Lab/SMF Ilmu Kedokteran Saraf Refarat Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahranie MENIERE’S DISEASE Disusun oleh Ade Afriza Ferani 1910017005 Pembimbing dr. Susilo Siswonoto, Sp.S, M.Si, Med Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada Laboratorium/SMF Ilmu Kedokteran Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2021 1 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan refarat dengan judul “Meniere’s Disease”. Tulisan ini disusun sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Susilo Siswonoto, Sp.S, M.Si, Med selaku pembimbing klinik atas ilmu dan bimbingan yang diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Saraf. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan ini. Namun, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran Ilmu Saraf. Samarinda, Januari 2021 Penulis 2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................2 DAFTAR ISI ...........................................................................................................3 BAB I .......................................................................................................................4 BAB II .....................................................................................................................5 2.1 Anatomi dan fisiologis Nervus Vestibulokoklearis....................................5 2.1.1 Anatomi dan fisiologis N. Vestibularis .................................................5 2.1.2 Anatomi dan fisilogis N. Koklearis .......................................................8 2.2 Definisi .........................................................................................................10 2.3 Epidemiologi ...............................................................................................10 2.4. Etiologi ........................................................................................................10 2.5 Patofisiologi .................................................................................................12 2.6 manifestasi klinis ........................................................................................13 2.7 Diagnosis......................................................................................................14 2.8 Tatalaksana .................................................................................................16 2.7 Prognosis .....................................................................................................19 BAB III ..................................................................................................................20 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21 3 BAB I PENDAHULUAN Pada tahun 1861, dokter asal Prancis bernama Prosper Meniere menggambarkan sebuah kondisi yang sekarang kondisi tersebut diabadikan dengan menggunakan namanya. Penyakit Meniere adalah kelainan telinga bagian dalam yang menyebabkan timbulnya episode vertigo (pusing berputar), tinnitus (telinga berdenging), perasaan penuh dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang bersifat fluktuatif. Adapun struktur anatomi telinga yang terkena dampaknya adalah seluruh labirin yang meliputi kanalis semisirkularis dan kokhlea. Pendapat ini kemudian dibuktikan oleh Hallpike dan Cairn tahun 1938, dengan ditemukannya hidrops endolimfa setelah memeriksa tulang temporal pasien dengan dugaan penyakit Meniere (Hain, 2020). Serangan khas dari Meniere didahului oleh perasaan penuh pada satu telinga. Gangguan pendengaran yang bersifat fluktuatif dan dapat disertai dengan tinnitus. Sebuah episode penyakit Meniere umumnya melibatkan vertigo, ketidakseimbangan, mual, dan muntah. Serangan rata-rata berlangsung selama dua sampai empat jam. Setelah serangan yang parah, kebanyakan pasien mengeluhkan kelelahan dan harus tidur selama beberapa jam. Ada beberapa variabilitas dalam durasi gejala. Beberapa pasien mengalami serangan singkat sedangkan penderita lainnya dapat mengalami ketidakseimbangan konstan (Hain, 2020) Beberapa penyakit memiliki gejala yang mirip dengan penyakit Meniere. Dokter biasanya menegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik telinga. Beberapa pemeriksaan dilakukan seperti pemeriksaan audiometri, CT scan kepala atau MRI dilakukan untuk menyingkirkan suatu tumor saraf kranial ke delapan (nervus vestibulokokhlearis) serta penyakit lain dengan gejala serupa. Karena tidak adanya uji yang defintif untuk penyakit Meniere, maka biasanya penderita tersebut biasanya didiagnosis ketika semua penyebab lain disingkirkan (Hain, 2020; National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD) , 2010). 