan ......................................................................................................... 2 1.4 Manfaat ....................................................................................................... 3 1.1.1 Bagi Institusi ..................................................................................... 3 1.1.2 Bagi Pelayanan Kesehatan ................................................................ 3 1.4.3 Bagi Peneliti Lain .............................................................................. 3 BAB II .................................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 .............................................................................. 4 2.1.1 Pengertian .......................................................................................... 4 2.1.2 Etiologi .............................................................................................. 6 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Diabetes ............................. 7 2.1.4 Patofisiologi ...................................................................................... 8 2.1.5 Diagnosis ......................................................................................... 10 2.1.6 Komplikasi ...................................................................................... 11 2.1.7 Penatalaksanaan .............................................................................. 12 2.2 Self-efficacy .............................................................................................. 12 vii Universitas Esa Unggul 2.2.1 Pengertian ........................................................................................ 12 2.2.2 Sumber Self-efficacy....................................................................... 13 2.2.3 Efficacy-Activated Process ............................................................. 14 2.2.4 Self-efficacy Pada Pasien Diabetes Melitus..................................... 15 2.3 Self Management ...................................................................................... 16 BAB III ................................................................................................................. 20 METODE ............................................................................................................. 20 3.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 20 3.2 Sumber Data .............................................................................................. 20 3.3 Kata Kunci dan Strategi Pencarian ........................................................... 20 3.4 Kriteria Seleksi Penelitian ......................................................................... 21 3.4.1 Kriteria Inklusi ................................................................................ 21 3.4.2 Kriteria Eksklusi.............................................................................. 21 3.5 Sintesis Hasil Penelitian ............................................................................ 21 BAB IV ................................................................................................................. 22 HASIL .................................................................................................................. 22 4.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 22 4.2 Instrumen .................................................................................................. 22 4.3 Durasi Intervensi ....................................................................................... 23 4.4 Hasil Penelitian ......................................................................................... 23 4.5 Data Ekstraksi ........................................................................................... 31 BAB V................................................................................................................... 39 PEMBAHASAN .................................................................................................. 39 5.1 Self Efficacy Pada Manajemen Diri Pasien Diabetes Melitus .................. 39 5.2 Intervensi Peningkatan Self Efficacy dalam Manajemen Diri Pasien Diabetes Mellitus ...................................................................................... 44 BAB VI ................................................................................................................. 46 PENUTUP ............................................................................................................ 46 6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 46 6.2 Saran .......................................................................................................... 46 6.2.1 Bagi Institusi ............................................................................................. 46 6.2.2 Bagi Pelayanan Kesehatan ........................................................................ 46 viii Universitas Esa Unggul 6.2.3 Bagi Peneliti Lain ...................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47 ix Universitas Esa Unggul DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Strategi Pencarian ................................................................................. 20 Tabel 3.2 PICO ..................................................................................................... 20 Tabel 4.1 Durasi Intervensi ................................................................................... 23 Tabel 4.2 Data Ekstraksi ....................................................................................... 31 x Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (World Health Organization, 2016), pada tahun 2012 glukosa darah yang lebih tinggi dari batas maksimum mengakibatkan 2,2 juta kematian. Pada 2014, 8,5% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas menderita diabetes. Pada 2016, diabetes adalah penyebab langsung 1,6 juta kematian. Sedangkan menurut (IDF, 2019) diperkirakan 463 juta orang menderita diabetes dan jumlah ini diproyeksikan mencapai 578 juta pada tahun 2030 dan 700 juta pada tahun 2045. Dua pertiga dari pengidap diabetes tinggal di daerah perkotaan dan tiga dari empat di antaranya berusia kerja. Lebih dari empat juta orang berusia 20-79 tahun diperkirakan meninggal penyebab terkait diabetes pada tahun 2019. Menurut (World Health Organization, 2016) 422 juta orang dewasa berusia diatas 18 tahun hidup dengan diabetes melitus pada tahun 2014 dan sebagian besar diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan pasifik barat. Menurut (World Health Organization, 2016) menunjukan bahwa diabetes merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia yaitu berada di nomor 5 dengan presentase sebesar 6% dari keseluruhan total kematian dan pada semua umur. Menurut IDF, Indonesia termasuk 10 negara teratas untuk jumlah orang dewasa (20 – 79 tahun) dengan diabetes pada tahun 2019 dengan jumlah 10,7 juta orang. Menurut Hasil (Riset Kesehatan Dasar, 2018) terjadi peningkatan prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia pada penduduk umur ≥ 15 tahun yaitu menjadi 2%. Berdasarkan kategori usia, penderita DM tertinggi berada pada rentang umur 55 – 64 tahun dan 65 – 74 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih banyak yang menderita DM dibandingkan laki – laki dengan jumlah presentase perempuan 1,8% dan laki – laki 1,2%. Berdasarkan daerah domisili penderita DM lebih banyak berada di perkotaan dengan presentase 1.,9%. Diabetes yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai komplikasi, yang secara umum dibagi dua yaitu komplikasi mikrovaskuler dan komplikasi makrovaskuler (American Diabetes Association (ADA), 2014; Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010), bahkan dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, pasien yang didiagnosa DM harus menjalankan manajemen diri dengan baik agar resiko terjadinya komplikasi dapat dikurangi. Penderita DM tipe 2 harus mempunyai manajemen diri yang baik agar dapat melakukan aktivitas untuk menjaga kondisi kesehatan, mengelola gejala atau tanda dari penyakit yang diderita, mengelola dampak dari penyakit yang diderita kepada fungsi emosi dan hubungan interpersonal serta taat mengikuti 1 Universitas Esa Unggul pengobatan (Kumala et al., 2016). Self management merupakan bagian integral dari pengendalian diabetes. Self management dapat menggambarkan perilaku individu yang dilakukan secara sadar, baik unversal, dan terbatas pada diri sendiri. Self management diabetes adalah tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengontrol diabetes meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan komplikasi (Mildah Hidayah, 2019). Self-management merupakan keterampilan dan strategi yang dapat dilakukan oleh individu dalam mengarahkan secara efektif pencapaian tujuan aktivitas yang mereka lakukan. Untuk melakukan segala kegiatan manajemen diri diperlukannya sebuah keyakinan penderita DM tipe 2 akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan perilaku yang mendukung kesehatannya berdasarkan tujuan dan harapan yang diinginkannya, yang disebut dengan efikasi diri atau SelfEfficacy. Self-Efficacy mempengaruhi bagaimana individu berfikir, merasa, memotivasi diri sendiri dan bertindak (Dede, 2013). Penelitian Wu, et al. menunjukkan 78% pasien DM memiliki self-efficacy yang rendah. Lebih lanjut, penelitian Astuti menyebutkan bahwa self-efficacy yang rendah berkorelasi dengan buruknya perawatan diri pasien DM dalam mematuhi diet, olahraga, kontrol gula darah, dan pengambilan keputusan. Sebaliknya, diabetesi yang memiliki self-efficacy yang tinggi berkorelasi positif dan signifikan dalam perawatan dirinya dengan baik. Perawatan yang buruk berkorelasi dengan ketidakmampuan pasien dalam merawat dirinya secara mandiri sehingga perawatan menjadi tidak efektif atau bahkan cenderung mengalami kegagalan. Berdasarkan pemikiran diatas maka peneliti ingin membahas mengenai self-efficacy dalam manajemen diri pasien DM perlu dilakukan, mengingat bahwa meningkatkan self-efficacy merupakan salah satu tindakan mandiri keperawatan (Bulecheck, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana self-efficacy pasien diabetes melitus terhadap self managament. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mensintesis penelitian sebelumnya terkait self-efficacy pada pasien diabetes melitus terhadap self management , dan metode peningkatan self-efficacy terhadap self management. 2 Universitas Esa Unggul 1.4 Manfaat 1.1.1 Bagi Institusi Sebagai bahan masukan bagi program studi dalam mengembangkan kurikulum terkait perawatan diabetes melitus tipe 2. 1.1.2 Bagi Pelayanan Kesehatan Diharapkan dapat menjadi masukan untuk perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2. 1.4.3 Bagi Peneliti Lain Menambahkan referensi atau pengetahuan dan wawasan tentang selfefficacy pada pasien DM tipe 2 terhadap self management. 3 Universitas Esa Unggul BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Pengertian Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti “mengalirkan atau mengalihkan”. Melitus berasal dari bahasa latin yang memiliki makna “manis atau madu”. Penyakit diabetes melitus memiliki arti yaitu individu yang mengalirkan volume urine yang mengandung kadar glukosa yang tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatf insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009) Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang terjadi akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah yang dikenal dengan istilah hiperglikemi (World Health Organization, 2016). Diabetes mellitus adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Keadaan tersebut dapat menyebabkan disfungsi aliran saliva. Berkurangnya saliva pada penderita diabetes dipengaruhi faktor angiopati dan neuropati diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena poliuria yang berat (Tamansari et al., 2018). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan defek sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Wijaya, 2015). 4 Universitas Esa Unggul Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Katuuk & Kallo, 2019). Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit multifaktorial dengan komponen genetik dan lingkungan yang sama kuat dalam proses timbulnya penyakit tersebut. Pengaruh faktor genetik terhadap penyakit ini dapat terlihat jelas dengan tingginya penderita diabetes yang berasal dari orang tua yang memiliki riwayat diabetes melitus sebelumnya. Diabetes melitus tipe 2 sering juga di sebut diabetes life style karena selain disebabkan faktor keturunan, juga dapat disebabkan faktor lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin, makanan, aktifitas fisik, dan gaya hidup penderita yang tidak sehat juga bereperan dalam terjadinya diabetes ini (Betteng, Pangemanan, 2014). Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit kronis yang menyebabkan mayoritas pasien yang membutuhkan pengobatan insulin karena penurunan progresif fungsi sel β pancreas. Australia Diabetes Society (ADS) mengungkapkan dan International Diabetes Federation (IDF), bahwa insulin dapat digunakan dengan baik yaitu insulin long-acting (misalnya, insulin glargine, detemir insulin, degludec insulin) diberikan sekali sehari (OD), atau premix insulin diberikan OD atau dua kali sehari, tetapi ketika tidak melakukan perubahan gaya hidup dan kurangnya pengobatan dengan glikemik, obat antidiabetes oral (OADs) (biasanya dalam terapi kombinasi) tidak lagi cukup untuk membantu pasien mencapai target glikemik yang direkomendasikan (Wibisono, 2017). Awal mula terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin yang dimana keduanya saling berkaitan. Pada DMT2, awalnya sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa darah tetap normal. Gangguan sekresi insulin pada fase awal bersifat 5 Universitas Esa Unggul ringan dan selektif melibatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa (Saraswati, 2017). 2.1.2 Etiologi Penyebab terjadinya DM tipe 2 yaitu karena terjadi penurunan fungsi sel beta. Penurunan fungsi sel beta tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut : 1. Glukotoksisitas Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan stress oksidatif, IL-1β dan NF-Kb dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta. 2. Lipotoksisitas Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta hingga terjadi apoptosis. 3. Penumpukan amiloid Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat hingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitaran sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri hingga akhirnya jumlah sel beta dalam pulau lagerhans menjadi berkurang. Sel beta akan berkurang 50 – 60 % pada DM tipe 2. 4. Resistensi Insulin Faktor resistensi insulin ini sebenarna sudah mencakup dari ke tiga faktor diatas karena baik glukotoksisitas, lipotoksisitas dan penumpukan amiloid semuanya disebabkan oleh resistensi insulin. Penyebab terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya 6 Universitas Esa Unggul tidak begitu jelas, tetapi faktor – faktor dibawah ini banyak berperan, yaitu : Obesitas terutama yang bersifat sentral Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat Kurang gerak badan Faktor keturunan 5. Efek Inkretin Inkertin mempunyai efek langsung pada sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta (Suyono, 2009). 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Diabetes Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes tipe 2 memiliki hubungan yang lebih kuat dengan riwayat keluarga dan garis keturunan dari tipe 1, dan studi tentang kembar menunjukkan bahwa genetika memainkan peran yang sangat kuat dalam pengembangan diabetes tipe 2. Namun itu juga tergantung pada faktor lingkungan. Gaya hidup juga mempengaruhi perkembangan diabetes tipe 2. Obesitas cenderung terjadi dalam keluarga, dan keluarga cenderung memiliki kebiasaan makan dan olahraga yang serupa. Jika Anda memiliki riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2, mungkin sulit untuk mengetahui apakah diabetes anda disebabkan oleh faktor gaya hidup atau kerentanan genetik. Kemungkinan besar itu karena keduanya. Namun, dengan berolahraga dan menunurunkan berat badan memungkin untuk mencegah terjadinya diabetes tipe 2. Menurut penelitian (Wicaksono, 2011) faktor yang berhubungan terjadinya DM tipe 2 yaitu usia ≥ 45 tahun, aktivitas olahraga dan riwayat keluarga. Sedangkan menurut penelitian (Imelda, 2019) tentang faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes melitus mendapatkan hasil yaitu faktor kurangnya aktivitas, adanya riwayat keturunan dan pola makan yang tidak sehat lah yang paling mempengaruhi. 7 Universitas Esa Unggul 2.1.4 Patofisiologi Pada diabetes melitus tipe 2 ada dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Dalam keadaan normal insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukan sel, sehingga terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2 disertai dengan menurunnya reaksi intrasel, sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Faktor – faktor yang mempengaruhi proses terjadinya resistensi insulin yaitu seperti faktor genetik, usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia 65 tahun, obesitas, dan riwayat keluarga). Dalam mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, jumlah insulin yang disekresikan harus mengalami peningkatan jumlah. Penderita yang mengalami toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Tetapi jika sel – sel beta tidak dpat mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes melitus tipe 2. Gangguan sekresi insulin memang merupakan ciri khas DM tipe 2, tetapi masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Oleh sebab itu ketoasidosis diabetes jarang terjadi pada DM tipe 2. Jika DM tipe 2 tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut yang lainnya makan dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHNK). Obesitas merupakan faktor utama penyebab terjadinya DM tipe 2, pada kondisi obesitas atau kegemukan respon sel beta pankreas pada peningkatan gula darah sering mengalami penurunan. Reseptor insulin pada target sel diseluruh tubuh termasuk otak juga berkurang jumlah dan keaktifannya (kurang sensitif) maka keberadaan insulin didalam darah kurang atau tidak dapat dimanfaatkan (Ernawati, 2013) 8 Universitas Esa Unggul Menurut (PERKENI, 2015) patogenesis Diabetes Melitus tipe-2 secara garis besar disebabkan oleh delapan hal (omnious octet), yaitu sebagai berikut: 1. Kegagalan Sel Beta Pankreas Pada saat diagnosis DM tipe – 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agnosi, dan DPP-4 inhibitor. 2. Liver Penderita DM tipe – 2 akan mengalami resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP = Hepatic Glucose Production) terjadi peningkatan. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis. 3. Otot Penderita DM tipe – 2 didapatkan terjadi gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintetis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja adalah metformin dan tiazolidindion. 4. Sel lemak Sel lemak yang resistensi kepada efek antiliposis dari insulin, menyebabkan terjadinya peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA = Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga dapat mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang di sebabkan FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. 5. Usus Glukosa yang ditelan dapat menimbulkam respon insulin yang jauh lebih besar dibandingkan kalau diberikan intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh dua hormon yaitu GLP – 1 (Glucagon Like Polypeptide – 1) dan GIP (Glucose9 Universitas Esa Unggul dependent Insulinotrophic Polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe – 2 didapatkan defisiensi GLP - 2 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP - 4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP – 4 adalah kelompok DPP – 4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam proses penyerapan karbohidrat melalui kerja enzim alfa – glukosidase yang memcah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan mengakibatkan terjadi peningkatan glukosa darah setelah makan. 6. Sel Alpha Pancreas Sel – α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Terjadinya peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. 7. Ginjal Ginjal adlah organ yang berperan dalam pathogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui prean SGLT – 1 padaa tubulus desenden dan asenden sehingga tidak ada glukosa dalam urin. 8. Otak Insulin adalah penekan nafsu makan yang kuat. Pada seseorang yang mengalami obesitas baik yang DM ataupun tidak, didaptkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. 2.1.5 Diagnosis Dalam menegakan diagnosis diabetes melitus diperlukan pemeriksaan kadar glukosa dalam darah pada pasien yang mengalami keluhan klasik diabetes melitus yaitu poliuria, polidipsiam polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau 10 Universitas Esa Unggul pasien dengan keluhan lainnya seperti badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita. Dalam menegakan diagnosis diabetes melitus terdapat kriteria hasil yaitu pemerikasaan glukosa darah puasa dengan hasil ≥ 126 mg/dl (puasa adalah kondisi dimana tidak ada asupan kalori minimal 8 jam), pemeriksaan glukosa darah dengan hasil ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, pemeriksaan glukosa darah sewaktu dengan hasil ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik dan/atau pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) (PERKENI, 2015) 2.1.6 Komplikasi Ketika diabetes melitus tidak di kelola dengan baik maka akan terjadi komplikasi yang akan mengancam kesehatan dan membahayakan kehidupan. Kadar glukosa darah yang tinggi mempunyai dampak yang mengancam jiwa jika memicu kondisi seperti Diabetic Ketoacidosis (DKA) pada DM tipe 1 dan tipe 2 serta koma hiperosmolar yang terjadi pada DM tipe 2. Seiring waktu diabetes melitus dapat merusak jantung, pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf serta dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dan stroke. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya aliran darah yang dikombinasikan dengan kerusakan saraf (neuropati) dikaki sehingga kemungkinan akan terjadi ulkus di kaki, infeksi dan pada akhirnya membutuhkan amputasi. Komplikasi lainnya juga bisa terjadi kebutaan yang disebabkan oleh retinopati diabetik yang mengakibatkan kerusakan jangka panjang ada pembuluh darah kecil di retina (World Health Organization, 2016). Menurut American Diabetes Association (ADA) diabates melitus dapat meningkatkan banyak resiko masalah kesehatan yang serius. Resiko kesehatan atau komplikasi yang dapat terjadi akibat dari penyakit diabetes melitus meliputi komplikasi penyakit kulit, komplikasi penyakit mata, neuropathy yang dapat menyebabkan mati rasa dikaki sehingga 11 Universitas Esa Unggul terjadi komplikasi pada kaki, ketoasidosis & keton, penyakit ginjal, tekanan darah tinggi sampai dengan stroke. 2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksaan pada pasien diabetes melitus tipe 2 secara tepat adalah dengan mencegah atau memperlambat munculnya komplikasi baik dengan menerapkan perilaku self management dalam kehidupan sehari – hari meliputi diet sehat, aktivitas fisik, motivasi yang tinggi untuk tetap pada kondisi sehat. Kemampuan tubuh pasien diabetes untuk bereaksi dengan insulin dapat menurun, keadaan ini dapat menimbulkan komplikasi akut (seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar nonketotik) maupun kronik (seperti komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati). Selain dari perilaku yang mampu mencegah penyakit tersebut seperti pengaturan pola makan yang sehat, aktivitas fisik, minum obat yang teratur, pemantauan glukosa darah dan perawatan diri sendiri dengan kemampuan dan keyakinan yang tinggi pada diri sendiri atau yang disebut dengan efikasi diri (Katuuk & Kallo, 2019). 2.2 Self-efficacy 2.2.1 Pengertian Self-efficacy adalah keyakinan tentang kemampuan pribadi untuk melakukan tugas dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Panadero et al., 2017). Self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan yang berpengaruh terhadap dirinya (Yaqin et al., 2017). Self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1997). 12 Universitas Esa Unggul Self-efficacy adalah kepercayaan seseorang atas kemampuannya dalam menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan (Santrock, 2007). 