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan fisiologis Nervus Vestibulokoklearis Nervus vestibulokoklearis merupakan nervus kranialis ke delapan yang terdiri dari 2 komponen fungsional yang berbeda yaitu (Mardjono & Sidharta, 2008): 1) Nervus Vestibularis, yang mebawa impuls keseimbangan. 2) Nervus koklearis, yang membawa impuls pendengaran yang berasal dari organon korti di dalam koklea. 2.1.1 Anatomi dan fisiologis N. Vestibularis Organ keseimbangan dan pendengaran berasal dari sebuah prekursor embriologis di bagian petrosus os. Temporalis : utrikulus membentuk sistem vestibularis dengan tiga kanalis semisirkularisnya, sedangkan sakulus membentuk telinga dalam dengan koklea yang membentuk seperti siput (Mardjono & Sidharta, 2008). Gangguan keseimbangan dan pendengaran merupakan salah satu gangguan yang sering kita jumpai dan dapat mengenai semua usia. Sering kali pasien datang berobat walaupun tingkat gangguannya masih dalam taraf yang ringan. Hal ini disebabkan oleh karena terganggunya aktivitas sehari-hari dan rasa ketidaknyamanan yang ditimbulkan (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). Gambar 2.1 Fisiologi Keseimbangan 5 Reseptor saraf vestibularis ialah sel-sel rambut/ sel neuroepitelial yang terdapat di krista ampularis pada kanal semisirkularis, di makula pada utrikulus dan makula di telinga dalam. Impuls dari sel-sel rambut ini dihantar melalui serabut sel bipolar dari ganglion vestibular yang terletak di meatus akustikus internus. Serabut-serabut sel bipolar inilah yang membentuk saraf vestibularis. Serabut ini berjalan di meatus akustikus internus bersama nervus koklearis dan memasuki batang otak di perbatasan pons dengan medulla oblongata. Serabut saraf vestibularis ini bersinaps di inti-inti vestibularis, yang terdiri atas inti vestibularis medialis (Schwalbe). Inti vestibularis superior (Bechterew), inti vestibularis lateralis (Deiter) dan inti vestibularis inferior (Spinal). Sebagian kecil dari serabut saraf vestibularis berjalan langsung ke serebelum dan berakhir di korteks lobus nodulo-flokularis. Dari kelompok inti-inti vestibularis ini keluar serabut-serabut yang mengadakan hubungan dengan inti-inti atau daerah lainnya, diantaranya adalah dengan batang otak, medulla spinalis, serebelum dan mungkin juga serebrum (Lumbantobing, 2013). Hubungan batang otak. Serabut dengan inti vestibularis mengadakan hubungan dengan inti saraf otak III, IV, dan VI (yang mengurus otot ekstraokuler). Sistem vestibuler memainkan peranan yang dalam mengurus gerak terkonjugasi bola mata yang reflektoris terhadap gerakan serta posisi kepala. Sistem vestibuler yang ikut berperan dalam membuat mata dapat memfiksasi pada benda yang diam pada saat kepala dan badan berada dalam keadaan bergerak (Lumbantobing, 2013). Hubungan dengan medulla spinalis. Hubungan dengan medulla spinalis terjadi melalui traktus vestibulospinalis lateralis dan medialis. Impuls yang melalui serabut pada traktus ini ikut membantu refleks miotatik lokal, ikut mengatur tonus otot ekstensor badan dan anggota gerak terhadap gravitasi dan mempertahankan sikap tegak (Lumbantobing, 2013). Hubungan dengan serebelum. Bagian vestibuler dari cerebellum (Archicerebellum) berperan dalam mempertahankan keseimbangan. Hal ini dilakukan melalui serabut dari inti vestibularis ke motor neuron medulla spinalis, dan melalui hubungan serebeloretikuler dan retikulospinalis. Paleocerebellum mempengaruhi tonus otot, dalam hubungannya dengan sikap dan gerakan, melalui inti-inti vestibuler dan nukleus ruber (Lumbantobing, 2013). 6 Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral yang dapat menyebabkan terjadinya vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseimbangan, nistagmus dan salah tunjuk (pas pointing) (Lumbantobing, 2013). Sistem vestibuler sangat sensitif terhadap perubahan konstentrasi O2 dalam darah, oleh karena itu perubahan aliran darah mendadak dapat menimbulkan vertigo. Vertigo tidak akan timbul bila hanya ada perubahan konsentrasi O2 saja, tapi harus ada faktor lain yang menyertainya, misalnya sklerosis pada salah satu dari arteri auditiva interna, atau salah satu arteri tersebut terjepit. Dengan demikian bila ada perubahan konsentrasi O2 hanya satu sisi saja yang mengadakan penyesuaian, akibatnya terdapat perbedaan elektro potensial antara vestibuler kanan dan kiri. Akibatnya akan terjadi serangan vertigo (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). Vertigo merupakan keluhan yang sering dikemukakan oleh penderita dengan gangguan sistem vestibuler. Ini merupakan rasa bergerak (penderita merasa bahwa sekitarnya bergerak, atau dirinya yang bergerak), dan biasanya disertai oleh rasa tidak stabil dan kehilangan keseimbangan (Lumbantobing, 2013). Berbagai penyakit atau kelainan dapat mengganggu sistem vestibular, sebagai berikut (Lumbantobing, 2013). 1. Gangguan jenis perifer - Neuronitis vestibular - Vertigo posisional benigna - Mabuk kendaraan (motion sickness) - Trauma - Obat-obatan, misalnya streptomisin - Labirintitis - Penyakit meniere - Tumor di fossa posterior, misalnya neoroma akustikus - Keadaan patologis yang merusak nervus akustikus, dapat pula menyebabkan lesi di nervus vestibularis. 2. Gangguan jenis sentral - Stroke atau iskemi batang otak (vertebrobasiler) - Migrain basilar 7 - Trauma - Perdarahan atau lesi di serebelum - Lesi lobus temporalis - Neoplasma 3. Lain-lain - Toksik (misalnya antikonvulsan fenitoin, sedatif) - Infeksi - Hipotiroid Gambar 2.2 Anatomi telinga dan organ vestibularis 2.1.2 Anatomi dan fisilogis N. Koklearis Reseptor pendengaran ialah sel-sel rambut di organ korti. Dari sini impuls dihantar melalui serabut-serabut sel bipolar ganglion spiral (koklear), yang membentuk saraf koklearis. Saraf koklearis ini berjalan di lantai meatus akustikus internus, bersama-sama nervus vestibularis dan nervus fasialis, dan keluar melalui porus akustikus internus, kemudian memasuki batang otak di bagian atas dari medula oblongata pada perbatasannya dengan pons (Lumbantobing, 2013). 8 Gambar 2.3 Fisiologi pendengaran Serabut nervus koklearis (bersinaps) di inti koklearis bagian dorsal dan ventral. Dari sini keluar serabut, yang sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang, dan meneruskan diri melalui leminkulus lateralis menuju korpus genikulatum medial, serabut ini melalui inti lemniskus lateralis dan olivarius superior. Pada inti ini ada serabut yang bersinaps. Dari korpus genikulatum medial, setelah bersinaps, serabut melanjutkan diri ke korteks auditif (Lumbantobing, 2013). Gangguan pada saraf koklearis dapat menyebabkan tuli, tinitus atau hiperakusis. 1. Tuli (tuli konduktif dan tuli sensorineural) - Tuli konduktif disebabkan oleh gangguan telinga luar dan telinga tengah. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh sumbatan telinga luar, misalnya oleh serumen, air darah eksudat, dekat membrane timpani, perforasi membran timpani, dan otitis media. - Pada tuli saraf, disebabkan oleh lesi yang mengenai organ korti, nervus koklearis, atau jaras auditorik sentral (Baehr, 2010). 9 2. Tinitus ialah persepsi bunyi berdenging di telinga, yang disebabkan oleh eksitasi atau iritasi pada alat pendengaran, sarafnya, inti serta pusat yang lebih tinggi (Lumbantobing, 2013) 3. Hiperakusis atau meningginya ketajaman pendengaran yang bersifat patologis didapatkan pada paralisis muskulus stapedius, pada migren psikoneurosis dan dapat juga merupakan aura dari epilesi lobus temporalis (Lumbantobing, 2013). 2.2 Definisi Penyakit meniere adalah suatu sindrom yang terdiri dari serangan vertigo, tinitus, berkurangnya pendengaran yang bersifat fluktuatif dan perasaan penuh di telinga. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan manusia tidak mampu mempertahankan posisi dalam berdiri tegak. Hal ini disebabkan oleh adanya hidrops (pembengkakan) rongga endolimfa pada koklea dan vestibulum (Mardjono & Sidharta, 2008). 