2.2.2 Sumber Self-efficacy Terdapat 4 sumber yang dapat mempengaruhi self-efficacy menurut (Fiedler, 2018), yaitu sebagai berikut : 1. Mastery Experience (penguasaan pengalaman) Cara yang paling efektif dalam menciptakan rasa keyakinan yang kuat yaitu dengan penguasaan pengalaman atau pengalaman pribadi. Seseorang yang mempunyai pengalaman tentang suatu hal akan lebih mempunyai keyakinan diri untuk melakukan sesuatu dan kemungkinan memiliki peluang keberhasilan dalam tugasnya. Tetapi seseorang yang kurang mempunyai pengalaman kemungkinan akan mengalami kegagalan karena tidak adanya keyakinan di dalam dirinya. 2. Role Modelling (panutan) Dalam mengembangkan kekuatan self efficacy salah satunya didapatkan dari pengalaman orang melalui contoh sosial. Seseorang akan mencari panutan atau role model yang sama dengan dirinya karena keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuan yang memiliki kondisi yang sama dapat menjadi teladan. Melihat orang lain berhasil dengan upayanya yang berkelanjutan akan timbur rasa keyakinan dalam diri. 3. Verbal Persuation (persuasi verbal) Ketika seseorang ada yang memberikan dukungan secara verbal untuk melakukan tugas kepada orang lain, maka orang yang mendapat dukungan tersebut akan lebih percaya dirinya mempunyai kemampuan untuk menyelesai suatu tugasnya. 4. Physiological Arousal (semangat fisiologis) Physiological arousal terbagi menjadi dua, yaitu physical arousal atau gairah fisik dan emotional arousal atau gairah emosional. Kekuatan dan stamina seseorang menentukan kemampuannya dalam 13 Universitas Esa Unggul menggapai tujuan, contoh orang yang mengeluh lelah cenderung malas dan tidak cukup energi untuk melakukan aktifitas. Mood, cemas, takut stress dan depresi menjadi bagian yang membuat seseorang kehilangan keyakinan yang tinggi dan tidak memiliki kemampuan. 2.2.3 Efficacy-Activated Process 1. Proses Kognitif (Cognitive Processes) Menurut beberapa ahli psikologis pengaruh dari self-efficacy pada proses kognitif bisa dengan berbagai cara. Banyak dari perilaku manusia di regulasi oleh pemikiran sebelumnya untuk mewujudkan tujuan. Tujuan seseorang dipengaruhi dengan penilaian diri terhadap kemampuannya. Semakin kuat self efficacy seseorang, semakin tinggi pula tujuan seseorang untuk dirinya dan seseorang itu akan lebih tahan dengan cobaan serta hambatan dalam proses mencapai tujuannya. 2. Proses Motivasi (Motivational Processes) Motivasi seseorang berasal dari proses berfikir kognitif. Seseorang berusaha memotivasi dirinya dengan cara menetapkan keyakinan, merencakan dan merealisasikan tindakan yang akan dilakukannya. Semakin kuat self efficacy seseorang maka semakin tinggi motivasinya dalam mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Tetapi seseorang yang memiliki self efficacy yang rendah mereka akan menilai kegagalan yang dialaminya karena kurangnya kemampuan seseorang itu dalam mengatasi sebuah masalah. 3. Proses Afektif (Affective Processes) Keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam mengatasi masalah akan mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialaminya dalam situasi yang mengancam atau sulit. Seseorang yang memiliki kepercayaan dengan dirinya bahwa mereka dapat mengontrol diri atas situasi yang mengancam mereka tidak akan muncul pola pikir yang mengganggu. Tetapi mereka yang memiliki kepercayaan bahwa mereka tidak dapat mengelola ancaman mereka 14 Universitas Esa Unggul akan mengalami kecemasan tinggi. Afektif mencakup semua perasaan atau tanggapan, positif atau negatif yang terkait oleh emosi, perilaku pengetahuan dan keyakinan. Afektif berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam mengatasi emosi di dalam dirinya. 4. Proses Seleksi (Selection Processes) seseorang merupakan bagian dari lingkungan. Oleh sebab itu keyakinan seseorang akan kemampuannya juga ditentukan dan dipengaruhi dengan kegiatan dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi seseorang mengalami perubahan perilaku serta tujuan hidupnya. Dengan keampuan, ketertarikan dan jaringan sosial yang dimiliki seeseorang membuat mereka akan memilih kegiatan dan tujuannya. Seseorang kemungkinan akan menolak atau menghindari aktivitas yang melebihi kemampuannya, semua dikarenakan pengaruh sosial yang ada dilingkungannya yang terus mengalami perkembangan (Fiedler, 2018). 2.2.4 Self-efficacy Pada Pasien Diabetes Melitus Self efficacy memiliki pengaruh kepada perubahan perilaku dan bertindak dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang mengalami diabetes melitus memiliki rutinitas yang harus dilakukan yaitu melakukan terapi sesuai dengan pedoman penatalaksanaan penyakit diabetes melitus dan juga mencari dukungan sosial emosional dari orang lain, berusaha untuk belajar dari pengalaman stres dan berusaha menerapkan perilaku hidup sehat, dengan mengelola tuntutan pengobatan lewat perilaku, kognitif dan emosi untuk mengurangi terjadinya sebuah masalah yang menyebabkan stres, oleh sebab itu seseorang yang mengalami diabetes melitus perlu mempunyai self efficacy yang baik. Seseorang yang megalami diabetes melitus jika mempunyai self efficacy yang rendah akan mempunyai masalah dalam mengatasi berbagai macam tuntutan (Sekeon, 2019). 15 Universitas Esa Unggul Self efficacy penting pada pasien diabetes melitus supaya mempunyai keyakinan yang kuat kalau penyakit yang dideritanya dapat dirawat tanpa timbul komplikasi. Pengelolaan diabetes melitus secara mandiri dapat diperoleh dengan efektif jika pasien mempunyai pengetahuan, keterampilan dan self efficacy dalam melakukan perilaku pengelolaan diabetes melitus. Menurut teori Health Belief Model (HBM) kalau seseorang hanya mempunyai pengetahuan, sikap dan keterampilan tanpa mempunyai self efficacy yang baik pada dirinya maka proses pengobatan dan perawatan tidak akan berjalan dengan efektif dan akan memiliki kemungkinan tidak patuh pada regimen perawatan (Yaqin et al., 2017). Dari hasil penelitian (Ngurah & Sukmayanti, 2014) dari 57 responden didapatkan efikasi diri baik pada pasien DM tipe 2 ada pada rentang usia 56 – 65 tahun sebanyak 17 responden (29,82%), pada jenis kelamin perempuan sebanyak 22 responden (38,60%), pada tingkat pendidikan SMA sebanyak 19 responden (33,33%), dengan pekerjaan swasta sebanyak 14 responden (24,56%), dan lama menderita DM tipe 2 ≥ 5 tahun sebanyak 18 responden (31,58%). Efikasi diri pada pasien DM tipe 2 pada 57 responden didapatkan bahwa sebagian besar efikasi diri pada pasien DM tipe 2 baik sebanyak 35 responden (61,40%). Dan hasil penelitian (Nurhayani, 2017) gambaran efikasi diri pada pasien DM tipe 2 yaitu 16 orang mempunyai efikasi diri kura baik dan 16 orang lainnya mempunyai efikasi diri yang baik. 2.3 Self Management 2.3.1 Pengertian Self-management suatu keterlibatan individu didalam kegiatan maupun praktek yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dengan membuat penderita aktif dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan perihal program khusus untuk pengobatan mereka; membangun dan mempertahankan kemitraan atau hubungan dengan orang yang terlibat dalam membantu mengatasi meningkatkan kesehatan serta memiliki kapasitas pengetahuan, sumber 16 Universitas Esa Unggul daya dan kepercayaan diri yang baik dalam mengelola dampak dari masalah kesehatan mereka, fungsi sehari-hari seperti mengontrol emosi dan hubungan interpersonal (Quensland Health dalam Primanda & Kritpracha, 2012). Self-management adalah suatu perilaku terampil, menekankan pada peran, serta tanggung jawan individu dalam pengelolaan penyakitnya sendiri (Kisokanth et al., 2013). Proses ini biasanya difasilitasi oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih dalam menangani program terkait selfmanagement, dukungan keluarga merupakan bagian terpenting dari terlaksananya program (Primanda & Kritpracha, 2012). Tujuan dari selfmanagement adalah mempertahankan kesejahteraan dalam segala dimensi salah satunya adalah psikologis (Peñarrieta et al., 2015). Onuoha dan Ezenwaka (2014) menuliskan bahwa Diabetes Selfmanagement merupakan salah satu strategi yang tepat untuk mengendalikan penyakit DM. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa pengetahuan, dukunga, motivasi dan pemberdayaan merupakan faktor penting yang mempengaruh selfmanagement pada pasien diabetes. 2.3.2 Faktor yang dapat meningkatkan self-management Hasil identifikasi bahwa usia, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, dukungan sosial, keparahan gejala dan komorbiditas merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi self-management pada pasien dengan penyakit kronis, salah satunya penyakit DM (Peñarrieta et al., 2015). Chlebowy et.all dalam Adwan dan Najjar, 2013 menjelaskan bahwa faktor eksternal dan faktor internal dapat mempengaruhi self-management. Faktor eksternal meliputi kepatuhan penderita terhadap self-management itu sendiri yang meliputi dukungan keluarga, kelompok sebaya, dan tim medis yang dapat memberikan arahan yang dapat memberikan arahan, penghargaan serta pengetahuan terkait penyakit yang mereka derita. Faktor internal terkait rintangan untuk melakukan self-management itu sendiri seperti ketakutan untuk 17 Universitas Esa Unggul melakukan cek glukosa darah, rendahnya kesadaran untuk mengontrol diri sendiri terkait kebiasaan makan, fikiran-fikran terkait kegagalan dalam melakukan program, serta perasaan merasa kurangnya kontrol diri terhadap control penyakitnya. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diabetes self management seseorang, faktor-faktor ini dijelaskan oleh (Kisokanth et.all, 2013) sebagi berikut: 1. Edukasi Self-management, dapat tercapai dengan dengan edukasi terkait diabetes self-management (Norris et.all dalam Adwan & Najjar 2013). Edukasi dapat menyiapkan pasien terkait penyakitnya dan bagaimana pasien harus berprilaku, memberikan pengetahuan bagaimana cara merubaha gaya hidup (Kisokanth et.all, 2013). Harapan dari edukasi ini adalah agar pasien dapat lebih memahami terkait penyakitnya dan dapat berperan aktif dalam perawatan diabetes. Pengetahuan serta pemahaman yang baik merupakan komponen terpenting untuk memberikan kesadaran pada pasien mengenai self-management pada penyakit mereka (Kisokanth et.all, 2013). 2. Self monitoring of blood glucose (SBMG) Self monitoring of blood glucose (SBMG) dan mengukur tekanan darah merupakan komponenen terpenting untuk memantau kondisi penderita (Upadhyay et.all dalam Kisokanth et.all 2013). Monitoring terhadap glukosa darah merupakan hal penting pada pasien DMT2, penderita akan lebih mandiri dalam menangani penyakit mereka dengan cara memonitori kadar glukosa darah. mereka akan mendapatkan pemahaman yang baik terkait faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyakit mereka sehingga mereka dapat merasakan kualitas hidup yang lebih baik (Kisokanth et.all, 2013). 3. Kebudayaan, sangat berpengaruh dalam kesehatan serta dapat mempengaruhi tujuan dari kesembuhan DM (Kisokanth et.all, 2013). Beberapa jenis etnis tertentu dan kelompok minoritas disuatu daerah biasanya akan dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan 18 Universitas Esa Unggul nilai-nilai terkait kesehatan (Catherine et.all dalam Kisokanth et.all 2013). 4. Dukungan keluarga, ketika keluarga terlibata dalam proses selfmanagement mereka dapat memberikan dukungan yang nantinya akan dapat membantu mencapai tujuan pengobatan (Aklima et.all, 2012). Pasien dengan tingkat dukungan keluarga yang baik menunjukkan perilaku self management yang baik (Rosland dalam Aklima et.all 2012). (Bodenheimer et.all dalam Aklima et.all 2012) juga menjelaskan mengenai karakter dari keluarga yang sehat meliputi komunikasi yang baik, perilaku saling mendukung seperti memberikan kepercayaan, menghibur dan bermain, berbagi tanggung jawab, bersedia menolong anggota keluarga lainnya dalam menyelesaikan masalahnya. Anggota keluarga dapat mendukung kegiatan self-management pasien dengan meningkatkan kesadaran pasien dan membantu pasien dalam menentukan tujuan dari pengobatan serta rencana yang akan dilakukan (California Health Care foundation dalam Aklima et.all 2012). 19 Universitas Esa Unggul BAB III METODE 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kajian literature review untuk mengumpulkan, mengindentifikasi, mengevaluasi dan juga menginterpretasi self-efficacy pasien diabetes melitus terhadap self management. 3.2 Sumber Data Sumber data pada penelitian ini didapatkan melalui google scholar, PubMed dan Science Direct yang digunakan untuk mencari jurnal yang relevan. Jurnal – jurnal yang didapat akan dipilih sesuai berdasarkan kriteria inklusi. 