2.3 Epidemiologi Penyakit meniere dapat dimulai pada setiap usia tetapi pasien biasanya datang dengan gejala antara 20 dan 40 tahun. Insidensi puncak penyakitmeniere adalah antara usia 40-60 tahun. Sindrom meniere pada anak-anak yang sering dikaitkan dengan cacat bawaan dari telinga dalam. Insiden yang tepat dari penyakit meniere sulit untuk ditentukan karena krteria diagnosis yang tidak standar tetapi kejadian dilaporkan berkisar 10-150 per 100.000 orang. Namun demikian prevalensi yang dilaporkan sangat bervariasi, dari 15 per 100.000 orang di Amerika Serikat hingga 157 per 100.000 orang di Inggris. Penyakit bilateral ditemukan pada 10% pasien yang terdiagnosis meniere pertama kali; dengan perkembangan penyakit kelainan bilateral dapat ditemukan pada lebih dari 40% pasien. Penyakit meniere tampaknya lebih umum pada wanita daripada laki-laki, dengan rasio dilaporkan antara 1,3 : 1 hingga 1,8 : 1. Angka-angka ini mungkin mencerminkan adanya bias pelaporan, dimana wanita lebih mungkin mencari pengobatan dibandi pria (Sutarni, Malueka, & Gofir, 2019). 2.4. Etiologi Menurut definisi, penyakit meniere adalah idiopatik. Dengan kata lain, jika penyebabnya diketahui, proses penyakit tidak lagi dapat disebut penyakit 10 meniere. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan etiologi penyakit ini tetapi belum ada yang terbukti. Beberapa teori melaporkan beberapa faktor yang dapt menimbulkan penyakit ini, adalah (Sutarni, Malueka, & Gofir, 2019) : 1. Familial : 5-20% mempunyai keluarga yang mempunyai gejala sama. 2. Faktor geografis/etnis : Banyak terdapat di Eropa utara dan Amerika utara. 3. Anomali dan malformasi fisik. 4. Genetik, akibat mutasi gen COCH. 5. Autoimun. Terdapat bukti adanya penimbunan kompleks imun dalam endolimfa pada pasien dengan penyakit meniere memperkuat dugaan bahwa penyakit ini merupakan suatu gangguan imun. 6. Otosklerosis. 7. Gangguan lokal keseimbangan garam dan air, yang menyebabkan edema endolimfa. 8. Gangguan regulasi otonom endolimfa. 9. Alergi lokal telinga dalam yang menyebabkan edema dan gangguan kontrol otonom. 10. Gangguan vaskularisasi telinga dalam, terutama stria vaskularis. 11. Gangguan duktus atau saku endolimfatik yang mengganggua absorbsi endolimfa. 12. Perubahan hubungan dinamika tekanan perilimfa dan endolimfa yang mungkin berhubungan dengan perubahan anatomik di dalam pembuluh endolimfa dan akuaduktus koklea. 13. Manifestasi lokal labirin pada penyakit sistemik metabolis yang mengenai baik tiroid maupun metabolisme glukosa atau keduanya. 14. Berkaitan dengan beberapa kelainan os temporal termasuk berkurangnya pnematisasi dari mastoid dan hipoplasi akuaduktus vestibular. Kantong endolimfa terlalu kecil dan berada dalam posisi abnormal dibawah labirin. 15. Infeksi virus : Ig E spesifik unutk virus herpes simplex tipe 1, 11, Epstein Bar, Citomegalo. 16. Trauma kapitis. 17. Faktor psikologis : Kepribadian psikosomatik dan neurosis. 11 Penyakit ini dihubungkan dengan perubahan anatomi pada telinga dalam atau disebut sebagai hidrops endolimfatik. Hidrops muncul pada berbagai kondisi yang dihubungkan dengan hilangnya pendengaran dan tidak diketahui penyebab dari hidrops ini. Penyakit spesifik yang dihubungkan dengan hidrops seperti fraktur temporal, sifilis, otosklerosis stadium akhir, dan neuroma akustik dapat menghasilkan gejala yang serupa dengan penyakit meniere. Kondisi lainya yang tanpa disertai perubahan anatomi pada bagian telinga dalam dapat juga menghasilkan gejala yang serupa dengan seperti migrain dan Cogan’s Syndrome (Wright, 2015). 