3.3 Kata Kunci dan Strategi Pencarian Pencarian jurnal pada penelitian ini menggunakan keyword atau kata kunci yaitu “Self-Efficacy”, “Diabetes Melitus”, “Self Management”, yang didapat melalui google scholar, PubMed dan Science Direct. Data Base Google Scholar PubMed Science Direct Tabel 3.1 Strategi Pencarian Jurnal Strategi Pencarian Jurnal Self Efficacy AND Diabetes Melitus Self Efficacy AND Self Management Self Efficacy AND Manajemen diri Self Efficacy AND Diabetes Mellitus Self Efficacy AND Self Management Self Efficacy AND Diabetes Mellitus Self Efficacy AND Self Management Tabel 3.2 PICO P Pasien diabetes melitus I Intervensi peningkatan self efficacy dalam manajemen diri C Tidak ada perbandingan O Self-efficacy pasien Dalam strategi pencarian menggunakan format PICO (ParticipantIntervention-Comparison-Outcome. 20 Universitas Esa Unggul 3.4 Kriteria Seleksi Penelitian Terdapat kriteria inklusi dan eksklusi untuk menilai jurnal yang akan dipilih dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 3.4.1 Kriteria Inklusi 1. Jurnal penelitian dipublikasikan pada tahun 2012 – 2020. 2. Jurnal international dan nasional yang membahas topik self-efficacy pasien diabetes melitus terhadap self management. 3. Jurnal dalam bentuk full text. 3.4.2 Kriteria Eksklusi 1. Jurnal internasional dan nasional yang tidak membahas topik tentang self efficacy terhadap self management pasien DM. 2. Jurnal yang ditampilkan tidak full text. 3. Jurnal yang terbit dibawah tahun 2012. 4. Penelitian dengan metode yang tidak jelas tercantum dalam jurnal. 3.5 Sintesis Hasil Penelitian Hasil literature review akan dijelaskan dengan mengikuti tema sebagai berikut: 1. Self efficacy pada manajemen diri pasien diabetes melitus yang meliputi; pengaturan diet, aktivitas fisik, kontrol gula darah, pengobatan dan perawatan kaki. 2. Peningkatan self efficacy dalam manajemen diri pasien diabetes melitus. 21 Universitas Esa Unggul BAB IV HASIL Berdasarkan penelitian jurnal yang sudah dilakukan melalui data base, penelitian yang ditemukan sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 15 penelitian. 4.1 Desain Penelitian Hasil review ini di dapatkan bahwa desain penelitian yang digunakan pada jurnal yang diperoleh terdiri dari survei cross sectional (Yao et al, 2019; Firmansyah, 2018), deskriptif korelasi dengan cross sectional (Handayani, Putra & Laksmi., 2019; Anindita, Diani & Hafifah., 2019; Agustina, 2017), cross sectional (Amer, Elbur, Elrayah., 2018; Al-Khawalde, Al-Hassan, Froelicher., 2012), 1 menggunakan desain penelitian deskriptif (Malayanita, 2017), korelasional deskriptif (Wendling & Beadle., 2015), kuantitatif korelasional (Pertiwi, 2015), analitik cross sectional (Purwanti, 2014), quasi experimental post test (Yaqin, Niken & Dharmana, 2017), quasi experiment two pretest dan posttest with control group (Damayanti, 2017) dan quasi experiment pretest posttest (Rondhianto, 2013 & Ningsih 2016). 4.2 Instrumen Dari 15 penelitian yang digunakan pada jurnal, instrument yang digunakan untuk mengukur self efficacy pasien 8 diantaranya menggunakan Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) (Amer et al., 2018; Alkhawaldeh, Al-Hassan & Froelicher., 2012; Agustina., 2017; Purwanti., 2014; Firmansyah., 2018; Rondhianto, 2013; Damayanti, 2017; Anindita, Diani & Hafifah (2019) dimana kuisioner ini berisi keyakinan terhadap : kemampuan pengecekan gula darah (3 item), pengaturan diet dan menjaga berat badan ideal (11 item), aktivitas fisik (2 item), perawatan kaki (1 item), dan mengikuti program pengobatan (3 item). Penelitian lainnya untuk mengukur self efficacy menggunakan instrument yaitu General Self Efficacy (GSE) (Handayani, Putra & Laksmi, 2019), Diabetes Empowerment Scale-Short Form (DES-SF) (Yao et al, 2019), self-efficacy for diabetes scale (Ningsih, 2016), The Diet Self Efficacy Scale (DIET-SE) (Yaqin, Niken & Dharmana, 2017), Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) (Damayanti, 2017). Dalam pengukuran self managament atau perawatan diri pasien 3 diantaranya menggunakan instrument Diabetes Self Care Activities (SDSCA) (Amer et al., 2018; Al-khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher., 2012; Ningsih (2016) dan 1 menggunakan Diabetes Self Management Questionnaire (DSMQ) (Handayani, Putra & Laksmi, 2019). Selain intrument self efficacy dan self manangement, terdapat instrumen lainnya yang digunakan dalam jurnal penelitian yang sudah dipilih, antara lain yaitu Percieved Dietary Adherence 22 Universitas Esa Unggul Questioner (PDAQ) untuk mengukur kepatuhan diet (Yaqin, Niken & Dharmana, 2017), Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) untuk mengukur ketidakpatuhan pasien dalam minum obat (Agustina, 2017), Treatment Self Regulation Questionare untuk mengukur motivasi pasien (Purwanti, 2014), The Foot Care Confidence Scale (FCCS) untuk menentukan tambang tingkat kemanjuran diri individu dalam kaitannya dengan kinerja perawatan kaki sendiri, The Nottingham Assessment of Functional Footcare (NAFF) untuk menentukan perilaku perawatan kaki yang sebenarnya dilakukan oleh responden (Wendling & Beadle, 2015), Diantara 15 jurnal penelitian terdapat 3 jurnal penelitian yang tidak dijelaskan secara jelas menggunakan instrumen apa didalam jurnal nya. Seperti Malayanita (2017) di jurnal penelitiannya tidak menjelaskan instrumen apa yang digunakan. Lalu Anandita et al (2019) di jurnal penelitiannya hanya menjelaskan menggunakan kuisioner efikasi diri dan kepatuhan melakukan latihan fisik dan Pertiwi (2015) hanya menjelaskan menggunakan kuisioner Skala dukungan pasangan, skala efikasi diri dan skala kepatuhan . 4.3 Durasi Intervensi Dari 15 jurnal penelitian yang telah dipilih terdapat 4 jurnal yang digunakan untuk mereview intervensi peningkatan self efficacy. Peneliti Tabel 4.1 Durasi Intervensi Frekuensi Durasi Lama Pemberian 60 – 100 menit Yaqin et al 12 hari 6x dalam 12 (2017) hari Rondhianto 4 minggu 4 x dalam 30 – 60 menit (2013) sebulan Damayanti 4 hari 1 x dalam ± 60 menit (2017) sehari *Ningsih (2016) *Dalam jurnal penelitian tidak dijelaskan frekuensi, durasi serta lama pemberian intervensi 4.4 Hasil Penelitian 4.4.1 Self Efficacy Pada Manajemen Diri Pasien Diabetes Melitus Handayani, Putra & Laksmi (2019) menjelaskan hasil penelitiannya terdapat 139 responden. Untuk tingkat efikasi diri pasien diabates mellitus terdapat hasil lebih banyak berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 52 orang atau 37,4%. Sedangkan untuk tingkat 23 Universitas Esa Unggul kepatuhan manajemen diri pasien diabetes mellitus lebih banyak berada pada kategori patuh yaitu sebanyak 59 orang atau 42,5%. Hasil analisis data dengan menggunakan uji statistik spearman rank diperoleh nilai p value 0,0001 (p<0,05) yang berarti antara efikasi diri dengan kepatuhan manajemen diri pada pasien diabetes mellitus memiliki hubungan yang signifikan. Nilai korelasi pada penelitian ini juga mempunya nilai 0,748 artinya kekuatan korelasi dalam penelitian ini kuat dengan arah korelasi positif yang berarti hubungan kedua variabel bersifat searah. Yao et al (2019) melakukan penelitian terhadap 2.166 pasien diabetes mellitus tipe 2, yang terdiri dari pasien dari daerah perkotaan (1.070) dan pasien dari daerah pedesaan (1.096). Berdasarkan hasil skor DES-SF yang lebih tinggi secara signifikan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih tinggi dari perilaku manajemen diri aktif. Dalam hasil univariat, kemungkinan pasien untuk perilaku tersebut meningkat 1,25 kali untuk setiap peningkatan satu poin dalam skor DES-SF. Faktor lain yang secara signifikan berhubungan dengan perilaku manajemen diri aktif adalah tempat tinggal, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita rumah tangga, lamanya diabetes dan komorbiditas diabetes. Peserta yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi (P <0,001), pendapatan rumah tangga per kapita yang lebih tinggi (P <0,05), durasi diabetes yang lebih lama (P <0,001) dan komorbiditas diabetes (OR = 1,26; 95% CI: 1,04-1,52) lebih cenderung memiliki perilaku manajemen diri aktif daripada rekan mereka. Mereka yang tinggal di pedesaan cenderung lebih kecil (OR = 0,73; 95% CI:0.61– 0.88) memiliki perilaku pengelolaan diri yang aktif dibandingkan di wilayah perkotaan. Amer et al (2018) melakukan penelitian dengan melibatkan 392 pasien. Pada tingkat self efficacy didapatkan hasil 199 (48,7%) responden memiliki tingkat self efficacy yang tinggi di semua domain. Skor rata-rata efikasi diri untuk mengelola nutrisi, latihan fisik dan pengendalian berat badan dan pengobatan adalah 67,8 (SD 17.0), 18.6 (SD 7.3) dan 18.0 (SD 3.4), masing-masing. Skor rata-rata efikasi diri manajemen diabetes di semua domain adalah 136,8 (SD 29,7). Dari semua pasien yang diwawancarai, 191 (48,7%) diklasifikasikan memiliki efikasi diri yang tinggi di semua domain untuk mengelola diabetes. Partisipan dengan tingkat self-efficacy tinggi dalam manajemen nutrisi, latihan fisik dan pengendalian berat badan, dan perawatan medis masing-masing adalah 188 (48,0%), 199 (50,8%) dan 281 (71,7%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa, pendidikan selama 9 tahun, dan menerima sesi pendidikan kesehatan formal tentang diabetes secara signifikan terkait dengan self efficacy pengelolaan diabetes tingkat tinggi. Analisis univariat menunjukkan bahwa satu- 24 Universitas Esa Unggul satunya prediktor pengendalian diabetes adalah efikasi diri manajemen diabetes, pasien (28,8%) yang memiliki efikasi diri tinggi, lebih sering menunjukkan penyakit yang dikendalikan, dibandingkan dengan 32 (15,9%) ) dengan self-efficacy rendah. Kontrol Gula Darah Firmansyah (2018) melakukan penelitian dengan jumlah 89 responden. Pengukuran self efficacy pada responden didapatkan hasil yaitu sebanyak 58 responden (65,2%) memiliki efikasi diri yang baik dan dari pemeriksaan gula darah pada responden didapatkan hasil sebanyak 59 responden (66,3%) mempunyai kadar gula darah yang tinggi dan 30 responden (33,7%) mempunyai kadar gula darah normal. Hasil analisis hubungan antara efikasi diri dengan kadar gula darah menunjukan hasil bahwa responden yang memiliki efikasi diri baik dengan kadar gula darah normal sebanyak 25 responden (43,1), sedangkan yang mempunyai efikasi diri kurang baik dengan kadar gula darah normal sebanyak 5 responden (16,1%). Hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kadar gula darah pasa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan p value = 0,002. Al-khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher (2012) melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 223. Berdasarkan hasil pengkuran self efficacy nilai tertinggi apa pada self efficacy untuk melakukan perawatan medis dan nilai terendah yaitu pada self efficacy untuk berolahraga. Pada tingkat perilaku self management paling sering dilaporkan adalah penggunaan obat diikuti oleh perilaku diet, sedangkan yang paling jarang yaitu perilaku pengujian gula darah, perilaku latihan dan perawatan kaki.. Berdasarkan hasil penelitian 56,5% responden menunjukan bahwa DM mereka tidak terkontrol. Rendahnya tingkat perilaku DSM mengakibatkan rendahnya kepatuhan terhadap perawatan diri dan kemudian berkontribsi pada kontrol glikemik yang buruk. Pengaturan Diet Yaqin, Niken & Dharmana (2017) melakukan penelitian kepada 99 responden yang terdiri dari kelompok intervensi sebanyak 48 responden dan kelompok kontrol sebanyak 51 responden. Pada self efficacy responden ada perbedaan rata-rata nilai mean self efficacy pada kelompok kontrol dan perlakuan. Self efficacy pada kelompok intervensi memiliki nilai mean lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai self efficacy yang bermakna pada kelompok perlakuan yang mendapatkan pelatihan self efficacy training dengan metode peer support group. Pada kelompok intervensi terdapat nilai mean pre 27.21 25 Universitas Esa Unggul dan post 32.19 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean pre 27.51 dan post 27.92. Pada kepatuhan diet responden terdapat perbedaan rata-rata nilai mean kepatuhan diet pada kelompok kontrol dan perlakuan. Kepatuhan diet pada kelompok intervensi memiliki nilai mean yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol Hasil uji Paired TTest Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai kepatuhan yang bermakna pada kelompok intervensi yang mendapatkan pelatihan self efficacy training dengan metode peer support group. Pada kelompok intervensi terdapat nilai pre 24 dan post 30.25 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai pre 23.53 dan post 24.31. Dari hasil analisis efek Self Efficacy Training terhadap Self Efficacy dan kepatuhan menunjukkan bahwa variabel self efficacy dan kepatuhan diet setelah perlakuan mengalami peningkatan rerata nilai mean, baik pada kelompok intervensi maupun kontrol. Pada self efficacy terdapat nilai mean pada kelompok intervensi yaitu 32,19 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean 27,92. Pada kepatuhan terdapat nilai mean pada kelompok intervensi yaitu 30,25 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean 24,31. Hasil uji MANOVA menunjukkan nilai asymp sig 0,000 yang berarti ada yang sangat bermakna self efficacy training dengan metode peer support group pada self efficacy dan kepatuhan diet, walaupun jika dibandingkan dengan selisih nilai rerata mean kelompok intervensi dan kelompok kontrol, variabel kepatuhan diet memiliki selisih yang lebih besar daripada slisih nilai mean pada self efficacy. Malayanita (2017) melakukan penelitian kepada 30 orang. Pada hasil penelitian self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan terdapat 15 responden (50%) memiliki self efficacy kurang, 10 responden (33,3%) memiliki self efficacy cukup dan 5 responden (16,7%) memiliki self efficacy yang baik. Pada penelitian tersebut peneliti mengukur self efficacy pasien DM dalam pengelolaan makanan berupa jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makan yang di konsumsi pasien. Diantara jumlah makan, jenis makan dan jadwal makan pada pasien dm terdapat parameter self efficacy kurang yaitu pada jadwal makan sebanyak 56,7% atau 17 orang. Aktivitas Fisik Anindita, Diani & Hafifah (2019) melakukan penelitian kepada 60 responden. Dari hasil penelitian efikasi diri pasien diabetes melitus tipe2 sebagian besar kurang baik dengan jumlah sebanyak 39 responden (65%). Dalam kepatuhan dalam melakukan latihan fisik didapatkan hasil sebagian besar pasien DM tidak patuh yaitu sebanyak 38 responden (63,3%). Dari hasil analisis hubungan efikasi diri dengan 26 Universitas Esa Unggul kepatuhan melakukan latihan fisik didapatkan hasil p value <0,001 yang berarti adanya hubungan antara efikasi diri dengan kepatuhan melakukan latihan fisik pada pasien DM tipe 2. Pengobatan Pertiwi (2015) melakukan penelitian dengan jumlah 50 responden. berdasarkan hasil perhitungan teknik anlisis regresi linier diperoleh niai yang menunjukan adanya hubungan yang sangat signifikan antara dukungan pasangan dan efikasi diri terhadap kepatuhan. Pada tingkat dukungan pasangan responden sebagian besar mendapat dukungan pasangannya sangat tinggi yaitu sebanyak 48 orang (96%). Begitupula dengan tingkat efikasi diri responden didapatkan hasil sebanyak 48 orang (96%) memiliki tingkat efikasi diri yang sangat tinggi. Sumbangan efektif dari variabel dukungan pasangan terhadap kepatuhan dilihat dari koefisien determinasi R2 sebesar 0,205 yang menunjukkan bahwa variabel dukungan pasangan mempengaruhi variabel kepatuhan sebesar 20,5% dan variabel efikasi diri terhadap kepatuhan dilihat dari koefisien determinasi R2 sebesar 22 %. Agustina (2017) melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 125 pasien DM. Dari hasil penelitian tingkat self efficacy pasien yaitu terdapat 64 responden (51,2%) memiliki tingkat self efficacy yang rendah. Dari hasil penelitian tingkat kepatuhan pasien didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden masih memiliki tingkat kepatuhan rendah dalam memakai insulin secara mandiri yaitu sebanyak 75 responden (60%). Berdasarkan Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank didapatkan nilai signifikan sebesar 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel self efficacy dengan kepatuhan pemakaian insulin secara mandiri dengan nilai korelasi sebesar 0,824. Perawatan Kaki Purwanti (2014) melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 55 orang. Dari hasil penelitian mayoritas responden memiliki motivasi yang baik yaitu sebanyak 46 responden (83,6%) dan memiliki efikasi diri yang baik dalam melakukan perawatan kaki yaitu sebanyak 35 responden (63,6%). Hasil analisis hubungan motivasi dengan efikasi diri menunjukan bahwa responden memiliki motivasi yang baik dan menunjukan efikasi diri yang baik yaitu sebanyak 32 responden (58,2%). Dari hasil analisa statistik menunjukan adanya hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien. Wendling & Beadle, (2015) melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 223. Dari hasil penelitian Mengenai kondisi 27 Universitas Esa Unggul kesehatan kaki responden saat ini, 66,8% membantah penyakit pembuluh darah perifer dan 50,5% menolak memiliki perifer neuropati, meskipun 53,6% dilaporkan mengalami sensasi nyeri, kesemutan atau kehilangan perasaan di kaki mereka. 87,5% responden tidak pernah menderita ulkus kaki dan 95,1% menyatakan tidak pernah amputasi ekstremitas bawah. Mayoritas penduduk (61,1%) melaporkan bahwa mereka melakukan perawatan kaki sendiri dan 89,7% menemui dokter mereka setiap tiga sampai enam bulan untuk perawatan terkait diabetes. Hasil analisis data menggunakan pengukuran statistik uji-T dilakukan untuk menentukan adanya efek kausal dari tipe diabetes (1 atau 2), riwayat ulserasi / amputasi kaki, atau jenis kelamin individu, baik tingkat efikasi diri maupun kaki yang dihasilkan. perilaku perawatan diri di antara responden dalam menganalisis data tidak ada signifikansi statistik teridentifikasi yang akan menunjukkan variabel yang disebutkan di atas telah mempengaruhi tingkat efikasi diri atau perilaku perawatan diri kaki dibandingkan dengan skor FCCS dan NAFF yang diberikan dengan pengecualian jenis kelamin peserta dan skor NAFF. 4.4.2 Intervensi Peningkatan Self Efficacy Dalam Manajemen Diri Pasien Diabetes Mellitus Damayanti, 2017 melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 20 orang dengan 10 orang kelompok intervensi dan 10 orang kelompok kontrol. Berdasarkan analisis univariat nilat ratarata pre test DMSES 94,70 dengan nilai terendah 72 dan nilai tertinggi 124. Setelah dilakukan intervensi SEEIP terjadi peningkatan hasil nilai rata-rata DMSES menjadi 133,50 dengan nilai terendah 110 dan nilai tertinggi 150. Begitupun dengan nilai rata-rata PTES terjadi peningkatan hasil, pada pre test terdapat nilai rata – rata 79,40 dengan nilai terendah 68 dan nilai tertinggi 115 dan setelah diberikan intervensi nilai rata-rata menjadi 114,10 dengan nilai terendah 98 dan nilai tertinggi 124. Berdasarkan analisa bivariat paired test terdapat perbedaan nilai rata-rata pretest dan posttest pada DMSES dan juga PTES. Rondhianto, 2013 melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dengan 15 orang kelompok perlakuan dan 15 orang kelompok kontrol. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat self efficacy sebelum intervensi sebagian besar responden pada kelompok perlakuan berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 10 orang (66,67%) dan setelah diberikan intervensi terjadi peningkatan menjadi di kategori sangat tinggi yaitu sebanyak 15 orang (100%) sedangkan pada kelompok kontrol pada saat pre test sebagian besar berada dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 11 orang (73,33%) dan pada saat post test 28 Universitas Esa Unggul terjadi peningkatan hanya pada 8 orang (53,33%) menjadi dalam kategori sangat tinggi. Dari hasil tersebut berarti terdapat perbedaan tingkat self efficacy sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan maupun kontrol yang dibuktikan dengan hasil uji t test dependen yaitu dengan nilai t hitung -20,595 dan p 0,000 < 0,05 pada kelompok perlakuan dan nilai t hitung -12,564 dan p 0,000 < 0,05 pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil uji t test independen terhadap variabel self efficacy antara kelompok perlakuan dan kontrol yaitu niali t 10,215 dengan p 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan self efficacy yang signifikan antara kedua kelompok, dimana self efficacy kelompok perlakuan lebih tinggi dari pada kelompok kontrol. Yaqin, Niken & Dharmana (2017) melakukan penelitian kepada 99 responden yang terdiri dari kelompok intervensi sebanyak 48 responden dan kelompok kontrol sebanyak 51 responden. Pada self efficacy responden ada perbedaan rata-rata nilai mean self efficacy pada kelompok kontrol dan perlakuan. Self efficacy pada kelompok intervensi memiliki nilai mean lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai self efficacy yang bermakna pada kelompok perlakuan yang mendapatkan pelatihan self efficacy training dengan metode peer support group. Pada kelompok intervensi terdapat nilai mean pre 27.21 dan post 32.19 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean pre 27.51 dan post 27.92. Pada kepatuhan diet responden terdapat perbedaan rata-rata nilai mean kepatuhan diet pada kelompok kontrol dan perlakuan. Kepatuhan diet pada kelompok intervensi memiliki nilai mean yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol Hasil uji Paired TTest Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai kepatuhan yang bermakna pada kelompok intervensi yang mendapatkan pelatihan self efficacy training dengan metode peer support group. Pada kelompok intervensi terdapat nilai pre 24 dan post 30.25 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai pre 23.53 dan post 24.31. Dari hasil analisis efek Self Efficacy Training terhadap Self Efficacy dan kepatuhan menunjukkan bahwa variabel self efficacy dan kepatuhan diet setelah perlakuan mengalami peningkatan rerata nilai mean, baik pada kelompok intervensi maupun kontrol. Pada self efficacy terdapat nilai mean pada kelompok intervensi yaitu 32,19 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean 27,92. Pada kepatuhan terdapat nilai mean pada kelompok intervensi yaitu 30,25 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean 24,31. Hasil uji MANOVA menunjukkan nilai asymp sig 0,000 yang berarti ada yang sangat bermakna self efficacy training dengan metode peer support group pada self efficacy dan kepatuhan diet, walaupun jika dibandingkan dengan selisih nilai 29 Universitas Esa Unggul rerata mean kelompok intervensi dan kelompok kontrol, variabel kepatuhan diet memiliki selisih yang lebih besar daripada slisih nilai mean pada self efficacy. Ningsih (2016) melakukan penelitian dengan jumlah responden sebanyak 73 terdiri dari 55 orang kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Intervensi pendidikan kesehatan dan self efficacy berpengaruh terhadap perubahan perilaku kesehatan (pengetahuan, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah, perawatan kaki) dengan p value <0.05. Intervensi pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap kadar gula darah sewaktu, p value 0.027. Terdapat perbedaan pengetahuan,sikap, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah, perawatan kaki dan kadar gula darah sewaktu sebelum dan sesudah intervensi dengan p value 0.000. Terdapat perbedaan pengetahuan, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah,perawatan kaki dan kadar gula darah sewaktu pada kelompok intervensi dan kontrol dengan p value < 0.05. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney tidak terdapat perbedaan kebiasaaan merokok pada kelompok intervensi pendidikan kesehatan dan kontrol dengan p value 0,485. Berdasarkan uji signifikansi parameter individual (Uji Statistik t) terdapat pengaruh self efficacy terhadap diet (p value 0.000 <0.05), aktivitas fisik (p value 0.002 < 0.05) , pemeriksaan gula darah (p value 0.000<0.05 ) dan perawatan kaki ( p value 0.000< 0.05). 30 Universitas Esa Unggul 4.5 Data Ekstraksi Tabel 4.2 Data Ekstraksi No 1. Penulis Desain Sample Instrumen Penelitian Penelitian Penelitian Yao et al., Survei cross2166 Diabetes Empowerment (2019) sectional Scale-Short Form (DESSF) 31 Intervensi Durasi Hasil - 2 bulan Sebanyak 2166 pasien DMT2 dilibatkan dalam analisis. Rata-rata skor DES-SF adalah 31.9 (deviasi standar: 5.2). Proporsi T2DM yang diperkirakan pada kelompok aktif dan tidak aktif masing-masing adalah 54,8% dan 45,2%. Regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa skor DES-SF yang lebih tinggi secara signifikan terkait dengan kemungkinan perilaku manajemen diri aktif yang lebih tinggi. Universitas Esa Unggul 2. 