2.5 Patofisiologi Banyak teori mengenai apa yang terjadi sehingga menyebabkan penyakit meniere, tetapi tidak ditemukan adanya jawaban yang pasti. Beberapa peneliti berpikir bahwa penyakit meniere disebabkan konstriksi pembuluh darah, serupa dengan penyebab dari migrain. Beberapa penelitian lain berpikir bahwa penyakit meniere dapat merupakan konsekuensi dari infeksi virus, alergi, atau reaksi autoimun. Penyakit meniere juga dapat muncul diturunkan dari keluarga karena adanya variasi genetik yang menyebabkan abnormalitas volume atau regulasi cairan endolimfa (NIDCD, 2010). Studi tulang temporal menunjukkan hidrops endolimfatik khas dengan ekspansi patologis dari cairan endolimfatik dengan mengorbankan sistem perilimfatik. Pembengkakkan dan distorsi membran endolimfatik terjadi pada koklea, utrikulus dan sakulus. Bukti adanya penyembuhan dari ruptur membran endolimfatik umum ditemukan. Terdapat kerusakan yang bervariasi pada sel rambut koklear atau vestibular tergantung pada durasi penyakit (Davis, King, & Schultz, 2005). Serangan akut diperkirakan muncul ketika sebuah ruptur membran endolimfatik muncul secara transien, menyebabkan endolimfa menjadi kaya kalium dan penurunan kalium pada perilimfa. Hal ini menyebabkan utrikulus menjadi penuh dan kanalis semisirkular terstimulasi secara berlebihan. Selain itu, hidrops endolimfatik menyebabkan stimulasi abnormal pada akson koklear sehingga terjadi kehilangan fungsi dari pendengaran dan vestibular (Davis, King, & Schultz, 2005; Kuks & Snoek, 2018). 12 2.6 manifestasi klinis Penyakit Meniere dimulai dengan satu gejala lalu secara progresif gejala lain bertambah. Gejala-gejala klinis dari penyakit Meniere yang khas sering disebut trias Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan tuli sensorineural fluktuatif terutama nada rendah. Serangan pertama dirasakan sangat berat, yaitu vertigo disertai rasa mual dan muntah. Setiap kali berusaha untuk berdiri, pasien akan merasa berputar, mual, dan muntah lagi. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, kemudian keadaan akan berangsur membaik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejala penyakit ini bisa hilang sama sekali. Pada serangan kedua dan selanjutnya dirasakan lebih ringan tidak seperti serangan pertama kali. Pada penyakit Meniere, vertigonya periodik dan makin mereda pada serangan-serangan selanjutnya (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007) Pada setiap serangan biasanya disertai dengan gangguan pendengaran dan dalam keadaan tidak ada serangan pendengaran dirasakan baik kembali. Gejala lain yang menyertai serangan adalah tinitus yang kadang menetap walaupun diluar serangan. Gejala yang menjadi tanda khusus adalah perasaan penuh pada telinga (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). Vertigo periodik biasanya dirasakan dalam dua puluh menit sampai dua jam atau lebih dalam periode serangan seminggu atau sebulan yang diselingi periode remisi. Vertigo menyebabkan nistagmus, mual, dan muntah. Pada setiap serangan biasanya disertai gangguan pendengaran dan keseimbangan sehingga tidak dapat beraktivitas dan dalam keadaan tidak ada serangan pendengaran akan pulih Kembali . Beberapa peneliti berpendapat vertigo dapat dipicu oleh intake berlebih kafein atau natrium, dan perubahan tekanan barometrik. Dari keluhan vertigonya kita sudah dapat membedakan dengan penyakit lainnya yang juga memiliki gejala vertigo seperti tumor N.Vestibulokoklearis, sklerosis multiple, neuritis vestibularis atau vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007: Wu, Sykes, Beyea, Simpson, & Beyea, 2019). Pada tumor N.Vestibulokoklearis serangan vertigo periodik, mula-mula lemah dan semakin lama makin kuat. Pada sklerosis multiple vertigo periodik dengan intensitas sama pada tiap serangan. Pada neuritis vestibuler serangan vertigo tidak periodik dan makin lama menghilang. Pada VPPJ, keluhan vertigo datang akibat 13 perubahan posisi kepala yang dirasakan sangat berat dan terkadang disertai rasa mual dan muntah namun tidak berlangsung lama (Baehr, 2010; Mardjono & Sidharta, 2008). Tinitus kadang menetap (periode detik hingga menit), meskipun diluar serangan. Tinnitus sering memburuk sebelum terjadi serangan vertigo. Tinitus sering dideskripsikan pasien sebagai suara motor, mesin, gemuruh, berdenging, berdengung, dan denging dalam telinga (Mardjono & Sidharta, 2008; Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). Gangguan pendengaran mungkin terasa hanya berkurang sedikit pada awal serangan, namun seiring dengan berjalannya waktu dapat terjadi kehilangan pedengaran yang tetap. Penyakit Meniere mungkin melibatkan semua kerusakan saraf di semua frekuensi suara pendengaran namun paling umum terjadi pada frekuensi yang rendah. Suara yang keras mungkin menjadi tidak nyaman dan sangat mengganggu pada telinga yang terpengaruh (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). Rasa penuh pada telinga dirasakan seperti saat kita mengalami perubahan tekanan udara perbedaannya rasa penuh ini tidak hilang dengan manuver valsava dan Toynbee (Mardjono & Sidharta, 2008; Baehr, 2010; Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). 2.7 Diagnosis Penyakit meniere dapat didiagnosa hanya jika pasien menunjukkan serangan vertigo, gangguan pendengaran, tinitus, dan tidak ada penyebab lain yang ditemukan (Kuks & Snoek, 2018). Kriteria diagnostik yang telah ditentukan oleh Barany Society dapat membantu membedakan pasien penyakit meniere yang probable dan definite (Koenen & Andaloro, 2020). Pasien dengan penyakit meniere definite mempunyai temuan klinis : 1. Terdapat dua atau lebih episode vertigo yang bertahan 20 menit hingga 12 jam. 2. Gangguan pendengaran sensorineural frekuensi rendah hingga sedang pada pemeriksaan audiometri di salah satu telinga pasien setidaknya dalam satu kejadian baik sebelum, selama, atau sesudah episode vertigo. 3. Gejala aura yang berfluktuasi (tinitus, telinga terasa penuh, dan 14 berdenging) pada telinga yang mengalami serangan. 4. Tidak termasuk dalam kriteria diagnosis gangguan vestibular lainnya. Pasien dengan penyakit meniere problable mempunyai temuan klinis : 1. Terdapat 2 atau lebih episode pusing atau vertigo yang bertahan 20 menit hingga 24 jam 2. Gejala aura yang berfluktuasi (tinitus, telinga terasa penuh, dan berdenging) pada telinga yang mengalami serangan. 3. Kondisi pasien lebih mudah masuk dalam kriteria diagnosis vestibular yang mendukung. Pasien dengan penyakit meniere mengalami persepsi secara rekuren mengenai pergerakan berputar di lingkungannya. Langkah pertama yang penting pendekatan terhadap penyakit meniere adalah pengambaran sensasi yang dirasakan pasien apakah vertigo atau bentuk lain dari pusing. Pasien dengan penyakit meniere merasakan episode vertigo yang bertahan 20 menit hingga 12 jam, hilang pendengaran unilateral dan tinitus, baik dengan atau tanpa aura (telinga terasa penuh atau ditekan). Mual, muntah, berkeringat, dan mungkin diare dapat muncul selama serangan, dengan onset yang didahului dengan tinitus unilateral yang mendadak (Wu, Sykes, Beyea, Simpson, & Beyea, 2019). Gambar 2.4 Pemeriksaan HINTS Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain pada gejala pasien. Pemeriksaan HINTS (Head-Impulse, Nystagmus, Test of Skew) dapat dilakukan untuk membedakan vertigo sentral dan perifer. Tanda vital juga harus diukur untuk menyingkirkan pusing sekunder akibat dehidrasi tahu instabilitas kardiogenik. Setelah penyebab nonvestibular disingkirkan, pemeriksaan gaya berjalan, tendem gait, Romberg, nervus kranial, dan serebelar dapat dilakukan. Pemeriksaan otoskopik ditujukan untuk mengevaluasi kelainan struktural pada telinga luar dan tengah. Adanya vesikel pada pinna atau retraksi membran 15 timpani dapat merupakan gejala dari infeksi herpes zoster atau adanya kolesteatoma. Pendengaran dapat diperiksa dengan menggunakan tes Weber dan Rinne. Manuver Dix-Hallpike dapat dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan vertigo posisi paroksismal jinak (Wu, Sykes, Beyea, Simpson, & Beyea, 2019). Pemeriksaan penunjang dapat dapat dilakukan pada pasien penyakit meniere adalah : 1. Pemeriksaan darah : Dilakukan untuk menyingkirkan kondisi yang dapat menyerupai penyakit meniere seperti hipertiroidisme atau hipotiroidisme, diabetes, penyakit autoimun, Cogan’s syndrome, dan neurosifilis. 