3. Handayani Penelitian et al., (2019) deskriptif korelasi dengan pendekatan Cross Sectional 139 Amer et al., Cross sectional (2018) 392 - - - General Self Efficacy (GSE) Diabetes Self Management Questionnaire (DSMQ) - Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) Diabetes Self Care Activities (SDSCA) - 32 1 bulan Hasil penelitian diperoleh pvalue 0,0001 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan efikasi diri dengan kepatuhan manajemen diri pada pasien diabetes melitus. Responden yang diklasifikasikan dengan tingkat self-efficacy tinggi di semua domain adalah 191 (48,7%). Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi dan pendidikan kesehatan formal tentang diabetes, ditemukan secara signifikan. terkait dengan efikasi diri manajemen diabetes tingkat tinggi. Pasien yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi untuk mengelola nutrisi, aktivitas latihan fisik, dan pengobatan ditemukan lebih patuh pada diet umum, aktivitas olahraga, dan konsumsi obat. Pasien dengan Universitas Esa Unggul penyakit terkontrol sebanyak. Satu-satunya prediktor dari pengendalian diabetes adalah efikasi diri manajemen diabetes 4. Firmansyah, (2018) 5. AlKhawaldeh et al., (2012) Metode kuantitatif dengan survey analitik dan desain cross sectional Cross Sectional 89 Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) - 1 bulan Berdasarkan uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kadar gula darah (p value = 0.002 223 - - 2 bulan Efikasi diri diet dan perilaku manajemen diri diet memprediksi kontrol glikemik yang lebih baik, di mana penggunaan insulin adalah prediktor signifikan secara statistik untuk kontrol glikemik yang buruk. Selain itu, subjek dengan efikasi diri yang lebih tinggi melaporkan perilaku manajemen diri yang lebih baik dalam diet, olahraga, tes gula darah, dan minum obat. Penemuan ini menunjukkan bahwa lebih - Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) Diabetes Self Care Activities (SDSCA) 33 Universitas Esa Unggul dari separuh subjek tidak dapat mengontrol diabetesnya dan hanya 42% yang mengikuti program edukasi diabetes 6. 7. Yaqin et al., Kuantitatif (2017) quasy experimental dengan post test desain Malayanita, (2017) Penelitian menggunakan desain deskriptif 99 - (48 responden kelompok intervensi dan 51 responden kelompok kontrol) 30 The Diet Self Efficacy Scale (DIET-SE) Percieved Dietary Adherence Questioner (PDAQ) - Self Efficacy 1 bulan Training dengan metode peer support group 1 bulan 34 Hasil uji multivariat dengan MANOVA didapatkan ada efek SETpada kedua variabel dependen yang sangat bermakna (p=0,000), namun jika dilihat dari hasil selisih mean dengan kelompok kontrol, variabel kepatuhan memiliki peningkatan nilai mean yang lebih besar dibandingkan variabel SE. Hasil penelitian menunjukan bahwa self efficacy pasien DM dalam pengelolaan makan yaitu 50% (15 orang) kurang, 33,3% (10 orang) cukup dan 16,7% (5 orang) baik. Universitas Esa Unggul 8. 9. Anindita et Penelitian al., (2019) menggunakan rancangan deksriptif dengan metode cross sectional Wendling & Korelasional Beadle, deskriptif (2015) 60 - Efikasi diri Kepatuhan melakukan latihan fisik 1 bulan Kami menemukan bahwa ada korelasi antara efikasi diri dan kepatuhan terhadap latihan fisik pada pasien diabetes tipe 2 (p <0,001). 223 - The Foot Care Confidence Scale (FCCS) The Nottingham Assessment of Functional Footcare (NAFF) 5 bulan Tidak ada korelasi signifikan yang diidentifikasi antara tingkat efikasi diri dan kinerja perilaku perawatan kaki. signifikansi statistik ditemukan antara perilaku perawatan kaki dan jenis kelamin dengan skor lakilaki lebih tinggi dari perempuan. Hasil penelitian menunju ada hubungan yang sangat signifikan antara dukungan pasangan dan efikasi diri dengan kepatuhan menjalani pengobatan pada penderita diabetes mellitus tipe 2. - 10. Pertiwi, (2015) Penelitian kuantitatif korelasional 50 - Skala dukungan pasangan Skala efikasi diri Skala kepatuhan 35 Universitas Esa Unggul 11. Agustina, (2017) 12. Purwanti, (2014) 13. Rondhianto, (2013) Deskriptif Korelatif dengan pendekatan Cross Sectional 125 Penelitian menggunakan desain analitik dengan pendekatan cross sectional 55 Penelitian quasi experiment dengan desain penelitian non randomized control group pretest posttest design. 30 - - - - (15 kelompok perlakuan dan 15 kelompok kontrol) - The Diabetes Management Selfefficacy Scale (DMSES) Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) Treatment Self Regulation Questionare The Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) Diabetes Management Diabetes Self 3 bulan Self Efficacy Scale Management (DMSES) Education (DSME) didalam discharge planning. 36 Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kepatuhan penggunaan insulin mandiri pada pasien DM di RSUD Batu Baptist. Semakin tinggi efikasi diri pasien, semakin tinggi kepatuhan pasien terhadap suntikan insulin Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden mempunyai motivasi dan efikasi diri yang baik, serta terdapat hubungan antara motivasi dan efikasi diri pasien DM Tipe2 dalam melakukan perawatan kaki Hasil penelitian dengan Uji t Test Independent menunjukkan nilai t = 10, 215 (p = 0, 000), yang berarti terdapat perbedaan self efficacy yang signifikan antara kelompok yang mendapatkan perlakuan penerapan DSME di dalam Universitas Esa Unggul discharge planning dengan kelompok kontrol (kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan). 14. Damayanti, (2017) Quasi Experiment Design menggunakan rancangan Two pretest-posttest with control group 20 - (10 kelompok intervensi dan 10 kelompok kontrol) Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) 37 Self Efficacy 1 bulan Enhancement Intervention Program (SEEIP) dengan edukasi meliputi melihat video, ceramah, menerima booklet dan konseling. Ada perbedaan efikasi diri manajemen DM sebelum dan sesudah diberikan SEEIP. Ada perbedaan terapi efikasi yang dirasakan sebelum dan sesudah diberikan SEEIP. ada perbedaan diri manajemen DM dan terapi efikasi yang dirasakan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Universitas Esa Unggul 15. Ningsih, (2016) Quasi experimental pretest dan posttest 73 (55 Intervensi dan 18 kontrol) - - Kuisioner demografi Pendidikan Kuisioner pengetahuan Kesehatan tentang DM Kuisioner sikap The Summary of Diabetes Self Care Activities (SDSCA) Self Efficacy for Diabetes Scale 38 4 bulan Berdasarkan uji paired t-test pada kelompok intervensi terdapat perbedaan pengetahuan,sikap, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah, perawatan kaki dan kadar gula darah sewaktu sebelum dan sesudah intervensi dengan p value 0.000. Berdasarkan uji independent t-test terdapat perbedaan pengetahuan, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah,perawatan kaki dan kadar gula darah sewaktu pada kelompok intervensi dan kontrol dengan p value< 0.05. Universitas Esa Unggul BAB V PEMBAHASAN 5.1 Self Efficacy Pada Manajemen Diri Pasien Diabetes Melitus Self-management adalah suatu perilaku terampil, menekankan pada peran, serta tanggung jawab individu dalam pengelolaan penyakitnya sendiri (Kisokanth et al., 2014). Manajemen diri merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh setiap pasien penyakit kronik, tak terkecuali pasien DM. Hal ini mengacu pada pentingnya pengelolaan berbagai aktifitas dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan hasil yang baik pada berbagai indikator keberhasilan manajemen diri pasien DM. Barlow et al. mendefinisikan manajemen diri (self-management) sebagai kemampuan individu untuk mengelola gejala-gejala, pengobatan, konsekuensi fisik dan psikososial, serta perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan keadaan kronik (Hicks, 2010). Manajemen diri dianggap sebagai dasar dari perawatan diabetes, dan diasumsikan bahwa peningkatan manajemen diri pasien dapat melalui peningkatan efikasi diri. Efikasi diri atau Self-efficacy adalah keyakinan tentang kemampuan pribadi untuk melakukan tugas dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Panadero et al., 2017). Self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan yang berpengaruh terhadap dirinya (Yaqin et al., 2017). Self efficacy memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan manajemen diri dimana semakin tinggi efikasi diri maka tingkat kepatuhan dalam manejemen diri pasien DM-pun akan meningkat (Handayani et al., 2019; Yao et al., 2019; Amer et al., 2018). Seperti penelitian Handayani et al (2019) didapatkan bahwa dimana banyaknya pasien yang berada pada kategori patuh dikarenakan banyaknya pula pasien yang memiliki tingkat efikasi diri yang baik. Kepatuhan manajemen diri pada penelitian tersebut merupakan kepatuhan pasien dalam mengelola kondisi mereka selama memiliki penyakit diabetes mellitus. Berdasarkan indikator – indikator yang digunakan dalam instrumen DSMQ pasien lebih sering melakukan aktivitas fisik, pemantauan gula darah dan pengelolaan makan. Pasien meyakini bahwa mengetahui kadar gula darah, melakukan pengaturan pola makan dan melakukan aktivitas fisik pasien dapat mengetahui kondisinya dan dapat meningkatkan kesehatannya. Sumber – sumber terbentuknya efikasi diri melalui pengalaman individu dan pengalaman orang lain dapat meningkatkan keyakinan diri individu untuk melaksanakan tugas dan tujuannya dengan baik seperti kepatuhan dalam manajemen diri. Penelitian Amer et al (2018) juga menunjukan bahwa pasien DM yang memiliki efikasi diri yang tinggi, lebih sering menunjukan penyakit yang terkendalikan dibandingkan dengan efikasi diri yang rendah. Faktor penting lainnya selain pengalaman individu dan pengalaman orang lain, dari penelitian Amer et al (2018) didapatkan bahwa partisipasi dalam sesi pendidikan kesehatan diabetes dan tingkat pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun) merupakan prediktor penting dari efikasi diri karena kedua faktor tersebut penting untuk memahami semua aspek yang berkaitan dengan penyakit, komplikasi, manajemen medis dan pentingnya kepatuhan terhadap rekomendasi gaya hidup. Sesuai dengan teori dimana 39 Universitas Esa Unggul efikasi diri manajemen diabetes dilaporkan sebagai penentu terpenting dari pengendalian penyakit dan dipengaruhi oleh status pendidikan (Venkataraman et al., 2012). Tingkat pendidikan yang sebagian besar lebih dari 9 tahun dan mayoritas pasien yang menghadiri pendidikan kesehatan formal tentang diabetes secara signifikan terkait dengan efikasi diri pengelolaan diabetes tingkat tinggi terbukti dengan dimana hampir setengah (48,7%) responden memiliki efikasi diri yang tinggi di semua domain untuk mengelola diabetes mereka. Diantara semua domain didapatkan bahwa tingkat efikasi yang paling tinggi yaitu ada pada pengobatan, begitupula dengan tingkat kepatuhan didapatkan kepatuhan terhadap pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas perawatan diri lainnya. Dari hasil tersebut menunjukan keterkaitan antara efikasi diri dengan manajemen diri pasien. Pada penelitian Amer et al (2018) didapatkan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempunyai hubungan terkait efikasi diri, begitu pula pada penelitian Yao et al (2019) didapatkan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku manajemen diri aktif. Selain tingkat pendidikan, pendapatan perkapita rumah tangga, lamanya diabetes, kormobitas diabetes dan tempat tinggal juga merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku manajemen diri aktif. Yao et al (2019) melakukan penelitian antara pasien yang tinggal di perkotaan dengan pasien yang tinggal di daerah pedesaan, hasilnya pasien yang tinggal didaerah pedesaan memiliki kinerja yang lebih buruk dalam manajemen diri daripada pasien yang tinggal di daerah perkotaan. Pasien pedesaan memiliki kinerja yang lebih buruk dalam manajemen diri daripada pasien perkotaan. Kesenjangan ini mungkin terkait dengan perbedaan tingkat pembangunan sosial ekonomi antara perkotaan dan pedesaan. Pasien di daerah perkotaan biasanya memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang terbukti berhubungan positif dengan perilaku manajemen diri. Selain itu, perbedaan ini mungkin disebabkan oleh ketidakadilan perkotaan-pedesaan dalam kualitas layanan kesehatan. Dalam hal manajemen diri pasien DM, self-efficacy lebih mengarah kepada kepercayaan diri pasien untuk melaksanakan berbagai perilaku/aktifitas yang merupakan bagian dari manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan, & Froelicher, 2012). Perilaku yang diharapkan dapat dirubah oleh pasien DM adalah mengenai gaya hidup dan kebiasaan yang dapat memperburuk kondisi pasien, diantaranya adalah pengaturan