2. Pemeriksaan audiometri : pemeriksaan ini penting dilakukan pada pasien suspek penyakit meniere. Pada pemeriksaan ini pasien dengan penyakit meniere tidak dapat mendengar frekuensi dibawah 30 dB dan diatas 2 kHz. 3. Imaging : pasien dengan tinitus unilateral, hilang pendengaran sensorineural, atau keduanya, pilihan Magnetic Resonance Imaging (MRI) perlu dipertimbangkan untuk menyingkirkan diagnosis neuroma akustik, aneurisma, Arnold-Chiari malformation, dan Multiple Sclerosis. (Wu, Sykes, Beyea, Simpson, & Beyea, 2019) 2.8 Tatalaksana Pasien yang datang dengan keluhan khas penyakit Meniere awalnya hanya diberikan pengobatan yagng bersifat simptomatik, seperti sedatif dan bila perlu bila perlu diberikan antiemetik. Pengobatan paling baik adalah sesuai dengan penyebabnya. Penatalaksanaan pada Penyakit Meniere adalah sebagai berikut (Efendi & Santosa, 1997; Levenson, 2009; Becker, Naumann, & Pfalfz, 2004) : A. Diet dan gaya hidup Diet rendah garam memiliki efek yang kecil terhadap konsentrasi sodium pada plasma, karena tubuh telah memiliki sistem regulasi dalam ginjal untuk mempertahankan level sodium dalam plasma. Untuk mempertahankan keseimbangan konsentrasi sodium, ginjal menyesuaikan kapasitas untuk kemampuan transport ion berdasarkan intake sodium. Penyesuaian ini diperankan oleh hormon aldosteron yang berfungsi mengontrol jumlah transport ion di ginjal 16 sehingga akan memengaruhi regulasi sodium di endolimfa sehingga mengurangu serangan penyakit Meniere. Banyak pasien dapat mengontrol gejala hanya dengan mematuhi diet rendah garam (2000 mg/hari). Jumlah sodium merupakan salah satu faktor yang mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh. Retensi natrium dan cairan dalam tubuh dapat merusak keseimbangan antara endolimfa dan perilimfa di dalam telinga. Garam natrium yang ditambahkam ke dalam makanan biasanya berupa ikatan natrium klorida atau garam dapur, monosodium glutamat (vetsin), natrium bikarbonat (soda kue), natrium benzoat (daging kornet). Pemakaian alkohol, rokok, coklat harus dihentikan. Kafein dan nikotin juga merupakan stimulan vasoaktif dan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan penurunan aliran darah arteri kecil yang memberi nutrisi saraf dari telinga tengah. Dengan menghindari kedua zat tersebut dapat mengurangi gejala. Olahraga yang rutin dapat menstimulasi sirkulasi aliran darah sehingga perlu untuk dianjurkan ke pasien. Pasien juga harus menghindari penggunaan obat- obatan yang bersifat ototoksik seperti aspirin karena dapat memperberat tinnitus. Selama serangan akut dianjurkan untuk berbaring di tempat yang keras, berusaha untuk tidak bergerak, pandangan mata difiksasi pada satu objek tidak bergerak, jangan mencoba minum walaupun ada perasaan mau muntah, setelah vertigo hilang pasien diminta untuk bangun secara perlahan karena biasanya setelah serangan akan terjadi kelelahan dan sebaiknya pasien mencari tempat yang nyaman untuk tidur selama beberapa jam untuk memulihkan keseimbangan. B. Tatalaksana medis Untuk terapi farmako dapat diberikan (Sutarni, Malueka, & Gofir, 2019) : - Antivertigo : Betahistin 48 mg/hari - Kombinasi dengan diuresis : hydrochlorthiazide/acetazolamide 50 mg/hari - Steroid : prednisone 80 mg/hari selama 7 hari kemudian diturunkan bertahap - Vasodilator : asam nikotinat 50-150 mg pada saat perut kososng. Histamin difosfat 2-4 tetes sublingual 2 kali sehari sebelum makan 17 - Pemberian kalium klorida untuk mencapai kadar natrium serum dan inhibitor anhidrase karbonik yang rendah - Antihistamin - Terapi intervensi nondestruktif : o Injeksi steroid intratimpanik o Endolymphatic sac-mastoid decompression and/or shunt - Terapi intervensi destruktif : Injeksi gentamisin intratimpanik ( chemical labirinthectomy) C. Latihan Rehabilitasi penting dilakukan sebab dengan melakukan latihan sistem vestibuler ini sangat menolong. Kadang-kadang gejala vertigo dapat diatasi dengan latihan yang teratur dan baik. Orang-orang yang karena profesinya menderita vertigo dapat diatasi dengan latihan yang intensif sehingga gejala yang timbul tidak lagi mengganggu pekerjaan sehari-hari (Hain, 2020; Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2007). Gambar 2.5 Canalit reposition treatment (CRT) / epley manouver Ada beberapa latihan, yaitu : canalit reposition treatment (CRT) / epley manouver dan brand-darroff exercise. Dari beberapa latihan ini kadang memerlukan seseorang untuk membantunya tapi ada juga yang dapat dikerjakan 18 sendiri.dari beberapa latihan, umumnya yang dilakukan pertama adalah CRT jika masih terasa ada sisa baru dilakukan brand-darroff exercise. Gambar 2.6 Brand-darroff exercise 2.7 Prognosis Jumlah episode vertigo tinggi pada tahun pertama dari penyakit meniere dan menurun pada tahun berikutnya meskipun pasien tidak mendapatkan terapi. Bersamaan dengan vertigo, hilang pendengaran sering terjadi pada tahun pertama dan kembali stabil pada tahun berikutnya. Biasanya hilang pendengaran tidak dapat disembuhkan. Pada stadium patologi yang lanjut pasien dapat mengalami Tumarkin Attacks. Pasien dengan penyakit meniere dilaporkan secara signifikan mengalami gangguan kualitas hidup dibandingkan individu yang sehat (Wu, Sykes, Beyea, Simpson, & Beyea, 2019). 19 BAB III KESIMPULAN Penyakit meniere merupakan suatu penyakit yang diakibatkan adanya kelainan pada telinga dalam berupa hidrops (pembengkakan) endolimfa pada kokhlea dan vestibulum. Gejala dari penyakit meniere disebut trias meniere yang terdiri dari vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran berupa tuli sensori neural yang fluktuatif. Penyakit meniere adalah salah satu penyebab tersering vertigo pada telinga dalam. Paling banyak ditemukan pada usia 30 - 60 tahun. Pasien dengan resiko besar terkena penyakit Meniere adalah orang-orang yang memiliki riwayat alergi, merokok, stress, kelelahan, alkoholisme, dan pasien yang mengkonsumsi aspirin. Pada dasarnya, etiologi pasti dari penyakit Meniere ini belum diketahui. Penyakit Meniere masa kini dianggap sebagai keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan cairan telingan yang abnormal dan diduga disebabkan oleh terjadinya malabsorbsi dalam sakus endolimfatikus. Untuk menegakkan diagnosis penyakit meniere dengan akurat, kondisi penyakit lain dapat menghasilkan gejala yang serupa seperti penyakit meniere harus disingkirkan. Evaluasi awal didasarkan pada anamnesis yang sangat hati-hati. Pemeriksaan fisis dilakukan utuk menyingkirkan penyebab yang berasal dari telinga luar atau telinga dalam. Pemeriksaan penunjang seperti audiometrik, darah lengkap, MRI terkadang diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit meniere.. Pasien yang datang dengan keluhan khas penyakit meniere awalnya hanya diberikan pengobatan yang bersifat simptomatik. Pengobatan terbaik adalah dengan cara menengani penyebab dari penyakit tersebut. 20 DAFTAR PUSTAKA 1. Baehr, M. (2010). Diagnosis Topik Neurologi DUUS : anatomi fisiologi, tanda dan gejala (4 ed.). Jakarta: EGC. 2. Becker, W., Naumann, H. H., & Pfalfz, C. R. (2004). A Pocket Reference Ear, Nose, and Throat Disease. New York: Thiemes. 3. Davis, L. E., King, M. K., & Schultz, J. L. (2005). Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing. 4. Efendi, H., & Santosa, K. (1997). BOEIS Buku Ajar THT (6 ed.). Jakarta: EGC. 5. Hain, T. C. (2020, Agustus 20). Meniere's Disease. Dipetik Desember 25, 2020, dari Chicago Dizziness and Hearing: https://www.dizziness-and- balance.com/disorders/menieres/menieres.html 6. Koenen, L., & Andaloro, C. (2020, September 27). Meniere Disease. Diambil kembali dari StatPearls Publishing: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536955/ 7. Kuks, J. B., & Snoek, J. W. (2018). Textbook of Clinical Neurology. Houten: Bohn Stafleu Van Loghum. 8. Levenson, M. J. (2009). Meniere Syndrome. Dipetik Desember 27, 2020, dari Home of the Surgery Information Centre: www.earsurgery.org/site/pages/conditions/menieres-syndrome.php 9. Lumbantobing, S. M. (2013). Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 10. Mardjono, M., & Sidharta, P. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 11. National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. (2010, Juli). Meniere's Disease. Dipetik Desember 25, 2020, dari NIDCD Fact Sheet, Hearing and Balance: https://www.nidcd.nih.gov/sites/default/files/Documents/health/hearing/Menie resDisease.pdf 12. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2007). Buku aja ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher (6 ed.). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 21 13. Sutarni, S., Malueka, R. G., & Gofir, A. (2019). Bunga Rampai Vertigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 14. Wright, T. (2015). Meniere's disease. BMJ Clinical Evidence, 0505. 15. Wu, V., Sykes, E. A., Beyea, M. M., Simpson, M. T., & Beyea, J. A. (2019). Apporoach to Meniere disease management. Canadian Family Physician, 65(7), PMC6738466. 22 23