diet, aktifitas atau latihan (olahraga) secara teratur, pemantauan gula darah, pengobatan, dan perawatan kaki (American Association of Diabetes Educators, 2013). Kontrol Gula Darah Kontrol gula darah merupakan pilar utama pada perawatan pasien diabetes sehingga dapat dicapai kadar gula darah dan mempertahankannya dalam kondisi yang normal (AlKhawaldeh et al., 2012; Shrivastava, Shrivastava, & Ramasamy, 2013). Seperti pada aktifitas perawatan diri yang lain, self-efficacy juga menjadi determinan yang kuat dalam pelaksanaan pengontrolan kadar gula darah. Pada penelitian yang dilakukan terhadap pasien DM tipe 2, ditemukan bahwa self-efficacy memiliki hubungan yang positif terhadap kontrol gula darah pasien DM. Pasien yang memiliki keyakinan bahwa mereka mampu melakukan perawatan diri terkait diabetes dinyatakan tiga kali lebih baik dalam melakukan kontrol dibandingkan pasien yang kurang yakin (Venkataraman et al., 2012). Menurut hasil penelitian Firmansyah (2018) menunjukan bahwa responden yang mempunyai 40 Universitas Esa Unggul efikasi diri baik dengan kadar gula darah normal sebanyak 25 responden (43,1%) sedangkan yang mempunyai efikasi diri kurang baik dengan kada gula darah normal sebanyak 5 responden (16,1%) yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kadar gula darah pasien DM tipe 2. Dilihat dari hasil penelitiannya mengenai hubungan efikasi diri dengan kadar gula darah penderita DM ditemukan bahwa bukan hanya perilaku pasien dalam menjaga kesehatannya saja tetapi efikasi diri yang baik juga terpengaruh terhadap bagaimana penderita bertindak untuk kesehatan dirinya serta pola fikir penderita dalam melakukan perawatan diri DM. Efikasi diri yang kurang baik terutaman dalam pengontrolan gula darah dikarenakan penderita hanya diberitahu apa yang harus dilakukan tanpa memahami alasan kenapa harus dilakukannya pengontrolan kadar gula darah. Tingkat perilaku manajemen diri yang rendah yang dapat berkontribusi pada tingkat HbA1c mereka yang lebih tinggi. Rendahnya tingkat perilaku DSM dapat dikaitkan dengan sejumlah hambatan potensial untuk perilaku DSM seperti faktor sosial, budaya, keuangan, medis, dan lain yang tidak diukur dalam penelitian ini yang mempersulit rejimen subjek dan mungkin mengakibatkan rendahnya kepatuhan terhadap rekomendasi perawatan diri dan kemudian berkontribusi pada kontrol glikemik yang buruk. Prediktor kontrol glikemik yang paling signifikan secara statistik adalah efikasi diri diet, perilaku manajemen diri diet, dan penggunaan insulin. Ditemukan hasil bahwa bahwa subjek dengan efikasi diri diet yang lebih besar dan perilaku manajemen diri diet yang lebih besar memiliki kadar HbA1c yang lebih rendah, sedangkan yang menggunakan insulin dikaitkan dengan kadar HbA1c yang lebih tinggi. penggunaan insulin adalah prediktor signifikan dari kontrol glikemik yang buruk; penjelasan yang mungkin adalah bahwa insulin ditambahkan ke terapi pengobatan pada subjek dengan DM tipe 2 sebagai akibat dari kontrol glikemik yang memburuk. Pengaturan Diet Inti dari pengaturan makan sehat pada pasien diabetes adalah membuat keputusan tentang pilihan makanan, paham tentang ukuran porsi, dan memahami kapan waktu terbaik untuk makan. Pasien juga harus memiliki kemampuan untuk menghitung berat porsi karbohidrat dan lemak dalam makanan, membaca label, dan mengukur porsi. Berbagai faktor dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, diantaranya makanan yang tersedia, pola makan keluarga, kebiasaan, emosi, makanan yang disukai, kontrol gula darah dan pengetahuan mengenai pengaruh makanan terhadap kontrol diabetes dan kesehatan secara keseluruhan. Dengan membuat pemilihan makanan yang tepat, mengontrol berat badan, dan mencapai kadar gula darah yang optimal, banyak pasien DM yang mungkin dapat mengatur kondisi mereka tanpa obat (American Association of Diabetes Educators, 2013). Menurut hasil penelitian Malayanita (2017) didapatkan bahwa self efficacy pasien DM dalam pengelolaan makan berdasarkan jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makanan sebanyak 16,7% dalam kategori baik, sebanyak 33% dalam kategori cukup dan sebanyak 50% dalam kategori kurang. Self efficacy tentang jadwal makanan kurang dibuktikan dengan pasien DM makan lebih dari 3 kali sehari dan diselingi ngemil berlebihan setiap waktu. Jadwal makan meliputi pola makan 3x makan besar dan 3x makan kecil, jadwal makan jam 07.00, jam 13.00 dan 19.00, memberi jarak antara makan dengan ngemil lebih dari 3 jam, makan tidak lebih dari 3x sehari. Yang dimaksud dengan jadwal 41 Universitas Esa Unggul adalah waktu – waktu makan yang tetap yaitu makan pagi, siang dan makam serta makan selingannya. Berdasarkan hasil kuisioner pertanyaan “saya tidak pernah membuat jadwal makan” masih ada 21 dari 30 orang yang menjawab “tidak”. Padahal jadwal makan sangat dibutuhkan untuk mengelola makan yang dikonsumsi setiap harinya. Menurut ADA (2010) perlu pengaturan jadwal makan bagi penderita DM karena keterlambatan atau keseringan makan akan mempengaruhi kadar glukosa darah. Self efficacy tentang jenis makanan yaitu meliputi tidak makan makanan mengandung tinggi karbohidrat, berlemak dan gula, dan disarankan banyak mengkonsumsi makanan mengandung protein dan dan vitamin, mengkonsumsi makanan pengganti karbohidrat. Faktanya berdasarkan hasil dari kuisioner pada pernyataan “saya setiap hari masih mengkonsumsi makanan gorengan dan sayur bersantan” masih ada 19 dari 30 orang. Self efficacy pasien DM dalam pengelolaan makan pada penelitian ini yang memiliki hasil baik yaitu pasien mampu mengurangi asupan gula yang dikonsumsi setiap harinya. Untuk kategori cukup yaitu pasien mampu memiliki jenis makanan yang boleh dan tidak boleh untuk dikonsumsi seperti sayuran, ikan dan buah. Untuk hasil kategori yang kurang yaitu pasien DM masih belum bisa mengendalikan jumlah makanan yang dia konsumsi, seperti makan nasi 1 porsi piring penuh ditambah mie instan goreng serta pengaturan jadwal makan yang sering diabaikan, seperti sehari makan lebih dari 3 kali dan ngemil setiap hari. Self efficacy memiliki peranan yang sangat penting dalam merubah perilaku kesehatan seseorang. Self efficacy erat hubungannya dengan kepatuhan, termasuk kepatuhan diet pada diabetesi. Semakin baik self efficacy yang dimiliki seseorang maka semakin baik juga perilaku kesehatannya. Memberikan kemampuan pada pasien DM terkait dalam menghitung jumlah kalori dan memakan menu makanan serta motivasi dapat memberi pengaruh untuk lebih memotivasi diri pasien untuk patuh terhadap pola diet yang dianjurkan (Yaqin et al., 2017). Aktivitas Fisik Latihan fisik merupakan salah satu dari 4 pilar penatalaksanaan DM. Aktifitas fisik melibatkan pergerakan tubuh yang dapat membuat kontraksi pada muskuloskeletal, dengan demikian pengeluaran energi akan meningkat. Aktifitas dapat membantu meningkatkan pencapaian indeks massa tubuh yang normal, membantu mengontrol lemak dan tekanan darah, dan mengurangi stres. Selain itu, jenis aktifitas fisik, misalnya aerobik, juga diketahui dapat meningkatkan sensitivitas insulin, kontrol gula darah, dan menghasilkan perubahan yang baik pada komposisi tubuh. Hal yang harus dipahami oleh pasien DM mengenai hal-hal yang menghambat aktifitas fisik antara lain keadaan fisik pasien, lingkungan, psikologis, dan batas/lama waktu aktifitas (American Association of Diabetes Educators, 2013). Untuk itulah dibutuhkan self-efficacy pada pasien agar dapat membantu meningkatkan aktifitas fisik pada pasien. Hasil penelitian Anindita, Diani & Hafifah (2019) didapatkan responden yang patuh dalam melakukan latihan fisik yaitu sebanyak 22 responden, 15 diantaranyya memiliki efikasi diri yang baik. Sementara responden yang tidak patuh dalam melakukan aktivitas fisik yaitu sebanyak 38 responden, 32 diantaranya memiliki efikasi diri yang kurang baik. Sebagian besar pasien mengatakan bahwa mereka tidak melakukan latihan fisik dikarenakan cepat merasa lelah dan akibat usia mereka yang bertambah tua serta menurunnya status kesehatan. Sesuai dengan Majid (2017) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan masih rendahnya latihan fisik pada penderita DM 42 Universitas Esa Unggul adalah karena faktor usia. Terdapat pula ditemukan pasien yang memiliki efikasi diri yang kurang baik tetapi patuh melaksanakan latihan fisik, disebabkan oleh faktor lamanya menderita DM, dimana sebagian besar pasien memnderita DM lebih dari 5 tahun. Pasien dengan durasi penyakit yang panjang cenderung lebih patuh daripada durasi yang pendek, hal ini dikarenakan pada durasi penyakit yang pendek pasien masih belum mengalami komplikasi jangka panjang sehingga pasien lebih santai dalam menjalankan terapi yang ditentukan (Firdaus, 2014). Lama seseorang menderita DM akan membuatnya memiliki banyak pengalaman terkait dengan masalah pada penyakit DM dan dengan pengalaman tersebut membuat penderita lebih patuh dalam mengelola atau menangani penyakitnya (Notoatmodjo, 2010). Pengobatan Hasil penenilitian Pertiwi (2015) dan Agustina (2017) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kepatuhan dalam menjalanin pengobatan pada penderita DM. Dukungan sosial yang lebih besar terutama dukungan dari pasangan memiliki hubungan dengan kepatuhan dalam pengobatan, juga berfungsi untuk mengurangi dampak buruk dari stres dan dapat membantu memanajemen penyakit diabetes. Selain dukungan pasangan faktor lainnya yang mempengaruhi yaitu faktor terapi, faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi (Pertiwi, 2015). Dalam penelitian Agustina (2017) juga didapatkan hasil adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi pasien menyatakan tidak yakin melakukan pengobatan injeksi insulin. Hal ini berkaitan dengan salah satu dimensi self efficacy yaitu dimensi strenght dan faktor yang mempengaruhi self efficacy yaitu lingkungan sekitar. Penelitian yang dilakukan Nurlitahen (2014) tentang “Hubungan antara perceived family support sebagai pengawas minum obat dan efikasi diri penderita TBC di Bkpm Semarang” menyatakan bahwa persepsi dukungan keluarga sebagai PMO memberikan sumbangan efektif sebesar 30,3% terhadap variabel efikasi diri pada penderita TB di BKPM wilayah Semarang. dari penelitian Amer et al (2018) diantara semua domain didapatkan bahwa tingkat efikasi yang paling tinggi yaitu ada pada pengobatan, begitupula dengan tingkat kepatuhan didapatkan kepatuhan terhadap pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas perawatan diri lainnya, dimana efikasi diri yang tinggi dinilai dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pasien. Perawatan Kaki Perawatan kaki merupakan aktivitas harian pasien DM untuk mencegah terjadinya terjadinya ulkus pada kaki, yang terdiri dari deteksi kelainan kaki diabetes, perawatan kaki dan kuku serta latihan kaki. Selain berhubungan dengan pengetahuan mengenai perawatan kaki, perilaku perawatan kaki juga dihubungkan dengan self-efficacy pasien. Menurut hasil penelitian Purwanti (2014) didapatkan bahwa efikasi diri berhubungan dalam melakukan perawatan kaki. Efikasi diri yang baik pada pasien DM dalam melakukan perawatan kaki didukung dengan motivasi pasien yang baik pula. Motivasi merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap efikasi diri pasien (Da Silva, 2003). Pada penellitian Purwanti (2014) didapatkan bahwa responden yang memiliki motivasi yang kurang disebabkan oleh kurangnya pendidikan kesehatan dari perawat untuk meningkatkan kesadaran diri responden tentang penyakit DM, penatalaksanaannya dan komplikasi yang terjadi akibat perawatan yang tidak baik. Akibatnya responden memiliki 43 Universitas Esa Unggul pengetahuan yang kurang tentang perawatan diri dan tidak mengetahui dengan jelas tentang tujuan perawatan kaki, serta hasil yang diharapkan. Karena individu yang memiliki motivasi yang tinggi akan memiliki keyakinan yang baik bahwa dirinya mampu untuk melakukan suatu tugas atau tindakan tertentu. 5.2 Intervensi Peningkatan Self Efficacy dalam Manajemen Diri Pasien Diabetes Mellitus Melihat pentingnya self-efficacy dalam perawatan pasien DM maka peningkatan self-efficacy pasien sangat dibutuhkan. Berbagai intervensi dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan perawatan mandiri pasien DM, dan untuk meningkatkan self-efficacy pasien pada berbagai domain perawatan diri. Salah satu intervensi yang dapat diberikan adalah pemberian edukasi dan pelatihan bagi pasien. Pendidikan kesehatan adalah salah satu manajemen penyakit DM (Hinkle, 2014). Perawat memiliki peranan penting dalam manajemen pasien yaitu membantu pasien menerima dan melakukan perubahan gaya hidup (perubahan perilaku) untuk mencegah komplikasi dalam waktu yang lama dengan menjaga kadar gula darah dan kolesterol dalam tingkat yang normal (Ignatavicius & Workman, 2010; Hinkle & Cheever, 2014 ; Craven & Hirnle, 2009,). Pernyataan ini didukung oleh Nola J Pender dalam teori keperawatan“ Health Promotion Model” yang menyatakan bahwa perawat merupakan sumber yang dapat berpengaruh terhadap interpersonal yang dapat meningkatkan atau mengurangi komitmen pasien untuk terlibat dalam peningkatan perilaku kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh perawat melalui pemberian pendidikan kepada pasien (Alligood, 2014). Dari hasil penelitian Ningsih (2016) dinyatakan bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan self efficacy berpengaruh terhadap perubahan perilaku kesehatan berupa pengetahuan, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah dan perawatan kaki. Dimana terjadi peningkatan skala self efficacy antara sebelum dan sesudah dilakukannya pendidikan kesehatan. Diaebetes Self Management Education (DSME) salah satu bentuk intervensi pendidikan kesehatan yang dapat meningkatkan self efficacy pasien DM. Pada penelitian Rondhianto (2013) penerapan DSME didalam discharge planning memberikan pengaruh yang signifikan dalam peningkatan self efficacy pasien DM dibandingkan dengan pemberian discharge planning tanpa menggunakan DSME. Penerapan DSME dalam pendidikan kesehatan pada penelitian Rondhianto (2013) terbukti terjadi peningkatan skala self efficacy pada responden yang sebelumnya sebagian responden memiliki tingkat self efficacy pada kategori sedang setelah dilakukan intervensi menjadi dikategori sangat tinggi. Menurut Funell (2010) DSME merupakan suatu proses yang memfasilitasi pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan perawatan mandiri (self care) yang sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes. Selain DSME, intervensi yang dapat meningkatkan self efficacy pada pasien DM yaitu Self Efficacy Enhancement Intervention Program (SEEIP). Dalam penelitian Damayanti (2017) Setelah dilakukan intervensi SEEIP terjadi peningkatan hasil nilai rata-rata DMSES pada pasien DM. Sementara itu ditemukan intervensi lain yang dapat meningkatkan self efficacy pasien DM yaitu Self Efficacy Training (SET). Self efficacy training merupakan suatu kegiatan atau pelatihan yang dilakukan oleh seorang trainer (pelatih) kepada seseorang atau kelompok sehingga 44 Universitas Esa Unggul seseorang atau kelompok tersebut mampu memiliki keyakinan (belief) terhadap kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan (Combs & Luthans, 2007). Pada penelitian Yaqin et al (2017) melakukan penenlitian efek Self Efficacy Training terhadap self efficacy dan kepatuhan diet diabetesi didaptkan hasil bahwa SET dapat meningkatkan kepatuhan diet pasien DM melalui peningkatan Self Efficacy, dimana terdapat peningkatan nilai self efficacy yang mendapatkan pelatihan SET dengan metode peer support group. 45 Universitas Esa Unggul BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Manajemen diri merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh pasien DM. Manajemen diri pada pada pasien DM terdiri dari kontrol gula darah, pengaturan diet, pengobatan, aktivitas fisik dan perawatan kaki. Salah satu faktor yang mendukung efektifitas pelaksanaan self-management tersebut adalah self-efficacy. Hal ini juga akan mendukung tercapainya hasil yang baik dalam pelaksanaan perawatan diri pada berbagai domain. Meningkatkan self efficacy merupakan tindakan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi mengenai perawatan diri pasien DM yang sebelumnya telah dikaji tingkat selfefficacynya. Hal ini merupakan intervensi yang dapat dilakukan dan diintegrasikan pada layanan kesehatan. 6.2 Saran 6.2.1 Bagi Institusi Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan serta sumber pelajaran bagi mahasiswa dalam memahami tentang self efficacy pasien DM terhadap self management. 6.2.2 Bagi Pelayanan Kesehatan Bagi pelayanan kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan serta asuhan keperawatan dalam hal pemberian edukasi mengenai self efficacy untuk meningkatkan keyakinan diri pasien DM untuk melakukan self management yang baik. 6.2.3 Bagi Peneliti Lain Saran kepada peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan pendekatan systematic review dan meta-analisis sehingga dapat di indentifikasi efektivitas dari self efficacy terhadap peningkatan self management pada pasien Diabetes Mellitus. 46 Universitas Esa Unggul DAFTAR PUSTAKA (IDF), I. D. F. (2019). Idf diabetes atlas. Agustina, D. F. (2017). Hubungan antara self-efficacy dengan kepatuhan pemakaian insulin secara mandiri pada pasien dm di rumah sakit baptis batu. Dm. Al-Khawaldeh, O. A., Al-Hassan, M. A., & Froelicher, E. S. (2012). Self-efficacy, self-management, and glycemic control in adults with type 2 diabetes mellitus. Journal of Diabetes and Its Complications, 26(1), 10–16. https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2011.11.002 Amer, F. A. M., Mohamed, M. S., Elbur, A. I., Abdelaziz, S. I., & Elrayah, Z. A. B. (2018). Influence of self-efficacy management on adherence to self-care activities and treatment outcome among diabetes mellitus type 2 sudanese patients. Pharmacy Practice, 16(4), 1–7. https://doi.org/10.18549/PharmPract.2018.04.1274 Anindita, Diani, & Hafifah. (2019). Hubungan efikasi diri dengan kepatuhan melakukan latihan fisik pada pasien diabetes militus tipe 2. Nusantara Medical Science Journal, 4(1), 1–6. Betteng, Pangemanan, M. (2014). Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas Wawonasa. Jurnal E-Biomedik, 2(2). https://doi.org/10.35790/ebm.2.2.2014.4554 Damayanti, S. (2017). EFEKTIVITAS (SELF-EFFICACY ENHANCEMENT INTERVENTION PROGRAM (SEEIP) TERHADAP EFIKASI DIRI MANAJEMEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 Santi Damayanti *). Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 4(2), 148–153. http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index Fiedler, B. A. (2018). Translating national policy to improve environmental conditions impacting public health through community planning. Translating National Policy to Improve Environmental Conditions Impacting Public Health Through Community Planning, 84(2), 1–312. https://doi.org/10.1007/978-3-319-75361-4 Firmansyah, M. R. (2018). Volume 1, Nomor 1, Februari 2018 M. Ramadhani Firmansyah. 1, 1–7. Handayani, N. K. D. T., Putra, P. W. K., & Laksmi, I. A. A. (2019). Efikasi Diri Berhubungan dengan Kepatuhan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng III. Jurnal Ilmu Dan Teknologi 47 Universitas Esa Unggul Kesehatan, 7(1), 28–38. https://doi.org/10.32668/jitek.v7i1.194 Imelda, S. I. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya diabetes Melitus di Puskesmas Harapan Raya Tahun 2018. Scientia Journal, 8(1), 28– 39. https://doi.org/10.35141/scj.v8i1.406 Katuuk, M. E., & Kallo, V. D. (2019). Hubungan Motivasi Dengan Efikasi Diri Pada Pasien Dengan Diabetes Melitus Tipe Ii Di Rumah Sakit Umum Gmim Pancaran Kasih Manado. Jurnal Keperawatan, 7(1). Kumala, Mustamiah, & Aquarisnawati. (2016). Jurnal poseidon. 10. Malayanita, R. (2017). Self Efficacy in Patients with Diabetes Mellitus Management Healthy Eating In UPTD Sananwetan District of Blitar Town. Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 4(3), 260–267. https://doi.org/10.26699/jnk.v4i3.art.p260-267 Ngurah, I. G. K. G., & Sukmayanti, M. (2014). Efikasi Diri pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar, 21. Ningsih, O. S. (2016). Pengaruh Intervensi Pendidikan Kesehatan dan Self Efficacy terhadap Perubahan Perilaku Kesehatan dan Kadar Gula Darah pada Pasien DM di Kabupaten Manggarai, NTT. Wawasan Kesehatan, 1(2), 107–125. Nurhayani, Y. (2017). Gambaran Efikasi Diri Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Panadero, E., Jonsson, A., & Botella, J. (2017). Effects of self-assessment on selfregulated learning and self-efficacy: Four meta-analyses. Educational Research Review, 22, 74–98. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2017.08.004 PERKENI. (2015). Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 Di Indonesia 2015. In Perkeni. https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://pbperkeni .or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-danPencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI2015.pdf&ved=2ahUKEwjy8KOs8cfoAhXCb30KHQb1Ck0QFjADegQIBh AB&usg=AOv Pertiwi, I. (2019). Gambaran Self Efficacy Peserta Prolanis pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II di Puskesmas Gamping 2 Sleman Yogyakarta. 1–15. Purwanti, L. E. (2014). Hubungan Motivasi Dengan Efikasi Diri Pasien Dm Tipe 2 Dalam Melakukan Perawatan Kaki Di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara. Gaster, 11(2), 68–77. http://www.jurnal.stikes48 Universitas Esa Unggul aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/viewFile/71/66 Riset Kesehatan Dasar. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 Desember 2013 Rondhianto. (2013). Keterkaitan Diabetes Self Management Education Terhadap Self Efficacy Pasien Diabetes Mellitus. Jurnal Keperawatan, 1(1), 216–229. Tamansari, J., No, G., Tamansari, K., & Tasikmalaya, K. (2018). ARSA (Actual Research Science Academic). 3(1). Wendling, S., & Beadle, V. (2015). The relationship between self-efficacy and diabetic foot self-care. Journal of Clinical and Translational Endocrinology, 2(1), 37–41. https://doi.org/10.1016/j.jcte.2015.01.001 Wibisono. (2017). Pendekatan Klinis Dan Diagnosis Sindrom Cushing (Issue April). Wicaksono. (2011). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIABETES MELITUS TIPE 2 UNIVERSITAS DIPONEGORO TAHUN 2011. 2. Wijaya, I. (2015). Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Cdk-229, 42(6), 412–417. World Health Organization. (2016). Global Report on Diabetes. Isbn, 978, 6–86. http://www.who.int/about/licensing/copyright_form/index.html%0Ahttp://w ww.who.int/about/licensing/copyright_form/index.html%0Ahttps://apps.who .int/iris/handle/10665/204871%0Ahttp://www.who.int/about/licensing/ Yao, J., Wang, H., Yin, X., Yin, J., Guo, X., & Sun, Q. (2019). The association between self-efficacy and self-management behaviors among Chinese patients with type 2 diabetes. PLoS ONE, 14(11), 1–12. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0224869 Yaqin, A., Niken, S., Dharmana, E., Magister, M., Fakultas, K., Diponegoro, U., Pengajar, S., Keperawatan, D., Kedokteran, F., Diponegoro, U., Pengajar, S., Kedokteran, F., & Diponegoro, U. (2017). Efek Self Efficacy Training Terhadap Self Efficacy Dan. Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(1), 1–10. http://ojshafshawaty.ac.id/index.php/jikes/article/view/45/1 49 Universitas Esa Unggul LAMPIRAN - LAMPIRAN Lampiran 1. Riwayat Hidup Penulis RIWAYAT HIDUP PENULIS Data Pribadi Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Status Alamat Melayu Timur, : Hasni Nurhasanah : Tangerang/16 Mei 1998 : Perempuan : Islam : Belum Menikah : Komplek Mutiara Garuda Blok C 12 No 28, Kp. Teluknaga, Tangerang, 15510. : 08557892757 / 087842061916 (WA) No Handphone Riwayat Pendidikan Riwayat Pendidikan Nama Institusi Jurusan Tahun MasukLulus Pendidikan Formal SD SD Negeri 1 Kampung Melayu Timur Umum 2004 - 2010 SMP SMP Negeri 1 Teluknaga Umum 2010 - 2013 SMK SMK Yayasan Pendidikan Karya Tangerang Keperawatan 2013 - 2016 Keperawatan 2016 - 2020 Perguruan Tinggi Universitas Esa Unggul Pendidikan Non Formal 50 Universitas Esa Unggul Les Privat (Kursus Bahasa Inggris) Practical Education Center (PEC) Umum 2009 - 2010 Pengalaman Organisasi Nama Organisasi Nama Institusi Jabatan Tahun SMP Negeri 1 Teluknaga Anggota 2011 - 2012 SMK Yayasan Pendidikan Karya Tangerang Sekretaris 2014 - 2015 Himpunan Mahasiswa Jurusan Universitas Esa Unggul Wakil Ketua 2017 - 2018 Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) Organisasi nasional Anggota 2017 - 2019 Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Semua data yang tercantum dalam biodata ini adalah benar, dan dapat dipertanggung jawabkan. Bila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidaksamaan dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih. Jakarta, Agustus 2020 Penulis, Hasni Nurhasanah 20160303020 51